1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia dengan semboyan ―Bhinneka Tunggal Ika‖ menjunjung tinggi kemajemukan dan keberagaman. Keberagaman tersebut supaya berjalan harmonis membutuhkan sikap toleransi. Kata toleransi sendiri diserap dari bahasa Inggris tolerance yang dapat dimaknai sebagai ‗sebuah sikap adil (fair) dan objektif terhadap opini, perbuatan, perlombaan, agama, suku bangsa, dsb. yang berbeda satu dengan yang lain secara bebas dari sikap kefanatikan (Webster’s Encyclopedic Unbridged Dictionary of the English Language: 1491). Kata kunci memahami toleransi adalah sikap fair terhadap perbedaan. Dalam bahasa Indonesia, toleransi dikenal sebagai sikap tenggang rasa (Pusat Bahasa, 2008: 1477; Badudu, 2003: 348). Toleransi secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap menerima dan menghormati perbedaan satu sama lain. Berkaitan dengan sikap toleransi tersebut, salah satu kota yang sering disebut-sebut menjadi miniatur toleransi di Indonesia adalah Yogyakarta. Bahkan, Yogyakarta sendiri pada tahun 2014 ini mendapat predikat ―City of Tolerance‖. Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa jika ingin melihat teladan Bhinneka Tunggal Ika, silakan datang ke Yogyakarta. Sayangnya, hal tersebut tercoreng dengan adanya dua peristiwa pada 29 Mei dan 1 Juni 2014 (serta peristiwa-peristiwa lain sebelumnya). Peristiwa kekerasan terhadap sekelompok umat Katolik yang sedang mengadakan doa
2
rosario dan latihan paduan suara yang menimpa rumah Direktur Galangpress, Julius Felicianus di Perumahan STIE YKPN, Dusun Tanjungsari, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, serta perusakan sebuah rumah milik pendeta Kristen Niko Lomboan di Pangukan, Tridadi, Sleman yang sedang digunakan untuk ibadat sedikit banyak mengusik dan merusak citra Yogyakarta sebagai teladan toleransi antarumat beragama. Terlebih lagi, beberapa hari setelah itu, muncul sebuah ajakan untuk memerangi pluralisme. Kedua peristiwa tersebut mendapat perhatian serius dari media-media massa, baik media lokal di Yogyakarta maupun media nasional. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud mengungkapkan perspektif pemberitaan surat kabar lokal dan nasional terhadap peristiwa kekerasan yang terjadi di Yogyakarta seperti yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan peristiwa kekerasan di Yogyakarta dalam penelitian ini adalah peristiwa kekerasan di Sukoharjo, Tridadi, Ngaglik, Sleman dan di Pangukan, Sleman, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta—berserta peristiwa-peristiwa sejenis sebelumnya. Tema toleransi dibahas dalam penelitian ini karena toleransi merupakan roh bagi bangsa Indonesia. Toleransi antarumat beragama sangat penting di Indonesia. Selain itu, hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai bahan masukan baik bagi pemerintah, tokoh-tokoh agama, maupun masyarakat umum untuk menyikapi peristiwa kekerasan di Indonesia. Membandingkan perspektif surat kabar lokal dengan nasional bukan tanpa alasan. Sebuah teks berita di dunia modern ini perlu mempertimbangkan dan memiliki nilai layak berita yang meliputi aktualitas (timeliness), kedekatan
3
(proximity) dampak (consequence), dan menarik simpati khalayak (human interest) (Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2012: 60). Yang menjadi perbedaan antara media massa lokal dan nasional adalah nilai kedekatan (proximity). Perbedaan nilai tersebut meninggalkan pertanyaan: apakah perbedaan ―jarak‖ akan menciptakan perspektif pemberitaan yang sama atau berbeda? Adapun pembagian jenis surat kabar ini mengikuti pendapat Sumadiria (2005) yang membagi media massa berdasarkan wilayah sirkulasinya, yaitu media massa komunitas, media massa lokal dan daerah, media massa nasional, dan media massa internasional. Setiap jenis media memiliki kekhasan terutama dalam hal apa saja yang diberitakan dan tujuan pemberitaan. Sebuah peristiwa dapat menjadi berita utama dalam media massa lokal, namun belum tentu diberitakan oleh media massa nasional dan internasional. Surat kabar yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Kedaulatan Rakyat, Bernas, Harian Jogja, Tribun Jogja, Kompas, dan Koran Tempo. Empat surat kabar pertama merupakan surat kabar lokal, dan dua surat kabar terakhir adalah surat kabar nasional. Namun, walapun sama-sama surat kabar lokal, Kedaulatan Rakyat dan Bernas berbeda dengan Harian Jogja dan Tribun Jogja. Harian Jogja dan Tribun Jogja merupakan surat kabar lokal yang merupakan anak perusahaan surat kabar nasional. Harian Jogja merupakan anak cabang Bisnis Indonesia dan Tribun Jogja termasuk dalam Kelompok Kompas Gramedia. Selain karena alasan praktis untuk membatasi pembahasan, keenam surat kabar ini dipilih karena keenamnya memberikan pemberitaan yang cukup lengkap.
4
Secara umum yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana surat kabar lokal dan nasional memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta dan mengapa demikian. Oleh karena itu, persoalan pertama yang dibahas adalah perspektif surat kabar lokal dan nasional dalam memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta dan mengapa demikian. Selanjutnya, dibahas pula bagaimana perspektif pemberitaan tersebut dikonstruksi melalui strategi pemberitaan yang dilakukan dan bagaimana perspektif pemberitaan tersebut terwujud dalam bentukbentuk ekspresi kebahasaan. Renkema (2004) menganalogikan perspektif dalam analisis wacana seperti posisi kamera yang digunakan seorang fotografer ketika mengambil gambar. Posisi tersebut menentukan seperti apa gambar yang dihasilkan. Sebagai contoh, berita tentang peristiwa demonstrasi buruh setidaknya dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pro-buruh dan kontra-buruh. Dari perspektif yang pertama, hal yang menjadi subjek pemberitaan adalah para buruh yang mengalami ketidakadilan karena hanya mendapatkan upah yang minim. Sementara itu, dari perspektif kontra-buruh, hal yang diberitakan hanyalah kerusuhan yang ditimbulkan oleh demonstrasi tersebut. Perhatikan contoh kedua teras berita tentang peristiwa di Ngaglik berikut. (I.1)
(I.2)
Anggota kepolisian langsung menangkap pelaku penyerangan rumah Julius Felicianus di Perumahan STIE YKPN, Dusun Tanjungsari, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, Kamis (29/5) malam. (Harian Jogja, 31/05/14) Kemajemukan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta kembali terusik oleh aksi kekerasan. Kamis (29/5) malam, sekelompok orang menyerang sebuah rumah di Kabupaten Sleman yang digunakan sejumlah umat Katolik untuk berdoa dan berlatih paduan suara. (Kompas, 31/05/14)
5
Kutipan (I.1) merupakan teras berita Harian Jogja yang merupakan surat kabar lokal, sedangkan kutipan (I.2) merupakan teras berita Kompas yang merupakan surat kabar nasional. Dilihat dari unsur yang dikedepankan, kedua teras berita tersebut menonjolkan dua hal yang berbeda. Kutipan (I.1) menonjolkan tindakan kepolisian, sementara kutipan (I.2) menonjolkan dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa kekerasan di Yogyakarta, yaitu terusiknya kemajemukan di Yogyakarta. Hipotesis ini menyisakan permasalahan: bagaimana peristiwa kekerasan di Yogyakarta diberitakan oleh surat kabar lokal dan nasional? Perspektif apa yang digunakan? Mengapa demikian? Strategi pemberitaan merupakan cara wartawan membangun perspektif yang dipilih. Strategi tersebut dapat berupa pemanfaatan bagian-bagian dari struktur berita seperti judul berita, teras berita, dan tubuh berita. Yang menjadi pertanyaan bagaimana bagian-bagian dari struktur berita tersebut dimanfaatkan untuk membangun perspektif tertentu. Kutipan (I.1) dan (I.2) di atas menunjukkan bahwa teras berita dimanfaatkan untuk menonjolkan aspek tertentu. Selain teras berita, judul berita juga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sarana membangun perspektif. Perhatikan dua contoh judul berita berikut. (I.3) (I.4)
Haka Janji Serius Usut (Tribun Jogja, 31/05/14) Toleransi Beragama di Yogyakarta Terancam (Koran Tempo, 31/05/14)
Kutipan (1.3) merupakan judul berita tentang peristiwa Ngaglik dari Tribun Jogja, sedangkan kutipan (I.4) dari Koran Tempo. Kedua judul di atas menunjukkan tema yang berbeda tentang peristiwa Ngaglik. Kutipan (I.3) menonjolkan Haka (Brigjen. Pol. Haka Astana, Kapolda DIY) yang berjanji
6
mengusut kasus Ngaglik. Sementara itu, kutipan (I.4) menonjolkan dampak dari peristiwa Ngaglik, yaitu terancamnya toleransi beragama di Yogyakarta. Kedua surat kabar tersebut sama-sama menggunakan strategi penjudulan yang merupakan bagian dari tematisasi (bdk. Brown dan Yule, 1983). Yang menjadi permasalahan, strategi pemberitaan apa saja yang digunakan oleh surat kabar lokal dan nasional dalam memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta? Bagaimana strategi tersebut digunakan? Terakhir, bentuk-bentuk ekspresi bahasa merupakan fakta-fakta bahasa dalam wacana berita yang digunakan oleh wartawan untuk membangun perspektif pemberitaan. Strategi pemberitaan berada di tataran wacana, sedangkan pemanfaatan bentuk-bentuk ekspresi bahasa berada di tataran yang lebih kecil seperti pilihan kata dan struktur kalimat. Sebagai contoh, Kompas dan Koran Tempo menggunakan beberapa pilihan kata tertentu untuk menggambarkan peristiwa kekerasan di Yogyakarta seperti pada contoh (I.5) dan (I.6) berikut. Di sisi lain, Harian Jogja dan Tribun Jogja menggunakan pilihan-pilihan kata tertentu untuk menggambarkan apa yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian seperti pada contoh (I.7) dan (I.8) berikut (garis bawah ditambahkan). (I.5)
(I.6)
(I.7)
Para penyerang merusak rumah dan melukai sejumlah orang termasuk wartawan Kompas TV yang sedang meliput (Kompas, 31/05/14). Pada siang hari, datang massa dan menggeruduk bangunan itu. Mereka melempari gereja dengan benda-benda keras (Koran Tempo, 01/06/14). Kepolisian berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut. (Harian Jogja, 04/06/14)
7
(I.8)
Jajaran Kepolisian Daerah DIY meringkus KH, salah seorang yang diduga penggerak serangan berdarah ke rumah Julius Felicianus…. (Tribun Jogja, 31/05/14)
Pilihan kata yang digunakan Kompas dan Koran Tempo seperti merusak, melukai, dan menggeruduk menggambarkan bahwa benar-benar telah terjadi kekerasan di Yogyakarta. Sementara itu, Harian Jogja dan Tribun Jogja lebih memberikan perhatian pada pihak kepolisian sehingga muncullah pilihan-pilihan kata yang erat hubungannya dengan polisi seperti mengusut dan meringkus. Hal tersebut menandakan bahwa bentuk-bentuk ekspresi bahasa—dalam contoh ini pilihan kata—juga dimanfaatkan oleh surat kabar untuk membangun perspektif. Pertanyaanya, bentuk-bentuk ekspresi bahasa apa saja yang digunakan dan bagaimana penggunaannya untuk membangun perspektif tertentu?
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, secara umum masalah dalam penelitian ini adalah ―Bagaimana surat kabar lokal dan nasional memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta dan mengapa demikian?‖ Masalah umum tersebut dapat dijabarkan menjadi tiga masalah khusus berikut. 1.2.1 Apa perspektif pemberitaan yang digunakan surat kabar lokal dan nasional dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta dan mengapa demikian? 1.2.2 Bagaimana strategi pemberitaan yang digunakan surat kabar lokal dan nasional untuk mewujudkan perspektif pemberitaan atas wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta?
8
1.2.3 Bagaimana bentuk-bentuk ekspresi kebahasaan dimanfaatkan untuk mewujudkan perspektif pemberitaan atas wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.3.1 Menjelaskan perspektif pemberitaan yang digunakan surat kabar lokal dan nasional dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta dan menjelaskan mengapa demikian. 1.3.2 Memerikan perwujudan perspektif pemberitaan yang dilakukan surat kabar lokal dan nasional yang memanfaatkan strategi pemberitaan dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta. 1.3.3 Memerikan perwujudan perspektif pemberitaan yang dilakukan surat kabar lokal dan nasional yang memanfaatkan bentuk-bentuk ekspresi kebahasaan dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini adalah perian interpretasi perspektif pemberitaan dan perwujudan perspektif tersebut yang digunakan surat kabar lokal dan nasional dalam memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta. Adapun secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan linguistik khususnya analisis
9
wacana (kritis). Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan positif pembelajaran bahasa. Bagi bidang linguistik, hasil penelitian ini diharapkan mengukuhkan teori tentang bahasa dan kekuasaan, bahwa penggunaan bahasa dalam konteks sosial tertentu dipengaruhi oleh ideologi yang mendasarinya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan memberikan wawasan tentang kajian wacana berupa teks berita yang mempunyai tingkat intertekstualitas yang cukup banyak. Sementara itu, bagi pembelajaran bahasa, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan bahan pembelajaran baik untuk menulis teks berita yang memuat ideologi tertentu maupun untuk menganalisis teks berita itu sendiri secara kritis. Para peserta didik sejak tingkat menengah perlu ditanamkan sikap kritis. Kesadaran untuk bersikap kritis melalui analisis teks-teks media dalam pembelajaran bahasa di sekolah diharapkan melahirkan generasi yang lebih kritis, kreatif, dan tidak apatis. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan kasus kekerasan seperti pemerintah, kepolisian, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum itu sendiri untuk mengambil sikap dan kebijakan atas kasus intoleransi yang terjadi. Tujuannya supaya kejadian tersebut tidak terulang kembali.
1.5 Tinjauan Pustaka Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, kajian analisis wacana kritis tentang teks-teks media, baik teks berita maupun teks nonberita sudah pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Berikut ini dipaparkan penelusuran
10
pustaka yang relevan sebagai langkah awal sebelum mengkaji wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta. Kajian tentang perspektif dalam wacana berita setidaknya pernah disinggung dan dibahas oleh van Dijk (1988a) dan Widharyanto (2000). Van Dijk (1988a) dalam bukunya yang berjudul News Analysis: Case Studies of International and National News in the Press pada bab III dan IV mengatakan bahwa perspektif merupakan bagian penting dari analisis wacana berita. Dalam pembahasan tentang berita-berita para penghuni liar (squatters) di Inggris, perspektif yang sering digunakan adalah perspektif kepolisian. Wartawan sebagai penulis berita hanya mengandalkan sumber berita dari pihak polisi. Akibatnya, hal-hal negatif dari pihak kepolisian seperti kekerasan dan kebrutalan polisi dalam peristiwa penertiban para penghuni liar tidak terberitakan. Pihak yang dipersalahkan melulu pada para penghuni liar. Sementara itu, Widharyanto (2000) dalam disertasinya yang berjudul ―Manifestasi Perspektif Pemberitaan Surat Kabar Indonesia pada Akhir Era Orde Baru ke dalam Strategi Penyajian Informasi dan Bentuk-Bentuk Ekspresi‖ mengkaji wacana berita tentang peristiwa-peristiwa di akhir masa Orde Baru dalam Angkatan Bersenjata, Suara Karya, Kompas, dan Republika. Dua media pertama memiliki latar belakang dekat dengan pemerintah, sedangkan dua media terakhir mewakili ideologi media independen yang berbasis agama—Kompas berlatar belakang sejarah Katolik dan Republika berideologi Islam. Sesuai judulnya, permasalahan yang dikaji adalah perspektif pemberitaan dan manifestasinya melalui strategi penyajian informasi dan bentuk-bentuk
11
ekspresi kebahasaan. Perspektif pemberitaan tersebut dikaji dengan tiga konteks yang berbeda, yaitu topik, partisipan, dan nada pemberitaan. Topik merupakan pijakan awal pemberitaan yang seterusnya mengarahkan isi kesuluruhan laporan berita. Partisipan merupakan pihak-pihak yang dijadikan sumber berita. Perspektif akan tampak melalui pemakaian sudut pandang partisipan tertentu. Nada pemberitaan merupakan sikap wartawan terhadap pendapat-pendapat para partisipan. Sikap tersebut bisa mendukung atau menolak. Sementara itu, strategi penyajian informasi terdiri atas data judul berita, data pilihan tematik, data struktur tematik, dan staging atau penahapan. Terakhir, bentuk-bentuk ekspresi bahasa meliputi ketransitifan, tindak tutur, pilihan kata, metafora, struktur informasi, modalitas, dan nominalisasi. Dari disertasi tersebut diketahui bahwa ada tiga perspektif pemberitaan surat kabar di era akhir Orde Baru, yaitu pro pemerintah, pro mahasiswa, dan netral. Surat kabar Angkatan Bersenjata dan Suara Karya lebih cenderung memakai perspektif pro pemerintah, sedangkan Kompas dan Republika menggunakan ketiga perspektif tersebut secara lebih berimbang. Perspektif tersebut tampak dalam strategi pemberitaannya. Kerangka kerja dalam disertasi tersebut diadaptasi dalam penelitian ini. Kajian yang mirip dengan milik Widharyanto di atas adalah penelitian yang dilakukan oleh Subagyo (2012b). Hanya saja, Subagyo membahas wacana tajuk, bukan wacana berita. Subagyo (2012b) mengkaji wacana tajuk atau editorial dalam disertasinya yang berjudul ―Bingkai dalam Wacana Tajuk tentang Terorisme: Kajian Pragmatik Kritis Editorial Suara Pembaruan dan Republika‖.
12
Dalam disertasi tersebut, ditawarkan pendekatan yang memadukan pragmatik dengan analisis wacana kritis dengan pertimbangan jika hanya menggunakan salah satu pendekatan, ada beberapa aspek yang tidak tercakup. Permasalahan dalam disertasi tersebut adalah apa, bagaimana, dan mengapa bingkai dan pembingkaian dalam wacana tajuk tentang terorisme Suara Pembaruan dan Republika. Bingkai tersebut dapat diringkas dengan rumus 5W+1H yaitu ―Terorisme di Indonesia berupa peledakan bom yang terjadi pada waktu W, di tempat T, korbannya K, pelakunya P, dalangnya D, dengan motif M, dan terjadi/dilakukan dengan cara C‖. Unsur yang tidak jelas dan memicu perbedaan bingkai antara Suara Pembaruan dan Republika adalah siapa dalang dan apa motifnya. Adapun bingkai yang berhasil direkonstruksi adalah sebagai berikut. Suara Pembaruan menggunakan bingkai ―Dalang teror adalah Jamaah Islamiyah dan jaringannya dengan motif melakukan kejahatan dengan mengatasnamakan Islam‖. Sementara itu, Republika menggunakan bingkai ―Dalang teror adalah intelejen Amerika Serikat dan sekutunya dengan motif menguasai sumber daya alam Indonesia dengan melemahkan umat Islam‖. Bingkai tersebut dibuktikan dengan rekonstruksi pembingkaian yang memanfaatkan sasaran dan tujuan tutur, strategi beropini, dan bentuk-bentuk ekspresi bahasa. Pola yang digunakan Subagyo tersebut diadopsi dalam penelitian ini. Selain Widharyanto (2000) dan Subagyo (2012b), Hamad (2004) dan Subagyo (2012a) pernah mengkaji wacana berita dengan membandingkan berbagai macam media. Hamad (2004) dalam buku Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-
13
Berita Politik yang semula merupakan disertasi S-3 di Program Pascasarjana Universitas Indonesia membedah penggambaran tentang sembilan partai politik (PPP, PDIP, PDKB, PAN, PBB, PK, Partai Golkar, PKB, dan PKP) yang menjadi peserta pemilu 1999 dalam pemberitaan sepuluh media massa cetak: Haluan, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Bali Post, dan Fajar. Dari pembahasan tersebut tampak bahwa ideologi masing-masing media mempengaruhi cara setiap media dalam mengkonstruksi sembilan partai tersebut. Sementara itu, Subagyo (2012a) dalam artikelnya yang berjudul ―Angie Berbohong? Kajian CDA atas Bingkai (Frame) tentang Angelina Sondakh dalam Beberapa Judul Berita‖ membandingkan tujuh judul pemberitaan dari tujuh media massa (Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Kompas, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, dan Koran Tempo) tentang sidang kasus korupsi yang melibatkan Angelina Sondakh (Angie) yang dimuat pada tanggal 16 Februari 2012. Sidang tersebut mendapatkan banyak reaksi dari berbagai pihak. Reaksi yang paling keras mengatakan bahwa apa yang dikatakan Angie dalam sidang tersebut merupakan kebohongan. Dari ketujuh media di atas, hanya Jurnal Nasional yang dinyatakan tidak menuduh Angie berbohong, sementara keenam media yang lain secara tersurat dan tersirat menuduh Angie berbohong. ―Pembelaan‖ yang dilakukan Jurnal Nasional bukan tanpa alasan. Menurut hasil interpretasi dalam artikel tersebut, Jurnal Nasional yang mempunyai hubungan dekat dengan Partai Demokrat dianggap membela Angie yang juga merupakan
14
kader dan anggota DPR dari Partai Demokrat. Dengan demikian, latar belakang media massa mempengaruhi pilihan perspektif dalam melihat sebuah peristiwa. Adapun kajian wacana terhadap teks berita tentang intoleransi pernah dilakukan oleh Eriyanto (2012b) dan Irianti (2012). Eriyanto (2012b) dalam bukunya Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media pada Bab VII tentang analisis wacana kritis model Roger Fowler dkk. hanya memberikan contoh sederhana bagaimana Republika, Suara Pembaruan dan Kompas melihat peristiwa kerusuhan bernuansa agama di Ambon pada tahun 1999. Dijelaskan bahwa Republika secara tegas menggunakan pilihan kata bermakna kejam seperti pembantaian. Sementara itu, Suara Pembaruan dan Kompas lebih berhati-hati dengan menggunakan pilihan kata yang lebih netral seperti tragedi, konflik, dan pertikaian.
Pilihan
kata
yang
dipakai
Republika,
yaitu
pembantaian
mengimplikasikan adanya pelaku dan korban sehingga dengan tegas Republika menilai ada yang harus dipersalahkan dan dibela atas peristiwa tersebut. Di sisi lain, pilihan kata yang dipakai Suara Pembaruan dan Kompas terkesan netral. Pilihan kata seperti tragedi, konflik, dan pertikaian tidak mengimplikasikan adanya pelaku khusus yang harus dipersalahkan. Pilihan kata tersebut justru dapat diinterpretasikan sebagai pandangan Suara Pembaruan dan Kompas yang tidak ingin memberikan penilaian atas peristiwa tersebut. Jika Eriyanto di atas membandingkan tiga media massa, Irianti (2012) hanya membahas harian Kompas dalam skripsinya yang berjudul ―Analisis Wacana mengenai Toleransi Beragama dalam Surat Kabar Harian Umum Kompas Edisi Tahun 2010‖. Iriana melihat pada tahun 2010, Kompas banyak menerbitkan
15
artikel-artikel tentang toleransi beragama di Indonesia. Setelah dianalisis dengan kajian analisis wacana kritis model Roger Fowler dkk. disimpulkan bahwa bagi harian Kompas, toleransi beragama merupakan suatu sikap untuk menghormati, saling menghargai dan memahami hak asasi manusia atau kelompok dalam hal memilih keyakinan masing-masing dalam beragama tanpa ada unsur paksaan memasuki agama ataupun tindak diskriminasi dalam menjalankan keyakinannya tersebut. Kompas dalam mewacanakan kasus toleransi beragama menggunakan pilihan kata tertentu dan tata bahasa (sintaksis) yang memposisikan kelompok minoritas sebagai aktor utama sehingga isi beritanya lebih terfokus pada kelompok minoritas mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, tindak anarkis dari kelompok yang mayoritas. Dari penelusuran pustaka di atas, kajian tentang perspektif pemberitaan terhadap wacana berita tentang peristiwa intoleransi di Yogyakarta belum pernah dibahas. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dilaksanakan.
1.6 Landasan Teori Sebagai pijakan awal dalam pembahasan penelitian ini, dipaparkan gagasan-gagasan teoretis yang menjadi landasan mengkaji objek penelitian. Landasan teoretis tersebut disajikan dengan kerangka pikir sebagai berikut. Objek penelitian ini berupa wacana berita yang dipandang sebagai praktik penggunaan bahasa yang tidak netral atau memuat ideologi. Ideologi tersebut terepresentasi dalam perspektif pemberitaan dan strategi pemberitaannya. Untuk mengetahui perspektif pemberitaan tersebut, objek penelitian dikaji dengan pendekatan
16
analisis wacana kritis. Oleh karena itu, gagasan teoretis yang akan disajikan adalah (i) berita sebagai wacana, (ii) perspektif pemberitaan dan strategi pemberitaan, dan (iii) analisis wacana kritis.
1.6.1 Berita sebagai Wacana Jika dianalogikan dengan sebuah toko, barang-barang yang bisa dikatakan ―dijual‖ oleh sebuah lembaga jurnalistik adalah berita. Teks berita dalam praktik jurnalistik menduduki posisi utama. Nasib sebuah perusahaan yang bekerja di bidang jurnalistik bergantung pada beritanya. Jika berita yang diproduksi layak jual, biro-biro iklan akan berbondong-bondong menyewa ruang dalam media tersebut dan mendatangkan untung bagi perusahaan media. Namun, jika kualitas berita yang dihasilkan rendah, cepat atau lambat perusahaan media tersebut akan gulung tikar (Barus, 2010: 21) Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah apa yang disebut berita. Ada dua pandangan utama dalam mendefinisikan berita, yaitu menurut Pers Timur dan Pers Barat. Bagi Pers Timur yang berasaskan sosialis-komunis, berita bukanlah ―komoditi‖ atau ―barang dagangan‖ dalam perusahaan jurnalistik. Berita adalah sebuah teks yang berfungsi untuk mendidik dan dan memelihara negara sosialis (Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2012: 32). Dengan demikian pers atau media bagi negara-negara Timur merupakan sebuah alat bagi negara untuk mengatur masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan paham Pers Barat yang memandang berita sebagai ―barang dagangan‖. Oleh karena itu, sebagai barang dagangan, berita
17
harus ―menarik‖ supaya laku jual. Dari konsep tersebut, para pemikir Barat mendefiniskan berita dari sudut pandang yang berbeda dari Pers Timur. Berikut dipaparkan pengertian-pengertian berita dari para ahli Barat yang telah dikumpulkan oleh Kusumaningrat dan Kusumaningrat (2012) dan Barus (2010). Lord Northcliffe mengatakan bahwa berita adalah segala sesuatu yang luar biasa (news is anything out of ordinary). Sementara itu, Walkley menambahkan adanya unsur kejutan (combined with the element of surprise). Oleh karena itu, jika ada anjing menggigit manusia, itu bukanlah berita; namun jika ada manusia menggigit anjing, itu baru berita. Menurut Williard C. Bleyer, berita adalah suatu kejadian aktual yang diperoleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar karena menarik atau mempunyai makna bagi pembaca. Dari Indonesia, Jacob Oetama menyatakan bahwa berita bukan fakta, melainkan laporan tentang fakta itu sendiri. Suatu peristiwa menjadi berita hanya apabila ditemukan dan dilaporkan oleh wartawan atau membuatnya masuk dalam kesadaran publik dan dengan demikian menjadi pengetahuan publik. Van Dijk (1988b) membedakan berita menjadi dua berdasarkan cara mempublikasikannya, yaitu yang dimuat di media massa dan yang hanya dipublikasikan secara personal dari orang yang satu ke orang yang lain. Bagi van Dijk, berita yang lebih layak untuk dianalisis sebagai sebuah wacana adalah berita yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik (dan sekarang internet).
18
Dari pemahaman di atas, berita baik dari perspektif Timur maupun Barat, mendefinisikan berita sebagai sebuah laporan yang memuat informasi sebuah peristiwa, kejadian, ataupun opini yang dimuat di media massa dan mempunyai tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa hanya sebatas mengabarkan hal yang menarik, tetapi juga bisa menjadi alat propaganda yang efektif untuk mempengaruhi masyarakat. Berpijak dari definisi Jacob Oetama bahwa berita bukanlah fakta melainkan laporan tentang fakta itu sendiri, dapat diasumsikan bahwa wacana berita sebenarnya merupakan hasil rekonstruksi atas sebuah fakta yang dilakukan oleh wartawan dan redaksi media massa. Rekonstruksi tersebut dilakukan dengan ideologi media yang bersangkutan. Dengan demikian, berita dapat dipandang sebagai sebuah wacana dalam arti penggunaan bahasa berbasis kekuasaan dan ideologi. Hal tersebut sejalan dengan anekdot yang disampaikan oleh Derick Daniels (melalui Ishwara, 2011: 65) yang menceritakan seorang pendeta, seorang ahli geologi, dan seorang koboi yang berdiri bersama-sama untuk pertama kalinya di depan Grand Canyon. Sang pendeta berkata, ―Suatu keajaiban dari Tuhan.‖ Ahli geologi berpendapat, ―Suatu keajaiban dari ilmu pengetahuan.‖ Sementara itu, si koboi justru berkata, ―Suatu tempat yang cocok untuk menggembalakan sapi.‖ Sebuah fakta bernama Grand Canyon ternyata mendapat tiga ―laporan‖ berbeda dari pendeta, ahli geologi dan koboi sesuai dengan latar belakang dan ―ideologi‖ yang mereka yakini.
19
Demikian juga dengan berita. Peristiwa Ambon tahun 1999 dilaporkan sebagai pembantaian oleh Republika, sementara oleh Kompas dan Suara Pembaruan direpresentasikan sebagai konflik atau pertikaian (Eriyanto, 2012b. Kontes Miss World 2013 di Indonesia bisa disebut sebagai peluang mengenalkan budaya Indonesia di mata dunia, tetapi juga bisa dianggap sebagai kegiatan yang tidak menghormati kaum wanita (Ahmadi, 2013). Pemberitaan tentang sebuah demonstrasi buruh bisa jadi hanya ditekankan pada aspek kerusuhan yang dihasilkannya, bukan pada penyebab para buruh berdemonstrasi (Eriyanto, 2013). Semua itu bergantung pada perspektif pemberitaan yang digunakan atau dari sudut padang mana sebuah fakta dilaporkan.
1.6.2 Perspektif Pemberitaan Perspektif secara sederhana dapat dipahami sebagai sudut pandang. Namun, sudut pandang dalam hal ini bukanlah sudut pandang dalam kajian struktural prosa yang berarti posisi pencerita, apakah sebagai orang pertama, ataukah sebagai orang ketiga, baik mahatahu maupun terbatas. Sudut pandang dalam konsep penelitian ini merupakan cara wartawan melihat sebuah peristiwa. Renkema (2004) menganalogikan perspektif seperti seorang juru kamera yang akan mengambil gambar. Perspektif seperti angle atau posisi juru kamera mengambil gambar. Perspektif tersebut berdampak pada hasil gambar dari objek yang difoto. Hal tersebut sesuai dengan anekdot dalam subbab sebelumnya tentang Grand Canyon. Dari perspektif religius, pendeta melihat Grand Canyon sebagai keagungan Tuhan; bagi seorang teknokrat, ahli geologi memandang
20
Grand Canyon dari segi ilmu pengetahuan; sedangkan seorang koboi memakai perspektif peternakan. Renkema juga menjelaskan bahwa ada tiga pendekatan dalam mengkaji perspektif, yaitu visi, fokalisasi, dan empati. Fokalisasi merupakan pendekatan perspektif dalam bidang sastra, sedangkan empati dalam bidang psikolinguistik. Pendekatan perspektif yang lebih cocok untuk mengkaji wacana berita adalah visi. Visi lebih mendasarkan pada bidang sosiologi politik dan mengaitkan kajian perspektif ini dengan aspek ideologi. Keraf (1980: 86-87) menyatakan bahwa perspektif atau sudut pandang adalah tempat dari mana seorang pengarang melihat sesuatu. Perspektif mencakup pengertian bagaimana pandangan atau anggapan penutur/penulis terhadap subjek yang sedang digarapnya. Misalnya, seorang penulis membuat artikel tentang pemuda-pemudi yang kecanduan ganja dengan bertolak dari sudut pandang yang penuh simpati dan kesedihan, dan mengemukakan bahwa terseretnya mereka dalam kebiasaan buruk itu karena kesalahan orang tuanya. Sementara itu, jika penulis tersebut bertolak dari sudut pandang yang penuh permusuhan dan kemarahan, perbuatan semacam itu hanya dipandang sebagai hal yang merusak moral dan berbahaya bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, penulis memilih nada tertentu, pilihan kata tertentu, dan bentuk kebahasaan lain tertentu yang menggambarkan rasa permusuhan tersebut. Dengan demikian perspektif membantu merumuskan maksud penulis dan membatasi pokok yang digarapnya. Widharyanto (2000) memakai konsep perspektif ini untuk mengkaji penggunaan bahasa dalam pemberitaan. Perspektif diartikan sebagai sudut
21
pandang dalam melihat sesuai yang didasari oleh latar belakang nilai-nilai keyakinan, pengetahuan, dan pandangan hidup wartawan sebagai penulis berita. Sudut pandang dengan segala latar belakangnya tersebut digunakan wartawan untuk melihat, memproses, membuat, dan melaporkan suatu peristiwa dalam interaksi sosial yang dikemas dalam wujud berita. Analisis terhadap perspektif pemberitaan digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektif media tersebut. Perspektif tersebut menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditojolkan, dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Nugroho, Eriyanto, dan Surdiasis melalui Sobur, 2001: 162) Perspektif pemberitaan tersebut tidak diujarkan secara eksplisit oleh wartawan, melainkan terwujud dalam strategi pemberitaannya dan melalui bentuk-bentuk ekspresi bahasa yang digunakan. Strategi pemberitaan atau oleh Widharyanto (2000) disebut sebagai strategi penyajian informasi merupakan cara wartawan memilih informasi tertentu sebagai tema, judul, dan menata serta mengembangkan informasi tersebut dalam struktur linear wacana. Van Dijk (1988a) memberikan contoh bagaimana perspektif diwujudkan dengan strategi pemberitaan pada kasus berita tentang para penduduk liar (squatters) di Inggris. Berita-berita yang dianalisis van Dijk tersebut memakai perspektif polisi sehingga para penduduk liar diposisikan sebagai pihak yang
22
melawan polisi atau dengan kata lain sebagai pihak yang bersalah. Sementara itu, sisi kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhadap para penduduk liar justru disamarkan. Untuk mengetahui perspektif pemberitaan, sebuah wacana berita perlu dikaji secara kritis. Oleh karena itu, analisis wacana kritis menjadi alat yang tepat untuk digunakan membedah wacana berita.
1.6.3 Analisis Wacana Kritis Analisis wacana kritis (AWK, critical discourse analysis, CDA) merupakan pendekatan yang relatif baru dalam linguistik dan ilmu-ilmu sosial lain. AWK bisa dikatakan muncul ketika pendekatan kontekstual pragmatik dalam linguistik tidak cukup untuk membongkar ideologi dalam penggunaan bahasa. Dilihat dari sudut pandang filsafat ilmu, objek forma dari AWK adalah wacana (discourse). Wacana secara sederhana dapat dipahami sebagai bahasa dalam penggunaan atau komunikasi (McHoul dalam Asher dan Simpson, 1994: 940). Kajian terhadap wacana itu sendiri sudah lama dilakukan dan tidak hanya dalam linguistik. Sejak zaman Aristoteles, sudah dikenal sebuah kajian yang menganalisis variasi struktur wacana dalam bidang retorika. Sementara itu, di bidang antropologi dan ilmu sastra, mulai dikenal aliran Formalisme Rusia dan Strukturalisme Prancis yang juga membahas wacana. Keduanya mendapatkan pengaruh dari aliran strukturalisme Saussure (van Dijk, 1988b: 18-19). Baru kemudian, dalam dunia linguistik, pendekatan analisis wacana pertama kali dikenalkan oleh Zellig Harris (1955) yang mengenalkan istilah discourse analysis.
23
Dalam tulisan tersebut Harris membahas teks iklan dengan menganalisis hubungan kalimat-kalimat penyusunnya dan relasi teks dengan masyarakat dan budaya (Renkema, 2004: 7). Dalam perkembangannya, kajian terhadap wacana dalam linguistik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pendekatan formal, pendekatan sosiologis empiris, dan pendekatan kritis (McHoul dalam Asher dan Simpson, 1994: 940; Richardson, 2007: 21-26; Subagyo, 2009). Melalui pendekatan formal, wacana dipahami sebagai satuan kebahasaan yang lebih besar dari kalimat (discourse as text). Kajian wacana dengan pendekatan sosiologis empiris memahami wacana sebagai sebuah tuturan (discourse as convertation). Analisis wacana jenis ini dianut oleh ahli-ahli fungsionalis (Richardson, 2007: 23). Dalam pendekatan ini, bahasa dikaji berdasarkan konteksnya. Konteks yang dimaksud terkait dengan situasi tutur seperti penutur, mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tutur, dan tindak tutur (Leech, 1983: 13-14; Wijana 1996:11-12) atau konteks buah pemikiran Hymes (1972; 1974: 53-62) yang sering disingkat SPEAKING (setting, participant, end, act, key, instrument, norm, dan genre). Dalam linguistik, pendekatan ini tecermin dalam sosiolinguistik dan pragmatik. Pendekatan ketiga, yaitu pendekatan kritis, memandang bahasa sebagai kekuasaan (power) (McHoul, dalam Asher dan Simpson, 1994: 940). Pendekatan kritis dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari dua pendekatan di atas karena kajian formal dan sosiologis empiris kurang dapat mengkaji penggunaan bahasa yang memuat kekuasaan dan ideologi (Fairclough, 1989). Pendekatan kritis inilah yang kemudian dikenal sebagai analisis wacana kritis.
24
AWK sebagai sebuah aliran dapat dikatakan mulai mucul pada akhir abad XX dalam sebuah simposium kecil di Amsterdam pada tahun 1991 yang diprakarsai oleh Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, Gunther Kress, Theo van Leeuwen, dan Ruth Wodak (Wodak dan Meyer, 2010: 3). Sebelum itu, AWK sebenarnya sudah dimulai melalui aliran linguistik kritis yang berkembang di Amerika dan Australia pada akhir 1970an dengan pelopor Roger Fowler dkk. yang mengikuti pemikiran Halliday. AWK memandang bahasa sebagai praktik sosial (Fairclough 1995: 135). AWK
adalah
penyalahgunaan
sebuah
tipe
kekuasaan
analisis sosial,
wacana dominansi,
yang dan
utamanya
mengkaji
ketidakadilan
yang
direproduksi dalam teks dan percakapan dalam konteks sosial dan politik. AWK ingin melawan ketidaksetaraan sosial (van Dijk, 2001: 352). AWK terinspirasi dari aliran Frankfurt sebelum Perang Dunia II (Agger 1992 dan Rasmussen 1996 dalam van Dijk, 2001: 352). Kala itu di Jerman sedang berlangsung proses propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi oleh prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi alat dari pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Dari situ, aliran Frankfurt melahirkan aliran kritis yang mengasumsikan adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi (Eriyanto, 2012a: 23). Ada beberapa syarat dalam wacana yang harus dipenuhi supaya kajian kritis dapat efektif (Wodak, 1996: 17–20; Titscher dkk., 2000: 146; van Dijk, 2001: 353). Pertama, AWK berhubungan dengan dan mengkaji masalah sosial.
25
AWK adalah analisis yang bersifat linguistik dan semiotik atas proses-proses dan permasalahan sosial dan kultural. Oleh karena itu, AWK bersifat interdisipliner. Kedua, relasi kekuasaan tidak tersambung dengan baik. AWK mengkaji kekuasaan dalam wacana dan atas wacana. Ketiga, wacana mengangkat masyarakat dan budaya. Budaya dan masyarakat secara dialektis berhubungan dengan wacana: masyarakat dan budaya dibentuk oleh wacana dan sekaligus menyusun wacana. Setiap penggunaan bahasa mereproduksi dan mentransformasi masyarakat dan budaya, termasuk relasi kekuasaan. Keempat, wacana mengandung ideologi. Ideologi merupakan cara tertentu untuk mewakili dan membangun masyarakat yang mereproduksi kekuasaan yang tidak seimbang, hubungan dominasi, dan ekspoitasi. Untuk memastikannya, teks perlu dianalisis guna meneliti interpretasi, penerimaan, dan efek sosialnya. Kelima, wacana bersifat historis dan hanya bisa dipahami terkait dengan konteksnya. Makna suatu wacana tergantung pada penggunaannya dalam situasi tertentu. Wacana tidak hanya tertanam dalam suatu ideologi, sejarah, atau budaya tertentu, namun juga berhubungan dengan wacana-wacana lain. Artinya, wacana dalam AWK bersifat intertekstual. Keenam, ada hubungan antara teks dengan masyarakat. Hubungan tersebut bersifat tidak langsung, namun terwujud melalui perantara, seperti kognisi. Ketujuh, analisis wacana bersifat interpretatif dan eksplanatif. Analisis kritis menyiratkan adanya suatu metodologi sistematis dan hubungan antara teks dan kondisi sosial, ideologi, dan relasi kekuasaan. Interpretasi senantiasa bersifat dinamis dan terbuka bagi konteks dan informasi baru.
26
Terakhir, wacana merupakan bentuk dari aksi sosial. AWK dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu ilmiah sosial yang eksplisit atas fokus perhatiannya dan cenderung menerapkan penemuannya pada masalah praktis. Van Dijk (2001) menyebutkan bahwa penggunaan bahasa, wacana, dan interaksi verbal merupakan level mikro (micro-level) dari keadaan sosial. Sementara itu, kekuasaan, dominansi, dan ketidakadilan antara kelompok sosial merupakan bagian dari level makro (macro-level) dalam analisis. AWK secara teoretis menjembatani ―jurang‖ antara pendekatan mikro dan makro tersebut. Setidaknya, ada lima ranah yang dapat dikaji dengan AWK, yaitu ketidakadilan gender, wacana media, wacana politik, etnosentrisme dan rasisme, serta dominasi kelompok dalam institusi dan bidang tertentu.
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) penyediaan data, (ii) analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis data. Setiap tahap menggunakan metode dan teknik tertentu. Berikut dipaparkan metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini.
1.7.1 Metode Penyediaan Data Objek penelitian ini adalah perspektif pemberitaan dan strategi pemberitaan tersebut dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta Kedaulatan Rakyat, Bernas, Harian Jogja, Tribun Jogja, Kompas, dan Koran Tempo. Oleh karena itu, data yang diperlukan berupa teks-teks berita keenam
27
media tersebut tentang peristiwa di Sleman yang terjadi pada tanggal 29 Mei dan 1 Juni 2014. Adapun edisi yang dijadikan data adalah antara tanggal 30 Mei sampai dengan sekitar minggu kedua bulan Juni 2014. Data dikumpulkan dan disediakan menggunakan metode simak dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Adapun manifestasi dari metode ini adalah sebagai berikut. Pertama, mengumpulkan keenam surat kabar surat kabar edisi 30 Mei sampai dengan kurang lebih minggu kedua Juni 2014. Kedua, mencari teks-teks berita tentang peristiwa kekerasan di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 29 Mei dan 1 Juni 2014. Ketiga, mengkliping teks-teks tesebut dengan cara memfotokopinya. Keempat, mencatat kembali teks-teks tersebut untuk digunakan sebagai data penelitian pada tahap analisis data.
1.7.2 Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis sesuai rumusan permasalahan dan tujuan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam tahap analisis data ini adalah metode analisis wacana tiga dimensi dalam rangka analisis wacana kritis yang dikemukakan Fairclough (1995). Fairclough membagi wacana dalam tiga dimensi, yaitu (i) teks (text), (ii) praktik wacana (discourse practice), dan (iii) praktik sosiokultural
(sociocultural
practice). Setiap dimensi
dihubungkan dengan langkah-langkah analisis, yaitu deskripsi (description), interpretasi (interpretation), dan eksplanasi (explanation) seperti tampak dalam gambar berikut.
28
Gambar 1: Analisis Tiga Dimensi dalam Analisis Wacana Kritis (Fairclough, 1995: 98)
Process of production
Text
Process of interpretation
Description (text analysis) Interpretation analysis)
(processing
Explanation analysis)
(social
Discourse practice
Sociocultural practice (Situational; institutional; societal)
Dari bagan di atas, ada tiga langkah kerja dalam tiga tahapan, yaitu teks, praktik wacana, dan praktik sosiokultural. Pada tahapan teks, dilakukan analisis isi terhadap data yang berupa wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta. Teks dideskripsikan untuk memahami isi dan informasi apa saja yang ada dalam teks yang dimungkinkan bersifat ideologis. Pada analisis ini, diketahui apa saja yang diberitakan terkait dengan peristiwa kekerasan di Yogyakarta dan sisi mana saja yang ditonjolkan. Pada tahapan praktik wacana, apa yang ditemukan dalam analisis teks dihubungkan dengan latar belakang dan ideologi media massa. Setelah mengetahui deskripsi apa saja dan dari sisi mana saja peristiwa kekerasan di
29
Yogyakarta diberitakan, teks diinterpretasikan dengan mengajukan pertanyaan mengapa dan apa tujuannya. Pada tahapan praktik sosiokultural, hasil interpretasi pada tahapan praktik wacana dijelaskan dengan mengaitkannya dengan konteks sosial yang dalam hal ini konteks Indonesia sebagai negara dengan semboyan ‖Bhinneka Tunggal Ika‖. Dengan demikian, interpretasi menjadi tahap utama dalam penelitian ini. Sebagai peneliti bahasa, hal yang diinterpretasikan adalah fakta bahasa yang diasumsikan sebagai clue (tanda isyarat) (Tischer dkk., 2000: 150). Clue tersebut dapat berupa satuan lingual baik berupa kata, frasa, maupun kalimat yang kemudian diinterpretasikan sesuai dengan konteks (periksa Subagyo, 2012b: 58). Konteks dalam hal ini mengacu pada konteks sosial, historis, kekuasaan, dan ideologi (Richardson, 2007: 37). Adapun langkah-langkah manifestasi metode analisis tiga dimensi Fairclough adalah sebagai berikut. Untuk menjawab permasalahan tentang perspektif pemberitaan yang digunakan keenam media yang dipilih langkah yang dilakukan adalah mengidentifikasi clue berupa unsur-unsur berita dan menjelaskan hubungan antarunsur-unsur tersebut. Unsur-unsur berita yang dimaksud merupakan penjabaran konsep 5W1H. Pada tahapan ini, analisis dilakukan pada tataran wacana. Permasalahan
tentang
strategi
pemberitaan
dibahas
dengan
mengidentifikasi clue berupa bagian wacana yang dimanfaatkan untuk menonjolkan perspektif seperti judul, anak judul, teras berita (lead), dan tubuh
30
berita. Kemudian, hasil identifikasi tersebut dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai dengan konteks. Permasalahan ketiga tentang pemanfaatan bentuk-bentuk ekspresi bahasa dikaji dengan mengidentifikasi clue baik berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang diduga memuat maksud di balik penggunaannya, lalu dideskripsikan dan diinterpretasi berdasarkan konteks yang ada. Yang dimaksud dengan bentukbentuk ekspresi bahasa adalah apa yang disebut sebagai perangkat linguistik (linguistics tools) (Fairclough, 1989; Fowler, 1991; Richardson, 2007) seperti sistem ketransitifan, pilihan kata, modalitas, dan lain lain.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Setelah data dianalisis, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal. Penyajian dengan metode formal adalah perumusan dengan tanda, gambar, tabel, dan lambang-lambang. Pada metode informal hasil penelitian disajikan menggunakan kata-kata biasa yang dapat langsung dipahami secara mudah oleh pembacanya (Sudaryanto, 1993: 145).
1.8 Sistematika Penelitian Laporan hasil penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Bab Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
31
penelitian, ruang lingkup, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II memuat rekonstruksi perspektif pemberitaan surat kabar lokal dan nasional dalam memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta. Bab III membahas pemanfaatan strategi pemberitaan yang digunakan surat kabar lokal dan nasional sebagai perwujudan perspektif pemberitaan peristiwa kekerasan di Yogyakarta. Bab IV berisikan pemanfaatan bentuk-bentuk ekspresi kebahasaan yang digunakan sebagai perwujudan perspektif pemberitaan peristiwa kekerasan di Yogyakarta. Bab V berisikan kesimpulan dan saran