BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembahasan mengenai ilmu dan teknologi tidak terlepas dari tiga aspek yang mendasari kajian atau telaah yang mendalam mengenai hakikat ilmu. Tiga aspek tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Landasan aksiologi ilmu berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Pembahasan aksiologi ilmu tidak hanya mengenai apakah ilmu bebas nilai atau terkait nilai, tetapi juga berkaitan dengan apakah suatu ilmu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau justru membawa manusia pada kerusakan dan kesengsaraan. Pemahaman mengenai ilmu berdasarkan buku Susunan Ilmu Pengetahuan pada halaman 14 Van Peursen mencoba menyusun pengertian dasar atas ilmu bahwa ilmu memiliki kemandirian relatif, tidak dapat berdiri sendiri sebagai sistem terpencil, karena ilmu dapat menjadi alat bagi manusia untuk memudahkan dan mencapai tujuan tertentu dalam kehidupannya maupun menjadi alat bagi ideologi yang berbahaya untuk menyebarkan kebenarannya. Dengan membatasi diri setepat mungkin secara metodis dan dengan mempertanggung jawabkan setiap langkah selogis mungkin, ilmu sebagai suatu sistem terbuka yang tidak akan pernah berhenti
1
perkembangannya, dapat tetap berjalan sesuai dengan tujuan ilmu bagi kesejahteraan manusia (Van Peursen, 1989: 14). Perkembangan ilmu yang pesat dengan hasil-hasil yang kelihatan nyata dan berpengaruh terhadap kebudayaan dunia menyebabkan sedikit demi sedikit mengganti kedudukan takhayul dan agama. Ilmu dan teknologi dapat menggantikan ideologi yang dianut untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Ideologi lain dianggap hanya menghambat kemajuan dan pencapaian kesejahteraan, demikian juga agama, sehingga dapat menimbulkan konflik. Perkembangan ilmu dan teknologi pada akhirnya tetap tidak memadai, karena konsep kemajuan dan kesejahteraan kuantitatif tidak memuaskan manusia. Manusia menjadi objek ilmu dan teknologi. Manusia terfragmentasi oleh ilmu pengetahuan, sehingga tidak utuh lagi, demikian pula alam lingkungan. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu membantu manusia menguasai alam hingga sampai pada batas-batas tertentu manusia telah berhasil pada tujuan awalnya, tetapi manusia lupa bahwa ia merupakan bagian dari alam dan turut terkuasai oleh ilmu (Jacob, 1988: 9). Manusia selalu mengembangkan ilmu dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam perkembangannya, pengembangan
ilmu dan
teknologi tidak bebas dari problematika moral. Seringkali terdapat perdebatan terkait penerapan ilmu dan pemanfaatan teknologi bagi masyarakat maupun negara.
2
Perdebatan tersebut didasari oleh kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam suatu pengembangan ilmiah. Siapapun yang merasa mendapat keuntungan dari suatu kegiatan pengembangan ilmu akan berusaha keras untuk bisa memanfaatkan hasil suatu penelitian tersebut. Layaknya dua sisi mata pisau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya membawa keuntungan bagi manusia. Kerugian juga bisa didapati dari pengembangan ilmu dan teknologi. Kerugian bisa datang ketika manusia tidak memanfaatkan suatu temuan ilmiah secara tepat. Suatu contoh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merugikan manusia adalah penggunaan perantara biologi untuk melancarkan aksi teror atau bioterorisme. Terorisme dalam bentuk apapun bukan suatu hal yang dapat dimaklumi dan disepelekan. Secara etimologi, terorisme berasal dari kata latin terrere yang artinya kurang lebih membuat gemetar atau menggetarkan. Secara terminologi, terorisme dapat diartikan sebagai setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan keputusasaan. Pengertian terorisme mengalami perluasan paradigma dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) dari “Crimes against State” menjadi “Crimes against Humanity”.
Berkaitan dengan HAM, “crimes against
humanity” masuk kategori “gross violation of human rights” yang dilakukan sebagai serangan meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil (Jenggis, 2012: 112-114).
3
Mengutip pernyataan AM. Hendropriyono dalam pengantar buku Politik Para Teroris, bahasa terorisme kini telah digunakan secara resiprokal, untuk menggantikan komunikasi global yang telah terdistorsi (Andalas, 2010: 11). Berdasarkan pelbagai kasus yang dianggap sebagai bentuk terorisme pada masa kini antara negara Timur (Timur-Tengah) dan Barat, terorisme merupakan hasil dari benturan antar peradaban. Kedua peradaban itu memerebutkan hegemoni universal dalam aspek ekonomi, militer, bahasa, agama, dan budaya. Pembahasan mengenai isu terorisme tidak lagi sekadar permasalahan negara-negara Timur-Tengah yang dikaitkan dengan gerakan Islam radikal yang turut memengaruhi hubungan bilateral antarnegara di dunia. Terorisme sebagai ancaman paling mengerikan pada abad 21 telah membawa implikasi pada sistem dan strategi pertahanan negara-negara di dunia tanpa terkecuali. Senjata yang saat ini paling ditakuti bukan lagi senjata nuklir, tetapi penggunaan senjata biologi untuk menyerang wilayah atau negara tertentu. Bioterorisme merupakan penggunaan agen biologi untuk menciptakan atau menyebarkan penyakit tertentu di suatu populasi atau penduduk yang dijadikan target untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh para teroris, yaitu menciptakan teror kepada masyarakat (Farida, 2009: 119). Pengembangan bioterorisme berkaitan pula dengan pengembangan ilmu biologi dan perkembangan bioteknologi saat ini. Pencapaian gemilang dalam rekayasa
genetika
dibayangi
penyalahgunaan
oleh
oknum
yang
tidak
bertanggungjawab. Penggunaan agen biologis sebagai senjata perang dan alat teror
4
terhadap seseorang maupun sekelompok orang demi kepentingan tertentu tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga telah jauh menyimpang dari tujuan ilmu untuk kemanusiaan yang lebih bermartabat. Salah satu penggunaan agen biologis sebagai alat teror adalah pemanfaatan mikroba misalkan, dapat diubah menjadi “stealth viral vector” yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit berbahaya bagi manusia. Beberapa contoh kasus bioterorisme adalah paket pos maut yang menggemparkan Amerika Serikat pada musim gugur tahun 2001. Saat Amerika mengkampanyekan seruan perang terhadap terorisme internasional, Amerika mendapat kiriman surat melalui pos yang isinya berupa Antraks yang dapat menyerang penerima surat yang membukanya. Tidak sedikit yang menderita penyakit, bahkan meninggal akibat kiriman Antraks tersebut. Setelah kasus Antraks yang menggegerkan, pada tahun 2003 ditemukan racun Ricin di sebuah flat di London, Inggris. Jauh sebelumnya, pada 1995, satu sekte di Jepang, menebar gas Sarin di sebuah kereta api bawah tanah di Tokyo. Antraks, Sarin, dan Ricin, merupakan hasil perekayasaan agen biologis dan zat kimia yang dikategorikan sebagai senjata teroris. Kelompok teroris menggunakannya untuk menebar ketakutan pada publik (Furqonita, 2007: 78). Koran harian “Kompas” juga pernah mengabarkan bahaya yang akan mengancam masyarakat terkait dengan bioterorisme dengan memberikan sebuah studi kasus kontaminasi bakteri Salmonella pada salad di 10 restoran di Amerika Serikat pada tahun 1984. Lebih dari 750 orang di negara bagian Oregon sakit.
5
Sepuluh tahun kemudian, terungkap bahwa kontaminasi tersebut merupakan aksi bioterorisme yang dilatarbelakangi kepentingan politik. Bakteri Salmonella sengaja disebar sebelum pemilu sehingga warga tak bisa memilih karena sakit (Utomo, 2015: Kompas). Bioterorisme sangat berpengaruh pada tingginya angka kematian penduduk dan hewan, sehingga dapat dikatakan bahwa bioterorisme berkaitan dengan keamanan dan stabilitas suatu negara. Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah dalam pengembangan agen biologis yang nantinya akan dijadikan perantara aksi teror tersebut terdapat ilmuwan yang bekerja untuk menciptakan suatu senjata mematikan yang dapat menghancurkan umat manusia. Ilmuwan-ilmuwan tersebut tentu tidak mungkin bekerja tanpa adanya pengawasan dan aturan-aturan yang mengatur suatu komunitas ilmiah berdasar pada ilmu yang dikembangkan. Pengawasan dan berbagai aturan itulah yang kemudian menjadi acuan bagi para ilmuwan dalam bertindak dan bertanggung jawab atas ilmu dan teknologi yang dikembangkannya agar tetap di dalam koridor tujuan ilmu yang tidak hanya ilmu untuk kemajuan ilmu tetapi juga ilmu untuk kesejahteraan manusia. Penelitian mengenai peran ilmuwan terhadap pengembangan ilmu dengan menggunakan studi kasus tanggung jawab ilmuwan terhadap bioterorisme tidak hanya disusun untuk memenuhi tugas akhir peneliti, tetapi juga sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan isu yang sedang marak dibahas baik secara internasional maupun nasional mengenai bioterorisme dan mempersiapkan diri dalam
6
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi akibat serangan agen biologi tersebut.
B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan bioterorisme? 2. Persoalan nilai apa yang muncul dalam pengembangan dan penerapan bioterorisme? 3. Bagaimana sikap dan tanggung jawab ilmuwan terhadap bioterorisme?
C. Keaslian Penelitian Fokus kajian dalam penelitian ini adalah tanggung jawab ilmuwan terhadap penelitian dan pengembangan bioterorisme. Sejauh penelusuran peneliti pembahasan mengenai tanggung jawab ilmuwan sudah beberapa kali dijadikan pisau analisis dalam karya-karya ilmiah di lingkungan Fakultas Filsafat, akan tetapi belum banyak peneliti dapatkan karya-karya ilmiah mengenai bioterorisme di lingkungan Fakultas Filsafat dan di luar Fakultas Filsafat. Oleh karena itu, penelitian peran ilmuwan dalam pengembangan ilmu dengan studi kasus tanggung jawab ilmuwan terhadap bioterorisme diharapkan dapat memberikan variasi baru dalam penelitian ilmiah baik di lingkungan Fakultas Filsafat secara khusus maupun di luar lingkungan Universitas Gadjah Mada secara umum. Berikut peneliti menemukan beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan tema penelitian, yaitu:
7
1. Richard Bagun, 1988, Skripsi: “Terorisme, Tragedi Manusia Masa Kini”, S1 Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Skripsi ini memuat penelitian mengenai kaitan terorisme dengan politik dan psikologis. Terorisme secara potensial dapat muncul di berbagai masyarakat di dunia. Akan tetapi, aktualisasinya sangat bergantung pada kerawanan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan psikologis. Fenomena terorisme tidak selamanya dikecam. Terorisme dapat mengungkapkan keinginan akan kebebasan yang berakar pada kodrat manusia, lebih-lebih kalau dilihat terorisme
itu
menjadi
senjata
untuk
melawan
kepincangan
sosial,
mengguncangkan kemapanan (status quo), dan tatanan sosial yang kaku dan represif. Meskipun begitu, terorisme harus dibayar mahal secara moral dan psikologis. 2. Adrianna Elisabeth. 2007. Artikel penelitian: “Dinamika Hubungan AustraliaAsia Timur (1997-2005)”. Dalam Jurnal Penelitian Politik Vol. 4, No. 1, (2007), pp. 87-92. LIPI. Penelitian ini membahas hubungan bilateral, regional, dan multilateral antara negara Australia dengan negara-negara Asia Timur seperti Cina, Jepang, Singapura dan Indonesia sejak tahun 1997-2005. Hubungan antarnegara tersebut seringkali mengalami pasang-surut yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya kerjasama perdagangan dan investasi antarnegara, isu mengenai keamanan dan ketahanan energi, migrasi internasional, isu mengenai pengembangan dan penerapan bioterorisme, dan isu mengenai 8
batas-batas wilayah antar negara. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 dan kondisi perpolitikan yang terjadi di masing-masing negara tersebut juga memberikan dampak pada hubungan antara Australia dengan Asia Timur. 3. Deri Trivandian Wardani, 2012, Skripsi: “Konsep Hidup Abadi Dalam Penelitian Kloning Manusia Ditinjau Dari Aksiologi Ilmu”, S1 Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini memuat penelitian mengenai konsep keabadian genetis dengan menggunakan studi kasus pada kloning manusia dan pandangan keabadian yang ada pada ajaran agama sebagai tinjauan untuk menganalisis konsep keabadian genetis pada kloning manusia. Penelitian ini menghasilkan pemahaman baru tentang penelitian kloning manusia dan keabadian genetis dari sudut pandang agama dan ilmu. Kloning manusia dan keabadian genetis masih merupakan hal yang bersifat probabilitas untuk dilakukan saat ini. Tujuan dan harapan dari ilmuwan dan masyarakat pendonor kloning pun tidak bisa diwujudkan dengan mudah karena kloning manusia dan keabadian genetis terkait nilai yang berlaku di masyarakat, termasuk nilai dan ajaran yang ada pada agama yang merupakan faktor eksternal dari ilmu. 4. Aulia Dhetira Haryadi, 2013, Skripsi: “Objektivitas Ilmu Sejarah Ditinjau dari Aksiologi Ilmu Hugh Lacey”, S1 Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini berupaya memberikan suatu pandangan mengenai konsep objektivitas dalam ilmu sejarah serta peran nilai dan konsep tersebut. Nilai 9
dalam imu sejarah memiliki peranan yang penting. Nilai dan ranah ilmu seringkali dianggap tidak objektif karena dianggap subyektif dan erat kaitannya dengan nilai sosial. Ilmuwan, menurut Lacey, ilmuwan seharusnya memiliki nilai sendiri untuk menjaga keobjektifan dalam ilmu. 5. Achmad Fazlurrahman, 2015, Skripsi: “Terorisme di Indonesia dalam Perspektif Jean-Paul Sartre”, S1 Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini memuat penelitian mengenai pandangan atas terorisme sebagai suatu fenomena sosial dan tindakan terorisme yang dilakukan oleh seseorang merupakan hasil dari refleksivitas kesadaran manusia. Refleksivitas kesadaran manusia berarti manusia membentuk dirinya sendiri, meresapi, memahami, dan memberikan makna dengan caranya sendiri atas apa yang diperbuatnya di dunia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kesimpulan yang terlalu terburu-buru dari refleksi kesadaran pelaku teror sebagai akibat dari absurditas dunia pengalaman. Akibatnya, terorisme justru tampil sebagai negasi dari kehidupan dan harapan manusia. 6. Reynaldo Apriyandi Litobing, 2015, Skripsi: “Paradigma Terorisme LamaTerorisme Baru dan Aksi Teror Kontemporer; Studi Kasus: Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah”, S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini memuat penelitian mengenai perdebatan konseptual antara paradigma “lama” dan “baru” terkait terorisme. Menggunakan studi kasus 10
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur-Tengah sebagai aksi teror kontemporer untuk memberikan klarifikasi mengenai perubahan konsep terorisme “lama” menuju konsep terorisme “baru”. Argumentasi utama peneliti adalah aksi terror yang dilakukan ISIS menunjukkan perubahan yang tidak fundamental. Terdapat beberapa perubahan, namun perubahan tersebut merupakan perubahan “derajat”, bukan perubahan “jenis”. Terlebih lagi, karakteristik yang ditemukan di ISIS merupakan percampuran dari paradigma “lama” dan “baru”, yang telah disesuaikan dengan perubahan sosial dan teknologi pada era global.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Perkembangan Ilmu dan Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber referensi dalam penelitian-penelitian lainnya yang berkaitan dengan bioterorisme. Pembahasan mengenai bioterorisme tidak hanya berdiri sendiri sebagai suatu isu penting dalam wilayah pengembangan ilmu dan teknologi, baik internasional maupun nasional. Secara historis dan sosiologis kajian mengenai bioterorisme tidak hanya lahir dari penyalahgunaan penerapan ilmu bioteknologi tetapi juga berkaitan dengan persoalan-persoalan politik dan ekonomi yang kompleks. 2. Bagi Perkembangan Ilmu Filsafat
11
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu filsafat yang membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan landasanlandasan aksiologis dan tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Pengembangan bioterorisme sebagai suatu alat untuk mengontrol individu dan kelompok untuk tunduk pada kepentingan tertentu. Hasil dari penelitian tanggung jawab ilmuwan terhadap bioterorisme diharapkan dapat menjadi bahan pendukung atau sumber referensi dalam diskusi yang membahas tema yang sama, baik itu yang bersifat formal maupun non-formal. 3. Bagi Masyarakat dan Negara Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan baru bagi masyarakat dalam menghadapi persoalan dan permasalahan yang berkaitan dengan bioterorisme. Di era yang semakin maju dan modern ini tidak hanya memberikan kemajuan di bidang informasi dan hiburan tetapi juga memberikan andil yang besar dan nyata dalam wilayah ilmu dan pengetahuan, juga pertahanan dan ketahanan nasional. Dengan demikian, pembahasan mengenai bioterorisme menjadi salah satu upaya dari peneliti bagi masyarakat untuk tidak sekadar mengetahui pengertian bioterorisme tetapi juga melihat sisi lain dari pengembangan bioterorisme yang dapat berdampak negatif bagi manusia.
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
12
1.
Mendeskripsikan pengertian bioterorisme secara terminologis dan historis
2.
Menguraikan persoalan nilai yang muncul dalam pengembangan dan
penerapan bioterorisme. 3.
Menganalisis pandangan para ilmuwan mengenai bioterorisme berdasar pada tanggung jawab ilmuwan apabila dihadapkan pada persoalan ilmiah maupun sosial-moral terkait bioterorisme.
F. Tinjauan Pustaka Achmad Fazlurrahman dalam skripsinya mengutip pandangan Laquer dalam buku No End To War, Terrorism In The Twenty First Century (2003) yang dikutip majalah angkasa edisi koleksi “10 Teror Terbesar” (2009: 7), hanya satu sifat umum yang disepakati dalam definisi terorisme, terorisme melibatkan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme juga erat kaitannya dengan kegiatan atau tindakan menakuti, to frighten. Kata “teror” juga bisa menimbulkan kengerian dan ketakutan. Dalam perkembangannya, istilah terorisme telah menjadi suatu konsep yang memiliki konotasi
sensitif
karena
telah
menyebabkan
terjadinya
pembunuhan
dan
penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa (Fazlurrahman Al-Razie, 2014: 3). Terorisme masa kini telah mengambil bentuk baru dengan muatan dan pesanpesan politis. Hal ini ditandai dengan kuatnya doktrin-doktrin yang telah tertanam
13
dalam sistem kepercayaan para pelaku teror. Kepercayaan dan keyakinan yang diyakini oleh para pelaku terror kemudian menjadi dasar ideologi dari tindakan terorisme, dan setiap tindakan yang dilakukan oleh pelaku teror adalah hal yang secara subjektif diakui paling benar. Aksi teror pun tidak hanya ditujukan langsung kepada lawan, aksi teror bisa dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja karena yang terpenting dalam tindakan terorisme akhir-akhir ini adalah agar aksi teror mendapat perhatian yang khusus, semacam psy-war. Artinya, ketika aksi teror berhasil menggemparkan publik, pelaku teror telah berhasil menjalani misinya dan telah berhasil menjalani misinya dan telah berhasil menyampaikan pesan-pesan yang ingin disampaikan (Fazlurrahman Al-Razie, 2014: 5). Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terorisme merupakan tindakan yang direncanakan untuk mengakibatkan kematian atau secara fisik berbahaya bagi masyarakat sipil (non-combatant). Bioterorisme merupakan salah satu bentuk terror dengan menggunakan atau menyebarkan kejahatan biologis, seperti virus dan bakteri, sehingga menimbulkan penyakit atau kematian manusia, hewan, atau tanaman (“perang kuman”). Pada abad ke-21, ancaman bioterorisme kian mengkhawatirkan seiring dengan meningkatnya mobilitas dan lalu lintas manusia dan barang antarnegara (Elisabeth dalam LIPI, 2007: 89). Pembahasan mengenai bioterorisme tidak mungkin dapat dilepaskan dari sejarah pengembangan bioteknologi yang mampu menciptakan senjata mematikan yang sulit terdeteksi dan tak kasat mata, yaitu senjata biologi. Selama ini bioterorisme
14
diterjemahkan sebagai kegiatan teror yang disengaja dengan menggunakan kuman patogen atau toksin dengan tujuan untuk membunuh atau menimbulkan kerugian pada individu maupun populasi (manusia, hewan dan tanaman) yang berdampak terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Samihardjo, 2007: 90). Dr. Arief B. Witarto dalam artikel yang berjudul Bahaya Senjata Biologis menuliskan bahwa berbeda dengan senjata nuklir, senjata biologis punya banyak jenis. Walaupun senjata kimia juga memiliki banyak jenis (seperti gas Sarin, gas VX, Sianida dan sebagainya), namun karena senjata biologis menggunakan agen hayati seperti virus dan bakteri, jumlahnya cenderung bertambah dengan munculnya berbagai macam penyakit infeksi fatal baru seperti virus Ebola, virus Lassa dan lainlain. Namun demikian, agen yang benar telah dipakai sebagai senjata biologis adalah bakteri yang telah lama dikenal manusia, mudah didapatkan di alam dan tidak sulit penangannya (Witarto, 2002: 1). Penggunaan senjata biologis telah dimulai sejak abad ke-6 SM, saat bangsa Assyria menggunakan jamur rye ergot yang banyak tumbuh pada rumput liar untuk menyebarkan penyakit kepada musuhnya. Pada tahun 1346, pasukan Tartar melemparkan tubuh para korban penyakit pes menembus dinding pertahanan musuh di Kaffa, Italia, dengan tujuan menularkan penyakit pes tersebut kepada para musuhnya. Perang Dunia I dan II pun tidak lepas dari perang senjata biologis tersebut. Selama Perang Dunia II, Jepang melakukan suatu riset penelitian dengan menggunakan 3.000 tahanan perang sebagai objek penelitian; sebagian besar tahanan
15
perang tersebut dipaparkan bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri penyebab penyakit anthrax (Hagstad, 2000: 33). Pengembangan Bioterorisme semakin marak terjadi pada masa perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Pemerintah Uni Sovyet mendapat sorotan dunia setelah kasus penyebaran penyakit anthrax di bulan April 1979 menewaskan tidak kurang 66 orang di Sverdlovsk (salah satu bagian dari U.S.S.R) yang menurut dugaan wabah anthrax tersebut secara tidak sengaja terlepas ke udara karena kelalaian tim pengembangan agen biologis di daerah tersebut (Hagstad, 2000: 33). Peristiwa pada tahun 1979 tersebut tercatat sebagai sejarah wabah anthrax yang terburuk yang pernah terjadi di salah satu kawasan negara industri modern. Spora anthrax yang ada di udara sulit untuk dikenali karena tidak kasat mata, tidak berbau, dan tidak berwarna, sehingga beredarnya spora dalam sirkulasi udara tidak dapat secara langsung diketahui oleh masyarakat (Akoso, 2009: 138). Pada Agustus 1991, pemerintah Irak mengakui membentuk suatu departemen khusus yang mengembangkan senjata biologi menggunakan bakteri Clostrodium botulinum, Bacillus anthracis, dan berbagai bakteri lainnya. Terdapat hampir 30.000 liter konsentrasi racun yang menjadi persediaan pemerintah Irak yang beberapa bagiannya diisi ke dalam bom peledak dan peluru pada saat berlangsungnya Perang Teluk (Hagstad, 2000: 33).
16
Berdasarkan pada sejarah pengembangan dan penggunaan senjata biologi tersebut suatu kelompok yang tergabung dalam Civilian Biodefense – yang mana terdiri dari para ahli dan ilmuwan dari depertamen penelitian dan kesehatan, pemerintah, militer, kesehatan masyarakat, dan institusi lainnya yang terkait – mengidentifikasi virus Variola (penyebab cacar) dan bakteri Bacillus anthracis sebagai agen biologis yang seringkali digunakan untuk melancarkan aksi bioterorisme (Hagstad, 2000: 33).
The Four Principal Agents of Bioterrorism
Disease (agent)
Mode of Dissemination
Mode of Disease Transmission
Smallpox (Orthopxvirus)
Release of aerosol
Inhalation
Anthrax (Bacillus
Release of spores
Inhalation of or direct
anthracis)
(aerosolized)
contact with spores
Plague (Yersinia
Release of plague-infected
Flea bites
17
pestis)
fleas
Botulism (Clostridium botulinum toxin)
Release of toxin into food or
Ingestion of toxin
water supply Tabel 1.1 Sumber: The American Journal of Nursing Vol. 100, No. 12 (Dec, 2000), pp 35
Mimpi buruk yang lebih mengerikan adalah senjata biologis dengan agen yang telah direkayasa secara bioteknologi sehingga tahan antibiotika, lebih mematikan, stabil dalam penyimpanan dan sebagainya. Hal termudah adalah rekayasa untuk sifat resistensi terhadap antibiotika. Sifat seperti ini biasanya hanya ditimbulkan oleh kumpulan gen sederhana atau bahkan gen tunggal, sehingga mudah dipindahkan dari satu jenis bakteri ke bakteri lain. Contohnya, Bacillus anthracis yang dapat dimatikan dengan antibiotika jenis Penicillin dengan mudah dapat dibuat resisten dengan mentransfer gen enzim lactamase (Witarto, 2002: 1). “In testimony before a U.S. House of Representatives subcommittee on national security, Scott Lillibridge, MD, a scientific staff member of the CDC’s Office of Global Health, said in his opening remarks that it’s No longer a matter of if but when a bioterrorist attack will accur.” (Hagstad, 2000: 35). Mengutip pernyataan Scott Lillibridge, MD, yang merupakan salah satu staf dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) - bagian dari Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat. – “saat ini yang menjadi persoalan bukan lagi jika tetapi kapan” serangan bioteroris akan terjadi.
18
Diidentifikasinya empat agen bioterorisme yang terkandung dalam penyakit seperti cacar, anthrax, pes, dan botulisme tidak hanya membuat institusi-insitusi kesehatan bekerja untuk mempersiapkan diri menemukan cara melindungi masyarakat dari serangan bioterorisme tetapi juga membuat pemerintah lebih hati-hati dalam mengatur hubungan bilateral antar negara yang berkaitan dengan manusia, hewan, dan barang (Hagstad, 2000: 35). Ancaman bioterorisme tidak hanya menjadi milik para institusi ilmiah dan pemerintah, tetapi masyarakat dunia juga harus mengetahui bahwa senjata yang paling mengerikan saat ini tidak hanya dimiliki oleh nuklir tetapi juga senjata yang dibawa oleh agen biologis melalui wabah penyakit, sehingga diharapkan masyarakat lebih berhati-hati dan dapat melakukan pertolongan pertama untuk dirinya dan orang sekitarnya apabila terinfeksi salah satu dari penyakit yang diidentifikasi sebagai agen bioterorisme.
G. Landasan Teori Setiap ilmu menghasilkan teknologi yang kemudian diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari peran seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat, yang pada akhirnya akan membawa dampak persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan baik
19
secara akademis maupun profesi dan secara moral harus “dipupuk” dan berada pada “tempat” yang tepat (Meliono, 2009: 115). Pengembangan ilmu pada awal diterapkan tidak terlepas dari kepentingan untuk berperang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacammacam senjata pembunuh berhasil dikembangkan namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya: manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan teknologi berada untuk tujuan eksistensinya sendiri (Suriasumantri, 1990: 229-231). Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: Untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini bagi para ilmuwan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayang kekhawatiran perang dunia ketiga tidak dapat dielakkan. Sebagai jawaban atas pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral (Suriasumantri, 190: 231- 233).
20
Persoalan moral yang dihadapi terkait akses ilmu dan teknologi yang merusak para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua sebaliknya, berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan ilmuwan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia menurut Charles Darwin adalah ketika manusia menyadari bahwa seyogyanya manusialah yang mengontrol pikirannya sendiri (Suriasumantri, 1990: 235). Van Peursen dalam bukunya Susunan Ilmu Pengetahuan menyimpulkan bahwa ilmu merupakan sistem dalam suatu konteks. Bahwa fungsi ilmu berubah sesuai dengan lingkungan budaya dan konstelasi sosial. Akan tetapi fungsi ilmu tersebut jangan sampai larut, karena ilmu justru merupakan imbangan yang berharga menghadapi ideologi. Ilmu sebagai suatu sistem memiliki kedudukannya sendiri, tetapi dalam konteks yang berbeda-beda yang ikut memengaruhi perkembangan lebih lanjut sistem ilmiah. Terdapat otonomi ilmu, namun otonomi yang relatif, atau lebih tepat yang rasional, artinya otonomi yang berfungsi dalam hubungan dengan konteks politis, sosial, etis dan pandangan hidup (Van Peursen, 1989: 73-74).
21
Persoalan aksiologi ilmu yang juga berkaitan dengan tanggung jawab ilmuwan adalah ilmu merupakan hasil karya sekelompok ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Ilmu bukanlah sebuah karya yang bersifat individual dan dibutuhkan komunikasi dan penggunaan ilmu yang bersifat sosial. Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya. Bukan saja karena ilmuwan juga merupakan warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, namun yang lebih penting adalah karena ilmuwan mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Pandangan mengenai tanggung jawab ilmuwan atas ilmu dan teknologi yang dikembangkannya jika dikatakan ilmu pengetahuan bertanggung jawab atas perubahan-perubahan sosial, maka itu tidak saja berarti bahwa ilmu pengetahuan telah mengakibatkan perubahan-perubahan ini. Itu berarti juga bahwa ilmu pengetahuan tetap bertanggung jawab atas yang terjadi selanjutnya. Tanggung jawab menyangkut baik masa lampau maupun masa depan. Apa yang telah terjadi, tidak mutlak harus terjadi dan apa yang akan terjadi tergantung juga dari keputusan bebas manusia (Van Melsen, 1985: 68-69). Tanggung jawab ilmu pengetahuan atas masa depan, tentu pertama-tama menyangkut usaha agar segala sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu pengetahuan akan dipulihkan kembali. Campur tangan dalam realitas yang dijalankan oleh ilmu pengetahuan selalu berat sebelah, maka hal itu harus diberi perhatian terus-
22
menerus, entah menyangkut gangguan terhadap sistem keseimbangan dalam alam atau menyangkut gangguan terhadap orde sosial. Keberatsebelahan menandai setiap campur tangan manusia, bukan saja campur tangan ilmiah. Hal itu mengakibatkan bahwa tanggung jawab ilmiah mencakup juga apa yang tidak disebabkan ilmu pengetahuan tetapi dilakukan oleh manusia tanpa mengikutsertakan ilmu pengetahuan (Van Melsen, 1985: 69). Prinsip tanggung jawab dalam pengembangan suatu ilmu menunjukkan bahwa manusia seharusnya menyadari bahwa ia seyogianya mengontrol pikiran dan seluruh aktivitas keilmuannya secara bertanggungjawab. Aspek tanggung jawab sebagai sikap dasar keilmuan dengan ini tidak hanya menjadi landasan penting dalam epistemologi tetapi juga dalam aksiologi, sehingga menjadikan dirinya sebagai landasan prinsipiil dalam rangka pengembangan pemikiran dan pengetahuan manusia (Watloly, 2001: 208). Terdapat tiga alasan yang membuat seorang ilmuwan harus mampu memahami bahwa dalam pengembangan ilmu maupun dalam penerapannya persoalan etika tidak mungkin akan terlepas begitu saja. Pertama, ilmu merupakan salah satu wujud konkret kekuasaan. Artinya, ilmu dapat dijadikan alat untuk mengendalikan orang lain secara efektif. Alasan kedua, persoalan-persoalan kompleksitas ilmu dapat memunculkan situasi konflik nilai. Situasi konflik timbul justru karena setiap pilihan ilmu maupun
23
teknologi mempunyai implikasi sosial dan etis; mengenai orang-orang, mengenai hak dan pribadi orang-orang yang berkaitan dengan pilihan ilmu dan teknologi tersebut. Alasan ketiga, meningkatnya kesadaran yang semakin mendalam di antara ilmuwan sendiri bahwa proses penerapan ilmu dan teknologi – apa yang disebut dengan pembangunan – menyangkut inti manusia; nilainya sebagai pribadi yang merupakan tujuan pada dirinya. Proses teknologi tidak dapat ditangani secara sepihak, tetapi harus didekati dari banyak ilmu, termasuk etika. Berdasar pada alasan bahwa ilmu dan teknologi merupakan bentuk konkret dari kekuasaan, maka penggunaannya tidak akan pernah bisa bersifat netral. Penggunaannya selalu mengenai atau memiliki dampak pada orang lain. Oleh karena itu dituntut adanya tanggung jawab yang sungguh-sungguh dari si pengguna ataupun ilmuwan yang mengembangkannya (Adisusilo JR, 1983:117-118). Tanggung jawab seorang ilmuwan terhadap pengembangan ilmu dan teknologi dapat pula diartikan sebagai pengerahan seluruh daya upaya agar penggunaan ilmu dan teknologi nyata-nyata dijalankan demi perkembangan hidup manusia yang lebih baik. Kriteria etis bagi suatu tindakan yang menghargai martabat manusia dapat dirumuskan dalam dua macam, secara negatif dan secara positif. Secara negatif, tidak diperbolehkan seorangpun – baik ilmuwan ataupun masyarakat ilmiah – merasa menderita, dilanggar haknya karena penerapan ilmu. Secara positif, mutlak melaksanakan pengembangan ilmu dan teknologi demi mengusahakan suatu
24
lingkungan masyarakat, dimana masyarakat atau tiap anggotanya merasa aman dan mampu mejadi dirinya (Adisusilo JR, 1983:118). Konteks penerapan ilmu dan teknologi seharusnya merupakan tindakan pembebasan manusia dari rasa khawatir akan hari esok. Penerapan ilmu dan teknologi juga merupakan tindakan pembebasan manusia dari persoalan-persoalan esensial kehidupannya. Seperti, kelaparan, kemiskinan, dll. Dalam buku Nasihat Untuk Ilmuwan Muda, Medawar menyatakan terdapat asas-asas moral yang menjadi dasar bagi seorang ilmuwan dalam mengembangkan ilmu, meliputi kebenaran, kejujuran, tidak mempunyai kepentingan langsung, dan menyandarkan diri pada kekuatan argumentasi dalam menilai kebenaran. Jika seorang ilmuwan memiliki suatu pandangan yang beralasan bahwa suatu kegiatan penelitian tidak boleh digunakan untuk mengembangakan penemuan cara-cara pemusnahan umat manusia yang lebih kejam atau lebih sempurna, maka ia seharusnya tidak ikut serta, kecuali jika ilmuwan tersebut memang menyukai hal-hal tersebut (Medawar, 1990:42).
H. Metode Penelitian A. Model atau Jenis Penelitian Model penelitian ini adalah penelitian mengenai masalah aktual. Berdasarkan buku Metodologi Penelitian Filsafat karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, penelitian skripsi ini adalah refleksi filosofis tentang salah satu fenomena atau situasi aktual yang merupakan masalah
25
kontroversial, entah struktural, atau normatif. Masalah tersebut direfleksi secara
langsung,
sebagai
fenomena
atau
situasi
masyarakat
(multidimensional) (Bakker, 2015: 107). Jenis penelitian ini adalah penelitian metode kualitatif yang didasarkan pada studi pustaka. Objek material penelitian ini adalah isu-isu yang terkait dengan bioterorisme dan Objek formal yang akan digunakan untuk menganalisis isu-isu bioterorisme adalah dengan menggunakan pandangan tanggung jawab ilmuwan yang merupakan salah satu bahasan dalam aksiologi ilmu.
B. Materi Penelitian Sumber atau materi penelitian diperoleh dari berbagai buku, jurnal dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait, maupun literatur dan informasi ilmiah mengenai teori-teori yang digunakan untuk menganalisis judul permasalahan yang diteliti. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua kategori yang bersumber dari data primer dan data sekunder. Data Primer: 1. Foster, George T (Ed.). 2006. Focus On Bioterrorism. Nova Publisher: New York.
26
2. Garrett, Laurie. 2001. “The Nightmare Of Bioterrorism”. Foreign Affairs, Vol. 80, No. 1 (Jan. – Feb., 2001), pp. 76-89. Council On Foreign Relations: JSTOR. 3. Hagstad, David dan Kathleen Kearney. 2000. “Emergency: Bioterrorism”. The American Journal Of Nursing, Vol. 100, No. 12 (Dec., 2000), pp. 33-35. Lippincot Williams & Wilkins: JSTOR. 4. Henderson, Donald A. 1999. “The Looming Threat Of Bioterrorism”. Science Journal, Vol. 283 (Feb., 1999), pp. 12791282. AAAS: Sciencemag.org. 5. Mauroni, Albert J. 2007. Chemical And Biological Warfare: A Reference Handbook. ABC-CLIO: Oxford. 6. Medawar, P.B. 1990. Nasihat Untuk Ilmuwan Muda. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. 7. Resnik, David B. 1998. The Ethic Of Science: An Introduction. Routledge: New York. 8. Simms, Michele. 2004. On Linking Business Ethics, Bioethics And Bioterrorism. Journal Of Business Ethics, Vol. 51, No. 2, Promoting Business Ethics (May, 2004), pp. 211-220. Springer: JSTOR. 9.
Van Melsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita. Gramedia: Jakarta. 27
Data Sekunder: 1. Adisusilo JR, Sutarjo.1983. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Kanisius: Yogyakarta. 2. Andalas, Mutiara. 2010. Politik Para Teroris. Kanisius: Yogyakarta. 3. Chain, Ernst Boris. 1971. Social Responsibility And The Scientist In Modern Western Society. Perspectives In Biology And Medicine Vol. 14, No. 3 (1971), pp. 347-369. Johns Hopkins University Press: JSTOR. 4. CDC. 2001. “Investigation Of Bioterrorism-Related Anthrax, 2001”. Morbdity And Mortality Weekly Report, Vol. 50, No. 45 (November 16, 2001), pp. 1008-1010. CDC. 5. Elisabeth, Adrianna. 2007. “Dinamika Hubungan Australia-Asia Timur (1997-2005)”. dalam LIPI (Ed.) Jurnal Penelitian Politik Vol. 4, No. 1, (2007) editor. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. (pp. 87-92). 6. Gerringer, Arthur E. 2002. Terrorism: From One Millennium To
The Next. Writers Club Press: New York. 7. Jacob,.T. 1988. Manusia Ilmu Dan Teknologi. Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta. 8. Kawana, Sari. 2005. “Mad Scientists And Their Prey: Bioethics,
28
Murder, And Fiction In Interwar Japan”. The Journal Of Japanese Studies, Vol. 31, No. 1 (Winter, 2005), pp. 89-120. The Society For Japanese Studies: JSTOR. 9. Laqueur, Walter. 1996. “Postmodern Terrorism”. Foreign Affairs,
Vol. 75, No. 5 (Sep. – 6ct., 1996), pp. 24-36. Council On Foreign Relations: JSTOR. 10. Meliono, Irmayanti. 2009. Filsafat Ilmu Pengetahuan Refleksi Kritis Terhadap Realitas Dan Objektivitas Ilmu Pengetahuan. Kota Kita: Jakarta. 11. Steinhoff, Uwe. 2007. On The Ethics Of War And Terrorism. Oxford University Press: New York. 12. Suseno, Franz-Magnis. 2001. Kuasa Dan Moral. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 13. Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. 14. Trisakti, Sonjoruri Budiani. 2013. Tinjauan Filosofis Terhadap Perkembangan
Ilmu
Dan
Teknologi.
Fakultas
Yogyakarta. 15. Van Peursen, C.A. 1989. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Gramedia: Jakarta. 16. Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan
29
Filsafat:
Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural. Kanisius: Yogyakarta. 17. Zen, M.T. 1981. Sains, Teknologi, Dan Hari Depan Manusia. Gramedia: Jakarta. 18. Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik Dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. LESFI: Yogyakarta.
C. Jalan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Tahap persiapan diawali dengan menentukan kategori data yang akan dikumpulkan, mengumpulkan data kepustakaan yang berhubungan dengan kajian penelitian dan melakukan observasi yang menyangkut penelitian guna mendukung data kepustakaan yang telah diperoleh. Data
yang telah
berhasil
dikumpulkan
kemudian
dipisahkan
berdasarkan kesesuian dengan objek material dan formal. 2.
Tahap pengolahan data, yaitu mencakup pengolahan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian dilakukan penguraian masalah sesuai dengan objek formal dan material yang selanjutnya dideskripsikan dan dianalisa secara kritis.
3.
Tahap penyusunan laporan penelitian, yaitu melakukan penyusunan data ke dalam bentuk laporan yang sistematis. 30
D. Analisis Data Data kepustakaan yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan perangkat metodis berikut (Bakker, 1990: 110-113): 1. Deskripsi: peneliti akan mendeskripsikan hasil pemahaman mengenai konsep bioterorisme dan keterkaitannya dengan problem-problem nilai dalam pembahasan aksiologi ilmu, khususnya pembahasan mengenai tanggung jawab ilmuwan. 2. Kesinambungan
historis:
peneliti
menguraikan
historisitas
perkembangan bioterorisme secara umum yang juga berkaitan dengan perkembangan
bioteknologi
modern
sehingga
akan
tampak
perkembangan bioterorisne secara global dari waktu ke waktu, baik dalam pengembangan maupun penerapannya. 3. Interpretasi: dengan pemahamannya peneliti menerobos data-data peristiwa yang berkaitan dengan isu bioterorisme. Kemudian peneliti memberikan evaluasi kritis dan menyajikan filsafat alternatif yang lebih lengkap dan sesuai dengan menggunakan pandangan tanggung jawab ilmuwan sebagai landasan berpikir dalam aksiologi ilmu. 4. Heuristik: Berdasarkan pada hasil analisis yang telah dilakukan peneliti mengenai
tanggung
jawab
ilmuwan
atas
bioterorisme
yang
dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat didapatkan pemahaman baru bahwa pengembangan dan penerapan bioterorisme 31
telah menggeser nilai dan tujuan awal dari pengembangan ilmu yang awalnya untuk kesejahteraan manusia justru mencelakai sesama manusia yang dianggap tidak menguntungkan bagi golongan tertentu. 5. Refleksi peneliti pribadi: Berdasar pada hasil analisis peneliti atas tanggung jawab yang dimiliki ilmuwan terhadap ilmu yang dikembangkannya, peneliti sampai pada pemahaman bahwa seorang ilmuwan sebagai orang yang ahli di bidangnya memiliki tanggung jawab secara ilmiah dan moral atas ilmu yang dikembangkannya. Karena seharusnya pengembangan ilmu harus bebas dari kepentingankepentingan eksternal dari pihak-pihak yang ada di sekitar ilmu tersebut.
I. Hasil yang telah dicapai Hasil yang ingin dicapai dalam penelitian filsafat ini mengacu pada rumusan masalah: 1. Memperoleh penjelasan yang lebih rinci mengenai bioterorisme dan hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai agen bioterorisme 2. Memperoleh pemahaman yang lebih rici dan mendalam mengenai mengenai persoalan nilai yang muncul dalam pengembangan dan penerapan bioterorisme 3. Analisis kritis mengenai tanggung jawab para ilmuwan secara ilmiah maupun sosial-moral terkait pengembangan dan penerapan bioterorisme.
32
J. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian yang berjudul Tanggung Jawab Ilmuwan Terhadap Bioterorisme ini terdiri dari lima bab yaitu: BAB I berupa pendahuluan yang terdiri latar belakang masalah, rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka sebagai dasar dari landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai dan sistematika penulisan. BAB II berisi uraian mengenai objek formal penelitian yang terdiri atas dampak perkembangan ilmu dan teknologi dalam kehidupan masyarakat, dan pembahasan mengenai prinsip tanggung jawab baik ilmiah, sosial maupun moral yang harus dimiliki seorang ilmuwan terkait dengan ilmu yang dikembangkannya. BAB III berisi uraian mengenai objek material penelitian yang terdiri atas pengertian dan sejarah perkembangan bioterorisme, sisi lain pengembangan dan penerapan bioterorisme, dan pandangan para ilmuwan atas pengembangan dan penerapan bioterorisme. BAB IV berisi hasil analisis kritis dan reflektif peneliti atas tanggung jawab ilmiah, sosial, dan moral yang dimiliki ilmuwan atas pengembangan dan penerapan bioterorisme. BAB V merupakan penutup, rangkaian penulisan penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
33