BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pendidikan bahasa asing di Indonesia merupakan salah satu bidang
pendidikan yang memegang peranan penting sebagai salah satu modal dalam perjalanan hidup bangsa, terutama dalam hubungan internasional baik bilateral maupun multilateral, sehingga banyak universitas mendirikan program studi bahasa untuk memunculkan output yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Bertolak pada kenyataan di atas, pengajaran bahasa Korea tentunya sangat diharapkan untuk melahirkan lulusan yang mampu bersaing dalam iklim kompetisi yang sangat ketat pada dunia kerja. Berdasarkan hal tersebut, pengajaran yang berkualitas dan tepat guna sangat diperlukan dalam pengajaran bahasa Korea sebagai bahasa asing bagi peserta didik, yang bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Keadaan tersebut merupakan sebuah kendala tersendiri bagi mereka yang masih terbiasa dengan penggunaan komunikasi bahasa dengan karakteristik gramatikal bahasa Indonesia, sehingga banyak dijumpai beragam kesalahan pembelajaran bahasa. Pada dasarnya bahasa Indonesia (BI) dan bahasa Korea (BK) sama-sama merupakan bahasa aglutinatif dan tampak tidak terdapat perbedaan yang sangat mendasar antar keduanya. Namun demikian, bila ditinjau lebih dalam kajian antara kedua bahasa tersebut ditemukan berbagai perbedaan pada tataran struktur kalimat tunggal berdasarkan fungsi dan kategori sintaksis unsur-unsur kalimat.
1
2
Wijana (2011) mengatakan bahwa kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Subjek dan predikat adalah unsur inti klausa. Verhaar (2010) mengatakan bahwa dalam hubungan analisis fungsi ada empat terminologi analisis fungsi yang berbeda. Pertama, kalimat dibagi atas subjek dan predikat. Kedua, kalimat dibagi atas subjek, predikat, dan keterangan. Keterangan dibagi lagi atas objek dan keterangan waktu, keterangan tempat, dan lain-lain. Ketiga, kalimat dibagi atas subjek, predikat, dan pelengkap. Pelengkap dibagi atas objek dan keterangan. Selanjutnya keterangan dibagi atas keterangan waktu, keterangan tempat, dan lain-lain. Keempat, kalimat dibagi atas subjek, predikat, objek, dan keterangan. Berikutnya keterangan dibagi atas keterangan waktu, keterangan tempat, dan lain-lain, sedangkan analisis kalimat berdasarkan kategori unsurunsurnya adalah menentukan termasuk kategori apakah suatu unsur dalam suatu kalimat. Analisis kategori adalah analisis terhadap jenis kata atau kelas kata unsur-unsur pengisi fungsi tertentu dalam sebuah kalimat. Dalam relasi gramatikal pada tataran struktur kalimat tunggal BI dan BK, pengisi fungsi dan kategori unsur-unsur kedua bahasa tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan pertama adalah pada kalimat tunggal BI terdiri dari unsur subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pl), dan keterangan (Ket) pada setiap unsur fungsinya yang tidak ditandai dengan penanda, sedangkan kalimat tunggal BK unsur fungsinya terdiri dari unsur subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pl), dan keterangan (Ket) pada setiap unsur fungsinya yang ditandai dengan penanda yang unsur subjeknya ditandai dengan penanda -neun, -eun, -i, dan -ga, unsur predikat ditandai dengan penanda -da, -
3
bnida, -sebnida, -ayo, -eoyo, -haeyo, dan lain sebagainya, unsur objek ditandai dengan penanda –leul dan -eul , unsur pelengkap ditandai dengan penanda –i/-ga anida dan –i/-ga dwaeda, dan unsur keterangan ditandai dengan penanda -e, -eseo, dan lain sebagainya. Misalnya:
BI
(1)
Ibu
tidak berlari-lari.
S
P
(Ramlan, 2001: 81)
BK (2) Jeo-neun uch’eguk-eseo S -ps Saya
ph’yeonji-reul
Ket -pk kantor pos-di
O surat
-po
bo’nae-eoyo. P
-pp
mengirim
„Saya mengirim surat di kantor pos‟ (Ahn Jean-Myung, 2010: 86)
Kalimat (1) BI di atas, terdiri dari dua unsur fungsional. Unsur ibu menduduki fungsi S dan unsur tidak berlari-lari menduduki fungsi P. Kalimat (2) BK, terdiri dari empat unsur fungsional. Unsur Jeo-neun „saya‟ menduduki fungsi S yang ditandai dengan unsur –neun sebagai penanda fungsi S, unsur uch’egukeseo „di kantor pos‟ yang menduduki fungsi Ket ditandai dengan unsur –eseo sebagai penanda fungsi Ket, unsur ph’yeonji-reul „surat‟ yang menduduki fungsi O ditandai dengan unsur –reul sebagai penanda fungsi O, dan unsur bo’nae-eoyo „mengirim‟ yang menduduki fungsi P ditandai dengan unsur –eoyo sebagai penanda fungsi P.
4
Perbedaan kedua adalah pada tataran urutan fungsi unsur-unsur penyusun kalimat BI dan BK. Ramlan (2001), dalam kalimat BI unsur S dan P dapat dipertukarkan tempatnya, urutan unsur O selalu terletak di belakang P yang terdiri kata verba transitif dan unsur O apabila dipasifkan kata atau frase yang menduduki fungsi O menduduki fungsi S. unsur Pl mempunyai persamaan dengan O, yaitu urutannya terletak di belakang P. Perbedaannya adalah O selalu dalam klausa yang dapat dipasifkan, sedangkan Pl terdapat dalam klausa yang tidak dapat diubah menjadi bentuk pasif, dan unsur Ket pada umumnya dalam kalimat BI urutannya bebas, artinya dapat terletak di depan SP, dapat terletak di antara S dan P, dan dapat juga terletak di belakang P, sedangkan urutan kalimat BK adalah unsur S terletak di awal, unsur O dapat terletak diantara S dan P atau unsur O selalu terletak di depan P, unsur P hanya terletak di akhir kalimat yang tidak dapat dipertukarkan tempatnya, dan unsur Pl terletak di belakang S, unsur Ket dapat terletak di depan dan di belakang S. Misalnya:
BI
(3)
Badannya
sangat lemah.
S
P
(Ramlan, 2001: 81)
BK (4) Sicheon-eun S
Seoul-e
-ps
Sincheon
Ket–pk Seoul
„Sicheon ada di Seoul‟ (Ahn Jean-Myung, 2010: 87)
iss-eoyo. P -pp ada.
5
Pada kalimat (3) BI di atas, terdiri dari dua unsur fungsional. Unsur badannya menduduki fungsi S, dan unsur sangat lemah menduduki fungsi P. Berdasarkan urutannya, struktur kalimat (3) di atas, S dan P dapat dipertukarkan tempatnya menjadi S mungkin terletak di depan P, atau sebaliknya P mungkin terletak di depan S, sehingga kalimat (3) di atas dapat diubah susunannya menjadi: (3a)
sangat lemah
badannya.
P
S
unsur sangat lemah (3a) tetap menduduki fungsi P dan unsur badannya (3a) juga tetap menduduki fungsi S, sedangkan kalimat (4) BK di atas, terdiri dari tiga unsur fungsional. Unsur Sincheon „Shincheon‟ menduduki fungsi S, unsur Seoul-e „di Seoul‟ menduduki fungsi Ket, dan unsur iss-eoyo „ada‟ menduduki fungsi P. Berdasarkan urutannya pada kalimat (4) hanya unsur yang menduduki fungsi S dan Ket yang bisa dipertukarkan tempatnya, sedangkan unsur P
tidak dapat
dipertukarkan urutannya. Kalimat di atas dapat diubah letaknya menjadi: (4a) Seoul-e Ket -pk Seoul
Sicheon-eun S
-ps
Sincheon
iss-eoyo. P -pp ada.
„Sicheon ada di Seoul‟ Pada kalimat (4a) unsur Seoul-e „di Seoul‟ tetap menduduki fungsi Ket, unsur Sincheon-eun „Sinchon‟ menduduki fungsi S, dan unsur iss-eoyo „ada‟ menduduki menduduki fungsi P.
6
Perbedaan ketiga adalah pada unsur kategori pengisi fungsi unsur-unsur kalimat BI dan BK. Pada kalimat BI, fungsi S berkategori nomina, fungsi P bisa berkategori verba, nomina, frase bilangan, dan kemungkinan bisa frase depan, fungsi O berkategori nomina, fungsi Pl bisa berkategori nomina, verba, dan bilangan, fungsi Ket bisa berkategori keterangan, frase depan ataupun nomina. Pada kalimat BK, fungsi S berkategori nomina, fungsi P berkategori verba, adjektiva, dan copula, fungsi O berkategori nomina, fungsi Pl berkategori nomina dan adjektiva, dan fungsi Ket berkategori keterangan, nomina, ataupun frase depan dengan ditandai penanda setiap fungsinya. Misalnya: BI
(5) Dia
guru saya.
S
P
(Moeliono, 1996: 267) BK
(6)
Jeo-neun S -ps Saya
hanguk saram Pl
-i-bnida. -P-pp
Korea orang -adalah
„Saya adalah orang Korea‟ (Ahn Kyung-Hwa, 2008: 71)
Pada kalimat (5) BI di atas, terdiri dari dua unsur, yaitu dia, dan guru saya. Unsur dia menduduki fungsi S yang berkategori nomina dan unsur guru saya menduduki fungsi P yang berkategori frase nominal. Pada kalimat BK (6) terdiri dari tiga unsur, yaitu jeo-neun „saya‟, hanguk saram „orang Korea‟, dan i-bnida „adalah‟. Unsur jeo-neun „saya‟ menduduki fungsi S yang berkategori nomina, unsur hanguk sarami-bnida „adalah orang Korea‟ menduduki fungsi P yang
7
berkategori verba, jadi kalimat (5) BI dan (6) BK di atas, jika dianalisis secara fungsional (F) dan kategorial (K) hasilnya menjadi sebagai berikut: Kalimat (5) BI Dia
Guru saya
F
S
P
K
N
FV
Tabel 1: Hasil Analisis Fungsi dan Kategori BI
Kalimat (6) BK Jeo-neun
hanguk sarami-bnida
F
S
P
K
N
V
Tabel 2: Hasil Analisis Fungsi dan Kategori BK
Dengan adanya beberapa perbedaan struktur kalimat antara BI dan BK, hal ini memberikan kendala dan kesulitan bagi para pembelajar BK dalam mempelajari BK sebagai bahasa target. Fenomena tersebut di atas, merupakan hal yang tidak jarang terjadi dalam pembelajaran bahasa kedua, sehingga sangat dibutuhkan solusi yang tepat untuk pemerolehan dan pembelajarannya, dalam hal ini adalah BK. Berdasarkan pra observasi yang telah dilakukan, kesalahan dan kesulitan yang sering muncul dalam pembelajaran BK adalah penerapan sistem gramatikal pada struktur kalimat tunggal sebagaimana tersebut di atas. Peneliti dalam menyikapi permasalahan tersebut di atas, akan melakukan penelitian yang hanya membandingkan atau mengkontraskan karakteristik gramatikal BI dan BK dalam struktur kalimat tunggal deklaratif struktur biasa yang terkait dengan fungsi, urutan, dan kategori unsur-unsurnya berupa Subjek, Predikat, Objek, Pelengkap, dan Keterangan.
8
Penelitian semacam ini dikenal dengan sebutan analisis kontrastif. Lado (1975) dalam teorinya mengatakan bahwa analisis kontrastif merupakan sebuah cara untuk mendeskripsikan kesulitan atau kemudahan pembelajar dalam belajar bahasa kedua dan bahasa asing. Penelitian kontrastif ini sangat penting dilakukan, mengingat sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian kontrastif struktur kalimat tunggal BI dan BK. Hasil penelitian ini akan menjadi informasi penting bagi pendidik dan peserta didik BK dalam memahami masing-masing karakteristik gramatikal pada struktur kalimat tunggal sebagaimana tersebut di atas, sehingga dapat memberikan kemudahan bagi pendidik untuk mengajarkan BK, sekaligus dalam menghadapi kesulitan yang dialami oleh peserta didik. Di samping itu, hal ini juga menjadi cerminan gramatikal tersendiri antara BI dan BK bagi peserta didik pada khususnya, yang nantinya akan mampu membantu memberikan pemahaman yang komprehensif kepada mereka dalam pembelajaran gramatikal BK, karena dituntun oleh hasil analisis kontrastif BI dan BK. Hal itu juga berpijak pada pernyataan bahwa Kajian kontrastif merupakan referensi terbaik bagi para pendidik bahasa target untuk mengantisipasi kesulitan dan kesalahan yang dihadapi peserta didiknya (Fries, 1945; Gleason, 1961).
1.2.
Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah terkait perbandingan struktur
kalimat tunggal BI dan BK dirumuskan sebagai berikut:
9
1. Bagaimana struktur kalimat tunggal BI dan BK berdasarkan fungsi, urutan, dan kategori unsur-unsurnya? 2. Apa perbedaan dan persamaan struktur kalimat tunggal bahasa Indonesia dan bahasa Korea? 3. Apa implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa Korea sebagai bahasa asing?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat menjawab
persoalan-persoalan yang telah diagendakan dalam rumusan masalah di atas sebagaimana terangkum sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan struktur kalimat tunggal BI dan BK berdasarkan fungsi, urutan, dan kategori unsur-unsurnya. 2. Mendeskripsikan perbedaan dan persamaan struktur kalimat tunggal BI dan BK. 3. Mendeskripsikan implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa Korea sebagai bahasa asing.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa disumbangkan hasil penelitian ini tercakup ke dalam dua
hal, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat mengetahui komponen persamaan dan perbedaan struktur kalimat tunggal struktur biasa berdasarkan fungsi dan kategori unsur-unsur BI dan BK.
10
Selain itu, penelitian ini dapat memperkaya kepustakaan tentang studi bahasa Korea dan bahasa Indonesia. Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah utamanya dapat membantu pembelajar bahasa Korea untuk meminimalisasi kendala, kesulitan, dan kesalahan yang dihadapi dalam menjalani proses pembelajaran bahasa Korea melalui model dan metode pengajaran yang efektif dan tepat guna.
1.5.
Tinjauan Pustaka Kajian kontrastif BK pada masa-masa sebelumnya memang sudah ada
beberapa penelitian yang dilakukan oleh para peneliti luar terkait kepluralistikan para pembelajar BK, dalam arti mereka merupakan penutur bahasa selain BK. Berikut penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan terkait kajian kontrastif BK: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Chang, Woohyeok & William Idsardi pada tahun 2001 yang berjudul Speech Perception And Production Of English Final Voicing Contrast By Korean Speakers. Penelitian ini secara kasat mata seolah-oleh bukan kajian kontrastif. Namun demikian, sebenarnya penelitian yang dilakukan oleh Chang, Woohyeok & William Idsardi mengkaji tentang Speech Perception And Production Of English Final Voicing Contrast yang dilakukan oleh penutur bahasa Korea terhadap tuturan bahasa Inggris, yang dalam hal ini bahasa Inggris merupakan bahasa yang menjadi objek kajian kontrastifnya terhadap bahasa Korea. Dalam hal ini menghasilkan sebuah hasil penelitian yang dapat memberikan cerminan atau gambaran terkait
11
Speech Perception And Production Of English Final Voicing Contrast bagi penutur bahasa Korea yang sedang belajar bahasa Inggris, sehingga mereka dapat mengatasi atau meminimalisasi kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam menjalani proses pembelajaran bahasa Inggris. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Ji Eun pada tahun 2004 yang berjudul Negative transfer in the production of English front vowels by native speakers of Korean: Phonetic and phonological considerations. Penelitian ini pada dasarnya bukan merupakan sebuah kajian kontrastif, melainkan sebuah kajian Error Annalysis. Dalam hal ini dikaji kebiasaan-kebiasaan bahasa ibu penutur asli bahasa Korea, yang dalam hal ini mereka merupakan penutur asing bahasa Inggris, menyusupkan ke dalam sistem tata tutur bahasa Inggris. Adapun yang menjadi titik permasalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah transfer negatif atau interferensi sistem fonetis dan fonologis bahasa Korea terhadap
bahasa
Inggris,
yang
mana
hal
ini
bisa
menyebabkan
ketidakberterimaan pelafalan bunyi-bunyi bahasa Inggris dalam tataran fonetis dan morfologi, dan yang paling dikhawatirkan adalah ketika interferensi tersebut akan menyebabkan sebuah distorsi makna. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Choi, Soonja dan David Zubin pada 1985 dengan judul Acquisition Of Negation: How Do Children Learn To Answer Yes-No Questions In Korean And In English. Penelitian ini lebih fokus pada akuisi atau pemerolehan bahasa oleh penutur dini bahasa Inggris dan bahasa Korea. Dalam penelitian difokuskan kajian terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak-anak ketika belajar Yes-No Questions dalam bahasa
12
Korea dan bahasa Inggris. Pada bagian ini juga ditampilkan perbandingan antara kedua sistem pembelajarannya yang dalam hal ini termasuk proses akuisisi. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Do dan Anna H.-J. pada tahun 2004 yang berjudul Rethinking The Noun Phrase Accessibility Hierarchy And Transfer: Evidence From The Acquisition Of Korean Relative Clauses By English Speakers. Penelitian ini mengkaji tentang akuisisi bahasa Korea yang dialami oleh penutur asli bahasa Inggris terkait penggunaan frasa benda yang ditautkan dengan sisi semantisnya. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Sunyoung Lee pada tahun 1999 yang berjudul A Korean Child's Acquisition Of First-Person Singular Pronouns: Compared With An English-Speaking Child's. Penelitian ini mengkaji tentang akuisisi bahasa terkait kata ganti orang ketiga tunggal yang dilakukan oleh anak-anak penutur bahasa Inggris.
1.6.
Landasan Teori
1.6.1 Sintaksis Istilah sintaksis secara langsung diambil dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase (Ramlan, 2001: 18). Sintaksis merupakan suatu cabang linguistik yang menduduki posisi sangat penting dalam peranannya melakukan tugas-tugas linguistis. Definisi
13
sintaksis pun banyak sekali dicetuskan oleh banyak pakar linguistik, namun kesemuanya mempunyai intisari yang sama, yang salah satunya dipaparkan oleh Verhaar (2004: 161) bahwa sintaksis merupakan tatabahasa yang membahas hubungan antar kata dalam tuturan, yang mana salah satu satuan tuturan itu adalah kalimat. Kalimat adalah satuan yang merupakan suatu keseluruhan yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhan itu.
1.6.2 Fungsi Sintaksis Berangkat dari pengertian sintaksis di atas, bahan dan objek kajian sintaksis meliputi frasa, klausa, dan kalimat. Kata dalam sintaksis memegang peranan kajian posisi struktural dalam kalimat. Kalimat merupakan tataran tertinggi dalam kajian sintaksis. Di dalam tataran kalimat ditemukan berbagai komponen atau material-material sintaktis, yang salah satunya adalah fungsi sintaksis. Terkait fungsi sintaksis, Verhaar (2010:166) mengatakan bahwa kata kerja atau verba, yang biasanya selalu berfungsi sebagai predikat, memegang peranan penting dalam penetuan fungsi dari komponen-komponen yang lain dalam tataran kalimat, misalnya adalah subjek dan objek, serta keterangan. Dalam Kridalaksana, Harimurti (2002) mengatakan bahwa di dalam klausa terdapat komponen-komponen yang karena hubungan fungsional mempunyai status yang khas. Komponen-komponen dengan status yang khas itu disebut subyek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Yang dimaksud dengan subyek ialah bagian klausa atau gatra yang menandai apa yang dinyatakan oleh pembicara. Yang dimaksud dengan predikat ialah bagian
14
klausa atau gatra yang menandai apa yang dinyatakan pembicara tentang subyek. Predikat dapat berwujud nomina, verba, ajektiva, numeralia, pronomina, atau frase preposisional. Terkait sintaksis dan fungsi sintaksis, semua bahasa di dunia mempunyai keunikan tersendiri terkait sistem bahasanya. Tataran sintaksis merupakan tataran yang sangat rumit dalam kebanyakan bahasa-bahasa di dunia. Misalnya bahasa Indonesia dan bahasa Korea mempunyai sistem sintaktis yang sangat berbeda dalam penataan fungsi-fungsi sintaktisnya dalam kerangka kalimat. Sebagai contoh konkret dalam bahasa Korea ditemukan partikel-pertikel yang berperan sebagai penanda dalam menyertai masingmasing fungsi sintaksisnya.
1.6.3 Struktur Sintaksis Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan Subjek (S), Predikat (P), Objek (O), Pelengkap (Pl), dan Keterangan (Ket) dan susunan fungsi sintaksis tidak selalu berurutan S, P, O, Pl dan Ket. Keempat fungsi ini tidak harus ada dalam setiap struktur sintaksis, tetapi banyak pakar yang menyatakan bahwa suatu struktur sintaksis minimal harus memiliki fungsi Subyek dan fungsi Predikat. Menurut Verhaar (2010), dalam hubungan analisis fungsi ada empat terminologi analisis fungsi yang berbeda. Pertama, kalimat dibagi atas subjek dan predikat. Selanjutnya predikat dibagi atas predikat verbal, objek, dan keterangan. Keterangan dibagi atas beberapa macam, misalnya keterangan
15
waktu, keterangan tempat, dan lain-lain. Kedua, kalimat dibagi atas subjek, predikat, dan keterangan. Keterangan dibagi lagi atas objek dan keterangan waktu, keterangan tempat, dan lain-lain. Ketiga, kalimat dibagi atas subjek, predikat, dan pelengkap. Pelengkap dibagi atas objek dan keterangan. Selanjutnya keterangan dibagi atas keterangan waktu, keterangan tempat, dan lain-lain. Keempat, kalimat dibagi atas subjek, predikat, objek, dan keterangan. Berikutnya keterangan dibagi atas keterangan waktu, keterangan tempat, dan lain-lain, sedangkan analisis kalimat berdasarkan kategori unsur-unsurnya adalah menentukan termasuk kategori apakah suatu unsur dalam suatu kalimat. Analisis kategori adalah analisis terhadap jenis kata atau kelas kata unsurunsur pengisi fungsi tertentu dalam sebuah kalimat. Menurut Hoo-Min Shon (2010), sama seperti bahasa Jepang, struktur sintaksisnya adalah Subjek (S), Objek (O), Predikat (P). Dalam bahasa normal predikat (verb or adjective) terletak di akhir kalimat atau klausa yang ditandai dengan elemenu-elemen lainnya, seperti subjek dan objek yang pasti muncul sebelum predikat. Partikel dalam bahas Korea (setara dengan preposisi bahasa Inggris) selalu muncul setelah elemen-elemen yang muncul dalam kalimat. Menurut Ahn Kyung-Hwa (2008), kalimat bahasa Korea memiliki struktur „Subjek+Predikat‟ serta „Subjek+Objek+Predikat‟. Pada subjek dilekatkan partikel penunjuk subjek –i dan –ga, pada objek dilekatkan partikel penunjuk objek –eul dan –reul. Pada posisi subjek dan objek dalam kalimat dapat ditukar karena partikel berfungsi untuk menunjukkan subjek dan objek
16
dalam kalimat. Selain itu, apabila subjek dalam kalimat sudah jelas siapa atau apa, maka partikel penunjuk subjek pun dapat dihilangkan. Kata kerja dalam kalimat dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk dasar –ga dari kata kerja gada bila digabungkan dengan bermacam-macam bentuk-bentuk gramatikal dapat berubah menjadi –gayo, -gabnida, gassseubnida, -gal geobnida, -gaseyo, -gabsida. Selain itu, bentuk-bentuk gramatikal tersebut dapat mengekspresikan kesopanan, kala, modalitas, dan lain sebagainya.
1.6.3.1. Frase Frase adalah satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas unsur fungsional klausa. Berdasarkan pengertian bahwa frase terdiri dari dua kata atau lebih dan memiliki batasan yang tidak melampaui fungsi unsur dari klausa, maka dua kata merupakan batasan unsurnya, apabila lebih dari dua kata, maka harus memperhatikan unsur hirarki bahasa. Perhatikan contoh berikut ini: (1) membaca buku kemarin malam Satuan sintaksis yang merupakan frase pada kalimat (1) adalah membaca buku, dan kemarin malam, sedangkan adi membaca buku sintaksis kemarin malam bukan merupakan frase, karena melampaui batas unsur fungsional yaitu adanya subjek (adi), predikat (membaca), objek (buku), dan keterangan (kemarin malam). Sehingga frase membaca buku
17
terdiri dari kata membaca dan kata buku dan frase kemarin malam terdiri dari kata kemarin dan kata malam sebagai unsur langsungnya. Jadi diagramnya sebagai berikut: membaca buku kemarin malam
membaca buku
membaca
kemarin malam
buku
kemarin
malam
(2) Buku seorang mahasiswa Frase (2) bukan terdiri dari kata-kata buku, seorang, dan mahasiswa, tetapi terdiri atas kata buku dan frase seorang mahasiswa sebagai unsur langsungnya. Frase seorang mahasiswa terdiri dari kata seorang dan kata mahasiswa. Diagramnya sebagai berikut: buku seorang mahasiswa
buku
seorang mahasiswa
seorang
mahasiswa
Dari contoh (1) dan (2) dapat disimpulkan bahwa frase memiliki batasan sifat pembentuknya, yaitu: 1. Frase merupakan satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih
18
2. Frase merupakan satuan sintaksis yang hanya menempati satu fungsi unsur klausa saja, yaitu subjek, predikat, objek, Plengkap, ataupun keterangan.
1.6.3.2. Klausa Klausa adalah satuan sintaksis yang terdiri dari unsur fungsional Subjek (S) dan Predikat (P) disertai unsur Objek (O), Pelengkap (Pl), dan Keterangan (Ket). Unsur inti klausa adalah S (subjek) dan P (predikat), serta ada unsur lain yang fungsinya manasuka yaitu adanya unsur (O), (Pl), dan (Ket), artinya boleh ada, boleh juga tidak ada. Unsur S (subjek) sering dihilangkan dalam kalimat luas sebagai akibat penggabungan klausa dan dalam kalimat jawaban. Misalnya : (3) Mahasiswa belajar menganalisis sintaksis, Pak Dosen masuk ke dalam kelas berdua dengan asistennya (4) Sedang membaca buku. (sebagai jawaban pertanyaan adi sedang mengapa?) Kalimat (3) terdiri dari empat klausa, yaitu 1. Mahasiswa belajar, 2. Menganalisis sintaksis, 3. Pak dosen masuk ke dalam kelas, 4. Berdua dengan asistennya. Klausa 1 terdiri dari unsur S dan P. Klausa 2 terdiri dari unsur P diikuti unsur Pelengkap. Klausa 3 terdiri dari unsur S, P, dan unsur keterangan (Ket). Klausa 4 terdiri dari unsur P dan unsur Pelengkap.
19
Dari data di atas akibat penggabungan antara klausa 1 dengan klausa 2, unsur S pada klausa 2 dihilangkan, sebaliknya klausa 3 dengan klausa 4, unsur S pada klausa 4 juga dihilangkan. Sehingga kelengkapan pada klausa-klausa di atas, yaitu : 1. Mahasiswa belajar, 2. Mahasiswa menganalisis sintaksis, 3. Pak dosen masuk ke dalam kelas, dan 4. Pak dosen berdua dengan asistennya. Kalimat (4) sedang membaca buku terdiri dari satu klausa, yaitu sedang membaca buku, yang hanya terdiri unsur P dan O. S-nya dihilangkan karena merupakan jawaban dari suatu pertanyaan. Sehingga kelengkapan klausa tersebut berbunyi Adi sedang membaca buku. Berdasarkan unsur di atas, maka pembahasan tentang klausa dapat dikaji berdasarkan tiga dasar, yaitu: 1. Berdasarkan fungsi unsur-unsurnya Klausa memiliki unsur fungsional yang terdiri dari S, P, O, Pl, dan Ket. Unsur-unsur tersebut tidak selalu bersama ada dalam satu klausa, kadangkadang satu klausa terdiri dari berbagai unsur, yaitu : 1) Unsur S dan P 2) Unsur S, P, dan O 3) Unsur S, P, dan Pl 4) Unsur S, P, O, dan Ket 5) Unsur S, P, dan Ket 6) Unsur P saja ataupun unsur-unsur lain mungkin ada, mungkin juga tidak ada
20
berdasarkan unsur fungsionalnya jelas bahwa unsur yang cenderung selalu ada dalam klausa adalah unsur P (predikat).
2. Berdasarkan kategori kata atau frase yang menjadi unsurnya Berdasarkan fungsinya klausa terdiri dari unsur-unsur pembentuk yang disebut S, P, O, Pl, dan Ket. Dalam unsur fungsional tersebut hanya dapat diisi dengan golongan atau kategori kata atau frase tertentu. Kata atau frase yang menempati unsur fungsional harus dari golongan atau kategori tertentu dan tidak semua kategori kata atau frase dapat menduduki semua fungsi klausa. (5) Supri Son sudah menulis surat tadi malam Pada kalimat (5), jika dianalisis klausanya secara fungsional, maka memiliki unsur S, P, O, dan Ket. 1. Supri Son menduduki fungsi unsur S; 2. sudah menulis menduduki fungsi unsur P; 3. surat menduduki fungsi unsur O, dan 4. tadi malam menduduki fungsi unsur Ket. Dari klausa tersebut di atas, kata-kata atau frase yang menduduki masing-masing unsur fungsi termasuk ke dalam kategori-kategori. Unsur S termasuk kategori N (Noun), unsur P termasuk kategori (Verb), unsur O termasuk kategori N (Noun), dan unsur Ket termasuk kategori (Frase Depan). Sehingga, jika klausa dianalisis secara fungsional dan kategorikal, hasilnya sebagai berikut:
Fungsi (F)
Supri Son
Sudah menulis
Surat
Tadi malam
S
P
O
Ket
21
Kategori (K)
N
V
N
FD
Melalui analisis golongan atau kategori ini, maka akan diperoleh fungsi-fungsi tiap unsur S, P, O, Pl, dan Ket. 1) Fungsi unsur S meliputi kategori Nomina (N) 2) Fungsi unsur P meliputi kategori Nomina (N), Verb (V), Bilangan (Bil), dan Frase Depan (FD) 3) Fungsi unsur O meliputi kategori Nomina (N) 4) Fungsi unsur Pl meliputi kategori Nomina (N), Verb (V), dan Bilangan (Bil) 5) Fungsi unsur Ket meliputi kategori Nomina (N), Bilangan (Bil), dan Frase Depan (FD).
3. Berdasarkan makna unsur-unsurnya. Berdasarkan unsur-unsur fungsionalnya dalam analisis klausa, unsur fungsi klausa terdiri dari S, P, O, Pl, dan Ket. Dalam analisis kategori klausa dinyatakan bahwa sebagai fungsi S terdiri dari Nomina (N), sebagai fungsi P terdiri dari Nomina (N), Verb (V), Bilangan (Bil), dan Frase Depan (FD). Sebagai fungsi O terdiri dari Nomina (N), sebagai fungsi Plengkap (Pl) terdiri dari Nomina (N), Verb (V), dan Bilangan (Bil). Sebagai fungsi keterangan terdiri dari Keterangan (Ket), Frase Depan (FD), dan Nomina (N), maka fungsi-fungsi tersebut juga terdiri dari maknamakna yang memiliki makna unsur pengisi satu fungsi yang berkaitan
22
dengan makna yang dinyatakan oleh unsur pengisi fungsi yang lain. Misalnya : (6) Kim sedang bicara di depan kelas. Secara fungsional klausa kalimat (6) terdiri dari fungsi S, P, dan Ket. Fungsi S adalah kata Kim yang termasuk golongan atau kategori N, fungsi P adalah kata sedang bicara yang termasuk kategori V, dan fungsi Ket adalah di depan kelas yang termasuk kategori FD. Sehingga berdasarkan fungsi dan kategori klausa pada kalimat (6) di atas, maka makna pada fungsi S adalah menyatakan makna „Plaku‟, yaitu melakukan perbuatan, fungsi P adalah menyatakan makna „perbuatan‟, fungsi Ket adalah menyatakan makna „tempat‟.
1.6.3.3. Kalimat Kalimat adalah satuan sintaksis yang terdiri dari dua klausa atau lebih yang dibatasi oleh jeda yang disertai nada akhir naik atau turun. Pada tataran kalimat, klausa memiliki unsur fungsional tersendiri yang disertai adanya jeda panjang nada akhir naik turun, tetapi pada dasarnya yang menentukan sebuah kalimat adalah adanya stuktur pembentuk tiaptiap klausa. Kalimat yang terdiri dari dua klausa dicontohkan sebagai berikut : (7) Perasaan ini berdebar bila wanita itu lewat di depanku. Pada kalimat (7) terdiri dari dua klausa, yaitu perasaan ini berdebar sebagai klausa pertama, dan wanita itu lewat di depanku sebagai klausa
23
kedua. Klausa pertama terdiri dari S dan P, dan klausa kedua terdiri dari S, P, dan Keterangan Tempat. Berdasarkan jedahnya yang disertai nada akhir naik turun, orang yang mengucapkan kalimat tersebut dapat didengar adanya jeda yang naik turun. Jeda pendek pada kalimat (7) dinyatakan antara kata perasaan dan kata ini, antara kata wanita dan kata itu, dan antara kata di dan kata depanku. Jeda sedang dinyatakan pada frase perasaan ini, wanita itu, dan di depanku. Jeda panjang akhir dinyatakan pada kata depanku.
a.
Penggolongan Kalimat Berdasarkan golongannya kalimat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu : 1. Kalimat Berklausa Kalimat berklausa adalah kalimat yang terdiri dari satuan yang berupa klausa yang melekat unsur fungsionalnya. Misalnya: mahasiswa itu makan soto ayam di kantin FIB. Kalimat tersebut terdiri dari satu klausa yang memiliki unsur fungsi S yang diduduki mahasiswa itu, P yang diduduki makan, O yang diduduki soto ayam, dan Ket yang diduduki di kantin FIB.
2. Kalimat Tak Berklausa Kalimat tak berklausa adalah kalimat yang tidak memiliki satuan dari klausa. Misalnya: (1) mahasiswa Indonesia dan (2) bahasa Indonesia.
24
Kalimat (1) dan (2) bukan merupakan kalimat tak berklausa, karena kedua kalimat tersebut merupakan satuan frase.
3. Kalimat Berita Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat berita berfungsi memberitahukan sesuatu kepada orang lain sehingga tanggapan yang diharapkan berupa perhatian yang tercermin pada pandangan mata yang menunjukkan adanya perhatian, anggukan, mungkin disertai ucapan ya. Berdasarkan jeda/intonasinya kalimat berita, yaitu [2] 3 // [2] 3 1 # dan [2] 3 // [2] 3 # apabila P-nya terdiri dari kata-kata yang suku kedua dari belakangnya bervokal /ə/, seperti kata keras, cepat, kering, tepung, dan bekerja.
4. Kalimat Tanya Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Kalimat tanya memiliki pola intonasi yang berbeda dengan pola intonasi kalimat berita. Pola kalimat tanya terletak pada nada akhirnya yang lebih tinggi, sedangkan pola intonasi kalimat berita terletak pada nada suku terakhir. Pola intonasi kalimat tanya adalah : [2] 3 // [2] 3 2 #. Berdasarkan intonasinya, kalimat tanya terdiri dari (1) kalimat tanya tanpa kata ganti tanya dengan pola intonasi # 23 // 232 #, (2) kalimat tanya dengan kata tanya apa dengan pola intonasi # 2 // 23 // 232#, (3) kalimat
25
tanya dengan kata ganti tanya seperti kata ganti tanya mengapa, bagaimana, mana, berapa dan sebagainya, dengan pola intonasi # 232 // 23 // 232#.
5. Kalimat Suruh Kalimat suruh adalah kalimat yang mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Pola intonasi kalimat suruh adalah 23 # atau 232 # jika diikuti partikel –lah pada P-nya. Berdasarkan strukturnya kalimat suruh dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu: 1. Kalimat suruh yang sebenarnya 2. Kalimat suruh persilahan 3. Kalimat suruh ajakan 4. Kalimat suruh larangan
b.
Hubungan makna dalam kalimat antar klausa Hubungan makna yang timbul sebagai akibat pertemuan antar klausa,
baik antar klausa inti, ataupun antar klausa inti dengan klausa bawahan, maka hubungan makna dalam kalimat memiliki 17 hubungan makna, yaitu: 1. Makna penjumlahan (dan, serta, dan lagi, lagi, selain, disamping, dan tambahan lagi) 2. Makna perturutan (lalu, kemudian, dan lantas) 3. Makna pemilihan (atau dan bagaimanpun)
26
4. Makna perlawanan (tetapi, tapi, akan tetapi, namun, hanya, melainkan, sedang, sedangkan, padahal, dan sebaliknya) 5. Makna lebih (bahkan dan malah) 6. Makna waktu (ketika, takkala, tengah, sedang, waktu, sewaktu, selagi, semasa, sementara, serta, demi, begitu, selama, dalam, setiap, setiap kali, tiap kali, sebelum, setelah, sesudah, sehabis, sejak, semenjak, sedari, hingga, sehingga, dan sampai) 7. Makna perbandingan (lebih, daripada, seperti, sebagaimana, bagai, seakan-akan, seakan, seolah-olah, seolah, serasa-rasa, dan serasa) 8. Makna sebab (karena, oleh karena, sebab, lantaran, berhubung, berkat, dan akibat) 9. Makna akibat (hingga, sehingga, sampai, dan sampai-sampai) 10. Makna syarat ( jika, apabila, bila, bilamana, jikalau, kalau, asal, dan asalkan) 11. Makna pengandaian (andaikan, andaikata, seandainya, sekiranya, dan seumpama) 12. Makna harapan (agar, supaya, agar supaya, dan biar) 13. Makna penerang (yang, di mana, dari mana, dan tempat) 14. Makna isi (bahwa, kalau, dan kalau-kalau) 15. Makna cara (dengan, tanpa, sambil, seraya, dan sembari) 16. Makna perkecualian (kecuali dan selain) 17. Makna kegunaan (untuk, guna, dan buat)
27
1.6.4 Analisis Kontrastif Dewasa ini pembelajaran bahasa kedua atau bahasa target sangat berkembang di dalam dunia pendidikan, beragam solusi untuk menghadapi kesulitan peserta didik dalam belajarnya pun selalu digalakkan, salah satunya adalah analisis kontrastif bahasa kesatu dengan bahasa kedua, yang juga sering dikenal dengan akronim anakon. Seorang tokoh utama pelopor analisis kontrastif, Robert Lado (1975), analisis kontrastif adalah cara untuk mendeskripsikan kesulitan atau kemudahan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa kedua dan bahasa asing. Dari paparan tersebut bisa dipetik gambaran analisis kontrastif merupakan sebuah analisis perbandingan bahasa ibu dan bahasa kedua atau bahasa asing terkait sistem bahasanya yang kemungkinan memiliki persamaan dan perbedaan. Merujuk pada pernyataan di atas, Lado dalam Parera (1997:107) memaparkan pula langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam proses analisis kontrastif antara lain sebagai berikut: a. Tempatkan satu deskripsi struktural yang terbaik tentang bahasa-bahasa yang bersangkutan. Deskripi itu harus mencakup tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Deskripsi ini harus mencakup bentuk, makna, dan distribusi. b. Rangkum dalam satu ikhtisar yang terpadu semua struktur. Ini berarti semua linguis harus merangkum semua kemungkinan pada semua tataran analisis bahasa yang diteliti dan dibandingkan.
28
c. Bandingkan dua bahasa itu struktur demi struktur dan pola demi pola. Dengan perbandingan tiap struktur dan pola dalam dua sistem bahasa itu, orang dapat menemukan masalah-masalah dalam pembelajaran bahasa. Kita akan menentukan pola yang sama dan berbeda. Dengan demikian, kita dapat meramalkan kemungkinan hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran bahasa tersebut. Melalui redaksi yang berbeda dan intisari yang sama Hasanah (1995:4) mengemukakan bahwa analisis kontrastif merupakan salah satu alternatif dalam menjawab permasalahan yang dihadapi dalam pengajaran bahasa kedua, yaitu adanya kesulitan dan kesalahan berbahasa yang dijumpai pada pembelajar bahasa asing sebagai bahasa kedua, yang akhirnya menjadikan pengajaran bahasa kedua dirasakan kurang efektif dan efisien. Dalam analisis kontrastif dilakukan perbandingan dua sistem bahasa, yaitu bahasa pertama atau bahasa ibu dengan bahasa kedua atau bahasa asing, yang mana hasilnya akan melahirkan persamaan atau perbedaan untuk membantu peserta didik dan para pendidik untuk melakukan kegiatan belajar mengajar bahasa asing dengan teknik yang tepat guna dan hasil yang optimal. Terkait fenomena di atas, Tarigan dalam Uswatun Hasanah (1995:4) mengatakan bahwa perbedaan dan persamaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua dari hasil analisis kontrastif tersebut bisa dijadikan dasar untuk memperkirakan kemudahan dan kesulitan, bahkan dapat digunakan untuk meramalkan dan memprediksi keberhasilan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa kedua (Lado dalam Nurhadi dalam Hasanah,1995:4).
29
1.7.
Hipotesis Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dipaparkan dalam rumusan
masalah, peneliti memiliki beberapa hipotesis terkait pelaksanaan penelitian ini antara lain: a. Pola struktur kalimat tunggal bahasa Indonesia dan bahasa Korea bervariasi berdasarkan fungsi dan kategori unsur-unsurnya, termasuk pola urutan konstituen-konstituen penyusunnya. b. Variasi gramatikal struktur kalimat tunggal bahasa Indonesia dan bahasa Korea mencerminkan beberapa persamaan dan perbedaan sistemnya, mengingat keduanya berasal dari bahasa aglutinasi. c. Hasil penelitian tentang struktur kalimat tunggal bahasa Indonesia dan bahasa Korea dalam sebuah kajian kontrastif ini akan memberikan kontribusi edukasional yang tepat dalam pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa Korea sebagai bahasa asing, khususnya masalah penyusunan dan penyajian bahan ajar melalui metode pembelajaran yang efektif.
1.8.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan kerangka deskriptif kualitatif. Disebut deskriptif
kualitatif karena peneliti menelaah dan melakukan observasi baik dalam studi pustaka maupun media informasi yang lain, yang memberikan banyak inspirasi tentang karakteristik fungsi sintaksis pada struktur kalimat tunggal bahasa Korea dan bahasa Indonesia, kemudian mendeskripsikan secara terperinci. Dalam hal ini
30
terdapat beberapa langkah yang dilakukan, yaitu meliputi objek penelitian, pengumpulan data, klasifikasi data, analisis data, dan pemaparannya.
1.8.1. Objek Penelitian Penelitian yang berjudul struktur kalimat tunggal bahasa Korea dan bahasa Indonesia ini merupakan sebuah kajian kontrastif yang memadankan dua buah bahasa dari rumpun yang berbeda, yaitu bahasa Korea dari rumpun bahasa Altaic dan bahasa Indonesia dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Indonesia bagi penulis dalam penelitian ini adalah sebagai bahasa ibu, sedangkan bahasa Korea adalah sebagai bahasa asing atau bahasa target para pembelajarnya. Dalam proses penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data sekunder, yaitu berupa dokumen tertulis atau kajian pustaka. Menurut hemat penulis, adapun sumber data tertulis dalam hal ini merupakan sumber-sumber tertulis yang mencerminkan pemakaian bahasa yang menjadi subjek penelitian. Adapun sumber data bahasa Indonesia peneliti menggunakan sumber data pada buku Tata Bahasa Baku; Bahasa Indonesia dikarang oleh Moeliono, Anton M dkk. 1996. dan ILMU BAHASA INDONESIA: SINTAKSIS yang dikarang oleh Prof. Drs. M. Ramlan edisi kedelapan tahun 2001, sedangkan sumber data bahasa Korea peneliti menggunakan buku Korean Grammar in Use: Beginning to Early Intermediate yang dikarang oleh Ahn Jean-Myung, edisi pertama tahun 2010, buku Seogang Hanguko: Student Book 2A yang dikarang oleh Choe JeongSoon dkk edisi pertama tahun 2007, dan buku 한국어 문법 1/Hankuko
31
Munbeob 1 yang dikarang oleh Kim Jeong-Suk. 2005, yang dianggap dapat mewakili keabsahan pemakaian bahasa Korea oleh penutur aslinya.
1.8.2. Pengumpulan Data Adapun metode penelitian yang digunakan dalam proses pengumpulan data ini adalah metode padan dengan teknik pilah unsur tertentu. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Sudaryanto (1993: 21), bahwa teknik pilah unsur tertentu ini merupakan teknik dasar yang alatnya merupakan daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Dengan demikian, adapun dalam proses pengumpulan data ini peneliti akan memilah secara selektif kalimat-kalimat bahasa Korea dan bahasa Indonesia yang paling cocok untuk dipadankan terkait pemarkah fungsi sintaksis dari masingmasing unsur penyusunnnya. Adapun teknik lanjutan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Jati Kesuma, Tri Mastoyo (2007:46) menyatakan bahwa teknik catat adalah teknik menjaring data tertulis dengan mencatat hasil penyadapan pada kartu data. Kartu data dapat berupa kertas HVS, manila, dan buffalo. Merujuk pada hal itu, adapun sumber data dalam penelitian ini adalah bukubuku tata bahasa Korea dan bahasa Indonesia, data-data sekunder ini diperoleh dari literatur-literatur tersebut dengan batasan-batasan yang telah ditentukan.
32
1.8.3. Klasifikasi Data Tahapan
selanjutnya
dari
proses
pengumpulan
data
adalah
pengklasifikasian data. Dalam proses klasifikasi data ini menggunakan metode padan dengan teknik pilah unsur tertentu sebagaimana diterapkan dalam proses pengumpulan data. Namun, teknik pilah unsur tertentu dalam tahap ini menggunakan tipe daya pilah ortografis, yang menurut Sudaryanto (1993:21) merupakan teknik pilah unsur tertentu yang pemilahannya didasarkan pada ortografi masing-masing kalimat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Korea. Pertama-tama data, yang dalam hal ini berupa kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Korea akan dipilah berdasarkan jenis kalimat deklaratif. Kemudian dari berbagai kalimat deklaratif tersebut akan dipilah kembali berdasarkan jenis-jenis unsur penyusunnya yang mengisi fungsifungsi sintaksis dalam setiap kalimat. Artinya, kesamaan jumlah dan jenis unsur-unsur kalimat yang mengisi fungsi sintaksis dalam hal ini menjadi titik awal pengklasifikasian data.
1.8.4. Analisis Data Data yang telah diklasifikasikan pada tahap pengklasifikasian data, akan diolah pada tahapan selanjutnya yaitu tahap analisis data. Pada tahap ini data akan dianalisis dengan metode agih, yang menurut Sudaryanto (1993:15) merupakan metode penelitian yang alat penentunya merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan. Artinya, masing-masing data pertama-tama akan
33
dianalisis berdasarkan sistem tata bahasa masing-masing bahasa Korea dan bahasa Indonesia. Adapun teknik yang dipakai untuk menganalisis dalam bahasa Korea pada tahap ini adalah menggunakan teknik bagi unsur langsung. Sudaryanto (1993:31) mengatakan bahwa teknik bagi unsur langsung, yang merupakan teknik dasar dari metode agih ini, merupakan teknik penelitian yang cara penggunaannya pada awal kerja analisis ialah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. Dengan demikian, pada tahap ini data akan dianalisis berdasarkan satuan lingual dari masing-masing bahasa Indonesia dan bahasa Korea, dalam hal ini berkaitan dengan unsur-unsur satuan lingual yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis. Misalnya: 1. Hilda membeli mobil. S
P
O
kalimat (2) di atas, dapat dilakukan pembagian unsur-unsur langsung menjadi: a. Hilda b. Membeli c. Mobil adapun kalimat bahasa Korea pertama-tama juga akan dianalisis dengan memakai teknik ini, misalnya dalam contoh kalimat: 2. Jeo-neun gajamada daehakgyo-eseo
hangukeo-reul gongbu-haeyo.
34
S -PS Saya
Ket
-PK
UGM di
O
-PO
P
-PP
Korea bahasa belajar
„saya belajar bahasa Korea di UGM‟ kalimat di atas dapat dibagi menjadi empat bagian yang hasilnya yang benar adalah sebagai berikut: a. Jeo-neun ‘saya‟ b. Daehakgyo-eseo „di UGM‟ c. Hangukeo-reul „bahasa Korea‟ d. Gongbu-haeyo „belajar‟ Selanjutnya dalam menganalisis penanda fungsi sintaksisnya akan menggunakan Teknik Baca Markah. Teknik baca markah adalah teknik analisis data dengan cara “membaca pemarkah” dalam suatu konstruksi kalimat tertentu. Pemarkah adalah alat seperti imbuhan, kata penghubung, kata depan, dan artikel yang menyatakan ciri ketatabahasaan atau fungsi kata atau konstruksi (Kridalaksana, 2008:179) yang menunjukkan kejatian atau identitas satuan kebahasaan tertentu dan kemampuan membaca peranan pemarkah itu. Teknik baca markah dapat digunakan untuk menentukan fungsi sintaksis yang diduduki oleh unsur-unsur penyusun kalimat. Caranya adalah dengan membaca satuan kebahasaan yang menjadi pemarkah fungsi yang dimaksud, misalnya pada kalimat (1) akan mengalami analisis lanjutan dalam proses ini yaitu sebagai berikut: verba membeli bisa dipastikan berfungsi sebagai predikat dalam kalimat tersebut mengingat karakteristik semantisnya
35
merupakan sebuah tindakan yang bermakna aktif berdasarkan keberadaan prefiks meN- yang akan memunculkan sebuah subjek sebagai pelaku dan memungkinkan untuk memunculkan objek yang akan dikenakan tindakan verba tersebut. Pronomina Hilda merupakan unsur pengisi fungsi subjek dalam kalimat (1), karena selain posisinya yang mengawali verba membeli, pronomina ini merupakan nomina bernyawa yang secara semantis mengandung hubungan pelaku (actor) atas verba membeli. Kalau pun dikira bahwa nomina mobil mengisi fungsi subjek, maka secara semantis tidak memiliki hubungan pelaku (actor) dengan predikat tersebut. Dengan demikian, nomina mobil secara semantis memiliki hubungan pokok atau theme yang menurut (Van Valin, 2004:24) merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang berada pada lokasi tertentu atau mengalami perubahan lokasi. Selain itu, mereka juga dapat berupa unsur yang menunjukkan sebuah kepemilikan atau mengalami perubahan status kepemilikan. Karakteristik semantik ini yang notabene juga menyentuh sisi peran nomina mobil akan menuntun para pembaca untuk mengetahui bahwa nomina tersebut menduduki fungsi objek dalam bahasa Indonesia. Pada kalimat (2) dapat dilakukan analisis baca markah sebagai berikut: sufiks –neun pada kata Jeo-neun merupakan pemarkah fungsi subjek; sufiks –eseo merupakan pemarkah fungsi keterangan pada frasa gadjah mada daehagkyo-eseo; begitu juga sufiks –leul pada kata hanguko-reul merupakan penanda atau pemarkah fungsi objek; sedangkan sufiks –haeyo merupakan pemarkah predikat dari verba gongbu-haeyo yang menentukan fungsi-fungsi
36
sintaksis unsur-unsur di sekitarnya, yaitu subjek, objek, keterangan, atau pelengkap. Dengan demikian, terungkaplah masing-masing ciri pengisi fungsi sintaksis yang menjadi identitas bahasa Indonesia dan bahasa Korea. Adapun metode terakhir yang digunakan dalam tahap analisis data ini adalah metode padan dengan teknik pengontrasan. Data yang sudah dianalisis berdasarkan masing-masing satuan lingualnya akan dipadankan dengan mengontraskan masing-masing data dari bahasa Korea dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, akan dihasilkan deskripsi tentang persamaan dan perbedaan struktur kalimat tunggal deklaratif yang terdapat pada kedua bahasa terkait fungsi dan kategori unsur-unsur sintaksisnya dalam sebuah kalimat.
1.8.5. Ruang Lingkup Penelitian Peneliti memberikan batasan masalah atau ruang lingkup dalam kajian ini untuk menghindari interpretasi yang terlalu luas oleh pembaca. Lingkup pembahasan atau kajian yang dikontraskan dalam penelitian kontrastif ini adalah hanya struktur kalimat tunggal deklaratif struktur biasa yang menganalisis fungsi, urutan, dan kategori sintaksis unsur-unsur BI dan BK. Artinya, jenis dan jumlah data konstruksi struktur kalimat tunggal deklaratif bahasa Korea akan beradaptasi pada padanannya dalam bahasa Indonesia.
37
1.8.6. Penyajian Hasil Analisis Data Adapun tahap akhir dalam Plaksanaan penelitian ini adalah tahap penyajian hasil analisis data. Adapun metode yang dipakai dalam tahap ini adalah metode formal dan informal. Sudaryanto (1993:144) menyatakan bahwa metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda atau lambang-lambang, sedangkan metode informal merupakan metode penyajian hasil analisis data yang perumusannya menggunakan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi dan bersifat teknis. Adapun lambang yang nanti akan dipakai adalah lambang huruf sebagai singkatan nama, S unsur subjek, P unsur predikat, O unsur objek, Pl unsur pelengkap, dan Ket unsur keterangan, serta untuk penanda pada BK berupa ps sebagai penanda subjek, po sebagai penanda objek, pp sebagai penanda predikat, ppl sebagai penanda pelengkap, dan pk sebagai penanda keterangan serta transliterasi ejaan latin suku kata bahasa Korea. Selanjutnya hasil analisis data tersebut akan dipaparkan secara terminologis dan deskriptif dari hasil penyajian sebelumnya.
1.8.7. Sistematika Penyajian Hasil penelitian ini akan disajikan ke dalam empat bab yaitu: 1. Bab pertama membahas mengenai latar belakang studi yang akan diteliti serta alasan mengapa objek tersebut yang dipilih. Dalam bab ini diuraikan pula rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
38
2. Bab kedua membahas dan menganalisis struktur kalimat tunggal BI dan BK berdasarkan fungsi dan kategori unsur-unsurnya. 3. Bab ketiga membahas dan menganalisis perbedaan dan persamaan struktur kalimat tunggal BI dan BK. 4. Bab
keempat
membahas
dan
menganalisis
implikasi
dalam
pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Korea sebagai bahasa asing. 5. Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari atas simpulan dan saran.