BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Proses penuaan akan selalu terjadi pada setiap mahluk hidup, di mana proses tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga banyak usaha untuk menunda proses penuaan dengan memberi intervensi terhadap faktor-faktor tersebut agar kualitas hidup tetap baik pada usia lanjut. Menjadi tua adalah suatu proses natural dan kadang-kadang tidak tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada hampir semua sistem tubuh manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu yang sama. Meskipun proses menjadi tua merupakan gambaran yang universal, tidak seorangpun mengetahui dengan pasti penyebab penuaan dan mengapa manusia menjadi tua pada usia yang berbeda-beda. Pesatnya perkembangan ilmu dan tehnologi secara ilmiah menemukan bahwa proses penuaan dapat diperlambat sehingga menyebabkan sebagian orang berusaha melakukan berbagai upaya untuk menghambat ataupun mengobati penuaan termasuk penuaan pada kulit (Pangkahila, 2007; Afaq dan Mukhtar, 2010). Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan, tapi sebenarnya dibagi dua kelompok teori yaitu teori stokastik dan teori nonstokastik. Dan proses yang mempengaruhi penuaannya juga dibagi dua kelompok, yaitu penuaan intrinsik (proses yang berkaitan dengan genetik) dan ekstrinsik (proses akibat akumulasi dari kerusakan akibat pengaruh lingkungan). Paling banyak dapat diantisipasi adalah
1
2
faktor ekstrinsik (seperti gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, cuaca dan iklim yang ekstrim, stres, dan kemiskinan). Untuk kita di daerah tropis, faktor ekstrinsik ini yang sering menyebabkan penuaan dini kulit (premature skin aging). Beberapa hal yang menjadi faktor ekstrinsik seperti paparan sinar UV, deterjen, dan beberapa zat topikal tertentu pada kulit. Faktor lingkungan yang paling berperan adalah radiasi sinar ultraviolet yang dapat merusak telomer dan menginduksi radikal bebas sehingga menimbulkan penuaan seluler (Kosmadaki dan Gilchrest, 2004), sehingga istilah penuaan dini kulit sering disebut pula dengan istilah photoaging (Garmyn et al., 2004). Photoaging akan terjadi apabila kulit terpapar sinar UV secara kronik dan berulang dalam kurun waktu tertentu. Pajanan kronis sinar UVA dan UVB sangat berperan dalam terjadinya photoaging dan photocarcinogenesis (Holder dan Richard, 2004; Gloster dan Nail, 2006; Kochevar dan Taylor, 2008). Kerusakan kulit pada photoaging dapat terjadi pada komponen epidermis, dermis maupun jaringan appendages kulit. Salah satu perubahan mikroskopis yang terjadi pada lapisan dermis kulit yang mengalami photoaging dapat berupa berkurangnya jumlah serat kolagen secara bermakna (Yaar et al., 2008; Walker et al., 2008), berkurangnya kelenjar lemak dan kelenjar keringat sehingga menyebabkan berkurangnya kelembaban pada kulit.
3
Kolagen adalah salah satu komponen serat yang dominan pada lapisan dermis kulit. Serat kolagen banyak berperan pada kekompakan dan kekenyalan kulit. Apabila terjadi kerusakan pada dermis akibat paparan UV, maka akan terjadi perubahan berupa berkurangnya jumlah serat kolagen dan berakibat pada ketebalan kolagen berkurang, serat kelarutan serat kolagen berkurang (Diegelman, 2008). Kerusakan kolagen akibat paparan sinar UVB akibat pengaruh radikal bebas, yang menimbulkan kerusakan pada tingkat seluler dan pada akhirnya berakibat pada kematian sel serat kolagen maupun sel fibroblas yang memproduksi kolagen (Diegelman, 2008; Fischer et al., 2008). Apabila terjadi kerusakan pada serat kolagen maka akan terjadi pula kerusakan pada gugus asam amino. Teori radikal bebas yang dikemukakan oleh Harman pada tahun 1956 merupakan teori yang paling luas dikenal sebagai penyebab penuaan. Tubuh manusia memiliki mekanisme perlawanan terhadap stres oksidatif dengan membentuk antioksidan yang akan mengurangi dan menetralisir radikal bebas, baik antioksidan enzimatik maupun non enzimatik. Namun paparansinar ultraviolet dan sumber radikal bebas lainnya (seperti merokok, polusi) dapat mengalahkan sistem perlawanan alami tubuh tersebut sehingga kontrol terhadap perlawanan alami menjadi tidak adekuat dan terbentuk kerusakan oksidatif (Pinnell, 2003). Antioksidan merupakan molekul yang dapat bekerja pada kulit untuk mengurangi efek reactive oxygen species (ROS), yang terbentuk
4
sebagai akibat dari sinar ultraviolet dan mengakibatkan kerusakan kolagen. Perkembangan terakhir banyak mengarah pada penggunaan antioksidan baik oral maupun topikal untuk melawan penuaan kulit, namun publikasi tentang hal ini termasuk minim. Banyak produk perawatan kulit yang menggunakan antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, ferulic acid, koenzim Q-10, teh hijau, pycnogenol, sylimarin, idebenone (Baumann, 2008). Antioksidan tersebut dapat merangsang produksi kolagen dermis dengan
meningkatkan
produksi
Tissue
Inhibitor
of
Matrix
Metalloproteinas-1 di dermis yang berfungsi untuk menghambat pemecahan kolagen-1. Dengan demikian untuk mencegah kerusakan selular yang berhubungan dengan stres oksidatif maka penting untuk menjaga keseimbangan antioksidan dan oksidan dengan suplementasi antioksidan (Hanggono, 2004). Salah satu tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut adalah buah manggis (Garcinia mangostana), terutama pemanfaatan kulit buahnya. Tanaman manggis berasal dari hutan tropis di kawasan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Sudah lama masyarakat tradisional kita mempercayai dan menggunakan kulit manggis sebagai masker untuk mencerahkan, melembabkan dan mengencangkan kulit. Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton (Akao et al., 2008). Mangostin adalah unsur xanton utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres et al., 2000). Priya et al., (2010) mengekstraksi kulit manggis
menemukan kandungan 95% xanton,
5
disamping itu didapat juga kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Pada penelitian pendahuluan untuk menguji efektifitas dosis kulit manggis terhadap peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit yang akan dilakukan pada penelitian ini didapat hasil bahwa diantara dosis kulit manggis 25%, 50% dan 95%, ternyata dosis 95% adalah yang paling optimal didalam hal peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit (Ericson, 2014). Dengan demikian penulis ingin melakukan penelitian untuk menilai efek proteksi dan peremajaan kulit dari ekstrak kulit manggis dan seberapa besar kandungannya sebagai antioksidan terhadap hewan percobaan yang dipaparkan ultraviolet sehingga terjadi aging skin. 1.2
Rumusan masalah 1. Apakah pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang dipapar UVB ? 2. Apakah pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase1 pada kulit mencit yang dipapar UVB ?
1.3
Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
6
Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% menghambat penuaan kulit pada kulit mencit yang dipapar UVB. 1.3.2
Tujuan khusus 1.
Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang dipapar UVB.
2.
Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia
mangostana)
95%
menurunkan
ekspresi
matriks
metalloproteinase-1 pada kulit mencit yang dipapar UVB. 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1
Manfaat ilmiah Memberikan informasi ilmiah mengenai peranan kulit manggis dalam meningkatkan jumlah kolagen dermis dan menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase-1.
1.4.2
Manfaat aplikasi Mendukung pengembangan penelitian kulit manggis sebagai alternatif antioksidan topikal dalam hal menghambat penuaan kulit melalui peningkatan jumlah kolagen dermis dan penurunan ekspresi matriks metalloproteinase–1.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penuaan Proses menua merupakan suatu akumulasi secara progresif berbagai perubahan patologis di dalam sel dan jaringan yang terjadi seiring dengan waktu. Disamping itu, proses penuaan akan disertai menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Rabe et al., 2006).
2.2
Penuaan kulit
2.2.1
Macam proses penuaan kulit Proses menua kulit mempunyai dua fenomena yang saling berkaitan
dan sering tumpang tindih. Yang pertama adalah penuaan
intrinsik (intrinsic aging, chronological aging) (Gilchrest dan Krutmann, 2006). 1.
Penuaan intrinsik dikenal juga dengan proses penuaan secara alamiah, yang merupakan proses yang terus berlangsung, biasanya dimulai pada usia 20 tahunan yang disebabkan oleh berbagai faktor dari faktor fisiologis tubuh sendiri seperti faktor genetik, hormonal dan ras (Chung et al., 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008), maupun faktor patologis seperti penyakit dan kekurangan gizi. Penuaan intrinsik tersebut, terjadi oleh karena
akumulasi
kerusakan
7
endogen
yang
disebabkan
oleh
8
pembentukan senyawa oksigen reaktif selama metabolisme oksidasi seluler. Pemendekan telomer pada pembelahan sel juga dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab penuaan intrinsik pada kulit, selain oleh karena penurunan faktor pertumbuhan dan hormon. Manifestasi klinis penuaan kronologis kulit dapat berupa serosis, kelemahan, kerutan dan gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angioma buah ceri. Proses penuaan dari seseorang ternyata dipengaruhi oleh gen tetentu. Kondisi kulit orang tertentu, ada yang memiliki kecenderungan mengalami proses penuaan lebih awal seperti kecenderungan untuk timbul keriput. Di dunia ini ada berbagai macam ras dan masingmasing mempunyai struktur kulit yang berbeda terutama struktur kulit yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap lingkungan. Ras kaukasia lebih mudah mengalami terbakar surya dan akan lebih mudah mengalami
penuaan dini kulit, terjadinya lesi prekanker kulit atau
kanker kulit dibandingkan dengan kulit berwarna (Yaar dan Gilchrest, 2008). Pengaruh hormonal erat hubungannya dengan umur seseorang. Proses menua fisiologis lebih terlihat pada wanita yang memasuki masa menopause. Pada masa tersebut fungsi ovarium menurun, menyebabkan estrogen berkurang yang mengakibatkan kekeringan dan penurunan elastisitas kulit sehingga dapat menyebabkan penuaan kulit (Klatz dan Goldman, 2003; Rabe et al., 2006).
9
2. Penuaan ekstrinsik (photoaging), terjadi sebagai akibat kerusakan kumulatif dari radiasi sinar ultraviolet. Paparan sinar matahari, dapat menginduksi penuaan kulit lebih awal dan sering disebut dengan istilah premature skin aging. Gambaran klinis penuaan ini terbatas pada daerah terpapar sinar UV seperti wajah, leher, lengan dan punggung tangan. Penuaan ekstrinsik pada kulit pada umumnya disebabkan paparan sinar UV sehingga dikenal dengan istilah photoaging (Glogau, 2004). Radiasi sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 200 - 400 nm merupakan 5% dari seluruh kisaran radiasi sinar matahari. Secara umum sinar ultraviolet dibagi menjadi tiga, yaitu UVA (320 - 400nm), UVB (290 - 320nm), UVC (300 - 290nm). UVC dapat terabsorbsi secara langsung oleh lapisan ozone di atmosfer. Radiasi UV dapat mengakibatkan aktivasi reseptor permukaan sel yang mengakibatkan propagasi sinyal intraseluler dan sintesis faktor transkripsi.
Protein
inti
yang
berikatan
dengan
DNA
dapat
meningkatkan atau menekan gen transkripsi. Salah satu faktor transkripsi yang secara cepat dan prominen dapat terinduksi oleh radiasi sinar UV adalah AP-1. AP-1 dapat mempengaruhi gen transkripsi kolagen
pada
fibroblas,
menurunkan
level
prokolagen-I
dan
prokolagen-III, selain itu AP-1 juga dapat merangsang gen transkripsi yang mengkode matrix-degrading enzyme seperti metalloproteinase.
10
Pada
kulit
yang
mengalami
photoaging
tersebut
dapat
memperlihatkan gambaran klinis berupa permukaan yang kasar, kerutan halus dan kasar, bercak kekuningan, kering, dan telangiektasis (Rigel et.al., 2004; Gilchrest dan Krutmann, 2006). Kelembaban udara juga berpengaruh pada terjadinya proses penuaan kulit. Kelembaban udara yang rendah, paparan angin dan suhu dingin akan mempercepat penguapan air kulit yang akan menyebabkan kulit menjadi kering dan mempercepat terjadi penuaan kulit. Berbagai bahan
yang
meningkatkan
pembentukan
radikal
bebas
dapat
mempercepat penuaan kulit, antara lain: sinar X, sinar UV, polusi kendaraan bermotor, gas N2O, freon, asap rokok, diet karbohidrat dengan kalori tinggi, bahan pengawet, pewarna dan pelezat. Penggunaan kosmetik yang tidak sesuai dengan kondisi kulit dapat menyebabkan kekeringan kulit dan pada akhirnya dapat terjadi penuaan kulit. Terlalu sering menggunakan sabun, detergen, pembersih berkadar alkohol tinggi pada jenis kulit normal atau kering akan mempercepat terjadi penuaan kulit (Chung et al., 2003; Soepardiman, 2003).
Sumber : catatan kuliah penuan kulit oleh Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna, Spkk Gambar 2.1. Gambar perbandingan kulit muda dan tua.
11
Tabel 2.1. Perubahan kulit secara klinis dan histologis karena penuaan kulit. Epidermis
Dermis
Lain-lain
Dermal-epidermal
Atrofi (kehilangan
Rambut kehilangan
junction menyempit
volume dermal)
pigmen
Ketebalan bervariasi
Fibroblas berkurang
Kehilangan rambut
Ukuran dan bentuk sel
Sel mast berkurang
Perubahan rambut
bervariasi
terminal menjadi rambut vellus/halus
Nukleus atipik berkala
Pembuluh darah
Dasar kuku yang
berkurang
abnormal
Melanosit berkurang
Loop kapiler memendek
Kelenjar berkurang
Sel Langerhans berkurang
Ujung saraf abnormal
Sumber : catatan kuliah penuan kulit oleh Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna, Spkk 2.2.2
Teori terjadinya proses penuaan Secara perspektif penuaan dibagi tiga sudut pandang : usia biologis (kapasitas fungsi sistem organ), usia psikologis (kapasitas perilaku adaptasi), usia sosial (perubahan peran & perilaku sesuai usia manusia). Dalam kesempatan ini, penulis ingin menjelaskan lebih kearah sudut pandang usia biologis. Teori ini berfokus pada proses biologi dalam kehidupan seseorang dari lahir sampai meninggal. Perubahan pada tubuh dapat secara independen atau dapat dipengaruhi oleh faktor luar yang bersifat patologis. Teori biologi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ( Klatz dan Goldman, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008) :
12
1.
Teori stokastik/ Stochastic theories Bahwa penuaan merupakan suatu kejadian yang terjadi secara acak / random dan akumulasi setiap waktu. Teori ini terdiri dari : a. Free radical theory (teori radikal bebas) Banyak teori yang menjelaskan mengenai penuaan, yang paling banyak dianut adalah teori radikal bebas. Riset anti penuaan Dr. Denham Harman pada tahun 1954 mengemukakan teori radikal bebas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidan. Radikal bebas adalah produk metabolisme selular yang merupakan bagian molekul yang sagat reaktif. Molekul ini mempunyai muatan ekstraselular kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya. Molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid
yang
berada
dalam
membran
sel,
mempengaruhi
permeabilitasnya, atau dapat berikatan dengan organel sel lainnya. Radikal bebas adalah elektron dalam tubuh yang tidak memiliki pasangan sehingga akan berusaha mencari pasangan agar dapat berikatan dan stabil. Sebelum mendapat pasangan radikal bebas akan terus menerus merusak sel tubuh termasuk sel tubuh normal. Hal tersebut mengakibatkan sel akan cepat rusak dan menua, bahkan mungkin dapat menimbulkan terjadi kanker atau keganasan.
13
Radikal superoksid dan hidroksil akan terbentuk saat respirasi mitokondria yang timbul akibat autooksidasi berbagai molekul intraseluler serta akibat pengaruh lingkungan seperti sinar ultraviolet. Proses metabolisme oksigen diperkirakan menjadi sumber radikal bebas terbesar, secara spesifik, oksidasi lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh menyebabkan terbentuknya formasi radikal bebas. Polutan lingkungan merupakan sumber eksternal radikal bebas. Enzim superoksid dismutase akan berkurang seiring bertambahnya umur sehingga akan mengakibatkan antioksidan alami tubuh tidak mampu lagi menetralisir oksidan yang terbentuk. b. Teori kelainan alat (Orgell error theory) Kesalahan transkripsi DNA akan dapat menghasilkan RNA yang tidak sempurna, hal tersebut mengakibatkan kelainan pada berbagai enzim dan protein intraseluler sehingga terjadi gangguan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel bersangkutan. Teori kesalahan didasarkan pada gagasan di mana kesalahan dapat terjadi di dalam rekaman sintese DNA. Kesalahan ini diabadikan dan secepatnya didorong kearah sistem yang tidak berfungsi di tingkatan yang optimal. Jika proses transkripsi dari DNA terganggu maka akan mempengaruhi suatu sel dan akan terjadi penuaan yang berakibat pada kematian. Jumlah enzim yang tidak aktif akan semakin bertambah dengan meningkatnya umur.
14
c. Teori ikatan silang (Cross-linkage theory) Proses menua terjadi akibat DNA dan molekul lainnya akan saling melekat, saling memilin (Crosslink) sehingga terbentuk ikatan silang yang progresif antara protein intraseluler dan
interseluler seperti
contoh pada serabut kolagen. Ikatan silang ini akan meningkat dengan bertambahnya umur. Akibatnya protein yang sudah rusak tidak dapat dicerna oleh enzim protease, sehingga ikatan silang ini akan menyebabkan penurunan elastisitas dan kelenturan kolagen pada membran basalis atau pada substansi dasar jaringan penyambung, mengurangi elastisitas protein dan molekul. Akibatnya pada kulit bisa terjadi kerutan, pada ginjal fungsi penyaringan menjadi berkurang dan pada mata dapat menimbulkan katarak (kekeruhan lensa mata), ataupun kerusakan organ yang lain. d. Wear and tear theory (Teori pakai dan rusak) Dipublikasikan pertama sekali oleh Dr. Augus Weistman seorang biologis dari Jerman pada tahun 1882. Teori ini mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti mesin. Sehingga perlu adanya perawatan. Dan penuaan merupakan hasil dari penggunaan yang terus menerus dan berlebihan. e. Teori neuroendokrin Vladimir Dilman, Ph.D. menjelaskan teori kerusakan akibat pemakaian dengan berfokus pada sistem neuroendokrin, jaringan biokimia rumit yang mengatur pelepasan hormon dan elemen-elemen
15
vital tubuh lainnya. Ketika muda, hormon-hormon kita bekerja bersama-sama untuk mengatur berbagai fungsi-fungsi tubuh, termasuk respon kita terhadap panas, dingin dan aktifitas seksual kita. Kelenjar sebesar kacang kenari ini terletak dalam otak dan bertanggung jawab untuk reaksi berantai hormonal kompleks yang dikenal dengan nama lain thermostat tubuh. Hormon penting fungsinya untuk memperbaiki dan mengatur fungsi-fungsi tubuh. Sejalan dengan bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon-hormon dalam kadar yang lebih rendah dan dapat
menyebabkan
efek
berbahaya,
termasuk
penurunan
kemampuannya dalam memperbaiki tubuh dan mengatur tubuh. Produksi hormon sangat interaktif : produksi satu tetes hormon apapun akan mempengaruhi mekanisme secara keseluruhan, seperti menyampaikan sinyal pada organ-organ lain untuk melepaskan hormon lainnya dalam kadar yang lebih rendah sehingga bagianbagian tubuh lainnya juga akan mengeluarkan hormon dalam kadar yang lebih rendah. Dan bilamana salah satu hormon produksinya berkurang akan menyebabkan produksi hormon yang lain dapat berubah, bisa berkurang dan bahkan malah bertambah. f. Teori telomerase Teori penuaan telomerase adalah teori baru tentang penuaan yang menawarkan banyak kemungkinan yang menjanjikan dalam bidang obat-obatan anti penuaan. Teori ini lahir dari hasil temuan kemajuan
16
ilmu-ilmu genetika dan teknologi genetika. Pertama kali ditemukan oleh sekelompok ahli dari Geron Corporation di Menlo Park, California, telomer adalah sekumpulan asam nukleat yang merupakan perpanjangan dari ujung kromosom. Telomer bertugas untuk mempertahankan integritas kromosom. Setiap kali sel-sel kita membelah, telomer akan memendek. Terutama, saat ujung telomerDNA terlalu pendek, pembentukan sel akan melambat dan kemudian akan berhenti sama sekali. Hal ini diyakini kemungkinan sebagai mekanisme untuk jam selular penuaan. Para ahli menemukan bahwa elemen kunci dalam membentuk kembali telomer-telomer kita yang hilang adalah enzim telomerase abadi sebuah enzim yang hanya ditemukan dalam sel-sel kuman dan kanker. Telomerase berfungsi untuk memperbaiki dan memperbaharui telomer, memanipulasi mekanisme berdetaknya jam yang mengatur jangka waktu terbelahnya sel. 2.
Teori nonstokastik/Nonstochastic theories Proses penuaan disesuaikan menurut waktu tertentu a. Programmed theory (teori kontrol genetik) Pembelahan sel dibatasi oleh waktu, sehingga suatu saat tidak dapat regenerasi kembali. Teori ini mengatakan bahwa kita sudah memiliki program genetik dalam DNA masing-masing, yang akan mengatur fungsi fisik dan mental masing-masing individu. Keturunan genetik ini yang menentukan berapa usia kita yang mulai menua, usia berapa kita akan
17
meninggal, setiap manusia seakan memiliki jam waktu (seperti bom waktu) yang berdetik terus sampai masanya habis. Dan setelah itu kita meninggal. b. Immunity theory Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan system imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan system imun tubuh mengalami perubahan, dan dapat dianggap sebagai sel asing. Hal inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Di lain pihak, system imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses penuaan dan daya serangnya terhadap sel kanker mengalami penurunan. 2.2.3
Penyebab penuaan kulit Proses penuaan itu berhubungan dengan perubahan yang terjadi secara terus-menerus pada semua jaringan termasuk pada kulit. Perubahan ini termasuk kehilangan interstitial matriks protein dalam sel. (Jenkins, 2002). Penuaan kulit secara intrinsik berupa pengurangan ketebalan kulit dan perubahan karakteristik dari susunan jaringan. Gambaran klinis dari perubahan karakteristik tersebut, seperti terjadinya kerutan halus, permukaan jaringan yang lebih kasar dan timbulnya hiperpigmentasi.
18
Secara umum diasumsikan penyebab dari proses penuaan kulit ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang etnis, gaya hidup dan paparan sinar matahari secara terus-menerus (Gilchrest dan Krutmann, 2006). 2.3
Photoaging
2.3.1
Definisi Photoaging adalah kelainan dan kerusakan kulit yang diakibatkan paparan kronis sinar UV pada kulit yang memang sudah mengalami penuaan intrinsik. Banyak fungsi kulit yang menurun seiring dengan bertambahnya usia kronologis, akan tetapi pada photoaging terjadi lebih cepat. Jadi photoaging dianggap sebagai kondisi makroskopis, mikroskopis dan fungsional kulit akibat pajanan kronik dan berulang terutama disebabkan radiasi ultraviolet matahari atau sumber sinar buatan (Glogau et al., 2004).
2.3.2
Kondisi kulit akibat photoaging
2.3.2.1 Perubahan klinis kulit pada photoaging Penuaan merupakan proses multifaktorial yang kompleks dan mengakibatkan sejumlah perubahan fungsional dan estetik pada kulit. Perubahan ini dipengaruhi faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Proses menua kulit berlangsung secara lambat tetapi pasti, mulai tampak jelas adanya keriput pada wajah, lipatan kulit dan garis ekspresi lebih nampak serta penurunan kulit (kendor) terutama pada dagu. Kulit muka menjadi kering, tipis dan kasar serta berkurangnya elastisitas, tidak jarang disertai bercak-bercak hiperpigmentasi dan tumor jinak kulit sehingga akan
19
sangat mempengaruhi penampilan seseorang (Kochevar dan Taylor, 2008). Proses penuaan pada orang-orang tertentu dapat terjadi sesuai usia, tetapi pada sebagian orang proses menua kulit lebih awal atau disebut premature skin aging. Salah satu faktor yang sering dikambing-hitamkan mempercepat penuaan kulit adalah pengaruh sinar UV, sehingga sering disebut pula dengan photoaging. Tanda klinis yang berhubungan dengan photoaging adalah depigmentasi, kekenduran, kerutan, telangiektasia, penampakan seperti kulit hewan yang disamak (leather), dan keganasan kulit. Seborrhoeic keratosis adalah pertumbuhan proliferatif jinak, merupakan salah satu contoh dari ciri karakteristik kulit yang telah mengalami penuaan dan berhubungan dengan paparan matahari. Fenotipe spesifik yang merupakan akibat dari paparan matahari dapat terlihat jelas pada kasus actinic elastosis dan sindroma Favré-Racouchot (elastosis noduler dengan kista dan komedo) (Moyal dan Fontainer, 2004). 2.3.2.2 Perubahan histopatologi pada kulit photoaging Secara histopatologis, kulit yang telah mengalami photoaging memperlihatkan hilangnya polaritas epidermal atau kekacauan proses maturasi sel keratinosit. Keratinosit menunjukkan gambaran atipik, terutama pada lapisan epidermis yang lebih dalam. Ketebalan epidermis yang terlindung dari matahari pun dapat berkurang seiring dengan bertambahnya usia, walaupun beberapa laporan memperlihatkan bahwa
20
jumlahnya masih relatif konstan. Terjadi penipisan atau pendataran taut dermoepidermal yang dapat menyebabkan penampakan menyerupai atrofi seperti yang terlihat pada poikiloderma (Garmyn et al., 2004; Rabello-Fonseca et al., 2008). Secara menyeluruh, jumlah sel-sel pada dermis yang mengalami photoaging akan meningkat. Fibroblas mengalami hyperplasia dengan banyak ditemukan infiltrat radang. Inflamasi kronis yang terjadi pada kulit yang mengalami photoaging disebut heliodermatitis. Mikrovaskuler juga mengalami perubahan dan dinding pembuluh darah menebal akibat penumpukan basement membrane-like material. Fibroblast pada kulit yang telah mengalami photoaging memanjang dan kolaps.
Pada
kulit
yang
mengalami
penuaan
intrinsik
akan
memperlihatkan berkurangnya kolagen-1 dan kolagen-3, namun hal yang sama akan terjadi lebih cepat pada daerah yang terpapar sinar matahari (Fenske et al., 2012; Fisher et al., 2001). Jumlah serat elastin menurun seiring bertambahnya usia, namun pada kulit yang terpapar matahari, jumlah serat elastin meningkat secara proporsional. Elastin yang terakumulasi pada kulit abnormal akan menempati daerah yang seharusnya ditempati serat serat kolagen. Suatu teori yang diajukan menyatakan bahwa peningkatan elastin yang abnormal merupakan akibat dari proses bifasik yang berawal dari hiperplasia jaringan elastik normal. Elastin menjadi abnormal dalam penampilannya karena efek peradangan kronis (Fisher et al., 2002; Chung et al., 2003; Chung et al., 2004).
21
2.3.2.3 Patogenesis terjadi photoaging Matriks ekstraseluler dermis terutama terdiri dari kolagen-1 (85%), sejumlah kecil kolagen-3, elastin, proteoglikan dan fibronektin. Serat kolagen yang terdapat pada dermis manusia berperan penting untuk kekuatan dan kekenyalan kulit, terdiri sekitar 85% kolagen-1 dan sekitar 10% kolagen-3 (Uito et al., 2008). Biosintesis kolagen-1, berawal dari pembentukan prokolagen-1 dalam sel fibroblast dermis dan terdiri dari kolagen-1 tripel helix, ujung karboksipeptida dan ujung aminopeptida. Begitu disekresikan dari fibroblast ke matriks ekstraseluler, prokolagen-1 melalui proses enzimatik, maka akan pecah dari kedua ujungnya dan membentuk kolagen-1 matang (Varani et al., 2001). Matriks metalloproteinase merupakan sekelompok enzim yang bertanggung jawab terhadap degradasi kolagen. Sampai saat ini sudah ditemukan 18 jenis matriks metalloproteinase, akan tetapi yang berperan pada kulit dapat diklasifikasikan menjadi empat sub family yaitu: kolagenase, gelatinase, stromelisin, dan MMPs membrane. Penghancuran kolagen tergantung pada aktivitas kolagenase. Enzim
kolagenase
dapat
diklasifikasikan
lagi
menjadi
MMP-1
(kolagenase-1 atau kolagen interstitial), MMP-8 (kolagenase-2 atau kolagen
netrofil)
dan
MMP-13
(kolagenase-3).
Masing-masing
kolagenase akan memecah kolagen dengan spesifisitas tertentu. Misalnya MMP-8 lebih memecah kolagen-1 dibanding kolagen-3.
22
Lokasi pemecahan kolagen juga spesifik dan akan menghasilkan fragmen yang terdiri dari ¾ dan ¼ bagian. Kolagen yang telah hancur disebut gelatin dan lebih lanjut gelatin akan dihancurkan oleh gelatinase dan stromelisin, dan selanjutnya diekskresi dari tubuh (Uito et al., 2008; Varani et al., 2010). 2.3.2.4 Pecegahan dan pengobatan photoaging Pada prinsipnya penatalaksanaan photoaging, lebih mengutamakan faktor pencegahan primer. Pencegahan dilakukan dengan menghindari paparan sinar matahari seperti penggunaan perlindungan fisik (topi, pakaian ataupun payung), serta penggunaan tabir surya dengan daya perlindungan yang memadai dan disesuaikan dengan kondisi kulit. Faktor pencegahan sekunder dalam hal ini dengan menggunakan asam retinoat, antioksidan, faktor pertumbuhan sitokin (Kullavanijaya dan Lim, 2005; Cuninghan et al., 2005). Apabila sudah terjadi photoaging, setiap tindakan yang dilakukan untuk mengatasi atau mengkoreksi kelainan tersebut sudah merupakan tindakan pengobatan (Sterm, 2004; Kullavanijaya dan Lim, 2005; Cuninghan et al., 2005). Pengobatan ini adalah pengobatan dari suatu proses penyakit simtomatik yang ada untuk memperbaiki efeknya atau menunda kemajuannya. Pengobatan tersebut meliputi penggunaan chemical peeling, teknik seperti mikro-dermabrasion resurfacing, penggunaan sistem ablatif dan
23
non-ablatif laser, teknologi frekuensi radio, penggunaan racun Botulinum eksotoksin dan augmentasi jaringan lunak, juga dikenal sebagai filler. 2.4
Sinar matahari dan ultraviolet
2.4.1
Sinar matahari Sinar matahari merupakan energi elektromagnetik yang dipancarkan dalam bentuk gelombang yang terdiri dari sinar gama, sinar X, sinar UV, sinar kasat mata, infra merah dan gelombang radio. Spektrum sinar matahari yang mencapai permukaan bumi dan berperan dalam fotobiologi adalah radiasi sinar UV, sinar tampak dan sinar infra merah. Radiasi sinar UV dapat dibagi menjadi UVA (320-400 nm), UVB (290320 nm) dan UVC (200-290 nm). Radiasi UVC tidak mencapai permukaan bumi (kecuali pada dataran yang tinggi sekali) karena seluruhnya diserap oleh lapisan ozon. Lapisan ozon di permukaan bumi juga menghambat sekitar 95% sinar UVB (Walker et al., 2008). Spektrum elektromagnetik yang ditransmisikan oleh sinar matahari berkisar antara sinar kosmik yang sangat pendek hingga gelombang radio yang sangat panjang. Sebagian besar perubahan kulit akibat sinar yang terjadi berhubungan dengan radiasi UV. Terdapat tiga kategori radiasi UV, yaitu : UVC, dengan panjang gelombang yang terpendek, yaitu 200290 nm. Tidak ada panjang gelombang yang lebih pendek dari 290 nm yang mencapai permukaan bumi, terutama disebabkan oleh fitrasi oleh lapisan ozone, kecuali bila ada keruskan pada lapisan ozone. Berbeda dengan UVB dengan panjang gelombang 290-320 nm yang mencapai
24
permukaan bumi dan bertanggung jawab terhadap atas sebagian besar terjadinya fotobiologi pada kulit. Sinar UVA dengan panjang gelombang 320-400 nm mampu melewati kaca jendela dan dibagi menjadi UVA-satu dengan panjang gelombang 340-400 nm dan UVA-dua dengan panjang gelombang 320-340 nm (Rigel et al., 2004). Menipisnya lapisan stratosfer dari ozone mengakibatkan semakin banyak jumlah radiasi UVB yang mencapai permukaan bumi yang selanjutnya menimbulkan efek langsung terhadap kesehatan manusia. Paparan ultraviolet ini memegang peranan penting terhadap terjadinya penuaan dini kulit. Menariknya hasil akhir dari proses glikasi atau advance glycation end product (AGE) yang terakumulasi pada protein yang berusia panjang seperti matriks ekstraseluler juga berfungsi sebagai sensitiser untuk ultraviolet sehingga merusak sel fibroblas di dermal. Sinar ultraviolet juga terbukti meningkatkan degradasi kolagen melalui aktivasi matriks metalloproteinase (MMP). Dan juga sinar ultra violet dapat memacu sintesis MMP-1 dan MMP-3 melalui pelepasan TNF-α oleh keratinosit dan fibroblas. UVB secara langsung berefek pada kerusakan DNA terutama pada dua lesi besar yaitu cyclobutane dimer dan pyrimidine pyrimidone photo product. Yang secara langsung mempengaruhi sintesis asam nukleat. Walaupun DNA inti mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri, kerusakan DNA jarang sekali di perbaiki secara komplit dan bisa menjadi sel kanker (Gilchrest, 2004).
25
Pada beberapa penelitian juga dikatakan bahwa radiasi sinar UVB menyebabkan penurunan dari sintesis TGF-β (Gilchrest dan Krutmann, 2006). TGF-β dapat menghambat sintesis melanin dengan memecah enzim tyrosinase (Martinez-Esparza et al., 2001).
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk Gambar 2.2. Gambar sinar ultraviolet Sebanyak 95-98% radiasi UV yang mencapai permukaan bumi terdiri dari UVA, sedangkan sisanya sekitar 2-5% adalah sinar UVB. Intensitas UVA dalam sinar matahari mencapai 500-1000 kali lebih besar dibandingkan UVB. Namun penyebab utama dari photoaging dan photocarsinogenesis adalah UVB. Dahulu UVA dianggap tidak berbahaya, akan tetapi ternyata paparan kronik ikut berperan pada photoaging dan photocarsinogenesis (Hawk dan Young, 2004; Walker et al., 2008). Kedalaman penetrasi sinar UV dipengaruhi panjang gelombang. Semakin besar panjang gelombang semakin dalam penetrasinya pada
26
kulit. Sinar UVA maupun UVB dapat menembus sampai ke lapisan dermis (Hawk et al., 2004). 2.4.2
Pengaruh sinar UV pada matriks ekstraseluler dermis Radiasi UV memiliki banyak efek negatif terhadap kulit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Diperkirakan bahwa sekitar 50% kerusakan yang disebabkan oleh UV terjadi karena pembentukan radikal bebas, sedangkan kerusakan seluler langsung dan mekanisme lainnya merupakan penyebab untuk sisanya. Kerusakan matriks ekstraseluler kulit dermis akibat sinar UV pada dasarnya diperantarai mekanisme seluler dan molekuler antara lain melibatkan reseptor permukaan sel, jalur transduksi sinyal protein kinase, faktor transkripsi, matriks metalloproteinase (MMP) (Rabe et al., 2006). Radiasi
UV
dapat
mengaktivasi
reseptor
sitokin
faktor
pertumbuhan (growth factor), pada permukaan keratinosit di epidermis dan sel fibroblast pada dermis. Diperkirakan sekitar 15 menit setelah paparan UV, akan terjadi aktivasi reseptor untuk epidermal growth factor (IL-1 dan TNF-α) pada keratinosit dan fibroblast. Aktivasi reseptor ini akan menginduksi sinyal intraseluler seperti MAP kinase yang selanjutnya mengaktivasi kompleks faktor transkripsi nukleus activator protein-satu (AP-1) (Rigel et al., 2004). Bukti yang ada terus bertambah dari penelitian in vitro bahwa radiasi UV memicu aksi ligand reseptor melalui pembentukan ROS. Telah didahlilkan bahwa ROS bersifat sebagai oksidan dan melalui
27
proses oksidasi tersebut akan menurunkan ensim protein-tyrosine phosphatase. Penurunan ensim ini akan menyebabkan terjadi upregulation reseptor growth factor dan pada akhirnya akan mengaktivasi AP-satu (Rabe et al., 2006). Reactive oxygen species (ROS) juga berpengaruh dalam tranduksi sinyal yang diperantarai oleh MAP kinase (MAPKs), p38 dan JNK. Enzim ini sama baiknya dengan seramid dari membran sel yang selanjutnya menyebabkan induksi AP-1. Activator protein-1 terdiri dari dua subunit, yaitu c-fos yang diekspresikan secara konstitutif dan c-jun yang dapat terinduksi UV. Ekspresi komponen cJun dari AP-1 yang berlebihan pada fibroblast hasil kultur dapat mengurangi jumlah ekspresi kolagen-1. Pada dermis dan epidermis, AP-1 menginduksi ekspresi MMP kolagenase (MMP-1), stromelysin-1 (MMP3) dan gelatinase 92-kd (MMP-9) yang merusak kolagen dan protein lain yang menyusun matriks ekstraseluler dermis. AP-1 dapat
menekan
ekspresi gen prokolagen-1, prokolagen-3 dan TGFβ sel fibroblas dermis sehingga terjadi penurunan sintesis kolagen. Pada manusia dalam waktu beberapa jam terpapar sinar UV akan terbentuk MMPs khususnya gelatinase dan kolegenase yang pada akhirnya menurunkan jumlah kolagen pada lapisan dermis (Fisher et al., 2002; Rhein dan Santiago, 2010). Up-regulation MMPs dapat terjadi walau hanya menerima dosis minimum UV yang besarnya jauh di bawah dosis yang diperlukan untuk menyebabkan terjadinya eritema serta didapat hubungan dosis antara
28
paparan UV dan induksi MMPs. Paparan terhadap sinar UV dalam jumlah yang tidak cukup untuk menyebabkan terbakarnya kulit (sunburn) dapat
memfasilitasi
terjadinya
degradasi
kolagen
kulit
yang
menyebabkan terjadi photoaging. Paparan dosis sangat rendah berulang sinar UV pada dosis yang setara dengan lima sampai dengan 15 menit paparan terhadap matahari siang setiap dua hari sekali adalah cukup untuk mempertahankan tingkat MMP yang meningkat ini (Cuningham et al., 2005). Faktor transkripsi Nuclear Factor-kB (NF-κB) juga diaktivasi oleh sinar
UV
melalui
mekanisme
iron-dependent.
Mekanisme
ini
memperkuat respon UV dengan menstimulasi transkripsi sitokin untuk peroses inflamasi dan menarik neutrofil yang mengandung neutrophil collagenase (MMP-8) yang telah terbentuk sebelumnya (Fisher et al., 2007). Nuclear Factor-kB (NF-κB) juga dapat meningkatkan ekspresi MMP-9 (Kim et al., 2007; Rhein dan Santiago, 2010). Produksi
kolagen
berkurang
pada
kulit
yang
mengalami
photoaging. Setelah radiasi UV, persediaan prokolagen tampak jelas berkurang dan tidak ada sama sekali saat 24 jam setelah paparan in vivo. AP-1 dan transforming growth factor β (TGF-β) terlibat dalam downregulation sintesis kolagen yang dimediasi oleh UV ini (Chung et al., 2004; Rabe et al., 2006). Secara keseluruhan, efek radiasi UV pada dermis menghasilkan degradasi kolagen, hambatan sintesis kolagen, inflamasi dan stres
29
oksidatif, serta penurunan kemampuan sel dan pada akhirnya terjadi proses apoptosis (Cuningham et al., 2005; Rabe et al., 2006).
Gambar 2.3 Efek radiasi UV pada keratinosit (KC) dan fibroblas (F). Radiasi UV memicu terbentuknya reactive oxygen species (ROS) yang dapat merusak DNA dan menghambat kerja enzim tirosin fosfatase. UV juga dapat menurunkan reseptor asam retinoat (RA) dan memicu peningkatan nuclear factor-kB (NFk), dengan efek akhir penurunan produksi kolagen, pemecahan kolagen, akibat aktivitas matriks metaloproteinase (MMP). (Sumber: Rigel et al., 2004; Rabe et al., 2006) 2.4.3
Efek ultraviolet Ultraviolet B (UVB) merupakan spektrum radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang 290 – 320 nm, dan merupakan sinar ultraviolet yang paling efektif menembus bumi dan mengakibatkan kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena ultraviolet B adalah lebih pada kerusakan DNA sel yang merupakan kromofornya. Sinar UVB banyak terserap ke epidermis dan menembus ke papila dermis. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UVB ke epidermis berupa eritema. Panjang gelombang dari ultraviolet yang
30
paling efektif menyebabkan eritema yaitu 250-290 nm dan semakin berkurang efek eritemanya seiring dengan bertambahnya panjang gelombang. Pada paparan sinar UVB tunggal dengan dosis suberitema, gejala eritema berangsur berkurang dalam waktu 24 jam. Pada paparan berulang akan terjadi efek kumulatif dan terjadilah eritema. Gejala eritema setelah paparan sinar UVB akan terjadi kemudian dalam waktu tiga-lima jam dan maksimal pada 12-24 jam kemudian, dan berkurang dalam 72 jam. Sebelum terjadi eritema maka akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Secara histopatologis pada studi dengan potongan kulit 1-µm yang disinari UVB
tunggal dengan dosis tiga MED terjadi
kerusakan sel keratinosit pada 30 menit setelah paparan, dan paling jelas pada 24 jam kemudian. Setelah 72 jam sel keratinosit yang rusak berubah menjadi parakeratotik dan pembesaran sel endotel terjadi setelah 30 menit sampai maksimal 24 jam setelahnya (Gilchrest, 2004). Lihat lampiran-1 (Tabel 2.2 Efek UV terhadap kulit). 2.4.3.1 Efek akut ultraviolet 2.4.3.1.1 Eritema Eritema (sunburn) merupakan reaksi inflamasi akut pada kulit berkaitan dengan kemerahan yang timbul akibat setelah paparan yang berlebihan radiasi sinar ultraviolet. Eritema yang terbentuk tergantung pada panjang gelombang. UVA yang memiliki dua kategori oleh karena memiliki perbedaan eritemogenik di mana UVA-2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan UVA-1. Efektivitas eritema menurun dengan
31
bertambahnya panjang gelombang. Eritema yang diinduksi oleh UVB berespon lebih lambat, mencapai puncaknya setelah enam sampai 24 jam tergantung dosis. Intensitas kemerahan sangat tergantung dosis. Eritema ini dapat bertahan satu hari atau lebih, tergantung dosis dan tipe kulit. Meskipun reaksi akhirnya adalah peningkatan kemerahan kulit, lamanya dan dosis yang mengakibatkan eritema akibat UVB dan UVA sangat berbeda, radiasi UVA sangat kurang efektif mengakibatkan kemerahan dibandingkan dengan UVB. Dosis terendah yang mengakibatkan kemerahan minimal yang dapat dilihat dengan jelas 24 jam setelah radiasi disebut minimal erythema dose (MED). Nilai MED ini bervariasi antara satu orang dengan lainnya tergantung fototipe kulit, warna kulit, dan lokasi anatomi (Rigel et al., 2004). 2.4.3.1.2 Pigmentasi Respon pigmentasi kulit mengikuti paparan sinar matahari terdiri dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan melanin baru. Respon kecoklatan pada kulit tergantung panjang gelombang radiasi. Eritema yang diinduksi UVB diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini kemungkinan terjadi akibat lokalisasi pigmen yang diinduksi oleh UVA lebih basal. Melanisasi yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over epidermis dalam satu bulan (Fisher et al., 2001; Rigel et al., 2004). Jadi pigmentasi dapat terjadi karena meningkatnya fungsi melanosit,
32
meningkatnya sintesis melanin dan meningkatnya transfer melanosom ke keratinosit. 2.4.3.1.3 Kerusakan DNA DNA seluler secara langsung menyerap UVB, dan penyerapan ini menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan merusak heliks DNA. Apabila kerusakan DNA ini tidak diperbaiki maka akan mengakibatkan kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi, dan kematian sel. Radiasi UVA juga merusak DNA tetapi kurang jika dibandingkan dengan UVB (Rigel et al., 2004; Placzek et al., 2005; Gilchrest dan Krutmann, 2006). 2.4.3.1.4 Penekanan sistem imun Paparan sinar ultraviolet ternyata dapat menekan sistem imunitas. Fenomena ini disebut photo immunosuppresion. Fenomena ini berperan penting terhadap terjadinya kanker kulit, meningkatnya insiden penyakit infeksi dan virus, serta menurunnya efektivitas vaksin. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal suberitemal dari radiasi simulator sinar matahari (0,25 atau 0,5 MED) menekan induksi dari respon hipersensitifitas kontak terhadap dinitroklorobenzena hingga 50-80% (Rigel et al., 2004).
33
Tabel 2.2. Efek akut UV terhadap kulit Efek Mikroskopik Infiltrat sel radang
Efek seluler Produksi sitokin
Efek Fungsi Imunosupresi
Sel sunburn (Apoptosis)
Proses repair
Sintesis vit D
Pengurangan sel
Berhentinya siklus sel
Vasodilatasi
Langerhans Hiperkeratosis
Hiperproliferasi (Penebalan epidermis)
Akantosis Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk 2.4.3.2 Efek kronis ultraviolet 2.4.3.2.1 Photoaging Beberapa perubahan molekuler dan seluler yang diinduksi oleh paparan tunggal radiasi ultraviolet tidak memiliki relevansi dengan kerusakan kronis. Perubahan seluler dan jaringan yang terlibat pada beberapa efek akibat paparan ultraviolet, tidak sesederhana yang terjadi sebagai respon akut. Kromofor terbesar menyerap UVB adalah asam nukleat dan protein, kromofor lainnya menyerap UVA tetapi pada konsentrasi yang rendah (Gichrest, 2004). Kulit yang mengalami photoaging secara klinis menunjukkan karakteristik kasar, kerutan halus dan kasar, hiperpigmentasi yang tidak merata dapat berupa lentigen atau
34
bercak (freckles), kelemahan, bengkak, dan telangiektasis (Rigel et al., 2004). 2.4.3.2.2 Fotokarsinogenesis Telah banyak penelitian yang menyokong peranan langsung paparan sinar matahari terhadap perkembangan kanker kulit, khususnya kanker kulit non melanoma, seperti melanoma sel skuamosa dan karsinoma sel basal. Sangat sulit mengevaluasi efek paparan ultraviolet pada induksi dan progresi kanker kulit pada manusia. Perkembangan lesi ini membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan frekuensi maupun intensitas paparan menyerupai keadaan yang sebenarnya di alam sangatlah sulit (Rigel et al., 2004). Dikatakan juga kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi UV merupakan penyebab utama perkembangan kanker kulit (Pleczek et al., 2005).
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk Gambar 2.4. Efek positif dan negatif sinar matahari
35
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk Gambar 2.5. Gambar patogenesa efek radiasi UV
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk Gambar 2.6.Patofisiologi photoaging.
36
2.5.
Kolagen Merupakan protein (polipeptida) ekstraseluler utama dalam tubuh manusia yang ditemukan pada hampir semua organ tubuh. Sampai saat ini sudah ditemukan sebanyak 21 tipe kolagen, jumlah dan jenisnya berbeda-beda pada berbagai organ tubuh manusia (Rhein dan Santiago, 2010). Kolagen-1 merupakan jenis serabut kolagen terbanyak yang dijumpai dalam tubuh manusia seperti pada tendon, tulang, kulit. Serabut kolagen-1 berperan penting dalam pembentukan jaringan parut. Kolagen2, kolagen-9, kolagen-10, kolagen-11 ditemukan pada kartilago. Kolagen-3 banyak dijumpai pada kulit, dinding pembuluh darah, pada jaringan yang ada serabut retikuler, seperti pada jaringan yang mengalami pertumbuhan cepat terutama pada tahap awal penyembuhan luka. Kolagen-3 penyebarannya hampir sama dengan kolagen-1. Sedangkan kolagen-7 kebanyakan lokasinya terletak pada anchoring fibril di dermal epidermal junction pada kulit, mukosa dan servik. Kolagen-7 juga banyak terdapat pada dinding pembuluh darah (Uito et al., 2008). Telah banyak dibuktikan bahwa tipe kolagen yang mendominasi organ kulit adalah kolagen-1 dan kolagen-3 yang berfungsi pada pertahanan mekanik. Akan tetapi tipe kolagen lain yang juga ada pada kulit, seperti kolagen-5, kolagen-6, kolagen-7, kolagen-12 ditemukan dalam jumlah minimal yang diperkirakan ikut menunjang, akan tetapi
37
peran yang pasti belum jelas (Uito et al., 2008; Rhein, 2010). Karena kolagen-1 yang mendominasi organ kulit, maka kolagen-1 yang akan diukur pada penelitian kali ini. Pada umumnya jumlah kolagen akan berkurang dengan bertambah umur. Akan tetapi beberapa tipe kolagen mengalami hal yang tidak sama. Pada kulit anak mempunyai banyak kolagen-3 (biasanya pada jaringan dengan pertumbuhan cepat). Pada proses penuaan intrinsik akan terjadi penurunan kolagen-3 dan peningkatan kolagen-1. Kolagen-1 terus meningkat sampai umur 35 tahun, saat kulit mencapai puncak kekuatan mekanik, setelah itu kolagen-1 akan menurun. Hubungan umur dengan jumlah kolagen sampai saat ini belum jelas, akan tetapi jumlah kolagen manusia setelah umur 60 tahun secara keseluruhan secara signifikan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kulit umur lebih muda (Rhein dan Santiago, 2010). Kolagen merupakan serat utama pada lapisan dermis kulit dan merupakan protein yang berfungsi untuk kekuatan mekanik dan penyangga kulit. Semakin bertambah umur maka struktur protein kulit dan komponen kulit lain akan berubah dan hal ini menyebabkan penuaan kulit. Perubahan jumlah kolagen merupakan bagian integral dari proses penuaan kulit. Diperkirakan bahwa akan terjadi penurunan kolagen sekitar 1% pertahun perunit area kulit akan tetapi pada kulit yang terpapar sinar UV dijumpai
penurunan sampai 59%
seperti yang
38
ditemukan pada kulit yang mengalami photodamage (Uito et al., 2008; Griffits et al., 2009). Walaupun kolagen-1 merupakan kolagen utama pada lapisan dermis kulit akan tetapi kolagen tipe lain juga tidak kalah peranan pentingnya. Kolagen-7 yang terbanyak pada anchoring fibril terletak pada membrana basalis yang melekatkan membrana basalis ke papila dermis. Pada pasien dengan paparan sinar UV kronis akan menurunkan jumlah kolagen-7 dan akan mengakibatkan perlekatan antara membrana basalis dengan papilla dermis menurun sehingga ikatan epidermis dan dermis menjadi lemah Pada satu penelitian didapatkan bahwa kerutan kulit terbentuk akibat lemahnya ikatan antara dermis dan epidermis oleh karena degenerasi anchoring fibril. Hal ini ditambah adanya bukti adanya penurunan kolagen-7 pada pada dasar kerutan kulit di samping juga ditemukan penurunan kolagen-4 pada tempat yang sama (Rhein dan Santiago, 2010). 2.6
Martiks Metalloproteinase-satu (MMP-1) MMP adalah suatu protease dengan aktivitas degradasi terhadap protein jaringan ikat seperti kolagen, elastin, proteoglikan dan laminin. Pada
setiap
organisme,
MMP
merupakan
endopeptidase
yang
mengandung domain aktif Zn² (zinc-dependent endopeptidase). MMP memiliki gene family pada manusia terdiri dari 28 tipe dengan struktur dan spesivitas yang berbeda. MMPs berhubungan dengan proses
39
fisiologis dan patologis yang berkaitan dengan turn over matriks ekstraseluler, wound healing, angiogenesis, dan kanker. Sejumlah MMPs mampu menimbulkan degradasi terhadap kolagen-1 yaitu antara lain MMP-1, MMP-8, MMP-13, MT1-MMP (MMP-14), MT2-MMP (MMP-15), dan MT3-MMP (MMP-16). Pada kulit hanya MMP-1 yang paling banyak dipicu pembentukannya oleh pajanan sinar ultraviolet dan tampaknya paling bertanggung jawab terhadap pemecahan kolagen akibat paparan matahari. Oleh karena itu, kadar MMP-1 yang akan diukur pada penelitian kali ini. Kadar MMP-1 akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, yang mana hal ini diperkirakan sebagai akibat dari fragmentasi serat kolagen dan disorganisasi susunan serat kolagen pada dermis (Seltzer dan Eisen, 2006). Matriks Metalloproteinase juga bertanggung jawab terhadap tejadinya degradasi kolagen. MMP juga telah dikenal perannya dalam pertumbuhan sel kanker dan metastase dan telah sering menjadi target terapi anti kanker oleh karena ekspresinya yang berlebihan. Berbagai jenis Matriks Metalloproteinase dan target sasaran yang didegradasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Rhein dan Santiago, 2010).
40
Tabel 2.3 Jenis Matriks Metalloproteinase dan target sasaran yang terdegradasi SINGKATAN NAMA
NAMA ALTERNATIF
TARGET SASARAN
MMP-1
Matrix collagenase
Collagens I,II.II.VII dan X
MMP-2
Gelatinase
Gelatin, Collagens I,V, VII, XI, Fibronectin laminin dan elastin
MMP-3
Stromelysin I
Agreccan, Gelatin, Laminin Fibronectin, Collagens tipe IV, IX, X
MMP-7
Matrilisyn
Agreccan, Fibronectin
MMP-8
Neutrophil colagenase
Agreecan, Gelatin, Fibronectin, Laminin, Collagens II, IV, IX, X
MMP-9
Gelatinese B
Agrecan dan Fibronectin
MMP-10
Stromelysin 2
Agrecan
MMP-11
Stromelysin 3
Fibronectan
MMP-12
Metalloelastase
Elastin
MMP-13
Collagenase 3
Collagens I, II, III
MMP-14
Membran Type
Collagens I, II, III, Lamininn
MMP-18
Colagenase IV Sumber : Rhein dan Santiago (2010)
Agrecan
41
2.7
Radikal bebas
2.7.1
Definisi Radikal bebas adalah molekul oksigen yang tidak stabil atau molekul lainnya yang tidak stabil. Molekul-molekul tersebut hanya mengandung satu atau lebih elektron bebas (elektron yang tidak berpasangan = unpaired electrons). Adanya satu atau lebih elektron bebas menyebabkan senyawa itu menjadi sangat reaktif. Molekul tersebut akan berusaha secara reaktif mencari pasangan elektron dengan mengambil atau mencuri dari elektron sel lainnya, sel yang diambil elektronnya akan menjadi molekul reaktif juga, demikian seterusnya secara berantai, sehingga sering disebut ROS (Bauman, 2002; Chen et al. 2012).
2.7.2
Jenis dan sumber radikal bebas Terbentuknya radikal bebas dapat terjadi melalui sistem internal yang melibatkan sistem biologis tubuh maupun pengaruh eksternal seperti faktor lingkungan. Reaksi inflamasi ataupun setiap respirasi di mitokondria dapat menghasilkan oksidan. Kelebihan gizi juga dapat menimbulkan radikal bebas. Pada saat terjadi proses metabolisme lemak di samping terbentuk energi ternyata dapat menimbulkan oksidan. Faktor lingkungan antara lain seperti paparan sinar UV, polusi asap rokok atau pabrik, emisi kendaraan bermotor, konsumsi alkohol akan dapat menyebabkan terbentuk radikal bebas (Pinnel, 2003; Ardhie, 2011).
42
Oksigen penting untuk kehidupan organisme aerob, akan tetapi oksigen dapat mengalami reduksi parsial menjadi radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen peroksida pada saat metabolisme normal di mitokondria dan di peroxisomes. Radikal bebas dapat terbentuk akibat aktivitas dalam berbagai sistem ensim seperti sitokrom p-450, ensim yang berhubungan dengan oksidasi pada plasma membran seperti lipoksigenase dan xanthine oxidase. Hidrogen peroksida merupakan oksidan yang lemah dibanding anion superoksida, berfungsi sebagai intermediasi dalam produksi metabolisme oksigen yang reaktif dan toksik seperti hypochlorous acid yang terbentuk dari aktifitas mieloperoksidase dan radikal hidroksil, serta
melalui oksidasi metal
transisi (Moini et al., 2002; Pinnel, 2003; Chen, 2012). Sebagian hasil reduksi metabolik oksigen yang dikenal dengan istilah ROS, ternyata reaktifitasnya relatif lebih tinggi dibanding oksigen. Nitrit oksida (NO) yang diproduksi berlebihan juga merupakan sumber oksidan toksik yang dikenal dengan istilah RNOS, seperti peroxynitrite, nitroxyl, oxide nitrogen. Oxide nitrogen merupakan reaksi dari NO dengan anion superokside atau molekul oksigen (Moini et al., 2002). Fungsi utama ROS atau RNOS adalah untuk mekanisme pertahanan imunologis, yang akan mengalami degenerasi dibantu oleh makrofag dan netrofil untuk mengeliminasi mikroba dan benda asing. Fakta terakhir menunjukkan bahwa NO penting dalam neurotransmisi dan mengatur tekanan darah. Fakta lain, sel non fagosit beberapa sitokin,
43
growth factor, hormon dan neurotransmiter produksi meningkat akibat pacuan ROS dan atau RNOS yang berperan dalam signal molekul atau sebagai tranduksi signal (Moini et al., 2002). Akan tetapi ROS atau RNOS level tinggi cenderung menyebabkan kerusakan makromolekul seluler seperti lemak, protein dan DNA. Efek merusak radikal bebas dapat dinetralkan oleh sistem pertahanan antioksidan, seperti sistem enzim endogen yang menetralkan radikal bebas seperti superoksid dismutase, katalase, glutation peroksidase dan antioksidan non enzim dengan berat molekul rendah seperti glutathione (GSH) dan thioridoksin (Moini et al., 2002; Chen et al., 2012). Apabila terjadi pembentukan radikal bebas melebihi antioksidan dalam tubuh ataupun antioksidan dari konsumsi makanan akan menyebabkan kerusakan secara berantai sampai ke tingkat seluler dikenal dengan istilah stres oksidatif. Jadi stres oksidatif didefinisikan secara luas sebagai ketidak seimbangan antara kapasitas produksi oksidan dan antioksidan yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif
pada sel.
Walaupun beberapa reaksi sistem biologis berperan dalam menjaga keseimbangan konsentrasi anion superoksida dan hidrogen peroksida akan tetapi mitokondria rupanya menjadi sumber yang paling penting untuk terbentuk radikal bebas. Produk berlebihan ROS dan RNOS berperan dalam patogenesis dan perkembangan penyakit peradangan kronis, aterosklerosis, kanker, diabetes dan proses aging (Moini et al., 2002; Pinnel, 2003).
44
ROS yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sampai ke tingkat seluler oleh karena pengambilan elektron baik dari komponen lemak, protein, DNA termasuk kerusakan pada sel yang berhubungan dengan proses penuaan. Diperkirakan setiap hari terjadi kerusakan sebanyak 10.000 DNA akibat proses oksidatif dalam tubuh yang menimbulkan radikal bebas. Oksigen yang kita hirup digunakan dalam metabolisme tubuh, sebanyak 95% mengalami metabolisme lengkap, 5% menghasilkan ROS (semi Reduce oxygen species) (Moini et al., 2002; Pinnel, 2003; Ardhie, 2011). Berbagai jenis radikal bebas yang ada dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua bagian besar. Pertama adalah molekul oksigen dengan elektron yang tidak berpasangan di antaranya adalah anion superoksida (+O2-), radikal hidroksil (OH-), radikal peroksil lipid (LOO) sedangkan yang kedua adalah molekul oksigen tunggal (Bauman, 2002; Ardhie, 2011). Anion superokside merupakan radikal bebas yang pertama kali terbentuk saat metabolisme lipid maupun protein. Segera setelah terbentuk radikal ini melalui sistem enzim akan diubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida merupakan oksidan lemah dan mampu menginisiasi proses oksidatif sehingga dapat membentuk radikal bebas. Perubahan H2O2 menjadi OH- melalui reaksi yang dikatalasi oleh transisi metal (Fe2+ atau Cu2+) (Moini, 2002; Pinnel, 2003).
45
Ada
beberapa
mekanisme
yang
menyebabkan
sinar
UV
menimbulkan kerusakan pada kulit. Sinar UVB memicu produksi anion superokside melalui aktivasi NADPH oksidase dan rantai reaksi pernafasan di mitokondria. Sinar UVB yang diserap DNA dapat juga menyebabkan kerusakan langsung pada DNA. Sedangkan UVA melalui reaksi fotokimia diserap kromofor seperti riboflavin atau porpirin dan menimbulkan radikal bebas. Biasanya UVA memicu terbentuk ROS berupa molekul oksigen tunggal, sedangkan UVB memicu radikal hidroksil dan lipid peroksidase (Masaki, 2010).
Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta Gambar 2.7. Radikal Bebas 2.7.3
Tahap pembentukan radikal bebas Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan reaksi berikut: 1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, misalnya: Fe ++
+ H2O2 Fe +++
OH-
+ •OH
46
R1 _H
•OH
+
R1•
+
H2O
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal. R2_H
+
R1•
R2 •
+ R1_H
R3_H
+
R2•
R3 •
+ R2_H
3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah. (Winarsi, 2011). R1 •
+
R1 •
R1_R1
R2 •
+
R1 •
R2_R1
R2 •
+
R2 •
R2_R2 dan seterusnya
2.7.4 Spesies oksigen reaktif Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (ROS), dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya, sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang mengakibatkan stres
47
oksidatif. Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O2), yaitu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia (Winarsi, 2010). Tabel 2.4. Spesies Oksigen Reaktif (Caimi et al., 2004)
2.7.5
Dampak positif radikal bebas Oksigen aktif atau ROS adalah bagian dari radikal bebas. ROS ini penting dalam produksi energi, fagositosis, sistem imun, transduksi signal (Hanggono, 2004).
2.7.6
Dampak negatif radikal bebas Namun ROS juga berperan terhadap terjadinya penyakit kanker, jantung dan proses penuaan. Radikal bebas dapat merusak DNA, protein, membran fosfolipid (Hanggono, 2004). Radikal bebas mempengaruhi peroksidasi lipid yang menyebabkan produksi MDA yang mengikat protein dan menyebabkan gangguan fungsi biologik protein tersebut. Pengaruh radikal bebas secara molekuler berupa serangkaian peristiwa yang menyebabkan oksidasi organik oleh oksigen molekuler, peristiwa ini mengakibatkan kerusakan fungsi seluler melalui terjadinya. Di dalam sel, peroksidasi lipid berhubungan dengan kondisi kerusakan seluler dan sitotoksisitas. Di mana terjadi perubahan pada struktur membran dan
48
fluiditas, peningkatan permeabilitas, kerusakan biologis seperti DNA dan protein menghasilkan penyakit kronis (Halliwell dan Gutteridge, 2006). 2.7.7
Stres oksidatif Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan, untuk meredam efek buruk radikal bebas, yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). Stres oksidatif dihipotesiskan berperan penting terhadap terjadinya berbagai penyakit kronis (Wu et al., 2004). Dengan demikian penting untuk menjaga keseimbangan antioksidan dan oksidan dengan suplementasi antioksidan (Hanggono, 2004).
Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta Gambar 2.8. Ketidakseimbangan ROS dan antioksidan
49
2.8
Antioksidan
2.8.1
Definisi Antioksidan (AO) merupakan molekul yang menghambat proses oksidasi molekul oksidan. Oksidasi merupakan reaksi kimia yang memindahkan elektron atau hidrogen dari satu substansi ke agen oksidan (McDaniel, 2007). Sebagai pertahanan terhadap kerusakan oksidatif, sel tubuh manusia dilengkapi berbagai antioksidan yang bekerja melalui berbagai mekanisme. Integritas seluler dipertahankan dengan menggunakan berbagai AO enzimatik seperti katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase yang akan menghambat dampak negatif H2O2. Sedangkan area ekstra seluler dilindungi AO superoksid dismutase (SOD) dari dampak anion superokside. Membran sel dilindungi AO non enzimatik seperti glutation dan vit C pada fase air, vit E dan ubiquinol pada fase lipid (Ames et al., 1993; Stahl dan Sies, 2003).
Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta Gambar 2.9. Mekanisme antioksidan menetraliser oksidan.
50
2.8.2
Mekanisme kerja antioksidan (Tandon, 2005; Ardhie, 2011) 1.
Antioksidan primer. Anti oksidan primer ini bekerja untuk mencegah pembentukan
senyawa radikal bebas baru. Ia mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Antioksidan tipe ini akan menetralisir radikal bebas dengan mendonasi satu elektronnya. Akibat kehilangan satu elektron molekul AO tersebut akan menjadi radikal bebas yang baru. Radikal yang baru terbentuk ini relatif stabil yang selanjutnya akan dinetralisir oleh AO lain seperti vit C, vit E, LA, CoQ10, flavonoid, asam urat, bilirubin (Moini et al., 2002). Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal bebas. Enzim SOD sebenarnya sudah ada dalam tubuh kita. Namun bekerjanya membutuhkan bantuan zat-zat gizi mineral seperti mangan, seng dan tembaga. Selenium (Se) juga berperan sebagai antioksidan. Jadi, jika ingin menghambat gejala dan penyakit degeneratif, mineral-mineral tersebut hendaknya tersedia cukup dalam makanan yang dikonsumsi setiap hari. 2.
Antioksidan sekunder. Antioksidan ini berfungsi menangkap senyawa serta mencegah
terjadinya reaksi berantai. Mekanisme ini bekerja dengan mengikat logam, transisi pemicu ROS dan selanjutnya menyingkirkannya.
51
Antioksidan yang termasuk dalam antioksidan sekunder adalah:Vitamin E, Vitamin C, beta karoten, asam urat, bilirubin, transferin, laktoferin, seruloplasmin, Xanton dan albumin. 3.
Antioksidan tertier. Proses menumpuknya biomolekul yang telah rusak dapat
menimbulkan kerusakan sel sekitarnya. Agar tidak menjadi parah seperti terjadinya kerusakan DNA (contohnya enzim metionin sulfaoksida reduktase), maka protein yang teroksidasi akan diproses oleh sistem enzim proteolitik dan lipid teroksidasi diproses oleh enzim lipase, peroksidase. 2.8.3
Klasifikasi antioksidan
2.8.3.1 Klasifikasi antioksidan berdasarkan sumbernya (Ames et al., 1993) 1.
Antioksidan endogen dari dalam tubuh sendiri
a. Sistem AO enzimatik: SOD, katalase, glutation Reduktase (GDR), glutation peroksidase (GPx), Glukosa 6 phosfatase dehidrogenase (G6PD), sistem sitokrom oksidase, peroksidase. b. Sistem AO non enzimatik: glutation, bilirubin, albumin, tranferin, plasmin, feritin, sistein dan lainnya. 2.
Antioksidan sintetik (eksogen) berasal dari luar tubuh
a. Mikonutrien: terdapat dalam makanan sehari hari seperti wortel, minyak ikan, hati, jeruk, manggis, ubi jalar ungu, nanas, sayuran hijau. Antioksidan tersebut berupa beta caroten, vitamin C,vit E, zinc, selenium,likopen, alpha lipoic acid, xanton. b. Antioksidan sintetik (butylated hydroxyl anysol).
52
2.8.3.2 Klasifikasi antioksidan berdasarkan interaksinya (Tandon, 2005) a. Antioksidan enzimatik: mengkatalisator pemusnahan radikal bebas dalam sel. b. Antioksidan pencegah: mengikat ion logam transisi untuk mencegah pembentukan radikal bebas. c. Antioksidan pemutus reaksi rantai: merupakan donor elektron kuat dan bereaksi dengan radikal bebas sebelum merusak molekul sasaran. 2.8.3.3 Klasifikasi antioksidan berdasarkan kelarutannya (Bauman, 2002) a. Antioksidan larut dalam lemak (vitamin A, vitamin E dan CoQ10, Xanton). b. Antioksidan larut dalam air, misalnya vitamin C dan glutation. c. Antioksidan larut dalam lemak maupun air, misalnya alpha lipoic acid. 2.8.4. Metode pengujian DPPH antioksidan Salah satu metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas antioksidan adalah metode DPPH. Metode DPPH didasarkan pada kemampuan antioksidan untuk menghambat radikal bebas dengan mendonorkan atom hidrogen. Perubahan warna ungu DPPH menjadi ungu kemerahan dimanfaatkan untuk mengetahui aktivitas senyawa antioksidan.
Metode
ini
menggunakan
kontrol
positif
sebagai
pembanding untuk mengetahui aktivitas antioksidan sampel. Kontrol positif ini dapat berupa tokoferol, BHT, dan vitamin C. Uji aktivitas antioksidan
dengan
metode
DPPH
menggunakan
1,1-difenil-2-
pikrilhidra-zil (DPPH) sebagai radikal bebas. Prinsipnya adalah reaksi
53
penangkapan hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan , misalnya troloks, yang mengubahnya menjadi 1,1-difenil-2-pikrilhidrazin. 2.9
Manggis Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang mempunyai biodiversitas (keanekaragaman hayati). Biodiversitas tersebut meliputi : ekosistem, jenis maupun genetik. Termasuk dalam biodiversitas jenis adalah keanekaragaman tanaman di Indonesia yang sangat besar, termasuk tanaman yang berpotensi sebagai obat. Seiring dengan ada slogan “back to nature”, maupun krisis ekonomi yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat terutama masyarakat golongan menengah ke bawah, penggunaan obat tradisional menjadi alternatif pengobatan di samping obat modern. Salah satu tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut adalah buah manggis (Garcinia mangostana L.), terutama pemanfaatan kulit buahnya. Manggis juga merupakan salah satu buah favorit yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Dari tahun ke tahun permintaan manggis meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen terhadap buah manggis (Nugroho, 2011).
2.9.1
Pembudidayaan manggis Pohon manggis telah dibudidayakan di seluruh dunia area tropis. Pohon ini berasal dari Asia Tenggara terutama di Indonesia juga Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaka (Akao et al., 2008). Pohon manggis dapat tumbuh di dataran rendah sampai di ketinggian di bawah
54
1.000 m dpl. Pertumbuhan terbaik dicapai pada daerah dengan ketinggian di bawah 500-600 m dpl. Pusat penanaman pohon manggis adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat (Jasinga, Ciamis, Wanayasa), Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur dan Sulawesi Utara (Prihatman, 2000). Sentra produksi manggis di Pulau Jawa antara lain Bogor, Subang, Purwakarta, Sukabumi, Cilacap, Banjarnegara,
Purworejo,
Banyuwangi,
Trenggalek,
dan
Blitar
(Kuntarsih, 2006). 2.9.2
Karakteristik manggis Nama ilmiah manggis adalah Garcinia mangostana, diameter buahnya secara keseluruhan 2,4-7,5cm, ketebalan kulit 0,6-1cm dengan pigmen warna ungu (Akao et al., 2008). Garcinia mangostana merupakan buah tropis yang dikenal sebagai "superfruits" karena karakteristik rasa, bau, penampilan yang berkualitas juga kekayaan nutrisi juga kekuatan antioksidannya (Priya et al., 2010). Kulit buah manggis yang dibuang, ternyata dapat dikembangkan sebagai kandidat obat (Nugroho, 2011). Kulit manggis telah digunakan secara luas sebagai obat tradisional selama bertahun-tahun (Pedraza et al., 2008).
55
Gambar2.10. Pohon Garcinia mangostana Linn (A), penampilan buah manggis (B) dan struktur kimia xanthones (C). (Akao et al., 2008) 2.9.3
Kandungan Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton (Akao et al., 2008). Priya et al., (2010) mengekstraksi kulit manggis menemukan kandungan 95% xanton, disamping
itu
didapat juga
kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu kulit buah manggis juga mengandung antosianin (Pradipta et al., 2009). Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tgl 7 mei 2013 di fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium uji fitokimia UNUD diketahui kulit manggis memiliki kandungan vitamin C, fenol dan antosianin yang cukup tinggi (Ericson,2014).
Jadi kandungan xanton,
vitamin C, fenol dan antosianin yang ada dalam kulit manggis ini merupakan antioksidan yang mampu mencegah penuaan kulit dini. Xanton adalah kelompok pigmen kuning yang terdapat pada beberapa famili
56
tanaman tinggi, jamur, tanaman lumut. Mangostin adalah unsur xanton utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres et al., 2000). Xanton telah diisolasikan dari buah, kulit, daun dari manggis. Beberapa penelitian menunjukkan
xanton
dari
manggis
memiliki
aktivitas
biologis
(Suksamrarn et al., 2006). IPB melakukan evaluasi biomassa, kadar, profil xanton dan potensi antioksi
dan
pada
beberapa
sentra
produksi
manggis
(Kaligesing/Purworejo, Wanayasa/Purwakarta, Puspahiang/Tasikmalaya, Watulimo/Trenggalek, Leuwiliang/Bogor). Pada sentra produksi manggis di Purworejo didapat bobot kulit dibanding buah 62,84%, derivat xanton 18,07%. Derivate xanton yang diisolasi pada manggis Kaligesing antara lain Dehydration 6-0-methilmangostanin, 3-isomangostin, Mangostanol, Gartanin,
Mangoxanthone,
8-deoxygartanin,
Mangostenone,
α-
mangostin, mangostenone B, 9-hydroxycalabaxanthone, β-mangostin, mangostenone B, Garciniafuran. Aktivitas antioksidan sangat kuat sebagai penangkap radikal bebas (radical scavenging) (IPB, 2009). Hasil penelitian yang banyak dilaporkan tentang xanton lebih banyak pada isolasi, identifikasi struktur dan efikasinya (Chairungsrilerd et al., 2007). Terdapat 50 jenis xanton alami yang dilaporkan terdapat pada kulit manggis (Pedreza et al., 2008). Lihat Lampiran-2 (Tabel 2.6. Xanton yang diisolasikan dari kulit manggis (Pedraza et al., 2008). Xanton merupakan senyawa polifenolik dengan struktur kimia yang mengandung cincin trisiklik aromatik. Struktur ini yang memiliki
57
aktivitas
biologis
seperti
antioksidan,
antinflamasi,
antibakteri,
antikanker (Nakagawa et al., 2007). 2.9.4
Aktivitas biologis A. Antioksidan Ekstrak kulit manggis diuji aktivitas antioksidan dengan metode 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) berdasar parameter nilai Effective Consentration 50 (EC50) didapat 8,5539ug/ml (< 50ug/ml) berarti aktivitas antioksidan tinggi (Supiyanti et al., 2010). Ekstrak kulit buah manggis berpotensi sebagai antioksidan (Moongkarndi et al., 2004). Penelitian aktivitas antioksidan dilakukan terhadap beberapa ekstrak kulit buah manggis yaitu ekstrak air, etanol 50% dan 95%, serta etil asetat. Metode yang digunakan adalah penangkapan radikal bebas DPPH
(Weecharangsan
menunjukkan
efek
et
protektif
al.,
2006).
melawan
Pemberian peroksidasi
α-mangostin lipid
dan
mempertahankan antioksidan (Sampath dan Vijayaraghavan., 2007). Jung et al. (2006) mengukur kapasitas penangkal peroksinitrit (ONOO_) dari 13 xanton dengan memonitor oksidasi dihidrorhodamin 123 (DHR123) . Xanton yang memiliki kapasitas penangkal ONOO_ terbesar adalah smeathxanthone A, 8-hydroxycudraxanthone G, γ-mangostin, gartanin, a-mangostin, garcinone E, garcimangosone B, 1-isomangostin dan garcinone D (Jung et al., 2006). Peneliti lain menemukan adanya tujuhxanton yaitu 3-isomangostin, 8-desoxygartanin, gartanin, αmangostin, garcinone E, 9-hydroxycalabaxanthone dan β-mangostin
58
yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Zarena dan Sankar, 2009). B.
Antikanker Terdapat laporan bahwa ekstrak metanol kulit buah manggis
menunjukkan aktivitas sangat poten dalam menghambat proliferasi sel kanker payudara SKBR-3, dan menunjukkan aktivitas apoptosis (Moongkarndi et al., 2004). Berdasarkan penelitian tersebut, senyawa garsinon E menunjukkan aktivitas sitotoksisitas paling poten terhadap sel kanker hati (Ho et al., 2002). Di lain pihak, terdapat uji serupa yaitu aktivitas antiproliferatif dan apoptosis pada pertumbuhan sel leukimia manusia HL60. α-mangostin menunjukkan aktivitas anti-proliferasi dan apoptosis terpoten diantara senyawa xanton lainnya (Matsumoto et al., 2003). Nabandith et al., (2004) melakukan penelitian in vivo aktivitas kemopreventif αmangostin
pada
lesi
preneoplastik
putatif
yang
terlibat
pada
karsinogenesis kolon tikus, disimpulkan senyawa tersebut menurunkan terjadinya lesi fokal dan epitelium kolon tikus (Nabandith et al., 2004). Penelitian α-mangostin (0,10,20 mg/kgBB/hari) memicu peningkatan supresi pertumbuhan tumor dan metastase lodus limfatik pada model kanker payudara dengan mutasi p53 (Shibata et al., 2011). C.
Aktivitas anti-histamin Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil peran
penting adalah sel mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya
59
yaitu histamin dan serotonin. Setelah adanya interaksi kembali antara antigen-antibodi, akan merangsang sel mast untuk melepaskan histamin (Kresno, 2001). Berhubungan dengan reaksi alergi atau pelepasan histamin tersebut, Chairungsrilerd et al. (2007) melakukan pengujian ekstrak metanol kulit buah manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi yang diinduksi oleh histamin maupun serotonin. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa α-mangostin tersebut dikategorikan sebagai penghambat reseptor histaminergik khususnya H-1, sedangkan γmangostin sebagai pengeblok reseptor serotonergik khususnya 5hidroksitriptamin 2-A atau 5-HT-2A (Chairungsrilerd, 2007). D.
Anti-inflamasi Penelitian mengenai aktivitas anti-inflamasi dari kulit buah
manggis sampai saat ini baru dilakukan pada tahapan in vitro. Dari hasil penelitian diduga bahwa senyawa yang mempunyai aktivitas antiinflamasi adalah γ-mangostin. Nakatani et al., (2002) melakukan penelitian aktivitas anti-inflamasi in vitro dari γ-mangostin terhadap sintesa PGE-2 dan siklooksigenase (COX) dalam sel glioma tikus C-6. γmangostinmenghambat secara poten pelepasan PGE-2. γ-mangostin menghambat perubahan asam arakidonat menjadi PGE-2 dalam mikrosomal,
ini
ada
kemungkinan
penghambatan
pada
jalur
siklooksigenase. Pada percobaan enzimatik in vitro, senyawa ini mampu menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2 (Nakatani et al., 2002). E.
Antibakteri
60
Selain memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti di atas, kulit buah manggis juga menunjukkan aktivitas antimikroorganisme termasuk
Staphylococcus
Pseudomonas
aeruginosa,
aereus,
Staphylococcus
Salmonella
epidermidis,
typhimurium,
spesies
Enterococcus, Mycobacterium tuberculosis dan propionibacterium acnes. Penelitian fitokimia menunjukkan komponen yang berperan adalah derivat xanton seperti α-, β-, γ- mangostin, gartinin, 1- dan 3isomangostin (Chomnawang et al., 2005). Ekstrak kulit manggis efektif melawan Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus dan Mikrococcus lutus (Priya et al., 2010). Ekstrak kulit manggis juga memiliki aktivitas antibakteri berhubungan
terhadap dengan
streptococcus
mutans
pembentukan
plak
dimana gigi
dan
bakteri
ini
caries
gigi
(Torrungruang, 2007). Suksamrarn et al. (2006) bersama kelompoknya asal Thailand, melakukan penelitian potensi antituberkulosa dari senyawa xanton terprenilasi yang diisolasi dari kulit buah manggis. Dari beberapa penelitian diantara semua derivat xanton, α-mangostin memiliki aktivitas antibakteri yang paling poten (Suksamrarn et al.,2006; Chomnawang et al., 2005). 2.9.5
Toksisitas Untuk menentukan dosis letal kulit manggis Priya et al. (2010) menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak kulit buah manggis pada tikus dengan dosis 1-3 g/kgBB perhari tidak menghasilkan efek toksik selama periode 14 hari (Priya et al., 2010). Penelitian subakut oleh Towatana et
61
al. (2010) pada tikus wistar selama 12 minggu mendapat ekstrak dosis 400, 600, dan 1200 mg/kgBB/hari. Hewan percobaan diamati setiap hari klinis dan perubahan tingkah lakunya. Kesimpulan penelitian ini ekstrak tiap dosis tidak menghasilkan efek yang merugikan (Towatana et al., 2010). Penelitian secara kronis dilakukan oleh Chivapat et al. (2011) terhadap ekstrak etanol kulit manggis 95% selama enam bulan dosis 10, 100, 500, 1000 mg/kgBB/hari pada 180 tikus percobaan. Ekstrak tidak mempengaruhi prilaku, status kesehatan hewan, keadaan klinis dan nilai hematologis. Namun pada dosis 500 mg/kgBB ke atas mempengaruhi berat badan, meningkatkan ALT, BUN, adanya degenerasi hepatoseluler (Chivapat et al., 2011). Dosis akut lethal (LD50) dari kulit manggis adalah 9,37 g/kgBB (Pongphasuk et al., 2005). 2.10 Mencit (Mus musculus) Mencit banyak diternakan untuk tujuan komersil dan keperluan penelitian, selain itu beberapa mencit juga di kembang biakan sebagai hewan peliharaan, pakan reptil dan keperluan praktikum. Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang masuk dalam familia dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Para ahli zoology (Ilmu hewan), setelah melakukan penelitian dan pengamatan yang memakan waktu yang lama dan pemikiran yang seksama, sepakat untuk menggolongkan hewan ini ke dalam ordo rodensia (hewan pengerat), sub ordo Mymorpha, famili Muridae, dan sub famili Murinae. Untuk lebih jelasnya mencit (Mus musculus) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
62
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Sub class
: Theria
Ordo
: Rodentia
Sub ordo
: Myomorpha
Famili
: Muridae
Sub family
: Murinae
Genus
: Mus
Species
: Mus musculus
2.10.1 Anatomi kulit mencit Secara garis besar kulit mencit dibagi menjadi lapisan epidermis, dermis dan subkutis. Epidermis terdiri dari lapisan malpigi yang merupakan lapisan sel yang terletak sebelah dalam dan dikenal juga dengan istilah sel basah (moist cells). Lapisan
paling luar (stratum
korneum) atau lapisan tanduk yang terdiri dari lapisan sel tanpa inti (anucleate), pipih, mati (non viable) yang disebut sel kering. Substrata sel hidup pada epidermis terdiri dari sel basal, sel spinosa dan lapisan granular (Marshall dan Huge, 2013). Lapisan dermis terletak di bawah epidermis yang sebagian besar tersusun dari jaringan ikat konektif. Terdapat suatu matriks tiga dimensi dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari komponen protein fibrosa
63
(kolagen dan elastin) dan digulung dalam jelly amorphous dari glikosaminoglikan. Selain matriks fibrosa juga terdapat sistem pembuluh darah, saraf dan sistem limfe (Marshall dan Huge, 2013). Kolagen merupakan 77% dari berat jaringan kulit dan berperan utama sebagai kekuatan lentur dari dermis. Kolagen-1 merupakan kolagen utama, sedangkan kolagen-3 hanya 15% dari jumlah masa kolagen (Marshall dan Huge, 2013). Serabut elastin terdiri dari mikrofibril yang terikat dalam amorphous matrix, disusun dari asam amino lysin dan disebut elastin. Jaringan adiposa disebut juga hipodermis atau panikulus adiposus (Marshall dan Huge, 2013). Sebuah penelitian eksperimental yang dilakukan Kim S.Y. et al. (2004) dengan menggunakan mencit balb/c yang diberi sinar UVB dengan dosis total 600 mJ//cm2, yaitu 50 mJ/cm2 pada minggu pertama, 70 mJ/cm2 pada minggu ke dua dan 80 mJ/cm2 pada minggu ke tiga dan diberikan tiga kali seminggu akan menyebabkan photoaging pada kulit. Sedangkan
penelitian
Wahyuningsih
(2010)
menemukan
terjadi
kerusakan kolagen secara bermakna pada kulit (photoaging) didapat dengan pemberian dosis total UVB sebesar 840 mJ/cm2.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1
Kerangka Berpikir Paparan sinar ultraviolet terutama sinar UVB merupakan salah satu faktor yang sangat berperan untuk terjadinya penuaan dini kulit (photoaging) terutama yang hidup di daerah tropis. Paparan sinar UVB secara kronis dan berulang dapat menyebabkan kerusakan pada komponen epidermis, dermis dan appendages kulit. Hal ini dapat dinilai dengan adanya penurunan jumlah kolagen akibat degradasi yang disebabkan oleh meningkatnya MMP-1 secara bermakna. Ekstrak kulit manggis mengandung xanton, isoflavon, tannin, flavonoid, vitamin C, Fenol dan Antosianin menunujukan adanya aktivitas antioksidan tinggi. Atas dasar ini timbul pemikiran untuk menggunakan kulit manggis secara topikal sebagai antioksidan khususnya untuk memberi efek perlindungan terhadap kolagen dermis dan penghambatan peningkatan ekspresi MMP-1 yang berakibat pula menghambat photoaging. Pada penelitian pendahuluan untuk menguji efektifitas dosis kulit manggis terhadap peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit yang akan dilakukan pada penelitian ini didapat hasil bahwa diantara dosis kulit manggis 25%, 50% dan 95%, ternyata dosis 95% adalah yang paling optimal didalam hal peningkatan
64
65
jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit (Ericson, 2014). 3.2
Konsep Penelitian
Faktor Internal
Ekstrak kulit manggis
Faktor Eksterrnal
Genetik
Lingkungan
Ras
Gizi
Usia
Polusi Kelembaban Mencit balb/c, yang dipapar sinar UVB -
Jumlah kolagen dermis Ekspresi MMP-1 dermis
Gambar 3.1 Konsep penelitian 3.3
Sinar UVB
Hipotesis
Polusi Makanan
1. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang dipapar UVB. 2. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase–1 pada kulit mencit yang dipapar UVB.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan penelitian Penelitian ini adalah animal experimental dengan memakai post test only control group design. Skema rancangan penelitian adalah sebagai berikut : O1 P1 P
S
R P2 O2 O1
Keterangan P= Populasi P1
S= Sampel
R= Random
= Perlakuan-1 (kontrol), diberi paparan UVB dan hanya diberikan solutio plasebo (bahan dasar solutio saja).
P2
= Perlakuan-2, diberi paparan UVB dan diberikan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%.
O1
= Observasi jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1 perlakuan-1 post test.
O2
= Observasi jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1 perlakuan-2 post test.
66
67
4.2
Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukkan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi FK UNUD, Denpasar, Bali. Penelitian ini secara keseluruhan dilakukan selama 4 minggu.
4.3
Sampel
4.3.1
Besaran sampel Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus (Federer, 2008): (n-1) x (t-1) ≥ 15 t = jumlah perlakuan / kelompok = 2 (n-1) x (2-1) ≥ 15 n = 15 + 1 n = jumlah replikasi n = 16 Tiap kelompok ditambah 10% sebagai cadangan ( 10% x 16 = 2 ). Jadi total sampel (16 x 2) + (2 x 2) = 36 ekor mencit yang dibutuhkan untuk penelitian secara keseluruhan.
4.3.2
Teknik penentuan sampel Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut : a. Dari populasi mencit Balb/c diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi. b. Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat inklusi diambil secara random untuk mendapatkan hewan percobaan. c. Dari hewan percobaan yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi dua kelompok secara random yaitu kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan
68
kelompok perlakuan-2, masing-masing kelompok mendapatkan jumlah mencit yang sama. Hewan percobaan yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi FK UNUD. Kriteria inklusi sampel hewan percobaan adalah: a.
Mencit betina sehat dan normal.
b.
Strain balb/c.
c.
Umur 6-8 mingu (berat badan 20-25 gram).
d.
Tampak aktif.
Kriteria drop out mencit tidak mau makan, sakit atau mati selama penelitian. 4.4
Variabel penelitian Variabel penelitian yang akan diukur adalah :
1.
Variabel tergantung, yaitu: jumlah kolagen dermis dan ekspresi enzim MMP-1.
2.
Variable bebas, yaitu : Solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%.
3.
Variabel kendali, yaitu : strain, usia, dan berat badan mencit.
4.5
Definisi operasional 1) Kulit buah manggis Kulit buah manggis adalah bagian terluar dari buah manggis yang berwarna merah keunguan. Mempunyai bobot 62,84% bila dibandingkan dengan buahnya. Priya et al. (2010) mengekstraksi kulit manggis menemukan kandungan 95% xanton, disamping itu didapat juga
69
kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu kulit buah manggis juga mengandung antosianin (Pradipta et al., 2009). Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tgl 7 mei 2013 di fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium uji fitokimia UNUD diketahui kulit manggis memiliki kandungan vitamin C, fenol dan antosianin yang cukup tinggi (Ericson, 2014). Kulit buah manggis yang dipakai pada penelitian berasal dari buah manggis Purwokerto, dengan kriteria sebagai berikut: diameter ± 55-65 mm, warna kulit merah keunguan, tidak cacat, tidak busuk, tidak ada serangga, kotoran, warna isi buah putih bersih, stadia kematangan 4-6. 2) Ekstrak kulit manggis Ekstrak kulit buah manggis yang didapat diproses dengan pelarut etanol di laboratrium biopestisida UNUD. 3) Solutio Solutio adalah sediaan cair yang merupakan campuran homogen antara dua atau lebih zat yang terdiri dari hanya satu fase. Solutio digunakan secara topikal.
Solutio Ekstrak etanol kulit manggis 95% Solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% di proses dari ekstrak etanol kulit manggis menjadi bentuk solutio dengan perbandingan ekstrak etanol kulit manggis : bahan dasar solutio (solutio plasebo) 95:5 di PT. Fanita Estetika. Kemudian solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% diberikan secara topikal di
70
punggung mencit dua kali sehari selama empat minggu pada kelompok perlakuan-2. 4) Sinar ultraviolet B Sinar ultraviolet B adalah salah satu jenis sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 290-320 nm. Sinar UVB pada penelitian ini didapat dari simulator UVB buatan China, tipe KN-4003 B. Paparan sinar UVB diberikan sebanyak tiga kali seminggu selama empat minggu dengan dosis total penyinaran sebesar 840 mJ/Cm2. 5) Mencit Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang masuk dalam familia dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Mencit yang dipakai pada penelitian ini balb/c betina berumur 6-8 minggu dengan berat 20-25 gram. Didapat dari Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi FK UNUD. 6) Kolagen Adalah protein (polipeptida) ekstraseluler yang merupakan jaringan ikat di dalam dermis yang diproduksi oleh fibroblast. Kolagen pada penelitian ini diambil dari jaringan kulit dari punggung mencit yang telah dipapar sinar UVB. Biopsi kulit mencit diambil dengan punch biopsy dengan diameter lima mm dan ke dalaman sampai sub kutan. Setelah itu dibuat preparat histologisnya, kemudian dilakukan pengecatan Sirius red. Selanjutnya perhitungan jumlah kolagen dilakukan dengan analisis digital menggunakan piranti lunak adobe
71
photoshop Cs2 versi-9 (Rabello-Fonseca et al., 2008). Satuan yang digunakan adalah %. 7) Matriks Metalloproteinase-1 MMP-1 adalah suatu protease di dalam dermis yang diproduksi di dalam fibroblast dengan aktivitas degradasi terhadap protein jaringan ikat kolagen. Preparat histologisnya didapat dari jaringan kulit hasil biopsi kulit mencit yang telah dipapar sinar UVB masing-masing dengan diameter lima mm dan ke dalaman sampai sub kutan. Pengecatan enzim MMP-1 mempergunakan Kit MMP-1 (DAKO LSAB plus, universal detection kit, DAB 5ml) dengan menggunakan metode imunohistokimia. Setelah pengecatan selesai, baru dapat dihitung ekspresi MMP-1 dengan metode analisis digital dengan menggunakan format JPEG menggunakan perangkat lunak Optilab Viewer 1.0 dan Image Raster 2.1 (Miconos, Indonesia). Satuan yang digunakan adalah %. 4.6
Bahan, hewan percobaan dan prosedur penelitian
4.6.1
Bahan dan hewan percobaan a. Mencit balb/c berumur 6-8 minggu dengan berat 20-25 gram. b. Lampu broadband Ultraviolet buatan tipe KN-4003 B. c. Pengukur dosis radiasi (Dosimetri). d. Kandang dan alat khusus untuk fiksasi mencit selama penyinaran. e. Ekstrak etanol kulit manggis di dapat dari bagian laboratrium biopestisida UNUD, sedangkan pembuatan menjadi solutio dilakukan
72
di PT Fanita Estetika. Dosis solutio etanol ekstrak kulit manggis ditentukan 95% didapat setelah melakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan dosis optimal (ericson, 2014). Penelitian dengan menggunakan mencit dilakukan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi FK UNUD. Bahan dan peralatan laboratorium untuk tindakan pengecatan dan mikroskop serta pembuatan foto untuk perhitungan jumlah kolagen, juga Kit LSAB (DAKO, Denmark), antibodi primer anti-mouse MMP1 (BIOS, USA), bahan-bahan lain untuk pengecatan MMP-1 yang menggunakan bahan dari Sigma-Aldrich (USA), semuanya didapat dari bagian histologi FK UNUD. 4.6.2
Prosedur penelitian
4.6.2.1. Hewan coba 4.6.2.1.1. Sebelum perlakuan 1. Dari populasi mencit, dipilih sebanyak 36 ekor mencit sesuai kriteria inklusi untuk dijadikan sampel. 2. Sebanyak 36 ekor mencit sampel diadaptasi terlebih dahulu selama satu minggu. 3. Kandang yang digunakan untuk memelihara mencit percobaan berupa bak plastik berukuran 50x40x20 cm dan pada bagian atas diberi penutup kawat, di dalam kandang terdapat tempat makanan dan botol minuman, serta pada dasar bak diberikan sekam padi untuk menyerap kotoran mencit. Ada tujuh kandang, tiap kandangnya berisi 6 ekor mencit.
73
4. Dari 36 ekor mencit percobaan tersebut dibagi menjadi dua kelompok secara random dan dilakukan pencukuran pada punggung mencit (area yang mendapat penyinaran). Semua mencit percobaan diaklimatisasi di unit Animal Laboratorium Farmakologi Universitas Udayana. Mencit dikandangkan dan setiap kandang berisi mencit sebanyak 6 ekor dan diberikan makanan standar berupa jenis pakan ayam petelur dengan komposisi KLK super 35%, ditambah dedak padi 15% dan jagung 50%. sehari dua kali selama lima minggu, dan diberi minum secara ad libitum juga. Mencit ditempatkan pada kondisi 12 jam pada pagi hari tanpa lampu, sedangkan pada 12 jam berikutnya (malam hari) diberi penerangan berupa lampu kuning 10 watt. Suhu kandang dijaga pada kisaran suhu 25°C dan kelembaban 70%, kebersihan dan kenyamanan kandang harus selalu dijaga dan mencit diperlakukan dengan kasih sayang. 4.6.2.1.2. Saat perlakuan 1. Kelompok pertama (18 ekor mencit) dipapar UVB tiga kali seminggu selama 4 minggu dan diberikan solutio plasebo (bahan dasar solutio) sebanyak 0,5ml setiap kali sebelum penyinaran. Kemudian setelah 4 minggu penyinaran, mencit dibiarkan terlebih dahulu selama dua puluh empat jam untuk menyingkirkan pengaruh efek penyinaran akut (Vayalil, 2004). Selanjutnya dilakukan biopsi plong 5mm pada kulit punggung mencit yang dipapar sinar UVB. 2. Kelompok kedua (18 ekor mencit) dipapar UVB tiga kali seminggu selama 4 minggu dan diberikan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% sebanyak
74
0,5ml setiap kali sebelum penyinaran. Kemudian setelah 4 minggu penyinaran, mencit dibiarkan terlebih dahulu selama dua puluh empat jam untuk menyingkirkan pengaruh efek penyinaran akut (Vayalil, 2004). Selanjutnya dilakukan biopsi plong 5mm pada kulit punggung mencit yang dipapar sinar UVB. 3. Penyinaran UVB yang dilakukan dengan menggunakan simulator sinar UVB buatan merek KN-4003, dengan dosis total penyinaran pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan perlakuan-2 sebesar 840 mJ/cm2, dengan perincian: 50 mJ/cm2 . pada minggu pertama, 70 mJ/cm2 pada minggu ke dua dan 80 mJ/cm2 pada minggu ke tiga dan ke empat. Penyinaran diberikan tiga kali seminggu selama empat minggu, sehingga dosis totalnya mencapai 840 mJ/cm2. 4.6.2.1.3. Sesudah perlakuan Pada akhir penelitian mencit dieuthanasia melalui cara di suntik dengan Ketamin 20mg/25g Xylazin 20mg/25g i.m., bila belum mati di tambahkan lethal dose of barbiturat (pentotal) i.m. Bila sudah mati, mencit ditempatkan dalam ruang kaca yang tertutup dan transparan. Setelah itu kadaver mencit dikubur. 4.6.2.2. Langkah pembuatan ekstrak kulit manggis Kulit buah manggis yang digunakan dalam penelitian ini, diambil zat aktifnya dengan cara ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan cara membersihkan kulit manggis (segar) Purworejo yang telah terkumpul, kemudian dicincang kecil-kecil dan dikeringanginkan. Kulit yang telah
75
kering digiling hingga menjadi serbuk simplisia. 500 g serbuk simplisia kulit manggis dimaserasi di dalam 1 liter etanol 96% selama 48 jam dengan tujuan menarik zat aktif pada bahan yang akan digunakan. Filtrat diperoleh dengan penyaringan melalui empat lapis kain kasa dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman nomor satu atau dua. Filtrat yang diperoleh ditampung disebut filtrat satu, sedangkan ampasnya direndam atau diekstrak lagi dengan etanol 96% dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar. Lakukan kegiatan penyaringan sehingga akan diperoleh filtrat dua, dan ampasnya direndam lagi seperti prosedur sebelumnya, lakukan penyaringan sehingga diperoleh filtrat tiga. Filtrat satu, dua dan tiga digabung dan dievaporasi menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 40°C, sehingga diperoleh ekstrak kasar (crude extract). 4.6.2.3. Langkah pembuatan solutio 4.6.2.3.1 Solutio plasebo Solutio plasebo dibuat di PT. Fanita Estetika dengan komposisi glycerin 0,6, propylene glycol 1,0, triethanolamine 0,3, croduret 1,0, transqutol 2,0, microcare MT 0,1, aqua 95,0. Bentuk solutio plasebo berupa cairan minyak putih bening dengan pH 6.5, baunya khas. Proses pembuatan solutio plasebo sebagai berikut : 1. Timbang glycerin sebagai emolient agar dapat masuk ke fase minyak, tambahkan propyleneglikol sebagai emolient fase minyak, kemudian diaduk hingga homogen.
76
2. Tambahkan TEA (trietanolamin) untuk mengatur pH solutio, kemudian diaduk hingga homogen selama 5-10 menit. 3. Tambahkan croduret sebagai solubulizer, kemudian diaduk hingga homogen. 4. Tambahkan transqutol sebagai pendispers masuk ke dalam kulit agar hasil yang diperoleh dapat maksimal, kemudian diaduk hingga homogen. 5. Tambahkan microcare MT sebagai pengawet, kemudian diaduk hingga homogen. 6. Diaduk kembali hingga menjadi soloutio yang homogen. 4.6.2.3.2. Solutio ekstrak etanol kulit mangis 95% Solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% di proses di PT. Fanita Estetika
dengan
komposisi
glycerin
0,6,
propylene
glycol
1,0,
triethanolamine 0,3, croduret 1,0, transqutol 2,0, Extract manggis 95,0, microcare MT 0,1, aqua 0,0. Bentuk solutio cair, ada sedikit endapan, agak kasar, agak lengket, warna merah tua dengan pH 4,57. Proses pembuatan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% sebagai berikut : 1. Timbang glycerin sebagai emolient agar dapat masuk ke fase minyak, tambahkan propyleneglikol sebagai emolient fase minyak, kemudian diaduk hingga homogen. 2. Tambahkan TEA (trietanolamin) untuk mengatur pH solutio, kemudian diaduk hingga homogen selama 5-10 menit.
77
3. Tambahkan croduret sebagai solubulizer, kemudian diaduk hingga homogen. 4. Tambahkan transqutol sebagai pendispers masuk ke dalam kulit agar hasil yang diperoleh dapat maksimal, kemudian diaduk hingga homogen. 5. Tambahkan microcare MT sebagai pengawet, kemudian diaduk hingga homogen. 6. Diaduk kembali hingga menjadi soloutio yang homogen. 7. Tambahkan ekstrak etanol kulit manggis ke dalam solutio pasebo yang sudah jadi itu dengan perbandingan ekstrak etanol kulit manggis : solutio plasebo adalah 95:5. 8. Diaduk kembali hingga menjadi soloutio yang homogen. 4.6.2.4. Pembuatan sediaan histo1ogis Pembuatan sediaan histologis dibagi menjadi empat tahapan yaitu tahap fiksasi, dehidrasi, clearing dan embeding. Jaringan kulit hasil biopsi kulit mencit masing-masing dengan diameter lima mm dan ke dalaman sampai sub kutan diperlakukan mengikuti tahapan tersebut. Tahap fiksasi artinya kulit hasil biopsi direndam dalam formalin bufer fospat 10% selama 24 jam kemudian dilakukan triming bagian jaringan yang akan diambil. Selanjutnya jaringan tersebut direndam dengan alkohol bertingkat (tahap dehidrasi) direndam berturut turut 50%, 70%, 90%, 96% dan 100% masing masing dua kali selama dua jam. Selanjutnya masuk ke tahap clearing dengan memasukkan jaringan ke
78
clearing agent (xylene) selama 24 jam sampai transparan. Tahap embeding diawali dengan proses infiltrasi sebanyak dua kali selama masing-masing satu jam dengan parafin murni (Histoplast) cair (suhu 60o C) kemudian jaringan ditanam ke dalam parafin cair dan dibiarkan membentuk blok yang memakan waktu selama satu hari agar mudah diiris dengan mikrotom. Pemotongan menggunakan mikrotom rotari (Jung Histocut Leica 820), tebal lima mikro meter secara seri dan diambil irisan ke lima, 10, 15 untuk selanjutnya dilakukan penempelan pada gelas objek, lalu diinkubasi pada suhu 60o C selama dua jam. Khusus untuk slide yang dicat dengan immunohistokimia (pemeriksaan MMP-1), menggunakan objek glass yang sudah dilapisi daya rekat seperti PolyLysine atau yang sejenis. 4.6.2.5. Pewarnaan kolagen dengan Sirius red dan perhitungan jumlah kolagen Kolagen merupakan polipeptida dengan struktur utama berbentuk triple helix. Setiap rantai komposisinya merupakan pengulangan Gly-X-Y dan apabila rangkaian ini rusak dengan enzim tertentu maka gugus Glycine yang tampak. Pengecatan glycine dapat dilakukan dengan menggunakan pewarna Sirius red. Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi dan rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2x5 menit, etanol 100% selama dua menit, etanol 96% 2x2 menit, etanol 70% selama dua menit dan aquadest selama dua menit. Selanjutnya dilakukan
79
pewarnaan inti sel dengan Hematoxilin Gill selama 10 menit dan dicuci selama 10 menit dengan air mengalir. Dilakukan pewarnaan dengan picro Sirius red selama satu jam yang bertujuan memberikan pewarnaan mendekati seimbang. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan air asam sebanyak dua kali. Air yang berlebihan selanjutnya dihilangkan secara fisik dengan menggoyang secara perlahan. Dehidrasi dalam etanol 70% selama 10 detik, etanol 96% 2x 10 detik, etanol 100% selama 10 detik dan
xylene 2x2 menit, keringkan selama dua jam dalam suhu
ruang, lalu mounting pada medium berbasis xylene (DPX). Pengamatan hasil jumlah ekspresi kolagen sediaan dilakukan dengan metode analisis digital dengan pembesaran 10 dan 40 kali, menggunakan mikroskop Olympus CX41 (Japan), difoto dengan kamera Optilab Pro (Miconos, Indonesia). Masing masing preparat difoto sebanyak tiga kali dengan menggunakan format JPEG menggunakan perangkat lunak Optilab Viewer 1.0 (Miconos, Indonesia). Penghitungan jumlah kolagen dermis dengan menggunakan piranti lunak Adobe PhotoShop CS3 dan Image J. Jaringan kolagen yang tampak berwarna merah terang dipilih menggunakan fungsi “Magic Wand” oleh Adobe PhotoShop CS3. Kemudian dengan menggunakan fungsi “inverse” maka terpilihlah pixel selain warna merah, lalu dihapus menggunakan fungsi “delete” sehingga pada gambar hanya tersisa pixel dengan warna merah. Ekspresi kolagen dihitung sebagai persentase pixel area kolagen yang berwarna merah dibandingkan dengan pixel area seluruh jaringan.
80
Pertama-tama gambar yang sudah dihilangkan pixel selain warna merah, dipisah channel warna merahnya melalui fungsi “RGB stack” pada Image J. Setelah didapatkan channel warna merah kemudian dibuat nilai “threshold” untuk warna merah, lalu dijalankan fungsi “measure” sehingga didapatkan presentase pixel warna merah dari total pixel secara otomatis. Jumlah kolagen =
pixel area kolagen pixel area seluruh jaringan
x 100%
4.6.2.6. Pengecatan dan perhitungan ekspresi Matriks Metalloproteinase-1 Pengecatan enzim MMP-1 mempergunakan Kit MMP-1 (DAKO LSAB plus, universal detection kit, DAB 5ml) dengan menggunakan metode imunohistokimia. Kit MMP-1 adalah suatu bahan yang digunakan untuk proses pengukuran MMP-1 pada manusia dalam bentuk pro dan aktif yang ada dalam serum, plasma, supernatan kultur sel dan urin. Kit ini terdiri dari lempengan mikro dengan 96 sumuran yang sudah dilapisi dengan antihuman MMP-1, larutan buffer untuk pencuci, larutan standar yang mengandung recombinant human MMP-1, assay dilluent, pendeteksi antibody MMP-1 (biotynilated anti-human MMP-1), HRP-conjugated streptavidine, tetramethylbenzidine (TMB) dan Stop Solution. a.
Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi dan rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2x5 menit, etanol 100% selama dua menit, etanol 96% 2x2 menit, etanol 70% selama dua menit dan PBS selama dua menit.
81
b.
Selanjutnya dilakukan antigen retrieval, yaitu slide direndam dalam buffer Tri Sodium Citrat lalu dipanaskan dalam microwave selama lima menit dengan menggunakan daya 800 Watt, dinginkan lalu cuci dengan PBS 2x5 menit.
c.
Kemudian dilakukan bloking peroksidase endogen dalam boks plastik dengan H2O2 3% selama 30 menit. Kemudian dicuci dengan PBS 1X selama lima menit masing-masing dua kali. Diteteskan 5% FBS 100 µL selama dua jam dalam suhu ruang dan boks dalam keadaan tertutup. Dilanjutkan dengan dicuci PBS 1X selama lima menit masing-masing dua kali, kemudian diteteskan antibodi primer 100 µL selama satu malam dalam boks tertutup. Setelah satu malam dicuci dengan PBS 1X selama lima menit dalam glass jar masing-masing sebanyak dua kali sambil digoyangkan. Karena biotinylated link dapat berikatan dengan antibodi MMP-1, maka dilanjutkan dengan biotinylated link yang diteteskan pada seluruh permukaan jaringan kemudian diinkubasi selama 30 menit dalam boks tertutup, kemudian dicuci dalam PBS 1X selama lima menit dalam glass jar masing-masing dua kali sambil digoyangkan. Selanjutnya diteteskan streptavidin peroxidase kemudian didiamkan selama 30 menit dalam boks tertutup, dicuci kembali dalam glass jar menggunakan PBS 1X sebanyak empat kali masing-masing selama tiga menit sambil digoyangkan. Agar streptavidin peroxidase yang mengandung HRP dapat berikatan dengan biotinylated link. HRP dari streptavidin peroxidase dapat berikatan dengan DAB. Sehingga fibroblas yang
82
mengandung HRP
dapat
berubah warna
menjadi
coklat
yang
menandakan adanya enzim MMP-1. Jadi proses selanjutnya diteteskan DAB hingga berwarna coklat kemudian dicuci dengan PBS 1X hingga bersih dan dikeringkan. Diteteskan Hematoxylin Gill didiamkan selama lima menit kemudian dicuci dengan air mengalir. Direndam dalam etanol absolut sebanyak dua kali masing-masing selama lima menit, dilanjutkan perendaman pada xylene sebanyak dua kali masing-masing selama lima menit. Setelah kering slide di-mounting dengan medium berbasis xylene (DPX) dan ditutup cover glass. d.
Perhitungan jumlah ekspresi MMP-1 sediaan dilakukan dengan metode analisis digital dengan pembesaran 10 dan 40 kali, menggunakan mikroskop Olympus CX41 (Japan), difoto dengan kamera Optilab Pro (Miconos, Indonesia). Masing masing preparat difoto sebanyak tiga kali dengan menggunakan format JPEG menggunakan perangkat lunak Optilab Viewer 1.0 dan Image Raster 2.1 (Miconos, Indonesia). Ekspresi MMP-1 berwarna coklat dan dihitung berdasarkan sel fibroblast yang mengekspresikan MMP-1. Kuantifikasi MMP-1 adalah jumlah sel fibroblast yang mengekspresikan MMP-1 dibagi total sel fibroblast dalam lapangan pandang dihitung masing-masing untuk tiga lapangan pandang. Jumlah ekspresi MMP-1
= fibroblast yang mengandung MMP-1 x 100% fibroblast keseluruhan
83
4.6.2.7. Langkah paparan sinar UVB pada mencit balb/c. Tabel 4.1 jadwal dan waktu paparan UVB Jadwal Paparan Minggu I
Dosis Sinar UVB 50 mJ/cm2
Lama Paparan 50 detik
70 mJ/cm2
70 detik
80 mJ/cm2
80 detik
( Senin, Rabu, Jumat ) Minggu II ( Senin, Rabu, Jumat ) Minggu III dan IV ( Senin, Rabu, Jumat ) 4.6.2.8. Alur penelitian 36 ekor mencit Balb/c , umur 6-8 minggu, berat badan 20-25 g
Mencit diadaptasi selama 1 minggu
Kelompok 1
Kelompok 2
Diolesi Solutio Plasebo
Diolesi solutio kulit manggis 95%
Paparan UVB dengan dosis total 840mj/cm², 3 x seminggu selama 4 minggu
Mencit didiamkan selama 24 jam
Periksa jumlah kolagen dan ekspresi MMP-1
Gambar 4.1 Alur Penelitian Analisis Data
Gambar 4.1 Alur Penelitian
84
4.7.
Analisis Data Data yang telah terkumpul diproses dengan SPSS 17.0 for windows, dan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Analisis deskriptif Dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki Analisis deskriptif dilakukan dengan program SPSS. b. Uji normalitas data Normalitas data diuji dengan uji Shapiro-Wilk. Distribusi data normal dengan p ≥ 0,05. c. Uji Homogenitas Homogenitas data diuji dengan Levene’s test. Varian data homogen dengan p ≥ 0,05. d. Analisis Komparatif Karena data berdistribusi normal dan homogen, maka analisis komparatif dilakukan dengan uji t-independent pada taraf kemaknaan α = 0,05
BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental ini menggunakan mencit balb/c sebagai subyek penelitian dan seluruh kegiatan penelitian dapat berjalan sesuai dengan waktu yang direncanakan tanpa menemui kendala yang berarti. Pada akhir penelitian semua pengukuran dapat diselesaikan dengan lancar dan tidak ditemukan adanya mencit balb/c yang mati atau tidak ada drop out dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 36 ekor mencit sehat dan normal, Strain balb/c, umur 6-8 minggu dan berat badan 20-25 gram secara random sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor, yaitu kelompok perlakuan-1 (UVB dan solutio plasebo), perlakuan-2 (UVB dan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%). Sebelum dipapar sinar UVB terlebih dahulu mencit sampel diadaptasi 1 minggu. Setelah itu ke dua kelompok sampel dipapar sinar UVB buatan 3 x seminggu dengan dosis total 840mJ/cm² selama 4 minggu. Setelah itu mencit dari kedua kelompok didiamkan selama 24 jam untuk mengurangi efek akut dari paparan UVB, kemudian dilakukan biopsi plong pada kulit punggung yang dipapar UVB dengan alat punch biopsi nomor lima (diameter lima mm). Selanjutnya dibuat sediaan histologis dan dilakukan pengecatan dengan Sirius red
untuk kemudian dihitung jumlah
kolagen. Sedangkan untuk pemeriksaan ekspresi MMP-1 pembuatan sediaan histologisnya menggunakan objek glass yang sudah dilapisi daya rekat seperti Poly-Lysine atau yang sejenis, dan pengecatannya dicat dengan pewarnaan immunohistokimia menggunakan kit MMP-1 LSAB (DAKO, Denmark) dan
85
86
antibodi primer anti-mouse MMP-1 (BIOS, USA) . Bahan-bahan lainnya menggunakan bahan dari Sigma-Aldrich (USA). Selanjutnya dinilai ekspresi enzim MMP-1. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas, uji homogenitas, uji komparabilitas, dan efek perlakuan. 5.1 Uji Normalitas Data Data jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1 pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa data jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1 berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Kolagen Dermis dan Ekspresi MMP-1 Masing-masing Kelompok Kelompok Perlakuan
N
P
Keterangan
Jumlah kolagen perlakuan-1
18
0,373
Normal
Jumlah kolagen perlakuan-2
18
0,885
Normal
Ekspresi MMP-1 perlakuan-1
18
0,105
Normal
Ekspresi MMP-1 perlakuan-2
18
0,403
Normal
5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok Data jumlah kolagen dan ekspresi MMP-1 diuji homogenitasnya dengan menggunakan Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2.
87
Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas antar Kelompok Data Jumlah Kolagen dan Ekspresi MMP-1 Sesudah Perlakuan Variabel
F
P
Keterangan
Jumlah kolagen
0,428
0,518
Homogen
Ekspresi MMP-1
1,297
0,263
Homogen
5.3 Jumlah Kolagen Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah kolagen antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji tindependent disajikan pada Tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Rerata Jumlah kolagen antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek
N
Rerata Jumlah Kolagen (%)
SB
Perlakuan-1 (Kontrol)
18
53.76
10,00
Perlakuan-2
18
63,02
9,41
T
P
2,86
0,007
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata jumlah kolagen kelompok Perlakuan-1 (kontrol) adalah 53,7610,00 dan rerata kelompok Perlakuan-2 adalah 63,029,41. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t= 2,86 dan nilai p = 0,007. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah kolagen pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p<0,05).
88
63,02 solutio plasebo
65,00 60,00
53,76
solutio ekstrak kulit manggis
55,00 50,00 45,00 solutio plasebo
solutio ekstrak kulit mangis 95%
Grafik 5.1 Jumlah kolagen Grafik 5.1 diatas menunjukan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% (kelompok perlakuan-2) menyebabkan peningkatan rerata jumlah kolagen sebesar 63,02% yang cukup bermakna bila dibandingkan kelompok perlakuan-1 (kontrol) yang diberi solutio plasebo yang sebesar 53,76% .
89
Foto Kolagen ( Solutio Placebo ) Keterangan : Fragmen yang berwarna merah merupakan gambaran kolagen dermis mencit yang diolesi solutio plasebo dan telah dipapar UVB selama 4 minggu dengan dosis total 840mJ/cm². Terlihat di kedua gambar atas fragmen kolagennya sedikit.
Foto Kolagen ( Solutio Ekstrak kulit manggis 95% ) Keterangan : Fragmen yang berwarna merah merupakan gambaran kolagen dermis mencit yang diolesi solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% dan telah dipapar UVB selama 4 minggu dengan dosis total 840mJ/cm². Terlihat di kedua gambar atas fragmen kolagennya banyak memenuhi lapangan pandang. Gambar 5.1 Foto Kolagen Hasil Penelitian
90
5.4 Ekspresi MMP-1 Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata ekspresi MMP-1 antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji tindependent disajikan pada Tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Rerata Ekspresi MMP-1 antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
N
Rerata Ekspresi MMP-1 (%)
SB
Perlakuan-1(kontrol)
18
10,44
4,37
Perlakuan-2
18
6,72
3,23
Kelompok Subjek
F
P
2,91
0,006
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata ekspresi MMP-1 kelompok Perlakuan-1 adalah 10,444,37 dan rerata kelompok Perlakuan-2 adalah 6,723,23. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 2,91 dan nilai p = 0,006. Hal ini berarti bahwa rerata ekspresi MMP-1 pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p<0,05).
15,00
10,44 6,72
10,00
solutio plasebo solutio plasebo kulit manggis
5,00 0,00 solutio solutio ekstrak plasebo kulit manggi 95%s
Grafik 5.2 Ekspresi MMP-1
91
Grafik 5.2 diatas menunjukan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% (kelompok perlakuan-2) menyebabkan penurunan rerata ekspresi MMP-1 sebesar 6,72% yang cukup bermakna bila dibandingkan kelompok perlakuan-1 (kontrol) yang diberi solutio plasebo sebesar 10,44%.
92
Foto MMP-1 ( Solutio Placebo ) KETERANGAN :
Menunjukkan fibroblas dengan MMP-1 Menunjukkan fibroblas tanpa MMP-1
Keterangan : Terlihat dari kedua gambar diatas memperlihatkan fibroblas dengan MMP-1 (lingkaran hijau/panah merah) jumlahnya banyak terlihat pada dermis mencit yang diolesi solutio plasebo dan telah dipapar UVB selama 4 minggu dengan dosis total 840mJ/cm².
Foto MMP-1 ( Solutio Ekstrak kulit manggis 95% ) KETERANGAN :
Menunjukkan fibroblas dengan MMP-1 Menunjukkan fibroblas tanpa MMP-1
Keterangan : Terlihat dari kedua gambar diatas memperlihatkan fibroblas dengan MMP-1 (lingkaran hijau/panah merah) jumlahnya sedikit pada dermis mencit yang diolesi solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% dan telah dipapar UVB selama 4 minggu dengan dosis total 840mJ/cm². Gambar 5.2 Foto MMP-1 Hasil Penelitian
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1. Subyek Penelitian Sebelum dilakukan penyinaran dengan UVB, mencit dicukur terlebih dahulu pada daerah punggung dan tindakan pencukuran selalu diulang lagi sebelum jadwal penyinaran. Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh bulu terhadap transmisi sinar UVB. Dosis sinar UVB yang dipakai pada penelitian ini sebesar 840mj/cm² dengan dosis terbagi. Dosis sinar UVB yang dapat menimbulkan kerusakan pada kolagen dermis (photoaging) pada kulit mencit dari beberapa penelitian sangat bervariasi. Kim et al. (2004) pada penelitiannya tentang pengaruh isoflavon oral dalam perlindungan (efek fotoprotektif) pada kulit mencit, menggunakan UVB dengan dosis 600 mJ/cm2 yang diberikan dengan dosis terbagi. Pada penelitian lain menggunakan dosis total UVB sampai 840 mJ/cm2 yang diberikan dengan dosis terbagi, juga menggunakan mencit balb/c dan hasilnya terjadi kerusakan kolagen secara bermakna dan terjadi penurunan jumlah ekspresi kolagen dermis kulit mencit mus musculus (Wahyuningsih, 2010). Penelitian lain menggunakan dosis 90 mJ/ cm2 selama 2 bulan (dosis total: 1440 mJ/cm2) dengan dosis selang sehari berhasil menyebabkan kerusakan kolagen bermakna pada mencit yang diteliti (Vayalil et al., 2004). Untuk menguji pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 mencit, maka
93
94
dilakukan penelitian pada mencit sehat yang dipapar dengan UVB dan diberikan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%. Sebagai hewan coba digunakan mencit sehat dan normal, Strain balb/c, umur 6-8 mingu dan berat badan 20-25 gram. Pada penelitian ini menggunakan mencit sebagai hewan percobaan karena mencit termasuk vertebrata mamalia, dan mempunyai struktur kulit yang mirip dengan manusia. Hal ini memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda yang belum mengalami penuaan intrinsik. Mencit ini merupakan strain mencit albino yang tidak memiliki pigmen termasuk pada folikel rambut. Vayalil et al. (2004) pada penelitiannya tentang teh hijau serta efeknya dalam mencegah pengaruh paparan ultraviolet, menggunakan SKH-1 hairless mice. Mencit tanpa bulu (hairless mice) sangat ideal untuk penelitian yang memerlukan perlakuan paparan sinar pada kulit oleh karena lebih praktis dan tidak perlu lagi melakukan tindakan pencukuran. Namun mencit strain tanpa bulu belum bisa di dapatkan di Indonesia. Mencit yang digunakan sebanyak 36 ekor sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor mencit, yaitu kelompok perlakuan-1 (kontrol) yang dioleskan dengan solutio plasebo dan kelompok perlakuan-2 yang dioleskan dengan solutio ekstrak kulit manggis 95%. Kedua kelompok dipapar sinar UVB 3 x seminggu dengan total 840 mj/cm² selama 4 minggu untuk membuat kondisi premature aging pada kulit mencit. 6.2. Pengaruh Ekstrak Etanol Kulit Manggis terhadap Jumlah kolagen Data jumlah kolagen pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan kelompok perlakuan-2 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas (Uji Shapiro Wilk)
95
menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya distribusi data kedua kelompok adalah normal. Sedangkan hasil uji homogenitas (Levene test) pada kedua kelompok menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya varian data kedua kelompok adalah homogen. Setelah dilakukan analisis komparatif atas kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan kelompok perlakuan-2 dengan menggunakan uji t-independent didapat hasil bahwa terdapat perbedaan secara bermakna rerata jumlah kolagen antara kelompok perlakuan-1 (kontrol) dengan kelompok perlakuan-2 dengan p < 0,05. Dari Data hasil penelitian juga didapatkan rerata jumlah kolagen kelompok perlakuan-2 sebesar 63,029,41 sedangkan pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) sebesar 53,7610,00 yang berarti kelompok perlakuan-2 mempunyai hasil jumlah kolagen yang lebih banyak dibandingkan kelompok perlakuan-1 (kontrol). Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan jumlah kolagen secara bermakna pada kelompok perlakuan-2 sesudah diberikan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% dengan p<0,05. Pada penelitian yang memberikan LA oral 0,87mg pada mencit yang dipapar UVB didapat rerata jumlah kolagennya sebesar 48,7%. (Sudarjana, M., 2012). Hal ini menunjukkan pemberian solutio ekstrak kulit manggis 95% lebih baik daripada pemberian oral LA oral 0,87mg dalam hal peningkatan jumlah kolagen dermis mencit yang dipapar UVB. Paparan kronis sinar UVB akan menimbulkan gejala klinis seperti kerutan, kekenduran, kulit kasar, pigmentasi yang tak beraturan dan hal ini tidak dinilai pada penelitian ini. Pengaruh paparan sinar ultraviolet termasuk ultraviolet B pada
96
kulit secara histologis banyak berdampak pada kolagen dermis. Kulit yang mengalami penuaan dini akan memperlihatkan perubahan yang nyata pada berbagai komponen matriks intra dan ekstra seluler pada jaringan konektif seperti terjadi akumulasi dan tidak teratur serabut elastin, serta berkurang atau hilangnya serabut kolagen (Chen et al.,2012 ). Faktor utama yang diduga bertanggung jawab pada terjadinya kerusakan kolagen pada kasus photoaging adalah adanya radikal bebas yang dipicu sinar ultraviolet B yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan matriks ekstra seluler terutama kerusakan kolagen (Uito et al., 2008) Radikal bebas juga dapat menyebabkan kerusakan dan penurunan relatif anti oksidan baik antioksidan enzimatik maupun non enzimatik yang merupakan sistem pertahanan pada kulit serta pada akhirnya dapat menyebabkan berbagai kelainan seperti kanker kulit, menekan sistem imun termasuk terjadi penuaan dini kulit (Kochevar, 2008; Chen et al., 2012). Radical oxygen species diyakini dapat mengaktifkan jalur tranduksi signal sitoplasma pada fibroblast kulit yang akan mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi dan penuaan dan degradasi jaringan konektif dan juga dapat menimbulkan kelainan genetik permanen (Chen et al., 2012). Ultraviolet dapat menimbulkan radikal bebas melalui berbagai mekanisme. Bila kulit terpajan sinar ultraviolet maka kromofor kulit akan mengabsorpsi energi ultraviolet tersebut. Jenis kromofor yang dapat menyerap sinar ultraviolet di kulit adalah DNA, asam urukanat, 7-dehidrokolesterol, ribovlavin dan melanin. Kromofor akan menjadi tereksitasi setelah mengabsorpsi energi dan akan terjadi
97
reaksi fotokimia dan menghasilkan photoproduct. Reaksi fotokimia dapat berupa reaksi langsung dan sensitized photoproduct. Reaksi fotokimia langsung merupakan photoproduct yang timbul apabila molekul tersebut menyerap photon. Sedangkan sensitized photoproduct dihasilkan melalui perpindahan ke molekul lain, pada molekul yang tidak menyerap foton. Photoproduct yang dihasilkan dapat berupa ROS seperti sinlglet oksigen dan radikal bebas lainnya (Hawk, 2004). Spesies oksigen reaktif ini dapat meyebabkan oksidasi lipid dan protein sampai ke tingkat DNA, menginduksi matriks metalloproteinase yang menyebabkan photoaging dan dapat pula menyebabkan photocarsinogenesis (Kochevar, 2008; Yaar and Gichrest, 2008). Satu penelitian yang menggunakan paparan sinar ultraviolet dan pengaruhnya pada factor transkripsi NF-κB memperlihatkan bahwa sinar UV akan memacu NF-κB dan mengaktifkan AP-1 akan tetapi sifatnya sementara. Aktivasi terdeteksi dua jam setelah paparan sinar UV dan menetap sampai delapan jam. Setelah dilakukan perlakuan pemberian antioksidan LA ternyata didapatkan penekanan NF-κB dan AP-1 yang dievaluasi tiga jam setelah paparan (Saliou et al., 2014). Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton (Akao et al., 2008). Priya et al. (2010) mengekstraksi kulit manggis menemukan kandungan 95% xanton, disamping itu didapat juga kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu kulit buah manggis juga mengandung antosianin (Pradipta et al., 2009). Xanton adalah kelompok pigmen kuning yang terdapat pada beberapa famili tanaman tinggi, jamur, tanaman lumut. Mangostin
98
adalah unsur xanton utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres et al., 2000). Xanton merupakan senyawa polifenolik dengan struktur kimia yang mengandung cincin trisiklik aromatik. Struktur ini memiliki aktivitas biologis seperti antioksidan, antinflamasi, antibakteri, antikanker (Nakagawa et al., 2007). Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tanggal 7 mei 2013 di fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium UNUD diketahui kulit manggis memiliki kandungan vitamin C, Fenol dan Antosianin yang cukup tinggi (Ericson, 2014). Aktivitas antioksidan pada kulit manggis sangat kuat sebagai penangkap radikal bebas (radical scavenging) (IPB, 2009). Sehingga sifat antioksidan dari kulit manggis ini dapat menghambat terbentuknya ROS, dan selanjutnya menghambat penghancuran kolagen oleh paparan sinar UVB dan meningkatkan jumlah kolagen dermis. 6.3. Pengaruh Ekstrak Etanol Kulit Manggis terhadap Ekspresi MMP-1 Data ekspresi MMP-1 pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan kelompok perlakuan-2 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas (Uji Shapiro Wilk) menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya distribusi data kedua kelompok adalah normal. Sedangkan hasil uji homogenitas (Levene test) pada kedua kelompok menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya varian data kedua kelompok adalah homogen. Setelah dilakukan analisis komparatif atas kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan kelompok perlakuan-2 dengan menggunakan uji t-independent didapat hasil bahwa terdapat perbedaan secara bermakna rerata ekspresi MMP-1 antara kelompok perlakuan-1 (kontrol) dengan kelompok perlakuan-2 dengan p < 0,05.
99
Dari Data hasil penelitian juga didapatkan rerata ekspresi MMP-1 kelompok perlakuan-2 sebesar 6,723,23 sedangkan pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) sebesar 10,444,37 yang berarti kelompok perlakuan-2 mempunyai hasil ekspresi MMP-1 yang lebih sedikit dibandingkan kelompok perlakuan-1 (kontrol). Hal ini berarti bahwa terjadi penurunan ekspresi MMP-1 secara bermakna pada kelompok perlakuan-2 sesudah diberikan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% dengan p<0,05. Pada penelitian yang memberikan astaxanthin gel 0,02% pada kulit mencit yang dipapar UVB didapat rerata ekspresi MMP-1 sebesar 6,11%, ekstrak bulung boni gel 0,4% pada kulit mencit yang dipapar UVB didapat rerata ekspresi MMP1 sebesar 5,52%. (Wiraguna, 2013). Hal ini menunjukkan pemberian solutio ekstrak kulit manggis 95% mempunyai kemampuan yang hampir sama dengan pemberian astaxanthin gel 0,02% maupun pemberian ekstrak bulung boni gel 0,4% dalam hal penurunan ekspresi MMP-1 dermis mencit yang dipapar UVB. Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa ekspresi MMP-1 pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekspresi MMP-1 kelompok perlakuan-2. Hal ini disebabkan karena saat kulit terekspos dengan sinar UVB, akan mengaktivasi respon molekuler yang dapat merusak jaringan ikat kulit. Untuk menimbulkan efek biologisnya, molekul kulit yang disebut kromofor harus menyerap sinar UVB, dan energi yang terserap harus diubah menjadi reaksi kimia. Tergantung pada kromofornya, apakah akan menyebabkan perubahan kimia langsung terhadap kromofor itu sendiri atau akan diteruskan pada molekul lain kemudian mengalami perubahan kimia. Kromofor
100
utama kulit adalah DNA, asam urokanik, asam amino aromatik, bilirubin, retinoid, karotenoid, flavin, melanin, hemoglobin, dan NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phophatae) (Rigel et al., 2004). Selain itu radiasi UVB juga memproduksi ROS (Fisher et al., 2008), yang mengaktivasi reseptor permukaan sel seperti EGF (epidermal growth factor), IL-1 (interleukin-1), insulin, keratinosicyte growth factor, dan TNF-α (tumor necrotizing factor-α). Aktivasi reseptor ini, sebagian karena ROS menginduksi penghambatan enzim protein tirosin fosfatase-κ, yang fungsinya mempertahankan reseptor seperti reseptor EGF dalam keadaan inaktif (terfosforilasi). Aktivasi reseptor menyebabkan aktivasi signal intraseluler melalui stimulasi mitogen activated protein (MAP) kinase p38 dan c-Jun amino terminal kinase (JNK). Aktivasi kinase merangsang transkripsi komplek nukleus AP-1 yang menyusun protein c-Jun dan c-Fos. AP-1 kemudian akan meningkatkan transkripsi MMP dan menurunkan ekspresi gen
prokolagen I dan III dan reseptor TGF-β, yang
konsekuensi akhirnya berupa penurunan pembentukan matriks ekstraseluler (Yaar and Gilcrest, 2008). Ditemukan bahwa hanya dengan satu kali ekspos terhadap paparan radiasi UV sinar matahari dapat mengganggu jaringan konektif dengan menyebabkan gangguan sintesis kolagen yang hampir komplit, selama 24 jam yang kemudian diikuti dengan recovery 48-72 jam setelahnya ( Fisher et al., 2001). Selain itu juga terjadi degradasi kolagen karena terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup signifikan yaitu sekitar 4,4 ± 0,2 kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang tidak dipapar radiasi UV (Fisher et al., 2001).
101
MMP adalah mediator utama terhadap timbulnya degradasi kolagen pada kulit yang mengalami photoaging. Enzim MMP kolagenolitik mendegradasi fibril kolagen dan elastin, yang penting untuk kekuatan dan elastisitas kulit. Aktivitas MMP di kulit akan meningkat walaupun hanya dengan radiasi UV yang singkat, yang akan menyebabkan timbulnya kerutan pada kulit, yang menjadi tanda photoaging (Yaar and Gilchrest, 2008). Dengan demikian, hambatan terhadap MMP adalah salah satu cara untuk mencegah kerusakan kulit akibat paparan sinar UV. Stres oksidatif berpengaruh besar dalam proses photoaging dan fotokarsinogenesis dan juga dalam patogenesis fotodermatosis (Stahl et al., 2002). Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton (Akao et al., 2008). Priya et al., (2010) mengekstraksi kulit manggis menemukan kandungan 95% xanton j, pada penelitiannya didapat juga kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu kulit buah manggis juga mengandung antosianin (Pradipta et al., 2009). Xanton adalah kelompok pigmen kuning yang terdapat pada beberapa famili tanaman tinggi, jamur, tanaman lumut. Mangostin adalah unsur xanton utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres et al., 2000). Xanton merupakan senyawa polifenolik dengan struktur kimia yang mengandung cincin trisiklik aromatik. Struktur ini memiliki aktivitas biologis seperti antioksidan, antinflamasi, antibakteri, antikanker (Nakagawa et al., 2007). Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tanggal 7 mei 2013 di fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium uji fitokimia UNUD diketahui kulit manggis memiliki kandungan vitamin C, Fenol dan Antosianin yang cukup tinggi (Ericson, 2014). Aktivitas antioksidan pada kulit manggis
102
sangat kuat sebagai penangkap radikal bebas (radical scavenging) (IPB, 2009). Sehingga sifat antioksidan dari kulit manggis ini dapat menghambat terbentuknya ROS, dan selanjutnya menekan peningkatan MMP. Hal ini yang menjelaskan hasil dari penelitian ini pada kelompok perlakuan-2 yang dipapar dengan UVB terjadi penghambatan peningkatan MMP-1.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian terlihat hasil terjadinya penghambatan penuaan kulit pada dermis mencit dikarenakan sebagai berikut: 1. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang dipapar UVB. 2. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase–1 pada kulit mencit yang dipapar UVB. 7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan ekstrak kulit manggis dalam menghambat timbulnya tanda-tanda penuaan dini lainnya selain akibat paparan sinar ultra violet. 2. Perlu melakukan penelitian uji klinis pada manusia untuk mengetahui efektivitas pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis terhadap peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 pada kulit manusia.
103
DAFTAR PUSTAKA Afaq, F., Mukhtar H., 2010. Antioxidants for The Prevention of Photoaging. In : Rhein, L.D., Fluhr J.M., editors. Aging Skin : Current and Future Therapeutic Strategis 1st ed.USA: Allu Red Bussiness Media. P. 273-93. Akao, Y., Nakagawa, Y., Linuma, M. and Nozawa, Y., 2008. Anti-Cancer Effects of Xanthones from Pericarps of Mangosteen. International Journal of Molecular Sciences 9, 355-370. Ames, B.N., Shigenaga M.K., and Hagen T.M. 1993. Oxidant and Antioxidant and the Generative of Disease of Aging. Proc. Natl. Acad. Sci. USA.Vol 90 : 7915-22 Ardhie, A.M., 2011. Ardhie, A.M., 2011. Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah Penuaan. Medicinus. Vol. 24(1) : 4-9. Bagiada, N.A., 2012. Materi kuliah Proses Penuaan dan Penanggulangannya. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Baumann, L., 2002. Antioksidant in: Cosmetic Dermatology. Prinsiple and Practise. Hongkong : Mc Graw Hill. P. 105-6. Baumann, L., 2008. How to Prevent Photoaging. J. Invest. Dermatol, vol,125 : xii-xiii. Caimi, G.C., Carollo, R. and Presti., 2004. Chronic Renal Failure : Oxidative Stress, endothelial dysfunction and wine. Journal Cline Nephrology 62 : 331-335 Chairungsrilerd, N.K., Takeuchi, Y., Ohizumi, S., Nozoe and T. Ohta., 2007. Mangostanol, a prenyl xanthone from Garcinia mangostana. Journal Phytochemistry 43 (5) : 1099-1102. Chen, L., Hu, J.Y. and Wang, S.Q., 2012. The Role Antioxidant in Photoprotection : a critical review. (cited 2012 May 15). J.Am.Acad. Dermatol July. Vol.496907. available online 2013 May URL. http : //www . Sciencedirect.com/science/article/pii/SO1909622120013.
104
105
Chivapat, S., Chavalittumrong, P., Wongsinkongmani, P., Phisalpong, C. and Rungsipipat, A., 2011. Chronic Toxicity Study of Garcinia mangostana Linn. pericarp Extract. Thai Journal Veterinary Medical. 41(1) : 45-53. Chomnawang, M.T., Surassmo, S., Nukoolkarn, V.S. and Gritsanapan, W., 2005. Antimicrobial effects of Thai medicinal plants against acne-inducing bacteria. Journal Ethnopharmacology; 101 : 330-333. Chung, J., Cho, S. and Kang, S. 2004. Why does The Skin Ages. in: Rigel, D.S., Weiss, R.A.,
Linn, H.W., Dover, J.S. editors. Photoaging, 2nd.
ed.
Canada: Maarced Decker inc. p 1-5. Chung, J., Hanf, V.N. and Kang, S., 2003. Aging and Photoaging. J.Am.Acad. Of Dermatol July. Vol. 49 : 690-7. Cunningham, W., Baran, R. and Maibah H., 2005. Aging and Photoaging. In : Textbook of Cosmetic Dermatology. Francis : Taylor 3rd. ed. London. p. 443-5. Diegelmann, R.F., 2008. Collagen Metabolism., [cited 2013 July 18]. Available from [online] : URL. http : /www.medscape.com/viewarticle/423231. Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation. 2nd Edition. New York : Marcel Dekker. Fenske, N.A., Lober, C.W., 2012 Aging and its Effect on the skin. In : Dermatology 3rd ed.. Moschela, S.L., Hurley H.J., editors. Philadelpia : W.B Saunders Company. P 107-122. Fisher, G.J., Choi, H.C., Batta-C., Sorgo Z., Shao, Datta, ZQ., Kang, W.S. and Voorhess,
J.J.,
2007.
Ultraviolet
Irradiation
Increase
Matrix
Metalloproteinase-8 Protein in Human Skin Invitro. J. Invest Dermatol 117-26. Fisher, G.J., Kang, S., Varani J., 2002. Mechanism of Photoaging and Chronological skin aging. http/www. arch. dermatol. com. vol 138. Fisher, G.J., Wang, Z.Q., Datta , S.C., Varani, J. and Kang, S., 2001. Pathophysiology of Premature Skin Aging. N. Eng. J. Med. Vol. 337: 1419-29.
106
Fisher, G.J., Wang, Z.Q., Datta , S.C., Varani, J., Kang, S. and Voorhees, J.J., 2008. Pathophysiologi of Premature Skin Aging Induce by Ultraviolet Light.
[cited:2013June12].
Available
from
URL
http//Wikipedia.org/wiki/Antioxidan. Fisher, G.J., Wang, Z.Q., Datta , S.C., Varani, J., Kang, S., and Voorhees, J.J. 2008. Pathophysiologi of Premature Skin Aging Induce by Ultraviolet Light.
[cited:2013June12].
Available
from
URL
http//Wikipedia.org/wiki/Antioxidan. Garmyn, M., Vander Oord, J. Ch., Cho, S. and Kang S., 2004. Clinic and Histological change in Photoaging in : Rigel, D.S., Weiss, R. A., Linn, H.W., Dover, J. S. editors. Photoaging, 2nd ed. Canada : Maarced Decker inc. p33-55. Gilchrest, B.A. dan Krutmann, J., 2006. Skin Aging. Germany : Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Germany. p.10-11, 34-42. Glogau, R.G.S., 2004. Photo Aging and Aging Skin. in: Rigel D.S., Weiss R.A., Linn H.W., Dover J.S. editors. Photoaging, 2nd ed. Canada : Maarced Decker inc. p 65-73. Gloster, H.M., Neal, K., 2006. Skin Cancer in Skin Colour. J.Am.Acad. Dermatol. Vol.55 : 741-60. Gorido, N., Meseguer, C., Simon, A., Pellicer and Remohi, J., 2004. Pro-oxidative and anti-oxidative imbalance in human semen and its relation with male fertility. Asian Journal Andrology 6: 59-65. Griffits, C., Russman, A.N.,Majmudar, G. and Singer R.S., 2009. Restoration of collagen Formation in photodamage Human Skin by Tretinoin. [cited 2013
April
23].
Available
from:
URL
:
http
:
//conten.nemj.org/cgi/conten/full/329/8/530. Halliwell, B. and Gutteridge, J.M.C., 2006. Free Radicals in Biology and Medicine. London : Oxford Univ. Hanggono, T., 2004. Biomolekular mechanism of antioxidant activity aging process.
Available
from
:
http
:
107
//pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/10/biomolecular
_
mechanism. pdf. Accessed October 20, 2013. Hawk,
J. and Young, A., 2004 . Cutaneus Photobiology. In : Burn, T., Breathnach, CoxN., Griffiths, editors. Rook’s Textbook of Dermatology., 7th Oxford Blackwell Scientific Publication. Vol. 24: 241-9.
Ho, C.K., Huang, Y.L. and Chen, C.C., 2002. Garcinone E, a xanthone derivative, has potent cytotoxic effect against hepatocellular carcinoma cell lines. Journal Planta Medical., 68(11) : 975-979. Holder, R.M. and Richard, G., 2004. Photo Aging in Patients of Skin Colour in : Rigel D.S., Weiss, R.A., Linn, H.W., J.S. editors. Photoaging, 2nd ed. Canada : Maarced Decker inc. p 55-65. IPB, 2009. Evaluasi biomassa, kadar dan profil derivates Xanthone serta potensi antioksidan kulit buah manggis (garcinia mangostana l). Dari beberapa tipe Agroekologi sentra produksi manggis. Available at : http : //www.searchdocument.com/pdf/7/10/kandungan-kulit-manggis.html#.
Accessed
Agustus 14, 2013. Jenkins, G., 2002. Molecular mechanism of skin ageing. Mech Ageing Dev, 123 : 801-810. Jung, H.A., Su, B.N., Keller, W.J., Mehta, R. G. and Kinghorn, A.D., 2006. Antioxidant xanthones from the pericarp of Garcinia mangostana (Mangosteen), Journal Agriculture Food Chemical 54 (6) : 2077-2082. Kierman, J.A., 2010. Sirius Red Staining Protocollagen. IHC World, [cited 2013 Apr, 15]. Available from: URL : http//print/Sirius Red 20% Protocol/html. Kim, H.S., Kim, H.J., Kim, Y.N., Kwon, T.K., Kim, J.G. and Lee, I.K., 2007. Alpha Lipoic Acid Inhibit matrix metalloproteinase-9 expresion by inhibiting NF-kB transcription activity. Experimental and Molocular Medicine. Vol. 39, No 1: 106-13. Kim, S.Y., Kim , S.J., Lee, J.Y., Kim W.G., Park,W.S., Sim Y.C., Lee, S.J., 2004. Protective Effects of Dietary Soy Isoflavones against UV-Induced Skin Aging in Hairless Mouse Model. Original Research Journal of the American College of Nutrition , vol 23: p.157-162.
108
Klatz, R. and Goldman, R., 2003. Anti Aging Revolution.Third Edition. Boulevard East : Basic Health Publication. Kochevar, I.E, Taylor, C.R., 2008. Photophysics, Photochemistry and Photobiology. In : Feedberg I.M., Eisen, A.Z., Wolff, K., Austen, K.F., Goldsmith L.A., Katz, S.I., editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine; 7th ed. New York : McGraw-Hill. p. 1267-75. Kochevar, I.E. and Taylor, C.R., 2008. Photophysics, Photochemistry and Photobiology. In : Feedberg I.M., Eisen, A.Z., Wolff K, Austen, K.F., Kosem, N., Ichikawa, K., Utsumi, H., Moongkarndi, P., 2012. In vivo toxicity and anti tumor activity of mangosteen extract. Journal of Natural Medicine. 05/2012; DOI : 10.1007/s11418-012-0673-8. Kosmadaki, M.G., Gilchrest, B.A., 2004. Role of Telomeres in Skin Aging / Photoaging. Micron; 35 : 155-9. Kresno, S.B., 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Jakarta : 137-145, Balai Penerbit FKUI. Hal 137-145. Kullavanijaya, P. and Lim, H.W., 2005. Photoprotection. J.Am.Acad. of Derm.Vol. 52 : 937-958. Kuntarsih, S., 2006. Program Pengembangan Manggis di Indonesia. Makalah dalam Seminar harteknas dan ritech expo. Puspiteks Serpong Tangerang 31 Agustus 2006. Marshall, PT. and
Huge GM., 2013. The Physiologi of mammal and other
vertebrate. Cambridge. University Press. Martinez-Esparza, M., Ferrer, C., Castells, M.T., Garcia-Borron, J.C. and Zuasti, A., 2001. Transforming growth factor beta1 mediates hypopigmentation of B16 mouse melanoma cells by inhibition of melanin formation and melanosome maturation. Int. J. Biochem, 33 : 971–983. Masaki, H., 2010. Role of antioxidant in the Skin: Anti Aging effects. J Dermatol Science. Vol 58 : 85-90. Matsumoto, K., Akao, Y., Kobayashi, E., Ohguchi, K., Ito, T., Tanaka, T., Iinuma, M. and Nozawa, Y., 2003. Induction of apoptosis by xanthones
109
from mangosteen in human leukemia cell lines. Journal Nature Product, 66(8) : 1124-1127. Matsumoto, K., Akao, Y., Yi, H., Ohguchi, K., Ito, T., Tanaka, T., Kobayashi, E., Iinuma, M. and Nozawa, Y., 2004. Preferential target is mitochondria in alpha-mangostin-induced apoptosis in human leukemia HL60 cells. Journal Bioorganism Medical Chemical.12(22) : 5799-5806. Mc.Daniel, C.F., 2007. Understanding Antioksidan. [cite 2013 June 18]. Available
from:
URL
http
:
//www
fisherinstitute.org.live-pages
antioksidan. Moini, H., Packer, L. and Saris, N.E.L., 2002. Antioxidant and Prooxidant Activities of Alpha Lipoic Acid. Toxicol. Appl. Pharmacol.182, 84. Moongkarndi, P., Kosem, N., Kaslungka, S., Luanratana, O., Pongpan, N. and Neungton, N., 2004. Antiproliferation, antioxidation and induction of apoptosis by Garcinia mangostana (mangosteen) on SKBR3 human breast cancer cell line, Journal Ethnopharmacology 90(1 ) : 161-166. Moyal, D. and Fountainer, A., 2004. Acute and Chronic Effect of Ultraviolet. What are they and How to Study. in : Rigel, D.S., Weiss R,A., Linn H.W., Dover J.S. editor. Photoaging 2nd ed. Canada: Marceed Decker Inc. p.1554. Nabandith, V., Suzui, M., Morioka, T., Kaneshiro, T., Kinjo, T., Matsumoto, K., Akao, Y., Iinuma, M.and Yoshimi, N. 2004, Inhibitory effects of crude alpha-mangostin, a xanthone derivative, on two different categories of colon preneoplastic lesions induced by 1, 2-dimethylhydrazine in the rat, Asian Pacific Journal Cancer Preventive 5(4) : 433-438. Nakagawa, Y., Iinuma, M., Naoe, T., Nozawa, Y. and Akao, Y., 2007. Characterized mechanism of alpha-mangostin induced cell death : caspase independent apoptosis with release of endonuclease-G from mitochondria and increased miR-143 expression in human colorectal cancer DLD-1 cells. Journal Bioorganism and Medica Chemical 15 (16) : 5620-5628. Nakatani, K., Atsumi, M., Arakawa, T., Oosawa, K., Shimura, S., Nakahata, N and Ohizumi, Y., 2002. Inhibitions of histamine release and prostaglandin
110
E2 synthesis by mangosteen, Journal Thai medicinal Plant Biology Pharmacology Bull 25, 1137-1141. Nugroho, A.E. Manggis (Garcinia mangostana L.), 2007 : Dari kulit buah yang terbuang hingga menjadi kandidat suatu obat. Available from : http ://mo t.farmasi.ugm.ac.id/files/69 Manggis_Agung % 20 Baru. pdf. Accessed November 30, 2011. Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Anti-Aging Medicine.Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hal : 8-9, 13, 15-17, 20, 39-41. Pedraza-Chaverri J., Cárdenas-Rodríguez, N., Orozco-Ibarra, M. and Pérez-Rojas, J.M. 2008. Medicinal properties of mangosteen (Garcinia mangostana). Journal Food Chemical. Toxicology, 46 : 3227-3239. Peres V, Naem TJ, de Oliviera FF., 2000. Antioxidant and antimicrobial activities of crude extracts from mangosteen (Garcinia mangostana L.) parts and some essential oils. Available from: http : //www. International Food Research Journal 17: 583-589 (2010). Accessed October, 20, 2013. Pinnel, S.R., 2003. Cutaneus Photodamage, Antioxidant Stress and Topical Antioksidan . J.Am.Acad Dematol. Vol 48 : 1-19. Placzek, M., 2005. Ultraviolet B-Induced DNA Damage in Human Epidermis Is Modified by the Antioxidants Ascorbic Acid and D-α-Tocopherol. Journal of Investigative Dermatology, 124, 304-307. Pongphasuk, N., Khunkitti, W., Chitcharoenthum. M., 2005. Anti-Inlammatory and Analgesic Activities of the Extract from Garcinia mangostana LINN. Acta Hort.
(ISHS)
680 :
125-130.
Available from
:
http :
//www.actahort.org/books/680/680_18.htm. Accessed October, 20, 2013. Pradipta, I.S., Nikodemus, T.W., Susilawati, Y., (2009), “Isolasidan Identifikasi Senyawa
Golongan
Xanton
dari
KulitBuah
Manggis
(Garcinia
mangostana L.)”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Prihatman, K., 2000, Manggis (Garcinia mangostana L.), Kantor Deputi Menegristek
Bidang
Pendayagunaan
dan
Pemasyarakatan
Pengetahuan dan Teknologi BPP Teknologi, Jakarta.
Ilmu
111
Priya, V., Jainu, M., Mohan, S.K., Saraswati, P. and Gopan, C.S., 2010. Antimicrobial activity of pericarp extract of garcinia mangosatan linn. International Journal of Pharma Sciences and Research vol 1 (8) p 278281. Rabe, J.H., Mamelak, A.J., Mc Elgunn, P.J.S. and Morison, W.L., 2006. Photoaging Mechamism and Repair . J.Am.Acad of Dermatol. Vol 55: 119. Rabello-Fonseca, R.M., Azulay, Luis, R.R., Mandarine-Lacerda C.A., Cuzzi, Manela-Azulay, M., 2008 Oral Isotretinoin in Photoaging : Clinical and Histophatological of efficacy of an Label indication. J. Euro Acad. Dermatol and venerology. Rhein, L.D. and Santiago, J.M., 2010. Matrix Metallo Proteinase, Fibrosis, and Regulationby Transforming Growth Factor Beta: A new Frontier in Wrinkle Repair. In : Rhein, L.D., Fluhr J.M., editors. Aging Skin : Current and Future Therapeutic Strategis 1st ed.USA: Allu Red Bussiness Media. P. 26-81. Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W., Dover, J.S. 2004. Photoaging. New York : Marcel Dekker, Inc.S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffel, D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th. ed. New York : McGraw-Hill. p. 517-41. Saliou, C.,Kitazawa,M., McLaughlin, L., Yang, J.P., Lodge, J.K.Tetsuka, T.,Iwasaki K., Cillard, J., Okamoto, T., and Packer L. 2014. Antioxidant Modulate acute Solar Ultraviolet Radiation-induce NF-kB activation in a human keratinocyte cell line. Free Radical Biology and Medicine. Vol.26 Issues 1-2: p.174-8 Sampath, P. and mangostin,a
Vijayaraghavan, K., 2007. Cardioprotective effect of alpha xanthone derivative from mangosteen on tissue defense
system against isoproterenol-induced myocardial infarction in rats. Journal Biochemical Molecular Toxicology 21: 336–339.
112
Seltzer,
J.L.,
Eisen,
A.Z.,
2006.
The
Role
of
Extracellular
Matrix
Metalloproteinases in Conective Tissue Remodelling. In: Fitzpatrick T.B. et al, editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book co, p 200-209. Shibata, M., Linuma, M., Morimoto, J., Kurose, H., Kanako, A., Okuno, Y., Akao, Y. and Otsuli, Y., 2011. a-Mangostin extracted from the pericarp of themangosteen (Garcinia mangostana Linn) reduces tumor growth and lymph node metastasis in animmuno competent xenograft model of metastatic mammary cancer carrying a p53 mutation. BioMed Journal . Cytotoxic prenylated xanthones from the young fruit of Garcinia mangostana.Central Medicine 2011, 9 : 69. Soepardiman, L., 2003. Etiopatogenesis Kulit Menua. In : Peremajaan Kulit. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. P. 1-9. Stahl, W., and Sies, H., 2002. Carotenoid and protection agains solar UV Radiation. Skin Pharmacol Appl. Skin Physiol. Vol.15 : 291-96. Sterm, R.S., 2004. Treatment of Photoaging. N. Eng. J. Med. Vol. 35 1526-34 Tandon, R. 2005. Antioxidant: Past and Present. [cite 2013 June, 18]. Available from : URL http : //www pharmainfo-net/reviews/antioxidant past and present. 3(4). Sudarjana, M., 2012. Pemberian Alpha-Lipoic Acid Oral Menghambat Penurunan Kolagen Dermis Kulit Mencit Balb/c Dengan Pajanan Sinar Ultraviolet. (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana. Suksamrarn, S., Komutiban, O., Ratananukul, P., Chimnoi, N., Lartpornmatulee, N. and Suksamrarn, A., 2006 Journal Chemical Pharmcology Bull. 54, 301–305. Supiyanti, W., Endang, D.W., Lia, K., 2010 Uji Aktivitas antioksidan dan Penentuan Kandungan Antosianin pada kulit buah manggis (Garcinia Mangostana). Majalah Obat Tradisional 15(2), 64-70. Tandon, R., 2005. Antioxidant : Past and Present. [cite 2013 June, 18]. Available from : URL http : //www pharmainfo-net/reviews/antioxidant past and present. 3(4).
113
Torrungruang, K., Vichienroj, P. and Chutimamorapan, S., 2007. Antibacterial activity of mangosteen pericarp extract against cariogenic streptococcus mutans. CU Dental Journal 30 : 1-10. Towatana, N.H., Reanmongkol, Wand Wattanapiromsakul, C., 2010. Acute and subchronic toxicity evaluation of the hydroethanolic extract of mangosteen pericarp. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 4(10), pp. 969-974. Uito, J., Chu, M., Gallo, R. and Eizen, A.Z., 2008. Collagen, Elastic fibers and Extracellular Matrix of the Dermis. In : Wolff, K., Gold Smith, L.A., Katt. Varani, J., Quan, T.H. and Fisher GJ., 2010. Mechanism and Pathophysiologi of Photoaging and Chronological Skin Aging. In : Rhein, L.D., Fluhr J.M., editors. Aging Skin : Current and Future Therapeutic Strategis 1st ed.USA : Allu Red Bussiness Media. P. 1-25. Vayalil, P.K., Mitta, A., Hara, Y., Elmets, C.A., Hara, Y. and Katiyar, S.K., 2004. Green Tea Polyphenol Prevent Ultraviolet Light Induce Oxidative Damage and Matrix Metalloproteinase Expression in Mouse Skin. J Invest Dermatol Vol. 122 : 1480-87. Wahyuningsih, K.A., 2010. Pemberian Asthaxantine Topikal Menghambat Penuaan Dini Kulit akibat Pajanan Sinar Ultraviolet B dengan Memberikan Efek Proteksi Terhadap Kolagen pada Mencit (Mus Musculus). (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana. Walker, S.L., Hawk, J.L.M. and Young, A.R., 2008. Acute and Chronic Collagenase Degradeed Collagen in Vitro. Am.J. Pathology. Vol 158; 93142. Weecharangsan, W., Opanasopit, P., Sukma, M., Ngawhirunpat, T., Sotanaphun, U. and Siripong, P., 2006. Antioxidative and neuro protective activities of extracts from the fruit hull of mangosteen (Garcinia mangostana Linn.). Journal Medical Princ Practice 15(4) : 281-287. Winarsi, H., 2011. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Cetakan ke-5. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.Hal 18. Wiraguna, 2013. Pemberian Gel Ekstrak Bulung Boni (Caulerpa spp.) Topikal Mencegah Penuaan Kulit Melalui Peningkatan Ekspresi Kolagen,
114
Penurunan Kadar dan Ekspresi MMP-1 Serta Ekspresi 8-OhdG Pada Tikus Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B. (Disertasi). Denpasar : Universitas Udayana. Wiraguna, A.A.G.P., 2012. Materi kuliah Foto Fisik, Foto kimia, Foto Biologi. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Wirohadidjojo, Y.W., and Dahlan I., 2007. The effect of narrow and broad band ultraviolet B onto Keloid fibroblast-VEGF Expression. Berkala Ilmu Kedokteran. Vol. 39(2) : 82-87. Wu, T., Rifai, N., Roberts, L.J., Willett, W.S. and Rimm, E.B., 2004. Stability of Measurements of Biomarkers of Oxidative Stress in Blood Over 36 Hours. Journal Cancer Epidemiology Biomarkers Preventive August 2004 13; 1399. Yaar, M., 2006. Clinical and Histological Features of Intrinsic versus Extrinsic Skin Aging. Dalam : Gilchrest, B.A., Krutmann, J., editors. Skin Aging. Berlin : Springer. P. 10-52. Yaar, M., Gilchrest, B.A., 2008. Aging of Skin. In : Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York : McGraw-Hill. P. 963-74. Zarena, A.S. and Sankar, U., 2009. Screening of xanthone from mangosteen (Garcinia mangostana L.) peels and their effect on cytochrome c reductase and phosphomolybdenum activity. Journal of Natural Products, Vol. 2(2009) : 23-30.