BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat tidak mungkin bisa dilepaskan dengan perkembangan hukum, begitu pula sebaliknya. Dalam perkembangannya, masyarakat
mengalami
fase-fase
atau
tahapan-tahapan
sebagaimana
dikemukakan Durkheim dalam tulisan Evolution of Society and Social Solidarity.1 Disini dijelaskan perkembangan masyarakat dari Mechanical Solidarity ke Organic Solidarity yakni dari masyarakat sederhana dan bersifat serba kolektif berkembang menjadi masyarakat modern dan komplek dengan segala pembagian kerja yang luas serta berkembang menjadi masyarakat individualistik.
1
Lihat Dragan Milovanovic, A Primer In The Sociology Of Law, Second Edition, Harrow and Heston Publisher, New York, 1994 P.24. Mechanical solidarity was seen as the normal type in primitive societies where very little division of labor existed. The “glue“ or the bond was sameness or similarity. Uniformity was central in this type of society. In other words, the range of personality types was not extensive. All were said to participate intimately in each other’s lives. Standing above all the members of this type of society was the conscience collective (nowadays usually referred to as the collective conscience). It represents the collective identities , sentiment, and thoughts of the group. Its source was the same conditions and adaptations that all were said to share. All individual experiences, impressions and beliefs, then were similar. The conscience collective was beyond the ability of the individual to change. It was a social fact. It was conservative force in much as those who dared to test its borders were subject to harsh reactions by the rest of the community. Individualism was almost non – existent. It could not be tolerated. It implied that the person strayed some distance from the common bond. The morally good person was the one who participated entirely within the terms of the conscience collective. Organic solidarity, on the other hand, exists in advanced, differentiated societies. In other words, it was prevalent in a society that had an extensive division of labor. In this highly specialized society, with an abundance of specialized functions and roles, mutual dependence was the glue. Organic solidarity was, Durkheim argued, much more binding than mechanical solidarity since it was based on people now needing each other because each complements the other for her / his inadequacies. In this society, too the conscience collective weakens. It does not have the same force. Collectivism is now replaced by individualism.
Richard
Lee
dan
Sahlins2
juga
mengemukakan
tentang
perkembangan masyarakat dari masyarakat yang sangat sederhana menuju yang lebih modern dengan tahapan-tahapan yaitu: a. Masyarakat pemburu dan pengumpul: masyarakat ini hidup dengan binatang tangkapan dan tumbuh-tumbuhan. Masyarakat ini selalu hidup dalam komunitas kelompok dan tanah bukan menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan mereka karena selalu berpindah-pidah. b. Masyarakat pastoral: Sama dengan kelompok masyarakat di atas dan berpindah-pindah. Masyarakat ini mengandalkan kehidupannya dengan beternak dan sudah mengenal perdagangan, sehingga relatif lebih makmur dari masyarakat di atas dan dalam masyarakat inilah muncul perbudakan. Karena sama dengan masyarakat di atas tanah belum menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. c. Masyarakat holtikultural: Masyarakat hidup dari hasil panen yang diusahakan, tapi belum ada teknologi yang diusahakan. Mereka biasanya membuka lahan dan membakar hutan. Dalam masyarakat ini kebersamaan 2
Pandangan ini disarikan dari Richard lee (1979) The Kung Sun: Men, women and Work in a Foraging society, New York, Cambridge Univercity Press. Marshal D Sahlins, (1972) Stone Age Economics, Chicago: Aldine. Dari gambaran perkembangan masyarakat tersebut Savigny dalam mazhab historis tentang hukum mengemukakan bahwa …hukum berkembang dengan berkembangnya rakyat dan menjadi kuat dengan kuatnya rakyat dan kemudian lenyap kalau rakyat kehilangan kebangsaannya ……. Maka inti teori ini adalah semua hukum pada mulanya dibentuk dengan jiwa warga-warga bangsa dan mengalami perkembngan sebagaimana warga bangsa tersebut, akan tetapi ketika hukum dipositifkan maka perekembangan hukum tidak bisa mengikuti perkembangan masyarakatnya lalu hukum itu lenyap dan ditinggal oleh warga bangsa tersebut. (Pandangan ini disarikan dari pendapat Von Savigny dalam W. Friedman, (1960) “legal theory” Stevens & Sons Limited, London, Terj. Mohammad Arifin 1990, Buku Susunan II hal 61. Lebih dalam juga dikemukakan Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius Yogyakarta, h. 118). Intinya adalah hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern, kesadaran hukum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara tehnis.
selalu diutamakan. Karena sistem pertanian yang dianut masih sangat tradisional dan selalu berpindah maka tanah belum menjadi komuditas yang harus dipertahankan. d. Masyarakat pertanian: Masyarakat mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian. Masyarakat ini mampu mengubah tanah pertanian yang tidak subur menjadi subur, sehingga sudah modern dan tidak lagi berpindahpindah sebagaimana kelompok masyarakat di atas. Lembaga social bermunculan misalnya lembaga politik, ekonomi, hukum dan sebagainya dengan statusnya (muncul klas sosial). Dari sinilah muncul penguasaan tanah dan tanah mulai berharga dan selanjutnya menjadi komoditi, karena menjadi komoditi maka tanah dipertahankan menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka, sehingga penguasan hak atas tanah mulai bermunculan dari masyarakat ini. e. Masyarakat Industri: Masyarakat yang mendasarkan kehidupannya pada kemampuan mengubah barang baku menjadi barang jadi dengan mesinmesin industri dan teknologi, di sini manusia berperan sebagai programmer operasional. Disini harga tanah menjadi sangat mahal apa bila digunanakan untuk kawasan industri. Oleh karena itu sengketa sering terjadi karena ketidakadilan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dalam konteks ini muncul masyarakat urban, pinggiran dan masyarakat yang menguasai industri. Sengketa tanah mulai mencapai titik kritis dan muncul problem lingkungan dengan dilakukannya penataan kawasan industri dan pemukiman.
f. Masyarakat Post-Industri: Mengandalkan pada informasi dan jasa. Menjual informasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam masyarakat ini konsep individualistik mulai berkembang dan struktur masyarakat menjadi kompleks. Kepemilikan tanah secara legal formal menjadi sangat penting sehingga hukum yang dipakai adalah menjadi hukum yang rasional.3 Demikian
pula
halnya
dengan
semakin
konvergennya
perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini yang mengakibatkan semakin beragam aneka jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi yang ada, serta semakin canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua media informasi. Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya internet telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas-batas negara berikut kedaulatan dan tatananan masyarakatnya. Ironisnya, dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industri dan masyarakat informasi, seolah masih prematur untuk mengiringi perkembangan teknologi tersebut. Pola dinamika masyarakat Indonesia seakan masih bergerak tak beraturan
di
tengah
keinginan
untuk
mereformasi
semua
bidang
kehidupannya daripada pemikiran yang handal untuk merumuskan kebijakan atau pengaturan yang tepat untuk itu. Meskipun masyarakat Indonesia telah 3
Pandangan dalam masyarakat post-industri banyak dikemukankan Daniel Bell (1973) The Coming of Industrial Society, New York, Basic Books. Seymor Martin Lipset (1979) The Third Century: America as A Post Industrial Society, Chicago, Univercity Of Chicago Press. Alvin Tofler, (1980) The New Wave, New York: Morrow.
banyak
menggunakan
produk-produk
teknologi
informasi
dan
jasa
telekomunikasi dalam kehidupannya, namun bangsa Indonesia secara garis besar masih meraba-raba dalam mencari kebijakan publik untuk membangun suatu infrastruktur yang handal (National Information Infrastructure) dalam menghadapi
infrastruktur
informasi
global
(Global
Information
Infrastructure). Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi dan sistem transaksi secara elektronik telah menjadikan industri teknologi informasi menjadi industri yang diunggulkan. Selain memberikan kemudahan dan efisiensi waktu, teknologi informasi juga memberikan keuntungan lainnya yaitu memperluas pangsa pasar ke seluruh dunia tanpa harus pergi atau mengirim orang ke negara-negara lain untuk memasarkannya. Teknologi informasi dapat memberikan kemudahan dan bersifat praktis sebagai sarana penunjang bagi kegiatan perindustrian. Pada kenyataannya hal ini membuat para pelaku bisnis begitu yakin melakukan bisnis dengan menggunakan sarana teknologi informasi, bahkan tidak hanya para pelaku bisnis saja yang memanfaatkan teknologi informasi ini tetapi negara juga ikut menjadi bagian dari pelaku bisnis didalamnya. Teknologi informasi dibuat untuk memudahkan para penggunanya dalam mencatat suatu transaksi, menyimpannya dalam bentuk data, mentransformasikannya menjadi informasi dan menyebarkannya kepada para pemakai
informasi.
Dalam
dunia
bisnis
teknologi
informasi
mempunyai dampak yang besar,misalnya suatu transaksi bisnis yang dicatat
secara on-line, akan diolah dan pada saat yang hampir bersamaan (real-time) hasil pengolahan atau informasinyadapat dilihat, seperti yang lazim dilakukan para nasabah bank pada saat melakukan transaksi pada ATM (automated teller machine). Pada saat ini informasi menjadi hal yang sangat penting dalam kegiatan bisnis, dengan dukungan teknologi informasi, informasi semakin mudah diperoleh tanpa dibatasi ruang dan waktu. 4 Komputer
sebagai
alat
bantu
manusia
dengan
didukung
perkembangan teknologi informasi telah membantu akses ke dalam jaringan publik (public network) dalam melakukan pemindahan data dan informasi. Dengan kemampuan komputer dan akses yang semakin berkembang, transaksi perniagaan pun dilakukan dalam jaringan komunikasi tersebut. Pada awalnya internet hanya dapat digunakan sebagai media pertukaran informasi dilingkungan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian.5 Baru pada tahun 1995-lah internet mulai terbuka untuk masyarakat luas. Kemudian untuk lebih memudahkan masyarakat mengakses informasi internet, dimana Tim Berners-Lee mengembangkan aplikasi World Wide Web (www).6 Setelah internet terbuka bagi masyarakat luas, internet juga mulai digunakan untuk kepentingan perdagangan. Setidaknya ada dua hal yang mendorong kegiatan perdagangan dalam kaitannya dengan kemajuan
4
http://maharadkk.blogspot.com/2014/05/penggunaan-teknologi-informasi-dalam.html; Budi Rahardjo; Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia; www.budi.insan.co.id 6 Didik M ARif Mansur dan Elisatris Gultom; Cyberlaw, Aspek Hukum Teknologi Informasi; Cetakan I, Bandung; PT. Refika Aditama; 2005; h. 4 5
teknologi yaitu meningkatnya permintaan atas produk-produk teknologi itu sendiri dan kemudahan untuk melakukan transaksi perdagangan.7 Salah satu hasil perkembangan teknologi informasi adalah jual beli yang dilakukan melalui media elektronik dan dikenal dengan kontrak jual beli secara elektronik. Berdasarkan sumber hukum di Indonesia, kontrak jual beli harus memiliki beberapa klausula-klausula yang tekstual yaitu berbentuk akta atau kontrak secara tertulis, jelas dan nyata, baik berupa akta otentik maupun akta dibawah tangan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan kontrak jual beli termasuk hak dan kewajiban dari para pihak dalam kontrak tersebut. Kontrak jual beli secara elektronik ini pada dasarnya cenderung menggunakan sistem hukum yang mengacu pada norma atau kaidah yang berlaku pada suatu negara, termasuk di Indonesia. Berdasarkan ketentuan hukum jual beli yang berlaku ada beberapa hal yang bersifat essensial dalam proses jual beli yaitu mengenai hak dan kewajiban para pelaku dalam melakukan kontrak jual beli yang ditegaskan pada saat adanya kesepakatan jual beli sebagai pendukung keabsahan pembuktian dari suatu perjanjian jual beli tersebut. Ada beberapa hal yang sering muncul dalam kontrak jual beli melalui media elektronik ini yang timbul sebagai suatu kendala seperti kekuatan
perjanjian,
perpajakan,
metode
pembayaran,
peradilan,
perlindungan hukum, tanda tangan elektronik, penyelesaian sengketa yang 7
Agus Raharjo; Cybercrime : Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi; Cetakan I, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti; 2002; h. 1
terbentuk dalam suatu sistem jaringan kerja secara langsung. Masalahmasalah tersebut menimbulkan permasalahan hukum mengenai aspek hukum perjanjian yang sangat dibutuhkan dalam pembuktian agar memenuhi kepastian hukum, dalam hal ini dokumen berwujud nyata atau tertulis sebagaimana terjadi dalam jual beli secara konvensional. Sementara itu kontrak jual beli secara elektronik dilakukan dalam dunia maya (virtual world), tanpa adanya dokumen nyata yang tertulis seperti akta, baik akta otentik maupun akta bawah tangan, kondisi seperti itu akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan pembuktian apabila terjadi sengketa pada jual beli secara elektronik tersebut. Selanjutnya, perkembangan teknologi informatika yang semakin canggih menjadikan segala sesuatu tidak harus saling bertemu, misalnya dalam hal jual beli sesuatu barang, dimana tidak perlu mempertemukan antara penjual dengan pembeli. Pada ketentuan hukum yang berlaku saat ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Transaksi diartikan sebagai “persetujuan jual beli (perdagangan)”. Transaksi tersebut menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik. Komputer yaitu alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”. Data atau dokumen elektronik adalah setiap Informasi
Elektronik yang dibuat, iteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya dapat digunakan sebagai alat bukti.8 Salah satu bentuk penggunaan teknologi internet yang aktual adalah Electronic Commerse (E Commerce) atau komersial elektronik. Sebelum dikenal E-Commerce, terlebih dahulu dikenal Electronik Data Interchange (EDI) yaitu jaringan data kepabeanan, yang dipergunakan oleh aparat bea & cukai yang penggunaannya mampu memproses surat menyurat serta proses birokrasi manusia dalam ekspor impor secara elektronik diberbagai negara. Operasional EDI dirasa sangat rumit dan memerlukan kecanggihan peralatan serta infrastruktur agar bisa berhubungan antara satu dengan lainnya. Karena itu EDI hanya dipergunakan secara amat terbatas oleh instansi-instamsi resmi yang mampu membiayai operasional sistem EDI. Berdasarkan uraian singkat diatas, penulis mencoba melakukan penelitian hukum terhadap hal-hal yang mungkin timbul dalam kontrak secara elektronik, dalam penulisan hukum dengan mengambil judul penelitian: “KEKUATAN AKTA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
8
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
PADA
TRANSAKSI
E-COMMERCE
DALAM
SISTEM
HUKUM
INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta elektronik dalam transaksi ecommerce di Indonesia? 2. Bagaimanakah jaminan perlindungan hukum dalam transaksi e-commerce di Indonesia?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
yang ada
mengenai
penelitian atau tesis yang pernah dilakukan terkait dengan akta elektronik, menunjukkan
bahwa
penelitian
dengan
judul
KEKUATAN
AKTA
ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI PADA TRANSAKSI E-COMMERCE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keasliannya. Namun ada penelitian yang berkaitan dengan akta elektronik dikaitkan dengan transaksi e-commerce yang pernah dilakukan oleh alumni mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung yang dilakukan oleh Maya Erika Wati dengan judul “Kekuatan Dokumen Electronic Contract
(E-Contract)
Dalam
Transaksi
Electronic
Commerce
(E-Commerce)
Dikaitkan Dengan Hukum Perjanjian di Indonesia. Penelitian ini apabila dipertentangkan dengan penelitan yang terdahulu,
maka
baik,
judul
dan
permasalahan
maupun
substansi
pembahasannya sangat berbeda. Sepintas permasalahannya hampir sama, seperti yang diteliti oleh May Erika Wati akan tetapi kalau dillihat kembali secara cermat permasalahannya sangatlah berbeda, dimana Maya Erika Wati membahas mengenai electronic contract dikaitkan dengan hukum perjanjian di Indonesia sedangkan pada penelitian ini lebih difokuskan kepada permasalahan kekuatan akta elektronik sebagai alat bukti dalam sistem hukum Indonesia. Selain itu, ada pula tesis yang ditulis oleh Joan Venzka Tahapary dari Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Indonesia dengan judul “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Ditinjau Dari Hukum Acara Perdata”. Penelitian
lebih
fokus
membahas
permasalahan
tentang
pembuktian yang terkait dengan tanda tangan elektronik serta keabsahan tanda tangan elektronik sementara itu penelitian yang akan dilakukan ini membahas pada kekuatan akta elektronik sebagai alat bukti dalam system hukum Indonesia. Selanjutnya juga ada tesis yang telah ditulis oleh Tutuwuri Handayani pada Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro dengan judul Pengakuan Tanda Tangan Pada Suatu Dokumen Elektronik Di Dalam Pembuktian Hukum Acara Perdata di Indonesia. Dalam tesis ini membahas mengenai permasalahan yang terkait dengan proses pengakuan tanda tangan elektronik dan penyelesaian sengketa perdata antara para pihak dengan bukti tanda tangan elektronik yang terlihat tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Joan Venzka Tahapary diatas. Jadi, berdasarkan hal-hal tersebut, penelitian ini memiliki pembahasan yang asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara akademis.
D. Manfaat Penelitian Penelitan ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran, manfaat dan kontribusi di bidang ilmu hukum baik teoritis maupun praktis sebagai berikut: Manfaat Teoritis Memberikan
sumbangan
pemikiran
dalam
rangka
meningkatkan
perkembangan ilmu hukum, khususnya mengenai aspek hukum tentang kekuatan pembuktian akta elektronik pada transaksi e commerce di Indonesia serta mengkaji hal-hal yang terkait dengan keberadaan transaksi e-commerce di Indonesia. Manfaat Praktis
Memberikan masukan kepada semua pihak khususnya kepada pihak yang berwenang dalam pembentukan perundang-undangan dalam bidang Hukum Acara Perdata mengenai kekuatan pembuktian akta elektronik pada transaksi e-commerce sehingga ke depannya pengaturan mengenai e-commerce dapat memberikan kontribusi positif pada dunia hukum di Indonesia.
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian dalam penulisan tesis yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta elektronik dalam e-commerce ini adalah: 1. Untuk mengetahui kekuatan hukum pembuktian akta elektronik dalam transaksi e commerce di Indonesia. 2. Untuk mengetahui jaminan perlindungan hukum dalam transaksi ecommerce dengan menggunakan akta elektronik di Indonesia.
25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Hukum Akta dan Akta Elektronik Perjanjian merupakan dasar terpenting suatu perikatan disamping sumber lainnya. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH PERDATA) menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang” dan menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH PERDATA) menyatakan “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Para ahli hukum juga memberikan pengertian tentang perjanjian, selain batasan yang diberikan oleh undang-undang, diantaranya Subekti mengatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13 Pelaksanaan kontrak atau perjanjian ini harus sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH PERDATA), yaitu:
13
Subekti , Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, 2005, hal 1