BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara. Banyak negara, termasuk Indonesia mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara utama.1Pajak memiliki peran penting dalam menopang pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri. Bagi masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam mewujudkan
peran
sertanya
dalam
membiayai
pembangunan
secara
konstitusional. Pemungutan pajak di indonesia diatur pada Pasal 23A UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa
untuk
keperluan
negara
diatur
dengan
undang-
undang”.Selanjutnya, pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang, Perubahan keempat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan mengatur bahwa: “pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam upaya memperoleh penerimaan negara yang besar dari sektor pajak, maka dibutuhkan serangkaian upaya yang dapat meningkatkan baik
1
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, 2011,Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan Di Indonesia, Visi Media, Jakarta, hlm.1
1
subjek maupun objek pajak yang ada. Sementara itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial, disamping untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Disamping itu, bangunan memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, warga masyarakat yang ingin memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajib menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran
pajak, yaitu dengan
membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Seiring dengan bergulirnya reformasi sejak 1998 diikuti dengan otonomi daerah baik di tingkat I (Provinsi) maupun di tingkat II (Kabupaten/ Kota) banyak perubahan yang dialami di negeri ini, salah satunya dibidang perpajakan, diantaranya tentang BPHTB yang sebelumnya pajak pusat, namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dialihkan menjadi pajak daerah. BPHTB merupakan amanat yang tertuang dalam UndangUndang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009 sekaligus kebijakan nasional yang harus dilaksanakan. Proses peralihan BPHTB menjadi pajak daerah diatur lebih lanjut dengan dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-47/PJ/2010 tanggal 22 Oktober 2010 tentang ditegaskan bahwa mulai 01 Januari 2011 BPHTB berubah menjadi Pajak Daerah. Artinya,
2
Pemerintah Kota dan Kabupaten mulai 2011 dapat mengelola sepenuhnya pemungutan BPHTB dan menjadikannya sebagai pendapatan daerah, khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dasar hukum pemunggutan BPHTB adalah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut UU PDRD. Menurut Undang-Undang tersebut ditentukan adanya beberapa prinsip pengenaaan Pajak BPHTB yaitu hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 ayat (3) yaitu: “Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Hak Pengelolaan”. Hak tersebut diketahui berdasarkan tanda bukti hak nasional berupa sertifikat, dengan demikian tanah yang belum bersertifikat peralihan yang dilakukan tidak dikenakan pajak. Sementara itu, menurut Pasal 8 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yaitu ditentukan berdasarkan harga transakasi untuk jual beli, harga pasar untuk perolehan lainnya, sehingga dengan demikian setiap transaksi yang terjadi berdasarkan nilai kesepakatan harga oleh para pihak maka harga kesepakatan itulah yang menjadi dasar pengenaan pajaknya. Ketentuan tersebut diatas dikecualikan manakala tidak diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) maka yang dipakai adalah NJOP. Apabila NJOP belum ditetapkan maka besarnya NJOP tersebut akan ditetapkan oleh Menteri. Dalam pengenaan pajak ditetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah) serta
3
perolehan hak karena Waris, Hibah, Wasiat dalam garis lurus keatas dan kebawah ditetapkan PTKP sebesar maksimal Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah). UU PDRD menentukan syarat pembayaran pajak dimuka dalam hal perolehan hak dan bangunan, sehingga hutang pajak sudah terjadi sejak dibuat dan ditandatanganinya akta perolehan hak. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU PDRD maka hutang pajak harus dilunasi saat memperoleh hak yaitu saat ditandatangani akta perolehan hak. Berdasarkanpenjelasan Pasal 13 UU PDRD, besarnya hutang pajak harus dibayar oleh wajib pajak berdasarkan harga transaksi atau NJOP maka pembayarannya tersebut langsung diperhitungkan oleh Wajib Pajak sendiri asas self assessment tanpa harus menunggu adanya surat ketetapan pajak. Dalam praktek diduga banyak terjadi ketidaksesuaian antara harga yang disepakati oleh para pihak dengan harga yang disampaikan kepada instansi pajak. Dugaan sementara terdapat kurang lebih tujuhpuluh penulisan pelaporan BPHTB tidak sesuai dengan harga kesepakatan atau transaksi.2 Keadaan demikian menjadikan kecurigaan terhadap petugas dan pejabat pajak terhadap kebenaran harga transaksi tersebut tidak sesuai dengan nilai pasar. Dalam hal ini petugas atau pejabat pajak akan menentukan besarnya NPOP berdasarkan nilai pasar, yaitu NJOP pada saat tahun perolehan yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB). Hal ini kemudian menimbulkan masalah manakala nilai pasar objek pajak terhutang 2
Hasil wawancara dengan Bapak Suharno, Seksi Penagihan dan pelaporan DPPKAD Boyolali, Tanggal 18 November 2012, Pukul 11.00 WIB
4
tersebut tidak sama besarnya dengan NJOP sebagaimana ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang jelas telah mencantumkan NJOP dan bangunan pada tahun yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 18 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Kabupaten Boyolali tentang BPHTB yang memberi kewenangan kepada bupati untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara pembayaran dan penagihan pajak untuk wilayah Kabupaten Boyolali. Selanjutnya Pasal 12 Peraturan Bupati Nomor 8 Tahun 2011 yang mekanismenya diatur tentang tata cara penelitian terhadap pajak terhutang yang dibayarkan oleh wajib pajak dalam perolehan tanah sebagai berikut:
pertama kepala dinas menerima pembayaran pajak
terhutang; kedua dinas melakukan penelitian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD);
ketiga
penelitian
dilakukan
secara
administratif;
keempat
mencocokan NJOP bumi dan atau bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD dengan NJOP bumi dan/ atau bangunan per meter persegi pada basis data PBB; kelima meneliti kebenaran penghitungan BPHTB; keenam meneliti kebenaran BPHTB yang akan dibayar. Pada dasarnya Perda yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Boyolali ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang tetapi dalam penerapannya atau implementasinya menimbulkan masalah. Permasalahan yang sering kali muncul dengan adanya Peraturan Bupati nomor 8 tahun 2011 terkait pengaturan pada Pasal 12 huruf b yang berbunyi: “mencocokan NJOP bumi dan atau/ bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD dengan NJOP bumi/ atau Bangunan per meter persegi pada basis data PBB”.
5
Penjelasan yang berkaitan dengan basis data PBB ini tidak diterangkan lebih lanjut didalam penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 2 Tahun 2011 maupun Peraturan Bupati Nomor 8 Tahun 2011 sehingga mengenai bentuk maupun tujuan dibuat basis data tersebut. Dengan adanya keterbukaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik khususnya pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:“setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik” dan ditambahkan pada ayat (3) bahwa “setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana”. Berdasarkan undang-undang tersebut maka Pemerintah Daerah memberikan informasi yang tepat dan benar kepada masyarakat tentang basis data kepada masyarakat baik maksud dan tujuannya dibuat basis data serta apa bentuk dari basis data tersebut. Atas dasar latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun tesis dengan judul : PENERAPAN ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI. B. Rumusan Masalah Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam pemungutan BPHTB di Kabupaten Boyolali?
6
2. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan guna memenuhi asas kepastian hukum dalam pemungutan BPHTB di Kabupaten Boyolali? 3. Bagaimana cara menetapkan besaran BPHTB yang mendekati unsur kepastian hukum, serta dapat diterima oleh Wajib Pajak? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor ketidakpastian hukum dalam penetapan BPHTB di Kabupaten Boyolali 2. Untuk mengetahui upaya apa yang dapat dilakukan guna memenuhi asas kepastian hukum dalam pemungutan BPHTB di Kabupaten Boyolali 3. Untuk menemukan perkiraan yang tepat dan dapat diterima dalam penetapan BPHTB oleh masyarakat. D. Keaslian Penelitian Sepanjang penulis membaca penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang mengangkat dan membahas tentang “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan”. Namun demikian terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh: 1. Widhi Kurniawan dengan judul “Penentuan Dasar Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Praktek Jual Beli Hak Atas Tanah Di Kabupaten Sleman”. Yang merupakan penelitian tesis S-2, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Adapun masalah yang diteliti adalah mengenai pengenaan tarif BPHTB di kabupaten sleman dan penentuan dasar pengenaan Pajak Objek Pajak 7
BPHTB dalam praktek jual beli dan berbagai penyimpangan didalam praktek pengisian SSPD seperti mengisi SSPD dengan harga transaksi yang bukan sebenarnya yakni dengan cara membuat harga transaksi jual beli sedikit diatas NJOP namun dibawah harga transaksi jual beli sebenarnya untuk mengurangi atau meringankan dari beban wajib pajak yang seharusnya dibayar oleh wajib pajak. Serta pengawasan instansi terkait terhadap pelaksanaan pemungutan BPHTB di dalam praktek jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Sleman.3 2. Ruth Rosiana, dalam tesisnya yang berjudul “Pelaksanaan Pungutan Bea Perolehan
Hak
Atas
Tanah
dan
Bangunan
(BPHTB)
Setelah
Diberlakukannya UU PDRD Di Kabupaten Pringsewu” Yang merupakan penelitian tesis S-2, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Adapun masalah yang diteliti adalah mengenai pelaksanaan
Pungutan
BPHTB
di
Kabupaten
Pringsewu
sejak
diberlakukannya UU PDRD serta perlindungan kepentingan hak-hak Wajib Pajak BPHTB yang mendapat perolehan hak atas tanah dan bangunan.4 Dari penelitian tesis tersebut diatas, belum pernah ada yang meneliti Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Banguna di Kabupaten Boyolali.
3
Widhi Kurniawan, 2012, Tesis, Penentuan Dasar Pengenaan Pajak Objek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dalam Praktek Jual Beli Atas Tanah Di Kabupaten Sleman, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada. 4 Ruth Rosiana, 2011, Tesis, Pelaksanaan Pungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Setelah diberlakukanya Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Di Kabupaten Pringsewu, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.
8
E. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademis khususnya dan menjadi khasanah baru dalam pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pajak pada khususnya karena perpajakan sangat penting untuk dipahami sehingga diharapkan akan dapat
menekan
timbulnya
permasalahan-permasalahan
dalam
hal
perpajakan khususnya didalam pemungutan BPHTB. 2. Secara Praktis: Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat dan akademisi, dalam hal penegakan hukum pajak dan kaitanya dengan kewajiban masyarakat terhadap negara dan kewajiban negara terhadap rakyatnya serta sebagai masukan dan bahan informasi bagi kalangan praktisi hukum khususnya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah. 3. Kegunaan penelitian bagi masyarakat umum: Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pengetahuan bagi masyarakat, terutama warga Kabupaten Boyolali mengenai aturan-aturan hukum perpajakan di indonesia mengenai BPHTB.
9