BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat terpuruk sejak krisis moneter yang melanda banyak negara di benua Asia bagian timur, termasuk Indonesia pada akhir dekade 1990an. Salah satu jenis kegiatan bisnis bank umum yang saat ini berkembang dengan pesat yaitu kegiatan menyalurkan kredit ke masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. Kegiatan menyalurkan kredit mengandung resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan usaha bank umum. Likuiditas keuangan, solvabilitas dan profitibilitas bank umum sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pihak bank dalam mengelola kredit yang disalurkan. Mengingat besarnya resiko dalam pelaksanaan perkreditan, maka dalam pemberian kredit, Undang-undang Perbankan menegaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu :1
1
Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan I, 1996, hlm.51-52.
a. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principles); b. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan; c. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank; d. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian seksama terhadap watak, kemampuan, modal, jaminan dan prospek usaha debitur. Hal ini dipertegas dalam regulasi perkreditan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia atau BI berdasarkan SK Direksi BI No. 27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995, yang mewajibkan bagi setiap bank untuk memperhatikan asasasas perkreditan yang sehat. Salah satu upaya untuk lebih mengarahkan agar perkreditan bank didasarkan pada prinsip perkreditan yang sehat yaitu melalui kebijakan perkreditan yang jelas. Kebijakan perkreditan perbankan dikatakan baik apabila minimal dalam kebijakan tersebut mencakup :2 1. Prinsip kehati-hatian perkreditan; 2. Organisasi dan manajemen perkreditan; 3. Kebijakan persetujuan perkreditan; 4. Dokumentasi dan administrasi; 5. Pengawasan kredit; 2
Iswi Hariyani, SH MH, Rekstrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Jakarta : Kompas Gramedia, Cetakan I, 2010, hlm. 13
6. Penyelesaian kredit bermasalah. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pinjaman modal baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek dari lembaga perbankan, pihak bank mensyaratkan adanya suatu jaminan yang harus diserahkan oleh pihak debitur sebagai pelunasan kredit. Jaminan mempunyai peranan sangat penting dalam kegiatan perekonomian, hal ini bertujuan untuk mencegah lembaga keuangan baik lembaga perbankan maupun lembaga non perbankan menanggung kerugian total yang disebabkan karena debitur tidak dapat melunasi kreditnya atau pinjaman modal. Adanya syarat pembebanan jaminan terhadap harta kekayaan milik debitur merupakan salah satu kebijakan bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian perkreditan, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan : “Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh Bank.3
3
Republik Indonesia, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Secara garis besar, jaminan dapat dibedakan atas 3 (tiga) bentuk, yaitu:4 a. Jaminan
perorangan
(personal
guarantee/borgtoct),
adalah
suatu
perjanjian penanggungan utang dimana pihak ketiga mengikatkan diri untuk memenuhi kewajiban nasabah dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank/wanprestasi; b. Jaminan perusahaan (corporate guarantee), adalah suatu perjanjian penanggungan utang yang diberikan oleh perusahaan lain untuk memenuhi kewajiban
nasabah
dalam
hal
nasabah
tidak
dapat
memenuhi
kewajibannya kepada bank/wanprestasi; c. Jaminan kebendaan, adalah penyerahan hak oleh nasabah atau pihak ketiga atas barang-barang miliknya kepada bank guna dijadikan jaminan atas kredit yang diperoleh nasabah. Dalam praktek jaminan yang paling sering digunakan adalah jaminan kebendaan, salah satunya adalah jaminan fidusia. Lembaga jaminan tersebut merupakan lembaga jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak yang tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan dan telah banyak digunakan oleh masyarakat dalam bisnis. Lembaga jaminan fidusia telah diakui eksistensinya dengan adanya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang telah diundangkan pada tanggal 30 September 1999. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka (2) bahwa Jaminan Fidusia 4
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Andria Permata Veithzal, B. Acct., M.B.A., Credit Management Handbook (Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Rajawali Pers, Cet.1, 2006, hlm439.
adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai jaminan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya, sedangkan fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dalam Pasal 11 juncto atau disingkat jo Pasal 13 jo Pasal 15 UndangUndang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menentukan bahwa benda baik yang berada di wilayah negara Republik Indonesia atau di luar negara Republik Indonesia, yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Perdaftaran Fidusia yang permohonan pendaftarannya diajukan oleh penerima fidusia dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 dan atas dikabulkannya permohonan pendaftaran tersebut, maka kepada penerima fidusia diberikan sertifikat jaminan fidusiayang mencantumkan irah-irah : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tanggalnya sama dengan tanggal diterimanya permohonan pendaftaran fidusia (registration of titles). Arti penting pencantuman irah-irah : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bahwa pencantuman tersebut membawa konsekuensi bahwa
sertifikat jaminan fidusia disamakan dengan suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang mempunyai kekuatan eksekutorial (title eksekusi), artinya sertifikat jaminan fidusia tersebut dapat dieksekusi. Eksekusi jaminan fidusia merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima fidusia. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1178 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apabila debitur tidak membayar kredit dan bunga yang terutang kreditur dapat mempergunakan hak parate eksekusi. Yang dimaksud hak parate eksekusi adalah hak menjual harta jaminan yang telah diikat dengan hipotek pertama, tanpa sita jaminan dan persetujuan pengadilan terlebih dahulu.5 Hasil penjualan harta jaminan dipergunakan untuk melunasi kredit dan bunga yang tertunggak. Berdasarkan
kepercayaan,
kreditur
penerima
fidusia
wajib
mengembalikan hak milik atas benda obyek jaminan setelah pihak debitur pemberi fidusia melunasi hutangnya, karena itu kreditur penerima fidusia tidak dapat menjual atau mengalihkan benda jaminannya terhadap pihak ketiga, sebelum debitur lalai memenuhi kewajibannya. Jika ternyata kreditur menjual benda jaminan, maka pembeli tidak mendapat perlindungan Pasal 1977 KUHPerdata. Dengan perkataan lain, jual beli tersebut dapat dibatalkan, karena Pasal 1977 KUHPerdata hanya memberikan perlindungan kepada pembeli yang beritikad baik. Pembeli disini dapat dikatakan tidak beritikad baik, karena apabila ada itikad baik, tentu ia akan menanyakan mengapa ia 5
Siswanto Sutojo, Strategi Manajemen Kredit Bank Umum, Konsep, Teknik dan Kasus, Jakarta : PT. Damar Mulia Pustaka, Cetakan I, 2000, hlm. 201.
menjual benda yang ada dibawah penguasaan orang lain. Pembeli yang tidak melakukan hal itu, dapat digolongkan sebagai orang yang tidak beritikad baik dan debitur dapat menuntut pembatalan jual belinya. Lain halnya apabila debitur yang menjual benda yang dijadikan jaminan fidusia, pembeli disini dilindungi oleh ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata, karena ia sebagai pihak ketiga dapat menganggap bahwa pihak yang menguasai benda sebagai pemilik dan tidak ada kewajiban baginya untuk menyelidiki status benda yang akan dibeli terlebih dahulu, jadi jual beli yang dilakukan antara debitur dengan pihak ketiga adalah sah. Sebagai penerima fidusia, kewenangan kreditur sebagai pemilik hanya terbatas pada kewenangan pemegang jaminan, oleh karena itu kreditur dapat melakukan tindakan yang dimiliki oleh seorang pemilik, misalnya melakukan pengawasan atas benda jaminan. Pengawasan ini sangat diperlukan mengingat sebagai penerima jaminan hak milik tidak menguasai sendiri barang jaminan, sehingga dimungkinkan kreditur pemegang fidusia akan menghadapi resiko antara lain dalam bentuk : 1. Debitur ingkar janji atau wanprestasi, artinya debitur tidak mengembalikan uang pinjaman setelah sampai pada waktu yang disepakati. 2. Debitur tidak menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. 3. Debitur mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan
4. Debitur pemberi fidusia melakukan fidusia ulang 5. Debitur tidak mengganti obyek jaminan fidusia dengan obyek yang setara 6. Debitur dinyatakan pailit dan atau dilikuidasi oleh Pengadilan Niaga. Menurut sistem hukum jaminan, kreditur tidak diperbolehkan menjadi pemilik dari benda jaminan setelah debitur lalai melunasi hutangnya atau wanprestasi. Kreditur penerima fidusia hanya berhak menjual secara umum benda jaminan dan hasil penjualannya dipergunakan untuk melunasi utang debitur. Objek jaminan fidusia merupakan jaminan atas pelunasan utang tertentu yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya, sehingga dengan didaftarkannya akta jaminan fidusia oleh kreditur di Kantor Pendaftaran Fidusia, pada prinsipnya, debitur tidak mempunyai kewenangan untuk mengalihkan atau menjual obyek jaminan fidusia kepada pihak ketiga, karena telah terjadi penyerahan hak milik secara fidusia dari debitur kepada kreditur, sehingga kedudukan debitur adalah sebagai peminjam pakai atau peminjam pengganti atas benda jaminan fidusia yang hak miliknya telah dialihkan berdasarkan kepercayaan kepada kreditur. Secara hukum, sejak akta jaminan fidusia didaftarkan maka undangundang seketika memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak penerima fidusia, namun pada prakteknya di lapangan ditemukan kasus bahwa obyek jaminan fidusia tidak diketahui keberadaannya, sehingga ketika penerima fidusia atau kreditur akan melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia, pihak kreditur mengalami hambatan. Hak-hak penerima fidusia atau
kreditur yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang tetapi pada prakteknya ternyata tidak demikian. Hal ini pernah dihadapi oleh PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Cabang Semarang. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan ini dan menyusunnya dalam tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk Dalam Melakukan Upaya Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Yang Tidak Diketahui Keberadaannya Berdasarkan Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang hendak dikemukakan oleh penulis dalam Penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perlindungan hukum kreditur pemegang fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? 2. Sejauhmana UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan perlindungan hukum kepada PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk sebagai kreditur pemegang fidusia dalam melakukan eksekusi obyek jaminan fidusia yang tidak diketahui keberadaannya?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana perlindungan hukum kreditur pemegang fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa sejauhmana UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan perlindungan hukum kepada PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk sebagai kreditur pemegang fidusia dalam melakukan eksekusi obyek jaminan fidusia yang tidak diketahui keberadaannya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Secara Teoritis, bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum perjanjian dan hukum jaminan; 2. Secara praktis, untuk memberi sumbangan saran/informasi dan salah satu dasar dalam penentuan kebijakan tentang perlindungan hukum kepada para pihak setelah jaminan fidusia didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
E. Keaslian Penelitian Dalam bidang hukum, sejak diterbitkannya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, telah banyak peneliti yang melakukan pengkajian terkait jaminan fidusia, namun penulis berkeyakinan bahwa penelitian hukum yang penulis teliti saat ini berbeda dengan penelitian hukum yang sudah ada. Berdasarkan hasil penelusuran dan telaah terhadap pustaka yang ada, belum ditemukan adanya penelitian dengan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan permasalahan yang dikaji dalam tesis ini. Dalam penelitian ini, penulis akan menguraikan dan menganalisis mengenai prosedur pengikatan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan fidusia terhadap obyek jaminan fidusia debitur yang berbentuk kendaraan bermotor dengan mengambil lokasi penelitian di PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Cabang Semarang; bagaimana prosedur yang dilakukan oleh PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Cabang Semarang dalam mengeksekusi obyek jaminan fidusia; kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Cabang Semarang dalam mengeksekusi obyek jaminan fidusia terhadap debitur yang cidera janji atau wanprestasi dan bagaimana solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan mengenai obyek jaminan fidusia yang tidak diketahui keberadaannya yang dihadapi oleh PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Cabang Semarang; sejauhmana undang-undang memberikan perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang fidusia dalam hal ini PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Cabang Semarang berdasarkan kasus yang akan diuraikan oleh penulis; penulis juga akan memberikan
masukan dan saran kepada para pihak dalam menghadapi permasalahan yang sama. Untuk memperoleh data yang akurat dalam penulisan tesis ini, penulis akan melakukan penelitian perpustakaan atau studi dokumen yaitu berupa buku-buku, undang-undang dan putusan pengadilan terkait kasus yang dihadapi oleh PT. Bank Danamon Indonesia Tbk Cabang Semarang.