BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah Pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya, manusia akan selalu memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat mencapai kehidupannya agar lebih baik. Dalam sejarah manusia, pendidikan sebenarnya sudah dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia, hal ini berarti bahwa pendidikan itu berkembang dan berproses bersama–sama dengan proses perkembangan dan kehidupan manusia.1 Usaha untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilai–nilai
yang dikendaki tersebut namapaknya belum
sepenuhnya dapat mencapai hasil yang maksimal serta memuaskan. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar–benar mapan dan dapat diterima secara universal, bentuk nilai–nilai falsafi, serta serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat belum sepenuhnya ditemui.2 Proses
pendidikan
sebagai
wahana
pengalihan,
pelestarian
dan
pengembangan budaya mempunyai lima faktor yang sangat mendasar, yakni 1
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, t.t.), 92. Jalaludin, dkk, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta : Raja Grafindo, 1994), 13. 2
1
2
pendidik, peserta didik, metode, kurikulum dan evaluasi. Kelima faktor tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan antara satu sama lain.3 Para ahli filsafat pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan konsep pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia, hakekat, sifat–sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani, badan, jiwa dan roh atau jasmani dan rohani. Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan dalam perkembangan manusia? Apakah manusia dinggap hidup sekali di dunia ini, atau kah hidup lagi di kemudian (akherat).4 Beberapa pertanyaan filosof tersebut di atas memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sinilah sebagai pangkal perbedaan dalam merumuskan konsep pendidikan, sehingga
timbullah aliran–aliran pendidikan seperti pendidikan
Islam, liberal, humanistik, demokrasi dan lain sebagainya. Dengan demikian, terdapat
keanekaragaman
tentang
konsep
pendidikan.
Tetapi
dalam
keanekaragaman pandangan pendidikan tersebut terdapat titik–titik persamaan tentang pendidikan, diantaranya yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses.
3
Muhammad Idris, Karakteristik Dan Dimensi Moral Anak Didik Dalam Pendidikan (Yogyakarta : Adtya Media, 1997), 43. 4 Abdul Cholid Dahlan, "Islam, Manusia dan Pendidikan," dalam Jurnal Item 76, (Online), http:// rezaatonius. Multiplay.com, diakses 15 Maret 2008.
3
Dalam proses tersebut secara sengaja dalaksanakan kegiatan mengarahkan perkembangan
atau
pertumbuhan
seseorang
sesuai
dengan
nilai–nilai.
Pendidikan merupakan proses dari segala pengaruh yang di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja agar mempunyai kemampuan yang sempurna dengan kesadaran penuh terhadap lembaga – lembaga dan tugas sosial.5 Dari pemaparan di atas bagaimana kaitannya dengan pendidikan Islam? Pendidikan dalam konsep Islam begitu banyak dikemukakan oleh para pakar bidang pendidikan islam. Masing–masing memiliki pendapat yang berlainan tergantung sudut pandang yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa betapa sulit dan rumit untuk merumuskan pengertian pendidikan Islam. Menurut Ahmad Tafsir, kesulitan itu dikarenakan salah satu dari beberapa hal diantaranya karena banyaknya jenis kegaiatan yang disebut sebagai pendidikan Islam dan juga luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan Islam.6 Menurut Menurut Atthiyah Al–Abrosyi, Pendidikan Islam adalah : Mempersiapkan Individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.7 Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
5
Redja Mulyono, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Analisis Tentang Dasar–Dasar Pendidikan Pada Umumnya Dan Pendidikan Di Indonesia (PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 6. 6 Abdullah Idi Dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), 49. 7 Athiyah Al–Abrosyi, Dasar–Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), 23.
4
rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Insan kamil).8 Jadi konsep pendidikan Islam tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya mencerdaskan semata, melainkan segala aspek yang sesuai dengan konsep Islam tentang manusia dan eksistensinya. Dari pandangan di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge”
dan dimensi psikomotorik peserta didik,
namun ada dimensi lain yang perlu mendapatkan perhatian lebih, yaitu dimensi afeksi (building of personality) dimensi yang terahir ini sering kali diabaikan dengan alasan kesulitan tolak ukur yang digunakan. Corak pendidikan yang dikehendaki oleh pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral, dan kebijakan. Untuk menarik tujuan ini diperlukan suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita–cita al–qur’an tentang manusia. Dengan demikian, pendidikan Islam memiliki beban yang sangat berat disamping beban profesional sebagai tenaga pengajar juga beban moral dalam membentuk kepribadaian peserta didik.9
8
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2004), 12. 9
M Jazeri, "Pemikiran Ibn Jamâah Tentang Etika Pendidik," Al–Tahrir Vol. 6 No. 2 (Juli, 2006), 232.
5
Mengigat begitu beratnya beban yang terdapat dalam pendidikan Islam, dan disisi lain pendidikan Islam selalu mencari jawaban atas tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam dewasa ini terutama menyangkut lemahnya sistem pendidikan yang selama ini berjalan. Salah satu Persoalannya adanya anggapan bahwa pendidikan Islam belum banyak memberikan konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era ini. Sehingga upaya pengembangan pendidikan Islam tidak bisa terlepas dari sikap keterbukaan dan akomodatif terhadap sistem pendidikan dari luar yang notabenya mampu memproduk manusia yang handal di bidang iptek.10 Namun untuk pengembangan Pendidikan Islam, hendaknya selektif dalam keterbukannya tersebut karena, dalam pendidikan barat terkadang ada yang tidak cocok dengan ideologi, filsafat atau pun sisi lain dalam pendidikan Islam. Diskursus tentang pengembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian para pengembang dan pemikiranya, baik yang menyangkut dikotomi Ilmu, Islamisasi ilmu pengetahuan, dan juga upaya penggalian konsep pemikiran tokoh–tokoh pendidikan Islam, agaknya semakin memperkaya khazanah pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam, dan sekaligus akan lebih mendukung dan mempertajam serta memperkokoh eksistensi bangunan pendidikan Islam sebagai ilmu yang berdiri sendiri.11
, 8.
10
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)
11
Ibid., 100.
6
Ironisnya
dalam
perkembangan
dewasa
ini,
kalangan
yang
mengapresiasikan peninggalan kekayaan khazanah pendidikan dimasa terdahulu (klasik maupun pertengahan) cukup memprihatinkan, padahal dinamika peradaban dan pendidikan ketika itu telah menghantarkan Islam, baik Islam dipahami sebuah dogma, ideologis maupun sebagai kreasi–sosiologis pada posisi yang cukup diperhitungkan. Kemajuan – kemajuan yang diraih dalam berbagai instrument telah membuktikan karakteristik dan kelebihannya sehingga mencapai puncak kejayaan yang sesungghnya. Keprihatinan itu dibuktikan oleh kurang geliatnya kajian–kajian yang memiliki khazanah pendidikan Islam secara serius. Disamping itu pemanfaatan terhadap teori pendidikan Islam pun dirasakan sangat minim.12 Padahal disisi lain tantangan yang paling besar, khususnya pendidikan di Indonesia dalam mengarungi pendidikan pada saat ini adalah yang berkaitan dengan sumber daya manusia. Sebagaimana realita pendidikan sekarang ini, dunia pendidikan seakan masih mencari jati diri yang tepat dan tampaknya masih kebingunggan dalam mendapatkan format yang sesuai untuk mengembangkan pendidikan kearah yang lebih baik. Dampaknya pencarian format tersebut terkesan menimbulkan masalah yang terjadi di tatanan praktisi pendidikan,
12
2004), 29.
Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
7
dimana anak didik dan pendidik dibuat binggung dengan serangkain kebijakan pendidikan yang selalu berubah–ubah.13 Berdasarkan dari permasalah di atas penulis mencoba menkaji pemikiran pendidikan Ibn Sînâ yang terkenal sebagai intelektual muslim dengan berbagai gelar. Buku–buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan, salah satunya dalam bidang pendidikan. Penulis mencoba mengkaji pemikirannya
dalam
konsep
pendidikan,
mungkinkah
cocok
untuk
perkembangan pendidikan pada saat ini yaitu tema yang paling sentral dan hangat dewasa ini tentang pendidikan berbasis kompetensi atau justru sebaliknya. Dalam bentuk skripsi dengan judul “Konsep Pendidikan Ibn Sînâ Dan
Relevansinya
Dengan
Pengembangan
Pendidikan
Islam
Berbasis
Kompetensi”
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep tujuan pendidikan Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi ? 2. Bagaimana konsep kurikulum pendidikan Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi ?
13
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek (Yogyakarta : AR–RUZZ Media, 2007), 5 .
8
3. Bagaimana konsep metode pengajaran Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi ? 4. Bagaimana konsep kompetensi guru Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam Berbasis kompetensi ?
C. Tujuan Kajian Adapun tujuan kajian dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui : 1. Bagaimana konsep tujuan pendidikan Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi ? 2. Bagaimana konsep kurikulum pendidikan Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi ? 3. Bagaimana konsep metode pengajaran Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi ? 4. Bagaimana konsep kompetensi guru Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam Berbasis kompetensi ?
9
D. Manfaat Kajian Manfaat yang diperoleh dari kajian penelitian ini adalah : 1. Manfaat Praktis a. Bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, dapat memberikan wawasan tentang konsep pendidikan dalam pandangan Ibn Sînâ dan bagaimana relevansinya terhadap pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi. b. Bagi penulis, untuk menambah wawasan pengetahuan dan sebagai pengalaman dalam menulis sebuah kajian penelitian. c. Bagi lembaga STAIN Ponorogo, sebagai dokumen yang dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan kwalitas pendidikan di STAIN Ponorogo. 2. Manfaat Secara Teoritis Penelitian ini dapat dijadikan salah satu khazanah Ilmu Pengetahuan yang ada hubungannya
dengan konsep pendidikan setidaknya dalam
pandangan Ibn Sînâ dan relevansinya terhadap pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi.
E. Landasan Teori dan Telaah Pustaka 1. Landasan teori Konsep adalah gambaran mental suatu objek, proses, atau pun yang berada di luar bahasan dan yang digunakan oleh akal budi untuk memahami
10
masalah–masalah lainnya atau dengan kata lain ide atau pendapat yang diabstrakkan melalui peristiwa nyata.14 Pendidikan berasal dari kata didik dengan memberi awalan "pe" dan akiran “an” mengandung arti perbuatan. Istilah pendidikan ini berasal dari Yunani yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “education”,
yang berarti bimbingan. Dalam bahasa Arab sering
diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan. Sedangkan nama Islam sendiri diambil dari Nabi saw yaitu agama yang dibawa oleh Nabi SAW. Islam berisi ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran tersebut dirumuskan berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.15 Ada beberapa istilah yang biasa digunakan dalam pengertian yang sama, namun pada masa sekarang dalam dunia pendidikan Islam istilah yang paling populer dipakai adalah Tarbiyah karena istilah ini termasuk yang mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Tarbiyah merupakan upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, etika dalam berfikir, giat dalam mengungkap bahasa lisan maupun tulisan serta memiliki ketrampilan. Sedang untuk istilah lain merupakan bagian dari
14
Peter Salim Dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta : Modern English Press), 764. 15 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2004), 24.
11
kegiatan Tarbiyah. Dengan kata lain pendidikan Islam disebut dengan Tarbiyah Islamiyah.16 Berdasarkan berbagai sudut pandang istilah yang berbeda akan tetapi, setidaknya dapat dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai–nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi Manusia untuk bearamal di dunia dan memetik hasilnya di akherat. Pendidikan Islam berarti tidak sekedar transfer of knowledge akan tetapi juga transver of value juga berorientasi dunia dan akherat (teosentris dan antroposentris) sebagai tujuannya. Jadi pendidikan Islam disinilah yang membuat beda dengan pendidikan barat. Ibn Sînâ dalam sejarah pemikiran Islam dikenal sebagai intelektual muslim yang sangat mumpuni dalam segala bidang Ilmu pengetahuan. Tampilnya Ibn Sînâ selain sebagai Ilmuan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai Ibu Kota kebudayaan dan orangtuanya dikenal sebagai pejabat tinggi juga karena kecerdasannya yang luar biasa.17 Ibn Sînâ memandang, bahwa yang sangat penting untuk dilakaukan dalam sistem
16
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia, 2006), 16. Abbuddin, Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta : Raja Grafino Persada, 2000), 394. 17
12
dunia pendidikan Islam adalah meneliti tingkat kecerdasan, karakteristik, dan bakat – bakat yang dimiliki anak didik.18 Pengembangan pendidikan Islam sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. bahkan kalau di Indonesia mulai sebelum merdeka sampai sekarang. Dari masing–masing periode tersebut muncul berbagai probem dan isu–isu pendidikan Islam yang menonjol, yang pada gilirannya menjadi diskursus bagi pengembangan pendidikan dari satu periode atau masa pada masa berikutnya terutama dikalangan para pemikir, pengembang dan pengelola pendidikan Islam.19 Kompetensi berasal dari kata Compotence yang berarti kecakapan, kemampuan atau wewenang. Ada juga yang mengartikan bahwa kompetensi mempunyai pengertian perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.20 Mc. Ashan mengemukakan bahwa kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku- perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaikbaiknya. Sejalan dengan itu, Finch dan Crunkilton mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap, dan apresiasi 18
Muhammad Athiyah Al–Abrosy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (yogyakara : Titian Ilahi, 1996), 100. 19 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, 69. 20 Mardjoko, Idris, "Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Di Perguruan Tinggi," Cendikia Vo. 3 No. 1 (Januari–Juni, 2005), 3.
13
yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Gordon menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi adalah sebagai berikut : 1. Pengetahuan (knowledge) ; yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya seorang Guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya. 2. Pemahaman (understanding) ; yaitu kedalam kognitif, dan afektif yang dimiliki oleh individu. Misalnya seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didik, agar dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisien. 3. Kemampuan (skill) ; adalah yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang di bebankan kepadanya 4. Nilai (value) ; adalah suatu standar prilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. 5. Sikap (attitude) ; yaitu perasaan (senang- tidak senang, suka- tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar 6. Minat (interest) ; adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.21
21
Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, Implementasi dan Inovasi (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 39.
14
Pendidikan selalu dihadapkan pada perkembangan, baik pada perkembangan zaman maupun perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan harus didesain mengikuti irama perkembangan tersebut, supaya tetap eksis dan tidak tertinggal. Tuntutan tersebut menjadi suatu keharusan dan pembaruan pendidikan selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.22 Dengan munculnya berbagai perubahan yang sangat cepat dan hampir semua aspek dalam perkembangan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyrakat di awal melinium ketiga seiring dengan muncul istilah kurikulum berbasis kompetensi yang pada akhirnya muncul istilah pendidikan berbasis kompetensi tak terkecuali dalam pendidikan islam. Tujuan, kurikulum, metode dan sebagainya merupakan suatu sistem yang saling terkait antara satu dan lainnya dalam Pendidikan sehingga terjadinya perubahan perkembangan pada satu konsep berimplikasi pula terhadap konsep yang lain. Begitu juga seiring dengan munculnya kurikulum berbasis kompetensi juga berimplikasi terhadap serangkaian komponen pendidikan sehingga dikenal dengan istilah konsep pendidikan berbasis kompetensi
22
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta : Safirrra Insania Press, 2003), 5.
15
1. Konsep Tujuan Tujuan
pendidikan
merupakan hal yang dominan dalam
pendidikan. Persoalan konsep tujuan pendidikan, dapat disimpulkan bahwa tujuan lebih penting dari pada sarana pendidikan. Sarana pendidikan pasti berubah dari masa ke masa, dari generasi ke generasi bahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi, tujuan pendidikan tidak berubah yang dimaksud adalah tujuan pendidikan Islam secara umum. Tujuan pendidikan Islam yang khusus dapat berubah disesuaikan dengan perkembangan dan kondisi tertentu.23 Tujuan pendidikan Islam dalam era pendidikan berbasis kompetensi adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui
pemberian
dan
pemupukan
pengetahuan,
penghayatan,
pengalaman serta pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara.24 2. Konsep Kurikulum Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah konsep kurikulum yang dikembangkan oleh departemen pendidikan Nasional RI untuk
23
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1994), 48. 24
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implemantasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 135.
16
menyempurnakan kurikulum 1994.25 KBK adalah sebuah konsep kurikulum
yang
menekankan
pada
pengembangan
kemampuan
melakukan (kompetensi) tugas–tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh siswa berupa penguasaan
terhadap
seperangkat
kompetensi
tertentu.
Mulyasa
menyebutkan bahwa KBK memiliki karekteristik utama antara lain ditandai dengan berbagai ciri diantaranya : a. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secaaaara individual maupun klasikal. b. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. c. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. d. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur educatif. e. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.26 Lebih lanjut dari berbagai sunber sedikitnya dapat diidentifikasi enam karakteristik kurikulum berbasis kompetensi, yaitu : a. Sistem belajar dengan modul b. Menggunakan keseluruhan sumber belajar 25
Nurhadi, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik dan Implementasi, 70 Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, Implementasi dan Inovasi, 42. 26
17
c. Pengalaman lapangan d. Strategi individual personal e. Kemudahan belajar dan f. Belajar tuntas.27 Kemudian prinsip- prinsip yang mendasari pengembangan KBK adalah : a. Keimanan, nilai dan budi pekerti yang luhur b. Penguatan integritas Nasional c. Keseimbangan etika, logika, estetika dan kinestika d. Kesamaan memperoleh kesempatan e. Pengembangan ketrampilan untuk hidup. Tujuan konsep KBK harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan Nasional.
Tujuan
utama
KBK
adalah
memandirikan
atau
memberdayakan sekolah dalam pengembangan kompetensi yang akan disampaikan kepada peserta didik sesuai dengan lingkungan. Kurikulum dapat ditentukan sendiri dan disesuaikan dengan masyarakat dan lingklungan sekitar, sehingga dengan begitu tujuan dari pendidikan nasional akan tercapai dan mutu pendidikan akan terangkat. Materi dalam konsep KBK yang telah dikembangkan antara tiap satuan pendidikan berbeda- beda
antara tingkat pendidikan dasar,
menengah dan atas maupun perguruan tinggi.
27
Ibid., 43.
18
3. Konsep Metode Pengajaran Pengajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dalam konteks pendidikan berbasis kompetensi pengajaran tidak diartikan sebagai proses penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa, yang menempatkan siswa sebagai obyek dan guru sebagai subyek akan tetapi, pengajaran dipandang sebagai proses pengaturan lingkungan agar siswa belajar. Implikasi ini sangat penting artinya, sebab akan mempengaruhi berbagai tindakan dalam pengajaran baik dalam pengelolaan
pengajaran
maupun
dalam
pengembangan
strategi
pembelajaran maupun penggunaan berbagai sumber dalam belajar. Dengan demikian proses pengajaran tidak semata–mata diarahkan agar siswa mampu menguasai sejumlah bahan atau materi pembelajaran melalui metode penuturan akan tetapi pengajaran sungguh–sungguh diarahkan agar siswa belajar secara aktif untuk menguasai kompetensi tertentu sesuai dengan kurikulum.28 Sesuai dengan makna pengajaran sebagaimana di atas, ada sejumlah prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kegiatan pengajaran diantaranya :
28
Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta : Kencana, 2006), 31.
19
a. Berpusat kepada siswa, prinsip ini mengandung makna, bahwa dalam proses pembelajaran siswa menempati posisi sentral sebagai subjek belajar. b. Belajar dengan melakukan, prinsip ini mengandung makna bahwa belajar bukan hanya sekedar mendengarkan, mencatat sambil duduk di bangku akantetapi belajar adalah proses beraktifitas, belajar adalah berbuat (learning by doing). c. Mengembangkan kemampuan sosial, manusia adalah makhluk sosial maka proses pengajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual akan tetapi juga mengembangkan kemampuan sosial. d. Mengembangkan
keingintahuan,
imajinasi,
dan
fitrah,
rasa
keingintahuan adalah salah satu fitrah yang dimiliki manusia dan tiddak dimiliki oleh makhluk ciptaan tihan lainnya. e. Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, dalam konteks pendidikan berbasis kompetensi pengajaran adalah proses berfikir untuk memecahkan masalah. f. Mengembangkan kreaktifitas siswa, salah satu prinsip pengajaran dalam pendidikan berbasis kompetensi adalah membentuk manusia yang kreaktif dan inovatif g. Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi, h. Menumbuhkan kesadaran menjadi warga negara yang baik dan i. Belajar sepanjang hayat.
20
Sesuai dengan prinsip – prinsip di atas, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses pengajaran agar berlangsung secara efektif Ada tiga prinsip penting pengajaran dalam konteks KBK Pertama, Proses pembelajaran/ pengajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau mengubah struktur kognitif siswa. Kedaua, berhubungan dengan tipe- tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe pengetahuan yang masing- masing memerlukan situasi yang berbeda dalam mempelajarinya. Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan fisik, sosial dan logika. Ketiga, pengajaran dalam konteks KBK harus melibatkan peran lingkungan sosial.29 Dalam pembelajaran dalam konteks KBK yang berorientasi pada pengalaman belajar sepanjang hayat mengacu pada empat pilar pendidikan Universal yaitu : Learning to know atau learning to learn, mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar akan tetapi juga berorientasi pada proses belajar. Learning to do, mengandung pengertian bahwa belajar itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat akan tetapi, belajar untuk berbuat dengan 29
Ibid., 81.
21
tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam persaingan global. Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang menjadi diri sendiri. Learning to live together, adalah belajar untuk bekerjasama
hal ini
diperlukan karena manusia dalam kehidupan global tidak mungkin dapat hidup sendiri. 4. Konsep Kompetensi Guru Sebagaimana pengertian kompetensi yang telah disebutkan di atas maka kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan
tugas
keprofesionalannya.
Kompetensi
merupakan
perilaku yang maksimal untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.30 Sebagai suatu profesi, dalam era pendidikan berbasis kompetensi terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi : a. Kompetensi Pribadi Sebagai seorang model guru harus mempunyai kompetensi yang berhubungan
dengan
pengembangan
kepribadian
(personal
kompetencies), diantaranya: 30
Uzer Usman, Mnjadi guru professional (Bandung : PT. Remaja rosdakarya,1998), 75.
22
1) Kemampuan yang berhubungan dengan pengamalan ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya. 2) Kemempuan untuk menghormati ddan menghargai antar umat beragama 3) Kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. 4) Mengembangkan sifat- sifat terpuji sebagai seorang guru 5) Bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik. b. Kompetensi Profesional Kompetensi yang berhubungan penyelesaian tugas- tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting, beberapa kemampuan yang berhubungan dengan kompetensi ini diantaranya : 1) Kompetensi untuk menguasai landasan kependidikan 2) Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan 3) Kemempuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studinya 4) Kemapuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pengajaran 5) Kemepuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar 6) Kemmpuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran
23
c. Kompetensi Sosial Masyarakat Kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk social, meliputi : 1) Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan professional. 2) Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi- fungsi setiap lembaga kemasyarakatan 3) Kemamupan untuk menjalin kerjasama baik secara individual maupun secara kelompok. Dalam proses pembelajaran guru di era pembelajaran pengajaran berbasis kompetensi memiliki berbagai peran, diantaranya guru sebagai fasilitator, pengelola, demonstrator maupun evaluator. Selain harus memiliki sejumlah kompetensi guru dalam hubungannya dengan pembelajaan berbasis kompetesi terdapat kompetensi lain meliputi kompetensi yang berhubungan dengan proses perencanaan pembelajaran,
kompetensi
proses
atau
implementasi
rencana
pembelajaran dan kompetensi dalam bidang evaluasi. Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pendidikan Islam berbasis kompetensi berarti : pengetahuan, ketrampilan, dan nilai–nilai ajaran Islam yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsiten dan terus menerus dalam kehidupan sehingga memungkinkan seseorang menjadi
24
kompeten atau dalam pengertian lain siswa dapat megamalkan dan mengaplikasikan agama Islam.31 Dengan demikian pendidikan Islam berbasis kompetensi dapat dipahami sebagai perangkat instrumen/ alat perencanaan dan pengaturan tentan kompetensi dan asil belajar yang harus dicapai siswa.
2. Telaah Pustaka Kajian tentang konsep pemikiran Ibn Sina sedikit banyak, telah pernah di lakukan di antaranya : No 1
Nama Penulisdan Judul Asifah Judul "Relasi Dan Relevansi Aliran Filsafat Pendidikan Progresivisme Dengan Sistem Pendidikan Islam Di Era Pendidikan Berbasis Kompetensi"
Tahun
Temuan/Kesimpulan
2007
1. Antara filsafat pendidikan Progresivisme dengan pendidikan Islam terdapat relasi. Yaitu Pendidikan Islam membutuhkan aturan yang tidak kaku dalam pendidikan, dan progresivisme membutuhkan dasar kurikulum Islam 2. Relevansinya pendidikan islam membutuhkan pendidikan pada hakekatnya mengalami kemjuan dan progresivisme membutuhkan tujuan keagamaan 3. Jadi terdapat relasi dan juga relevansi diantara keduanya
Yang menjadi perbedaan dalam kajian skripsi ini adalah, Penulis akan menggali pemikiran Ibn Sînâ pada permasalahan yang lebih spesifik yaitu pembahasan konsep pendidikan dan bagaimana bila di relevansikan 31
Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), 52.
25
dengan pendidikan yang berkembang saat ini yaitu pendidikan Islam berbasis kompetensi.
F.
Metode Kajian Penelitian 1.
Jenis penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (Library research) yakni penelitian yang obyek utamanya adalah buku–buku atau sumber kepustakaan lain.32 Maksudnya data–data dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari buku yang relevan dengan pembahasan . adapun pendekatan yang digunakan adalah : a. Pendekatan filosofis, yaitu berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah sesuatu yang berada bibalik obyek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, azaz dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriyah. b. Pendekatan historis yaitu sebuah pendekatan yang digunakan untuk memahami obyek tertentu dengan kerangka sejarah yang memperhatikan unsur tempat, waktu, latar belakang dan pelaku–pelaku yang terlibat kemudian dapat diambil hikmahnya.33
32
Hadari Nawawi, Penelitian Terapan (Yogyakarta : Gadjah Mada University Pres, Cet 1,
1994), 23.
33
Abuddin, Nata, Metodologi Studi Islam (Jakart : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 42.
26
2.
Sumber Data Sumber data yang dijadikan rujukan oleh penulis dalam membuat skripsi ini merupakan data- data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang bisa dikatagorikan sebagai berikut : a. Sumber data primer : Yang
dimaksut
data
primer
adalah
bahan
atau
rujukn
utama.diantaranya : 1) Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000. 2) Ramayulis, Dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia. Ciputat : Quantum Teaching, 2005. 3) Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Remaja Rodakarya. 2003. 4) Barizi, Ahmad. Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam.. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004. b. Sumber data Sekunder : Yaitu buku – buku lain yang menunjang kajian ini. diantaranya : 1) Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004. 2) Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004.
27
3) Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. Tt. 4) Jalaludin, dkk. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta : Raja Grafindo. 1994. 5) Suharto, Toto. Dan Abdullah Idi. Revitalisasi Pendidikan Islam Yogyakarta : Tiara Wacana. 2006. 3.
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk katagori penelitian kepustakaan (library research), oleh karena itu teknik yang digunakan adalah pengumpulan data literer yaitu pengalian bahan–bahan pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan yang dimaksud.34
4.
Analisis Data Materi pembahasan didasarkan pada kajian pustaka atas karya–karya kepustakaan, baik berupa buku–buku atau bacaan–bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. Adapun metode analisis data yang digunakan mengolah data dalam penelitian ini adalah :
34
Suharmini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 234.
28
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan yang satu dengan yang lain dan juga relevansinya. b. Organizing,
yaitu
penyusunan
data
sedemikian
rupa
sehingga
menghasilkan bahan–bahan pembangun skripsi. c. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan jawaban dari rumusan masalah. Dari data–data yang terkumpul, maka selanjutnya data tersebut di analisis dengan menggunakan metode “content analisis” , yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan atau komunikasi.35 Metode ini digunakan untuk menganalisis isi dan berusaha menjelaskan bangunan pemikiran tentang masalah yang dibahas dengan menggunakan proses berfikir induktif. Induktif yaitu proses berfikir yang berangkat dari fakta–fakta khusus, peristiwa–paristiwa yang kongkret kemudian dari fakta –fakta atau peristiwa khusus itu ditarik generalisasi yang bersifat umum.36 G. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka pembahasan dalam kajian skripsi ini di kelompokkan menjadi enam bab yang masing–masing
35
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta : Bayu Indra Grafika,
1987), 49.
36
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung : Alfabet, 2005), 91.
29
30
bab terdiri dari sub–sub yang berkaitan. Sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : Bab I yaitu pembahasan deskripsi global mengenai skripsi yang akan di bahas pada bab–bab berikut meliputi : Latar belakang, , rumusan masalah, tujuan kajian penelitian, manfaat kajian, landasan teori dan telaah pustaka, metode kajian penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II Membahas tentang biografi Ibn Sînâ dan tujuan pendidikan Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi. Meliputi pengembangan potensi, persiapan hidup di masyrakat, dan membentuk insan kamil. Bab III Membahas tentang
konsep kurikulum pendidikan Ibn Sînâ dan
relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi. Meliputi : kurikulum anak usia 3 sampai 5 tahun, kurikulum anak usia 6 sampai 14 tahun dan kurikulum anak usia 14 tahun keatas. Bab IV Membahas tentang konsep metode pengajaran Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi. Meliputi : metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang dan metode penugasan. Bab V Berisi tentang konsep kompetensi guru Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi. Bab VI Merupakan kesimpulan dari pembahasan skripsi ini yang berisi kesimpulan saran – saran dan penutup.
31
BAB II KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN IBN SÎNÂ DAN RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS KOMPETENSI
A. Biografi Ibn Sînâ 1. Latar Belakang Kehidupan Ibn Sînâ Nama lengkap Ibn Sînâ adalah Abu Ali Al-Husain Ibn Abdullah Ibn Hasan ‘Ali Ibn Sînâ. Di Barat populer dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi–Spanyol–Latin. Dengan lidah Spanyol kata Ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah–naskah Arab kedalam bahasa latin pada pertengahan abad ke duabelas di Spanyol.37 Sebagian pendapat mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya yaitu Afshana. Ibn Sînâ lahir di sebuah desa Afshana di daerah Bukhara pada tahun 370 H/ 980 M.38 Bukhara kalau sekarang sudah menjadi bagian wilayah Uzbekistan.39
37
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2004), 91.
38
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam (Jakarta : Djambatan, 2003), 92. Wikipedia, "Cendikiawan Islam Zaman Kegemilangan Islam," dalam Ensiklopedia Bebas, (Online), http://.id.wikipedia , diakses 15 Maret, 2008. 39
31
32
Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa wilayah tersebut saat ini terletak di pinggiran selatan Rusia.40 Ayahnya bernama Abdullah dari Balkh dan ibunya Asfarah termasuk wilayah dari Afganistan. Kelahiran Ibn Sînâ di tengah masa yang sedang kacau di mana kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negri–negri yang mula–mula berada di bawah kekuasaanya kini mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri.41 Kota Balkh, adalah suatu kota yang termashur di kalangan orang–orang Yunani, dengan nama Bakhtra yang mengandung arti cemerlang. Hal ini sesuai dengan peran yang dimainkan kota tersebut, yaitu selain sebagai pusat kegiatan politik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Sebagai tempat kedudukan raja–raja Yunani, Balkh atau Bakhtra selain memainkan peranan sebagai disebutkan di atas, juga pada periode tertentu, kota tersebut pernah menjadi pusat peradaban Yunani (Hellenic), dan setelah keduanya itu hilang, kota ini dapat dibangun kembali oleh pemerintahan Islam di zaman dinasti Samaniyah dan Ghaznauriyah. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan dinasti Saman, keluarganya termasuk keluarga kaya dan terpandang. Tampilnya Ibn Sînâ sebagai ilmuan
40
Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mullâ Shadrâ (Jakarta : Al–Huda,
2005), 52.
41
188.
Mustofa dan Maman Abd. Djaliel, Filsafat Islam (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997),
33
yang terkenal didukung oleh latar belakang keluarga yang sangat mendukung dalam pembentukan pribadi ilmiahnya, di samping kecemerlangan otaknya.42 Ketika Ibn Sînâ berusia 22 tahun ayahnya meninggal dunia, yang kemudian terjadi kemelut politik ditubuh pemerintahan Nuh bin Mansur. Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibn Sînâ memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ibn Sînâ pergi ke kota Karkang yang termasuk ibu kota Al–Khawarizm, dan di kota ini lah Ibn Sînâ berkenalan dengan sejumlah pakar seperti Abu Al–Khair Al–Khamar, Abdul Sahl Isa bin Yahya al–Masity, al–Jurjaini dan sebagainya. Kemudian Ibn Sînâ juga pernah tinggal di Jurjan. Beliau mengajar dan mengarang tetapi karena kekacauan politik tidak lama tinggal di Jurjan. Kemudian hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, hingga sampai di Hamadan. Di tempat ini Ibn Sînâ dijadikan mentri oleh Syam Syamsuddaulah untuk beberapa kali, meskipun di sini pula pernah di penjarakan beberapa bulan kemudian ia pergi ke Istahan, di bawah penguasa Ala Addaulah, dan disambut baik olehnya. Namun pada akhirnya kembali ke Hamadzan dan meninggal disana pada tahun 428 H/ 1037 M pada usaia 57 tahun.43
42
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Pendidikan Islam (Ciputat : Quantum Teaching,
2005), 30.
43
Mustofa dan Maman Abdul Djaliel, Filsafat Islam, 189.
34
2. Latar Belakang Pendidikan Ibn Sînâ Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sînâ memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali Ibn Sînâ pelajari adalah membaca al–qur’an setelah itu melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir, fiqih, Ushuluddin dan lain sebagainya. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, Ibnu Sînâ berhasil menghafal al–qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu ke Islaman pada usia belum genap sepuluh tahun.44 Ibn Sînâ adalah belia yang cerdas. diusia sepuluh tahun, sudah dapat hafal al–qur’an dan ‘alim dalam berbagai ilmu ke Islaman yang berkembang saat itu, seperti tafsir, fiqih, kalam, filsafat, logika dan arsitek serta pengobatan. Ketika umur Ibn Sînâ belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori saja, melainkan segi praktikpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur, penguasa Bukhara menderita sakit, dan kebanyakan dokter tidak mampu mengobati maka setelah diperiksa dan diobati Ibn Sînâ khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah Ibn Sînâ mendapat sambutan baik sekali dari masyarakat.45 Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidikan Ibn Sînâ diantaranya Mahmud al–Massah yang dikenal sebagai ahli matematika dan 44
Abduddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 62. Imam Tholkhah, dkk, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 249. 45
35
mengajar ajaran Isma’iliyah dari India. Kemudian tercatat pula bahwa beliau belajar fiqih kepada Ismail Ibn al–Husain al–Zahid, belajar logika dan arsitek kepada Abu ‘Abdallah al–Natiliti, dan belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali Abi Sahl al-Masehi dan Abu Manshur Hasan Ibn Nuh Al–Qomary.46 Upaya
memperdalam
dan
menguasai
berbagai
cabang
ilmu
pengetahuan dilakukan pada saat Ibn Sînâ memperoleh kesempatan mempergunakan perpusatakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi Sulthan Bukhara. Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku–buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut Ibn Sînâ berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satu pun cabang ilmu pengetahuan yang ia tidak pelajari. Sehingga tidak hanya menguasai satu cabang bidang ilmu pengetahuan saja. Intelektualitas Ibn Sînâ yang cukup refresentatif pada masanya, sehingga memperoleh banyak gelar seperti , Al–Syaikh Al–Rais (The Leader Among Wise Men), Hujjat Al Haqq (The Proof of Good), dan Bapak Kedokteran Islam (Amîr Al–Athibbî, The Prince of Physicians).47 3. Karya-Karya Ibn Sînâ Ibn Sînâ meskipun disibukkan oleh kegiatan politik namun karena kecerdasannya yang dimiliki, menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Bahkan cukup banyak buah karya ilmiah yang dihasilkan Ibn Sînâ.
46 47
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam , 62. Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, 250.
36
Mulai dari filsafat, etika / akhlak, ilmu jiwa dan sebagainya. Ibn Khalkan dalam wafayat al–A’yan menyebutkan ada 100 buah karangan, Ibn Abi Ushaibiah dalam Uyun Al–Anbiyâ’ menyebutkan ada 102 buah karangan, dan Yahya Ibn Ahmad Al–Kasyiy menyebutkan ada 92 kitab dan risalah. Sedangkan karya Ibn Sînâ secara lengkap bisa dibaca pada karya editorial Jûraj Syhatâh Qunwâtî berkenaan dengan Mu’allafâsi Ibn Sînâ. Diantara karya–karya Ibn Sînâ yang terkenal adalah :48 a. As-Syifa, sebuah karya filsafat yang yang telah ditahqiq oleh Jûraj Syhatâh Qunwâtî, Sa'id Zahâd dan Ibrahim Bayumii Madlkun. Buku ini terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisikan, matematika dan metafisika (ketuhanan) b. An-Najâh, buku ini merupakan ringkasan buku As–Syifâ dan pernah diterbitkan bersama–sama dengan buku Al–Qânûn dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M. c. Al–Isyârât, Wat–Tanbîhât, sebuah karya filsafat etika yang kemudian di edit oleh Sulaiman Dunya, pernah terbit pada 1325 H. Al-Jurjani mengomentari bahwa kitab ini merupakan karya monumental terakhir Ibn Sînâ. d. Al–Qânûn fi al–Thibb, sebuah karya dibidang kedokteran terbit di Roma pada tahun 1655 H.
48
Imam Tholkkah, dkk, Membuka Jendela Pendidikan , 251.
37
e. Fi aqsâm al– ‘ulum al– 'Aqliyah, membahas tentang fisika manuskrip buku ini ditulis dalam bahasa Arab dan masih tersimpan dalam berbagai perpustakaan di Istambul. f. Al–Isâquri, sebuah karya dalam bidang logika atau dikenal dengan ilmu logika Isaqoji. g. Al–Hikmah Al–Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelas maksud judul buku, ada yang berpendat berisi mengenai tasawuf, sebagaian ada yang menyebut tentang filsafat. h. Al–Qânûn, atau Canoa Of Medicine, pernah diterjemahkan dalam bahasa latin dan pernah menjadi buku standar universitas-universitas Eropa sampai akhir abad 17 M. i. Lisân al– ‘Arab yang jumlahnya mencapai 10 jilid, ini karya Ibn Sînâ dalam bidang sastra Arab. j. Risâlah al–Faydh al–Ilâh karya lokal yang mencoba mendiskripsikan tentang photography (ilmu gambar/ foto). k. As–Siyâsah fi at–Tarbiyah, sebuah karya dalam bidang pendidikan. l. Al–Hudûd, berisikan istilah-istilah pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat. m. Al–Inshâh , buku tentang keadilan sejati. n. An–Najâh, berisikan tentang kebahagiaan jiwa dan lain sebagainya .
38
B. Konsep
Tujuan
Pendidikan
Ibn
Sînâ
dan
Relevansinya
Dengan
Pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi Penguasaan Ibn Sînâ terhadap ilmu pengetahuan sangat berpengaruh terhadap pemikirannya tentang konsep pendidikan. Disamping itu karena Ibn Sînâ mempunyai pengalaman praktis dalam pengajaran sehingga dapat mematangkan teori-teori pendidikannya. Pandangan–pandangan tentang pendidikan sangat tajam dan komprehensif. Dengan kemampuannya tersebut wajar bila pakar pendidikan Islam mengakui bahwa Ibn Sînâ banyak memberikan saham dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan Islam terutama dalam pendidikan peserta didik (al-tarbiyah al aulad).49 Konsep rumusan tujuan pendidikan Ibn Sînâ tampak berpijak pada kenyataan yang dilaksanakannya sendiri, dan bukan hasil khayalan yang tidak mempunyai dasar pengalaman praktis. Rumusan tujuan pendidikan Ibn Sînâ terkandung strategi yang mendasar mengenai dasar dan fungsi pendidikan. Tentang konsep tujuan pendidikan Ibn Sînâ menyebut bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki beberapa tujuan :
1. Pengembangan Potensi Ibn Sînâ dalam kitab al–Siyâsah–nya, sejak awal telah memberikan perhatian serius terhadap pendidikan anak usia dini. Tujuan pendidikan dalam pandangan Ibn Sînâ dititik beratkan pada pengembangan seluruh potensi yang
49
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, 31.
39
dimiliki seseorang (peserta didik) kearah perkembangan yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti.50 Khusus untuk pendidikan yang bersifat jasmani, Ibn Sînâ mengatakan hendaknya tujuan pendidik itu tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Melalui pendidikan jasmani atau olahraga menurut Ibn Sînâ seseorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari–hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaanya dan meningkat daya khayalnya.51
2. Persiapan Hidup Di Masyarakat Ibn Sînâ menyebutkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada anak didik, selain harus dapat mengembangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat dengan suatu keahlian yang dapat dihandalkan. Ibn Sînâ menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah harus dicerahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan
50 51
Ibn Sînâ, As–Siyâsah fi at–Tarbiyah (Mesir : al- Masyrik, 1906), 1076. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 67.
40
pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan
dan
potensi
yang
dimilikinya.
Berkaitan
dengan
mempersiapkan kehidupan di masyarakat Ibn Sînâ mengemukakan tentang tujuan pendidikan yang bersifat ketrampilann yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan, dan sebagainya sehingga akan muncul tenaga–tenaga pekerja yang profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional.52
3. Membentuk Insan Kamil Pandangan Ibn Sînâ tentang tujuan pendidikan selanjutnya didasarkan pada pandangan tentang Insan Kamil (manusia sempurna) yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Dalam redaksi yang lain disebutkan bahwa menurut Ibn Sînâ, tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia. Ukuran berakhlak mulia dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek–aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Orang yang mempunyai akhlak mulia akan mendapatkan kebahagiaan (sa’adah). Kebahagiaan menurut Ibn Sînâ, dapat diperoleh manusia secara 52
Ibid., 68.
41
bertahap. Mula-mula kebahagiaan secara individu dan kebahagiaan ini akan tercapai pula kebahagiaan rumah tangga. Jika masing–masing rumah tangga berpegangan pada prinsip akhlak mulia, maka akan tercapailah kebahagiaan, dan perubahan pendidikan selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.53 Pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat, oleh karena itu, mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan, dan tuntutan tersebut menjadi suatu keharusan, dan perubahan pendidikan selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.54 Sebagaimana pendidikan pada saat ini seiring dengan munculnya berbagai perubahan yang sangat cepat pada hampir semua aspek dan perkembangan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diawal milinium ketiga ini telah dikembangkan kurikulum maupun pendidikan berbasis kompetensi. Berbicara tentang konsep tujuan pendidikan merupakan pembahasan yang paling dominan dalam pendidikan, karena pendidikan pada intinya adalah persoalan tujuan dan fokus pendidikan. Mendidik anak berarti
53
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, 32. Hujair AH. Sanaly, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003), 5. 54
42
bertindak dengan tujuan agar mempengaruhi perkembangan anak sebagai seseorang secara utuh. Mengacu pada pengertian kompetensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Depdiknas sebenarnya hal ini bila ditinjau dari pandangan Al-Qur’an dan hadits sebenarnya terdapat konsep kompetensi dalam pendidikan Islam dan juga sangat sesuai dengan kompetensi dalam pendidikan Islam dan juga sangat sesuai dengan kompetensi yang dikehendaki pada era sekarang ini. Banyak dalili-dali yang mengarah terhadap kompetensi, diantaranya dalam Q.S. Az-Zumar : 9
uَ jَ v ْ ْا َرWh ُ ْrpَ َة َوrَ s ِt َ ْ ُر اnَ o ْ pَ `ًjkِ `َ^ًا َوgh ِ `َi c ِ dْ eSَ` َء اa ^ ِ][ٌ ءَاWَ ْ ُهRTS َأ ْWeُْ َأوrُ آS nَ {َ pَ `َjaS ن ِإ َ ْWjَُ ~ْ pَ َ R َ pْ nِ eSن َو ا َ ْWjَُ ~ْpَ R َ pْ nِ eSِى اW{َ | ْ pَ ْcْ َهc^ُ wِ yِّ َر (٩ :`رT
e )ا.ب ِ `َeْ t َ ْا Artinya : “Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa pendidikan Islam berbasis kompetensi merupakan seperangkat instrumen atau alat (perencana dan
43
pengatur) tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa.55 Secara umum tujuan pendidikan Islam dalam era pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi di sekolah/madrasah adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang
dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.56 Konsep tujuan pendidikan Ibn Sînâ yang tentunya sudah dirumuskan sejak masa klasik maupun pertengahan menurut kajian penulis tiga tujuan konsep tujuan pendidikan Islam yang ditanamkan oleh Ibn Sînâ terdapat relevansi dengan pengembangan pendidikan Islam diera pendidikan Islam berbasis kompetensi. Konsep tujuan pendidikan yang disebutkan Ibn Sînâ yang pertama adalah bahwa tujuan pendidikan sebagai pengembangan potensi, hal ini sungguh relevan dengan pendidikan Islam saat ini. Dimana potensi merupakan anugerah yang diberikan Allah sejak manusia lahir. Manusia lahir tidak mengetahui sesuatu apapun tetapi ia dianugerahi oleh Allah SWT panca indra, pikiran dan rasa sebagai modal untuk menerima ilmu pengetahuan, memiliki 55
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi , Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), 85. 56 Ibid., 135.
44
ketrampilan, dan mendapatkan sikap tertentu melalui proses kematangan dan belajar terlebih dahulu. Konsep tujuan pendidikan Ibn Sînâ tentang pengembangan potensi kearah perkembangan yang sempurna yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Hal ini juga sejalan dengan lapangan pendidikan Islam dalam perkembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi, di mana menurut Hasbi As–Shidiqi meliputi : 1. Tarbiyah jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya menyuburkan dan menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam pengalamannya. 2. Tarbiyah aqliyah, yaitu segala rupa pendidikan dan pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal menajamkan otak semisal ilmu berhitung. 3. Tarbiyah adabiyah, yaitu segala rupa praktek maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan pekerti, akhlak yang mulia yang meski diajarkan.57 Konsep tujuan pendidikan Ibn Sînâ tentang persiapan hidup dimasyarakat. Tujuan ini bila direlevansikan dengan pendidikan pada era sekarang ini juga masih sangat relevan. Konsep tujuan ini relevan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam tentang pengalaman tentang ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal
57
Ibid., 75.
45
keimanan ketaqwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan
juga
sejalan
dengan
pendapat
Ahmad
Sanusi
yang
mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling strategi adalah penyadaran, pemahaman, penalaran, dan pemberdayaan peserta didik agar mampu menjalankan habluminallah dan habluminanas, dengan demikian pendidikan Islam bukan saja sebatas untuk mengetahui agama, namun juga bagaimana untuk beragama. Dan juga relevan dengan pendekatan terpadu dalam pendidikan Agama Islam yaitu pembiasaan, dimana pendekatan ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku baik yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.58 Konsep tujuan pendidikan selanjutnya menurut Ibn Sînâ adalah terbentuknya insan kamil. Dan tujuan ini juga masih sangat relevan dengan pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi dengan pola taqwa “Insan kamil” artinya manusia utuh jasmani dan rohani, dapat hidup berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT, ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin mengangkat 58
Ibid., 86.
46
dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akherat nanti.59 Tujuan ini juga relevan dengan pendapat Muhammad al-Munir yang menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah : 1. Tercapailah manusia seutuhnya, karena Islam adalah agama yang sempurna. 2. Tercapainya kebahagiaan dunia dan akherat, merupakan tujuan yang seimbang dan, 3. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan takut kepada-Nya sesuai dengan firman Allah SWT.60
59 60
Zakiyah Darajad, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 1966), 25. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, 75.
47
BAB III KONSEP KURIKULUM PENDIDIKAN IBN SÎNÂ DAN RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS KOMPETENSI
Konsep Ibn Sînâ tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik meliputi :
A. Kurikulum Anak Usia 3 Sampai 5 Tahun Ibnu Sînâ, sejak awal telah memberikan perhatian serius terhadap pendidikan anak usia dini. Pendidikan anak dimulai dari memberikan nama yang baik. Nama yang baik, demikian Ibn Sînâ, merupakan hal urgen bagi pembentukan karakter diri si anak (fi takwin mafhum al-dzat inda al-thifli).61 Untuk anak usia 3 sampai 5 tahun menurut Ibn Sînâ perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni rupa dan kesenian.62 Pelajaran olahraga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan satun dalam pergaulan hidup sehari–hari.
61 62
Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan, 253. Ibn Sînâ, As–Siyâsah fi at–Tarbiyah , 159.
47
48
Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan dan dengan pendidikan seni sastra dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung dalam konsep tujuan pendidikan. Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibn Sînâ memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam pandangan ini Ibn Sînâ menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak lagi. Ibn Sînâ lebih lanjut memperinci tentang mana saja diantara olahraga yang memerlukan dorongan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang tergolong ringan, cepat lambat, memerlukan peralatan dan sebagainya. Menurut Ibn Sînâ semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan si anak.63 Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibn Sînâ yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran adalah olahraga adu kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
63
Ibid., 321.
49
Selain itu Ibn Sînâ membahas pula tentang olahraga yang berlaku umum, dan olahraga yang berlaku khusus, serta olahraga yang berlaku untuk semua jenis kelamin dan usia. Mengenai pelajaran kebersihan, Ibn Sînâ mengatakan, bahwa pelajaran hidup bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak tidur kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.64
B. Kurikulum Untuk Anak Usia 6 Sampai 14 Tahun Menurut Ibn Sînâ untuk anak usia 6 sampai 14 tahun adalah mencakup mata pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an pelajaran agama, pelajaran syair, dan pelajaran olahraga.65 Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an menurut Ibn Sînâ berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayatayat al-Qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran tafsir al–Qur’an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya adalah al–Qur’an. Selain itu pelajaran membaca dan menghafal al–Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa Arab, karena dengan menguasai bahasa arab (al-Qur’an) berarti ia telah menguasai ribuah kosa kata bahasa Arab atau bahasa al–Qur’an. Dengan
64 65
Ibid., 157. Ibid., 117.
50
demikian penetapan pelajaran membaca Al–Qur’an tampak bersifat strategis dan mendasar, baik dilihat dari segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibn Sînâ sendiri.
C. Kurikulum Untuk Anak Usia 14 Tahun Keatas Pandangan Ibn Sînâ terhadap kurikulum mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak usia 14 tahun keatas berada dengan mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak usia sebelum 14 tahun sebagaimana telah disebutkan. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun keatas, amat banyak jumlahnya namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan untuk meneriman pelajaran tersebut dengan baik. Ibn Sînâ menganjurkan kepada para pendidik agar memilihkan jenis pelaharan yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.66 Diantara mata pelajaran tersebut dapat dibagi kedalam mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Mata pelajaran yang bersifat teoritis antara lain ilmu tentang materi dan bentuk gerak dan perubahan, wujud dan kehancuran, tumbuh–tumbuhan, hewan, kedokteran, astrologi, kimia, yang secara keseluruhan tergolong ilmu-ilmu fisika. Selanjutnya terdapat pula ilmu tentang cara–cara 66
Ibid., 1074.
51
turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu’jizat, berita gaib, ilham dan ilmu tentang kekekalan ruh setelah berpisah dengan badan yang secara keseluruhan termasuk ilmu ketuhanan. Selanjutnya menurut Ibn Sînâ mata pelajaran yang bersifat praktis adalah ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku seseorang, ilmu pengurusan rumah tangga, yaitu ilmu yang mengkaji hubungan antara suami dan istri, anak–anak, pengaturan keuangan dalam kehidupan rumah tangga, serta ilmu politik yang mengkaji tentang bagaimana hubungan antara rakyat dan pemerintahan, kota dengan kota, bahasa dan bangsa.67 Kedalam ilmu yang bersifat praktis atau terapan itu, Ibn Sînâ memasukkan pula ilmu tentang cara menjual dagangan, membatik dan menenun. Dalam membahas ilmu-ilmu yang bersifat praktis ini, Ibn Sînâ mengaitkannya dengan berbagai tugas dan pekerjaan yang ada dalam kehidupan di rumah, masyarakat dan dunia pekerjaan atau profesi. Dengan ilmu yang bersifat praktis ini seseorang dapat dibantu dalam usaha mencari rezeki guna mewujudkan kesejahteraan hidupnya. Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa konsep kurikulum yang ditawarkan Ibn Sînâ memiliki tiga ciri. Pertama, konsep kurikulum Ibn Sînâ tidak hanya terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan juga disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran tersebut, dan kapan mata pelajaran itu harus diajarkan. 67
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 73.
52
Selain itu Ibn Sînâ juga sangat mempertimbangkan aspek psikologis, yakni minat dan bakat para siswa dalam menentukan keahlian yang akan dipilihnya. Degan cara demikian seorang siswa akan merasa senang atau tidak terpaksa dalam mempelajari suatu ilmu atau keahlian tertentu. Kedua, bahwa strategi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibn Sînâ juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dan ilmu dan ketrampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibn Sînâ tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam ilmu dan ketrampilan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Kurikulum merupakan faktor penting dan mempunyai kedudukan sentral dalam pelaksanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tetapi perlu disadari bahwa kurikulum bukan satu–satunya unsur pokok karena masih terdapat unsur lain yang mempunyai peran menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan seperti buku pelajaran, pengelolaan sekolah, guru, biaya, siswa dan sebagainya. Kurikulum dari asal kata “curir”(Yunani) yang berarti pelari dan “curere” yang artinya tempat berpacu. Jadi secara bahasa kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh pelari.68 Dalam bidang pendidikan kurikulum berarti
68
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1998), 3.
53
jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Secara istilah kurikulum memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh para pakar, namun dalam versi Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 kurikulum adalah : separangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.69 Secara historis, format kurikulum di Indonesia khususnya, mengalami sejumlah tahap perubahan maupun pengembangan bahkan perubahan yang signifikan dari masa ke masa. Pada era ini (reformasi) diisukan dengan munculnya kurikulum berbasis kompetensi yang diterapkan di beberapa sekolah/ madrasah sejak tahun ajaran 2003/2004. Namun, kurikulum ini juga masih dalam taraf uji coba sehingga belum lama diterapkan, muncul istilah kurikulum baru yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan akan tetapi KTSP masih tetap menggunakan KBK dalam standar isi dan dalam prosesnya mengintegrasikan dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik secara utuh serta tuntutan kondisi lingkungan peserta didik untuk hidup atau memiliki kecakapan hidup (life skill).70
69
Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), 83. 70 Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandy Tjiptono, Pendidikan Berbasis Kompetensi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), 83.
54
Pengertian kurikulum yang selama ini seakan mengacu pada konsep kurikulum barat. Namun bukan berarti para ahli pendidikan Islam tidak memiliki wawasan sama sekali tentang kurikulum. Karena jelas tatkala kita mengkaji pemikiran para tokoh pendidikan Islam pada abad klasik maupun pertengahan, kita
akan
menemukan
susunan
mata
pelajaran
serta
kegiatan
yang
menggambarkan wawasan mereka tentang kurikulum. Begitu juga bila kita mengkaji pemikiran Ibn Sînâ tentang konsep kurikulum walaupun Ibn Sînâ tidak menuliskan kurikulum dengan rinci dan sistematis akan tetapi akan tercermin tentang konsep kurikulum, hal ini akan terlihat dengan adanya rumusan tentang tujuan, jumlah mata pelajaran, dan juga kapan mata pelajaran itu akan diajarkan. Akan tetapi, permasalahan yang kemudian muncul adalah relevankah pemikiran konsep kurikulum yang ditawarkan Ibn Sînâ dengan pengembangan pendidikan pada era kurikulum berbasis kompetensi. Pemikiran kurikulum dalam pandangan Ibn Sînâ untuk anak usia 3 sampai 5 tahun walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan pengembangan kurikulum pada era KBK. Namun setidaknya masih ada kesesuaian atau dengan kata lain masih relevan dengan kurikulum pendidikan pada saat ini. Pendidikan usia dini dewasa ini cukup menggembirakan, pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa pendidikan usia dini merupakan hal yang urgen hal ini terbukti dengan munculnya berbagai pilihan untuk anak usia dini mulai dari Play Group, TK, TPA/ TPQ dan
55
bahkan adanya program Diploma PGTK, PGSD/ PGMI semuanya adalah bentuk kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini. Relevansi kurikulum usia anak 3 sampai 5 tahun yang dituliskan Ibn Sînâ ini juga bisa terlihat adanya kesesuaian antara tujuan, maupun muatan yang ditawarkan Ibn Sînâ dengan standar kompetensi pada KBK untuk taman kanak– kanak meliputi : 1. Hafal kalimat–kalimat thayyibah. 2. Mulai tertanam keimanan kepada Allah SWT 3. Mulai terbiasa berlaku sopan dan santun kepada semua orang. 4. Mulai mengenal ibadah.71 Untuk kurikulum anak usia 6 sampai 14 tahun dalam pandangan Ibn Sînâ bila direlevansikan dengan kurikulum dalam era KBK juga relevan. Dimana muatan kurikulum untuk anak usia tersebut juga diperbanyak. Kurikulum pendidikan Islam pada tingkat MI/ SD dan MTs/ SMP muatan mata pelajaran juga lebih banyak, dibanding jenjang sebelumnya. Begitu pula konsep kurikulum anak usia 14 tahun keatas juga relevan, hal ini terlihat pada kurikulum pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi dimana muatan mata pelajaran juga lebih banyak, dan juga muncul jurusan dalam bidang–didang sesuai dengan bakat dan keinginan maupun kemampuan siswa dan hal ini selaras dengan konsep kurikulum dalam pandangan Ibn Sînâ.
71
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, 147.
56
Relevansi lain juga terlihat dari ciri kurikulum Ibn Sînâ yang juga relevan dengan ciri kurikulum dalam era kurikulum pendidikan Islam berbasis kompetensi. Depdiknas mengemukakan bahwa KBK memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individu maupun klasikal. 2. Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman. 3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. 4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber bahan lainnya yang memenuhi unsur educatif.72 Selain itu KBK dapat juga diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugastugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini sejalan dengan ciri ataupun karakteristik kurikulum yang ditawarkan Ibn Sînâ.
72
Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 42.
57
Dilihat dari segi materi, muatan materi dalam kurikulum Ibn Sînâ juga relevan dengan muatan kurikulum pendidikan Islam berbasis kompetensi yang mencakup, masalah aqidah (keimanan), syari’ah (keislaman) dan akhlak (ihsan). Tiga inti ajaran pokok ini kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, rukun Islam, dan akhlak. Dan dari ketiganya lahirlah ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, dan ilmu Akhlak.73 Ditinjau dari muatan mata pelajaran yang disampaikan juga terdapat kesamaan dalam pandangan Ibn Sînâ. Secara umum secara berurutan : ilmu tauhid (keimanan), Ilmu fiqih, al-qur’an, al–hadits, akhlak dan tarikh al–Islam.74 Yang tidak terdapat kesamaan adalah bahwa Ibn Sînâ membatasi adanya usia tertentu bagi peserta didik. Walaupun dalam kurikulum berbasis kompetensi tidak ditemukan pembatasan usia, akan tetapi dalam KBK disesuaikan dengan jenjang pendidikan.
73 74
Ibid., 77. Ibid., 77.
58
BAB IV KONSEP METODE PENGAJARAN IBN SÎNÂ DAN RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS KOMPETENSI
Konsep metode pengajaran yang ditawarkan Ibn Sînâ antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran, Ibn Sînâ selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologisnya. Ibn Sînâ berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.75 Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya, metode pengajaran yang ditawarkan Ibn Sînâ antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang dan penugasan.76
75 76
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 74. Ibid., 75.
59
A. Metode Talqin Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca al–qur’an dimulai dengan cara mendengarkan bacaan al–qur’an kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga hafal. Metode Talqin ini menurut Ibn Sînâ dapat pula ditempuh dengan cara seorang guru meminta bantuan murid–murid yang sudah agak pandai untuk membimbing teman–temannya yang masih tertinggal.
B. Metode Demonstrasi Mengenai metode demontrasi menurut Ibn Sînâ dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijai’iyah dihadapan murid–muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf–huruf hija’iyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
C. Metode Pembiasaan dan Teladan Ibn Sînâ mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak.
60
Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak.
D. Metode Diskusi Metode diskusi (mujadalah) dilakukan melalui aktifitas siswa. Mereka ditekankan dan dibiarkan berbincang-bincang dengan sesama temannya. Melalui metode demikian menurut Ibn Sînâ maka peserta didik dapat mengembangkan potensi nalar dan sosialnya.77 Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibn Sînâ mempergunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis.
E. Metode Magang Berkenaan dengan Metode Magang, Ibn Sînâ telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibn Sînâ yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktekkan teori tersebut dirumah sakit atay balai kesehatan.78
77 78
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, 34. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 76.
61
F. Metode Penugasan Metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa Arab, pengajaran dan penugasan ini dikenal dengan istilah at–ta’lim bi al–marasil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul). Dalam hubungan ini Ibn Sînâ menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikannya kepada para muridnya untuk dipelajari. Cara ini antara lain dilakukan kepada salah seorang muridnya bernama Abu Ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as Suhaili.79 Dari keseluruhan uaraian mengenai metode pengajaran Ibn Sînâ di atas terdapat empat ciri penting. Pertama, uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari Ibn Sînâ terhadap keberhasilan pengajaran. Kedua, setiap metode yang ditawarkan Ibn Sînâ selalu dilihat dalam perspektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik. Ketiga, metode pengajaran yang ditawarkan Ibn Sînâ juga selalu memperhatikan bakat dan minat si anak. Keempat, metode yang ditawarkan Ibn Sînâ telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingkat perguruan tinggi. 79
Ibid., 76.
62
Metode pengajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan. Istilah metodologi pengajaran sebenarnya sama dengan metode, yakni suatu ilmu yang membicarakan bagaimana cara atau teknik menyajikan bahan pelajaran terhadap siswa agar tercapai suatu tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.80 Metode sebagai seperangkat cara (a set of method) akan semakin dirasakan manfaatnya ketika kita akan menjawab bagaimana sebuah tujuan pendidikan dan pengajaran dapat dicapai dengan tingkat keberhasilan yang memadai sebagai sebuah proses perkembangan atau pencerahan siswa. Proses pembelajaran dewasa ini masih terdapat kecenderungan bersifat dan penguasaan kompetensi. Sebagai contoh penyampaian materi akhlak yang oleh sebagaian pendidik hanya diberikan kepada siswa sebatas teori, padahal metari akhlak sarat dengan muatan nilai–nilai yang perlu menampilkan figur atau keteladanan. Dengan
demikian
dalam
menarapkan
metode pembelajaran
dalam
proses
pembelajaran hendaknya tidak hanya terfokus pada aspek kognitif (pencapainan target bahan ajar) yang mungkin dalam pendidikan Islam terkesan bersifat hafalan, ceramah dan sejenisnya tetapi hendaknya memperhatikan juga aspek emosional (afeart) dan juga psikomotorik. Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya juga membutuhkan metode pembelajaran yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya kearah yang cita–citakan. Bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan
80
2002), 4.
Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam (Jakarta : Ciputat Press,
63
Islam juga tidak akan berarti apa–apa, manakala tidak memiliki metode atau cara pengajaran
yang
tepat
dalam
mentransformasikan
kepada
peserta
didik.
Ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar. Hal ini berarti bahwa metode pengajaran termasuk persoalan esensial, karena tujuan pendidikan Islam akan tercapai secara tepat guna manakala jalan yang ditempuh benar–benar tepat. Akan tetapi fenomena yang terjadi selama ini kaum muslim dianggap kurang mampu membuat tawaran dari segi metodologi untuk memperbaiki kualitas pengajaran Islam. Sehingga terdapat kesan bahwa pendidikan Islam tetap hanya dibiarkan kaya dengan materi dan subjek kajian, tetapi sangat miskin ilustrasi dan sepertinya seakan kehilangan kreasi untuk membuat kerangka metode pengajaran agar materi pendidikan Islam yang kaya khazanah keilmuan benar–benar dapat diapresiasikan oleh siswa dalam kehidupan sehari–hari. Mengilhami tentang KBK dimana dalam proses belajar mengajar harus mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotik. Sebenarnya bila kita pandangan bahwa suatu metode adalah suatu subsistem ilmu pendidikan Islam yang berfungsi sebagai alat pendidikan, jelas bahwa firman Allah dalam al–qur’an sebagai sumber pendidikan
Islam
itu
mengandung
implikasi-implikasi
metodologis
yang
komperhensif mencakup semua aspek dari kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Begitu juga bila kita mengkaji pemikiran para tokoh pendidikan Islam, juga terdapat berbagai metodologi yang tidak kalah hebatnya dengan metodologi
64
pengajaran yang berlangsung saat ini. Ibn Sînâ juga mempunyai berbagai pandangan tentang konsep metode pembelajaran yang fungsi dan penerapannya disesuaikan dengan melihat materi yang disampaikan. Lebih dari pada itu sebenarnya jika diamati, pendidikan Islam juga sudah mempunyai metode dan sudah lama diterapkan dalam pengajaran yang sejalan dengan pengembangan metode pengajaran pada era metode pengajaran berbasis kompetensi diantaranya adalah metode sorogan dan wekton. Metode talqin, pembiasaan dan teladan dan metode magang mungkin ketiga istilah metode pengajaran yang dipakai Ibn Sînâ tersebut bila dilihat dari segi itilah sudah tidak ditemukan lagi dalam perkembangan metode pengajaran pada era pendidikan Islam berbasis kompetensi. Akan tetapi, bukan berarti bahwa ketiga metode pengajaran yang ditawarkan Ibn Sînâ tersebut sudah tidak relevan lagi dan tidak dapat dipakai untuk metode pengajaran pada era pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi yaitu tercapainya seluruh aspek baik aspek kognitif, afektif maupun aspek psikomotorik maka metode yang ditawarkan Ibn Sînâ tersebut masih relevan dengan pendidikan pada saat ini. Relevan tersebut dilihat dari kawasan masing-masing aspek. Tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan “berfikir” mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana yaitu mengingat. Kawasan kognitif terdiri dari enam tingkat dengan aspek belajar yang berbeda–beda. Keenam tingkat tersebut adalah : 1. Tingkat pengetahuan (knowledge) 2. Tingkat pemahaman (comprehension)
65
3. Tingkat penerapan (aplication) 4. Tingkat analisis (analysis) 5. Tingkat sintesis dan 6. Tingkat evaluasi. Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap hati. Kawasan aspek afektif mencakup : 1. Tingkat menerima Menerima disini diartikan sebagai proses pembentukan sikap dan perilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya stimulus. 2. Tingkat tanggapan Adanya kemauan dan kemampuan untuk berekasi terhadap suatu kejadian (stimulus dengan cara berpartisipasi dalam berbagai bentuk). 3. Tingkat menilai 4. tingkat organisasi 5. Tingkat karakteristik.81 Sikap dan perbuatan yang secara konsisten dilakukan oleh seseorang selaras dengan nilai–nilai yang dapat diterimanya. Kawasan psikomotor adalah kawasan yang berorientasi kepada ketrampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang
81
Martinis Yamin, Desain pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007), 38.
66
memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot. Kawasan yang mencakup aspek psikomotorik adalah : 1. Gerakan seluruh badan adalah perilaku seseorang (anak didik) dalam suatu kegiatan yang memerlukan gerakan fisik secara menyeluruh. 2. Gerakan yang terkoordinasi adalah gerakan yang dihasilkan dari perpaduan antara fungsi salah satu atau lebih indra manusia dengan salah satu anggota badan. 3. Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang berkenaan dengan komunikasi yang menggunakan simbol–simbol atau isyarat.82 Selanjutnya metode demonstrasi walupun oleh Ibn Sînâ dipakai dalam mengajar menulis, akan tetapi melihat bahwa metode demonstrasi dalam era pembelajaran berbasis kompetensi dapat diterapkan dengan syarat memiliki keahlian untuk mendemonstrasikan penggunaan alat atau melaksanakan kegiatan tertentu seperti kegiatan yang sesungguhnya. Setelah didemonstrasikan siswa diberik kesempatan melakukan latihan ketrampilan seperti yang telah diperagakan oleh guru berarati masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.83 Metode diskusi dan magang yang diterapkan Ibn Sînâ juga masig relevan dengan metode pengajaran pada era sekarang ini. Di mana metode diskusi juga serupa dengan metode diskusi pada era sekarang. Pengertian metode diskusi adalah interaksi antara siswa dan siswa atau siswa dengan guru untuk menganalisis, memecahkan
82
Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007), 38. 83 Ibid., 65.
67
masalah, menggali atau memperdebatkan topik atau permasalahan tertentu.84 Dan hal ini relevan dengan pengertian yang disampaikan Ibn Sînâ. Metode magang dalam istilah sekarang serupa dengan praktek di mana ada materi ada praktek walaupun tidak semua materi pendidikan Islam dapat dilaksanakan namun ada sebagian yang dapat diterapkan. Selanjutnya metode penugasan juga masih relevan dengan era pendidikan Islam berbasis kompetensi, dan bahkan metode ini sering digunakan oleh guru atau pendidik. Hanya saja istilah yang dipakai dalam pengajaran berbasis komepetensi untuk metode penugasan pada era pendidikan Islam berbasis kompetensi biasanya digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa dapat berupa portofolio, pekerjaan rumah, jurnal, laporan, wawancara dan sebagainya.85
84
Ibid., 69. Hilda Harli dan Olita R. Hattabarat, Implementasi KTSP Dalam Model-Model Pembelajaran (Jakarta : General Infomedia, 2007), 18. 85
68
BAB V KONSEP GURU DAN HUKUMAN DALAM PENGAJARAN IBN SÎNÂ SERTA RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS KOMPETENSI
A. Konsep Kompetensi Guru Konsep kompetensi guru yang ditawarkan Ibn Sînâ antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibn Sînâ menyatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mempunyai ciri : 1. Berakal cerdas 2. Beragam 3. Mengetahui cara mendidik akhlak 4. Cakap dalam mendidik anak 5. Berpenampilan tenang 6. Jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya. 7. Tidak bemuka masam 8. Sopan santun 9. Bersih dan 10. Suci murni.86
86
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 77.
69
Lebih lanjut Ibn Sînâ menambahkan bahwa guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa berhias diri. Selain itu guru yang baik menurut Ibn Sînâ adalah guru yang : 1. Memiliki wawasan keagamaan dan etika (dza din wa khuluq) 2. Kepribadian yang kokoh 3. Kecerdasan dan retorika yang baik 4. Arif dalam memilih metode yang sesuai bagi pendidikan anak didik.87 Alhasil, menurut Ibn Sînâ, guru yang baik dipilih berdasarkan kompetensi profesional di dalam pembentukan kepribadian anak didik. Guru yang baik selain sifat-sifat yang disebutkan di atas masih ada beberapa sifat lain yang disebutkan Ibn Sînâ diantaranya : 1. Mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. 2. Menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah. 3. Mengetahui etika dalam majelis ilmu. 4. Sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.88 Dalam pendapatnya yang telah disebutkan di atas, Ibn Sînâ selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar juga berkepribadian yang baik.
87 88
Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan, 257. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 78.
70
Dalam pengertian umum, orang tidak mengalami kesulitan untuk menjelaskan siapa guru dan bagaimana sosok guru. Dalam pengertian ini, makna guru selalu dikaitkan dengan profesi yang terkait dengan pendidikan anak di sekolah, di lembaga pendidikan dan mereka yang harus menguasai bahan ajar yang terdapat di dalam kurikulum.89 Guru adalah unsur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan.90 Sama dengan teori Barat, guru dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Yang secara umum tugas guru dalam pendidikan Islam ialah mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif maupun potensi afektif.91 Dalam pendidikan Islam guru mempunyai kedudukan yang tinggi. Tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan dan pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru.92 Seiring dengan bergulirnya zaman, maka dengan munculnya kurikulum maupun pendidikan berbasis kompetensi terjadilah pula pergeseran peran dan paradigma guru. Bahkan banyak orang berkomentar bahwa performen guru saat ini tidak memiliki wibawa atau terjadi kemerosotan wibawa, kemudian keberadaan guru sekarang jauh berbeda dari keberadaan guru masa lalu. Pada 89
Suparlan, Menjadi Guru Efektif (Yogyakarta : Hikayat Publishing, 2005), 12. Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005), 1. 91 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), 74. 92 Ibid., 76. 90
71
masa lalu guru begitu disanjung, dihargai dan dihormati terlebih dalam pendidikkan Islam. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Jika guru tidak memiliki wibawa bagaimanakah mereka bisa mengajar dan siswa tidak mungkin pandai dan cerdas kalau guru tidak berwibawa namun nayatanya kata-kata, ucapan, petuah guru masih didengar dan dihormati.93 Disamping itu siswa masih mau mendengar, menyimak dan memperhatikan guru berbicara, berkata atau berkominukasi. Akan tetapi kita dapat mengakui adanya pergeseran nilai , peran dan paradigma guru. Dalam era pendidikan berbasis kompetensi guru bukan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa, melainkan sebagai fasilitator, teman dan motivator.94 Guru sebagai fasilitaor dalam pendidikan berbasis kompetensi berarti membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Perkataan utama pada siswa yang belajar bukan pada disiplin atau guru yang mengajar. Fungsi guru sebagai fasilitator dan mediator berarti : 1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan dan proses. 2. Menyediakan atau memberikan kegiatan–kegiatan yang merangsang kegiatan siswa dalam membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan–gagasannya,
93
Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta : Gaung Persada Press, 2006), 54. 94 Hilda Karti dan Aditha R. Hutabarat, Implementasi KTSP Dalam Model-model Pembelajaran (Bandung : generasi Info Media, 2007), 15.
72
menyediakan sarana yang merangsang siswa berfikir secara produktif, dan menyediakan dan pengalaman konflik. 3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak.95 Implementasi peran tersebut mestinya didahului oleh pergeseran paradigma. Guru diidealkan memiliki kemampuan dan kinerja yang dapat mewujudkan fungsi dan perananya seoptimal mungkin. Perwujudan yang tampak dalam relasi pengajaran dengan siswa, hubungan sesama guru, sikap dan ketrampilannya. Semua penampilan tersebut didukung oleh sejumlah kompetensi yang melihputi kompetensi intelektual, sosial dan pribadi.96 Menghadirkan diri sebagai fasilitator sekaligus motivator tentunya tidak lagi menempatkan guru sebagai yang serba tahu segala–galanya. Guru memberikan dorongan agara siswa mempunyai semangat belajar jangan sampai siswa lebih banyak disuapi oleh guru. Sukmana menyebutkan, dengan memasukkkan nilai–nilai religius hendaknya dalam proses pembelajaran guru dalam pendidikan Islam berbasis kompetensi : 1. Berusaha menjadikan materi pelajaran sebagai bahan pembicaraan yang menarik. 2. Menunjukkan kepada siswa beberapa tokoh ilmuwan, guru menceritakan hidupnya mengapa ia menjadi seorang tokoh ilmuwan yang dikagumi umat.
95 96
Alexander Jatmiko Wibowo, Pendidikan Berbasis Kompetensi, 120. Ibid., 21.
73
3. Dalam proses pembelajaran hendaknya guru mengikuti langkah–langkah strategi sesuai dengan prinsip–prinsip didaktis. 4. Melakukan asosiasi artinya mengubungkan bahan pelajaran yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. 5. Guru mencoba menyingkat beberapa istilah atau nama dengan nama yang unik sehingga siswa dapat menghafalnya dengan mudah. 6. Menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, rileks dan tidak tegang. 7. Guru sebagai media dan siswa dijadikan sebagai model dalam pembelajaran.97 Selain itu tanggung jawab guru ditangannya harus tercipta manusia yang berbudi luhur, berperilaku baik, berprestasi, berkualitas, dan berakhlak mulia. Sebagai seorang yang dimintai pertanggungjawaban dalam pembelajaran, maka guru dalam era pendidikan berbasis kompetensi harus memiliki kapasitas diantaranya : 1. Guru harus memiliki tanggung jawab sempurna dan mengerti pekerjaanya dengan jelas. 2. Guru harus seorang yang memiliki kualifikasi dan kapasitas untuk mengerjakan tugas pembelajaran. 3. Guru harus memiliki kewenangan yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaanya dalam pembelajaran.98
97 98
101.
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, 46. Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi,
74
Berangkat dari uarian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep kompetensi guru menurut Ibn Sînâ masih sangat relevan dengan kompetensi pengembangan pendidikan Islam berbasis kompetensi. Semua ciri guru yang disebutkan Ibn Sînâ bila diposisikan untuk mendidik pada era pendidikan saat ini masih relevan. Relevansi tersebut dapat terlihat bahwa konsep guru yang disebutkan Ibn Sînâ tentu mempunyai sejumlah kompetensi baik kompetensi intelektual, sosial maupun pribadi dan hal ini sesuai dengan konsep guru dalam era pendidikan berbasis kompetensi. Akan tetapi tidak menutup terjadinya pergeseran paradigma aura guru pada masa Ibn Sînâ dan guru dalam era pendidikan berbasis komepetensi. Namun memiliki kulturasi yang sama yaitu untuk menjadikan manusia yang sempurna dari segala aspek.
75
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan permabahasan dari uraian dalam bab–bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Konsep tujuan pendidikan Ibn Sînâ baik untuk pengembangan potensi, persiapan hidup di masyarakat dan membentuk insan kamil terdapat relevansi dengan konsep tujuan pendidikan Islam berbasis kompetensi. Relevansi tersebut dapat terlihat secara umum tujuan pendidikan Islam berbasis kompetensi adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian pengalaman terhadap peserta didik tentang agama Islam yang merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfelksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, dan ketakwaan, dalam berbangsa dan bernegara serta dapat mengemalkan nilai-nilai dalam pendidikan Islam. 2. Konsep kurikulum Ibn Sînâ yang didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik mulai dari kurikulum anak usia 3 sampai 5 tahun, 6 sampai 14 tahun dan 14 tahun ke atas bila di relevankan dengan kurikilum berbasis kompetensi secara tidak langsung juga terdapat relevansi baik dipandang dari
76
segi tujuan, muatan , isi, karakteristik atau ciri maupun muatan kurikulum berbasis kompetensi yang lain. . 3. Konsep metode pengajaran Ibn Sînâ disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut sehingga antara metode dan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya baik metode talqin, demonstrasi, pembiasaan maupun metode yang lain juga terdapat relevansi dengan metode pengajaran berbasis kompetensi, bahkan beberapa metode masih mempunyai maksut yang sama. Relevansi lain juga terlihat bahwa metode- metode Ibn Sînâ juga berorientasi pada tercapainya aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik yang sesuai denagan arah metode di era pembelajaran berbasis kompetensi. 4. Konsep kompetensi guru dalam pandangan Ibn Sînâ yang menyebutkan bahwa guru hendaknya selain harus memiliki kompetensi atau kecakapan sebagaimana yang telah disebutkan juga harus berkepribadian baik hal ini relevan dan terdapat relevansi dengan konsep kompetendi guru dalam era pendidikan Islam berbasis kompetensi baik kompetensi paedagogie, pribadi, profesional maupun sosial masyarakat. Relevansi yang lain dapat terlihat bahwa seluruh kompetensi guru yang disebutkan Ibn Sînâ bila dimiliki oleh guru pada saat ini secara tidak langsung dapat memposisikan diri dan mendidik secara profesional baik sebagai guru, fasilitator, teman dan juga motivator.
77
B. Saran Dari berbagai penjelasan diatas tentang skripsi ini, tentunya keseluruhan kajian ini belum bisa membahas secara detail seluruh sistem pendidikan Islam dalam konsep pendidikan Ibn Sînâ dan relevansinya dengan pengembangan pendidikan Islam dewasa ini karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena
itu
pada
masa
mendatang
para
peneliti
diharapkan
untuk
mengembangkannya dan menggali pemikiran para tokoh pendidikan Islam yang lain karena hal ini secara tidak langsung akan memperkaya khazanah keilmuan dan pengetahuan tentang pendidikan Islam. Disamping itu hendaknya jangan sampai terjadi hal bahwa pendidikan Islam yang banyak dan kaya akan khazanah keilmuan dibiarkan diambil dari pihak barat yang kemudian ditransfer kembali pada dunia pendidikan Islam seolah kita asing dan binggung akan hal tersebut padahal sebenarnya dalam pendidikan Islam sudah ada hal dan istilah tersebut.
78
DAFTAR PUSTAKA Al–Abrosyi, Athiyah. Dasar –Dasar Pokok Pendidikan Islam.
Jakarta : Bulan
Bintang, 1996. Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta : Djambatan, 2003. Djaliel, Maman Abd dan Mustofa Maman. Filsafat Islam.Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005.
79
DAFTAR PUSTAKA Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, t.t. Jalaludin.Filsafat Pendidikan Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta : Raja Grafindo, 1994. Idris, Muhammad. Karakteristik Dan Dimensi Moral Anak Didik Dalam Pendidikan Yogyakarta : Adtya Media, 1997. Mulyono, Redja. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Analisis Tentang Dasar–Dasar Pendidikan Pada Umumnya Dan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Suharto, Toto dan Abdullah Idi. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006. Al–Abrosyi, Athiyah. Dasar–Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1996. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004. Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek. Yogyakarta : AR– RUZZ Media, 2007. Salim, Yenni dan Peter Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta : Modern English Press, t.t. Nata, Abbuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta : Raja Grafino Persada, 2000. Al–Abrosy, Muhammad Athiyah. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, 1996), 100. Mulyasa. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004. Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakart : PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Nawawi, Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Pres, Cet 1, 1994. Suharmini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 234. Muhajir, Neong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Bayu Indra Grafika, 1987. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabet, 2005. Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta : Djambatan, 2003. Labib, Muhsin. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mullâ Shadrâ. Jakarta : Al–Huda, 2005. Djaliel, Maman Abd dan Mustofa Maman. Filsafat Islam.Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.
80
Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Intregasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Nizar, Samsul dan Ramayulis. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, 31. Sanaly, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003. Andayani, Dian dan Abdul Majid. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004. Darajad, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1966. Sudjana, Nana. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1998. Susilo, Muhammad Joko. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Tjiptono, Fandy dan Alexander Jatmiko Wibowo. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Usman, Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta : Ciputat Press, 2002. Yamin, Martinis. Desain pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Gaung Persada Press, 2007. Yamin, Martinis. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta : Gaung Persada Press, 2007. Hattabarat, Olita R dan Hilda Harli. Implementasi KTSP Dalam Model–Model Pembelajaran. Jakarta: General Infomedia, 2007. At–Tuuraanisi, Abdul Futuh dan Ali Al–Jummulati. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002. Suparlan. Menjadi Guru Efektif . Yogyakarta : Hikayat Publishing, 2005. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam, 74. Yamin, Martinis. Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Gaung Persada Press, 2006.