BAB I PENDAHULUAN
A. Judul Pembentukan Komunitas untuk Mencapai Lingkungan Inklusif bagi Masyarakat Marjinal (Studi pada Komunitas Difabel Bangkit Maju Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta). B. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Selaku masyarakat di negara demokrasi, seharusnya tiap masyarakat saling menghargai perbedaan dan memberikan pengakuan kepada tiap individu. Hal ini penting melihat keunikan tiap manusia yang berbeda-beda dan spesial antara satu individu dengan yang lain. Kondisi ini pula yang sedang digencarkan baik oleh kelompok masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat untuk membentuk lingkungan inklusif bagi tiap golongan, tanpa diskriminasi sedikit pun. Namun, kondisi ini seolah menjadi wacana bagi kaum difabel. Isu ketidaksetaraan dengan kaum difabel selalu menjadi isu hangat di tengah kehidupan masyarakat. Kondisi ini sebenarnya telah mendapat perhatian dari beberapa instansi, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Banyak lembaga swadaya masyarakat yang memberi perhatian khusus bagi kaum difabel. Ada yang memberikan pelatihan, ada pula yang berwujud sebagai lembaga advokasi hak-hak kaum difabel. Namun
1
sayangnya, semua hal ini tidak selalu dapat melindungi seluruh hak-hak kaum difabel. Ketika mereka terjun langsung ke masyarakat, masih banyak anggapan yang melihat bahwa kaum difabel itu lemah dan tidak mampu bekerja layaknya manusia normal. Stigma inilah yang membuat kaum difabel membutuhkan sistem pendukung sosial, dimana mereka merasa memiliki teman senasib, sehingga dapat saling mendukung dan menguatkan, baik secara fisik maupun mental. Salah satu contoh yang menarik peneliti adalah komunitas difabel Bangkit Maju di Desa Sidomulyo, Bantul, Yogyakarta. Komunitas yang baru didirikan sekitar tahun 2012 ini memiliki banyak hal yang menarik untuk digali oleh masyarakat sekitar maupun media massa, sehingga masih sangat aktual untuk diteliti. Terutama, terkait dengan peran komunitas ini dalam mencapai lingkungan inklusif serta penerimaan dari masyarakat Desa Sidomulyo. 2. Orisinalitas Orisinalitas sebuah penelitian dapat dilihat dari ide dasar dan obyek yang diteliti. Penelitian mengenai peran komunitas sebagai alat untuk mencapai lingkungan inklusif bagi masyarakat marjinal, khususnya bagi kaum difabel masih jarang ditemukan. Obyek penelitian, komunitas difabel di Desa Sidomulyo, pun belum pernah menjadi objek penelitian sebelumnya, sehingga penelitian yang akan dilakukan masih orisinil. 3. Relevansi dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Sebagai salah satu prodi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, program studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
2
(PSdK) merupakan studi yang mempelajari pembangunan dengan menekankan bagaimana tujuan sosial itu tercapai dalam pembangunan. Keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial dalam proses pembangunan merupakan kondisi masyarakat sejahtera yang didambakan oleh setiap masyarakat. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, program studi ini mendidik para akademikanya melalui tiga konsentrasi, yaitu kebijakan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan Corporate Social Responsibility (CSR). Konsentrasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan masyarakat. Dimana kita mengkaji berbagai upaya dan media dalam memberdayakan masyarakat di luar pemerintah dan sektor swasta. Pemberdayaan masyarakat dikatakan berhasil bila upaya pembangunan sosial yang berasal dari kalangan masyarakat, nantinya mampu membuat mereka mandiri secara berkelanjutan. Dalam penelitian ini, komunitas difabel Desa Sidomulyo dapat dikategorikan sebagai sebuah pemberdayaan masyarakat, karena gerakannya berasal dari internal masyarakat. Artinya komunitas ini didirikan oleh, bagi, dan untuk kaum difabel, khususnya di daerah Desa Sidomulyo. Hal yang menarik peneliti adalah peran dari komunitas ini terhadap terbentuknya lingkungan inklusif bagi difabel di Desa Sidomulyo, seperti bagaimana proses yang terjadi serta apakah ada perbedaan setelah komunitas Bangkit Maju didirikan, khususnya bagi kelangsungan hidup kaum difabel. Berdasar temuan lapangan, penelitian ini mendapatkan pola dari sebuah komunitas untuk membentuk lingkungan inklusif bagi masyarakat marjinal, khususnya kaum difabel di Desa Sidomulyo sehingga akan berguna sebagai
3
referensi pemberdayaan masyarakat yang bersifat bottom-up, sesuai dengan kajian dari jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. C. Latar Belakang Masalah Tidak ada manusia yang ingin berada dalam kondisi fisik yang tidak sempurna. Masih banyak masyarakat yang menganggap ketidaksempurnaan ini sebagai sebuah kelemahan sehingga menjadi penghalang golongan tertentu untuk maju. Padahal, tidak semua ketidaksempurnaan adalah simbol kelemahan seseorang. Kaum penyandang cacat merupakan salah satu contoh golongan yang sering menerima diskriminasi, baik sosial maupun dalam bidang lain. Untuk mereduksi hal ini, maka sebutan ’penyandang cacat’ pun diganti menjadi difabel atau dalam frasa bahasa inggris disebut difable. Kata ini berasal dari tiga unsur, yaitu different (perbedaan), ability (kemampuan), dan people (orang). Hal ini berguna untuk mengurangi stigma masyarakat yang menganggap bahwa kaum penyandang cacat adalah sebuah penyakit dan tidak mampu berbuat apa-apa. Bila perbedaan tersebut adalah tentang kemampuan mereka, maka diharapkan kaum penyandang cacat dapat memiliki posisi yang setara di tengah masyarakat, karena setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Misalnya, sebuah perkataan dari Nurul Saadah, salah satu aktivis SAPDA yang dikutip dalam majalah
PLEDOI
Pusham
UII
mengatakan,
”Meskipun
saya
berjalan
menggunakan tongkat, saya tidak berbeda dengan orang lain, hanya cara berjalan kami saja yang berbeda, mereka tanpa tongkat, sementara saya menggunakan tongkat, tapi pada hakikatnya kita sama-sama berjalan.” Oleh karena itu, para penyandang cacat seyogyanya sama dengan manusia normal pada umumnya,
4
hanya kemampuan yang mereka miliki untuk hidup di tengah masyarakat sajalah yang berbeda. Namun, tampaknya pola pemikiran ini masih belum banyak tertanam di pikiran masyarakat umum. Penggunaan kata difabel hanya berujung pada eufimisme kata cacat belaka. Pada realitasnya, masih banyak kaum difabel selalu dianggap sebagai orang lemah yang tidak dapat disetarakan dengan masyarakat normal pada umumnya. Stigma seperti inilah yang memicu diskriminasi pada masyarakat difabel. Diskriminasi terhadap akses publik hingga anggapan bahwa kaum difabel adalah kaum lemah dari masyarakat masih menjadi kultur kuat di beberapa golongan masyarakat. Padahal jumlah difabel tidak dapat diremehkan, berdasarkan data dari People with Disabilities (PWD) terdapat sekitar 1 miliar orang difabel di seluruh dunia, atau sekitar 15% populasi dunia. Berdasarkan data dari Kemenkes tahun 2010, jumlah populasi difabel di Indonesia mencapai 3,11% dari total populasi keseluruhan atau sekitar 6,7 juta jiwa. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak orang di luar sana yang menerima diskriminasi, baik langsung maupun tidak langsung. Padahal, menjadi difabel tentu bukan pilihan yang mereka inginkan. Ada beberapa orang yang sudah menjadi difabel sejak mereka lahir. Namun, tidak jarang pula orang yang menjadi difabel karena kecelakaan. Alasan kedua inilah yang umumnya lebih berat untuk diterima dan tidak jarang pula mereka memiliki konflik batin yang begitu mendalam untuk menerima bahwa diri mereka kini telah menjadi difabel. Oleh karena itu, akan sangat ironis bila kondisi mentalitas yang rentan ini tidak memiliki sistem pendukung yang mampu membuat mereka percaya diri untuk kembali ke tengah
5
masyarakat. Pie chart di bawah akan menggambarkan macam penyebab difabilitas seseorang untuk wilayah Indonesia secara keseluruhan: Gambar 1.1 Berbagai Penyebab Difabel
Sumber: Country Profile on Disability Republic of Indonesia Bagan tersebut menggambarkan bahwa kebanyakan orang sudah menjadi difabel sejak mereka lahir, yaitu sebesar 35.32% dari total populasi difabel di seluruh Indonesia, atau sekitar 2.366.440 jiwa. Sementara jumlah yang lebih besar ditunjukkan oleh difabilitas yang disebabkan penyakit, kecelakaan, serta bencana alam. Kondisi seperti inilah yang cukup menggoncangkan jiwa korban saat awal menjadi orang difabel karena mereka lahir dan telah biasa memiliki fisik yang sempurna, namun hanya karena sepersekian menit hidup mereka menjadi berubah secara keseluruhan. Sayangnya tidak banyak orang dengan fisik sempurna mengerti saat-saat dimana mereka butuh untuk didukung, baik moral maupun fisik. Hal
ini
sering
menempatkan
mereka
pada
situasi
yang
tidak
menguntungkan, dimana mereka dituntut untuk mampu mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya, namun sangat sedikit lapangan pekerjaan yang menerima keterbatasan fisik dan pendidikan yang mereka miliki. Oleh karena itu, satu6
satunya pilihan pekerjaan yang mereka miliki adalah bekerja di sektor informal, seperti kerajinan tangan yang pendapatannya pun tidak menjanjikan. Mengemis untuk meminta belas kasihan dari orang-orang pun juga menjadi pilihan terakhir mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Padahal, perlindungan terhadap hak-hak dasar kaum difabel sesungguhnya telah diatur pemerintah dalam UU Nomor 4 tahun 1997, termasuk aksesibilitas dalam pelayanan. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa kaum difabel berhak memperoleh: 1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; 2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; 3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; 4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; 6. Hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi difabel anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk melindungi kaum difabel, baik dalam interaksinya terhadap masyarakat maupun perlindungan secara fisik. Namun, pada implementasinya, tidak semua kaum difabel merasakan bahwa hak-hak mereka telah dilindungi karena pembentukan lingkungan inklusif pun membutuhkan proses yang panjang dan 7
tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan stakeholder yang aktif berperan dalam membentuk lingkungan inklusif bagi kaum difabel masih dalam lingkaran pemerintah dan para kaum difabel sendiri, sementara untuk masyarakat umum masih belum terlalu dilibatkan agar mereka juga menyadari pentingnya membentuk kondisi tersebut. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2011 terdapat 35.264 orang difabel1 dan tidak semuanya memiliki pendapatan yang menjanjikan. Untuk mengatasi hal ini, memang telah ditemui berbagai macam pelatihan yang menarget kaum difabel agar mereka lebih mandiri, baik dari instansi pemerintah maupun swasta seperti yang dilakukan Dinas Sosial dan Yakkum Foundation. Misalnya, pemberian pelatihan menjahit, memasak, atau pelatihan komputer pada kaum difabel. Harapannya, mereka dapat menghasilkan pendapatan lebih dari pelatihan soft skills yang mereka terima tersebut. Namun, pelatihan ini berakhir sia-sia karena untuk dapat mempraktikan skill mereka tersebut, hanya bila mereka berada dalam dua kondisi. Kondisi pertama, ketika mereka memiliki modal untuk memulai usaha yang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Sayangnya kaum difabel yang memiliki pendidikan rendah, umumnya tidak memiliki dana sebesar itu. Kondisi kedua adalah dengan bekerja pada unit usaha yang berkaitan dengan kemampuan mereka. Namun, hal ini agaknya masih sulit tercapai karena belum banyak pengusaha yang percaya akan kemampuan kaum difabel dalam menjalankan usahanya. Implikasinya, pelatihan ini berakhir sia-sia dan kaum
1
Data Dinas Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta dalam Sugi Rahayu dan Utami Dewi
8
difabel tetap tidak mendapat tempat untuk menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat. Dalam menghadapi kerasnya dunia dan konflik batin yang mereka alami, banyak cara yang kaum difabel gunakan untuk mendapat sistem yang mendukung mereka. Misalnya, membentuk sebuah paguyuban difabel, meminta advokasi dari LSM terkait, seperti SIGAB (Sarana Integrasi dan Advokasi bagi Kaum Difabel), LSM Karinakas, dan berbagai macam LSM lainnya agar hak-hak minimum mereka masih dapat terlindungi dengan baik. Salah satu contoh yang dilakukan kaum difabel untuk memiliki sistem pendukung, baik dari segi materi maupun psikis dapat dilihat pada komunitas difabel yang terletak di Desa Sidomulyo, Bantul, Yogyakarta. Komunitas ini bernama ‘Bangkit Maju’ dan didirikan oleh inisiatif dari warga difabel bekerja sama dengan LSM Karinakas. Komunitas yang beranggotakan aktif kurang lebih 18 orang ini telah berdiri sejak tahun 2012. Sebelum komunitas ini ada, warga difabel di Desa Sidomulyo sebenarnya telah memiliki interaksi sosial yang baik. Namun, dalam beberapa hal terutama pengambilan keputusan, warga difabel belum dianggap sebagai stakeholder yang signifikan. Kondisi lain sebelum komunitas ini terbentuk adalah kurangnya informasi bantuan maupun pemberdayaan yang diterima warga difabel di Desa Sidomulyo. Oleh karena itu, tidak jarang ditemui kejadian dimana warga umum mendapat bantuan dari pemerintah, namun untuk warga difabel tidak menerimanya. Diskriminasi lain juga terjadi pada bidang infrastruktur di kantor kelurahan Desa Sidomulyo. Sebelum Komunitas Bangkit Maju dan forum difabel Desa Sidomulyo ada, infrastruktur kelurahan masih dalam bias normal, namun
9
setelah komunitas dan forum difabel berdiri, pemerintah membangun infrastruktur yang ada agar lebih ramah difabel. Kepedulian pemerintah tidak terlepas dari gempa bumi yang pernah melanda Desa Sidomulyo. Pada tahun 2006, DI Yogyakarta dilanda gempa bumi yang cukup hebat. Getaran gempa bumi tersebut sangat terasa di daerah Bantul, termasuk kawasan Desa Sidomulyo. Bencana alam inilah yang menyebabkan beberapa warga di desa tersebut terpaksa menerima takdir mereka untuk menjadi kaum difabel. Penyebab lain juga dikarenakan oleh malpraktik dan kecelakaan kerja. Tentunya, guncangan mental yang mereka rasakan saat pertama kali menyadari bahwa takdir mereka akan berubah seutuhnya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihadapi. Kesamaan nasib menjadi kaum difabel dan dukungan dari pihak luar seperti LSM Karinakas yang membuat mereka memiliki modal sosial yang kuat untuk membentuk sebuah komunitas difabel. Berdasarkan pada hal inilah, sejak dua tahun didirikan, komunitas difabel Bangkit Maju di Desa Sidomulyo mampu menarik perhatian masyarakat dan pemerintah untuk mengenal difabel lebih dalam. Salah satu contohnya, komunitas difabel Bangkit Maju yang tergabung dalam forum difabel Desa Sidomulyo pernah diliput oleh salah satu media lokal terkait aktivitas mereka. Aktivitas yang mereka lakukan pun berupa pemberdayaan yang berasal dari banyak pihak. Tidak hanya berbekal semangat kaum difabel saja, melainkan LSM Karinakas dan pemerintah juga memiliki perannya masing-masing. Pemberdayaan yang mereka lakukan berujung pada jargon ‘lingkungan inklusif bagi kaum difabel’. Peran Komunitas Bangkit Maju dalam membentuk lingkungan inklusif bagi difabel di Desa Sidomulyo inilah
10
yang peneliti kaji. Konteks lingkungan inklusif yang ingin mereka raih berawal dari independensi ekonomi yang warga difabel bisa raih. Selain itu, masyarakat inklusif dapat diraih bila terdapat kerjasama dari berbagai macam pihak, seperti komunitas difabel Bangkit Maju, LSM terkait, pemerintah, hingga warga masyarakat di desa tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini menjabarkan proses pembentukan lingkungan inklusif terhadap kaum difabel yang dilakukan oleh Komunitas Bangkit Maju di Desa Sidomulyo. Peneliti melihat peran dari Komunitas Bangkit Maju selaku stakeholder utama dalam membentuk lingkungan inklusif di wilayah tersebut. D. Rumusan Masalah Bagaimana peran komunitas difabel Bangkit Maju dalam membentuk lingkungan inklusif bagi kaum difabel di Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta? E. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui peran komunitas difabel Bangkit Maju sebagai salah satu media dalam membentuk lingkungan inklusif bagi kaum difabel di wilayah Desa Sidomulyo, Bantul, Yogyakarta.
2.
Untuk mengetahui proses mengorganisir diri kaum difabel dalam komunitas tersebut, sehingga diharapkan nantinya skema komunitas ini mampu menjadi percontohan dalam memberdayakan kaum marjinal lainnya.
11
F. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka berfungsi sebagai landasan teori dalam sebuah penelitian. Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar percobaan (trial and error)2. Hal ini diharapkan agar dalam menjawab rumusan permasalahan, peneliti memiliki kerangka dalam menerangkan dan menjawab masalah tersebut melalui kerangka teori. Sehingga, dalam keseluruhan proses penelitian dapat terarah dalam menjawab permasalahan. Penelitian ini berfokus pada peran komunitas difabel Bangkit Maju dalam membentuk lingkungan inklusif bagi kaum difabel di Desa Sidomulyo. Oleh karena itu, hal utama yang akan dilihat adalah proses terbentuknya masyarakat inklusif yang dilakukan oleh komunitas difabel Bangkit Maju di Desa Sidomulyo, Bantul, Yogyakarta. Untuk mendalami hal tersebut, dibutuhkan pemahaman mengenai konsep pemberdayaan, komunitas, masyarakat marjinal, serta teori mengenai proses pembentukan masyarakat inklusif itu sendiri. A. Konsep Pemberdayaan Untuk dapat mengerti peran Komunitas Bangkit Maju dalam membentuk lingkungan inklusif di Desa Sidomulyo, maka diperlukan pengertian terkait konsep pemberdayaan terlebih dahulu, sehingga dapat menjadi referensi penelitian untuk melihat model komunitas ini sebagai bentuk pemberdayaan yang baru bagi difabel. Pemberdayaan adalah sebuah proses yang membuat sebuah kelompok masyarakat lemah menjadi lebih terberdayakan. Konteks pemberdayaan yang baik adalah yang mampu membuat sebuah kelompok menjadi mandiri secara 2
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2012)
12
berkelanjutan, bukan hanya dibantu secara sesaat saja. Terdapat dua kecenderungan utama dalam proses pemberdayaan, antara lain kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya.
Kecenderungan
kedua
adalah
kecenderungan
sekunder,
yaitu
kecenderungan yang menekankan pada pemberian stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan hidupnya melalui proses dialog3. Komunitas difabel Bangkit Maju memiliki visi agar warga difabel di Desa Sidomulyo dapat makin terberdayakan dalam beberapa bidang, seperti hak mereka berpartisipasi dalam politik, hak ekonomi, kesehatan, dan lain sebagainya. Visi ini membuat mereka memiliki inisiatif untuk mandiri dalam tiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, Komunitas Bangkit Maju berdiri agar dapat menjadi stimulus bagi para warga difabel di Desa Sidomulyo untuk mengembangkan diri mereka serta memiliki posisi tawar di tengah masyarakat. Stimulus inilah yang nantinya akan lebih efektif bila didukung oleh beberapa stakeholder lain seperti pemerintah setempat dan lembaga swadaya masyarakat sehingga lingkungan ramah difabel di Desa Sidomulyo dapat terbentuk secara progresif. B. Definisi Komunitas Komunitas berasal dari bahasa Latin, communitas, yang berarti kesamaan. Secara umum, komunitas berarti kumpulan beberapa orang yang memiliki 3
Agus Purbathin Hadi, Konsep Pemberdayaan, Partisipasi, dan Kelembagaan dalam Pembangunan.
13
kesamaan tujuan dan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut secara bersamasama. Salah satu definisi komunitas dapat diambil dari salah satu ahli, Sumijatun, yang menyatakan bahwa komunitas adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai persamaan nilai, kepentingan (interest) yang merupakan kelompok khusus dengan batas geografi yang jelas, norma dan nilai yang telah melembaga. Hal ini berarti bahwa komunitas merupakan sekumpulan individu yang memiliki kesamaan tujuan dan dilandasi oleh kesamaan nilai yang telah tertanam dalam tiap individu. Definisi ini juga teraplikasi dalam komunitas difabel Desa Sidomulyo, anggota mereka terkumpul dalam batas-batas geografis yang jelas, yaitu seluruh wilayah yang tergabung dalam lingkup Desa Sidomulyo. Kesamaan nasib, visi, dan misi pun juga menjadi landasan mereka membentuk komunitas ini, yaitu untuk mendapat dukungan moral dan fisik sehingga nantinya mereka mampu menunjukkan bahwa kaum difabel juga mampu berdaya layaknya manusia pada umumnya. C. Definisi Masyarakat Marjinal Masyarakat marjinal sering diidentikan dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan. Artinya, sekelompok masyarakat dikatakan marjinal bila mereka dianggap berbeda bila dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Konteks berbeda disini tidak hanya dalam ranah paradigma individu yang memberikan stigma lemah pada kaum marjinal, melainkan juga perbedaan perlakuan yang mereka terima di kehidupan sehari-hari. Misalnya, keterbatasan dalam mengakses fasilitas publik dan keterbatasan dalam mendapatkan pekerjaan, hanya karena ‘keunikan’ yang mereka miliki. Konteks marjinalisasi merupakan 14
sebuah
proses
sosial
yang
membuat
sekelompok
masyarakat
menjadi
terpinggirkan, baik terjadi secara alamiah maupun dikonstruksikan oleh kondisi sosialnya, sehingga masyarakat memiliki kedudukan yang terpinggirkan. 4 Dalam hal ini, masyarakat marjinal bisa berasal dari kreasi masyarakat sekitarnya. Kreasi sosial inilah yang menjadi jurang pemisah antara masyarakat yang dianggap ‘normal’ karena kondisi fisik sempurna yang dimiliki dengan masyarakat difabel. Definisi masyarakat marjinal ini tampaknya juga dialami oleh kaum difabel. Keterbatasan fisik yang mereka miliki seolah menjadi batasan yang membedakan mereka dengan masyarakat lainnya. Padahal, bisa saja dibalik keterbatasan fisik ini, kaum difabel memiliki keunikan yang orang lain tidak miliki. Komunitas difabel Desa Sidomulyo diharapkan dapat menjadi salah satu cara bagi sekelompok kaum difabel di Desa Sidomulyo untuk membentuk masyarakat inklusif di daerahnya, sehingga akan menghapus marjinalisasi yang selama ini masyarakat sering lakukan kepada orang seperti mereka. D. Proses Pembentukan Masyarakat Inklusif Di negara multikultural seperti Indonesia, penerimaan terhadap perbedaan sudah seharusnya menjadi karakter dasar tiap individu. Sejak awal berdiri, bangsa ini telah memiliki berbagai suku dan budaya dengan berbagai karakter yang berbeda-beda, sehingga penerimaan atas tiap individu sangatlah diperlukan agar dapat menghindari konflik yang tidak perlu. Namun, kenyataan tidak berjalan semudah itu, pembentukan masyarakat inklusif agaknya masih sulit, terutama bagi
4
Mullaly 2007, dalam G. Sathiyan dan P. Ilango
15
kaum marjinal di negeri ini. Kaum difabel dengan perbedaan fisiknya masih sering kali mendapat perbedaan perlakuan, baik dalam mobilitas, mengakses bantuan, dan semacamnya. Namun, sepercik harapan tampak pada salah satu wilayah di Bantul, Yogyakarta. Tepatnya pada Desa Sidomulyo telah terdapat sebuah komunitas difabel yang menjadi tempat perkumpulan bagi seluruh warga difabel di wilayah tersebut. Peneliti akan mengamati proses pembentukan masyarakat inklusif di Desa Sidomulyo yang ditimbulkan oleh komunitas difabel tersebut. Untuk itu, maka harus diketahui terlebih dahulu definisi dari masyarakat inklusif. Salah satu kutipan mengenai masyarakat inklusif: “An inclusive society is a society that over-rides differences of race, gender, class, generation, and geography, and ensures inclusion, equality of opportunity as well ascapability of all members of the society to determine an agreed set of social institutions that govern social interaction”.5
Definisi mengenai masyarakat inklusif juga dapat dirujuk berdasarkan konferensi pembangunan sosial di Kopenhagen seperti berikut: “Society for all in which every individual, each with rights and responsibilities, has an active role to play”.6 Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat inklusif adalah masyarakat yang mampu menerima perbedaan ras, gender, kelas, generasi, dan lokasi geografis, sehingga tiap anggota masyarakat mampu mendapatkan kesempatan yang sama dan menciptakan interaksi sosial dengan setara. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa kesetaraan interaksi sosial tanpa melihat latar belakang seseorang maupun kelompok adalah inti dari masyarakat inklusif. Jadi, 5
Expert Group Meeting on Promoting Social Integration, Helsinki, July 2008 dalam UNDESA, Creating an Inclusive Society: Practical Strategies to Promote Social Integration, 2009 6
The World Summit for Social Development, Copenhagen, 1995.
16
masyarakat inklusif tidak hanya kesetaraan dalam mengakses hak-hak publik seperti hak politik maupun pendidikan, melainkan juga dalam praktik keseharian pun juga harus tidak ada perbedaan dalam berbagai bidang. Pembentukan masyarakat inklusif tentunya tidak mudah. Diperlukan tahapan dalam mencapai hal tersebut. Proses pembentukan masyarakat inklusif dapat dicapai dengan tahapan yang sifatnya hierarkis7. Kelima tahapan tersebut dapat digambarkan seperti ini: Gambar 1.2 Tahapan Lingkungan Inklusif
Sumber: UNDESA 2009
Tahapan pertama adalah visibility atau eksistensi dari suatu kelompok. Proses pembentukan lingkungan inklusif bagi kelompok marjinal yang pertama kali harus ada adalah pengakuan terhadap eksistensi dari sebuah kelompok marjinal tersebut. Hal ini penting sebagai langkah awal agar nantinya mampu menyuarakan aspirasi mereka. Jadi, melalui pengakuan eksistensi inilah nantinya akan
membuka
kemungkinan
bagi
kelompok
marjinal
untuk
dapat
7
Goran Therborn dalam UNDESA, Creating an Inclusive Society: Practical Strategies to Promote Social Integration, 2009
17
merepresentasikan kepentingan golongan mereka di tengah masyarakat di masa yang akan datang. Tahapan kedua adalah consideration atau pertimbangan. Setelah sebuah komunitas telah dianggap ‘ada’, maka proses berikutnya yang akan terjadi adalah adanya perhatian terhadap kepentingan dan kebutuhan dari suatu kelompok oleh pihak pembuat kebijakan. Pada umumnya, proses pembuatan kebijakan hanya mempertimbangkan kepentingan kaum mayoritas. Namun, pada tahap ini, pembuat kebijakan mulai mempertimbangkan hak kaum marjinal, dalam hal ini kaum difabel, sebagai stakeholder yang penting. Oleh karena itu, masyarakat inklusif akan makin terbentuk bila pemerintah sudah mulai memperhatikan mereka meskipun hanya sedikit. Tahapan ketiga adalah access to social interaction atau akses untuk melakukan interaksi sosial. Kaum difabel yang selama ini terpinggirkan harus mampu ikut serta dalam tiap aktivitas masyarakat dan jaringan sosial di dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk ekonomi, sosial, budaya, agama, serta politik. Saat mereka mulai terlibat dalam masyarakat artinya mereka sudah setingkat lebih tinggi dari tahapan sebelumnya, yakni setidaknya mereka mulai dianggap stakeholder yang cukup penting. Tahapan keempat, rights atau hak. Setelah mampu terlibat dalam aktivitas masyarakat, kaum difabel juga harus memiliki hak untuk beraksi dan mengutarakan pendapat, hak untuk berbeda tanpa ada stigma buruk, hak-hak legal, hak untuk mengakses pelayanan sosial, seperti perumahan, pendidikan, transportasi, dan kesehatan dengan setara tanpa ada perbedaan perlakuan hanya
18
karena fisik yang mereka miliki. Mereka juga berhak untuk mendapat kesetaraan kesempatan dalam bekerja, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, budaya, serta politik. Hak untuk menyatakan pendapat akan berkurang bila ada salah satu pihak yang didiskriminasi. Tahapan kelima, Resources to fully participate in society atau sumber daya untuk berpartisipasi penuh di dalam masyarakat. Hak merupakan elemen penting agar dapat berpartisipasi secara aktif di dalam masyarakat. Namun, hak ini akan terasa sia-sia bila suatu kaum tidak memiliki sumber daya yang cukup agar mampu mandiri di masa mendatang. Oleh karena itu, sumber daya agar dapat berpartisipasi dalam seluruh aspek masyarakat adalah hal terakhir yang menentukan terbentuknya masyarakat inklusif yang berkelanjutan. Sumber daya yang dimaksud bukan hanya dari segi finansial, namun juga ketidak cukupan waktu atau tenaga oleh suatu golongan, akses jarak yang jauh, kurangnya pengakuan, kurangnya penghargaan, dan hambatan fisik. Sebuah komunitas yang telah terbentuk dengan baik, maka mereka akan mampu memaksimalkan tujuannya sesuai kondisi sumber daya yang mereka miliki. Semua elemen ini harus dipertimbangkan agar terbentuk masyarakat inklusif yang menghargai perbedaan. Salah satu contoh untuk melihat tahap inklusifitas dalam sebuah kelompok masyarakat, dapat dilandaskan pada tersedianya infrastruktur yang ramah difabel. Hal ini penting karena dalam lingkungan inklusif yang ideal bukan hanya terbentuk dalam interaksi sosialnya belaka, melainkan terdapat hasil riil dari interaksi sosial tersebut, seperti tersedianya fasilitas fisik yang ramah difabel.
19
Kualitas infrastruktur yang baik mendukung kualitas hidup dari orang yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan pada Comission for Architecture and the Built Environment (CABE) tahun 2008, terdapat beberapa contoh dari fasilitas yang ramah difabel, berupa: 1. Jalanan yang lebar beserta penerangan yang cukup. Kondisi ini akan memudahkan banyak golongan kaum difabel. 2. Tersedia ruang publik yang berfungsi sebagai tempat interaksi antara warga difabel maupun non difabel. 3. Pada gedung publik, terdapat fasilitas menunjang mobilitas kaum difabel, seperti jalanan landai pengganti tangga serta toilet khusus bagi kaum difabel. Terdapat hal yang menarik dari contoh di atas. Pada poin nomor 2 disebutkan tentang ‘ruang publik’. Untuk membentuk lingkungan inklusif yang memiliki fasilitas fisik ramah difabel, tentu tidak terjadi secara instan. Dibutuhkan sebuah media yang dapat memfasilitasi bertemunya kepentingan antara kaum difabel dengan kaum non difabel. Bila disesuaikan dengan pernyataan di atas, maka media tersebut dapat berupa ruang publik, dimana masyarakat memiliki tempat untuk bertemunya berbagai kepentingan publik. Artinya, ruang publik mempunyai ‘tugas’ untuk menampung dan memberi tempat pada semua kepentingan publik8. Kondisi ini memungkinkan adanya pertentangan dan konflik dalam sebuah ruang publik. Ruang publik pada tingkat tertentu dapat mengkristal dan terbentuk aspek-aspek kebudayaan yang dimiliki bersama (shared) sebagai
8
Garin Nugroho, Republik Tanpa Ruang Publik (Yogyakarta: IRE Pess, 2005), hlm. 9
20
budaya bersama dari berbagai perbedaan yang ada.9 Oleh karena itu, ruang publik mampu menciptakan media untuk berinteraksi, diskusi, berdebat dengan perlakuan yang setara dalam masyarakat. Pendapat Menurut Jurgen Habermas dalam bukunya, The Theory of Communicative Action, ruang publik yang ideal dapat terbentuk dalam sebuah komunikasi yang bertumpu pada kepercayaan (trust) dan kebenaran (truth) antar pihak, sehingga dapat mencapai tujuan bersama10. Dalam sebuah masyarakat inklusif, tujuan bersama yang ingin dicapai dapat berupa kesetaraan antar anggota masyarakat. Kesetaraan dalam bentuk interaksi sosial, pekerjaan, akses publik, dan berbagai hal yang terkait dengan hak dasar seorang individu. Semua hal ini merupakan sebuah aspirasi yang dapat disampaikan melalui ruang publik yang sehat, sehingga menumbuhkan kepedulian antar anggota masyarakat. Kepedulian dalam masyarakat merupakan hal yang penting agar dapat mengurangi diskriminasi sosial yang mungkin terjadi dalam bentuk sekecil apapun. Dapat dikatakan bila dalam suatu masyarakat masih ditemui adanya diskriminasi sosial dalam bentuk sekecil apapun yang berakibat pada perbedaan perlakuan pada beberapa golongan masyarakat yang dianggap ‘unik’, maka kondisi ini belumlah dapat disebut sebagai lingkungan yang inklusif. Proses pembentukan
masyarakat
inklusif
membutuhkan
keterlibatan
banyak
stakeholders11. Mulai dari individu, komunitas, dari lingkup lokal hingga nasional
9
Donald Horne, The Public Culture: The Triumph of Industrialism (London: Pluto Press, 1986)
10
Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1 (Beacon Press, 1984). UNDESA, Creating an Inclusive Society: Practical Strategies to Promote Social Integration, 2009. 11
21
harus saling berintegrasi untuk menciptakan lingkungan inklusif. Jadi, lingkungan inklusif tidak akan tercipta bila hanya satu atau dua orang saja yang peduli. Bila semua aktor saling terlibat untuk mencapai tujuan ini, maka akan ada kondisi yang saling menjaga dan menghormati, bukan hanya dalam interaksi sosialnya, namun juga tumbuhnya rasa menghormati dari dalam diri individu kepada kaum marjinal tersebut. Dalam masyarakat inklusif, hak dan kewajiban tiap orang pun diperhatikan dengan sebaik-baiknya untuk menjamin kesetaraan tiap orang. Dibutuhkan integrasi sosial yang terus berkembang sehingga tiap kelompok masyarakat memiliki kesempatan yang setara dalam mengakses hak-hak mereka selaku warga negara. Kondisi ini sesuai dengan kutipan pernyataan mengenai kondisi inklusif berikut: “Inclusion is community. No one becomes included by receiving handouts,even if these handouts are given by public bodies and with public resources.No one becomes included by being treated by a program in which they areno more than a number or a statistic. Inclusion is connection to the networkof community development, it is to become more than a speck of dust, tohave a forename and surname, with one’s own distinctive features, skillsand abilities, able to receive and give stimulus, to imitate and be imitated, toparticipate in a process of changing one’s own life and collective life”.12 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa lingkungan inklusif membutuhkan relasi yang kuat, terutama antara individu dengan masyarakat. Sebuah relasi yang memposisikan anggota masyarakat menjadi seseorang yang dipertimbangkan, yang membuat mereka memiliki kesempatan untuk berkembang. Perkembangan akibat kuatnya relasi sosial inilah yang secara tidak langsung menjadi ciri-ciri sebuah masyarakat yang inklusif, yaitu mampu memberdayakan masyarakat, 12
Busatto (2007: 4) dalam UNDESA, Creating an Inclusive Society: Practical Strategies to Promote Social Integration, 2009
22
terutama
golongan
yang
masih
termarjinalkan.
Konteks
pemberdayaan
masyarakat yang baik adalah bila para anggotanya dapat memperoleh kekuatan/power. Hal tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu posisi tawar mereka di tengah masyarakat, serta kekuasaan yang mereka miliki ketika berinteraksi di ruang publik. Pemberdayaan masyarakat merupakan pembangunan ekonomi yang sekaligus memberikan kekuatan sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable”13. Kalimat ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan konsep yang menjadikan masyarakat sebagai target utama, sehingga partisipasi aktif merekalah yang nantinya akan memberdayakan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, lingkungan inklusif tidak terlepas dari tersedianya ruang publik yang mampu memfasilitasi sebuah komunitas marjinal untuk memiliki akses penuh, baik dalam beraspirasi hingga memiliki akses agar terberdayakan untuk menjadi mandiri. Bila mereka mampu mencapai kondisi ini, maka diharapkan seluruh komponen masyarakat dapat saling berintegrasi untuk menjalankan peran dan fungsi sosialnya masing-masing tanpa adanya stigma buruk kepada beberapa golongan tertentu. Meskipun lingkungan inklusif tercipta melalui integrasi sosial yang dapat difasilitasi dalam sebuah ruang publik, namun tetap dibutuhkan aktor-aktor utama dalam menciptakan kondisi tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan inisiator dari golongan tertentu yang berusaha menyadarkan dan merubah struktur masyarakat agar tercipta kondisi masyarakat inklusif. Analogi yang sesuai dengan pernyataan
13
Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, Ginanjar, 1996.
23
ini dapat dilihat pada kesetaraan antar umat beragama antara pemeluk minoritas dengan mayoritas. Aktor yang paling berkepentingan dalam kasus ini adalah kaum agama minoritas, agar mereka mendapatkan hak yang sama dalam menjalani agamanya tanpa ancaman dari pihak manapun. Mereka berusaha melakukan suatu hal yang dapat berguna untuk mencapai kondisi tersebut. Dari inisiatif mereka inilah baru melibatkan aktor-aktor lain seperti pemerintah dan masyarakat agar tercipta lingkungan yang tidak diskriminatif, khususnya kepada umat dengan agama minoritas. Hal yang sama berlaku pula pada penelitian ini. Bila dalam pernyataan Goran Therborn di atas membahas tahapan proses dalam pembentukan masyarakat inklusif bagi sebuah kelompok marjinal, maka bila disesuaikan dalam konteks ini, komunitas difabel dianggap sebagai pemicu dalam membentuk lingkungan inklusif bagi kaum difabel di Desa Sidomulyo. Peran mereka selaku komunitas diharapkan mampu memicu stakeholders yang lain agar lingkungan inklusif dapat terbentuk. Stakeholders tersebut dapat berupa pemerintah dan masyarakat non difabel. Tiap komunitas tentunya dapat memiliki pola yang berbeda dalam membentuk lingkungan inklusif di wilayahnya, tergantung pada kondisi sosial masyarakat. Namun, agar peneliti memiliki landasan dalam melihat pola komunitas dalam membentuk lingkungan inklusif, maka peneliti akan berdasar pada Disability Services Community Building Program, Victorian Government Department of Human Services tahun 2010. Pola yang dikemukakan dalam program ini dapat dilihat dalam bagan berikut:
24
Gambar 1.3 Community Building Cycle
Sumber: Victorian Government Department of Human Services: Melbourne, Australia 2010 Sebuah
komunitas
memiliki
fase
yang
menggambarkan
dinamika
perkembangannya hingga mampu mencapai tujuannya. Tahapan di atas dapat dijelaskan seperti berikut: I. Mapping Langkah awal sebuah komunitas sebelum mencapai tujuannya adalah melakukan mapping atau pemetaan. Mapping berguna agar sebuah komunitas mampu mengerti karakteristik yang mereka miliki. Karakteristik disini meliputi pengetahuan akan asset maupun sumber daya yang ada. Hal ini berguna agar komunitas mengetahui besarnya kesempatan untuk mencapai tujuan, dalam hal ini lingkungan inklusif, serta jenis partisipasi apa yang bisa diberikan berdasar asset yang mereka miliki. Mapping juga berguna untuk mengetahui ragam pengalaman dan latar belakang dari anggota, sehingga dapat menentukan strategi yang akan mereka lakukan untuk meningkatkan partisipasi mereka di tengah masyarakat demi mencapai lingkungan yang inklusif.
25
II. Planning Setelah pemetaan sosial dilakukan, sebuah komunitas sebaiknya membuat perencanaan tentang apa yang akan mereka lakukan berdasarkan hasil pemetaan tersebut. Planning atau perencanaan merupakan proses komunitas untuk membuat dan memprioritaskan program serta tujuan mereka. Proses planning dilakukan sebuah komunitas ketika mereka telah mendapat pengetahuan tentang sumber daya yang dimiliki melalui proses mapping. Dalam proses ini, komunitas akan membuat tujuan mereka lebih spesifik berdasarkan prioritas, sehingga akan dimungkinkan bila dalam proses perencanaan, mereka memiliki rencana tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
III. Strategies Tahapan ini bisa dikatakan sebagai fase implementasi dari rencana yang telah dibuat sebelumnya. Tahap strategies menyesuaikan antara pemetaan sosial yang dilakukan, potensi anggota yang dimiliki, rencana yang telah dibuat, serta tujuan yang nantinya ingin mereka capai. Artinya, pada tahap ini, sebuah komunitas akan melaksanakan perencanaan mereka berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Kapasitas tersebut terdiri dari tiga hal pokok yang saling berkorelasi satu sama lain, diantaranya kapasitas individu, komunitas, serta kapasitas layanan. Hubungan ketiga kapasitas tersebut dapat digambarkan melalui bagan berikut:
26
Gambar 1.4 Unsur Kapasitas Komunitas
Sumber: Victorian Government Department of Human Services: Melbourne, Australia 2010
Pada bagan di atas menjelaskan bahwa dalam tahap strategies, sebuah komunitas harus mampu mengembangkan tiga kapasitas dasar yang mereka miliki agar dapat mencapai tujuan. Kapasitas pertama yang perlu dikembangkan adalah kapasitas komunitas. Proses ini menempatkan sebuah komunitas untuk memperkuat kapasitas mereka selaku organisasi. Fungsinya agar mereka memiliki akses yang luas di tengah masyarakat. Setelah kapasitas komunitas terbentuk, hal yang tidak boleh dilupakan adalah pengembangan kapasitas individu. Hal ini penting karena bila tiap anggota memiliki kapasitas yang cukup, maka nantinya mereka akan lebih mandiri. Dari karakter inilah, maka mereka akan mampu memberikan kontribusi lebih kepada komunitas dalam mencapai tujuannya, sekaligus mampu menolong diri mereka sendiri untuk memiliki posisi tawar yang lebih tinggi di tengah masyarakat. Kapasitas terakhir yang perlu diperhatikan adalah kapasitas pelayanan. Kapasitas ini lebih menekankan pada strategi untuk meningkatkan pelayanan pada kaum difabel. Artinya, pada tahap ini sebuah komunitas akan menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang terkait dalam
27
membentuk lingkungan inklusif. Utamanya pemerintah selaku pembuat kebijakan dan berbagai elemen masyarakat yang memiliki perhatian khusus pada kaum difabel akan menjadi target mereka untuk menjalin relasi yang lebih baik. Diharapkan dengan pembentukan jaringan ini, layanan terhadap kaum difabel khususnya di ruang publik dapat menjadi lebih baik. Perlu dicatat bahwa ketiga kapasitas di atas saling terintegrasi, sehingga dapat dilakukan bersama-sama tanpa mendahului satu sama lain.
IV. Reflection Proses refleksi dapat digambarkan sebagai evaluasi sebuah komunitas atas tindakan yang telah mereka lakukan dalam mencapai tujuannya. Hal-hal yang direfleksikan dapat berupa kesesuaian antara tujuan dengan realitas yang komunitas tersebut telah capai. Transparansi dengan melibatkan masyarakat atas program-program mereka juga dapat dikategorikan sebagai proses refleksi. Hal ini dikarenakan salah satu tolak ukur terbentuknya lingkungan inklusif adalah penerimaan masyarakat terhadap sebuah kelompok marjinal. Bila aksi yang telah dilakukan mampu meningkatkan penerimaan masyarakat, maka dapat dikatakan bila proses pemetaan hingga implementasi yang dilakukan kelompok tersebut berhasil. Namun, bila tidak sesuai maka dapat dilihat celah-celah atau perbedaan pola yang mungkin mereka lakukan dalam mencapai tujuan mereka, sehingga nantinya dapat menjadi bahan evaluasi untuk melakukan program-program yang lebih baik lagi dalam membentuk lingkungan inklusif di wilayahnya
28
Jadi, berdasar pada penjelasan teori di atas, dapat dilihat bahwa sebuah komunitas memiliki pola dalam mengorganisir diri mereka demi mencapai tujuannya. Dalam penelitian ini, peneliti melihat proses pembentukan lingkungan inklusif yang dilakukan oleh komunitas difabel di Desa Sidomulyo. Oleh karena itu, lingkar pembentukan komunitas ini dijadikan landasan teori peneliti dalam melihat usaha komunitas difabel di Desa Sidomulyo dalam mengorganisir diri demi membentuk lingkungan inklusif di wilayahnya. Dari lingkar pembentukan komunitas ini, peneliti juga melihat cara mereka dalam mengartikulasikan tujuan mereka dalam membentuk lingkungan inklusif sesuai pada teori yang dikemukakan oleh Goran Therborn mengenai tahapan dalam pembentukan masyarakat inklusif. Untuk melihat kesadaran nyata masyarakat dalam membentuk lingkungan inklusif bagi kaum difabel, peneliti melihat infrastruktur yang tersedia di Desa Sidomulyo. Peneliti membuka kemungkinan atas berbagai situasi yang terjadi dalam pembentukan lingkungan inklusif di Desa Sidomulyo, sehingga tidak hanya berusaha menyesuaikan antara fakta di lapangan dengan teori, namun juga mendeskripsikan kondisi riil terkait proses pembentukan lingkungan inklusif di Desa Sidomulyo. Fleksibilitas inilah yang peneliti lakukan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti hanya membatasi permasalahan penelitian namun tidak akan membatasi berbagai kemungkinan yang terjadi atas permasalahan penelitian yang telah dibatasi.
29