BAB I PENDAHULUAN A.
Judul
Konstruksi D ifferent Abled People (D ifabel) Studi Terkait Pandangan M ahasiswa Difabel yang tergabung di dalam Unit Kegiatan M ahasiswa “Peduli Difabel” terhadap K onstruksi Difabelitas di Universitas Gadjah M ada, Yogyakarta.
B.
Alasan Pemilihan Judul
Kata difabel tidak muncul begitu saja, difabel atau kata yang memiliki definisi “different abled people “ kata tersebut muncul melalui proses diskusi dan juga pergulatan pemikiran yang cukup panjang. D i Y ogyakarta istilah tersebut pada mulanya dimunculkan oleh almarhum M ansour Fakih. M ansour Fakih adalah orang pertama yang mengusulkan kata difabel tersebut dalam diskusinya bersama Setia Adi Purwanta seorang aktivis gerakan difabel dari Yogyakarta pada tahun 1997 an. Kata cacat yang selama ini umum digunakan tidak layak dilekatkan kepada manusia, karena kata tersebut seringkali juga digunakan pada benda yang rusak.
M elalui kata difabel ini M ansour Fakih mencoba untuk meletakkan para penyandang cacat pada posisinya sebagai manusia. Sehingga kata difabel diyakininya lebih humanis dari pada kata penyandang cacat. Sejak diperkenalkan pada tahun 1998, kini kata difabel telah banyak digunakan oleh masyarakat dan juga media massa baik koran maupun televisi. Beberapa organisasi penyandang cacat juga telah
1
menggunakan kata difabel sebagai pengganti kata cacat dalam setiap tulisan maupun diskusi mereka. Bahkan Koran nasional seperti Harian Kompas telah sering menggunakan kata difabel dalam setiap tulisannya. Hal ini menunjukkan bahwa kata difabel acceptable atau dapat diterima oleh publik.
Penggunaan kata difabel harus dilihat dari proses bagaimana kata itu diciptakan atau dimunculkan. Kata difabel muncul sebagai bentuk protes atau lebih tepatnya bentuk perlawanan idiologis dari kelompok yang selama ini menyandang istilah tersebut. Kelompok difabel sebagai kelompok minoritas selalu mendapatkan diskriminasi selama ini dan tidak memiliki ruang untuk menentukan segala hal yang berkaitan dengan dirinya. M asyarakat non-difabel dan pemerintah selalu mengambil peran dominan terhadap kehidupan kaum difabel. Dominasi tersebut termasuk didalamnya adalah penggunaan kata penyandang ca cat yang sesungguhnya bukan hanya tidak tepat dilekatkan pada mereka yang dipandang memiliki kekurangan atau kelainan fisik, namun juga berdampak psikologis terhadap mereka yang menyandang istilah tersebut.
Perdebatan penggunaan kata difabel dan disable r upanya tidak hanya terjadi di Indonesia yang berkutat dengan masalah terminologi. Demi mendapatkan istilah yang netral dan tidak menyimpan potensi diskriminasi dan stigmatisasi, sebuah pendekatan dalam memahami disabilitas adalah definisi yang diberikan oleh International
2
Classification of Functioning for Disability and Health , yang kemudian disepakati oleh World Health Assem bly dan digunakan oleh W HO, yaitu: “Disability serves as an umbrella term for impairments, activity limitations or participation restrictions” (Disabilitas adalah “payung” terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi) (http//who.int/World Health Oranization.htm l)
Cacat, menurut UU no 4 tahun 1997, “Setiap orang yang mem punyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental.” Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mendorong ratif ikasi U U Penyandang Cacat menjadi UU Konvensi Penyandang Disabilitas ( The Convention on the Rights of Persons with Disabilities) pada 18 Oktober 2011. Hal ini dalam upaya untuk memberikan kesetaraan bagi para penyandang disabilitas.
Penggunaan istilah difabel telah mengundang pro dan kontra sejak istilah tersebut digunakan sebagai pengganti kata penyandang cacat yang dipandang mengandung konotasi negatif. Kata difabel yang merupakan akronim dari different abilities people (yang kemudian di Indonesia-kan menjadi difabel) diartikan orang yang memiliki perbedaan kemampuan. M emang kata difabel tidak akan ditemui dalam Besar Bahasa Indonesia maupun dalam kamus bahasa Inggris apapun.
3
Penyebutan kata cacat seringkali dirasa kurang nyaman baik bagi subyek maupun obyek dari penyebutan kata cacat. Tidak semua orang nyaman dengan penyebutan kata cacat. Sering seseorang mengucapkan kata „maaf‟ di depan kata cacat; “maaf, bagi mereka yang cacat”. Kata „maaf‟ di depan kata cacat justru memperkuat kesan negative terhadap kata cacat itu sendiri. Tidak sedikit juga yang merasa bahawa penyebutan kata penyandang cacat memiliki rasa tidak nyaman ketika disebut sebagai penyandang cacat. Dalam hati kecil mereka ada rasa penolakan, namun kemudian mereka menerimanya karena memang tid ak ada pilihan kata lain yang dapat menggambarkan kondisinya.
Selanjutnya kata difabel dihadirkan sebagai kata alternatif untuk menyebutkan orang-orang yang dipandang memiliki kelainan dan kekurangan fisik. M eski kata difabel sudah banyak digunakan oleh be berapa golongan, namun kata tersebut belum diakui secara resmi oleh pemerintah. Sehingga dalam penulisan resmi masih menggunakan kata penyandang cacat. Pada tanggal 31 M aret 2010, pemerintah melalui kementrian sosial telah menyelenggarakan lokakarya untuk menyepakati penggunaan istilah penyandang disabilitas sebagai pengganti kata penyandang cacat. Lokakarya yang diselenggarakan di Bandung tersebut diikuti oleh 26 peserta dengan 7 peserta dari perwakilan difabel.
Kesepakatan penggunaan istilah penyandang d isabilitas didasarkan pada 15 alasan;
4
1. M endeskripsikan secara jelas sujek yang dimaksud dengan istilah 2. M endeskripsikan fakta nyata 3. Tidak mengandung unsur negative 4. M enumbuhkan semangat pemberdayaan 5. M emberikan inspirasi hal- hal positif 6. Istilah belum digunakan oleh pihak lain mencegah kerancuan istilah 7. M emperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian 8. Dapat di serap dan di mengerti oleh berbagai kalangan secara tepat 9. Bersifat representative untuk kepentingan reatifikasi konvensi 10. M empertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional 11. M emperhatikan prespektif linguistic 12. Sesuai prinsip-prinsip Hak Azasi M anusia 13. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis 14. M enggambarkan adanya hak perlakuan khusus 15. M emperhatikan dinamika perkembangan masyarakat
Disable memiliki arti seseorang yang memiliki kelainan tubuh pada alat gerak yang meliputi otot, tulang, dan persendian baik dalam struktur dan fungsinya yang dapat mengganggu atau m erupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan selayaknya.
5
Kelompok yang tidak sepakat dengan penggunaan istilah penyandang disabilitas memandang bahwa penggunaan istilah tersebut sangat dipaksakan hanya untuk kepentingan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat.(CRPD). Hal ini tercermin dari poin 9 dan 10 kesepakatan Bandung yang menyatakan bahwa istilah penyandang disabilitas bersifat representative untuk kepentingan reatifikasi konvensi dan mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional. Para pengkritik istilah penyandang disabilitas menyatakan bahwa kata disabilitas yang mengadopsi kata disability tetap membawa unsure dis dalam kata disabilitas yang identik dengan makna negative ketidakmampuan dan kegagalan.
Tentunya penggunaan kata penyandang disabilitas layak untuk dikaji ulang khususnya yang menyangkut tentang peran komunitas dalam menentukan istilah tersebut dan juga dampak positif yang timbulkan dari pergantian istilah penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas. M engambil begitu saja istilah dari luar kemudian menyesuaikan dengan kata di Indonesia tanpa mempertimbangkan aspek budaya, sosial, dan psikologis tentu merupakan tindakan yang kurang tepat. Apalagi kata disabilitas, ditingkat internasional juga masih mengundang kontroversi, sehingga banyak aktivis difabel international yang mengusulkan istilah yang lebih manusiaw i misalkan, people with m obility problem, people w ith learning difficulties, dan lain sebagainya.
6
Penulis merasa penggunaan kata difabel lebih tepat dan manusiaw i untuk mendefinisikan seseorang yang dipandang memiliki kelainan dan kekurangan fisik kecacatan tubuh. Kata kunci kedua adalah pandangan penulis bertujuan untuk mengetahui pandangan mahasiswa difabel yang tergabung di dalam UKM Peduli Difabel. Selanjutnya, penggunaan kata konstruksi di dalam judul penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber atau dasar pandangan yang membentuk pemikiran mahasiswa difabel yang tergabung di dalam UKM Peduli D ifabel.
Penulis ingin mengetahui lebih jauh apa sebenarnya difabelitas bagi mahasiswa difabel di U GM berhubung dengan dibentuknya UKM baru yang diperuntukan khusus bagi mahasiswa
difabel. Kemudian penulis juga ingin
mengetahui bagaimanan interaksi di dalam organisasi U nit Kegiatan M ahasiswa Peduli D ifabel mempengaruhi mereka di dalam memahami difabelitas.
1. Aktualitas
Penelitian ini merupakan penelitian yang aktual dikarenakan saat ini masih sedikit yang melakukan penelitian terhadap difabel terutama mahasiswa difabel. Penelitian ini sangat aktual selain kasus penelitian ini belum pernah diteliti sebelumnya isu-isu terkait difabel saat ini sedang banyak di perbincangkan. Seperti kasus diskriminasinya system pendidikan bagi mahasiswa difabel, pemberdayaan difabel, kelayakan kerja bagi difabel, dan sebagainya. Penelitian ini hadir sebagai sesuatu yang aktual guna membongkar pemikiran mahasiswa difabel terkait konstrusi
7
difabelitas, normalitas, abnormalitas dan inklusivitas. Berbagai definisi terkait difabelitas tentu dimaknai berbeda oleh penyandang difabelitas itu sendiri. Disini penulis ingin mengetahui pandangan mahasiswa difabel di U GM terkait konsep dan konstruksi difabelitas. Sedikit menjelaskan aktualitas penelitian ini. U GM adalah salah satu universitas di Indonesia yang menerima mahasiswa difabel. Sehingga, tidak heran jika menjumpai beberapa mahasiswa difabel di beberapa jurusan disana. Terbatasnya mahasiswa difabel yang duduk dibangku kuliah khususnya di UGM memunculkan suatu dorongan bagi mereka untuk memperjua ngkan kebutuhan-kebutuhan khusus dan persamaan, oleh karena itu pada tahun 2013 muncul lah suatu Unit Kegiatan M ahasiswa yang di bentuk khusus untuk mengadvokasikan difabel. Forum ini dikenal dengan Unit Kegiatan M ahasiswa Peduli Difabel. Suatu
Unit
Kegiatan
M ahasiswa
didirikan
bertujuan
sebagai
wadah
pengembangan minat dan bakat mahasiswa. Universitas Gadjah M ada memiliki sekitar 20 lebih jenis U nit Kegiatan M ahasiswa. Pada tanggal 7 Juni 2013 F orum M ahasiswa Peduli D ifabel akhirnya berubah dan disahkan menjadi Unit Kegiatan M ahasiswa Peduli Difabel Universitas Gadjah M ada, sebagai satu-satunya unit kegiatan
mahasiswa
khusus
yang
menangani
dan
memahami
permasalahan
penyandang disabilitas, terutama bagi mahasiswa. Berdasarkan terbentuknya U KM ini merupakan unit kegiatan mahasiswa baru di UGM . Tujuh Juni 2013 adalah awal munculnya UKM ini di UGM . M unculnya
8
Unit Kegiatan M ahasiswa ini memberikan kesempatan baru bagi para mahasiswa difabel di dalam melakukan aktivitas organisasi mahasiswa. UKM
ini merupakan
wadah bagi m ereka di dalam mendapatkan pengakuan dari pihak lain dan upaya pemberdayaan mahasiswa difabel di UGM . UKM ini juga merupakan alat eksistensi mereka dalam berinteraksi dan beraktivitas di lingkungan kampus. M eskipun UGM telah membentuk U nit Kegiatan M ahasiswa Peduli Difabel pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada langkah signifikan yang diambil terkait permasalahan M ahasiswa difabel di UGM . 2. Orisinalitas : Di dalam tulisan ini peneliti memiliki focus of interest yang belum pernah diteliti sebelumnya. Di dalam penelitian ini penulis ingin meneliti Pandangan M ahasiswa Difabel yang tergabung di dalam Unit Kegiatan M ahasiswa “Peduli Difabel” terhadap K onstruksi D ifabelitas, Normalitas, Abnormalitas, dan Inklusivitas di Universitas Gadjah M ada. Penelitian ini bersifat orisinil karena belum ada penelitian sebelumnya pada tema yang diangkat oleh penulis. Adapun penelitian tentang difabel di UGM sebelumnya terkait pengembangan alat evaluasi fasilitas um um bagi difabel. Penelitian ini dilakukan oleh Istiyana Yulia Pradinasari sebagai pemenuhan tugas skripsi dengan Judul “Pengembangan Alat Evaluasi Fasilitas Umum terhadap A ksesbilitas bagi D ifabel”. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alat evaluasi fasilitas umum terhadap aksesbilitas bagi difabel di Gedung U niversitas Islam Negri Kalijaga dan Gedung Teknik Industri U niversitas
9
Gadjah M ada. Yang menjadi unit analisis penelitian ini adalah infrastruktur yang diberikan kamp us baik U GM maupun UIN Kalijaga di dalam menyediakan fasilitas bagi mahasiswa difabel nya. A kses tersebut berupa jalan, lift, tangga dan lain -lain. Penelitian ini pun menghasilkan hasil bahwa akses dan fasilitas yang ada di UGM belum cukup memenuhi kebutuhann aksesbilitas mahasiswa difabelnya karena masih banyak terdapap gedung yang tidak memiliki fasilitas khusus bagi mahasiswa difabel. Sedangkan Penelitian kedua terkait konstruksi dan model pendidikan inklusif bagi difabel. Penelitian ini dilakukan oleh Winda Tri listyaningrum pada tahun 2009. Penelitian ini berjudul “konstruksi dan model pendidikan inklusif (study atas pola pembelajaran Inklusif di M adrasah A liyah Negri M aguwoharjo). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konstrusi social terkait difabel dan bagaimana mengembangkan model pendidikan inklusif bagi difabel. Pada penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah siswa di M adrasah A liyah. Hasil dari penelitian ini munculnya kesadaran pada siswa difabel disekolah tersebut dan kesadaran dari siswa lainnya sehingga dapat dirum uskan model pendidikan inklusif bagi difabel di M adrasah Aliyah. Perbedaannya sudah sangat jelas jika di penelitian sebelumnya yang menjadi unit analisisnya adalah
infrastruktur dan siswa M adrasah Aliyah sedangkan p ada
penelitian ini adalah mahasiswa difabel. Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui definisi daan proses konstruksi difabelitas menurut mahasiswa difabel di UGM sehubungan dengan baru didirikannya UKM Peduli D ifabel di U GM .
10
3. Relevansi dengan Jurusan PSDK: Penelitian ini memiliki Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Kesejahteraan
Sosial dan
(PSdK) mencakup konsentrasi yaitu: social policy dan comm unity
empowerment. Penelitian ini terkait konsentrasi peneliti di dalam focus penelitiannya bertujuan untuk mengkaji kebijakan social dan upaya pemberdayaan mahasiswa difabel di UGM . Selain hal itu penelitian ini merupakan dampak dari wacana pembangunan yang ada di masyarakat saat ini. Ketika mengetahui sumber permasalahan pada mahasiswa difabel maka penentuan kebijakan serta konsep perberdayaannya pun akan mudah. c. Latar Belakang Permasalahan terkait difabel di Indonesia belum banyak mendapat perhatian. Berbagai permasalahan terkait difabel masih banyak terjadi di Indonesia. Sebelum melangkah lebih jauh ke permasalahan difabel yang diteliti oleh peneliti di dalam penelitian ini, melihat jumlah populasi difabel di Indonesia dan Yogyakarta. Terdapat perbedaan definisi difabel menurut BPS pada tingkat nasional dan BPS pada tingkat Yogyakarta. Bahkan jenis atau criteria penduduk yang termaksud katagori difabel menurut data statistic BPS nasional tidak ada. Berikut data terkait jum lah difabel yang ada di Indonesia yang sudah diolah oleh peneliti yang menurut peneliti merupakan penduduk yang termaksud di dalam kategori difabel.
11
Table 1.1 Jumlah Penduduk Menurut Katagori Difabel di Indonesia menurut BPS Nasional No
Jenis Kecacatan
Jumlah
Presentase %
1.
Tingkat Kesulitan berjalan/ naik
3.087.694
58%
3.024.271
23%
21.742.394
10%
tangga (Cacat Tubuh) 2.
Tingkat kesulitan mendengar (Tuna Runggu)
3. Tingkat kesulitan mengingat/ berkonsentrasi/berkomunikasi karena kondisi fisik/mental (Cacat M ental) 4.
Tingkat kesulitan mengurus diri
2.043.482 9%
sendiri (Cacat Ganda) Jumlah
29.897.841
100%
Sumber: data telah diolah dan dianalisis dari data BPS tahun 2010.
Jumlah Difabel di Indonesia Tingkat Kesulitan berjalan/ naik tangga 9%
Tingkat kesulitan mendengar
10%
23%
58%
Tingkat kesulitan mengingat/ berkonsentrasi/berkomunikasi karena kondisi fisik/mental Tingkat kesulitan mengurus diri sendiri
12
Terlihat dari data di atas bahwa jum lah difabel di Indonesia sebesar 29.897.841 orang yang tersebar di dalam keempat jenis kedifabelitasan. Keempat jenis kecacatan tersebut adalah kesulitan berjalan/naik tangga, kesulitan mendengar, kesulitan mengingat/ berkonsentrasi/ berkomunikasi karena kondisi fisik/mental, serta kesulitan mengurus diri sendiri. Akan tetapi, BPS sendiri tidak memiliki data khusus yang mengatakan bahwa jumlah penduduk yang difabel.
Table 1.2 Jumlah Difabel di DIY menurut BPS DIY No
Jenis Kecacatan
Tahun 2011
Presentase
Tahun 2012
Presentase
%
%
1.
Tuna Netra
3917
13,5%
2568
11,5%
2.
Bisu
3425
11,8%
2485
11,1%
3.
Cacat Tubuh
9831
33,8%
7772
34,9%
4.
Cacat M ental
7989
27,4%
6984
31,2%
5.
Penyakit Kronis
2005
6,9%
1272
5,7%
6.
Cacat Ganda
1943
6,7%
1217
5,5%
TOTAL
29.110
22.298
Sumber : data diolah dan dianalisis dari data BPS Yogyakarta tahun 2013.
13
33,8%
10000 9000
34,9%
27,4%
8000
31,3%
7000
6000 5000 4000 3000
13,5% 11,5%
11,8%
11,1%
6,9%
6,7% 5,7%
2000
5,5%
1000 0 Tuna Netra
Bisu
Cacat Tubuh
2011
Cacat Mental
Penyakit Kronis
Cacat Ganda
2012
Yogyakarta memiliki data terkait jumlah difabel di DIY. Berdasarkan data diatas terlihat bahwa sebanyak 3917 orang yang masuk kedalam jenis kecacatan Tuna Netra pada tahun 2011 dan turun menjadi 2568 orang pada tahun 2012. Selanjutnya ada sekitar 3425 oran g yang masuk kedalam jenis kecacatan bisu pada tahun 2011 dan turun menjadi 2485 orang pada tahun 2012. Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa BPS DIY membagi kecacatan menjadi enam jenis kecacatan, seperti tuna netra, bisu, cacat tubuh, cacat mental, penyakit kronis, dan cacat ganda.
Berdasarkan table di atas penulis tertarik untuk mengetahui jum lah mahasiswa difabel yang ada di Universitas Gadjah M ada. Dikarenakan p enelitian ini dilakukan di Universitas Gadjah M ada oleh karena itu penting untuk mengetahu i jum lah populasi
14
mahasiswa di U niversitas Gadjah M ada. Berikut penulis sajikan data jumlah mahasiswa di U niversitas Gadjah M ada dan persebaran di tingkat program studinya.
Tabel 1.4 Jumlah Mahasiswa Di Un iversitas Gadjah Mada Yogyakarta No 1. 2. 3. 4. 5 6.
Program
Jumlah Doktor (S-3) 303 Spesialis 257 M aster (S-2) 4702 Sarjana (S-1) 7131 Diploma 4 88 Diploma 3 2629 JUMLAH 15.110 Sumber: data telah diolah dan dianalisis dari data BPS Yogyakarta tahun 2013. Dapat dilihat dari data ditas, jumlah mahasiswa di U niversitas Gadjah M ada tahun 2013 sebesar 15.110 yang tersebar di keenam jenjang program studi yang ditawarkan. Berdasarkan data diatas jumlah mahasiswa terbanyak terdapat di jenjang pendidikan sarjana sebesar 7131 orang. Berdasarkan data tersebut peneliti menggunakan mahasiswa yang tergabung di UKM Peduli Difabel di Universitas di Gadjah M ada sebagai unit analisis yang digunakan. A kan tetapi, pada penelitian ini penulis lebih memfokuskan penelitiannya pada mahasiswa difabel yang tergabung di dalam UKM Peduli difabel.
Universitas Gadjah M ada tidak memiliki data terkait jum lah mahasiswa difabelnya. Kondisi mahasiswa difabel di Universitas Gadjah M ada dapat dikatakan sebagai minoritas. Selain jumlahnya yang sedikit kondisi mahasiswa difabel di UGM kurang mendapat perhatian khusus dari pihak universitas seperti data valid terkait
15
jumlah mahasiswa difabel di UGM , fasilitas perkuliahan yang kurang ramah bagi difabel, fasilitas perkuliahan yang mendukung bagi ma hasiswa difabel, serta kegiatan-kegiatan penunjang bagi mahasiswa difabel.
Kasus yang baru terjadi saat ini yang sedang hangat diperbincangkan adalah diskriminasi system pendidikan bagi difabel pada persyaratan SNM PTN 2014. Seleksi Nasional M asuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM PTN) – 2014 dalam persyaratannya mengkategorikan beberapa kriteria yang dilarang untuk masuk dalam berbagai program studi. Kategori IPA 20 program studi dan kategori IPS 54 program studi, adapun 6 persyaratan yang dilarang / tidak layak untuk masuk dalam berbagai program studi tersebut adalah: tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna w icara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan boleh buta warna sebahagian , da n tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian.
Enam (6) dari 7 k ode persyaratan tersebut menyebutkan tentang disabilitas secara gamblang, dimana didalam era pemenuhan hak maupun memberikan kesamaan kesempatan kepada para penyandang disabilitas sedang gencar -gencarnya diperjuangkan
setelah
Indonesia
meratifikasi
Konvens i
mengenai
Hak-Hak
Penyandang D isabilitas melalui UU No. 19 tahun 2011. Sikap ini sangat melukai masyarakat penyandang Disabilitas dimana secara jelas Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Pendidikan tidak menghormati hak penyandang disabili tas dalam memperoleh pendidikan dengan mencantumkan semua persyaratan yang membatasi seseorang untuk tidak dapat memperoleh haknya karena disabilitasnya
16
(kecacatanya), Hal ini melanggar atas undang-Undang Dasar pasal 28 huruf a dan i, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia pasal 4 dan 5, Prinsip hak-hak penyandang disabilitas yang tertera dalam konvensi Hak -hak Penyandang Disabilitas pasal 3 tentang Non D iskriminasi, dimana tertera tindakan diskriminasi bagi disabilitas adalah apabila mereka di kucilkan karena disabilitasnya.
Salah satu syarat yang dituliskan seperti Syarat S NM PTN di Universtitas Indonesia (UI) untuk jurusan arsitektur tidak boleh boleh tuna netra, tuna rungu, dan buta warna. Di Teknik Perkapalan tidak boleh tuna netra, tuna rungu, dan but a warna. Sedangkan di Teknik Sipil tidak boleh tuna netra, tuna rungu, dan buta warna . Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk jurusan Biologi tidak boleh tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, buta warna. Jurusan Kimia tidak boleh tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, dan buta warna. Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan tidak boleh tuna netra, tuna rungu, tuna w icara, dan tuna daksa.
Di U niversitas Padjajaran jurusan Agribisnis tidak boleh tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, dan buta warna. Jurusan Geofisika tidak boleh tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, dan buta warna. Ilmu Kelautan tidak boleh tuna netra, tuna rungu, tuna w icara, tuna daksa, dan buta warna.
UGM telah memberikan penghargaan yang besar pada difabel selama bertahun-tahun UGM dengan menjadi kampus yang memberikan perhatian besar bagi
17
difabel. Perhatian ini diwujudkan melalui peningkatan prasarana fisik bagi difabel serta mendorong penelitian dosen dan mahasiswa untuk kepentingan difabel seperti keyboard dan mouse Diamond, tongkat blindsonar, peta taktual, kursi roda dengan sensor otak, dan lain-lain.
M enurut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan U GM , Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M .M ed, Sc, Ph.D, untuk memperjuangkan hak -hak difabel dan meningkatkan kepedulian warga kampus kepada difabel tahun lalu UGM telah mendirikan Unit Kegiatan M ahasiswa (UKM ) Peduli D ifabel. UKM ini tidak hanya diikuti oleh mahasiswa difabel U GM , namun juga mahasiswa U GM lain yang peduli kepada difabel.
Sebelum UGM memberikan akses pendidikan kepada difabel, UGM telah mempertimbangkan berbagai hal dalam menetapkan syarat fisik pendaftaran SNM PTN. Hal ini mengemukan pada diskusi yang diik uti oleh pimpinan universitas, dekan, dan UKM Peduli D ifabel dalam Focus G roup D iscussion (FGD) pada tanggal 15 M aret 2014 lalu. Dalam FGD tersebut telah direview kembali syarat fisik yang ditetapkan dalam pendaftaran SNM PTN. Ia menjelaskan dari 23 prodi IPS di UGM , hanya 5 prodi yang menetapkan syarat fisik. 18 prodi lainnya dapat sepenuhnya menerima difabel. Sedangkan di prodi IPA, dari 44 prodi, sejumlah 5 prodi dari Fakultas M IPA tidak menetapkan syarat fisik pendaftar.
18
Semua prodi di Fisipol, Filsafat, dan Psikologi tidak ada syarat fisik. Fakultas Ilmu Budaya hanya Arkeologi yang punya syarat fisik. Sedangkan prodi lain masih memberlakukan syarat fisik karena memertimbangkan kebutuhan kondisi fisik tertentu dalam mengikuti praktikum dan kerja lapanga n.
Berikut adalah beberapa pandangan mahasiswa yang tergabung di dalam UKM Peduli Difabel terkait difabelitas, menururt M ukhanif Yasin Yusuf, selaku ketua UKM Peduli Difabel mengatakan bahwa pada prinsipnya yang sangat diperlukan oleh difabel adalah dukungan non-fisik seperti kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Tidak dipungkiri bahwa fasilitas fisik seperti akses gedung bagi difabel, juga merupakan hal yang penting. Namun kebutuhan ini dapat disiasati jika dukungan non-fisik tadi telah terpenuhi. Selama ini mahasiswa difabel di UGM tetap dapat mengikuti perkuliahan dengan baik karena adanya dukungan dan kerjasama yang baik dari dosen, karyawan, dan terutama rekan -rekan kuliah.
Kepedulian U GM terhadap difabel berusaha diwujudkan melalui U KM Peduli Difabel, UGM secara rutin akan menyelenggarakan kegiatan edukasi bagi masyarakat untuk peduli difabel. Dengan program ini diharapkan kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap difabel semakin tinggi, sehingga hak-hak difabel di berbagai bidang kehidupan dapat terpenuhi.
Sehingga akhirnya pada tanggal 22 desember 2012 untuk pertama kalinya forum khusus untuk mahasiswa difabel di UGM di inisiasi oleh mahasiswa difabel di
19
UGM dengan nama "FM DP UGM ". Forum ini bertujuan agar pihak universitas lebih memperhatikan kebutuhan mahasiswa difabel di UGM dan membangun aksesibilitas bagi mahasiswa difabel. Forum ini untuk pertama kalinya dibentuk oleh M ukhaif Yasin Yusuf seorang m ahasiswa Fakultas Ilmu B udaya UGM angkatan 2011. Selain hal aksesibilitas forum ini juga bertujuan agar isu -isu terkait difabel lebih di perhatikan oleh pihak rektorat dan menjadi salah satu organisasi yang mengupayakan kepentingan seluruh mahasiswa difabel di U niversitas Gadjah M ada.
M aka, pada tanggal 7 Juni 2013 Forum M ahasiswa Peduli Difabel akhirnya berubah dan disahkan menjadi Unit Kegiatan M ahasiswa Peduli D ifabel U niversitas Gadjah M ada, sebagai satu-satunya unit kegiatan mahasiswa khusus yang menang ani dan memahami permasalahan penyandang disabilitas, terutama bagi mahasiswa difabel di Universitas Gadjah M ada. M eskipun UGM telah membentuk U nit Kegiatan M ahasiswa Peduli Difabel pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada langkah signifikan yang diambil terkait permasalahan mahasiswa difabel di UGM .
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Unit Kegiatan M ahasiswa ini meliputi seminar dan talkshow terkait masalah difabel, pelatihan bahasa isyarat, kajian-kajian terkait isu-isu yang berkaitan dengan difabel, pendataan mahasiswa difabel di UGM , studi banding ke universitas lain terkait permasalahan difabel, serta sosialisasi dan pertemuan rutin dengan mahasiswa difabel yang ada di UGM . Kegiatan-kegiatan itu sebagian besar diikuti oleh parner bukan mahasiswa difabel itu sendiri. Biasanya didalam kegiatan yang berlangsung peserta lebih banyak berasal
20
dari mahasiswa yang bukan berkebutuhan khusus. Sulitnya mendata mahasiswa yan g berkebutuhan khusus merupakan masalah utama UKM ini untuk mengembangkan kegiatan mereka yang bertujuan untuk memberdayakan kepentingan dan kebutuhan mahasiswa difabel di Universitas Gadjah M ada.
M unculnya UKM Peduli D ifabel di UGM belum memberikan peruba han yang signifikan bagi kemajuan mahasiswa difabel di UGM . UKM Peduli D ifabel yang didirikan guna memfasilitasi kebutuhan mahasiswa difabel pada kenyataannya hanya diikuti oleh empat orang mahasiswa difabel saja. Hal ini menjelaskan bahwa , masih minimnya jum lah mahasiswa difabel yang terlibat langsung di dalam UKM Peduli Difabel.
Kurang
tepatnya
fasilitas
pendukung
aksesibilitas
bagi
mahasiswa
berkebutuhan khusus juga masih terjadi di U GM , seperti Balairung dan Graha Sabha Pramana sebagai gedung vital, bahkan fakultas tempat penulis menimba ilmu, memperlihatkan fasilitas fisik yang masih kurang aksesibel bagi mahasiswa difabel. Beberapa fasilitas yang dibangun banyak yang dirasa kurang bermanfaat seperti parkir sepeda khusus difabel, jalan khusus difabel difakultas hukum UGM dan contoh lainnya. Kemudian tidak adanya fasilitas informasi atau perangkat seleksi yang dapat di akses bagi mahasiswa berkebutuhan khusus dan fasilitas layanan publik. M asih kurangnya kesadaran civitas akademika serta keterlibatan masy arakat dalam merumuskan peraturan yang jelas tentang jaminan dan mekanisme perlindungan serta pemenuhan hak mahasiswa berkebutuhan khusus. Belum lagi implementasi dari
21
segala peraturan yang berkaitan dengan kecacatan masih jauh dari yang seharusnya karena kurangnya pengawasan.
Hal ini menampakkan adanya perlakuan tidak adil dan sikap diskriminatif yang masih sering dialami mahasiswa berkebutuhan khusus pada saat berupaya memenuhi hak pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Sehingga menimbulka n stigma kecacatan yang negatif telah menafsirkan kecacatan identik dengan orang sakit, lemah, tidak memiliki kemampuan, hanya akan membebani orang disekitarnya. Terlihat pada syarat SNM PTN yang sangat diskim inatif bagi beberapa mahasiswa difabel.
Berusaha keluar dari pemikiran orang pada umumnya bahwa mahasiswa difabel itu tidak memiliki kemampuan, cacat atau yang lainnya menjadi menarik ketika mengetahui bagaimana sebenarnya mahasiswa difabel yang tergabung di dalam UKM ini memandang kecacatan mereka. M engetahui bagaimana mereka memandang suatu difabelitas, normalitas, abnormalitas dan inklusifitas menjadi penting kemudian.
Sampai saat ini Universitas Gadjah M ada telah menerima berbagai mahasiswa difabel yang tersebar diberbagai fakultas. Kesempatan ini tentu membawa suatu dinamika baru bagi para mahasiswa difabel yang diterima di U niversitas Gadjah M ada. Dimana mereka harus menyesuaikan diri dengan fasilitas yang ada dan lingkungan kam pus yang diperuntukan untuk mahasiswa bukan berkebutuhan khusus.
22
Sehingga untuk melakuakan aktifitas perkuliahan mahasiswa berkebutuhan khusus ini tentu membutuhkan suatu bentuk perhatian khusus dari pihak universitas. Diantaranya pengakuan identitas dari pihak lain sebagai alat eksistensi mereka dalam berinteraksi dan beraktivitas di lingkungan kampus. Akseseibilitas fasilitas kampus, ruang public yang ramah akan
difabel, fasilitas perkuliahan yang
memudahkan difabel berkebutuhan khusus, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut yang selama ini menjadi permasalahan bagi sebagian mahasiswa difabel yang ada di Universitas Gadjah M ada di dalam menjalankan aktifitas perkuliahannya sehari-hari.
Pandangan mahasiswa Universitas Gadjah M ada terkait munculnya U nit Kegiatan M ahasiswa Peduli D ifabel ini berbagai macam tanggapan mulai dari mendukung dan mengapresiasi kegiatan ini, ada pula yang menanyakan tujuan dan manfaat adanya UKM ini, serta latar belakang pihak universitas membentuknya menjadi suatu Unit Kegiatan M ahasiswa b ukan pusat studi khusus difabel. Tapi, yang menjadi kenyataan dilapangan sebagian besar mahasiswa UGM belum mengetahui keberadaan Unit Kegiatan M ahasiswa ini.
M enurut pengurus UKM ini sendiri mereka memiliki pandangan bahwa difabel itu sama dan tidak berbeda namun kemampuannya saja yang berbeda. M enurut pendiri UKM ini difabel berbeda dengan disable. Difabel atau D ifferent ability berarti kemampuan berbeda sedangkan D isabel atau dis-able merupakan ketidakmampuan. Hanif sendiri merupakan mahasiwa yang memiliki keterbatasan mendengar atau yang
23
lebih di kenal dengan tuna rungu. Hanif sendiri seorang mahasiswa yang berkebutuhan khusus namun dia sendiri merasa mampu untuk melakuakan berbagai kegiatan kampus sebagaimana layaknya mahasiswa yang bukan berkebutuhan khusus.
Hanif
memiliki
beberapa
pengalaman
organisasi
seperti
himpunan
mahasiswa jurusan, daerah, dan Senat M ahasiswa UGM . Prestasi yang perlu di apresiasi jika melihat dari keterbatasan yang dia miliki. Satu hal yang menarik menurut penulis dari seorang Hanif adalah keinginannya untuk mengubah pandangan orang lain pada dirinya yang selalu m uncul adalah stigma kasian pada difabel seolaholah mereka tidak mampu dan harus di berikan perhatian khusus yang berlebihan.
Selanjutnya yang menjadi alasan di dalam perumusan latar belakang penelitian ini adalah bagaimana definisi difabelitas sebenarnya. Definisi dan kategori seperti apa yang dapat mengkatagorika kemampuan berbeda. Hal ini menjadi pe nting dibahas pada bab selanjutnya. mahasiswa difabel dan mahasiswa non difabel memandang suatu kedifabelan. Salah satu contoh pembicaraan penulis dengan beberapa mahasiswa terkait pandangan mereka di dalam melihat mahasiswa difabel. Ada beberapa mahasiswa yang mengatakan mereka harus diberikan perhatian ataupun fasilitas khusus namun sebagian lagi mengatakan bahwa mereka tidak perlu di berikan perlakuan khusus atau berbeda dari mahasiswa lainnya.
Pandangan dan stigma yang mempengaruhi beberapa opini diata s adalah implementasikan yang ada di dalam dunia pendidikan. Pandangan terhadap difabel seperti perkembangan sejarah perubahan sosial dari masa ke masa, pemahaman orang
24
terhadap keberadaan kelompok berkebutuhan khusus, penyandang cacat, difabel, penyandang ketunaan maupun istilah lain yang dimaksudkan untuk meru juk subyek yang sama (dengan ideologi dan konsepsi yang berbeda) pun telah mengalami banyak perubahan.
Secara garis besar, setidaknya ada dua konsep yang mendefinisikan difabililitas secara mendalam. Sudut pandang pertama adalah pandangan medis atau individual, yang melihat dan menempatkan kecacatan sebagai sebuah permasalahan individu. Secara ringkas, pandangan ini menganggap kecacatan/impairment sebagai sebuah tragedy personal, dimana impairment selalu diposisikan sebagai akar permasalahan serta penyebab atas hambatan aktifitas serta berbagai bentuk ketidakberuntungan social yang dialami. M odel atau pandangan ini pun diadobsi dalam sebuah instrument internasional yang dipublikasikan oleh WHO pada tahun 1980, yang dikenal dengan ICIDH (International Clasification of Impairment, D isability and Health). Dalam klasifikasi internasional ini, W HO, dengan keterlibatan dominan dari kelompok-kelompok professional medis, sekali lagi menegaskan hubungan kausal antara impairment atau keterbatasan fungsi, disability atau ketidak mampuan atau hambatan aktifitas, serta handicap atau ketidakberuntungan social. Adapun pandangan ke dua adalah pandangan difabilitas yang terlahir atas dominasi konsepsi difabel dan bagaimana semestinya lingkungan social memandang diri mereka. Pandangan yang disebut dengan social model, yang belakangan
25
kemudian berkembang menjadi pandangan yang melihat difabilitas dalam pendekatan HAM . Pandangan ini dibangun atas sebuah prinsip dasar bahwa kecacatan atau impairment maupun keterbatasan fungsional sesungguhnya tidak pernah mempunyai korelasi langsung terhadap apa yang dikatakan sebagai ketidak mampuan aktifitas, maupun juga partisipasi social. Disability, menurut pandangan ini tida k lain dikarenakan atas kegagalan masyarakat, lingkungan serta negara dalam mengakom odasi apa yang menjadi kebutuhan difabel (UPIAS, 1996). Dengan kata lain, disability yang dimaksud merupakan buah dari sebuah interaksi lingkungan yang gagal mengakomodasi keberadaan difabel. Selanjutnya, di dalam tulisan ini penulis juga ingin mengetahui pandangan mahasiswa difabel yang tergabung di dalam UKM Peduli Difabel terkait konstruksi difabelitas di U niversitas Gadjah M ada.
d. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Konstruksi D ifferent Abled People (Difabel).
“Bagaimana Persepsi Mahasiswa Difabel yang tergabung di dalam U nit Kegiatan Mahasisw a “Peduli D ifabel” terhadap Konstruksi Difabelitas di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta?”
26
e. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Untuk mengetahui pandangan mahasiswa difabel yang tergabung di UKM “Peduli Difabel” di UGM terhadap konstruksi difabelitas. b. Untuk mengetahui definisi dan intepretasi difabelitas menurut UKM “Peduli Difabel” di UGM . c. Untuk mengetahui proses konstruksi difabelitas. 2. Manfaat penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang mengenai aspek kajian terkait difabel di Universitas Gadjah M ada. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pemikiran bagi penelitian selanjutnya. b. Sesuai dengan kajian Ilm u Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan di kebijakan
social
permasalahan
yang
dan dikaji
pemberdayaan merupakan
masyarakat dampak
dari
karena wacana
pembangunan yang ada saat ini.
27
f. Kerangka Teori
Digunakan beberapa teori didalam mengkerangkai penelitian ini pertama adalah teori persepsi , teori normalitas, abnormalitas Faucault dan Teori Konstruksi Berger. Dimana faucoult menjelaskan bahwa konsep normalitas dan abnormalitas itu muncul ketika mereka yang memiliki kekuasaan atau pengetahuan mendefinisikan normal melalui abnormal. A. Teori Persepsi Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. M enurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. ”persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjem ahkan stim ulus atau proses untuk menerjem ahkan stim ulus yang m asuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mem persepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mem pengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.” (Sugihartono, dkk 2007: 8) M enurut, Bimo Walgito (2004: 70) mengungkapkan bahwa
persepsi
merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan
28
merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman pengalaman yang dim iliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya . Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersim pan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar kita. File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya, ada kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi, 2006: 118). Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.
29
Syarat terjadinya
persepsi menurut Sunaryo (2004: 98) syarat-syarat
terjadinya persepsi adalah sebagai berikut: Adanya objek yang dipersepsi, adanya perhatian yang merupakan langkah pertama
sebagai suatu
persiapan dalam
mengadakan persepsi, adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus, saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon. Faktor yang mempengaruhi persepsi menurut M iftah Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut : a. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi. b. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek. M enurut B imo Walgito (2004: 70) faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan beberapa faktor, yaitu: a. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
30
b. Alat indera, syaraf dan susunan syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan motoris yang dapat membentuk persepsi seseorang. c. Perhatian Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu sekumpulan objek. Faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu sama lain dan akan berpengaruh pada individu dalam mempersepsi suatu objek, stimulus, meskipun objek tersebut benar-benar sama. Persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individu, perbedaan perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau perbedaan dalam motivasi. Pada dasarnya proses terbentuknya persepsi ini terjadi dalam diri seseorang, namun persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman, proses belajar, dan pengetahuannya.
31
Proses persepsi menurut M iftah Toha (2003: 145), proses terbentuknya persepsi didasari pada beberapa tahapan, yaitu: a. Stimulus atau Rangsangan Terjadinya
persepsi
diawali
ketika
seseorang
dihadapkan
pada
suatu
stimulus/rangsangan yang hadir dari lingkungannya. b. Registrasi Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syarat seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim kepadanya, kemudian mendaftar semua informasi yang terkirim kepadanya tersebut. c. Interpretasi Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Proses interpretasi tersebut bergantung pada cara pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang. B. Teori Normal dan Abnormal M enurut Foucault normalitas dan abnormalitas itu merupakan konstruksi dari kekuasaan (power) dan ilm u pengetahuan yang
dibagun secara universal melalui
wacana, bahasa, budaya dan pendidikan yang ditempuh manusia. D i dalam karyanya The Order of Things, M ichel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu -satunya kebenaran yang
32
bisa
diterima. M elalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga
nilai-nilai dalam
masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Dari analisa awal Foucault, ia telah memahami bagaimana represi terhadap bahasa menjadi metode yang efektif untuk mengkontrol sosial; “As in order to gain mastery over it in reality, it had first been necessary to subjugate it at the level of language, control its free circulation in speech, expunge it from things that were said, and extinguished the words that rendered it too visibly present.” (Foucault , M, order of thing, 2007) Diskursus menurut Foucault merupakan upaya untuk melegetimasi kekuasaan. Dalam Discipline and Punish, Foucault membuat suatu terminologi yaitu „Docile Bodies‟ atau tubuh-tubuh yang patuh (submisif). M eski kaitan terminologi y ang ia gunakan untuk menguraikan secara sosiologis serta filosofis tentang sistem penjara, namun konsep Tubuh yang Patuh ini dapat juga relevansikan dengan bagaimana sosial mengendalikan konstruksi pemikiran melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dim angun. M anusia terbiasa dengan tubuh dengan bentuk dan bagian yang lengkap dan sempurna adalah sesuatu yang di katakana normal sedangkan yang sebaliknya dikatakan tidak normal atau abnormal. Kemudian yang terinternalisasi kedalam pandangan semua orang adalah ketika seseorang yang tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap maka iya dikatakan sebagai abnormal seperti difabel. Foucault juga menganalisa bahwa proses sejarah yang menunjukan bahasa tentang normalitas dan abnormalitas dapat berubah-ubah secara drastis bergantung pada evolusi pemahaman
33
sosial, serta kekuasaan yang dominan. M engkritisi kembali apa yang dianggap normal tersebut? Apakah konsep yang normal benar -benar bermakna secara ontologis, ataukah konsep normal tersebut hanyalah prasangka serta ke acuhan yang dikonstruksikan secara sosial.
“Michael Foucault mem iliki perspektif yang beranggapan bahwa ada relasi antara sebuah pengetahuan dengan kekuasaan, bagi ilm uwan asal Perancis itu apa yang dikatakan pengetahuan adalah kebenaran yang berada dalam relasi sirkular kekuasaan yang memproduksi kebenaran”. (Foucault dalam Shim ogaki, 2004: 28). M enurut Foucault kekuasaan itu bersifat produktif, dan memiliki rekayasa sendiri terhadap realitas. Bagaimana kuasa yang membentuk teks pengetahuan menyembunyikan kepentingannya dengan normalisasi-normalisasi atas apa yang harus di turuti untuk menjadi “normal” ditengah praktik kekuasaan. Bagi Foucault,
“Kekuatan (power) adalah tenaga untuk menentukan kebenaran, baik kekuatan fisik ataupun mental, digunakan oleh kekuatan m inoritas yang kuat untuk dapat memaksakan gagasan meraka, tentang yang benar atau yang betul pada may oritas” (Focault dalam Fillingham, 2001: 7) M aka apabila berbicara pengetahuan mengenai manusia apaun bentuknya sungguh dipengaruhi oleh orang-orang yang selalu disebut sebagai dia yang mempunyai otoritas pengetahuan yang sesungguhnya hanya mempengaruhi se cara umum apa yang dia ketahui, sudah barang tentu kebenaran sejati menjadi tak penting lagi, atau mungkin hal itu (apa yang dikatakan yang berkuasa benar) menjadi lebih penting daripada kebenaran itu sendiri.
34
M engenai
hal
kekuasaan
dan
pengetahuan
atau
kebenaran
ini
Foucault
mengungkapkan: “Kebenaran berpusat pada bentuk diskursus ilmiah dan institusi yang memproduksinya. ia adalah objek difusi besar-besaran dan konsum si besar-besaran (yang beredar melalui perngkat pendidikan dan informasi yang meluas secara relatif dalam lembaga sosial tanpa ada batas yang jelas); ia diproduksi dan ditransmisikan dibaw ah aparatur sentral dan dominan-kalau tidak eklusif-dari segelintir aparatur besar politik dan ekonomi (universitas, angkatan bersenjata,tulisan,media)” (Foucault dalam Shimogaki, 2004: 29). Selain hal diatas Foucault juga mengatakan terkait disiplin dan hukuman. Aturan merupakan produk yang dibentuk penguasa untuk kepentingan tertentu sehingga untuk memenuhi kepentingannya tersebut diciptakannya suatu pr oduk kekuasaan sehingga menghasilkan suatu hal yang bernama pengawasan dan hukuman.
“Sudah barang tentu pengawasan atau hukum an untuk mereka yang melanggar kekuasaan adalah alat penting untuk menormalisasi mereka, seperti yang di tulisnya dalam “discipline , and punishment” yang memusatkan pada penelitian tentang menem patkan orang dalam pengawasan lebih menguntungkan untuk membuat mereka patuh pada hukum tertentu sehingga menjadi sem acam penertiban impersonal dan psikologi individu“ (Sarup, 2003: 114. Post-Structuralism And Postmoderinsm Teori) . Foucault mencontohkan apa yang didefinisikan oleh para minoritas yang berkuasa tentang kebenaran tentang normalitas dan abnormal, lewat penelitiannya yang mendalam
“Foucault menemukan bahw a definisi kegilaan, norma, kejahatan dan sebagainya berubah-ubah dari waktu kewaktu, dan
35
begitu pula perilaku baik yang mem buat orang dipuji. Masyarakat menurutnya mem asung atau menghukum mereka yang abnorm al sambil mengawasi mereka dan penyingkiran tersebut membuat mereka tersingkir dari kebudayaan karena tentang kebaikan definisinya didapatkan dari abnormalitas sebagai lawannya barang tentu, itulah yang mem buat orang normal menguasai para abnormal” (Fillingham, 2001:16-18).
Difabel atau kata yang memiliki definisi “Different Abled People” ini adalah sebutan bagi orang cacat. Kata ini sengaja dibuat oleh lembaga yang mengurus orang – orang cacat dengan tujuan untuk memperhalus kata – kata atau sebutan bagi seluruh penyandang cacat yang kemudian mulai ditetapkan pada masyarakat luas pada tahun 1999 untuk menggunakan kata ini sebagai pengganti dari kata cacat. Ada beberapa definisi dari kata difabel ini. Berikut merupakan beberapa tanggapan dan pengertian tentang definisi difabel: M enurut D inas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta difabel atau kecacatan terbagi menjadi enam jenis kecacatan yaitu Tuna Netra, bisu, cacat Tubuh, Cacat M ental, Penyakit Kronis, dan cacat ganda. Sedangkan menurut dinas pendidikan kecacatan atau difabel dibagi menjadi enam katagori yaitu tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, buta warna keseluruhan dan buta warna sebahagian. Di dalam Undang-undang Republik Indonesia N omor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (KonverensiI M engenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) menyakatan bahwa penyandang disabilitas, yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan .
36
Di dalam mendiskusikan hal terkait normal dan abnormal dapat melihat dari berbagai displin ilmu didalam memaknainya seperti di dalam ilmu psikologi. D i dalam ilmu psikologi diskusi tentang apa yang disebut normal dan abnormal harus dimulai dengan mengetahui batasan antara normal ata u tidak normal, tujuannya agar membantu psikolog menegakkan diagnosis dan merekomendasi serta melakukan treatment yang tepat untuk kliennya. Umumnya orang mengatakan yang normal itu berkaitan dengan batasan tertentu. Jika lewat dari batasan itu, dikatakan tidak normal. Hal ini tentu berbeda jika di kaji dengan Perspektif biologis: Seorang do kter Jerman, Wilhelm Griesinger, menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, se perti Emil Kraepelin yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. M emang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai sim tom -sim tom dari gangguan yang mendasarinya. Pada Perspektif psikologis: Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. M odel yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas
37
mengenai perilaku abnormal. Sedangan, Perspektif sosiokultural: Pandangan ini meyakini bahwa harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari peri laku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. M asalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, ge nder, gaya hidup, dan sebagainya. Kata normal, normality, normalcy, norm, average dan abnormal masuk ke daratan Eropa relatif belum lama. Kata -kata tersebut mulai diperkenalkan dalam bahasa Inggris sekitar tahun 1840. Selanjutnya kata normal tersebut dipa kai secara luas antara tahun 1840-1860. Jika konsep normalitas yang selanjutnya dibakukan dalam sebuah kata “normal” muncul di Eropa pada abad 19. ilmu statistik –salah satu cabang ilmu matematika. M enurut Porter (1986), kata statistik muncul pertama kali pada tahun 1749 yang diperkenalkan oleh G ottfried Achenwall sebagai aritmatik politik- penggunaan data untuk kebutuhan negara dalam merancang kebijakan. Konsep ini kemudian beralih fungsi dari bidang politik ke bidang kesehatan ketika Bisset Haw kins memperkenalkan konsep medical statistik pada tahun 1829. M edical Statistik adalah sebuah konsep penggunaan angka untuk menggambarkan kondisi kesehatan seorang pasien. Selanjutnya seorang ahli statistik Prancis Adolphe Quetelet (1796-1849) membakukan konsep normalitas pada pola pikir masyarakat. Dia mengatakan bahwa “law of error” yang digunakan oleh para ahli astronom i
38
dalam menentukan posisi bintang dengan menghitung masing -masing kekuatan cahaya dari seluruh bintang dan kemudian mengukur rata -ratanya, juga dapat diaplikasikan pada manusia untuk mengukur berat dan tinggi mereka. Kemudian Quetelet merumuskan konsep yang diberi nama “l‟homme moyen” atau manusia rata-rata. Konsep manusia rata-rata ini kemudian diadopsi oleh seluruh masyarakat di seluruh dunia, d imana ukuran rata-rata disesuaikan dengan kondisi masing-masing
masyarakat
di
setiap
negara.
Selain
itu
Q uetelet
juga
memperkenalkan konsep “kelom pok dibawah rata -rata” yang dia sebut “ les classes moyen”. Dua teori normalitas yang disodorkan Quetelet tersebut yang kemudian memunculkan konsep tentang kecacatan. Sebuah konsep yang didasarkan pada karakteristik rata-rata manusia. Karakteristik yang lebih menekankan pada kond isi fisik manusia seperti berat, tinggi, dan bentuk tubuh. M aka jika ada salah sat u kelompok atau individu dalam masyarakat yang memiliki karakteristik diluar karakteristik rata-rata, maka mereka digolongkan sebagai kelom pok atau individu yang “tidak normal”. Konsep ini kemudian berpengaruh pada pola pikir masyarakat terutama para ahli kesehatan dalam melihat kecacatan. M ereka berfikiran bahwa sesuatu yang berada diluar standard kenormalan harus dirubah atau disesuaikan untuk menjadi normal. Berlanjut kemudian penulis membahas terkait ketertarikannya pada inklusivitas atau inklusif. Pada akhirnya, inclusion dipandang sebagai sebuah cara yang paling
39
tepat dalam memahami difabel. Dalam hal ini, inklusi mestinya dipahami sebagai sebuah kondisi yang menjamin partisipasi penuh setiap manusia dengan beragam keberbedaan, melalui serangkaian akomodasi-akomodasi yang harus dilakukan sesuai kebutuhan. Pengertian yang masih abstrak ini, tentunya masih perlu diterjemahkan dengan lebih nyata tentang bagaimana akomodasi-akomodasi kebutuhan tersebut harus dilakukan, jaminan atas partisipasi penuh tersebut akan seperti apa, dan seterusnya. Oleh masyarakat dunia, langkah-langkah mewujudkan inclusion ke dalam bentuk nyata pun terlihat dengan munculnya berbagai dokumen internasional, perkembangan teori, filosofi akademik, serta perubahan pendekatan dalam m enangani kelompok difabel tersebut. Setidaknya, apa bila merujuk pada beberapa dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi M anusia (1948), K onvensi Hak Anak (1989), Deklarasi D unia Tentang Pendidikan Untuk Semua (1990), Peraturan Standar Tentang Persamaan Hak Bagi Difabel (1993), dalam beberapa substansinya mempunyai pointer-pointer yang relevan dengan semangat pendidikan inklusif sebagai sebuah penyelenggaraan pendidikan yang mengakomodasi keberbedaan, keunikan serta keberragaman masing-masing peserta didik. M enurut Skjorten, pendidikan inklusif dimaknai sebagai suatu pondasi penting yang harus dibangun untuk dapat mengkonseptualisasikannya dalam tataran praktis. M emahami pendidikan inklusif tidak bisa berhenti sebatas menerima anak didi k berkebutuhan khusus pada lembaga pendidikan secara bersama -sama dengan anak-
40
anak lainnya. Lebih dari itu, pendidikan inklusif dibangun atas sebuah ide mulia untuk mengakomodasi keberragaman. Dalam sudut pandang ini, istilah “normal” tidak lagi dipahami sebagai standar-standar kewajaran yang digunakan untuk mengkategorikan kemampuan anak, melainkan untuk memaknai keberagaman sebagai sesuatu yang “normal” dalam masyarakat. Demikan pula, adalah normal apa bila ada anak yang pandai dan tidak, kaya dan miskin, dengan perbedaan ras, suku bangsa, agama, termasuk yang berkebutuhan khusus dan yang tidak dan keberadaan mereka harus diakomodasi dalam sistem pendidikan inklusif . (Skjorten, 2001)
Dengan demikian, inklusi harus diterjemahkan sebagai bukan saja sebuah affirmative action untuk mengakomodasi pendidikan bagi anak -anak dengan difabilitas saja, tapi
lebih
dari
itu,
inklusi memang sebuah upaya
untuk
mengakomodasi berbagai bentuk keragaman. Dengan kata lain, ketika berbicara tentang pendidikan inklusif, sebenarnya berbicara tentang membangun lingkungan / penyelenggaraan
pendidikan
bagi
semua
(education
for
all).
Dalam kaitannya dengan pendidikan inklusif bagi siswa / peserta didik dengan kebutuhan khusus, lebih jauh Skjorten mengidentifikasi bahwa ada setidaknya tiga faktor yang harus diakomodasi secara holistik dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Yang pertama adalah lingkungan, yang termasuk di dalamnya adalah respon lingkungan terhadap keberadaan peserta
didik berkebutuhan khusus, tingkat
pemahaman dan penguasaan guru terhadap pembelajaran yang mengakomodasi
41
perbedaan, isi, materi serta metode pembelajaran, serta lingkungan yang lebih luas yang berhubungan dengan lingkungan sosial, ekonomi serta politik, yang secara langsung
maupun
tidak,
keseluruhan
a kan
mempunyai
pengaruh
terhadap
perkembangan belajar anak. Yang kedua adalah faktor dalam diri peserta didik yang dapat meliputi rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif untuk berinteraksi dan komunikasi, kompetensi sosial, temperamen, kreatifitas, dorongan untuk belajar dan gaya belajar, serta kemampuan. Adapun faktor yang ketiga adalah hakekat dan tingkat kebutuhan khusus. Ketiga faktor inilah yang dalam penyelenggaraan seting pembelajaran inklusi mesti diakomodasi ke dalam berbagai bentuk penyesuaian-penye suaian sebagaimana yang diperlukan. Dengan membaca keterkaitan antara ketiga faktor diatas, inklusi mempunyai sebuah karakteristik khusus yang sama sekali berubah dari sistem sebelumnya. Jika pada sistem pendidikan segregasi, pendidikan berorientasi kepa da keterbatasan anak dengan merujuk pada diagnosa yang dilakukan oleh profesional, inklusi berupaya untuk meninggalkan pemahaman ini. Sesuatu yang dikatakan sebagai kecacatan kemudian tidak lagi dipandang sebagai segalanya atau sesuatu yang serba menentukan, karena potensi dan sesuatu yang potensial untuk dikembangkan dari peserta didik merupakan hal yang paling utama. Demikian pula, “Adaptasi lingkungan serta interaksi, proses pem belajaran, media serta metode belajar yang tepat dan sesuai kebutuhan anak menjadi kunci yang harus dipertimbangkan. Tak berhenti sampai disitu, peran orang tua, teman belajar, serta m asyarakat di luar sekolah
42
mempunyai kontribusi yang sangat bernilai bagi keberhasilan pencapaian peserta didik dalam seting inklusi. D alam kontek inilah kemudian pendidikan inklusif menem patkan assessment sebagai tahapan penting” (Skjorten, 2001). Johnsen
menyatakan
bahwa
setidaknya
ada
tiga
prinsip
utama
dari
penyelenggaraan pendidikan inklusif yang keseluruhan bermuara pada pemahaman inti bahwa adalah hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan dalam seting lokal bersama dengan masyarakat lainnya. “Ketiga prinsip utam a tersebut adalah (1) bahwa setiap anak semestinya dapat menjadi bagian yang integral dari komunitas lokalnya dan kelas atau kelom pok reguler; (2) bahwa kegiatan pembelajaran diatur melalui tugas-tugas belajar yang kooperatif, berorientasi pada pem belajaran individual, serta mempunyai sifat fleksibel dalam pemilihan materi; dan (3) bahwa guru bekerjasam a dan mem iliki pengetahuan tentang strategi pem belajaran dan kebutuhan pengajaran um um, khusus dan individual, dan mem iliki pengetahuan tentang cara menghargai pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas” (Johnsen, 2001)
43
Konsep Difabelitas, Normalitas, Abnormalitas dan Inklusivitas Michael Foucault DIFABEL
UNIVERSITAS
UKM “PEDULI
GADJAH MADA
DIFABEL”
Kondisi mahasiswa difabel di UGM
Tujuan UKM
MINORITAS BERKEBUTUHAN KHUSUS PERBEDAAN MOTIVASI
PERSAMAAN KEPENTINGAN KESETARAAN PERJUANGAN ORGANISA SI KHUSUS DIFABEL
ILMU
KONSTRUKSI
PENGETAHUANN
Teori Foucault
KONSTRUKSI
NORMALITAS
ABNORMALITAS
INKLUSIVITAS
INFORM ASI PENGETAHUAN KEKUASAAN KEBENARAN UNIVERSAL
OPERASIONALISASI TEORI ABNORMALITAS DAN NORM ALITAS FOUCAULT
INFORMASI Pemaknaan difabelitas, penerimaan diri, motivasi, keingintahuan
KONSTRUKSI
PENGETAHUAN
System kemudian Dikonstruksi dan
Membentuk pola pikir dan kesadaran
diinterpretasi kemudian dikonstruksikan
melalui Institusi pendidikan, keluarga,
kembali
organisasi, lingkungan, buku, media massa,dll
KEKUASAAN POW ER mempengaruhi mulai de ngan mengum pulkan mahasiswa difabel (kekuasaan yg tersebar), Membent uk forum difabel ,membent uk UKM, membentuk system
44
Dalam tabel diatas dijelaskan bahwa bagaimana teori yang digunakan bekerja. Pertama adalah bagaimana seorang mahasiswa difabel yang ada perguruan tinggi khususnya mahasiswa difabel yang ada di Universitas Gadjah M ada memaknai kedifabelan. M ulai dari merasa dirinya sebagai kaum yang minoritas jumlahnya, memerlukan kebutuhan khusus di dalam proses belajar di kampus se rta merasa memiliki kemampuan yang berbeda. Semua hal yang terjadi di lingkungan universitas memaksa mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Sehingga, menimbulkan motivasi tersendiri bagi beberapa orang untuk membentuk suatu organisasi yang bertujuan menciptakan kampus yang inklusif dan mendapatkan pemenuhan kesetaraan antara mahasiswa difabel dan mahasiswa yang tidak difabel. Adanya persamaan kepentingan antar anggota yang merasa memiliki persamaan nasib, mereka membentuk suatu organisasi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan pelayanan aspirasi mahasiswa difabel, mereka merasa perlu adanya organisasi khusus bagi para difabel yang ada di U GM guna menyuarakan segala aspirasi, kebutuhaan dan kepentingan para difabel tersebut. Selain hal itu ini adalah suatu langkah kongkrit didalam mereka memperjuangkan kesetaraan dan kampus yang inklusif bagi difabel. Berangkat melalui UKM peduli difabel lah akhirnya mereka mengetahui banyak informasi, ilmu, share pengalaman dengan mahasiswa lain, serta mengetahui lebih banyak pengetahuan terkait difabel. Ilm u pengetahuan itulah yang kemudian dipercaya menjadi suatu kebenaran universal yang kemudian muncul dan direduksi
45
serta memunculkan suatu pemahaman bagi mereka terkait normalitas, abnormal itas, dan inklusivitas. Sehingga pada akhirnya mereka menyadari bahwa apa yang dimaksud dengan normalitas, abnormalitas, dan inklusifitas hanyalah sebuah konstruksi yang di internalisasi melalui instansi-instansi tertentu seperti kesehatan dan pendidikan. Konstruksi tersebutlah yang sebenarnya mengkotak -kotakan mereka kedalam sekat difabelitas. Seperti yang dikatakan F oucault bahwa ilmu pengetahuan akan membawa suatu manusia kedalam kekuasaan (power) dimana power tersebut akan menciptakan suatu kebenaran universal yang kemudian mengkonstruksikan berbagai hal termaksud normalitas, abnormalitas, dan inklusifitas serta difabelitas. Foucault juga mengatakan bahwa suatu kebenaran universal akan semakin besar dampaknya jika kekuasaan itu tersebar ke kekuasaan-kekuasaan yang sifatnya lebih kecil seperti didalam penelitian ini institusi pendidikan, institusi kesehatan, serta terbentuknya organisasi-organisasi seperti UKM peduli difabel yang melegitimasi diri mereka sendiri sebagai seorang yang berbeda(difabel) dan memerlukan kebutuhan khusus. Sehingga mereka berusaha untuk membongkar konstruksi tersebut dan membentuk suatu konstruksi baru bagi mahasiswa difabel di UGM . C. Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckman
Suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai
produk
manusia,
obyektivasi
adalah
interaksi
sosial
dalam
dunia
46
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri ditengah lembaga -lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.
Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
(Poloma,
2004:301).
Asal
usul
konstruksi
sosial
dari
filsafat
Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. M enurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan M ark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh G iambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal Konstruktivisme (Suparno, 1997:24).
Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. (Bertens, 1999:89). Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Bertens, 1999:137).
47
Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya „Cogito ergo sum‟ yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata -kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan -gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, V ico dalam „De Antiquissim a Italorum Sapientia‟, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata „Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan‟. D ia menjelaskan bahwa „mengetahui‟ berarti „mengetahui bagaimana membuat sesuatu ‟ini berarti seseoran g itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. M enurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Suparno, 1997:24).
Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa:
a. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan
48
sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.
b. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
c.
Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan
memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas obyektif dalam dirinya sendiri. (Suparno, 199 7:25).
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.
Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann mencoba mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asal-muasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan
interaksi intersubjektif. M asyarakat adalah sebagai
kenyataan obyektif sekaligus menjadi kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan
49
obyektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap -hadapan dengannya. Sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk individu. Kenyataan atau realitas sosial itu bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan subjektif dan obyektif. Kenyataan atau realitas obyektif adalah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan subjektif adalah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.
M elalui sentuhan Hegel, yaitu tesis, antitesis dan sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan obyektif itu melalui konsep dialektika. Yang dikenal sebagai eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural s ebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga -lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.
Di dalam kehidupan ini ada aturan-aturan atau hukum -hukum yang menjadi pedoman bagi berbagai intitusi sosial. Aturan itu sebenarnya adalah produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial, sehingga meskipun aturan di dalam strukt ur sosial itu bersifat mengekang, tidak menutup kemungkinan adanya “pelanggaran”
50
yang dilakukan oleh individu. Pelanggaran dari aturan itulah yang disebabkan oleh proses eksternalisasi yang berubah-ubah dari individu atau dengan kata lain ada ketidakmampuan individu menyesuaikan dengan aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial tersebut. Oleh karena itu, problem perubahan berada di dalam proses eksternalisasi ini. Jadi di dalam masyarakat yang lebih mengedepankan “ketertiban sosial” individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan
peranan-peranan
masyarakat
yang
sosial
senang
yang
kepada
sudah
dilembagakan,
“kekisruhan
sosial”
akan
sedangkan lebih
bagi
banyak
ketidaksukaannya untuk menyesuaikan dengan peranan -peranan sosial yang telah terlembagakan.
Hal ini yang termasusk masyarakat sebagai kenyataan obyektif adalah legitimasi. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi masuk akal secara obyektif. M isalnya itologi, selain memiliki fungsi legitimasi terhadap perilaku dan tindakan, juga menjadi masuk akal ketika mitologi tersebut difahami dan dilakukan. Untuk memelihara universum itu diperlukan organisasi sosial. Hal ini tidak lain karena sebagai produk historis dari kegiatan manusia, semua universum yang dibangun secara sosial itu akan mengalami perubahan karena tindakan manusia, sehingga diperlukan organisasi sosial untuk memeliharanya. Ketika pemeliharaan itu dibangun dengan kekuatan penuh, maka yang terjadi adalah status quo.
51
M asyarakat juga sebagai kenyataan subjektif atau sebagai realitas internal. Untuk menjadi realitas subjektif, diperlukan suatu sosialisasi yang berfungsi untuk memelihara dan mentransformasikan kenyataan subjektif tersebut. Sosialisasi selalu berlangsung di dalam konsep struktur sosial tertentu, tidak hanya isinya tetapi juga tingkat keberhasilannya. Jadi analisis terhadap sosial mikro atau sosial psikologis dari fenomen-fenomen internalisasi harus selalu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman sosial-makro tentang aspek-aspek strukturalnya.
Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia obyektif. Dalam prosen internalisasi, tiap individu berbeda -beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang lebih menyerapa bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dim ensi obyektif dan dimensi kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.
Dengan demikian, hubungan antara individu dengan institusinya adalah sebuah dialektika (intersubjektif) yang diekspresikan dengan tiga momen : society is human product. Society is an objective reality. Human is sosial product. (M asyarakat adalah produk manusia. M asyarakat adalah suatu kenyataan sasaran. M anusia adalah
52
produk sosial). D ialektika ini dimediasikan oleh pengetahuan yang disandarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan oleh peranan -peranan yang merepresentasikan individu dalam tatanan institusional (Waters, 1994 : 35)
Teori Konstrusi Berger dan Luckman Eksternalisasi
Obyektivikasi
Internalisasi
53