BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum mempunyai arti penting dalam pergaulan kemasyarakatan sebagai sumber hubungan sebab akibat, karena hukum akan menetapkan hal yang baik, patut, boleh dan juga sebaliknya, hukum pula menetapkan corak dan sifat perbuatan manusia, membatasi keleluasaan bergerak tetapi juga kadang-kadang melonggarkan kekuasaan bergerak itu sendiri. Penyelenggaraan peraturan hukum yang terutama bukanlah persoalan paksaan psikis, namun adalah kepercayaan atau keyakinan orang banyak bahwa sesuatu peraturan hukum adalah benar dan seharusnya ditaati.5 Kebenaran hukum coba dibentuk oleh pemerintah, dan mau tidak mau harus ditaati oleh masyarakatnya. Jika pada akhirnya banyak sekali hukum yang diciptakan, maka sedikit banyak menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, sehingga memerlukan acuan norma yang dapat menjadi pembimbing tingkah laku masyarakat tersebut ke arah yang diharapkan lebih baik lagi. Masyarakat adalah unsur kategoris yang pertama dari hukum. Masyarakat yang terorganisir adalah objek pengaturan hukum. Menurut Rousseau, sifat atau status alamiah manusia adalah innocent (tidak tercela) dan baik, namun masyarakat cenderung mengikuti status tersebut dengan menciptakan perbedaan yang dapat 5
J. Eddy Iskandar, Sosiologi Hukum, Diktat Kuliah, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, hlm. 39.
1
menimbulkan kecemburuan sosial, sifat kejam dan tindakan sewenang-wenang melalui pemberlakuan hukum yang lalim. Thomas Aquinas menganggap keliru kedua pandangan itu, karena keduanya mengingkari kebenaran metafisik tentang keterlibatan manusia sebagai makhluk being yang ditandai secara kausa formalis dan kausa materialis. Kausa formalis, yaitu adanya ikatan moral dari semua kehendak manusia untuk mencapai tujuan kebaikan umum. Faktor penentu keterikatan moral para anggota masyarakat terbentuk karena asas solidaritas rasa persaudaraan berdasarkan asas persamaan kodrat manusia dan asal usul metafisik-religius, serta asas subsidiaritas atau asas bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kausa materialis, yaitu segala sesuatu yang menjadi unsur atau bahan untuk membentuk masyarakat. Dalam masyarakat sipil, materi pertama pembentuk masyarakat adalah keluarga, dimana individu sebagai faktor penunjang. 6 Keluarga terbentuk dari ikatan perkawinan. Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia menjadi berkembang biak. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada, serta bagaimana pergaulan masyarakatnya. Perkawinan juga dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia yang bukan saja dipengaruhi ajaran agama Islam, Kristen, Hindu, 6
RB. Soemanto, 2008, Hukum dan Sosiologi Hukum, LPP UNS, Surakarta, hlm. 80.
2
Budha bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat. Hal mana turut sesuai dengan pribahasa “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, maka lain masyarakat lain pula aturan perkawinan yang dianutnya. 7 Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan) antara lain dinyatakan bahwa, Bagi suatu negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya undangundang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. UU Perkawinan dibentuk untuk menjamin kepastian hukum atas lembaga perkawinan dalam lapangan hukum keluarga secara privat. UU Perkawinan ini merupakan kodifikasi hukum yang bersifat parsial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun tetap menghormati dan menerima perbedaan terutama yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia. UU Perkawinan ini bertujuan sebagai unifikasi hukum namun tetap bersifat pluralisme mengingat agama dan kepercayaan yang dianut serta diakui di Indonesia tidaklah tunggal. Spirit nilai-nilai keagamaan dan kepercayaan yang dituangkan ke dalam hukum formal pada UU Perkawinan ini juga merupakan bentuk kepentingan negara agar adanya persatuan dalam unifikasi hukum, meskipun tidak secara penuh. Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Max Weber bahwa Hukum dapat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan, baik kepentingan-kepentingan material 7
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Madar Maju, Bandung, hlm. 1.
3
maupun kepentingan-kepentingan ideal, dan oleh cara berpikir kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat, terutama kelompokkelompok ahli hukum. Munculnya ketentuan perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan tentu juga merupakan hasil dari suatu kepentingan tersebut, kepentingan dan keinginan atas adanya suatu kejelasan bagaimana perkawinan akan dilaksanakan bersama oleh suami istri. Perikatan sebagai salah satu macam interaksi antar manusia, yang lahir dari perjanjian, dewasa ini lebih beragam jenis dan ragamnya seiring dengan perkembangan dan kompleksitas kehidupan manusia itu sendiri. Perjanjian dirancang dan dibuat sesuai dengan kebutuhan para pemegang janji tersebut, namun tetap ada kaidah yang melingkupinya. Indonesia sebagai negara hukum tentu tidak serta merta membebaskan rakyatnya membuat perjanjian sesuka hatinya. Meski dengan adanya pengakuan atas asas kebebasan berkontrak, namun asas ini tetap memiliki batasan bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Prenuptial agreement8 yang lebih dikenal di Indonesia sebagai perjanjian pranikah atau perjanjian kawin belum popular dilaksanakan di Indonesia, misalnya bagi kalangan calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan di kota 8
Prenuptial Agreement (antenuptial agreement) n. a written contract between two people who are about to marry, setting out the terms of possession of assets, treatment of future earnings, control of the property of each, and potential division if the marriage is later dissolved. These agreements are fairly common if either or both parties have substantial assets, children from a prior marriage, potential inheritances, high incomes, or have been "taken" by a prior spouse. http://legaldictionary.thefreedictionary.com/prenuptial+agreement, diakses pada tanggal 21/11/2013.
4
Banjarmasin. Menurut Ida Magedar, M.Pd selaku Kasi Perkawinan, Perceraian dan Pengesahan Anak pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin, perjanjian perkawinan tersebut rata-rata dibuat atau dicatatkan hanya sebanyak dua (2) kali oleh pasangan calon suami istri sepanjang tahun, padahal sudah sejak lama perjanjian ini diperbolehkan untuk dibuat.9 Di Indonesia, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) pada tanggal 1 Mei 1848. Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian dimuat dan dipertegas kembali dengan diundangkannya UU Perkawinan pada tahun 1974. Zaman yang semakin berkembang serta diiringi dengan tuntutan persamaan derajat yang digaungkan, menjadikan perjanjian perkawinan tersebut menjadi sedikit lebih sering dibuat sebelum calon pasangan suami istri melangsungan perkawinan. Kemunculan Pasal 29 ayat (1) pada UU Perkawinan tentang perjanjian perkawinan dikehendaki sebagai pengiring tuntutan zaman akan persamaan hak asasi manusia dan kebebasan untuk menentukan kebutuhan rakyat sendiri. Kepentingan dari negara dalam hal ini sangatlah penting, dengan adanya “kebebasan yang terbatas” dalam perjanjian perkawinan ini diharapkan akan lebih mencegah dan mengurangi konflik terutama yang terjadi di dalam lembaga perkawinan. Lembaga Perkawinan sendiri mengandung hubungan hukum yang bersifat istimewa. Keistimewaan tersebut dikarenakan perkawinan mengandung dua aspek, yaitu aspek biologis mengenai kebutuhan manusia untuk mendapatkan keturunan dan 9
Wawancara pada tanggal 25 September 2013.
5
aspek efeksional yaitu kebutuhan manusia pada ketenangan dan ketenteraman berdasarkan kasih sayang.10 Dengan adanya pemisahan harta antara suami dan istri dalam perkawinan, bisa saja menciptakan ketenteraman atau bahkan sebaliknya justru menjadi ancaman bagi berlangsungnya keharmonisan rumah tangga pasangan suami istri jika terjadi pengingkaran atau konflik lainnya. Semakin pesat perkembangan perekonomian dan perdagangan maka semakin banyak pula permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Selain karena kerugian akibat konsekuensi bisnis, modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar juga merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan secara hukum. Peminjaman modal kepada pihak lain tersebut sedikit banyak telah menimbulkan permasalahan penyelesaian utang piutang dikemudian hari, misalnya menimbulkan keadaan pailit. Pernyataan pailit yang dijatuhkan dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada seseorang atau badan hukum adalah salah satu cara pemaksa bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan atas utang debitur, demikian juga sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum bagi debitur jika ia sendiri yang mengajukan permohonan pailit agar pemberesan utangnya tersebut dilakukan secara proporsional. Putusan pailit akan mengubah status hukum seorang debitur menjadi
10
Baharuddin Ahmad, 2008, Hukum Perkawinan di Indonesia, Studi Historis Metodologi, Syari’ah Press, Jambi, hlm. 54.
6
tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit tersebut diucapkan. Pasal 23 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut sebagai UU Kepailitan dan PKPU) menyebutkan bahwa, debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang menikah dalam persatuan harta. Berdasarkan ketentuan tersebut, jika yang dipailitkan adalah suami, maka istri akan turut pailit, begitu pula sebaliknya, jika mereka menikah dalam persatuan harta. Ketidakberwenangan seseorang atas harta bendanya karena kepailitan sedikit banyak turut mempengaruhi kehidupan berumah tangga yang harta perkawinannya tidak dipisahkan (menikah dalam persatuan harta). Ketika suami sebagai kepala rumah tangga dinyatakan pailit, kemampuannya, terutama secara ekonomi untuk bertanggung
jawab
terhadap
keluarga
akan
diragukan
dan
memunculkan
permasalahan lain misalnya perceraian. Salah satu cara untuk menghindari permasalahan tersebut adalah dengan membuat perjanjian perkawinan agar tidak ada persatuan harta dalam perkawinan antara suami istri. Dengan demikian, ketika ada salah satu pihak yang dinyatakan pailit, maka pihak yang lain dapat menopang kehidupan berumah tangga untuk sementara waktu sampai pemberesan harta pailit tersebut selesai. Berdasarkan pemikiran di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan pada perkara kepailitan dalam 7
suatu penelitian dengan judul IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM PERKARA KEPAILITAN (Studi Komparasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
B. Rumusan Masalah Untuk menghindari agar penelitian ini tidak keluar dari pokok masalah, maka permasalahannya akan dibatasi sebagai berikut: 1. Bagaimana implikasi yuridis perjanjian perkawinan dalam perkara kepailitan, menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UndangUndang No.37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang? 2. Mengapa perjanjian perkawinan pasangan suami istri dapat menjadi pengecualian dalam perkara kepailitan?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengkaji implikasi yuridis perjanjian perkawinan dalam perkara kepailitan, menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
8
dan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b. Untuk mengkaji alasan perjanjian perkawinan pasangan suami istri dapat menjadi pengecualian dalam perkara kepailitan. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Magister (Strata 2) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut : 1. Secara Praktis a. Penelitian ini dapat menjadi masukan dan pemahaman yang lebih luas bagi praktisi hukum, masyarakat serta akademisi tentang implikasi yuridis perjanjian perkawinan dalam perkara kepailitan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b. Penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi peninjauan putusan pailit bagi debitur yang masih berada dalam ikatan perkawinan tanpa pemisahan harta atau dengan pemisahan harta.
9
2. Secara Teoritis a. Diharapkan dapat dijadikan dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya tentang implikasi yuridis perjanjian perkawinan dalam perkara kepailitan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan dengan penelitian-penelitian terdahulu dalam rangka mengembangkan pemahaman tentang perjanjian perkawinan dan implikasinya dalam proses kepailitan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai “Implikasi Yuridis Perjanjian Perkawinan dalam Perkara Kepailitan (Studi Komparasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)” sepanjang pengetahuan penulis melalui bacaan pustaka, belum pernah ada sebelumnya. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah telah dilakukan, dan telah ditemukan berbagai hasil penelitian yang membahas permasalahan serupa tetapi tidak ditemukan hasil penelitian lain yang secara spesifik membahas implikasi yuridis perjanjian perkawinan dalam perkara kepailitan tersebut.
10
Dari sekian banyak hasil penelitian, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang dianggap memiliki substansi yang memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan penulis tetapi berbeda dalam pengkajian masalahnya yang tidak berkaitan dengan perkara kepailitan, yakni sebagai berikut: 1. Tesis “Perjanjian Kawin sebagai Perlindungan Hukum bagi Suami dan Istri” oleh Arika Sari11, dengan rumusan masalah sebagai berikut: c. Apakah ketentuan yang mengatur tentang perjanjian kawin memberikan perlindungan hukum terhadap suami dan istri? d. Faktor apa saja yang menyebabkan sedikitnya jumlah perjanjian kawin di kota Yogyakarta? Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa perjanjian kawin telah memberikan perlindungan hukum bagi pasangan suami istri yang membuatnya. Masih sedikitnya perjanjian kawin yang dibuat di Kota Yogyakarta selain karena pandangan sebagian masyarakat yang menganggap perjanjian kawin tidak pantas untuk dibuat, juga pihak Pegawai Pencatat Perkawinan lebih memilih untuk menolak pengesahan perjanjian kawin tersebut karena sudah ada sighat taklik talak. 2. Tesis “Perlindungan Hukum terhadap Harta dalam Perkawinan dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin” oleh Ria Desviastanti12, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
11
Arika Sari, 2010, Perjanjian Kawin sebagai Perlindungan Hukum bagi Suami dan Istri, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
11
a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan? b. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi terhadap pelaksanaan perjanjian kawin tersebut? c. Bagaimana wewenang dan tanggung jawab Notaris atas akta perjanjian kawin yang dibuatnya? Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan kawin hanya dapat dilakukan saat dilangsungkannya perkawinan. Kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian kawin dengan tidak adanya itikad baik dari para pihak serta tidak dimasukkannya hak-hak dan kewajiban dalam perjanjian kawin. Wewenang dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta yang dibuatnya adalah sebatas isi perjanjian yang telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka ia tidak dapat dituntut di pengadilan. 3. Skripsi “Perjanjian Perkawinan dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia (Studi terhadap Pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam)” oleh Surya Mulyani13, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)? 12
Ria Desviastanti, 2010, Perlindungan Hukum terhadap Harta dalam Perkawinan dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang. 13 Surya Mulyani, 2009, Perjanjian Perkawinan dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia (Studi terhadap Pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam), Skripsi Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
12
b. Bagaimana pandangan syari’ah (hukum Islam) terhadap perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)? Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa dalam UU Perkawinan perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan, artinya bisa mengenai apa saja, sedangkan dalam KHI, perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam serta harus disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Hukum dasar dari perjanjian perkawinan itu mubah, selama tidak bertentangan dengan syari’at. 4. Skripsi “Tinjauan Yuridis Perjanjian Kawin Menurut Perspektif Hukum Nasional Indonesia.” disusun oleh Nuki Hapsari14, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Apa filosofi yang menyebabkan perbedaan pengaturan tentang perjanjian kawin dalam hukum nasional Indonesia? b. Bagaimana perbandingan pengaturan tentang perjanjian kawin dalam KUHPerdata, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam? Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa filosofi yang menyebabkan perbedaan pengaturan tentang perjanjian kawin adalah pluralisme bangsa, kebutuhan akan reformasi hukum perkawinan dan landasan hukum perjanjian
14
Nuki Hapsari, 2011, Tinjauan Yuridis Perjanjian Kawin Menurut Perspektif Hukum Nasional Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
kawin yang belum memberikan kepastian hukum. Perbandingan pengaturan perjanjian kawin terletak pada implementasi cara pembuatan perjanjian kawin, urgensi perlindungan hukum terhadap pihak ketiga terkait serta fleksibilitas pengaturan UU Perkawinan dan KHI terhadap perjanjian kawin, meskipun tetap terdapat persamaan pengaturan diantaranya. Jadi penulis berpendapat bahwa tema yang diangkat dalam penulisan hukum ini adalah asli dan belum pernah diteliti sebelumnya, namun apabila terdapat penulisan hukum yang mengangkat permasalahan yang sama diluar pengetahuan penulis, maka penulis berharap bahwa penulisan hukum ini dapat melengkapi bahan bacaan untuk dunia pendidikan.
14