BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Radikal bebas dan oksidan merupakan senyawa yang dapat bermanfaat tetapi juga dapat menjadi toksik bagi tubuh manusia (Rahman, 2007). Radikal bebas dan oksidan diproduksi dari hasil metabolisme sel ataupun dari sumber eksternal (polusi, asap rokok, radiasi, medikasi). Ketika radikal bebas terakumulasi dan tidak dapat dihancurkan dalam tubuh, maka akan terjadi stres oksidatif dalam tubuh manusia. Proses inilah yang menjadi penyebab kebanyakan dari penyakit degeneratif dan kronis seperti kanker, penyakit autoimun, penuaan, katarak, rheumatoid artritis, penyakit kardiovaskular dan neurodegeneratif. Tubuh manusia memiliki beberapa mekanisme untuk melawan proses oksidatif stres dengan memproduksi antioksidan yang dapat diproduksi dalam tubuh (internal) maupun diperoleh dari sumber makanan (eksternal) (Pham-Huy et al., 2008; Rahman, 2007). Pertahanan dengan antioksidan masih belum cukup tanpa adanya antioksidan eksternal yang merupakan senyawa pereduksi seperti vitamin C, vitamin E, karotenoid, dan polifenol (Bouayed & Bohn, 2010). Aktivitas antioksidan pada buah-buahan dan sayur-sayuran mayoritas berasal dari senyawa fenolik daripada vitamin C, vitamin E, atau β-karoten dalam aktivitasnya melawan peroksil radikal. Polifenol juga mempunyai keuntungan lain untuk kesehatan yaitu
1
2
sebagai
antikarsinogenik,
antiaterogenik,
antitukak,
antitrombotik,
dan
antiinflamasi (Cao et al.,1997). Daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) merupakan tanaman obat Indonesia yang secara empiris digunakan sebagai obat penyakit kulit dan obat luar pada penyakit pembesaran limpa (Heyne, 1987). Daun sukun juga berkhasiat sebagai obat demam (Balitbangkes, 1993). Tanaman ini memproduksi senyawa fenolik termasuk flavonoid, stilbenoid, dan arylbenzofuron (Sikarwar et al., 2014). Telah diidentifikasi bahwa daun sukun mengandung senyawa flavonoid terprenilasi seperti artokarpin, sikloartokarpin, artonin E, sikloartobiloxanton, artoindonesianin F, artonol B, chaplasin (Hakim et al., 2006). Penelitian Suryanto dan Wehantouw (2009) membuktikan bahwa ekstrak metanol, etanol, dan aseton daun sukun mengandung senyawa fenolik, flavonoid, dan tanin terkondensasi serta memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap 1,1 diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) merupakan salah satu metode uji aktivitas antioksidan dengan mekanisme menginaktifkan radikal bebas dengan mentransfer elektron tidak berpasangan (Single Electron Transfer). Dalam menentukan aktivitasnya, antioksidan akan mereduksi oksidan yang dapat menyebabkan perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi akan proporsional dengan konsentrasi antioksidan sehingga dapat dapat diketahui aktivitas antioksidannya berdasarkan kemampuannya dalam mereduksi ( Prior et al., 2005). Ion ferri, merupakan oksidan yang sering digunakan dalam pengukuran aktivitas antioksidan. Ion ferri akan tereduksi menjadi ion ferro dan akan membentuk
3
kompleks berwarna merah-orange ketika direaksikan dengan 1,10-fenantrolin. Metode ini mudah dilakukan, relatif murah, dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan dari ekstrak etil asetat, etanolik, dan air daun sukun. Penyari air dipilih karena secara empiris daun sukun digunakan sebagai obat tradisional, sedangkan penyari etil asetat dan etanol dipilih karena sifatnya yang lebih nonpolar mengingat flavonoid yang telah banyak diidentifikasi merupakan flavonoid terprenilasi. Selain itu perlu juga dilakukan penentuan kandungan fenolik total dan kandungan flavonoid total masing-masing ekstrak untuk mengetahui hubungan antara aktivitas antioksidan dengan kandungan fenolik dan flavonoid totalnya.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana potensi ekstrak etil asetat, etanolik, dan air daun sukun sebagai antioksidan berdasarkan metode FRAP? 2. Berapa kandungan fenolik dan flavonoid total ekstrak etil asetat, etanolik, air daun sukun dan apakah terdapat hubungan dengan aktivitas antioksidannya?
4
C. Tujuan penelitian 1. Tujuan Umum Mengeksplorasi bahan alam yang berpotensi sebagai antioksidan. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui potensi antioksidan ekstrak etanolik, air, dan etil asetat daun sukun menggunakan metode FRAP. b. Mengetahui kandungan fenolik dan flavonoid total ekstrak etetil asetat, etanolik, air daun sukun dan mengetahui apakah terdapat hubungan antara kandungan fenolik dan flavonoid total dengan aktivitas antioksidan daun sukun. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diusulkan untuk mengeksplorasi potensi antioksidan dari bahan alam khususnya daun sukun. Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk memberikan data ilmiah yang valid mengenai aktivitas antioksidan ekstrak etanolik, etil asetat, dan air daun sukun berdasarkan metode FRAP. Penelitian ini dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Daun sukun
Gambar 1. Daun Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg)
1. Sinonim : Artocapus communis Forst dan Artocarpus incisa L. f. 2. Nama daerah : Sukun (Aceh, Jawa, Bali), Hatopul (Batak), Amu (Melayu), Sakon (Madura), Karara bima (Flores) 3. Klasifikasi Tanaman Sukun Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Urticales
Suku
: Moraceae
Marga
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (Balitbangkes, 1997)
6
4. Penyebaran dan Budidaya Sukun merupakan tanaman yang tumbuh sepanjang tahun (Ragone, 1997). Sukun menyebar di daerah tropis, diantaranya: Madagaskar, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, Karibia, Asia Tenggara, Srilanka, India, Indonesia, Australia Bagian Utara, dan Florida Bagian Selatan (Ragone, 1997; Zerega et al., 2005). Tanaman sukun hampir sama dengan tanaman kluwih, mereka memiliki nama latin yang sama yaitu A.altilis, perbedaannya adalah kluwih merupakan wildtype yang menghasilkan buah tanpa biji. Sukun memiliki dua varietas yaitu sukun Jawa dan sukun Bangkok. Sukun Jawa berbatang lebih tinggi daripada sukun Bangkok, tetapi buah sukun Jawa lebih kecil dari sukun Bangkok (Susandarini, 2013 cit. Hastuti, 2013) Pembibitan sukun hanya dapat dilakukan secara vegetatif dengan beberapa cara yaitu: mencangkok, okulasi, penyapihan tunas akar alami, stek akar, stek batang, stek pucuk dan kultur jaringan (Pitojo, 1992; Ragone, 1997; Adinugraha, 2009). Apabila akarnya dilukai maka akan terbentuk tunas alami (Heyne, 1987). 5. Morfologi Batang : Tegak, berkayu, coklat, bulat, percabangan simpopodial, 10- 25 meter, dan memiliki diameter batang hingga 1,2 meter. Akar
: Tunggang, dan coklat.
7
Daun
: Tersebar tunggal, hijau, 50-70 cm, lebar 25-50 cm, tepi bertoreh, pertulangan daun menonjol dengan bentuk menyirip, daging daun tebal, ujung meruncing, pangkal membulat, dan permukaan kasar.
Buah
: berbentuk bulat hingga lonjong dengan lebar 12-20 cm dan panjang 20 cm, buah majemuk dengan warna hijau muda, hijau kekuningan atau kuning ketika sudah matang, berwarna putih atau pucat kekuningan ketika sudah matang. Permukaan bergerigi tumpul tersusun teratur.
Biji
: berbentuk ginjal dengan ketebalan 3-5 cm, hitam. (Ragone, 1997; Balitbangkes,1997)
6. Kandungan Kimia Lebih dari 130 senyawa telah diidentifikasi dari berbagai organ A. altilis, dan lebih dari 70 diantaranya terbentuk dari jalur fenilpropanoid. Tanaman ini memproduksi senyawa fenolik termasuk flavonoid, stilbenoid, dan arylbenzofuron (Sikarwar et al., 2008). Ekstrak metanolik, etil asetat, dan petroleum eter daun A. altilis mengandung steroid, fitosterol, gums, resin. Selain itu, senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun sukun adalah 72,5% asam amino, 68,2% asam lemak, dan 81,4% karbohidrat. Mineral yang terkandung dalam sukun diantaranya kalsium, natrium, dan besi (Huie, 2002 cit. Sikarwar et al., 2014).
8
Siddhesa (2010) melakukan analisis skrining fitokimia dari ekstrak daun sukun menggunakan beberapa penyari seperti yang disajikan dalam tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Analisis fitokimia ekstrak daun sukun Golongan
Air
Metanol
Etanol
nbutanol
Aseton
Etil asetat
Petroleum eter
Heksan
senyawa
P
D
P
D
P
D
P
D
P
D
P
D
P
D
P
D
Tanin
+
+
-
-
-
-
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
Fenolik
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
-
-
-
-
Glikosida
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
Saponin
+
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Steroid
-
-
-
-
-
+
+
-
+
-
+
+
-
-
-
-
Terpenoid
-
-
+
+
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
Antrakuinon
-
-
-
+
-
-
+
+
+
-
+
+
-
-
+
-
Peptida/protein
+
+
+
+
NT
NT
NT
NT
NT
NT
Ket : P= Panas, D=Dingin, + = terkandung, - = tidak terkandung, NT = not tested
Beberapa senyawa yang telah teridentifikasi dari daun sukun adalah artokarpin, sikloartokarpin, artonin E, sikloartobiloxanton, artoindonesianin F, artonol B, chaplasin (Hakim et al., 2006), sikloaltilisin 6, sikloaltilisin 7 (Patil et al., 2002), 2-geranil-2’,4’,3,4- tetrahidroksidihidrokalkon, 8-geranil4’,5,7- trihidroksiflavanon (Syah et al., 2006), altilisin H, altilisin I, dan altilisin J (Mai et al., 2012).
9
H3C
CH3
OH OCH3
HO H3CO
OH
HO
O O
O OH O
CH3
H3C CH3
OH O
CH3
CH3
a
b
H3C
OH H3CO
CH3
H3C
O
H3C
HO
O
OH
O
OH
O CH3
OH O
CH3
OH O
CH3
CH3 CH3
c
d
OH
H3C
CH3
O
O O
O
O H3C CH3
H3CO
O H3C
O
OH e
O
CH3 OH O
H3C
OH CH3
CH3 f
Gambar 2. Kandungan beberapa senyawa flavonoid terprenilasi daun sukun (A. altilis (Park.) Fosberg) a. Artokarpin b. Sikloaltilisin c. Sikloartobilosanton d. Artonin E e. Artonol B f. Chaplasin (Hakim et al., 2006)
7. Khasiat dan Kegunaan Daun sukun merupakan tanaman obat Indonesia yang secara empiris digunakan sebagai obat penyakit kulit dan obat luar pada penyakit pembesaran limpa (Heyne, 1987). Daunnya juga berkhasiat sebagai obat
10
demam, sirosis hati, antihipertensi, dan diabetes (Balitbangkes, 1993; Jagtap & Bapat, 2010; Ragone 1997). Beberapa senyawa isolasi dari A. altilis mempunyai aktivitas biologi diantaranya antiplatelet, antifungi, antibakteri, penghambatan sel leukemia, antitumor, antioksidan, ACE inhibitor, antidiabetes, anthehelmintik, protease inhibitor, immunomodulator, antiinflamasi, penghambat biosintesis melanin, dan sebagai agen kosmetik (Handa et al., 2008; Somashekar, 2013). Nwokoca et al. (2012) melaporkan bahwa ekstrak air daun A. altilis berperan sebagai antihipertensi. Wang et al. (2006) mengidentifikasi komponen cytoprotective dari ekstrak etil asetat A. altilis yang dapat dijadikan
sebagai
antiaterosklerosis.
Senyawa
2-geranil-2’,4’,3,4-
tetrahidroksidihidrokalkon diisolasi oleh Syah et al., (2006) memiliki efek biologis yang potensial sebagai inhibitor 5-lipooksigenase atau dengan kata lain berperan sebagai antialergi (Fujimoto et al.,1987). Altilisin H, Altilisin I, dan Altilisin J terbukti beraktivitas sebagai penghambat enzim tirosinase. Sementara itu, altilisin H dan altilisin J juga terbukti beraktivitas sebagai penghambat α-glukosidase yang potensial (Mai et al., 2012). Artokarpin memiliki kemampuan menangkap radikal bebas anion superoksida yang baik (Lan et al., 2013). 2. Ekstraksi Ekstraksi atau penyarian merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat berkhasiat yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti
11
serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian atau ekstraksi adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisanlapisan batas antara penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut (Hargono et al., 1986). Oleh karena itu, pengadukan dan pemanasan merupakan cara yang dapat mengefektifkan proses penyarian. Pengadukan akan menyebabkan perataan pelarut untuk mencapai zat aktif dalam bahan sedangkan pemanasan akan menyebabkan pelarut lebih encer sehingga meningkatkan kemampuannya untuk melarutkan zat aktif (Pramono, 2012). Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai macam metode, diantaranya: (Pramono, 2012;Wahyono, 2012) 1. Pemerasan, merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan cara memeras simplisia segar. 2. Maserasi, merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari pada tempat yang sesuai dan pada umumnya tertutup. Metode ini paling sering digunakan untuk ekstraksi bahan tumbuhan yang senyawa bioaktifnya tinggi. Umumnya digunakan volume pelarut 80 kali bahan untuk merendam tergantung pada sifat bahan. Waktu perendaman juga bervariasi tergantung dari sifat bahan apakah bahan tersebut dari daun, biji, kulit kayu tetapi umumnya berkisar 18 jam. Kerugian metode ini adalah ekstraksinya tidak dapat sempurna tetapi dapat disiasati dengan dimaserasi kembali sekurang-kurangnya dua kali menggunakan pelarut yang sama. Maserat dikumpulkan dengan filtrasi dan diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental.
12
3. Perkolasi, merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Serbuk simplisia dimasukkan dalam perkolator yaitu kolom dengan sumbat pada pangkal dilengkapi lapisan filter. Metode ini juga tergolong sederhana, proses ini dapat diulangi sebanyak yang diperlukan. Metode ini biasanya digunakan pada tumbuhan dengan kadar senyawa bioaktif yang rendah. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah penyaringan, dapat diketahui proses ekstraksi telah selesai ketika tetesan terakhir dari perkolator tidak menunjukan reaksi positif dengan pereaksi. Kerugiannya adalah kontak penyari dengan bahan tidak seimbang dan terbatas sehingga tidak melarutkan beberapa komponen secara efisien. 4. Digesti, merupakan cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu 40-50˚C. 5. Infundasi, merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan memanaskan simplisia baik yang telah diserbuk atau hanya dikecilkan menggunakan air pada suhu 90˚C. Metode ini dilakukan dengan alat berupa dua panci bertingkat, dengan panci bagian bawah sebagai tangas air. Hasil proses ini disebut infusa jika pemanasan pada ± 90˚C dilakukan 15 menit dan disebut dekokta jika pemanasannya dilakukan 30 menit. 6. Destilasi uap, merupakan metode popular untuk menyari minyak atisiri dari bahan tanaman. Metode ini dapat dilakukan dengan sejumlah cara. Salah satunya
dengan
mencampur
bahan
tumbuhan
dengan
air
dan
13
mendidihkannya. Uap yang dihasilkan disimpan dan dibiarkan mengembun, lalu minyak dipisahkan dari air. Hasil dari penyarian ini secara umum disebut sebagai ekstrak. Ekstrak merupakan sediaan kering, cair, atau kental yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok diluar pengaruh sinar matahari (Depkes RI, 1979). 3. Radikal bebas Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang sangat reaktif karena elektron yang tidak memiliki pasangan. Radikal bebas mencari reaksi-reaksi agar dapat memperoleh elektron pasangannya. Serangkaian reaksi akan terjadi dan menghasilkan radikal bebas lain. Setelah itu, radikal bebas dapat mengalami tubrukan kaya energi dengan molekul lain, yang dapat merusak membran sel, retikulum endoplasma, atau DNA sel yang rentan. Kesalahan DNA akibat kerusakan radikal bebas diduga berkontribusi terhadap perkembangan beberapa jenis kanker (Corwin & Elizabeth, 2009). Reaktivitas radikal bebas adalah mencari pasangan elektron. Akibatnya, akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi 3 kemungkinan. Pertama, radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan
14
radikal bebas, kedua, radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, ketiga, radikal bebas akan bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007). Senyawa radikal yang berperan dalam penyebab penyakit diantaranya radikal hidroksil, hidrogen peroksida, oksigen singlet, anion superoksida, hipoklorit, oksida nitrat, dan peroksinitrit (Lobo et al.,2010) Reaksi oksidasi terjadi setiap saat, bahkan saat bernafas pun terjadi reaksi oksidasi. Reaksi ini mencetuskan radikal bebas yang sangat reaktif, yang dapat merusak struktur dan fungsi sel. Namun, reaktivitas radikal bebas ini dapat dihambat oleh senyawa antioksidan yang dapat melengkapi kekebalan tubuh (Winarsi, 2007). Ketika radikal bebas terakumulasi dan tidak dapat dihancurkan dalam tubuh, maka akan terjadi stres oksidatif dalam tubuh manusia. Proses inilah yang menjadi penyebab kebanyakan dari penyakit degeneratif dan kronis seperti kanker, penyakit autoimun, penuaan, katarak, rheumatoid artritis, penyakit kardiovaskular dan neurodegeneratif (Pham-Huy et al., 2008). 4. Antioksidan Antioksidan merupakan bahan atau senyawa yang menghambat atau mencegah keruntuhan, kerusakan, atau kehancuran akibat oksidasi (Youngson, 2005). Senyawa ini menginaktivasi reaksi oksidasi dengan mencegah terbentuknya radikal. Akibatnya kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Senyawa ini dapat memperlambat oksidasi walaupun dengan konsentrasi yang
15
lebih rendah sekali pun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi (Halliwel & Gutteridge, 1999). Tubuh manusia memiliki beberapa mekanisme untuk melawan proses stres oksidatif dengan memproduksi antioksidan yang dapat didproduksi dalam tubuh (internal) maupun diperoleh dari sumber makanan (eksternal) (Pham-Huy et al., 2008). Antioksidan dapat diperoleh baik secara alami maupun sintesis. Antioksidan sintesis seperti BHA, BHT, dan PG sebenarnya mempunyai efektivitas yang tinggi, namun penggunaannya menyebabkan toksisitas bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, perlu dicari sumber antioksidan alami yang lebih aman daripada antioksidan sintesis untuk dikembangkan misalnya antioksidan yang berasal dari tanaman yang kaya akan flavonoid, dan tokoferol (Tavasalkar et al., 2012) Secara alami, terdapat sumber antioksidan dalam sistem biologi, yaitu : a. Enzim (superoksid dismutase, glutation peroksidase, dan katalase) b. Molekul besar (albumin, seruloplasmin, feritrin, dan protein lain) c. Molekul kecil (asam askorbat, tokoferol, asam urat, glutation, karotenoid, dan polifenol) d. Hormon (estrogen, angiotensin, melatonin, dan lainnya) (Prior et al., 2005) Beberapa mekanisme antioksidan dalam menginaktivitas radikal bebas dapat dibagi menjadi tiga kelompok (Winarsi, 2007): a. Antioksidan primer, merupakan antioksidan yang dapat menghalangi pembentukan radikal bebas baru. Contoh dari antioksidan golongan ini
16
adalah superoksid dismutase (SOD) dan katalase. SOD akan mengkatalisis dismutasi radikal anion superoksida (O2-) menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2), sedangkan katalase akan mengubah hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. b. Antioksidan sekunder atau penangkap radikal (radical scavenger), merupakan antioksidan yang dapat menekan terjadinya reaksi rantai, baik pada awal pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. Beberapa senyawa antioksidan golongan ini adalah vitamin E, flavonoid, β-karoten dan kurkuminoid. c. Antioksidan tersier merupakan antioksidan yang memperbaiki kerusakankerusakan yang telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfoksida reduktase (Winarsi, 2007). 5. Metode uji antioksidan Berikut ini adalah beberapa metode pengujian yang dapat digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan : a. FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) Prinsip metode ini adalah adanya reduksi ion ferri menjadi ion ferro oleh senyawa antioksidan. Metode ini dikenalkan oleh Benzie dan Strain (1996) menggunakan 2,4,6-trypyridyl-s-triazine yang akan membuat ion ferro menjadi senyawa kompleks berwarna biru. Reagen lain yang juga dapat memberikan warna spesifik pada ion ferri adalah 1,10-fenantrolin (Terry et al., 2011).
17
Ion ferro akan bereaksi dengan 1,10-fenantrolin membentuk kompleks berwarna jingga-merah [(C12H8N2)3.Fe]2+ yang intensitas warnanya tidak bergantung pada keasaman dalam jangka pH 2-9, dan stabil dalam waktu yang lama (Mendham et al., 1994). Senyawa kompleks ini dapat dibaca absorbansinya pada λ 510 nm (Terry et al., 2011). Berikut mekanisme umum yang terjadi : Fe3+ + antioksidan (reduktor) Fe2+ + Antioksidan+ (C12H8N2)3 + Fe2+ ↔ [ (C12H8N2)3.Fe]2+
(1)
(2)
2+ N N
N
Fe N
N N
Gambar 3. Kompleks 1,10-fenantrolin dengan Fe2+
b. Penangkapan radikal bebas DPPH DPPH merupakan radikal nitrogen organik yang stabil berwarna ungu tua. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Brand-williams (Prior et al., 2005). Metode DPPH adalah sebuah metode yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Prinsipnya dimana elektron tidak berpasangan pada molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 517 nm yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah
18
apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan (Prakash, 2001). Parameter
yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan
adalah Inhibitory Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan radikal. Semakin rendah nilai IC50 semakin baik aktivitas antioksidannya (Molyneux, 2004). Metode ini sederhana karena hanya membutuhkan spektrofotometri UV-Vis. Akan tetapi, karena DPPH sensitif terhadap cahaya maka metode ini dilakukan di ruangan yang gelap atau terhindar cahaya. c. Sistem linoleat-tiosianat Asam linoleat adalah asam lemak tidak jenuh yang memiliki dua ikatan rangkap yang mudah mengalami oksidasi membentuk peroksida yang selanjutnya mengoksidasi ion fero menjadi ion feri. Selanjutnya ion feri bereaksi dengan amonium tiosianat membentuk kompleks feritiosianat [Fe(CNS)3] yang berwarna merah muda. Kemudian intensitas warna ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 490 nm. Semakin tinggi intensitas warnanya menunjukkan semakin banyak peroksida yang terbentuk (Pokorny et al., 2001). d. β-caroten bleaching assay Prinsip metode ini adalah adanya pemucatan warna β-karoten oleh radikal yang berasal dari peristiwa oksidasi spontan asam lemak pada suhu 50˚C. Metode ini sudah banyak digunakan secara luas, tetapi memiliki
19
keterbatasan diantaranya adalah sensitif terhadap oksigen dan suhu udara (Prieto et al., 2012). e. Penentuan bilangan peroksida Penentuan aktivitas antioksidan melalui penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan cara mengukur sampel minyak yang ditambahkan ekstrak tanaman sebanyak 0,1% dan dengan blanko tanpa ekstrak. Dalam penentuan bilangan peroksida ini, sebagian ekstrak hidrofilik akan sulit diteliti karena ekstrak hidrofilik akan sulit terhomogenisasi. Namun, tetap bisa diteliti dengan cara melarutkannya dalam sejumlah kecil etanol, sekitar 5% dari masa minyak. Lalu, larutan ini dicampurkan dalam fase minyak dengan pengadukan yang kuat (Helrich, 1990). 6. Senyawa fenolik Senyawa fenolik merupakan senyawa yang lazim berada pada tanaman, bagian yang esensial bagi diet tubuh manusia, dan merupakan senyawa yang berperan sebagai antioksidan. Fenolik berupa senyawa benzen dengan satu atau lebih gugus hidroksil mulai dari molekul sederhana hingga kompleks. Sifat antioksidan senyawa fenolik tergantung dari strukturnya, terutama pada jumlah dan posisi gugus hidroksil serta sifat substitusi pada gugus aromatiknya (Balasundram et al., 2006). Senyawa fenolik menunjukan berbagai aktivitas fisiologis, seperti antialergi,
antiarterogenik,
antiinflamasi,
antimikroba,
antioksidan,
antitrombosis, kardioprotektif, dan vasodilator (Balasundram et al., 2006).
20
Senyawa fenolik dari obat herbal ataupun sayuran termasuk diantaranya asam fenolik, flavonoid, tanin, stilben, kurkuminoid, kumarin, lignan, kuinon, dan lain sebagainya (Huang et al., 2010). Flavonoid adalah kelompok terbesar yang merupakan bagian dari fenolik. Terhitung setengah dari 8000 senyawa fenolik adalah flavonoid (Harbone et al., 1999). Folin-Ciocalteu merupakan metode yang sudah digunakan bertahuntahun untuk menghitung kadar fenol total dari produk alam. Dalam metode ini, reagen molibdotungstat akan mengoksidasi senyawa fenol sehingga akan tebentuk senyawa berwarna yang dapat dibaca pada panjang gelombang maksimum 745-750 nm. Reaksi yang terjadi berlangsung lambat pada pH asam serta mengalami penurunan spesifitas. Sehingga Singleton dan Rossi melakukan modifikasi
reagen
molibdotungstat
menjadi
Molybdotungstophosphoric
heteropolyanion yang akan membentuk warna pada panjang gelombang maks 765 nm (Prior et al., 2005). Folin-Ciocalteu merupakan metode yang sederhana, sensitif, dan teliti. Namun sayangnya banyak juga senyawa lain yang dapat bereaksi dengan reagen F-C seperti adenin, adenosin, alanin, anilin, asam aminobenzoat, asam askorbat, benzaldehid, kreatinin, sistein, sitidin, sitosin, dimetilanilin, difenilamin, EDTA, fruktosa, guanin, guanosin, glisin, histamin, histidin, indol, metilamin, asam nitriloasetat, asam oleat, feniltiourea, timin, timidin, trimetilamin, triftofan, urasil, asam urat, dan xantin. Selain itu beberapa senyawa inorganik seperti hidrazin, hidroksiammonium klorida, iron ammonium sulphate, besi sulfat, mangan sulfat, kalium nitrit, natrium sianida, natriun metabisulfit,
21
natrium fosfat, natrium sulfit, dan tin klorida. Metode ini biasanya menggunakan asam galat sebagai referensi senyawa standar (Prior et al., 2005). 7. Senyawa flavonoid Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang secara luas berada dalam tanaman berkayu dan lebih dari 8000 senyawa telah diketahui strukturnya. Flavonoid terbentuk dari asam amino aromatik fenilalalin dan tirosin, dan malonat. Senyawa ini memiliki kerangka dasar C6-C3-C6 yang dilabeli pada gambar 3 (Pietta, 2000).
8 7 6
A 5
3' 2' 4' 1 1' B 5' O 2 6' C 3 4
Gambar 4. Struktur kerangka flavonoid
Flavonoid dapat berupa senyawa aglikon maupun glikosida. Senyawa ini memiliki banyak turunannya sehingga secara umum diklasifikasikan ke dalam tiga kelas utama yaitu flavon (flavonoid), isoflavon (isoflavonoid), dan neoflavon (neoflavonoid) (Selepe & Heerden, 2013; Pinheiro & Justino, 2012). O
O
O
O
O Flavonoid (flavon)
O Isoflavonoid (Isoflavon)
Neoflavonoid (Neoflavon)
Gambar 5. Kelas utama flavonoid
Banyak penelitian yang menemukan bahwa senyawa ini memiliki aktivitas biologi yang luas seperti antialergi, antiviral, antiinflamasi, dan
22
vasodilator. Selain itu flavonoid dikenal dengan aktivitasnya sebagai pemakan radikal bebas atau lebih dikenal sebagai antioksidan (Pietta, 2000). Flavonoid dapat memproteksi sistem biologi berasal dari kemampuannya untuk mentransfer
elektron,
menangkap
radikal
bebas,
mengkelat
logam,
mengaktifkan enzim-enzim antioksidan, mereduksi radikal α-tokoferol dan menghambat enzim-enzim oksidase (Akowuah et al., 2004). Flavonoid memiliki kepolaran yang berbeda-beda tergantung dari strukturnya. Pelarut yang lebih polar digunakan untuk mengekstraksi flavonoid glikosida, sedangkan pelarut yang lebih non polar digunakan untuk mengekstraksi flavonoid aglikon. Namun, pelarut alkoholik umumnya dapat melarutkan semua golongan flavonoid sehingga dapat digunakan menjadi pelarut pilihan (Markham, 1988) Salah satu sifat flavonoid adalah dapat membentuk kompleks dengan aluminium klorida melalui dua macam gugus yang berbeda. Hal ini merupakan dasar penetapan adanya gugus hidroksi pada kedudukan tertentu dalam molekul flavonoid dan juga menjadi dasar penetapan kadar flavonoid (Pramono, 1989 cit. Mujahid 2011). F. Landasan Teori Daun sukun diketahui mengandung senyawa fenolik dan flavonoid. Telah diidentifikasi bahwa daun sukun mengandung senyawa flavonoid terprenilasi yaitu: artokarpin, sikloartokarpin, artokarpin, sikloartokarpin, artonin E, sikloartobiloxanton, artoindonesianin F, artonol B, dan chaplasin (Patil et al.,2002; Hakim et al., 2006). Artokarpin dilaporkan memiliki aktivitas penangkapan radikal
23
anion superoksida yang baik (Lan et al., 2013) Sikarwar et al. (2014) melaporkan ekstrak etanolik daun A. altilis (Park.) Fosberg memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan kemampuannya menangkap radikal bebas DPPH dengan nilai IC50 sebesar 140,54 µg/ml dan memprediksi bahwa aktivitasnya disebabkan oleh senyawa fenoliknya. Suryanto dan Wehantouw (2009) melaporkan bahwa komponen fenolik ekstrak metanolik, etanolik, dan aseton daun sukun berkorelasi positif dengan penangkapan radikal bebas DPPH dan memiliki kapasitas antioksidan berdasarkan metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) dengan TPTZ sebagai pengompleksnya. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan dan pengkelat yang signifikan (Heim et al., 2002). Oleh karena itu, aktivitas antioksidan sering kali dikaitkan dengan kandungan fenolik dan flavonoid totalnya. Senyawa fenolik (ArOH) diketahui mampu mereduksi senyawa lain dengan mentransfer elektron (dari -OH) kepada senyawa radikal (Foti, 2007). Ion ferri merupakan oksidan yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidan. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini akan dilakukan uji aktivitas antioksidan ekstrak daun sukun dengan beberapa macam penyari menggunakan metode FRAP dengan menggunakan pengompleks 1,10-fenantrolin serta studi hubungannya dengan kandungan fenolik dan flavonoid totalnya.
24
G. Hipotesis a. Ekstrak etanolik, etil asetat, dan air daun sukun memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan metode FRAP. b. Kandungan fenolik total dan flavonoid total ekstrak daun sukun memiliki korelasi positif terhadap aktivitas antioksidan berdasarkan metode FRAP.