BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Tubuh pada diri manusia merupakan indikator utama untuk dapat bertahan
hidup. Dikatakan demikian karena melalui tubuh, manusia mampu membangun sendi-sendi kehidupannya. Melalui kinerja tubuh, seorang manusia mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf kesejahteraan hidup. Tubuh manusia merupakan subjek dan objek dari suatu kehidupan sosial masyarakat. Tubuh secara tidak langsung dapat menggambarkan serta menjelaskan suatu status, kedudukan, serta karya-karya di dalam ruang lingkup budaya masyarakat. Dalam konsep budaya masyarakat yang beradab, tubuh sangatlah dihargai dan tidak diskriminasikan. Keberadaan dari seorang manusia tidak akan berarti tanpa adanya tubuh. Tubuh diibaratkan merupakan suatu identitas alami bagi manusia itu sendiri. Melalui tubuh, seorang individu manusia dapat dibedakan dengan mahkluk hidup yang lainnya termasuk dengan kerabat yang paling dekat yaitu monyet. Di dalam kesehariannya baik hal tersebut melingkupi kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan tentunya budaya manusia bertumpu pada kinerja tubuhnya. Dengan demikian, dapat dikatakan manfaat tubuh dalam aktivitas kehidupan manusia memiliki status dan peranan yang penting. Oleh karena itu, cacat pada tubuh merupakan salah satu dilema bagi yang mengalaminya. Cacat yang terjadi akibat dari bawaan lahir ataupun yang
1 Universitas Sumatera Utara
didapatkan akibat dari kecelakaan dalam menjalankan aktivitas kehidupan seharihari akan memberi dampak negatif yang memberatkan siklus kehidupan seorang manusia. Penyandang
cacat fisik akan membutuhkan tenaga ekstra dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari dan tentunya kendala-kendala lain yang tidak didapatkan oleh manusia normal pada umumnya. Pada masa lampau, penyandang cacat akan mendapatkan tekanan-tekanan sosial yang berakibat akan mempengaruhi kondisi mental seseorang. Hal ini terjadi karena budaya terdahulu begitu mengagungkan nilai-nilai keindahan dari tubuh itu sendiri. Budaya ini akan mengakibatkan adanya diskriminisasi akan pemberian hak dan kewajiban berlandaskan perbedaan tubuh. Contoh kasus: diskriminasi warna kulit di Afrika Selatan. Dengan demikian, penyandang cacat fisik dianggap sebagai manusia yang melanggar nilai keindahan tubuh dan secara tidak langsung akan mendapatkan stigma-stigma negatif dari masyarakat ataupun lingkungan sosial. Oleh karena itu, penyandang cacat fisik di lingkungan sosial pada dasarnya kurang mendapatkan tempat di lingkungan masyarakat. Bukan hanya itu, penyandang cacat juga kurang mendapatkan empati di lingkungan keluarga mereka sendiri. Masyarakat pada masa dulu akan membatasi berhubungan sosial dengan para penyandang cacat fisik. Batasan-batasan hubungan sosial ini telah melingkupi dalam relasi, adat istiadat, dan tentunya budaya masyarakat. Penyandang cacat fisik tidak mendapatkan kebebasan untuk melakukan berbagai aktivitas seperti manusia normal. Dengan demikian penyandang cacat fisik hidup dan berkembang sebagai manusia yang terikat dalam budaya masyarakat.
2 Universitas Sumatera Utara
Manusia
merupakan
mahkluk
hidup
cerdas
yang
belajar
dari
pengalamannya. Pandangan-pandangan terdahulu terhadap penyandang cacat fisik telah mengalami perubahan. Dalam perjalanan kehidupan zaman moderen saat ini, penyandang cacat telah mendapatkan perhatian di lingkungan masyarakat. Manusia yang memiliki keterbatasan fisik, pada saat ini telah diberdayakan seperti orang-orang normal. Hal ini terjadi tentunya akibat dari pemikiran yang maju dan cara pandang berbeda dalam menyikapi sesuatu. Peradaban moderen saat ini memiliki penilaian yang berbeda terhadap manusia sebagai subjek maupun objeknya. Manusia dalam budaya yang lebih maju dinilai tidak berdasarkan tubuhnya lagi. Dasar-dasar penilaian terhadap manusia telah tertuju pada kemampuan intelektual dan perilakunya. Walaupun demikian tubuh tetap dijadikan sebagai indikator utama dalam membangun suatu kebudayaan. Penyandang cacat dalam zaman moderen saat ini telah bermetamorfosa dari beban sosial masyarakat menjadi manusia yang mampu berdiri di kaki sendiri. Perubahan ini dibutuhkan sebagai upaya untuk menghindari penyandang cacat dikategorikan sebagai kaum marjinal ataupun terpinggirkan. Sebagaimana diketahui mereka yang tergolong masyarakat terpinggirkan adalah orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah, anak jalanan, para penyandang cacat, terjangkit penyakit HIV dan AIDS, masyarakat tradisional, korban perdagangan manusia, korban kekerasan domestik, remaja yang mengalami konflik dengan hukum, buruh tani, pekerja seks, dan lainnya. Mereka
3 Universitas Sumatera Utara
terpinggirkan karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, termasuk kebijakan dan program pemerintah yang tidak berpihak.1 Mengusahakan penyandang cacat untuk menjadi manusia yang berguna dan memiliki daya saing di zaman era moderen saat ini memerlukan wadah ataupun tempat untuk mengasah dan memaksimalkan kemampuan. Pendidikan merupakan satu-satunya wadah yang mampu untuk mengoptimalkan potensi seorang manusia. Melalui pendidikan, potensi manusia dan kinerja intelektual serta kemampuan fisik akan mengalami perkembangan. Hal ini tentunya berlaku bagi penyandang cacat. . Pendidikan merupakan kebutuhan setiap manusia yang tidak akan pernah berubah dari zaman ke zaman. Pendidikan akan membentuk manusia menjadi lebih beradab dan berwawasan luas. Tanpa adanya pendidikan, sistem kehidupan manusia akan tetap barbar. Pendidikan akan mengubah gaya kehidupan barbar menjadi kaum intelektual. Dengan demikian, dapat dinyatakan peranan pendidikan di dalam kehidupan manusia sangatlah penting. Hal ini dapat terjadi karena pendidikan merupakan gaya hidup. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tirtarahardja dan Sulo (2005:37) menyatakan pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba keterhubungan manusia dengan dirinya (konsentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya (horinzontal), dan dengan Tuhannya (vertikal).
1
Sumber internet: Yus Diana,”Dilema Kaum Marjinal” www.kompasiana.com/dianay/dilemakaum-marjinal. Diakses pada tanggal 8 April 2016. Pada pukul 05.48 WIB
4 Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan pemikiran Tirtahardja dan Sulo, Jenks (terj.,-,2008:196) menjelaskan fungsi primer dari pendidikan dan beragam varian sosialisasi ialah untuk mentransmisikan modal budaya dalam bentuk tanda-tanda bernilai tertentu serta gaya-gaya penyajiannya. Habitus-habitus lain sebagai akibatnya tergeser statusnya menjadi sebagai stigma. Bentuk-bentuk representasi akal sehat mulai menyadari berbagai macam keterlokasian sosial melalui bakat atau bahkan „darah‟ untuk membedakan. Lebih lanjut dengan sangat jelas Koentjaraningrat (2009:136) menyatakan pranata-pranata yang berfungsi memenuhi keperluan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna adalah educational institutions. Contoh: pengasuhan anak-anak, pendidikan rakyat, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pemberantasan buta huruf, pendidikan keamanan, pers, perpustakaan umum dan sebagainya. Pendapat dari Koentjaraningrat sejalan dengan pemikiran Ambarjaya (2012:7) yang menyatakan pendidikan merupakan sejumlah pengalaman dari seseorang atau kelompok untuk dapat memahami sesuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami. Pengalaman itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungannya. Selanjutnya menurut Shiraev dan Levy (2012:281) menyatakan kualitas hidup secara umum merupakan ketersediaan makanan dan produk lain, jenis
5 Universitas Sumatera Utara
kondisi hidup, kualitas pendidikan dan perawatan kesehatan, kehadiran atau ketiadaan kekerasan dalam kehidupan anak, dan sejumlah faktor lain secara signifikan mempengaruhi perkembangan anak. Skema pendidikan di dalam kehidupan manusia memiliki beragam fungsi dan manfaat. Di samping sebagai pembentuk karakter atau mengurangi tingkat kemiskinan, pendidikan juga memiliki hubungan timbal-balik dengan azas-azas kebudayaan. Suzanne E.D‟Amato (2010:874) yang merupakan ahli ilmu antropologi pendidikan menyatakan sebagai berikut: “Negotiating meaning requires an understanding of the prevailing culture, whether the subject is literature, music, social studies, science, or religion. Effective educaiton is based upon positive social interaction among all those anthropological understandings and methodologis will leverafe knowledge to improve student attitude and achievement. Using this perspective, eduction and anthropology will work together to alleviate behavioral difficulties, drop-out rates, violence, and other negative influences that have the potential to impact the school and, ulitmately, the indivdual.” “Dalam membangun suatu karakter diperlukan kebudayaan, pengalaman hidup, musik, belajar ilmu sosial, pengetahuan dan agama. Pendidikan yang efektif akan menimbulkan interaksi sosial yang positif, demikian pula dengan pendekatan antropologi dalam menggunan metode pendidikan untuk melatih para siswa. Pemahaman, pendidikan dan antropologi merupakan salah satu cara untuk menghadapi kesulitan dalam putus sekolah, kemiskinan, dan berbagai permalahan lain yang ditemukan di dalam sekolah sebagai pusat pendidikan.”2 Manfaat serta peranan pendidikan tersebut juga tercatat dengan sangat jelas dalam peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar
2
Suzanne E. D‟Amato, “Eductation and Anthropology,” 21st Century Anthropology A Refrence Handbook Volume 1&2,ed. H. James Birx( Mexico: SAGE Publications, 2010), 874.
6 Universitas Sumatera Utara
dan Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, yakni yang mengatur penyediaan fasilitas pendidikan berupa: Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) bagi mereka yang menyandang kelainan fisik dan/mental yang akan mengikuti pendidikan setingkat Sekolah Dasar; Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) Bagi mereka yang akan melanjutkan ke tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Umum.3 Pemerintah sebagai sebuah lembaga dalam melakukan kinerjanya tentunya memiliki keterbatasan dalam berbagai hal. Dengan demikian, usaha pemerintah dalam memberdayakan penyandang cacat melalui pendidikan membutuhkan bantuan dari pihak-pihak swasta. Hal ini dilakukan untuk dapat melakukan proyek pendidikan terhadap penyandang cacat di seluruh wilayah kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya merupakan salah satu lembaga swasta yang melakukan kerja sama dengan pemerintah untuk memberdayakan penyandang cacat. Lembaga swasta ini melalui karyanya membantu penyandang cacat menjadi manusia yang mapan di mata masyarakat. Dalam melakukan kinerjanya Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung di dalam Hak Azasi Manusia (HAM). Artinya penyandang cacat
3
Dr. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 2001, Hal. 96
7 Universitas Sumatera Utara
diberikan haknya selayaknya manusia pada umumnya. Salah satu hak tersebut adalah pendidikan. Penyandang cacat merupakan manusia yang tidak mampu dalam mengoptimalkan kemampuan tubuhya. Dengan kata lain, penyandang cacat memiliki keterbatasan untuk menggerakkan atau mengkordinasikan tubuhnya dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, penyandang cacat di dalam kehidupannya membutuhkan manusia lain dalam membantunya melakukan halhal sederhana. Kekurangan-kekurangan ini telah diobservasi dan diketahui oleh Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Lembaga ini merupakan sumber kehidupan bagi penyandang cacat. Maksudnya di sini, penyandang cacat dikelola dan diperhatikan keberadaanya sehingga mampu untuk membentuk kehidupannya sendiri. Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya merupakan lembaga yang bergerak dalam memberdayakan penyandang cacat melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Bentuk-bentuk
pengajaran
yang
diberikan
kepada
penyandang
cacat
memperhatikan berbagai aspek. Diantaranya yaitu: Nilai-nilai moral Pemahaman lingkungan sosial Etika dan budaya Kehidupan spritual maupun rohani Serta pemahaman konteks dalam hal untuk berwirausaha
8 Universitas Sumatera Utara
Lembaga swasta yang berlatar belakang agama Katolik ini, memberikan pendidikan kepada penyandang cacat dari berbagai kalangan usia. Akan tetapi, penulis akan menentukan informan penelitian hanya untuk usia anak (0-23 tahun). Penyandang cacat pada usia tersebut, lazim dikatakan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus. Dengan demikian, maka terbentuklah judul penelitian ini yaitu “metode pendidikan dan pola asuh pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)”. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sistem pendidikan dan pola asuh yang diterapkan pada anak-anak penyandang cacat. Untuk mendapatkan informasi tersebut, penulis selama melakukan penelitian mengikuti kegiatan-kegiatan yang berada di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Dengan demikian maka tujuan dari penelitian ini dapat terlaksanakan.
1.2.
Tinjauan Pustaka Ruang lingkup dunia Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang secara kompleks mengkaji makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dengan nama manusia. Ilmu Antropologi secara garis besar menggambarkan manusia dan budayanya. Selain itu, ilmu ini juga memperhatikan dan mengobservasi tubuh manusia lebih detail dan kompleks. Hal ini dikarenakan tubuh manusia dan budaya berkaitan erat seperti kerabat. Tubuh manusia di dalam setiap kepercayaan manusia memberikan pendapat maupun gambaran yang berbeda-beda. Di dalam satu suku tubuh begitu disakralkan, di sisi lain objek materi tersebut akan diperjualbelikan. Konteks pemikiran ini juga terjadi pada konsep tubuh yang cacat. Satu contoh kasus: Suku
9 Universitas Sumatera Utara
Dani di Papua, mereka mempunyai tradisi yang cukup aneh. Apabila ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, tidak hanya dengan menangis, mereka juga memotong jarinya. Pemotongan jari ini dilambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan, kebersatuan, dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu ibu jari. Akan tetapi jika dicermati setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia.4 Dalam pandangan Bakker (2012:103) menyatakan secara tradisional materi dan roh, badan dan jiwa, diberi pernilaian yang berbeda sekali. Materi/badan dinilai rendah, kurang sempurna, dan sekunder; roh/jiwa dinilai tinggi, sempurna, dan primer. Roh/jiwa mengatasi materi/badan yang paling indah pun, dan disebut „transenden‟. Tidak tenggelam ke dalam materi, melainkan muncul darinya pula. „Yang-Spritual‟ dan „yang-materiil‟ dipandang sebagai dua bidang yang dipisahkan satu sama lain oleh jurang yang lebar. Keistimewaan manusia ialah bahwa dia menjembatani jurang itu dan menyambung di dalam dirinya sendiri kedua bidang yang berbeda itu; sehingga dia seakan-akan hidup di dalam dua macam dunia yang bertentangan. Tubuh manusia merupakan penggerak bagi suatu kebudayaan. Hal ini dapat terjadi karena tubuh merupakan sumber, pencetus, ataupun otak dari budaya 4
Sumber internet: Muhamad Luthfi Razan, Potong Jari, “Tradisi Ekstrim Suku Dani Saat Berduka” http://citizen 6. Liputan 6. Com/read/761129/potong-jari-tradisi-ekstrim-suku-dani-saatberduka. Diakses pada tanggal 21 April 2016. Pada pukul 08.45 WIB.
10 Universitas Sumatera Utara
itu sendiri. Melalui tubuh seorang manusia maka kebudayaan lama akan digantikan dengan kebudayaan baru. Dengan demikian, dapat dinyatakan tubuh manusia merupakan penggerak revolusi kebudayaan itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jenks (terj.,-,2008:9-10) bahwasanya asal muasal terciptanya konsep „kebudayaan‟ yang manusia miliki melalui tipologi rangkap-empat sebagai berikut: 1. Kebudayaan sebagai suatu kategori cerebral atau dapat dipastikan sebagai kategori kognitif: kebudayaan dapat diintelektualisasikan sebagai suatu kondisi pikiran yang bersifat umum. Ia menggusung konsep gagasan mengenai kesempurnaan, target sasaran atau aspirasi akan emansipasi atau pencapaian manusia secara perorangan. 2. Kebudayaan sebagai suatu kategori yang lebih teraba dan kolektif: kebudayaan menghadirkan suatu kondisi perkembangan intelektual dan/ atau moral di dalam masyarakat. 3. Kebudayaan sebagai suatu kategori yang konkret dan deskriptif: kebudayaan dipandang sebagai badan kolektif akan kesenian dan karya intelektual yang ada di dalam sistem masyarakat mana pun: hal ini sangatlah mencerminkan penggunaan gaya bahasa sehari-hari akan terminologi „kebudayaan‟ ini serta memboyong kesan-kesan partikularitas, eksklusifitas, elitisme, pelatihan, dan pengetahuan spesialis atau sosialisasi yang terkandung didalamnya. 4. Kebudayaan sebagai suatu kategori sosial; kebudayaan dianggap sebagai keseluruhan cara hidup suatu kelompok masyarakat.
11 Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan Jenks, Frans Boas (dalam John Monaghan dan Peter Just 2008:55) menyatakan kebudayaan mencakup segala macam bentuk manifestasi dari perilaku sosial suatu komunitas, reaksi-reaksi dari individu yang dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh kelompok tempat di mana ia hidup, dan juga hasil dari aktivitas-aktivitas manusia yang ditentukan oleh kebiasaankebiasaan ini. Pendapat dari ahli tersebut sejalan dengan konsep pemikiran Pope (1984:178) yang menyatakan kebudayaan sering dianggap sebagai salah satu sifat manusia yang unik, tetapi kebudayaan di sini digambarkan sebagai pengetahuan yang disalurkan secara extrasomnatical telah diamati pula pada sejumlah mahkluk lain,
termasuk
kera.
Selanjutnya
Dayakisni
dan
Yuniardi
(2004:6)
mengungkapkam kata budaya sangat umum dipergunakan dalam bahasa seharihri. Paling sering budaya dikaitkan dengan pengrtian ras, bangsa, atau etnis. Perilaku orang yang kebetulan keturunan Jawa selalu dikatakan sebagai pengaruh budaya Jawa, begitu juga dengan perilaku orang Cina selalu dikatakan budaya Cina. Demikian pula dengan pendapat Foster dan Anderson (1986:48) menyatakan pranata-pranata utama dalam setiap kebudayaan berhubungan satu dengan lain dan memenuhi fungsi khusus dalam hubungannya satu sama lain. Tiap pranata tersebut amat penting bagi berfungsinya secara normal di mana kebudayaan pranata itu berada, dan sebaliknya, memerlukan yang lainnya untuk kelanjutan eksistensinya. Dalam perjalanan kehidupan manusia, tubuh telah mampu menciptakan sejarah, kebudayaan, konsep pemikirian, dan tentunya pengetahuan akan Tuhan.
12 Universitas Sumatera Utara
Di sisi lain tubuh juga berfungsi dalam menjelaskan suatu status maupun kedudukan manusia di dalam masyarakat sosialnya. Sebagaimana contoh dalam budaya orang Batak, kepala adalah anggota tubuh yang paling tinggi martabatnya. Menyentuh kepala seseorang dengan tidak disertai permintaan maaf yang sungguh-sungguh, bisa berakibat parah. Sebaliknya anggota tubuh yang paling rendah derajatnya ialah telapak kaki. 5 Fungsi paling penting dari tubuh itu sendiri yaitu merupakan pondasi dasar dalam mencari kebutuhan hidup. Dengan kata lain, manusia harus menggerakkan tubuhnya untuk dapat mencari keperluan-keperluan yang diinginkan di dalam hidupnya. Contoh dari kasus-kasus tersebut dapat diperhatikan dalam pekerjaanpekerjaan yang dilakukan oleh manusia pada zaman moderen saat ini. Misalnya dalam contoh yang positif, seorang atlet yang menjuarai pertandingan olimpiade akan diganjar dengan emas atau bonus uang. Sedangkan di dalam contoh kehidupan sosial yang negatif, seorang pelacur untuk memperoleh uang haruslah menjajakan tubuhnya. Nilai dari tubuh seorang manusia sangatlah penting. Hal ini dikarenakan tubuh dapat membangun kelas-kelas di dalam kehidupan sosial masyarakat. Di samping itu, tubuh merupakan landasan dasar dalam membangun etika, normanorma, dan hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Dalam tahapan level tertinggi, tubuh juga memberi makna di dalam agama manusia. Dengan demikian, dapat dinyatakan tubuh menjadi mediasi untuk melakukan koneksi dengan Tuhan Sang Maha Pencipta. 5
Sumber internet:www.RYKERS.org “Bangso Batak Toba, Keturunan Israel Yang Hilang”(Edisi Revisi) http://rykers. blogspot.com/2009/06/bangso-batak-toba-keturunan-israel-yang-html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2016. Pada pukul 09.15 WIB.
13 Universitas Sumatera Utara
Di dalam konsep Hindu menyatakan bahwa manusia terdiri dari 2 unsur, yaitu jasmani dan rohani. Di mana jasmani adalah badan, tubuh manusia sedangkan rohani merupakan hakekat Tuhan yang abadi, kekal, yang disebut dengan Atman. Manusia memiliki 3 lapisan badan yang disebut Tri Sarira yang terdiri dari Stula Sarira, Skusma Sarira, dan Anta Karana Sarira. 6 Selanjutnya menurut Gereja Katolik, yang mengambil pelajaran dari St. Thomas Aquinas, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun jiwanya di sini adalah jiwa spritual (rohani); yang menyebabkan manusia sebagai makhluk rational/berakal budi. Sedangkan binatang mempunyai juga tubuh dan jiwa, namun jiwanya bukan rohani, sehingga disebut sebagai mahluk irrational/tidak berakal budi.7 Tubuh manusia merupakan benda materi yang sensitif untuk dapat mengalami perubahan. Tubuh sebagai objek materi, apabila tidak dijaga dengan baik maka akan rusak. Kerusakan-kerusakan ini berdampak pada kondisi fisik maupun mental seorang manusia. Dengan demikian tubuh harus dijaga dan dirawat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pada zaman saat ini, berbagai cara dilakukan oleh manusia untuk menjaga tubuhnya tetap sehat, muda, prima, dan berpenampilan baik. Sebagai contoh: manusia akan melakukan perawatan terhadap tubuhnya melalui kegiatan-kegiatan olahraga (misal: rutinitas yoga). Hal ini dilakukan untuk mencegah tubuh tersebut cacat ataupun rusak.
6
Itaaaa Sajaa, “Kel-1 Hakekat Manusia Hindu”, http://itahasari. blogspot. com/2010/12/manusiahindu.html. diakses pada tanggal 3 April 2016. Pada pukul 12.10 WIB 7 Inggrid Listiati, “Perbedaan Tubuh, Jiwa dan Roh” http: www. katolisitas. Org/1899/perbedaantubuh-jiwa-dan-roh. Diakses pada tanggal 3 April 2016. Pada pukul 12.15 WIB.
14 Universitas Sumatera Utara
Bakker (2012:222) menjelaskan badan manusia bukan saja alat terbatas bagi kerohanian yang sebenarnya sudah utuh. Pengakuan manusia baru real dan padat sejauh ia telah berwujud dalam badan, dalam gerak-gerik dan dalam kegiataan. Jadi, badan bukan merupakan penjara bagi jiwa manusia. Manusia hanya mencapai kebebasan dan otodeterminasi sejauh ia mewujudkannya dalam „kebudayaan‟ pribadi, dan di dalam sikap-sikap (Einstellung) yang tertentu, dalam tingkah laku dan dalam bahasa. Jadi, badan bukan ancaman bagi kebebasan, melainkan menjadi terbentuknya kebebasan manusia sendiri. Seluruh manusia, sejauh telah mewujudkan diri, juga bebas. Secara garis besar, cacat merupakan bagian dari manusia itu sendiri. Maksudnya di sini adalah bahwa kecacatan telah ada sejak zaman dahulu kala hingga era moderen saat ini. Kecacatan pada tubuh telah banyak diceritakan di dalam berbagai dongeng-dongeng manusia dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan demikian, tubuh yang cacat bukanlah sesuatu yang asing di dalam peradabana manusia. Cacat pada tubuh dalam konteks budaya pada umumnya diceritakan dalam mitologi kepercayaan masyarakat. Salah satu contohnya: Koentjaraningrat (2005:206) menceritakan Semar yang buruk rupa dan memiliki anak-anak yang cacat, yang sebenarnya seorang dewa juga, dan oleh para dewa bahkan dipanggil dengan sebutan “kakak”, adalah pesuruh para pahlawan dalam cerita epos Mahabrahata, yakni dari keluarga Pandawa, yang menjadi majikannya. Selanjutnya Loir dan Reid (2006:233) menuliskan di Bugis, garis keturunan bangsawan sama seperti garis keturunan lainnya, nama pribadi tidak
15 Universitas Sumatera Utara
hanya berfungsi untuk mengidentifikasi nama-nama pribadi tertentu tetapi untuk menunjukkan mereka, beserta orang-orang yang sudah mendahului akan mengikuti mereka, sebagai suatu mata rantai transmisi dari suatu warisan, misalnya „darah putih‟ yang diwariskan dari para nenek moyang ilahi mereka, yang olehnya mereka dan para keturunannya membedakan diri mereka sendiri daripada para anggota masyarakat lain. Penelitian ini pada dasarnya memiliki fokus terhadap tubuh, kecacatan, perawatan (kesehatan), dan yang paling utama yaitu pendidikan. Penelitian yang dilakukan di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya berpedoman atas pengalaman anakanak didik selama mengikuti pendidikan. Penelitian diselaraskan dengan konsep membina dan pengarahan yang dilakukan oleh PRHJ terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Penelitian ini juga diterapkan berdasarkan konsep dari Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) itu sendiri. Pada dasarnya, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki beberapa bagian maupun klasifikasi. Adapun klasifikasi tersebut terdiri dari tiga bagian yaitu anak dengan latar belakang gangguan fisik, anak dengan gangguan emosi dan perilaku, dan anak dengan gangguan intelektual. Berikut ini penjelasannya lebih lanjut. Anak dengan gangguan fisik 1. Tuna netra merupakan individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.
16 Universitas Sumatera Utara
2. Tuna rungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal. 3. Tuna daksa memiliki pengertina sebagai anak yang mengalami kelainan atau cacat yang berdasarkan alat gerak. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku 1. Tuna laras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang berlaku. 2. Anak dengan gangguan komunikasi merupakan anak yang mengalami
kelainan
suara,
artikulasi
(pengucapan),
atau
kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa. 3. Hiperaktif merupakan gangguan tingkah laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian. Anak dengan gangguan intelektual 1. Tuna grahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial. 2. Anak lamban belajar memiliki pengertian sebagai anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal.
17 Universitas Sumatera Utara
3. Anak kesulitan belajar adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus. 4. Anak berbakat merupakan anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan
luar
biasa
serta
memiliki
potensi
kecerdasan
(intelegensi), kreatifitas, dan tanggung jawab terhadap tugas di atas anak-anak seusianya, sehingga dalam mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 5. Autisme adalah gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh
adanya
gangguan
pada
sistem
syaraf
pusat
yang
mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku. 6. Indigo adalah manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan khusus yang tidak dimiliki manusia pada umumnya.8
Berdasarkan observasi yang telah dilaksanakan oleh penulis bahwasanya Anak Berkebutuhan Khusus yang terdapat di PRHJ memiliki latar belakang kecacatan fisik sebagai berikut: Cerebral palsy Post stroke Post op palatum BCLP+UCLP, down syndrome, Cacat sumbing, luka bakar, lumpuh polio, dan amputasi.9 8
Laili Ula Arfanti,”Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus”, http://lailiartileri.blogspot.com/2013/04/konsep-dasar-anak-berkebutuhan-khusus.html. Diakses pada tanggal 6 Januari 2016. Pada pukul 10.00 WIB.
18 Universitas Sumatera Utara
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebut dididik untuk dapat mengembangkan potensi, bakat, maupun minatnya. Ilmu pengetahuan juga diberikan untuk pembentukan karakter dan pembangunan pola pikir dalam mengikuti perkembangan zaman. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaluddin (2012:294-295) menjelaskan dalam masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapat dipastikan ia akan menjadi petani dan masyarkat lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu. Selanjutnya Suryosubroto (2010:16) menyatakan pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Suryosubroto melalui definisinya mencoba ingin mengatakan bahwa pendidikan menjadikan manusia berguna baik bagi dirinya sendiri dan tidak menjadi beban dalam kehidupan sosial masyarakat. Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya merupakan lembaga swasta yang bergerak secara
mandiri.
Lembaga
tersebut
mengayomi
masyarakat-masyarakat
terpinggirkan. Bentuk kepedulian lembaga ini terlaksana melalui sistem 9
Anak tuna daksa adalah anak yang menderita cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang atau otot, sendi tulang maupun syaraf. Penyebab dari kelainan ini adalah cacat yang diperoleh sejak lahir, ketika dalam kandungan, mungkin ibu terserang penyakit yang mengganggu pertumbuhan embrio, menggunakan dosis yang berlebihan, pada saat dilahirkan terjepit, pertolongan salinan dengan tang, atau kelahiran prematur. Setelah lahir menderita peradangan otak dan lain-lain, maka anak menderita cerebral palsy. Cacat tubuh karena infeksi, karena virus polio mielitis, kecelakaan, dan TBC tulang. Sumber internet:”Anak Tuna Daksa, Lumpuh, Pencegahan dan Penanganannya” http://emedis.blogspot.co.id/2013/06/anak-tuna-daksa-pencegahan-dan.html. Diakses pada tanggal 10 Februari 2016. Pada pukul 19.00 WIB.
19 Universitas Sumatera Utara
pendidikan yang diberikan. Pendidikan tersebut diberikan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini tentunya diterapkan tanpa memandang latar belakang, status, ataupun kedudukan seseorang. Pusat Rehabilitasi memiliki fungsi untuk menjembatani kemiskinan, buta huruf, kasus-kasus kejahatan ke dalam dunia yang lebih beradat maupun manusiawi. Di sisi lain, PRHJ sebagai suatu lembaga juga memberikan harapan hidup yang lebih baik kepada anak-anak didiknya. Lembaga ini terdapat di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Terbentuknya lembaga ini memberikan dampak positif bagi Anak Berkebutuhan Khusus yang terdapat di Kabupaten Simalungun. Disisi lain, PRHJ juga menargetkan untuk membantu Anak Berkebutuhan Khusus dalam skala nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
1.3.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dituliskan di atas, maka yang
Menjadi sub-sub pokok permasalahan dalam melakukan penelitian ini adalah: 1) Bagaimana metode dan pola asuh yang diterapkan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya ? 2) Apa dampak dari keberadaan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya terhadap masyarakat, pemerintah, dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebut ?
20 Universitas Sumatera Utara
1.4.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penyelesaian tulisan skripsi ini dilakukan di Pusat
Rehabilitasi Harapan Jaya. Lembaga tersebut berada di Jalan Makadame Raya (Perumnas Batu Anam), Desa Lestari Indah, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Penulis memilih tempat ini berdasarkan acuan sebagai berikut: a. Kabupaten Simalungun merupakan salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki kemajuan pendidikan dan kesehatan cukup signifikan. Hal ini menjadi acuan utama bagi penulis untuk memilih daerah Kabupaten Simalungun. b. Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya merupakan lembaga pengasuhan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang terbaik dimiliki oleh Kabupaten Simalungun. Lembaga ini memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang lengkap.
1.5.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara rinci bagaimana
metode pendidikan yang diterapkan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Hal ini disertai pula dengan pengaruh pola asuh terhadap perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus. Penulis juga akan mendeskripsikan bagaimana perlakuan lingkungan sosial terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam tahapan selanjutnya, penelitian ini difungsikan
untuk mendeskripsikan dampak dari
keberadaan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya di Kabupaten Simalungun.
21 Universitas Sumatera Utara
1.6.
Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini mampu memberi berbagai manfaat bagi
individu yang berkenan untuk membacanya. Di samping itu penelitian ini diharapan berguna bagi dunia pendidikan, sosial-budaya, dan masyarakat.
1.7.
Metode Pengumpulan Data
1.7.1
Metode Penelitian Penelitian
yang
dilakukan
di
Pusat
Rehabilitasi
Harapan
Jaya
menggunakan metode penelitian yang biasa digunakan dalam ruang lingkup ilmu Antropologi. Untuk itu metode penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu metode penelitian kualitatif dengan bersifat deskriptif. Strauss dan Corbin (1990) (dalam Salim dan Syahrum 2007:41) menyatakan penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang prosedur penemuan yang dilakukan tidak menggunakan prosedur statistik atau kuantifikasi. Dalam hal ini penelitian kualitatif adalah penelitian tentang kehidupan seseorang, cerita, perilaku, dan juga fungsi organisasi, gerakan sosial atau hubungan timbal balik. Melalui
studi
ini
penulis
akan
menjelaskan
secara
rinci
dan
menggambarkan metode dan pola asuh yang diterapkan kepada Anak Berkebutuhan Khusus di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Penggunaan metode ini memberikan bantuan kepada penulis dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk bahan literatur penulisan skripsi.
22 Universitas Sumatera Utara
1.7.2 Observasi Observasi memberikan pengaruh yang begitu besar dalam suatu penelitian. Tanpa adanya observasi secara langsung ke lokasi penelitian maka skripsi ini tidak akan pernah selesai. Untuk itu observasi sangat diperlukan dalam penelitian ini. Adapun metode observasi yang dilakukan penulis yaitu metode observasi berperan serta (participant observation). Salim dan Syahrum (2007:114) menyatakan pengumpulan data dengan menggunakan observasi berperan serta ditunjukkan untuk mengungkapkan makna suatu kejadian dari setting tertentu, yang merupakan perhatian esensial dalam penelitian kualitatif. Observasi berperan serta dilakukan untuk mengamati obyek penelitian, seperti tempat khusus suatu organisasi, sekelompok orang atau beberapa aktivitas suatu sekolah. Penulis melalui metode observasi ini tidak hanya mengamati segala aktivitas anak asuh yang terdapat di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Akan tetapi, penulis ikut serta dalam berbagai kegiatan yang terdapat di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Hal ini bertujuan untuk mendapat informan yang lebih banyak, data yang lebih akurat, serta mampu membangun rapport dengan orang-orang yang terdapat di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya.
23 Universitas Sumatera Utara
1.7.3 Wawancara Menurut Bogdan dan Biklen (1982) (dalam Salim dan Syahrum 2007:119) wawancara ialah percakapan yang bertujuan, biasanya antara dua orang (tetapi kadang-kadang lebih) yang diarahkan oleh salah seorang dengan maksud memperoleh keterangan. Selanjutnya
Koentjaraningrat
(1989:130-138)
menyatakan
sebelum
seorang peneliti dapat memulai wawancara, artinya sebelum ia dapat berhadapan muka dengan seseorang dan mendapat keterangan lisan dari dia, maka ada beberapa soal mengenai persiapan untuk wawancara yang harus dipecahkan lebih dahulu. Soal itu mengenai: a. Seleksi individu untuk diwawancara. b. Pendekatan orang yang telah diseleksi untuk diwawancara. c. Pengembangan suasana lancar dalam wawancara, serta usaha untuk menimbulkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancara. d. Memiliki persiapan sebelum melakukan wawancara.
Dengan demikian penulis akan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview). Dalam pemilihan informan penulis akan memilih anak berkebutuhan khusus yang dapat diajak untuk komunikasi, para pegawai Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya, serta masyarakat di sekitar Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Penulis dalam memilih informan terinsipirasi dari pernyataan H. Russel Bernard (1994:166) yang menyatakan sebagai berikut ini:
24 Universitas Sumatera Utara
“Some anthropologists disagree with this approach, but I think it’s just fine. In some case, you may want to jut listen. But when you run into a really great informant, I see no reason to hold back. Teach the informant about the analytic categories you’re developing and ask whether the categories are correct. If you let yourself become the student, really good informants will educate you.” “Orang yang mempelajari ilmu antropologi memerlukan pendekatan secara khusus untuk mendapatkan informan yang ideal. Di dalam beberapa kasus, penulis harus lebih memperhatikan dan mendengar. Akan tetapi, untuk mendapatkan informan yan baik harus melakukan pendekatan secara baik pula. Seorang penulis harus mampu belajar dari informan untuk mendapatkan pengetahuan.”10 Penulis sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu menyerahkan lembaran persetujuan terhadap informan. Hal ini bertujuan agar informan tidak memiliki prasangka yang buruk terhadap penulis. Dengan demikian kegiatan wawancara dapat berjalan dengan baik. Penulis dalam melakukan wawancara akan menggunakan interview guide. Hal ini bertujuan agar pertanyaan tidak lari dari topik utama judul skripsi. Di sisi lain, tujuan menggunakan interview guide dapat lebih menghemat waktu serta dapat meminimalisir jawaban-jawaban yang tidak diinginkan. Penulis merupakan manusia biasa ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Memori otak penulis tidak memungkinkan untuk mengingat semua jawabanjawaban dari para informan. Untuk itu penulis menggunakan video perekam serta kamera untuk menyimpan data-data jawaban dari para informan yang bersangkutan.
10
H. Russel Bernard, Research Methods In Antropology Second Edition Qualitative and Quantitative Approaches (United States of America: SAGE Publications, 1994), halaman 166.
25 Universitas Sumatera Utara
1.7.4 Data Sekunder Dalam menambah kelengkapan data penulis akan menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan ini diperoleh melalui buku-buku yang memiliki informasi yang mengenai anak berkebutuhan khusus, artikel-artikel yang mendeskripsikan mengenai tubuh baik dari bidang ilmu Antropologi maupun secara umum, serta menggunakan media internet dalam pengembangan data lebih lanjut.
1.8. Pengalaman Penelitian Penulis merupakan akademis yang menyukai akan pendidikan, konsep tubuh, dan budaya masyarakat. Faktor-faktor tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian akan dunia pendidikan yang diterapakan kepada anak-anak cacat. Dalam pandangan penulis, pendidikan merupakan bentuk pertolongan pertama bagi setiap insan manusia untuk merubah hidupnya. Pada awalnya penulis ingin meneliti “manusia normal”, tanpa memiliki keterbatasan fisik. Akan tetapi, penulis merasa bahwa penelitian dengan objek “manusia normal” telah sering dilakukan. Penulis memberanikan diri untuk mengambil langkah yang berbeda. Dengan meneliti Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), penulis berharap dapat menemukan ilmu dan pengalaman yang baru. Penulis melakukan diskusi dengan pembimbing skripsi yaitu Kak Nita Savitri akan konsep pemikiran tersebut. Beliau tertarik dan menyatakan setuju untuk melanjutkan langkah ke penelitian berikutnya.
26 Universitas Sumatera Utara
Penulis sebelumnya tidak pernah membayangkan untuk melakukan penelitian di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Hal ini dikarenakan penulis lebih tertarik untuk melakukan penelitian di kota Medan. Akan tetapi, takdir berjalan tidak sesuai rencana. Penulis tidak menemukan tempat yang tepat di kota Medan. PRHJ ditemukan oleh penulis, pada saat melakukan kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang berlokasi di Kabupaten Simalungun. Pada saat itu, tanpa sengaja penulis memperhatikan anak-anak yang memakai tongkat baru pulang sekolah menuju PRHJ. Penulis merasa penasaran dan ingin tahu. Pada akhirnya, untuk menjawab rasa penasaran dengan memberanikan diri penulis bertanya kepada salah satu warga. Singkat cerita, warga tersebut tersebut menjelaskan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya merupakan rumah bagi orang-orang cacat yang kurang diterima di masyarakat. Kejadian ini, membuat penulis untuk segera bertindak cepat. Penulis dengan segera memutuskan untuk menjadikan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya sebagai objek penelitian. Pada tanggal 12 Juni 2015, penulis pergi menuju PRHJ untuk melihat situasi dan kondisi. Pada waktu itu, penulis disambut oleh Sr. Leonie. Beliau merupakan seorang hamba Tuhan berlatarbelakang Katolik yang menjadi pimpinan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Beliau telah banyak melakukan pelayanan terhadap kaum marjinal seperti orang cacat. Penulis dan Sr Leonie pada saat itu berdiskusi untuk mengetahui maksud dan tujuan kedatangan. Singkat cerita, beliau tertarik untuk ikut kerjasama dan memberikan izin melakukan penelitian.
27 Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 1 Juli 2015 surat izin penelitian penulis resmi dikeluarkan. Penulis dengan segera berangkat menuju Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Dalam menuju tempat tersebut membutuhkan waktu 4 jam. Penulis menggunakan sepeda motor dari Kota Medan menuju Kabupaten Simalungun. Pada waktu itu penulis tiba pukul 11.00 WIB, dan disambut oleh Bapak Sitanggang. Beliau merupakan pegawai Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Penulis tidak dapat menjumpai Sr. Leonie pada saat itu karena beliau memiliki urusan penting. Penelitian penulis ini pada akhirnya diarahkan oleh Bapak Sitanggang. Beliau menanggungjawabi penulis atas segala kegiatan-kegiatan penelitian selama berada di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Dengan segera, penulis mencoba untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang berada di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Hari demi hari penulis lalui di PRHJ dengan mengikuti program-program yang terdapat di lembaga tersebut. Penulis mengikuti upacara, memasuki berbagai unit, membantu anak-anak didik, progam kebersihan, dan lain sebagainya. Selama berada di PRHJ, penulis menemukan begitu banyak orang-orang baik. Salah satu diantaranya adalah saudara Andika Situmorang (16). Beliau merupakan salah satu anak didik yang diasuh oleh Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Andika Situmorang (16) adalah anak yang berprestasi dan mampu untuk bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Beliau ini memiliki semangat hidup yang luar biasa di balik keterbatasan fisiknya. Keterbatasan fisik tidak menjadi penghalang untuk selalu berkarya dan berkreatifitas. Berikut ini kutipan wawancara dengan saudara Andika Situmorang (16): “ahu memang halak nak kencot Bang, alai kondisi hon dan mambahen gabe malala roha. Maila do ahu Bang mulana, alai boha
28 Universitas Sumatera Utara
bahe non. Godang do jolma na late mangida ahu, alani kencot i ahu. Pujian-pujian ma Tuhan Mulajadi Na Bolon, alani diramoti ahu bohi dope marsiajar di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya.” “saya memang manusia cacat Bang, akan tetapi kondisi ini tidak membuat untuk bersedih hati. Pada awalnya saya malu Bang, banyak orang menghina. Akan saya tetap bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena masih dapat belajar di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya.”
Melakukan penelitian terhadap Anak Berkebutuhan Khusus merupakan pengalaman pertama bagi penulis. Selama di lapangan, penulis banyak menemukan hal-hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Pengalaman dari penelitian ini, menjadikan penulis lebih menghargai hak-hak setiap manusia. Bahwasanya setiap individu manusia berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang layak melalui jenjang pendidikan. Hal ini tentunya berlaku juga bagi anakanak yang memiliki masalah dengan kecacatan fisiknya. Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya memberikan kesan tersendiri bagi penulis selama melakukan penelitian. Penulis menemukan begitu banyak pengalaman baru. Di samping itu, penulis juga dapat bersosialisasi dengan orang-orang baru dengan latar belakang yang menarik. Penulis merasakan suasana kekeluargaan yang begitu hangat dan damai selama berada di Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya. Hal ini terjadi karena penulis diberlakukan seperti seorang saudar dekat. Selama penelitian penulis diberikan begitu motivasi maupun dorongan. Sikap-sikap seperti ini tidak pernah penulis dapatkan sebelumnya. Melakukan penelitian mengenai Anak Berkebutuhan Khusus, menjadi suatu memori pengalaman yang tentunya membekas di hati dan pikiran. Penelitian ini mengubah cara pandang hidup penulis. Maksudnya di sini, tubuh merupakan
29 Universitas Sumatera Utara
sesuatu yang harus dihargai dan bukan untuk disia-siakan. Di samping itu, penulis mendapatkan hikmah bahwasanya pendidikan merupakan salah satu faktor yang menjadikan manusia berarti jalan hidupnya.
30 Universitas Sumatera Utara