BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang berakal, mereka menggunakan nalarnya dalam mengarungi kehidupannya. Oleh karena itu muncul sekelompok manusia dengan segala macam perniknya, seperti munculnya suku-suku di Indonesia. Beragamnya kelompok atau golongan manusia merupakan indikasi peradaban manusia itu sendiri, hal ini dikarenakan dorongan hati manusia untuk bisa hidup lebih baik. Sebagaimana telah diketahui bahwa, suku-suku di Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang beragam, mereka menetapkan dan menerapkan hukum dan undang-undang yang berbeda sesuai dengan kondisi dan lingkungan geografis sendiri. Dilihat dari perspektif Islam, manusia memang dituntut untuk bisa hidup dengan lingkungannya. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat. Al-Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
2 5
1 4
3 1 5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuianya.” (Departemen Agama RI, 2009:604).
1
2
Kata iqra‟ yang berarti bacalah tanpa diikuti dengan objeknya mengindikasikan bahwa perintah membaca disini adalah perintah untuk memanfaatkan akal
pikiran agar
manusia
bisa
beradaptasi dengan
lingkungannya. Dalam kajian Islam, kata iqra' mengandung arti secara qur'aniyah dan kauniyah. Ayat-ayat qur'aniyah adalah ayat-ayat yang termaktub di dalam kitab suci al-qur'an, sedangkan ayat-ayat kauniyah adalah ayat-ayat atau tanda-tnda kekuasaan Allah yang bisa dilihat dari seluruh ciptaan dan kejadian yang ada di alam semesta. Menurut penulis, salah satu adaptasi manusia yang perlu dikaji lebih lanjut adalah masalah norma. Sesuai dengan program pendidikan yang penulis tempuh, maka pokok kajian penelitian adalah norma yang berkaitan dengan rasa malu atau dalam istilah Jawa dinamakan “isin”. Topik rasa malu bukanlah hal baru di dalam Islam. Rasa malu merupakan hal urgen yang ditempatkan Islam sebagai sifat mulia seorang muslim. Banyak terminologi-terminologi malu yang diungkapkan dalam hadist-hadist nabi, salah satunya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: Nabi Muhammad saw bersabda:
Malu itu adalah bagian dari iman (Mustofa dan Baharudin, 1999:153). Korelasional antara iman dengan rasa malu yang digambarkan Nabi di atas adalah bukti, betapa mulianya rasa malu bagi keselarasan hidup manusia terlebih bagi umat Islam sendiri. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk mengkaji fenomena rasa malu yang ada pada zaman ini, dimana budaya-
3
budaya Islam, adat istiadat yang baik dan kesadaran diri individu yang mulai pudar seiring kemajuan zaman modernisasi dan globalisasi. Melihat realita kehidupan yang menurut hemat penulis sudah menempuh babak baru, dimana norma sebagi benteng pribadi mulai terusik. Rasa malu yang dimiliki bangsa Indonesia dan suku Jawa khususnya sudah bukan menjadi budayanya karena budaya mereka mulai tergantikan. Begitu juga umat Islam yang pada saat ini juga lupa dengan ajaran agamanya, malu tidak lagi dianggap sebagai mutiara yang layak dipertahankan dan disampaikan. Anak-anak kecil yang memanggil orang dewasa dengan sebutan namanya bukanlah pemandangan yang sulit didapati di masyarakat. Remajaremaja dengan beragam mode dan style yang cenderung feminim membuat rutinitas mengaji dan belajar seolah ketinggalan zaman. Dan lebih fatalnya, rapuhnya budaya malu kini sudah menjangkiti elit-elit negara seperti praktek pornografi yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat beberapa tahun silam. Sudah barang tentu, budaya malu bukan hanya untuk anak kecil, bukan hanya untuk remaja-remaja tetapi juga untuk orang dewasa dimana mereka sebagi suri tauladan bagi generasinya. Fenomena-fenomena di atas dudah diprediksi Nabi Muhammad berabad-abad silam, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori:
4
“Diriwayatkan dari abu Mas‟ud „Uqbah alo anshori : golongan orang-orang yang menghadiri perang katanya rasulullah saw bersabda sesungguhnya sebagian dari ungkapan kenabian masa lalu adalah engkau tidak mempunyai rasa malu maka berbuatlah sekehendakmu (Riyadus Sholihin, 2002:163). Dari ulasan singkat di atas, sangatlah tepat apabila Al-Hasyimi (2003:260) yang mengutip beberapa ulama dengan definisi malu sebagai sikap mulia yang senantiasa mendorong seseorang untuk menghindari perbuatan buruk dan mencegahnya dari kegagalan melaksanakan kewajibannya terhadap orang-orang yang menjadi tanggung-jawabnya. Menurut hemat penulis, ayah dan ibu adalah orang tua yang memiliki tanggung-jawab terhadap pendidikan anaknya, terutama pendidikan rasa malu. Oleh karena itu, bahasan utama dalam penelitian ini adalah peran ayah dan ibu dalam menerapkan rasa malu kepada anak-anaknya. Kerangka berfikir ini penulis dasarkan pada pendapat al-Hasyimi (2003:144) yang menyatakan ketika hati anak dipenuhi dengan kesenangan dan kebaikan, seorang ayah bisa membawa mereka kepada tingkatan moral yang tinggi dan sifat kemanusiaan yang mulia. Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk mengkaji fenomena dengan mengadakan penelitian ilmiah yang membahas dan mengambil
judul
:
PERSEPSI
TENTANG
RASA
MALU
DAN
PENANAMANNYA PADA ANAK (Studi Deskriptif Pada Orang Tua Yang Berprofesi Sebagai Guru Di MI Ma’arif, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang Tahun 2010).
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah yang ditetapkan dalam penelitian ini, sebagai berikut : 1. Bagaimana persepsi orang tua yang berprofesi sebagai guru di MI Ma’arif Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang Tahun 2010 tentang rasa malu? 2. Bagaimana strategi orang tua yang berprofesi sebagai guru di MI Ma’arif Kecamatan
Tuntang,
Kabupaten
Semarang
Tahun
2010
dalam
menanamkan rasa malu kepada anak?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah penulis kemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui persepsi orang tua yang berprofesi sebagai guru di MI Ma’arif Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang Tahun 2010 tentang rasa malu. 2. Untuk mengetahui strategi orang tua yang berprofesi sebagai guru di MI Ma’arif Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang Tahun 2010 dalam menanamkan rasa malu kepada anak. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi yang jelas tentang persepsi rasa malu dan penanamannya pada anak yang
6
orang tuanya berprofesi sebagai guru. Informasi tersebut memberikan manfaat secara praktis maupun teoritis, yaitu : 1. Manfaat Praktis a. Bagi penulis Penelitian tentang persepsi rasa malu bagi orang tua yang berprofesi sebagi guru serta penanamannya kepada anak memberikan informasi dan wawasan yang komprehensif tentang beragam persepsi malu dan penanaman rasa malu terhadap anak guru MI di Kecamatan Tuntang. b. Bagi guru / orang tua Diharapkan dari hasil penelitian menjadi tolok ukur akan pemahaman dan penanaman rasa malu kepada anak, sehingga orang tua bisa memberikan pendidikan rasa malu yang lebih baik bagi anak-anaknya, terlebih pendidikan rasa malu bagi anak-anak. c. Bagi akademik, semoga dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan pendidikan dan pembendaharaan pustaka, sekaligus menjadi bahan acuan dalam pembekalan mahasiswa Tarbiyah terkait teori dan prakteknya. d. Bagi peneliti lanjutan, diharapkan dari hasil penelitian ini memberikan informasi dan rujukan demi kesempurnaan penelitian. 2. Secara
teoritik,
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
bagi
pengembangan pendidik pada umumnya, khususnya dapat memperkaya khasanah dunia pendidikan Islam yang diperoleh dari hasil penelitian.
7
E. Sebelum diuraikan panjang lebar pokok bahasan penelitian ini, terlebih dahulu penulis jelaskan istilah-istilah yang menjadi kunci kajian penelitian agar tidak terjadi misunderstanding antara maksud penulis dan khalayak pembaca pada umumnya. Berikut ini istilah-istilah yang dimaksud : 1. Konsep rasa malu. Konsep adalah tata cara atau langkah yang akan dikenakan pada suatu objek. Secara terminologi malu dalam ajaran Islam dikenal dengan sebutan al-hayaa sebagaimana dikenalkan Nabi Muhammad dalam hadisthadisnya dan sifat beliau yang dikenal sebagai pemalu dalam kajian historis. Disebutkan di dalam hadist nabi bahwa:
Artinya : ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan keluhuran akhlak” (H. R. Malik) (Abu Bakar Jabir Al-Jazair, 2003 : 218). Adapun pengertian malu menurut kalangan ulama yang disadur alHasyimi (2003:260) adalah suatu sikap mulia yang senantiasa mendorong seseorang untuk menghindari perbuatan buruk dan mencegahnya dari kegagalan melaksanakan kewajibannya terhadap orang-orang yang menjadi tanggung-jawabnya. Ketika rasa malu menjadi akhlak Islam, maka rasa malu yang penulis maksud adalah kesadaran individu dalam merespon lingkungan dimana ia tinggal. Artinya, penyesuaian tingkah laku harus berjalan sesuai pandangan normatif agama, budaya dan adat istiadat yang bersangkutan. 2. Penanaman pada anak.
8
Penanaman berasal dari kata tanam yang secara maknawi memiliki menanam/membutuhkan suatu proses. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006:1259),
penanaman dimaknai dengan pemasangan,
pengenaan dan perihal mempraktekkan. Dalam perspektif penulis penanaman sama halnya dengan metode yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (Sudjana, 2001:8). Sedangkan pengertian metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:5 64) adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Sedangkan yang dimaksud dengan anak adalah pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani manusia berlangsung dari bayi hingga ia remaja, terutama kanak-kanak. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan yang dimaksud dengan konsep rasa malu dan penanamanya pada anak adalah suatu proses tata cara/langkah dari suatu sikap mulia yang mendorong seseorang untuk menghindari
perbuatan
buruk
dan
mencegah
dari kegagalan
serta
melaksanakan kewajiban terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan kata lain, konsep rasa malu dan penanamannya pada anak adalah proses pembentukan karakter yang diterapkan orang tua tentang arti perintah dan larangan pada suatu masa dengan berbagai gaya, cara dan metode yang dianggat efektif dan efisien.
F. Metode Penelitian
9
1. Pendekatan dan Jenis penelitian Untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang permasalahan yang dikaji, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, Menurut Soedarsa (1998:4) penelitian kualitatif adalah penelitian yang informasi atau data yang dikumpulkan tidak berwujud angka-angka dan analisisnya berdasarkan prinsip logika. Adapun asumsi dari metode ini karena pendekatan kualitatif mempunyai kemampuan mengungkap data yang tersirat dan terselubung dengan memahami kerangka acuan dari pelaku perbuatan itu sendiri. Adapun jenis penelitian yang digunakan penulis disini adalah jenis penelitian deskriptif, yakni penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data dengan meyajikan data tersebut untuk dianalisis dan diinterprestasikan.untuk menggambarkan situasi dan kejadian atau peristiwa, penelitian deskriptif ini juga berusaha memberikan gambaran dengan sistematis, cermat dari fakta-fakta yang aktual. Menurut Suharsismi Arikunto (1999: 291) penelitian deskriptif kualitatif tidak menguji hipotesis melainkan menyajikan data melalui ungkapan verbal yang dapat menggambarkan sebagaimana kondisi yang sebenarnya. Penelitian deskriptif menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistic setting). Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai pengamat yang hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala dan mencatat dalam buku. serta menggunakan metode penelitian yang bersifat studi kasus, yakni mempelajari secara intensif tentang latar
10
belakang keadaan sekarang, dan interaksi sosial, individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. 2. Lokasi Penelitian Dalam hal ini penulis memilih Madrasah Ibtidaiyah sebagai obyek lokasi penelitian yang sebagian besar statusnya adalah swasta dan jarang memiliki status negeri seperti Sekolah Dasar (SD) yang lebih banyak ditemukan berlokasi pada tempat yang strategis. Alasan mendasar yang lain adalah karena lembaga Islam tingkat dasar (Madrasah) akhir-akhir ini dihadapkan pada soal kualitas, kurangnya tenaga guru, minimnya sarana prasarana, sedikitnya murid, rendahnya etos kerja pendidik serta berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dan muaranya adalah pada semakin rendahnya mutu pendidikan di Madrasah. Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang berstatus swasta berjumlah 9 sekolah, adapun sekolah-sekolah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Rowosari, Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Sraten, Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Candirejo, Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Tuntang, Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Watuagung, Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Karang Tengah, Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Gedangan, Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Rowosari Lopait dan Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Jombor. 3. Subyek penelitian Dalam hal ini penulis menetapkan 9 (sembilan) Madrasah Ibtidaiyah sebagai subyek penelitian. Penentuan subyek penelitian dilakukan secara purposif kepada pilihan sekolah dan informan orang tua yang berprofesi sebagai guru MI yang berjumlah 40 responden.
11
4. Teknik pengumpulan data Dalam penelitian hal ini peneliti menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan. a. Wawancara Menurut Sutrisno Hadi (1981:192), menyatakan wawancara adalah proses tanya jawab, dimana dua orang atau lebih berhadaphadapan secara fisik yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengarkan dengan telinga sendiri suaranya. Teknik wawancara ini penulis gunakan untuk mendapatkan penjelasan dan informasi data dari para subyek penelitian atau responden mengenai keadaan pelaksanaan kurikulum saat ini. b. Dokumentasi Menurut Sukandar Rumidi, dokumentasi digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan buku, surat kabar, notulen, agenda dan sebagainya. Dalam
hal
ini
teknik
dokumentasi
digunakan
untuk
mendapatkan data tentang persepsi dan strategi orang tua yang berprosfesi sebagai guru di MI Ma’arif Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang Tahun 2010 dalam menanamkan konsep rasa malu pada anak. c. Angket Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui (Suharsismi Arikunto 1999:124). Angket disini digunakan sebagai metode pokok untuk
12
memperoleh informasi tentang persepsi tentang rasa malu dan penanamannya pada anak (studi deskriptif pada orang tua yang berprofesi sebagai guru di MI Ma’arif Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang Tahun 2010. 5. Analisis data Lexy J. Moleong (1998:108), dalam bukunya yang berjudul "Metode Penelitian Kualitatif" disebutkan analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola kategori dan susunan uraian dasar, sehingga dapat menentukan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Dalam analisis data ada beberapa tekhnik yang dilakukan secara bertahap. Secara prosedural data yang diperoleh dengan mengoptimalkan metode penelitian yang digunakan, yang kemudian direduksi, disajikan, disimpulkan, dan diverifikasikan. a. Reduksi data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, t.th: 161). Hasil dari reduksi data tersebut kemudian diverbalkan dan dipilah-pilah menurut kategori datanya. b. Penyajian data Dalam tahap ini peneliti menyajikan data yang telah direduksi dengan rapi dan runtut sehingga peneliti mampu melakukan tindakan lanjut untuk analisa data.
13
c. Menarik kesimpulan dan verifikasi Penarikan kesimpulan merupakan tahap terakhir setelah reduksi dan data disajikan dan kesimpulan yang masih meragukan akan diverifikasi dengan data-data baru sehingga sampai pada keyakinan tingkat validitas yang memadai 6. Pengecekan keabsahan data Dalam penelitian metode analisis data yang digunakan yaitu triangulasi (keabsahan). Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau perbandingan terhadap data itu. Triangulasi dengan sumber dan metode membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dicapai dengan jalan : a. Membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara. b. Membandingkan apa yang dikatakan siswa dengan apa yang dikatakan guru. c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang terkait. d. Membandingkan apa yang dikatakan key informan dan informan. 7. Tahap-tahap Penelitian Dalam penelitian ada beberapa tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti, antara lain : a. Kegiatan administrasi yang meliputi pengajuan ijin operasional untuk melakukan penelitian kepada Ketua STAIN Salatiga dan kepada
14
seluruh Kepala Sekolah MI Ma’arif, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. b. Memilih jumlah orang untuk menjadi key informan dan informan. c. Melakukan observasi lapangan dan informan sehingga langsung mendapat data. d. Meminjam dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk kelengkapan data penelitian. e. Penyajian data dengan susunan dan urutan-urutan yang memungkinkan dan memudahkan untuk dilakukan pemaknaan. f. Mereduksi data dengan cara membuat data-data yang lemah atau menyimpang setelah mulai tampak adanya kekurangan data sebagai akibat proses reduksi. Selanjutnya direncanakan untuk mengumpulkan data tambahan sebagai akibat proses reduksi. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
Pendahuluan Yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian dan sistematika penelitian
BAB II
Kajian Pustaka Kajian pustaka disini menguraikan kajian tentang konsep rasa malu, kajian tentang penanaman konsep rasa malu pada anak
15
BAB III
Paparan Data dan Hasil Temuan Pada bagian ini dipaparkan mengenai karakteristik subjek penelitian dan deskripsi hasil penelitian
BAB IV
Pembahasan Pada bab ini, berisi penyajian dan analisis data hasil penelitian berdasarkan tujuan penelitian
BAB V
Penutup Dalam
bab
ini
penulis
menyampaikan
kesimpulan, saran-saran serta penutup. DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT PENULIS LAMPIRAN
tentang
beberapa
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Tentang Persepsi Rasa Malu 1. Pengertian persepsi rasa malu Sebagaimana dibahas dalam ulasan sebelumnya yang menyatakan urgensi rasa malu sebagai akhlak Islam yang harus dipegang dan diamalkan penganutnya, maka pada bahasan kali ini, penulis akan mengkaji terminologi malu dari berbagai sumber. Terminologi malu bisa didapatkan dari hasil interpretasi firman Allah di dalam QS. Al-Ahzab ayat 53, berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumahrumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi). Maka mintalah dari belakang tabir, cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
16
tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah (DEPAG, 2005 : 577) Menurut Ibnu Al Qayyim, “malu berasal dari kata hayaah (hidup) dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang teresebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang, sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna” (www.pesantrenvirtual.com, diakses 25 Juli 2010, jam 20.00 WIB). Al Junaidi berkata, “rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menibulkan suatu kondisi yang disebut rasa malu”. Hakikat malu adalah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya (Madarijus Shalihin II: 270). Imam Al Qurthubi berkata, “malu yang dibenarkan adalah malu yang digambarkan Rusullaallah sebagai bagian dari keimanan dan perintah–Nya bukan yang berasal dari gharizah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang diusahakan (muktasab) sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi SAW memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu dari gadis yang dipingit, sedangkan yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi (Fathul Bari X:522).
17
Adapun Al-Hasyimi (2003:260) yang mengutip beberapa ulama dengan definisi malu sebagai sikap mulia yang senantiasa mendorong seseorang untuk menghindari perbuatan buruk dan mencegahnya dari kegagalan melaksanakan kewajibannya terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Musfir (2005:220) menyatakan bahwa yan dimaksud dengan haya’ disini adalah perpaduan rasa malu dan takut bila ia melakukan suatu penyimpangan dan orang lain kelak akan membuka aibnya sendiri. Berkenaan dengan termonologi malu, Eric Erikson menyatakan bahwa 50% tahap perkembangan psikososial terjadi pada masa kanakkanaknya. Di saat anak berusia sekitar 2-3 tahun, anak mengalami fase yang di sebut sebagai fase authonomy vs shame. Pada usia ini anak mencoba untuk mandiri yang secara fisik dimungkinkan oleh kemampuan mereka untuk berjalan, berlari dan berkenalan tanpa dibantu lagi oleh orang dewasa. Dengan kemampuan ini, anak memasuki periode eskplorasi. Pada periode ini pula, kepercayaan diri anak bisa ditumbuhkan. Problem yang terjadi pada masa ini adalah rasa malu karena mereka tidak mampu menjadi “be on their own”, yakni karena tidak mampu mandiri, menjadi diri sendiri. Rasa malu ini terjadi karena orang tua terlalu banyak intervensi dalam kegiatan anak dan tidak memberian mereka kepercayan untuk
bisa
melakukan
kegiatan
mereka
(http://www.pesantrenvirtual.com, 15 Maret 2010, jam 21.45 WIB).
sendiri
18
Malu juga diartikan sebagai “shyness”. Shyness umumnya terkait dengan ketidaknyamanan, di kala seseorang merasa tidak nyaman dengan kondisi tertentu, maka kepercayaan dirinya akan berkurang bahkan hilang. Dan pada saat iu ia merasa shy, atau mungkin padanan tepatnya adalah malu-malu. Sifat malu-malu in dibentuk dari lingkungan keluarga. Di saat orang hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis, anak akan merasa bahwa kesalahan merakalah yang membuat keluarga menjadi tidak harmonis, dan inilah yang menjadikan kepercayaan hilang yang menyebabkan menjadi malu dalam banyak hal, khususnya dalam berinteraksi dalam masyarakat (www.pesantrenvirtual.com, 15 Maret 2010, jam 21.45 WIB). Selain itu Jalaludin Rahmat mensosialisasikan culture shame dengan memberikan contohnya, sebagai berikut : a. Di Jepang, seorang satpam di museum hara kiri, karena salah satu barang antik di museum itu hilang, dia merasa malu karena tidak bisa mejalankan tugasnya dengan baik dan akhirnya ia bunuh diri. b. Di Australia, seorang anggota DPR pergi berkunjung ke daerahnya, ia mendatangi ibunya yang sakit. Koran-koran lantas memuat berita bahwa dia telah menggunakan fasilitas anggota DPR untuk keperluan pribadi. Dia diminta untuk mengembalikan uang yang telah ia gunakan, sehingga ia datang ke DPR dam mengembalikan semua uang tersebut. Dan beberapa hari kemudian ia bunuh diri.
19
Pengertian kata shame berarti malu dan merasa rendah diri karena telah melakukan suatu tindakan yang buruk. Sikap malu ini umumnya baru muncul setelah melakukannya. Dari perspektif beberapa sumber di atas, penulis mendefinisikan konsep rasa malu sebagai suatu sifat dan tata cara dimana muncul sebagai bentuk respon terhadap lingkungan sekitar yang didasarkan kepada pemahaman terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, rasa malu menjaga pelakunya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan undang-undang atau adab yang berlaku di dalam masyarakat. 2. Malu sebagai akhlak Islam Setiap agama, setiap ras dan suku serta setiap negara memiliki tata cara yang berbeda dalam kehidupannya. Begitu pula tata cara dalam beretika, mereka senantiasa menyesuaikan diri atau disebut dengan proses adaptasi dengan lingkungnannya. Seperti halnya lingkungan di kawasan geografis yang keras, pada umumnya membentuk watak dan karakteristik penduduk yang keras pula. Bahkan seekor hewan pun harus beradaptasi dengan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Manusia
dengan
instink
yang
telah
dimilikinya,
mampu
beradaptasi dengan lingkungn sekitar. Adapun adaptasi yang penulis maksud di sini adalah ketepatan dimana mereka harus bertindak dan bercakap, artinya manusia harus memiliki tata cara hidup yang bermoral dan beradab.
20
Pada hakikatnya, moral dan adab merupakan tema klasik dalam kajiaan suatu keilmuan. Begitu juga di dalam Islam, terminologi norma dan adab dikemas dalam bingkai akhlak Islam yang menandakan bahwa Islam juga memiliki tata cara kehidupan. Ajaran-ajaran moral itu bisa dilihat dari Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menjadi dua sumber akhlak Islam. Berpijak dari hadist yang Malik, Nabi Muhammad bersabda:
”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (Abu Bakar Jabir Al-Jazair, 2003 : 218). Hadist ini menjadi bukti kuat akan urgensi moral dalam pendidikan Islam. Ketika Nabi Muhammad datang sebagai pembaharu dalam kehidupan manusia, yang pada masa sebelumnya tidak beradab dan bermoral menjadi lebih sedikit ada peraturan dan tata cara dan hingga menjadi suatu peradaban baru yang dinamakan kota Makkah dan Madinal Al-Munawwarah. Bukti historis di atas tentu menjadi sebuah momentum dimana Islam berjaya dengan memegang teguh ajaran agamanya. Hal ini senada dengan ungkapan seorang ulama klasik yang pernah hidup lama di barat seraya berkata ”Orang-orang barat maju karena meninggalkan ajarn-ajaran agamanya
dan
Islam
runtuh
karena
meninggalkan
ajaran-ajaran
agamanya”. Salah satu ajaran Islam yang sangat urgen adalah pendidikan akhlak, dimana akhlak dalam terminologi Islam berasal dari Bahasa Arab yang merupakan jamak dari “khuluq”, berarti budi pekerti, perangai,
21
tingkah
laku/tabiat.
Berakar
dari kata
“kholuqo”
yang
artinya
menciptakan. Seakar dengan kata Kholiq : pencipta, makhluq yang menciptakan dan kholq : ciptaan (Ilyas, 2001:1). Ilyas menambahkan (2001:10) bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia. Sehingga dia muncul secara spontan. Bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Berikut ini ruang lingkup dalam perspektif Islam : a. Secara umum, akhlak Islam dibagi menjadi dua yakni akhlak mulia disebut dengan al-akhlak al-karimah/al-mahmudah dan dan akhlak tercela atau al-akhlak al-madzmunah atau al-qabihah. Sebetulnya pembagian akhlak itu berasal dari nalar manusia dimana manusia pada hakikatnya mencintai kebaikan. Pengertian ini berarti manusia dimana pun berada akan memiliki sisi baik meskipun sedikit. Oleh karena itu, mereka bisa berpikir perihal baik dan buruk, enak dan tidak serta halhal lain yang menuntut rasio mereka. b. Dilihat dari sudut pandang penerapan akhlak, Islam menganjurkan agar tercapai antara hubungan vertikal dan horizontal. Konsep ini mengartikan bahwa berakhlak di dalam Islam adalah berakhlak tehadap Allah dan berakhlak terhadap makhluk. Berakhlak kepada Allah merupakan tingkatan manusia dimana manusia harus berbuat baik karena mengharap ridha-Nya bukan karena menginginkan balasan berupa pujian atau jasa orang lain. Adapun berakhlak dengan sesama
22
makhluk berarti berlaku baik kepada seluruh apa yang ada di bumi ini termasuk di antaranya terhadap diri sendiri, ibu dan bapak, tumbuhan, binatang hingga benda mati sekalipun. Ada satu ikhtishar penting yang bisa dipetik dari penyusunan konsep akhlak Islam di atas, yakni suatu tanggungjawab yang dibebankan Allah kepada manusia sebagai khalifah fil ardhi (wakil Allah di bumi). Islam mengedepakan akhlak karena dengan akhlaklah keberlangsungan hidup di bumi akan terus berlanjut dimana hubungan Tuhan dengan makhluknya, hubungan manusia dengan alam sekitar berjalan selaras dengan akal dan hati nuraninya, oleh karena itu tugas manusia merawat dunia bukan sebaliknya. Urgensi malu secara gamblang dideskripsikan Nabi Muhammad saw dalam hadistnya yang berbunyi : “sesungguhnya setiap agama itu berakhlaq, sedangkan akhlaq Agama Islam adalah malu” (H. R. Ibnu Majah). Dengan satu sifat inilah manusia bisa menghormati dan menghargai antar sesama bahkan dengan alam sekalipun. 3. Konsep malu dalam perspektif Islam Kaum muslimin memahami malu bagian dari iman berdasarkan hadits “Al Hayaa u min al iman”. Bila dikaji lebih dalam, maka kata haya’ di atas diambil dari kata hayat atau kehidupan. Hal ini mengindikasikan bahwa rasa malu ini merupakan pondasi dari adanya kehidupan. Orang yang tidak memiliki malu malu bukanlah orang yang memiliki kehidupan yang sebenarnya. Ia pun diartikan sebagai suatu perasaan buruk atau tidak
23
nyaman yang disertai dengan perasaan, lalu bila melakukan suatu hal buruk yang bertentangan dengan nilai yang dipahami. Lebih dari itu, dari hadits di atas dipahami pula bahwa rasa malu berkaitan erat dengan keimanan. Rendahnya rasa malu berimbas pada rendahnya keimanan yang dimiliki. Namun malu yang seperti apakah yang dimaksud dalam cakupan al haya’ ini? Rasulullah SAW bersabda:
“Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW berkata : iman itu lebih dari tujuh puluh atau lebih dari enam puluh cabang rantingnya yang terutama adalah kalimat lailahailla allah dan serendahrenahnya ialah menyingkirkan gangguan di jalan dan malu adalah sebagian dari iman”. (Mustofa dan Baharudin, 1999:159). Imam Nawawi menyebutkan bahwa hakikat rasa malu itu muncul dalam bentuk sikap meninggalkan perbuatan jelek, dan perbuatan dzalim. Seorang sufi besar Imam Junaid menerangkan bahwa rasa malu muncul dari melihat besarnya nikmat Allah, sedangkan ia merasa banyak kekuranangan
dalam
menngamalkan
ketaatan
kepada-Nya.
(Riyadlussalihin, t.th:246). Pemahaman rasa malu sebagai pencegahan diri dari perbuatan tidak terpuji di pertegas lagi dengan hadits beliau yang menyatakan, “Bila engkau tidak malu, maka berbuatlah semaumu”(HR.Bukhari). Konteks hadits di atas memiliki tiga makna:
24
a. Konteksnya bersifat ancaman; yakni kalau kamu tidak punya rasa malu, maka Allah akan menghukummu atas keburukan yang kamu lakukan! b. Bermakna bila kamu melakukan sesuatu dan tidak ada sutau hal apapun yang harus membuatmu malu atasnya, maka lakukanlah! Dalam hal ini, konteks yang dipakai adalah konteks pembolehan. c. Makna yang ketiga lebih merujuk pada konteks yang ada pada masa kini, yakni menghalanginya dalam melakukan apapun yang ingin dilakukannya. Hal ini bisa dicontohkan kepada praktek kehidupan sehari-hari dimana orang tua kadang menyeruh anak untuk melakukan perbuatan yang pada hakikatnya adalah seruan untuk tidak melakukan seperti ungkapan ”teruskan memanjat! Ayo!”. 4. Kedudukan malu dalam Islam Sebagai makhluk sosial, manusia diberi kemampuan untukk membangun komuniksi serat interaksi. Dalam kedua proses tersebut terjalin suatu mekanisme pendistribusian tanggung jawab. Ada hal-hal yang secara aklamasi diseakati menjadi bagian tanggung jawab bersama (soccial obligation) yang dalam konteks agama biasa disebut fardlu kifayah. Social obligation ini adalah keniscayaan yang diberikan Allah SWT dalam rangka kompetisi dalam kebaikan, dan rasa malu merupakan salah satu parameter untuk mengukur seberapa besar kontribusi seseorang dalammenjalankan kewajiban sosialnya. Hal ini mempertegas pernyataan Nabi Muhammad SAW :
25
“Imron bin Husain r.a kata : rosulullah SAW bersabda : malu itu tidak akan menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan semata”. (Mustofa dan Baharudin, 1999:156). Fungsi malu sebagai stabilitar kehidupan juga bisa dipahami dari hadist lain, yakni “Jika Allah SWT ingin menghancurkan debuah kaum, dicabutlah dari dari mereka rasa malu”. Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati, Bila sikap keras hati membudaya, Allah memcabut dari mereka sifat sikap amanah (kejujuran dan tanggung jawab), bila sikap amanah telah hilang maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para pengkhianat telah merajalela, maka Allah mencabut rahman-Nya. Bila rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia laknat merajalela, maka Allah Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam (kedamaian hidup)” Menerangkan makna Hadits ini, Syeikh Muhammad Al Ghazali berkata dalam bukunya Khulukul Muslim :”Bila seorang tidak mempunyai rasa malu dan amanah (tanggung jawab), ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban adalah mereka yang tidak berdosa .ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan
26
hawa nafsunya. Bila seseorang sampai tingkat perilkau seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam (Khuluqul Muslim, t.th:171). Dari ulasan-ulasan di atas, rasa malu mendapat kedudukan yang sangat mulia dalam syariat Islam. Begitu juga banyak hal-hal yang bisa dikaji dari rasa malu itu, seperti halnya keistimewaan sifat malu itu adalah: 1. Al-haya’ miftah kully khair. Didasarkan dalam hadist
yang
menyatakan malu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan. Busyair Bin Ka’b seorang tabiin mengatakan bahwa rasa malu itu ilmu hikmah, darinya muncul kelembutan, keteguhan serta ketenangan. Begitu juga pendapat Ibnu Qoyyim di atas, “malu adalah akhlaq yang paling utama dan paling mulia”. 2. Rasa malu merupakan keistimewaan dan tabiat manusia. Rasa malu adalah sifat yang selaras dengan fitrah manusia karena pada awal diciptakannya manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Dengan
kesempurnaan
jasmani
dan
rohaninya,
manusia
disempurnakan juga dengan akal pikirannya sehingga mendorong mereka untuk merasa malu terhadap hal-hal yang tidak manusiawi. Meskipun rasa malu sudah tertanam secara sebagai fitrah manusia, namun juga membutuhkan usaha dan pengetahuan serta didasari niat yang ikhlas karena Allah. 3. Rasa malu adalah bagiaan dari keimanan. Disebutkan dalam beberapa hadist, yang esensinya adalah korelasional antara iman dan rasa malu
27
seperti hadist yang menyatakan keimanan dan rasa malu adalah satu bagian, satu dengan lainya tak dapat dipisahkan.dengan demikian bahwa guru merupakan foktor utama dalam lingkungan pendidikan dalam lingkungan sekolah dan di keluarga adalah orang tua, di sekolah, guru Bimbingan dan penyuluh (BP) sebenarya sangat berperan dalam pelatihan budi pekerti. Dalam hal ini, tentu saja guru BP tidak lagi menjadi momok siswa yang harus ditakuti,namun harus berfungsi sebagai agen budi pekerti,Guru BP semestinya menjadi pengarah tinkah laku siswa. Di harapkan anak di sekolahan dapat berakhlaq yang baik dan terbiasa berkelakuaan baik (Budi Pekerti Jawa, 2006:56) 5. Macam-macam malu Menurut Imam Ibnu Qoyim Al-jauziyyah malu itu dibagi menjadi 10 macam, yakni : a. Hayatul jinayah : seperti rasa malu Nabi Adam saat lari di surga. b. Hayaut taqshir : seperti rasa malu para mailakat yang bertasbih siang dan malam tanpa henti-henti dan merasa lelah. c. Hayaul ijla’ : rasa malu yang lepas dari sifat keterburukan d. Hayaul haram : seperti rasa malu Rasulullah Saw ketika sekelompok kaum mengundang beliau ke walimah Zainab, kemudian mereka duduk sangat lama di acara tersebut, maka Rasulullah berdiri namun beliau tetap malu untuk mengajak pulang
28
e. Hayaul hisymah : seperti rasa malu ’Ali bin Abi Thalib untuk menanyakan masalah madzi pada Rasulullah Saw karena keberadaan Fatimah putri beliau di sisinya f. Hayatul istihqar : seperti rasa malu seorang hamba saat berdo’a kepada Allah g. Hayaul mahabbah : seperti malu seseorang terhadap orang yang dicintainya h. Hayaul Ubudiyah : yaitu rasa malu yang muncul dari rasa cinta dan rasa takut i.
Hayaus syarafi wal izah : yaitu rasa malu yang timbul karena kemuliaan dan keagungan
j.
Hayaul mar’i min nafsi : yaitu rasa malu seseorang yang sangat tinggi dan mulia atas keridhoannya terhadap segala kekurangan yang ada pada dirinya (http://www.pesantrenvirtual.com). Adapun karakteristik malu dibagi menjadi tiga macam, yakni :
a. Malu karena Allah b. Malu karena manusia c. Malu karena diri sendiri 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi rasa malu Dilihat dari sisi penerapan rasa malu, maka rasa ini didasarai oleh faktor internal dan eksternal dimana seseorang dengan orang lain menerapkan praktek yang berbeda pula. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa rasa malu itu disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :
29
a. Faktor internal 1) Faktor fisik Masa orang dewasa bermula dari masa kanak-kanak dan masa remaja. Ketiga masa itu tentu memiliki masa yang berbedabeda sesuai dengan perkembangan dan perubahan fisiknya. Masa kanak-kanak cenderung dihabiskan dengan bercanda ria dan bermain, karena secara akal dan fisiknya belum memungkinkan untuk bekerja. Masa remaja cenderung mencari identitas diri dan memperhatikan penampilan fisik dengan berdandan, bersolek dan bergaya untuk menarik simpati dan perhatian orang lain. Begitu juga masa dewasa yang mulai meninggalkan masa kanak-kanak dan remaja mulai disibukkan dengan pekerjaannya, namun orang dewasa mulai berpikir lebih bijak dari masa-masa sebelumnya. Pengertian fisik juga bisa dimaknai dengan wujud material dimana kekurangan organ tubuh –misalnya- juga berdampak pada kondisi psikis seseorang. Namun, di sisi lain keadaan semacam ini juga bisa menjadi pendorong dan penyemangat seseorang untuk lebih bisa berkarya dalam hidupnya. Tahapan masa dan kondisi jasmani di atas memberikan corak dan beragam penanaman dan penerapan rasa malu yang diajarkan orang tua ke pada orang yang lebih muda. 2) Faktor intelektual
30
Seperti halanya masa maturitas seseorang, faktor intelektual juga memiliki kesamaan yang dikaitkan dengan masa-masa atau fase-fase kehidupan. Zakiyah Daradjat (1996:72) menyatakan, “kemampuan untuk mengerti masalah-masalah yang abstrak, tidak sempurna perkembangnnya sebelum mencapai usia 12 tahun”. Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa intelektual seseorang secara umum juga didukung oleh tingkat usia dan maturitasnya. Oleh karena itu, anak kecil pada umumnya tidak mengenal apa itu malu? Bagaimana dan kapan harus malu. Adapun masa remaja dan dewasa yang secara mental mampu berpikir logis untuk memahami perhila baik dan buruk, antara butuh dan tidak. Seperti halnya seorang pemudi yang tampil feminin dalam acara pengajian, akan merasakan dirinya berbeda sehingga mengakibatkan malu pada dirinya, demikian juga yang terjadi dengan orang dewasa. 3) Faktor emosi Faktor emosi juga ditentukan fase-fase kehidupan seseorang dimana pada masa remaja dengan pertumbuhan fisiknya terutama organ-organ seksual yang mempengaruhi perkembangan emosi dan dorongan perasaan untuk mengetahui hal-hal baru. Emosi remaja tentu berbeda dengan emosi anak-anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, fase-fase yang mempengaruhi
31
emosinya juga memberi pengaruh dalam penanaman dan penerapan rasa malu. Dari faktor internal yang penulis jabarkan di atas, penulis berasumsi bahwa penanaman dan penerapan rasa malu sangat terkait dengan fase-fase kehidupan, khusunya masa remaja yang sudah tidak mudah lagi diberi masukan layaknya anak-anak. b. Faktor eksternal Yang dinamakan dengan faktor eksternal disini adalah segala hal yang datang dari luar individu dimana faktor-faktor itu muncul dari lingkungan sekitar. Adapun faktor-faktor tersebut, adalah: 1) Faktor lingkungan keluarga Al-Hasyimi
(2003:130)
menyatakan
rumah
adalah
lingkungan dimana lingkungan-lingkungan terkecil tumbuh : inilah lingkungan yang di situ kecenderungan, sikap dan kepribadian anak-anak dibentuk. Sebuah keluarga yang interaksinya berjalan dengan baik akan menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif, dengan demikian akan tercipta rasa senang anak untuk meniru tabiat-tabiat serta menuruti hal-hal baik yang disampaikan orang tua. 2) Faktor lingkungan sekolah Perihal yang menyangkut baik dan buruk, benar dan salah akan diketahihui seorang berdasarkan fase kehidupannya. Adapun hal terpenting dari fase itu adalah pengalaman yang didapatkan
32
seseorang dari interaksinya sehari-hari. Terlebih bagi anak-anak, Weinkel (1987:21) menyatakan bahwa pendidikan di sekolah mengarahkan belajar anak supaya dia memperoleh pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, sikap dan nilai yang semuanya menunjang perkembangnanya. Oleh karena itu, pengalaman dan keilmuan anak akan menjadi salah satu faktor yang mendukung penanaman dan penrapan rasa malunya. 3) Faktor lingkungan teman sebaya Manusia adalah makhluk sosial dimana mereka tidak bisa hidup sendirian. Begitu juga konsep itu tidak menganal fase-fase kehidupan seseorang, anak kecil akan mencari teman yang bisa mengisi kehidupannya, anak remaja akan mencari teman bergaul sebayanya, dan juag orang dewasa yang bergaul dengan teman koleganya. Interaksi-interaksi
manusia
dengan
temannya
akan
membentuk karakteristik seseorang. Pengaruh teman sebaya setidaknya akan mempengaruhi : a) Cara pandang atau cara berpikir b) Cara menentukan sikap/bersikap Oleh karena itu, suatu tugas berat bagi orang tua untuk menanamkan dan menerapkan rasa malu pada anak karena
33
pembentukan pribadi dan watak anak juga ditentukan oleh teman bergaul. 4) Faktor lingkungan orang dewasa Lingkungan orang dewasa tidak lepas dari tempat ia berkerja dan kehidupan di rumah tangga. oleh karena itu, baik tempat bekerja maupun kehidupan di rumah harus bisa berjalan dengan baik. Karena terciptanya hubungan ayah dan ibu akan berdampak kepada pendidikan anak, sebagaimana diungkapkan Al-Hasyimi (2003:144) “ketika hati anak dipenuhi dengan kesenangan dan kebaikan, seorang ayah bisa membawa mereka kepada tingkatan moral yang tinggi dan sifat kemanusiaan yang mulia”. Dengan memperbaiki diri, khususnya hubungan antara ayah dan ibu serta manajemen waktu dalam bekerja yang baik niscaya seorang anak akan mudah untuk diberi bimbingan terutama penanaman rasa malu.
B. Kajian Tentang PenanamanPersepsi Rasa Malu Pada Anak 1. Pengertian penanaman konsep rasa malu pada anak Penanaman konsep rasa malu pada anak adalah suatu proses tata cara/langkah dari suatu sikap mulia yang mendorong seseorang untuk menghindari perbuatan buruk dan mencegah dari kegagalan serta melaksanakan kewajiban terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Hal ini juga merupakan salah satu wujud dari ibadah yang
34
memiliki prioritas tertinggi dalam kehidupan sehari-hari karena dalam konsep rasa malu mengandung hubungan atau interaksi antara Tuhan dengan manusia, manusia dengan sesama manusia. Seseorang dalam kehidupan sehari-hari pasti memiliki rasa malu, baik secara kualitatif maupun kuantitatif maka pendekatan dirinya kepada Tuhan akan lancar, berkualitas, lebih sempurna dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki rasa malu. Pengaruh dari penanaman rasa malu pada anak / yang dilakukan oleh seseorang akan memberikan ketenangan jiwa dalam hidup, memiliki ketenteraman dan ketenangan hati. Dengan kata lain, ketenangan hidup dan ketenangan hati orang yang memiliki rasa malu jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki rasa malu. Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Ar-Rad ayat 28 :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (DEPAG RI, 1427 H: 252). Hal ini mengingatkan kepada orang tua agar membiasakan mendidik dan menanamkan pada anak-anaknya mengenai konsep rasa malu sejak usia masih dini, meskipun anak tersebut belum berkewajiban untuk menjalankannya. Sehingga ketika remaja atau dewasapun mereka masih tetap terbiasa, seandainya jika pada suatu saat mereka sudah bergaul dengan teman sebaya hidup dengan berbagai lingkungan dan kebiasaankebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan moral maupun agama
35
anak
akan
biasa
menetralisir
sendiri
perbuatan-perbuatan
yang
bertentangan dengan moral maupun agama, adanya rasa malu akan menjadi pengendali tingkah laku seseorang. 2. Kaitan konsep rasa malu dan penanaman pada anak dengan akhlak Islam. a. Penyebab kemerosotan akhlak umat Islam Sebagaimana dikatakan pada bahasan di atas, bahwa akhlak Islam adalah rasa malu. Oleh karena itu, rasa malu harus dimiliki oleh setiap muslim, bahkan dalam sejarah Nabi Muhammad dikenal sebagai pemalu. Adapun akhlak mulia ini mulai hilang dari pribadi-pribadi muslim secara umum sekaligus sebagai pertanda kemerosotan umt Islam pada umumnya. Berikut penyebab-penyebab hilangnya akhlakakhlak yang disadur dari Ali Abdul Halim Mahmud : 1) Dekadensi moral Angin perubahan yang datang mempengaruhi peradaban Islam seperti trand dan mode memberi dampak yang tidak baik. Tidak hany sebatas itu, hukum-hukum dan tata cara hidup ala barat juga mulai mempengaruhi aturan dan ajaran Islam sehingga pada titik tertentu seolah tidak ada perbedaan antara hukum Barat dan Islam. Mahmud (2004:62) mengatakan orang-orang muslim harus menghadapi badai gelombang dekadensi moral tersebut dengan cara disertai dengan keimanan yang kuat.
36
2) Hilangnya loyalitas terhadap Islam Mahmud (2004:62) berkata, ”bila loyalitas terhadap agama sudah hilang, maka selanjutnya rasa cinta pun akan pudar”. Pengertian ini sangat sederhana dimana rasa malu sebagai akhlak Islam menjadi kunci kehidupan muslim. Seseorang yang tidak memiliki rasa malu berarti tidak loyal kepada Allah dan NabiNya, sehingga pada batas waktu tertentu merasa bebas tanpa aturan dan merusak dirinya sendiri. 3) Merebaknya tuduhan kepada Islam Berbagai tuduhan yang disematkan kepada Islam, terutama kepada ajarannya turut memberi pengaruh atas merosotnya akhlak Islam. Desakan dan tekanan dirasakan umat Islam dari berbagai pihak dengan berbagai latar belakang dan alasan. Secara tidak langsung, tekanan ini mempengaruhi pribadi muslim baik secara pemaknaan agama dan mainstremnya serta perilakunya. 4) Fanatisme yang berlebihan Fanatisme yang dimaksud Mahmud (2004:67) adalah fanatisme buta terhadap pendapat, mazhab dan sebagainya yang didasarkan pada hawa nafsu. Fanatisme juga membawa umat Islam dalam kodifikasi yang menyebabbkan pihak-pihak tertentu memasukkan ”racun-racun” yang merusak persatuan. Dari perpecahan itu muncul beberapa istilah yang lekat dengan umat Islam seperti Islam kiri, Islam kontemporer, Islam kolot bahkan
37
fanatisme kepada tokoh Islam, suku, bahasa dan lain-lain yang dengan sendirinya melupakan akhlak Islam yang cinta toleran, damai, bersatu dalam ikatan iman. 5) Terlalu ekstrim dan terlalu memudahkan ajaran agama Terlalu keras di dalam Islam tidak diperkenankan, begitu juga terlalu memudahkan juga dilarang di dalam Islam. Kedua sikap
tersebut,
menurut
Mahmud
(2004:69)
menunjukkan
kedangkalan akal dan pemahaman seseorang terhadap agama. Kefua sikap ini juga menandakan bahwa orang tersebut pada hakikatnya adalah melanggar dan jauh dari aturan Allah. Mahmud (2004:69) menambahkan, ”berkembangnya fenomena ini diakibatkan oleh jauhnya orang-orang muslim dari nilai-nilai akhlak yang diajarkan Islam, juga karena ketundukan mereka kepada hawa nafsu. Bila hawa nafsu telah menguasai seseorang, maka dengan sendirinya batasan-batasan agama berupa akhlak akan dilampauinya juga. Menitik-beratkan pada uraian mengenai penyebab kemerosotan akhlak umat Islam, penulis berpendapat bahwa selain hawa dan nafsu rasa malu juga penting dalam kehidupan sehari-hari karena seseorang akan bisa memillah-milah sebelum bertindak mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga penanaman konsep rasa malu tersebut sangat perlu ditanamkan pada usia dini anak. Dengan kata lain, penanaman konsep rasa malu pada anak sejak dini secara terus
38
menerus dan sungguh-sungguh, akan mempengaruhi kepribadian dan perilaku si anak dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. b. Strategi pendidikan akhlak Salah satu hal yang menjadi tanggung jawab orang tua adalah memberi pendidikan, baik suri tauladan maupun pengawasan. Dalam hal ini, yang penulis maksudkan adalah strategi orang dalam mengoreksi berbagai perilaku dan ucapan anak yang dianggap tidak baik. Berikut ini trik yang penulis sadurkan dari Imam Musbikin : 1) Pilih kata-kata yang tepat Musbikin (2007:267) menyarankan agar dalam mengoreksi perilaku anak tidak menggunakan kata-kata yang mengandung perintah terselubung seperti ucapan, ”apa tepat baju seperti itu dipakai ke acara pernikahan?”. Pernyataan di atas akan membuat anak semakin frustasi yang
akibatnya
anak-anak
menjadi
ragu-ragu
dengan
kemampuannya untuk mengurus diri sendiri sehingga akan menggantungkan kepada orang tua bila hendak melakukan sesuatu. 2) Jangan memaksa Memaksakan kehendak kepada anak akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kepribadiannya. Karena pada kesempatan di kemudian hari seorang anak yang merasa sebal karena dipaksa akan mengulangi perbuatan - perbuatn yang pernah ia lakukan.
39
3) Tanamkan pengertian Bila orang tua mengoreksi perilaku anak, hendaknya tidak menambah masalah dengan menanyakan apa yang dilakukan si anak tanpa mepedulikan pendapatnya. Cara yang tepat menurut Musbikin (2007: 268 ) adalah dengan menanamkan pengertian dalam diri anak agar ia memahami bahwa melakukan sesuatu yang salah tidak selalu berarti kegagalan, melainkan merupakan langkah awal untuk mempelajari sesuatu dengan baik dan benar. 4) Tunjukkan dan perbaiki Apabila orang tua hendak mengoreksi kesalahan anaknya, orang tua semestinya memahami watak dan karakter anak terlebih dahulu karena anak yang bisa menerima kritik bisa menanggapi koreksian orang tua. Akan tetapi bila si anak belum mampu menerima kritik, hendaknya orang tua memberi contoh bagaimana melakukannya dengan baik dan benar. Seperti halnya : perilaku orang tua yang berbicara sopan kepada siapa saja, akan dicontoh anak-anak dalam kehidupannya sehari-hari. 5) Bersabarlah Orang
tua
hendaknya
bersabar
dalam
memberikan
pendidikan terutama dalam menanamkan rasa malu kepada anak. Adalah waktu yang menjadi titik fokus dalam hal ini, dimana peran orang tua dalam intensitasnya memberikan pendidikan adalah hal yang penting.
40
6) Perhatikan nada suara Musbikin mengatakan (2003:269) nada tinggi yang menandakan kemarahan dan kejengkelan, tidak mengatasi masalah. Oleh karena itu dalam memberikan memberikan kritikan atau koreksi nada suaru yang dikeluarkan mestinya dengan nada lembut dan tenang. 7) Sisihkan waktu Orang tua yang lebih disibukkan dengan urusan kerjanya, akan lebih bijak apabila meluangkan sebagian waktunya besamasama anak-anak sebagai langkah awal penanaman rasa malu. 8) Beri pujian Musbikin (2003:270) menyatakan, menurut penelitian, pujian akan lebih efektif ketimbang hukuman dalam mendorong anak melakukan sesuatu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang tua memberikan pujian sebagai bentuk respon positif mereka terhadap perihal baik yang dilakukan anak. 9) Tentukan prioritas Maksud dari poin ini adalah menentukan hal-hal yang hendak dikoreksi orang tua, seperti mengoreksi pakaian yang dipilih anak dalam suatu acara tertentu. Musbikin (2003:270) memberi peringatan kepada orang tua, ”Anda tua bisa mengajukan usul paduan pakaian yang lebih serasi. Tapi kalau ia tidak mau menerima, jangan memaksa”.
41
10) Turunkan standar Anda Fase-fase kehidupan anak harus diperhatikan orang tua, dimana penanaman rasa malu antara anak dan remaja harus dibedakan sesuai standarnya. Hal ini didasarkan pada pendapat Musbikin (2003:271), “Anda harus menyesuaikan standar Anda dengan kemampuan anak”. Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa guru merupakan faktor utama dalam lingkungan pendidikan dalam lingkungan sekolah dan di keluarga adalah orang tua. Di sekolah guru bimbingan dan penyuluh (BP) sebenarnya sangat berperan dalam pelatihan budi pekerti. Hal ini, tentu saja guru BP tidak lagi menjadi momok siswa yang harus ditakuti, namun harus berfungsi sebagai agen budi pekerti. Guru BP semestinya menjadi pengarah tingkah laku siswa. Diharapkan anak di sekolah dapat berakhlaq yang baik dan terbiasa berkelakuan baik, apalagi kalau orang tua si anak juga berprofesi sebagai guru.
42
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Karakteristik Subjek Penelitian Dalam penelitian ini guru adalah subjek penelitian utama dan sudah berkeluarga, yakni mereka yang memiliki anak. Berikut ini karakteristik demografis subjek penelitian : Tabel 1 Jumlah responden dan instansinya No
Nama Instansi
Jumlah
1
MI Ma’arif Rowosari
5
2
MI Ma’arif Seraten
4
3
MI Ma’arif Candirejo
4
4
MI Ma’arif Tuntang
4
5
MI Ma’arif Watu Agung
5
6
MI Ma’arif Karang Tengah
5
7
MI Ma’arif Gedangan
6
8
MI Ma’arif Lopait
5
9
MI Ma’arif Jombor
3
Jumlah
40
Dari hasil angket yang disebarkan, diketahui bahwa 40 responden terdiri dari 8 laki-laki dan 32 perempuan. Sehingga dalam bentuk persentase diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 20% sedangkan 80% berjenis kelamin perempuan. Adapun subjek penelitian dilihat dari jenjang pendidikan, terdiri dari: 20 responden lulusan Strata 1 (S1), 2 responden lulusan DIII, 13 lulusan DII dan 5 lulusan SMA. Kalau di buat persentase terdiri dari 50% lulusan strata
43
satu, 5% lulusan DIII, 32,5% lulusan DII dan 12,5% lulusan SMA. Sedangkan di lihat dari status kepegawaian terdiri dari PNS dan Non-PNS dengan jumlah masing-masing 11 responden dan 29 responden. Responden pada penelitian ini mayoritas adalah Non-PNS dengan besaran angka 72,5% dan 27,5% adalah PNS. Berikut ini tabel demografis anak responden, meliputi : tingkat usia, jenis kelamin, jumlah anak dan bentuk persentase berdasarkan jumlahnya. Tabel 2 Jumlah anak berserta jenis kelamin dan umurnya No
Usia anak
1
Jenis kelamin
Jumlah
Persen (%)
5
12
18,75
8
9
17
26,56
4-5 tahun
5
5
10
15,62
4
6-7 tahun
4
1
5
7,81
5
8-9 tahun
3
4
7
10,93
6
10-11 tahun
1
-
1
1,56
7
12-13 tahun
1
2
3
4,68
8
14-15 tahun
2
1
3
4,68
9
16-17 tahun
1
1
2
3,12
10
18-19 tahun
1
-
1
1,56
11
20-21 tahun
2
-
2
3,12
12
22-23 tahun
-
-
-
-
13
24-25 tahun
1
-
1
1,56
Jumlah
36
28
64
100
L
P
0-1 tahun
7
2
2-3 tahun
3
Dari seluruh responden yang ada, terdapat 64 anak dengan perincian 36 laki-laki dan 28 perempuan. Artinya, hampir setiap dari responden memiliki dua orang anak.
44
B. Deskripsi Hasil Penelitian Berdasarkan raw data yang ada, penulis menerapkan beberapa langkah untuk menyederhanakan data-data itu. (1) melakukan pelabelan konseptual yakni dengan mengelompokkan data sesuai dengan kemiripan/kesamaan makna (2) melakukan kategorisasi data agar menjadi sebuah tema atau pokok bahasan. 1. Pelabelan konseptual data. Dalam pelabelan konseptual yang telah didapatkan, penulis berpijak pada pendapat Nazir (1988:410) yakni melakukan pengkodean dengan cara mengkategorikan data yang sama atau setidaknya sejenis : Tabel 3 Pelabelan konseptual data Konsep rasa malu dan penanamannya pada anak untuk orang tua yang berprofesi sebagai guru MI Ma’arif, Kec. Tuntang, Kab. Semarang tahun 2010 No 1
Pertanyaan Perspektif
responden a. Sesuatu yang menjadikan tidak
mengenai terminologi rasa malu
Keterangan
nyaman b. Perbuatan yang tidak pantas dilakukan c. Perbuatan yang dikarenakan perasaan bersalah d. Sesuatu yang membatasi gerak atau perbuatan e. Perasaan rendah diri f. Kurang percaya diri g. Perasaan yang tidak pernah
45
No
Pertanyaan
Keterangan diungkapkan h. Perasaan tidak enak yang ada dalam hati atau diri sendiri i.
Perasaan yang tidak enak bila diketahui oleh orang lain
j.
Perbuatan yang kurang baik
k. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum, norma dan agama 2
Situasi yang mengharuskan a. Malu ketika melanggar norma seseorang merasa malu
(agama, adat dan hukum yang berlaku) b. Malu
karena
melakukan
kesalahan c. Malu yang didasarkan pada penjagaan harga diri d. Malu
berdasarkan
situasi
tertentu (kapan saja) e. Malu
yang
seseorang
mendorong meningkatkan
motivasinya 3
Karakteristik sesuatu
malu,
objek
yaitu a. Malu kepada Allah yang b. Malu kepada diri sendiri atau
dijadikan dasar munculnya rasa malu
kepribadian seseorang c. Malu
kepada
orang
yang
mempunyai kelebihan d. Malu kepada peserta didik e. Kapan dan dimanapun berada f. Malu kepada teman sekitar
46
No
Pertanyaan
Keterangan g. Malu kepada lingkungan
4
Urgensi
penanaman
rasa a. Untuk anak-anak dan usia dini
malu terhadap seseorang
b. Untuk diri c. Sebagai nilai keimanan d. sebagai kontrol diri e. Tidak punya malu bagaikan binatang f. Sebagai
benteng
diri
atau
perisai diri g. Tidak perlu sama sekali 5
Metode
atau
cara
yang a. Memberikan suri tauladan yang
digunakan subjek penelitian dalam
menanamkan
baik
rasa b. Mendidik
malu kepada anak
dan
melatih
bertanggung jawab c. Mengajarkan pada anak d. Memberikan ajaran agama dan norma yang sesuai e. Memberikan pelajaran tentang penerapan malu f. Menanamkan,
membiasakan
dan mengarahkan kepada hal yang normatif 2. Kategorisasi data menjadi tema Berikut ini pengelompokan jawaban responden yang disertai frekuensi perspektif rersponden.
47
a. Jawaban responden tentang pengertian rasa malu. Tabel 4 Perspektif malu Perspektif Responden
Responden
Persentase (%)
1. Malu adalah rasa kurang percaya diri
12
30
2. Sesuatu yang membuat tidak nyaman
12
30
3
7,5
4. Malu adalah bagian dari iman
5
12,5
5. Malu adalah penjaga diri
3
7,5
6. Malu adalah penjaga harga diri
3
7,5
7. Malu adalah perisai dari perbuatan
2
5
bagi si pelaku 3. Malu adalah hal yang dirahasiakan atau dipendam dalam hati
negatif Berikut ini keterangan responden yang didasarkan pada status kepegawaian antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Non Pegawai Negeri Sipil (Bukan PNS) adalah sebagai berikut : item nomor satu, terdiri dari 3 PNS dan 9 Non-PNS, item nomor dua, terdiri dari 3 PNS dan 9 Non-PNS, item nomor tiga, terdiri dari 3 Non-PNS, item nomor empat, terdiri dari 3 PNS dan 3 Non-PNS, item nomor lima terdiri dari 2 PNS dan 1 Non-PNS, item nomor enam terdiri dari 3 Non-PNS, item nomor tujuh terdiri dari 1 PNS dan 1 Non-PNS. Di lihat dari latar belakang pendidikan, adalah : nomor satu terdiri dari 3 lulusan S1, 3 DII dan 3 SMA, nomor dua terdiri dari 7 S1, 1 DIII dan 3 lulusan DII, nomor tiga terdiri dari 1 S1 dan 2 SMA,
48
nomor empat terdiri dari 3 S1 dan 2 DII, nomor lima terdiri dari 2 S1 dan 2 DII, nomor enam terdiri dari 2 S1 dan 1 DIII, nomor tujuh terdiri dari 1 S1 dan 1 DII. b. Jawaban responden tentang situasi atau waktu yang membuat seseorang merasa malu Tabel 5 Situasi/waktu yang mengharuskan malu Persentase Perspektif Responden
Responden (%)
1. Malu ketika merasa bersalah
17
42,5
2. Malu karena adanya norma
13
32,5
3. Malu atas perihal yang tidak pantas 6
15
dikerjakan 4. Malu yang tendensinya untuk menjaga 4
10
harga diri Secara mayoritas, responden merasa malu apabila ia merasa bersalah atas suatu tindakan yang telah dilakukannya (42,5%). Adapun penerapan rasa malu yang dikarenakan ajaran agama, adat istiadat atau hukum yang berlaku menempati urutan kedua dengan jumlah 32,5%. Adapun rasa malu yang muncul karena adanya suatu hal yang tidak pantas untuk dikerjakan sebanyak 15% dan 10% lainnya merasa malu dikarenakan takut akan rendah dan hilangnya harga dirinya.
49
c. Jawaban responden tentang siapa yang membuat seseorang merasa malu Tabel 6 Alasan penyebab malu Persentase Perspektif Responden
Responden (%)
1. Malu karena Allah
25
62,5
2. Malu karena diri sendiri (harga diri)
8
20
3. Malu karena orang lain
6
15
4. Malu kepada sesama makhluk
1
2.5
Adapun karakteristik malu yang dimiliki orang tua atau dasar penerapan rasa malu responden secara frekuensinya adalah 1) Malu yang dikarenakan Allah, artinya malu yang berawal dari pengenalan diri kepada Allah atau setidaknya pengenalan diri terhadap ajaranajaran agama dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadist. 2) Malu yang muncul karena dorongan diri untuk menghindar dari perendahan martabat atau malu karena menjaga harga diri. 3) Malu yang diterapkan
karena
keberadaan
orang
lain
di
sekitar
yang
memungkinkan melihat perihal yang tidak diharapakan. 4) Malu yang disebabkan muncul karena sesama makhluk Allah, baik itu benda tak bernyawa atau berakal.
50
d. Jawaban responden tentang urgensi penanaman rasa malu. Tabel 7 Urgensi penanaman rasa malu Perspektif Responden
Responden
Persentase (%)
1. Malu sebagai kontrol diri
18
45
2. Malu adalah ajaran normatif (sesuai
10
25
agama,
undang-undang
dan
adat
yang
bisa
5
12.5
dari
3
7.5
4
10
istiadat) 3. Malu
sebagai
sarana
menjaga harga diri 4. Malu
adalah
bagian
keimanan/keyakinan 5. Tanpa alasan
Urgensi penanaman rasa malu penulis sajikan berdasarkan latar belakang pendidikan dan frekuensi jawaban responden yang terdiri dari Sangat perlu, perlu dan tidak perlu. Dari hasil olah jawaban responden diperoleh data, sebagai berikut : Untuk responden lulusan S1
: sangat perlu (6), perlu (14) total 20 responden
Responden lulusan DIII
: perlu (2) total 2 responden.
Lulusan D II
: sangat perlu (3), perlu (9) dan tidak perlu (1) total 13 responden.
Lulusan SMA
: perlu (4) dan tidak perlu (1) total 5 responden.
51
Sedangkan bila dilihat dari sisi status kepegawaian maka: PNS
: sangat perlu (2) dan perlu (7) total 9 responden.
Non PNS
: sangat perlu (7), perlu (22) dan Tidak perlu (2) total 11 responden.
e. Jawaban responden tentang strategi penanaman rasa malu. TABEL 8 Strategi penanaman rasa malu Perspektif Responden 1
Dengan
cara
mengajarkan
Responden
Persentase (%)
anak
3
7,5
dan
20
50
bertanggung jawab 2
Dengan
memberi
pengertian
nasihat 3
Dengan memberikan uswah hasanah
16
40
4
Tanpa jawaban
1
2,5
Mayoritas dari strategi penanaman rasa malu yang diterapkan responden adalah dengan cara menanamkan nilai-nilai rasa malu kepada anaknya. Terbukti dengan 50% menerapkan penanaman rasa malu lewat cerita, nasehat dan lain-lain. Adapun yang lebih menerapkan penanaman rasa malu lewat contoh-contoh konkret adalah sebesar 40% sesperti cara berbicar dan bertamu yang baik. Kemusian dengan cara melatih tanggung jawab sesesar 7,5%. Adapun 2,5% dari responden tidak bersedia menjawab kuesioner yang telah diajukan.
BAB IV PEMBAHASAN
Asri Budiningsih (2004:10) menyatakan bahwa untuk mengembangkan moral bagi anak-anak dan remaja, diperlukan modifikasi unsur-unsur moral dengan faktor-faktor budaya di mana anak tinggal. Berhubungan dengan pokok penelitian, yakni tentang masalah rasa malu yanng sejatinya adalah bagian dari moral atau juga budaya, khususnya Jawa. Budiningsih (2004:10) menambahkan bahwa program pembelajaran moral seharusnya disesuaikan dengan karakteristik siswa tersebut, kaitannya dengan keempat unsur di atas, yaitu penalaran moral, perasaan, dan perilaku moral, serta kepercayaan eksistensial/iman. Dari dasar inilah penulis membuat analisis mengenai penanaman rasa malu yang diterapkan subjek penelitian terhadap objeknya, dalam hal ini anaknya. Secara umum, keempat unsur di atas sudah diterapkan subjek penelitian dalam menanamkan nilai moral kepada anaknya. Hal ini bisa penulis sampaikan karena subjek penelitian menjawab banyak alternatif diantaranya dengan cara memberi cerita tentang rasa malu, memberi pelajaran tentang pentingnya malu bagi kehidupan, memberikan contoh bagaimana bertamu yang baik, hingga penanaman rasa malu yang dimulai dari pengenalan anak kepada Allah. Sebagaimana telah disebutkan di dalam tabel 4 sampai tabel 8, dimana disebutkan tema-tema yang tersaji dari jawaban responden tentang rasa malu. Dari hasil olah pengkategorian tema di atas diketahui bahwa pengertian-pengertian
52
53
malu menurut perspektif responden juga memiliki kesamaan dengan pengertianpengertian malu dalam perspektif agama dan cendekiawan. Adapun klasifikasi pengertian malu yang penulis didasarkan pada nilai pengertiannya sebagai berikut: 1. Karena subjek penelitian adalah muslim, maka kriteria tertinggi dalam pengertian malu adalah yang memiliki unsur eksistensial atau iman. Di dalam konsep Islam disebutkan bahwa setiap agama memiliki akhlak, maka akhlak Islam adalah rasa malu. Malu juga berhubungan dengan pahala dan dosa dan sorga dan neraka. Oleh karena itu malu adalah akhlak Islam yang merupakan wujud keimanan seorang muslim. 2. Klasifikasi malu yang ke dua adalah yang memiliki unsur perilaku moral yang tercermin dalam peran sosialnya. Hal ini juga didasarkan pada pendapat al Qurthubi yang menitik beratkan pada prsinsip malu yang dipelajari atau diusahakan sehingga memunculkan tabiat malu. Dalam hal ini bisa dilihat dari perilaku suku Jawa pada umumnya, dimana perilaku rasa malu seperti unggah-ungguh senantiasa dipegang dan diterapkan sebagai suatu aturan yang menjadi tabiat atau kebiasaan. 3. Pengertian malu menurut al-Hasyimi yang intinya sebagai pendorong seseorang untuk mengindari perbuatan buruk. Pengertian ini mengandung arti perasaan moral atau disebut dengan empati. Dengan rasa ini, seseorang merasa di dalam hatinya tentang sesuatu yang pantas atau tidak baik hal itu didorong oleh aturan agama, budaya atau adat istiadat.
54
4. Klasifikasi malu yang keempat didasarkan pada pendapat al-Junaidi yang disebabkan keteledoran seseorang. Pada dasarnya, pengertian ini mirip dengan empati seseorang, akan tetapi, makna keteledoran disini ada unsur sengaja atau tidak sehingga tidak dimungkinkan seseorang untuk menghindarinya. Contoh ini digambarkan seperti seorang laki-laki yang memandang wajah seorang wanita, sehingga salah satu atau keduanya merasa malu. 5. Terakhir adalah moral yang dihasilkan dari penalaran. Hal ini juga didasari oleh pendapat Musfir, yaitu malu yang muncul karena suatu hal diketahui oleh orang lain. Dari klasifikasi pengertian malu di atas, maka penulis bandingkan antara pengertian pendapat ulama dengan pendapat responden. Dari komparasi perspektif dan frekuensi jawaban responden, diketahui bahwa : 1. Pengertian malu yang dilandasi keimanan (tipe satu) hanya dipilih enam responden dengan persentase 12,5%. 2. Tidak ada responden yang menyatakan pengertian malu menurut perspektif al-Qurthubi. 3. Adapun pendapat responden yang sesuai dengan pengertian malu menurut pendapat al-Hasyimi sebanyak lima responden dengan perolehan 12,5%. 4. Adapun pendapat keempat yaitu hal-hal yang menimbulkan malu seperti pendapat al-junaidi tidak didapati dari jawaban responden. 5. Pendapat terakhir adalah pengertian malu menurut Musfir yakni rasa takut dan malu apabila diketahui seseorang dengan perolehan 45%.
55
Perspektif malu sebagai rasa kurang percaya diri yang mencapai 12 responden 30% tidak didapati dalam klasifikasi yang dibuat penulis. Menurut hemat penulis, pengertian malu sebagai rasa kurang percaya diri dilihat dari sisi internal atau kepribadian. Hal ini bisa dianalogikan pada suatu peristiwa dimana seorang anak yang ditunjuk untuk maju ke atas panggung, tetapi ia menolaknya. Contoh ini secara luas bisa diartikan menjadi dua pendapat, pertama, malu yang dikarenakan rasa kurang atau minder sebagai reflek dari kepribadian seseorang yang lebih memiliki konotasi positif. Kedua, bila contoh di atas dinalogikan sebagaimana seorang anak yang tidak malu tapi dia tak sadar diri akan kemampuannya yang minim, juga bisa berdampak negatif, anak tidak tahu moral dan sopan santun. Pada bahasan pokok kedua ini, penulis memandang ada dua gambaran umum strategi yang dikembangkan orang tua dalam menanamkan rasa malu. Dari hasil pengkodean dan penemuan tema, disebutkan bahwa penanaman rasa malu dalam prakteknya diterapkan responden dengan tiga cara : -
Pertama, memberi pengertian rasa malu dengan beberapa cara diantaranya dengan memberikan cerita-cerita tentang urgensi malu, memberi nasehat berupa gambaran orang yang tidak memiliki rasa malu, memberikan contoh dalil agama mengenai pentingnya rasa malu dan lain-lain.
-
Kedua, dengan memberikan suri tauladan bagi kepada anak-anak seperti memberikan contoh konkrit bagaiamana berbicara yang sopan kepada orang yang lebih dewasa, memberikan contoh bersikap yang baik ketika bertamu atau ketika berada di rumah orang lain.
56
-
Ketiga, dengan melatih anak berkata jujur dan bertanggungjawab. Strategi ini bisa dicontohkan pada praktek soerang remaja yang diberi beban untuk menjaga sebuah titipan, tetapi titipan itu hilang. Maka akan muncul tanggung jawab darinya bentuk tanggung jawabnya berupa pengakuan jujur bila barang itu hilang atau dia membelikan sebagai bentuk tanggung jawabnya, tentunya kedua hal ini bisa diakibatkan rasa malunya karena teledor terhadap suatu tangggung jawab. Dari tiga macam model penanaman rasa malu di atas, penulis
memformulasikan bahwa model yang mereka gunakan menggunakan dua pendekatan yakni penanaman rasa malu yang bersifat teoretis dan pendekatan praktek. Dari kedua pendekatan tersebut, hasil penelitian menyebutkan bahwa strategi penanaman rasa malu yang diterapkan subjek penelitian adalah 52,5% bersifat teoretis (tabel no.7), artinya subjek penelitian menggunakan penanaman rasa malu seperti halnya memberikan cerita atau nasehat-nasehat tentang urgensi rasa malu bagi kehidupan. Strategi lain yang diterapkan subjek penelitian yang diterapkan dengan berbagai contoh langsung seperti cara berbicara atau bertutur kata yang baik, cara bertamu, cara menyambut tamu dan lain-lain mencapai 47,5%. Melihat realita ini, ada satu bahasan yang perlu dikaji lebih lanjut, yakni pengaruh usia anak-anal rsponden itu sendiri. Dari hasil penelitian juga disebutkan bahwa ada 52 (81,25%) anak responden yang berumur antara 0 tahun sampai 11 tahun dengan denga perincian 12 dari mereka masih di bawah satu
57
tahun. Sedangkan 12 (18,75%) anak responden lainnya berada pada antara usia 12 tahun hingga 25 tahun. Dengan mengetahui kedua pokok tersebut, maka penulis memberikan formulasi dimana anak-anak pada umumnya lebih banyak meniru di bandingkan para remaja yang sudah memiliki ego untuk mencari jati dirinya. Dengan demikian, penerapan penanaman rasa malu yang berupa permodelan atau contoh langsung akan lebih efektif bila diterapkan pada usia anak-anak sebagaimana ditegaskan Zakiyah Dardjat kemampuan untuk mengerti masalah-masalah yang abstrak, tidak sempurna perkembangnnya sebelum mencapai usia 12 tahun. Adapun sebaliknya, penanaman rasa malu terhadap remaja juga akan efektif bila diterapkan dengan pendekatan teoretis. Hal ini disebabkan mereka sudah bisa berpikir komprehensif, terutama urgensi malu bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Dengan landasan ini, diharapkan seorang remaja akan mudah memahami dan mencerna berbagai masukan yang menurut mereka baik, artinya hal itu memang mereka butuhkan. Hasil konsultasi antara strategi penanaman rasa malu dengan tingkat usia anak responden diketahui bahwa strategi penanaman rasa malu yang sifatnya teori sebanyak 52,5 % sedangkan tingkat usia 12-25 sebesar 18,75%. Dari hasil ini diketahui bahwa dari 12 anak responden yang usianya dewasa lebih bnyak diberikan penerapan rasa malu yang sifatnya teoretis. Penanaman rasa malu yang diterapkan secara praktek sebesar 62,5% (hasil pengurangan 18,75% hasil dari 12 anak di bawah satu tahun) menyatakan bahwa penanaman rasa malu secara permodelan belum efektif, terbukti dengan
58
banyaknya orang tua yang menggunkan kata-kata, cerita-cerita, peringatanperingatan dan sebagainya sebagi bentuk pendidikan rasa malu bagi anaknya. Dari ulasan singkat di atas, penulis menyoroti peran orang tua yang belum maksimal dalam memberikan pendidikan rasa malu yang sifatnya praktis, terutama pendidikan malu bagi anak-anak. Perlu diketahui bahwa anak- anak adalah peniru yang ulung dan dari contoh-contoh praktis itulah kepribadian anak akan terbentuk. Perintah praktik ini juga didasarkan pada Q.S. Al-Ahzab : 21 berbunyi:
Artinya : “Sungguh terdapat suri tauladan yang baik dalam diri Rosul Allah bagimu”.(Al-ahzab:21) Strategi penanaman rasa malu bagi remaja akan lebih tepat apabila menggunakan pendekatan teoritis, seperti : memberikan nasihat apabila si anak tidak tepat dalam bertindak atau berucap, memberikan bimbingan tentang urgensi malu. Pendekatan semacam perlu diterapkan kepada mereka, mengingat masa remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menjadi orang dewasa. Di samping itu masa remaja adalah masa dimana mereka mampu menggunakan nalar untuk merespon lingkungannya, terutama mengenai adap sopan santun. Pada prakteknya, penerapan penanaman rasa malu bias dilakukan secara praktek maupun teoretis. Hal ini penulis asumsikan mengingat tingkat perkembangan dan intelektual anak-anak dan remaja yang berbeda-beda. Maka, akan lebih bijak
59
apabila ayah dan ibu sebagai orang tua yang baik yakni memahami perkembangan anaknya agar penanaman rasa malu bias lebih efektif. Seorang ulama dan cendekiawan muslim Imam Al Qurthubi, membuat rumusan yang baik tentang rumusan rasa malu, sebagaiamana ia menyatakan : “Malu yang dibenarkan adalah malu yang diijinkan Allah sebagai bagian dari keimanan dan perintah–Nya bukan yang berasal dari gharizah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang diusahakan (muktasab) sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi SAW memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu dari gadis yang dipingit, sedangkan yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi (Fathul Bari, t.th:522).
60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui bahwa deskripsi Persepsi rasa malu menurut subjek penelitian (orang tua yang berprofesi sebagai guru MI Ma’arif, Kec. Tuntang, Kab. Semarang Tahun 2010), sebagai berikut: a. Malu sebagai bagian dari keimanan sebanyak 12,5%. b. Malu sebagai benteng diri dari perbuatan yang tidak pantas menurut adat sebesar 12,5%. c. Malu sebagai perbuatan yang takut diketahui orang lain sebesar 45%. d. malu sebagai sifat yang kurang percaya diri sebesar 30%. 2. Diketahui dari hasil wawancara bahwa strategi yang diterapkan orang tua terhadap anaknya, terdiri dari: a. Pertama, pendekatan secara teoretis seperti memberikan cerita sebanyak 52,5%. b. Kedua, pendekatan secara praktis seperti memberikan contoh berbicara yang sopan kepada orang lain sebanyak 47,5%. Bila persentase penerapan rasa malu di atas dikonsultasikan dengan tingkat usia anak, maka diketahui orang tua lebih banyak memberikan penanaman rasa malu secara teori kepada anak-anak.
61
62
B. Saran-saran Untuk dapat mencapai hasil yang maksimal dalam penerapan konsep rasa malu pada anak, maka penulis pada kesempatan menyampaikan beberapa saran atau sumbangan pikiran, sebagai berikut: 1. Kepada orang tua a. Orang tua hendaknya memberikan bimbingan sejak dini dalam menanamkan rasa malu pada anak, sebelum lingkungan mempengaruhi diri anak. b. Dalam memberikan bimbingan dan latihan sebaiknya dilakukan secara intensif (kontinyu) guna mendapatkan hasil yang maksimal. c. Agar
lebih
memperhatikan
masa
perkembangan
anak
dalam
menerapkan rasa malu, karena anak-anak usia dua sampai 11 tahun pada penelitian ini banyak yang diajarkan rasa malu secara teoretis, padahal anak seusia ini belum bisa berpikir secara abstrak. 2. Kepada Anak a. Sebagai seorang anak harus taat kepada orang tua, selama tidak melanggar ajaran agama. b. Di waktu orang tua memberikan nasehat, hendaknya mendengarkan dan memperhatikan. Selanjutnya perilaku yang salah (keliru) di perbaiki.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku : Arikunto, Suharsini. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Asri, Burningsih. 2004. Pembelajaran Moral Berbijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Bandung: Rineka Cipta. D. Marimba, Ahmad. 1974. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : PT. Al Ma’arif. Dahlan, Aisyah. 1969. Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama dalam Rumah Tangga. Jakarta. Departemen Agama Republik Indonesia. 1427 H. Al-Qur'an dan Terjemahan. Kudus: Menara. Endrawara, Suwandi. 2006. Budi Pekerti Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pustaka. Fazri, E.M Zul dan Ratu Aprilia Senja. t.th. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Difa Publisher. Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research II, Yogyakarta: UGM Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Reseach 2. Yogyakarata: Yayasan Pendidikan Fakultas Psikologi UGM. J. Moleong, Lexy. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. t.th Analisis Data Kualitatif,. Jakarta: UI-Press. Musbikin. 2007. Mendidik Anak Nakal. Jakarta: Mitra Pustaka. Nur Abdul Hafizh, Muhammad. 1992. Mendidik Anak Bersama Rasulullah. Bandung: Al-Bayan. Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Rozak, Nasrudi. 1992. Dienul Islam. Bandung: PT. Al Ma'arif.
S., Jarwanto dan Pangestu Subagyo. t.th Statistik Anality. Yogyakarta: BPFE. Salim, Bahraesy. 1986. Riddus Solikhin. Bandung: Al Ma’arif. Sudjana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dan Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Talkah Hajan, Muhammad. 2000. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Listarika Putra. Zakiat, Darajat. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. B. Artikel Internet : http://www.pesantren-virtual.com/konsep/rasa/malu/java.htm konsep rasa malu.
:
penerapan
http://www.fanari.com/konsep/rasa/malu/java.html : pengertian, macam dan kategori malu. www.geogle.com/islamic/hstory.html : penerapan konsep rasa malu
HASIL REKAPAN ANGKET DARI 40 RESPONDEN No
Jawaban
No. Subjek
Item.1 1) Apabila kita melakukan sesuatu yang salah di 1/L/S1/001/PNS dalam suatu acara yang melibatkan orang banyak. 2) Perasaan tidak menyenangkan, membuat seseorang 2/P/S1/001/PNS merasa jengah atau bisa jadi resah yang timbul sesaat setelah seseorang melakukan kesalahan atau perbuatan hukum,
yang adat,
bertentangan dengan
norma
kesusilaan yang belaku pada
kehidupan seseorang dan masyarakat. 3) Rasa yang membuat kita tidak nyaman yang 3/P/S1/001/PNS disebabkan ketidakmampuan kita, kesalahan kita, keteladanan kita baik terhadap Tuhan, diri sendiri ataupun orang lain. 4) Perasaan ketika melakukan sesuatu yang tidak 4/L/S1/001/WB pantas/bertentangan dengan norma, nilai dan hati nurani. 5) Perwujudan sikap yang ditimbulkan karena tidak 5/P/S1/001/GTT sesuainya sikap dan perbuatan kita dengan ajaran agama dan norma-norma budaya yang sudah berlaku. 6) Perasaan
seseorang
yang
muncul
manakala 6/P/S1/001/PNS
kekurangan dirinya diketahui oleh orang lain. 7) Segala sesuatu yang kita lakukan, apabila dilihat 7/L/D3/002/PNS atau dipandang orang lain kurang baik dan berkenan. 8) Suatu perasaan yang ada dalam diri seseorang 8/P/S1/001/PNS karena kekurangan atau kesalahannya diketahui orang lain/pihak lain. 9) Suatu perkataan atau perbuatan yang seharusnya 9/P/D2/003/WB tidak kita katakana/ucapkan, tidak kita lakukan di 1
No
Jawaban
No. Subjek
depan umum/di depan orang lain. 10) Suatu
keadaan/perasaan
rendah
diri
yang 10/P/S1/001/PNS
menyebabkan kita tidak berani melakukan sesuatu ketika kesalahan kita diketahui oleh orang lain. 11) Perasaan tidak enak/mengganjal dalam hati yang 11/P/S1/001/WB menutupi keikhlasan terhadap sesuatu. 12) Perasaan tidak percaya akan diri sendiri baik dalam 12/P/SLTA/004/W bersikap dan tingkah laku.
B
13) Perasaan yang mengganjal dalam hati yang 13/L/D2/003/WB menutupi keikhlasan terhadap sesuatu. 14) Perasaan tidak enak/mengganjal dalam hati yang 14/P/D2/003/WB menutupi keikhlasan terhadap sesuatu. 15) Salah satu sifat manusia dimana manusia itu 15/P/S1/001/WB melakukan sesuatu yang dirasa tidak enak di hati, karena malu itu juga sebagian dari iman. 16) Rasa takut, khawatir, tidak percaya diri akan 16/P/D2/003/WB penilaian negatif terhadap apa yang kita jalani. 17) Malu merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh 17/P/S1/001/PNS seseorang, dimana ada rasa kurang nyaman dan biasanya
tidak
sesuai
dengan
yang
dikehendakinya. 18) Suatu keadaan atau suatu hal yang apabila di 18/L/D2/003/WB dengar, di lihat atau di ketahui oleh pihak lain maka hati kita akan merasa tidak enak, tidak tenang dan tidak tentram. 19) Perasaan kurang percaya diri terhadap perbuatan 19/P/S1/001/WB atau perkataan yang kita lakukan, disengaja atau tidak disengaja dan kita tahu bahwa itu salah. 20) Perbuatan yang di situ ada unsur sengaja dan 20/P/S1/001/WB perbuatan itu atau tidak sengaja dan perbuatan itu 2
No
Jawaban
No. Subjek
kurang baik untuk dilakukan yang menjadikan kita merasa malu. 21) Apabila kita membuat kecewa kepada siapapun, 21/P/S1/001/PNS apalagi kita dengan yang berkepentingan masih saling ketemu dan apabila perlakuan dan perbuatan kita menyimpang dari ajaran atau atauran yang berlaku. 22) Suatu perasaan rendah diri yang menyebabkan kita 22/P/S1/001/WB tidak berani melakukan sesuatu ketika kesalahan kita diketahui oleh orang lain. 23) Rasa takut, khawatir, tidak percaya diri akan 23/P/SLTA/004/W penilaian negatif terhadap apa yang kita lakukan B apalagi diketahui orang lain. 24) Perasaan kurang percaya diri terhadap perbuatan atau perkataan yang kita lakukan, disengaja atau 24/P/SMK/004/W tidak disengaja dan kita tahu bahwa itu salah.
B
25) Perasaan tidak percaya akan diri sendiri baik dalam 25/P/S1/001/WB bersikap dan tingkah laku. 26) Suatu aktifitas yang menyebabkan seseorang 26/L/S1/001/PNS menjadi nyaman karena sesuatu yang dikerjakan difikirkan
terlebih
dahulu
menfaat
dan
mandhorotnya. 27) Segala sesuatu yang kita lakukan, apabila dilihat 27/P/D2/003/WB atau dipandang orang lain kurang baik dan berkenan. 28) Suatu aktifitas yang menyebabkan seseorang 28/P/D2/003/WB menjadi nyaman. 29) Suatu perasaan yang ada dalam diri seseorang 29/P/S1/001/GTT karena kekurangan atau kesalahannya diketahui orang lain/pihak lain. 3
No
Jawaban
No. Subjek
30) Perasaan ketika melakukan sesuatu yang tidak 30/P/S1/001/GTT pantas/bertentangan dengan norma, nilai dan hati nurani. 31) Suatu perasaan rendah diri yang menyebabkan kita 31/L/S1/001/GTT tidak berani melakukan sesuatu ketika kesalahan kita diketahui oleh orang lain. 32) Perasaan kurang percaya diri terhadap perbuatan 32/P/S1/001/PNS atau perkataan yang kita lakukan, disengaja atau tidak disengaja. 33) Perasaan yang
berlebihan ketika
melakukan 33/L/SLTA/005/W
sesuatu yang tidak pantas dan bertentangan dengan B norma, nilai, etika dan kepribadian. 34) Perasaan untuk menghalangi kita berbuat sesuatu 34/L/D2/001/NPN baik yang positif maupun yang negatif.
S
35) Perasaan yang di dalam hati kita yang tidak pernah 35/P/S1/001/WB diungkapkan ke orang lain. 36) Perasaan yang timbul dari dalam hati karena 36/P/D2/001/PNS merasa bersalah 37) Sesuatu yang membuat kita tidak nyaman
37/P/D2/001/PYS
38) Perasaan yang mengganjal dalam hati yang 38/P/D2/001/PYS menutupi keikhlasan terhadap sesuatu/ Perasaan yang berlebihan ketika melakukan sesuatu yang tidak pantas dan bertentangan dengan norma, nilai, etika dan kepribadian. 39) Seseorang yang melakukan sesuatu yang tidak baik 39/P/D2/001/PYS menurut agama maupun menurut aturan dari pemerintah. 40) Menahan diri dari perbuatan jelek dan ketika kita 40/P/D3/002/WB berbuat jelek maka kita merasa di dalam diri sesuatu yang tidak enak. 4
No
Jawaban
No. Subjek
Item.2 1) Pada waktu kita melakukan perbuatan yang tidak 1/L/S1/001/PNS lazim dan melanggar aturan agama. 2) Jika kita menyalahi norma atau aturan yang telah 2/P/S1/001/PNS ditetapkan. 3) Sewaktu melakuan perbuatan yang tidak sesuai 3/P/S1/001/PNS dengan keadaan semestinya
dan pada
saat
ditertawakan orang lain. 4) Kapan saja dan dimana saja.
4/L/S1/001/WB
5) Ketika berbuat dosa dan melakukan perbuatan 5/P/S1/001/GTT yang melanggar aturan hukum. 6) Pada saat bertemu dengan orang yang kita lukai
6/P/S1/001/PNS
7) Jika kita melakukan perbuatan yang tidak lazim 7/L/D3/002/PNS dan melanggar aturan agama. 8) Apabila melakukan pelanggaran etika maupun 8/P/S1/001/PNS hukum. 9) Pada situasi yang tertentu
9/P/D2/003/WB
10) Bila kita menyalahi norma atau aturan yang telah 10/P/S1/001/PNS ditetapkan. 11) Pada saat bertemu dengan orang yang kita lukai
11/P/S1/001/WB
12) Ketika berbuat dosa dan melakukan perbuatan 12/P/SLTA/004/W yang melanggar aturan hukum.
B
13) Apabila kita melakukan perbuatan yang tidak 13/L/D2/003/WB lazim dan melanggar aturan agama. 14) Sewaktu melakuan perbuatan yang tidak sesuai 14/P/D2/003/WB dengan keadaan semestinya
dan pada
saat
ditertawakan orang lain. 15) Pada situasi yang tertentu dan apabila melakukan 15/P/S1/001/WB perbuatan yang jelek. 16) Ketika berbuat dosa dan melakukan perbuatan 16/P/D2/003/WB yang melanggar aturan hukum. 5
No
Jawaban
No. Subjek
17) Apabila melakukan pelanggaran etika maupun 17/P/S1/001/PNS hukum. 18) Bila kita melakukan perbuatan yang tidak lazim 18/L/D2/003/WB dan melanggar aturan agama. 19) Pada waktu kita melakukan suatu kesalahan
19/P/S1/001/WB
20) Berbuat kesalahan kepada orang lain dan kepada 20/P/S1/001/WB Allah SWT. 21) Pada saat kita melakukan perbuatan yang tidak 21/P/S1/001/PNS lazim dan melanggar aturan agama 22) Saat melakukan kesalahan
22/P/S1/001/WB
23) Pada waktu melakukan kesalahan dihadapan orang 23/P/SLTA/004/W banyak.
B
24) Bila kita melakukan perbuatan yang tidak lazim 24/P/SMK/004/W dan melanggar aturan agama.
B
25) Kapan saja dan dimana saja.
25/P/S1/001/WB
26) Pada waktu melakukan sesuatu hal yang dilarang 26/L/S1/001/PNS oleh ajaran agama. 27) Apabila melakukan pelanggaran etika maupun 27/P/D2/003/WB hukum. 28) Apabila kita menyalahi norma atau aturan yang 28/P/D2/003/WB telah ditetapkan. 29) Pada saat kita mengajak anak kita bertamu 29/P/S1/001/GTT menghabiskan hidangan yang disajikan. 30) Pada saat melakukan kesalahan dan tidak pada 30/P/S1/001/GTT tempatnya. 31) Sewaktu melakuan perbuatan yang tidak sesuai 31/L/S1/001/GTT dengan keadaan semestinya
dan pada
saat
ditertawakan orang lain. 32) Pada saat kita melakukan perbuatan yang kita 32/P/S1/001/PNS ketahui bahwa perbuatan itu salah. 6
No
Jawaban
No. Subjek
33) Melakukan perbuatan kesalahan dan tidak layak.
33/L/SLTA/005/W B
34) Ketika melakukan perbuatan yang tidak sesuai 34/L/D2/001/NPN dengan peraturan dan mengarah pada perbuatan S yang negatif. 35) Pada situasi labil dan setiap saat kita melakukan 35/P/S1/001/WB pekerjaan yang tidak sinkron. 36) Pada saat bertemu dengan orang yang kita lukai
36/P/D2/001/PNS
37) Pada situasi yang tertentu
37/P/D2/001/PYS
38) Pada situasi yang belum pernah kita jumpai dan 38/P/D2/001/PYS melakukan suatu kesalahan. 39) Ketika berbuat dosa dan melakukan perbuatan 39/P/D2/001/PYS yang melanggar aturan hukum. 40) Mengingat kematian, kita merasa bahwa masih 40/P/D3/002/WB begitu rendah karena banyak dosa yang telah dilakukan, ketika menonton tv dengan tayangan yang tidak layak dan mengetahui perkataan si anak jelek. Item.3 1) Diri kita sendiri dan pasangan kita serta orang tua 2) Malu kepada Allah
1/L/S1/001/PNS 2/P/S1/001/PNS
3) Sesama makhluk, diri sendiri, pasangan kita dan 3/P/S1/001/PNS orang tua 4) Diri kita sendiri dan pasangan kita serta orang tua
4/L/S1/001/WB
5) Diri kita sendiri dan pasangan kita serta orang lain
5/P/S1/001/GTT
6) Sesama makhluk, diri sendiri, pasangan kita dan 6/P/S1/001/PNS orang tua serta Allah 7) Orang lain dan diri sendiri
7/L/D3/002/PNS
8) Malu karena Allah, diri sendiri dan orang lain
8/P/S1/001/PNS
9) Pasangan kita, orang lain, anak dan Allah
9/P/D2/003/WB
7
No
Jawaban
No. Subjek
10) Allah dan orang lain
10/P/S1/001/PNS
11) Sesama makhluk, diri sendiri
11/P/S1/001/WB
12) asangan kita, diri sendiri, orang lain dan Allah
12/P/SLTA/004/W B
13) Orang lain dan Allah
13/L/D2/003/WB
14) Allah dan orang lain
14/P/D2/003/WB
15) Sesama makhluk, diri sendiri, pasangan kita dan 15/P/S1/001/WB orang tua serta Allah 16) Sesama makhluk, diri sendiri
16/P/D2/003/WB
17) Allah dan orang lain
17/P/S1/001/PNS
18) Allah dan orang tua kita
18/L/D2/003/WB
19) Orang lain dan Allah
19/P/S1/001/WB
20) Diri sendiri dan orang lain
20/P/S1/001/WB
21) Sesama makhluk, diri sendiri, pasangan kita dan 21/P/S1/001/PNS orang tua serta Allah 22) Pasangan kita, orang lain, orang tua kita
22/P/S1/001/WB
23) Orang lain dan Allah
23/P/SLTA/004/W B
24) Allah dan orang lain
24/P/SMK/004/W B
25) Sesama makhluk, diri sendiri
25/P/S1/001/WB
26) Kepada Allah dan orang lain
26/L/S1/001/PNS
27) Sesama makhluk, diri sendiri, pasangan kita dan 27/P/D2/003/WB orang tua serta Allah 28) Pasangan kita, diri sendiri, orang lain dan Allah
28/P/D2/003/WB
29) Orang tua, sesama makhluk, Allah
29/P/S1/001/GTT
30) Allah dan orang tua kita
30/P/S1/001/GTT
31) Sesama makhluk, diri sendiri, pasangan kita dan 31/L/S1/001/GTT orang tua serta Allah 32) Allah dan orang tua kita
32/P/S1/001/PNS 8
No
Jawaban
No. Subjek
33) Allah dan orang lain
33/L/SLTA/005/W B
34) Orang tua, sesama makhluk, Allah
34/L/D2/001/NPN S
35) Orang lain dan Allah
35/P/S1/001/WB
36) Sesama makhluk, diri sendiri, pasangan kita dan 36/P/D2/001/PNS orang tua serta Allah Pasangan kita, diri sendiri, orang lain dan Allah 37) Kepada Allah dan orang lain
37/P/D2/001/PYS
38) Orang tua, sesama makhluk, Allah
38/P/D2/001/PYS
39) Pasangan kita, orang lain, orang tua kita
39/P/D2/001/PYS
40) Orang tua, sesama makhluk, Allah, pasangan kita
40/P/D3/002/WB
Item .4 1) Sangat perlu, malu sebagai sarana yang bisa 1/L/S1/001/PNS menjaga harga diri 2) Sangat perlu, malu adalah ajaran normatif (sesuai 2/P/S1/001/PNS agama, undang-undang dan adat istiadat) 3) Sangat perlu
3/P/S1/001/PNS
4) Sangat perlu, malu sebagai kontrol diri, malu 4/L/S1/001/WB sebagai sarana yang bisa menjaga harga diri 5) Sangat perlu, malu adalah ajaran normatif (sesuai 5/P/S1/001/GTT agama, undang-undang dan adat istiadat) 6) Sangat perlu
6/P/S1/001/PNS
7) Perlu
7/L/D3/002/PNS
8) Sangat perlu, malu adalah ajaran normatif (sesuai 8/P/S1/001/PNS agama, undang-undang dan adat istiadat) 9) Tidak perlu
9/P/D2/003/WB
10) Perlu, malu sebagai sarana yang bisa menjaga 10/P/S1/001/PNS harga diri 11) Perlu, malu sebagai kontrol diri, malu sebagai 11/P/S1/001/WB
9
No
Jawaban
No. Subjek
sarana yang bisa menjaga harga diri 12) Perlu, malu sebagai sarana yang bisa menjaga 12/P/SLTA/004/W harga diri
B
13) Tidak perlu
13/L/D2/003/WB
14) Perlu, malu sebagai kontrol diri, malu sebagai 14/P/D2/003/WB sarana yang bisa menjaga harga diri 15) Sangat perlu, malu adalah ajaran normatif (sesuai 15/P/S1/001/WB agama, undang-undang dan adat istiadat) 16) Perlu
16/P/D2/003/WB
17) Sangat perlu
17/P/S1/001/PNS
18) Perlu, malu sebagai kontrol diri, malu sebagai 18/L/D2/003/WB sarana yang bisa menjaga harga diri 19) Perlu
19/P/S1/001/WB
20) Perlu
20/P/S1/001/WB
21) Perlu, malu sebagai kontrol diri, malu sebagai 21/P/S1/001/PNS sarana yang bisa menjaga harga diri 22) Perlu, malu sebagai sarana yang bisa menjaga 22/P/S1/001/WB harga diri 23) Tidak Perlu
23/P/SLTA/004/W B
24) Tidak Perlu
24/P/SMK/004/W B
25) Perlu, malu sebagai kontrol diri
25/P/S1/001/WB
26) Perlu, malu sebagai sarana yang bisa menjaga 26/L/S1/001/PNS harga diri 27) Perlu
27/P/D2/003/WB
28) Perlu, malu sebagai kontrol diri, malu sebagai 28/P/D2/003/WB sarana yang bisa menjaga harga diri 29) Perlu
29/P/S1/001/GTT
30) Sangat perlu
30/P/S1/001/GTT 10
No
Jawaban
No. Subjek
31) Perlu
31/L/S1/001/GTT
32) Perlu, malu sebagai kontrol diri
32/P/S1/001/PNS
33) Tidak Perlu
33/L/SLTA/005/W B
34) Tidak perlu
34/L/D2/001/NPN S
35) Perlu
35/P/S1/001/WB
36) Perlu, malu sebagai kontrol diri
36/P/D2/001/PNS
37) Sangat perlu, karena malu sebagai sarana yang bisa 37/P/D2/001/PYS menjaga harga diri 38) Sangat perlu
38/P/D2/001/PYS
39) Sangat perlu, malu sebagai kontrol diri, malu 39/P/D2/001/PYS sebagai sarana yang bisa menjaga harga diri dan malu sebagai sarana yang bisa menjaga harga diri 40) Perlu, malu sebagai kontrol diri Item .5 1) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab 2) Dengan memberi pengertian dan nasihat
40/P/D3/002/WB 1/L/S1/001/PNS 2/P/S1/001/PNS
3) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab 3/P/S1/001/PNS dan memberikan uswah hasanah 4) Dengan memberikan uswah hasanah, pengertian 4/L/S1/001/WB dan nasihat 5) Dengan memberi pengertian dan nasihat
5/P/S1/001/GTT
6) Dengan memberikan uswah hasanah
6/P/S1/001/PNS
7) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung 7/L/D3/002/PNS jawab, memberi pengertian dan nasihat serta memberikan uswah hasanah 8) Dengan memberikan uswah hasanah
8/P/S1/001/PNS
9) Dengan memberi pengertian dan nasihat
9/P/D2/003/WB
10) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung 10/P/S1/001/PNS
11
No
Jawaban
No. Subjek
jawab, memberi pengertian dan nasihat serta memberikan uswah hasanah 11) Memberi pengertian dan nasihat serta mengajarkan 11/P/S1/001/WB anak untuk bertanggung jawab 12) Memberikan uswah hasanah
12/P/SLTA/004/W
13) H
B
14) Dengan memberikan uswah hasanah, pengertian 13/L/D2/003/WB dan nasihat
14/P/D2/003/WB
15) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab, memberi pengertian dan nasihat serta 15/P/S1/001/WB memberikan uswah hasanah 16) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab
16/P/D2/003/WB
17) Dengan memberikan uswah hasanah, pengertian 17/P/S1/001/PNS dan nasihat 18) Memberi pengertian dan nasihat serta mengajarkan 18/L/D2/003/WB anak untuk bertanggung jawab 19) Memberi pengertian dan nasihat
19/P/S1/001/WB
20) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab
20/P/S1/001/WB
21) Memberikan uswah hasanah
21/P/S1/001/PNS
22) Memberi pengertian dan nasihat serta mengajarkan 22/P/S1/001/WB anak untuk bertanggung jawab 23) Memberikan uswah hasanah serta mengajarkan 23/P/SLTA/004/W anak cara bertanggung jawab
B
24) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung 24/P/SMK/004/W jawab, memberi pengertian dan nasihat serta B memberikan uswah hasanah 25) Memberi pengertian dan nasihat serta memberikan 25/P/S1/001/WB uswah hasanah 26) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung 26/L/S1/001/PNS jawab, memberi pengertian dan nasihat serta 12
No
Jawaban
No. Subjek
memberikan uswah hasanah 27) Dengan memberikan uswah hasanah, pengertian 27/P/D2/003/WB dan nasihat 28) Memberi pengertian dan nasihat
28/P/D2/003/WB
29) Memberi pengertian dan nasihat serta mengajarkan 29/P/S1/001/GTT anak untuk bertanggung jawab 30) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab
30/P/S1/001/GTT
31) Memberi pengertian dan nasihat serta memberikan 31/L/S1/001/GTT uswah hasanah 32) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab 32/P/S1/001/PNS serta memberikan uswah hasanah 33) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab
33/L/SLTA/005/W B
34) Memberi pengertian dan nasihat
34/L/D2/001/NPN S
35) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab
35/P/S1/001/WB
36) Memberi pengertian dan nasihat serta mengajarkan 36/P/D2/001/PNS anak untuk bertanggung jawab 37) Memberikan uswah hasanah
37/P/D2/001/PYS
38) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung 38/P/D2/001/PYS jawab, memberi pengertian dan nasihat serta memberikan uswah hasanah 39) Dengan memberikan uswah hasanah, pengertian 39/P/D2/001/PYS dan nasihat 40) Dengan cara mengajarkan anak bertanggung jawab
13
40/P/D3/002/WB
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Berikut ini biodata penulis : Nama
: Muhammad Muarrifin
TTL
: Klaten 18 Oktober 1981
Alamat
: Cawan RT 02 RW 03 Jatinom Klaten
Jenjang pendidikan : - MI Al – Huda Cawan 1993-1999 - SMP Takmirul Islam Surakarta 1999-2001 - KMI Gontor Jawa Timur 2001-2004 - DII STAIN Salatiga 2004-2007 - S1 STAIN Salatiga 2007-2010 Pengalaman kerja dan organisasi : - Ketua Remaja Islam ( REMAS ) Cawan 1999-2001 - Ketua Konsulat Mataram Surakarta-Jogjakarta 2003 - Pengurus Takmir Masjid Al-Muflihun Jetis Salatiga - Ketua Paguyuban Guru Wiyata Bakti (PGWB) kecamatan Tuntang kabupaten Semarang 2010 - Pengurus PGWB Kabupaten Semarang 2010 - Driver Rental Cungkup Salatiga 2005-2010 - Guru Wiyata Bakti MI Ma'arif Rowosari Kecamatan Tuntang 2010 - Guru TPA Al-Muflihun Jetis Salatiga - Pengurus Yayasan Ma'arif Rowosari-Rowopolo Kecamatan Tuntang 2010 - Pengurus Forum Silaturrahmi Remaja Masjid dan Mushola (FUSILATAMA) Kecamatan Tuntang 2010
14