BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jepang adalah Negara kepulauan yang indah, didukung dengan empat musim yang bergantian secara teratur dan berkala menjadikan alam Jepang ditumbuhi dengan tanaman dan bunga-bunga yang bermekaran dengan indahnya sesuai dengan musim di mana tanaman dan bunga-bunga tersebut dapat tumbuh dan hidup. Jepang juga disebut sebagai surga bagi pencinta bunga, dari selatan Okinawa sampai utara Hokkaido ditumbuhi dengan bermacam-macam bunga yang berwarna-warni dan sangat unik, karena alam Jepang merupakan perpaduan antara alam subtropics dan alam subarctic. Pada abad ke-19, orang-orang yang berkunjung ke negara Jepang mengatakan bahwa Jepang adalah: “The land of flowers” atau “Tempat tinggal bagi bunga-bunga”. Orang Jepang sangat mencintai bunga, khususnya bunga sakura atau bunga cherry blossom, dan bunga sakura ini menjadi simbol negara Jepang dan bunga ini melambangkan perdamaian. Dalam segi kehidupan dan budaya, orang Jepang hampir tidak bisa lepas dari bunga dan alam. Salah satunya adalah adanya budaya yang disebut “hanami” atau “melihat bunga”. Juga ada budaya yang disebut “momiji kayou” atau “melihat gugurnya daun-daun”, yang menandakan akan datangnya musim dingin di kepulauan Jepang (Sugiura, 1993:263). Hampir seluruh manusia memandang dan berfikir bahwa bunga itu selalu indah. Kecintaan akan bunga dapat ditemui di belahan dunia manapun. Dan bunga dianugrahkan Allah SWT untuk manusia agar dapat digunakan untuk mewakili perasaan manusia, dan setiap orang mempunyai gaya sendiri dalam mengapresiasikan keindahan 1
2
bunga. Setiap orang pasti menyukai keindahan dan keindahan itu sendiri dapat dinikmati dan diwujudkan melalui karya seni dan budaya yang memiliki nilai estetis tersendiri. Karya seni merupakan perwujudan dari kreatifitas manusia. Karya seni termasuk dalam kebutuhan integrative, yaitu suatu kebutuhan yang berkaitan dengan pengungkapan rasa keindahan. Kesenian adalah milik setiap golongan masyarakat kapan saja dan di mana saja kesenian itu berada dan hadir dalam bentuk karya seni yang mengacu pada nilai estetis, nilai agama maupun norma-norma yang ada dalam tingkah laku manusia dalam berbagai bidang termasuk dalam karya seni atau kesenian. Seni merupakan bagian budaya manusia yang telah berusia amat panjang. Sepanjang sejarahnya, seni telah mengalami banyak pergeseran. Pergeseran ini terjadi karena masyarakat pendukungnya pun telah mengalami perubahan yang dinamis. Sekularisasi yang terjadi dalam masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi yang akhirnya berwujud menjadi media ekspresi kreatif dan melahirkan bentuk seni yang baru, unik dan orisinil. Karena memiliki sifat dasar yang bebas dan orisinil akhirnya karya seni pun menjadi bersifat individualistis. Kekuatan seni bersifat universal dan mampu menembus batasan negara, bahasa, bangsa dan negara. Karya seni dapat menjadi media komunikasi yang bisa langsung dirasakan, baik dari sudut daya estetikanya, daya kreasi tekhnisnya, maupun daya gugah makna di dalamnya. Seni diciptakan untuk mengekspresikan bentuk keindahan. Prinsip orang Jepang dalam bidang kesenian adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai bahan dasar untuk karya seni, misalnya batu, pohon, dan bunga. Kemudian diolah dengan keterampilan dan keahlian khusus sehingga menjadi suatu karya seni yang halus dan indah, yang dapat dinikmati keindahannya oleh semua orang hanya dengan memandanginya. Bangsa Jepang adalah bangsa yang kaya akan budaya yang memiliki
3
keunikan tersendiri dalam menikmati kehidupannya sehari-hari dengan menambahkan unsur seni di dalamnya. Salah satu karya seninya adalah seni merangkai bunga atau disebut “kadou” atau lebih dikenal dengan “Ikebana”. Ikebana berasal dari kata ike (生け) artinya hidup atau membuat hidup dan hana atau bana ( 花 ) artinya bunga. Jadi secara harfiah Ikebana adalah bunga hidup atau membuat bunga menjadi hidup. Sedangkan kadou berasal dari kata ka (華 ) artinya bunga dan dou ( 道 ) artinya cara. Jadi secara harfiah kadou adalah cara untuk merangkai bunga. Untuk merangkai Ikebana pertama-tama melihat obyek keindahan bunga-bunga kemudian menyusunnya menjadi suatu seni dan keterampilan. Seni marangkai bunga Ikebana ini berasal dari seni menyajikan bunga untuk upacara keagamaan orang Jepang pada masa lalu. Seiring masuknya agama Budha ke Jepang sekitar abad ke-6-7, bunga digunakan dalam persembahan untuk Budha yang disebut kuge ( 供 花 ) . Tiga unsur penting dalam sesajian atau yang disebut dengan “mitsugusoku” yang diletakkan dihadapan patung Budha yang terdiri dari anglo pembakaran kemenyan dengan tempat pemasangan lilin dan jambangan bunga yang mengapitnya. Dalam catatan zaman Kamakura (1185-1333), terdapat pernyataan bahwa rangkaian bunga digunakan untuk festival Tanabata, yaitu festival yang dilaksanakan pada bulan Juli. Ini membuktikan bahwa ada budaya perangkaian bunga yang merupakan awal tumbuhnya seni merangkai bunga yaitu seni Ikebana. Ikebana gaya formal tradisional dikatakan tumbuh pada zaman Muromachi (1392-1568) dan menyebar luas serta mengalami persaingan di kalangan penguasa feodal. Perangkaian bunga tidak saja untuk acara Budha tetapi mulai direalisasikan dengan pemahaman seni yang tumbuh dari jiwa bangsa Jepang. Tatebana atau “bunga berdiri” merupakan gaya merangkai bunga modern dan berkembang pesat yang kemudian gaya ini lebih dikenal dengan
4
nama gaya Rikka. Gaya ini khusus dan dikembangkan oleh keluarga kaisar. Pada waktu itu, orang-orang dengan cepat menjadikan persaingan merangkai bunga dan lebih terkenal di kalangan para bangsawan, yang diletakan di dalam ruangan yang disebut tokonoma. Tokonoma adalah sebuah ruangan yang sangat penting dari rumah orang Jepang, bentuknya seperti rak buku yang besar tanpa papan rak (Richie, 1985:18). Kemudian dipersembahkan juga dalam upacara minum teh atau Chanoyu, dan gaya lainpun kemudian bermunculan. Rangkaian bunga untuk upacara Chanoyu diciptakan oleh ahli teh Sen no rikyu yaitu gaya Nageire yang mempesonakan dan gaya ini lebih dikenal dengan Chabana atau “bunga teh”. Setelah itu pada akhir zaman Edo berkembanglah suatu gaya Ikebana yang melambangkan pemikiran tentang alam yang terdiri dari tiga unsur, yaitu ten「天」 “langit”, chi「地」“bumi”, dan jin 「人」“manusia”,yang komposisinya seimbang dengan menekankan pada ketelitian dan kesederhanaan dari bentuk dan tujuan yang melambangkan bermacam aspek dari bunga dan alam. Setelah zaman Meiji (18611914) kira-kira abad ke-19, Ohara Unshin (1861-1914) memperkenalkan gaya moribana yaitu rangkaian bunga yang menggunakan wadah atau vas bunga yang bermulut besar atau lebar. Kemudian muncul juga gaya modern yaitu gaya jiyuuka atau gaya bebas. Setelah perang dunia ke-2, bahan-bahan Ikebana mengalami perombakan yang dapat diterima oleh masyarakat luas yaitu dalam perangkaiannya tidak hanya mengandalkan bunga hidup tetapi mulai menggunakan bahan yang terbuat dari kuningan, plastik, dan gypsum, dengan gaya yang melambangkan keabstrakan dan artistic (The Japan Book, 2002: 135). Perkembangan gaya rangkaian bunga yang berbeda-beda terus bermunculan dengan bentuk artistik yang sangat dalam sesuai dengan orang Jepang yang mencintai
5
keindahan dan kealamiahan. Perangkaian bunga Ikebana tidak hanya menjadi suatu seni tetapi lebih dari itu karena mempunyai suatu filosofi tentang kehidupan dan keindahan yang sangat berharga bagi bangsa Jepang. Sekarang di Jepang, kira-kira ada lebih dari 3000 sekolah Ikebana. Tiga aliran yang terkenal adalah Ikenobo, Ohara, dan Sougetsu (Your Guide To Japan, 2003: 30). Yang mencolok dari seni Ikebana ini adalah pemilihan jenis tanamannya, tempat bunganya, cabang-cabang penempatannya, dan hubungan antara cabang-cabangnya dengan vas bunga dan sekeliling penempatannya. Hal ini disesuaikan dengan musim yang terjadi pada saat itu. Seni Ikebana ini secara sekilas dari bentuk luarnya, tidak lebih dari rangkaian bunga yang sederhana, menarik, dan indah di dalam vas bunga atau wadah lainnya. Sebagian orang beranggapan seperti itu, bagaimanapun juga untuk memperpanjang keindahan bunga hidup yang berlalu dengan cepat selalu berhubungan dengan perubahan hati dari sang perangkai bunga tersebut. Alam dan perangkai bunga menjadi satu kesatuan yang menggambarkan keharmonisan antara langit, bumi, dan manusia (Pictorial Encyclopedia of Japan Culture, 1987: 58). Hal yang bisa dipelajari manusia dari bunga adalah tentang kehidupan, yaitu adanya kesenangan, kesulitan, dan kematian. Bagi orang Jepang bunga adalah sebagai penghubung antara hati dengan alam. Dan yang menarik dari bunga adalah tidak terbatas dari macam warnanya saja, walaupun bentuknya sederhana dengan perangkaian biasa, namun bila dipilih dengan teliti, rahasia keindahannya dan kealamiahannya akan terlihat. Mata kita akan melihat keindahan yang sesungguhnya. Seperti dalam perayaan Chanoyu, semua teh dihubungkan dengan keindahan dan etika yang diekspresikan melalui Chabana. Chabana memberikan karakter keindahan dari satu bunga dan satu daun. Tujuan dari kesederhanaannya adalah untuk menampilkan sifat natural dari bunga
6
tersebut, dan agar terciptanya tata krama yang halus dalam Chanoyu karena itu diperlukan gaya Chabana atau yang dikenal dengan Nageire. Nageire adalah gaya rangkaian bunga sederhana dengan vas bunga yang tinggi dengan warna yang lembut disesuaikan dengan lukisan pada porselen atau cangkir teh, vas bunga yang digunakan terbuat dari bambu yang disesuaikan dengan tempat teh (Kawase, 2000: 133). Pelaksanaan Chanoyu itu sendiri merupakan seni estetika bangsa Jepang dari masa lalu yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan dalam menghidangkan dan minum bersama-sama dari bubuk teh hijau. Chanoyu dilihat dari karakter huruf kanjinya terdiri dari huruf-huruf sebagai berikut: cha ( 茶 ) artinya teh, no ( の) sebagai partikel penghubung, dan yu ( 湯) air hangat atau air panas. Jadi secara harfiah Chanoyu adalah air hangat untuk teh. Dalam pelaksanaanya Chanoyu merupaka ritual dengan bermacammacam hubungan, diantaranya hubungan agama, kesusastraan dan filosofi dari seni dan keahlian. Chanoyu juga dikenal dengan konsep Chadou yaitu cara atau filosofi dari ritual minum teh. Gibran (2003:28) mengemukakan bahwa filosofi itu adalah suatu keinginan yang jauh di dalam jiwa, yang menuntun manusia dari yang nampak menuju yang tak nampak, menuju filsafat dan ketuhanan. Chanoyu juga merupakan sebuah perayaan dengan simbol-simbol. Simbolsimbol tersebut berhubungan dengan ritualistik, kesopanan, dan pengaruh fisik dari upacara ini diantaranya taman, rumah teh dan alat-alatnya. Semua ini adalah keahlian yang berpadu dengan estetika dan spiritual maupun ritual kesopansantunan yang merupakan filosofi dari Chanoyu itu sendiri. Seni dan budaya Chanoyu ini berasal dari China pada abad ke-9, dan Chanoyu ini kemudian berkembang dan sekarang Chanoyu populer dan dilaksanakan bangsa Jepang dengan bermacam-macam kelas sosial. Tidak hanya itu saja Chanoyu juga terkenal dalam wilayah kemasyarakatan dan fakultas-
7
fakultas di universitas Jepang. Sekolah Chanoyu yang terkenal adalah sekolah Urasenke. Chanoyu berasal dari kebudayaan tradisional dan mempengaruhi kebudayaan modern Jepang, diantaranya seni tembikar, keramik, kaligrafi atau shoudo, masakan, Ikebana, dansa dan drama (Http://www.Free-definition.com/Japanese-tea-ceremony.html). Ikebana dan chanoyu saling berhubungan dan sama-sama dikembangkan oleh Sen no rikyu yaitu ahli teh pada masa Momoyama. Pada dasarnya Ikebana dan Chanoyu adalah pengekspresian alam, juga kreasi dan jiwa dari senimannya yang menampilkan keindahan, kesederhanaan, keharmonisan, dan keseimbangan dengan alam dan relasi antara sesama manusia (Your Guide to Japan, 2003: 30).
1.2 Rumusan Permasalahan Dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas mengenai makna kesederhanaan dalam rangkaian Ikebana untuk Chanoyu. Penulis akan meninjaunya dari sudut kultur Jepang dengan pemahaman akan makna bunga dan teh bagi bangsa Jepang, serta makna yang terkandung dalam seni Ikebana dan Chanoyu. 1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Dalam penulisan skripsi ini penulis akan membatasi ruang lingkup permasalahan, yaitu makna kesederhanaan rangkaian Ikebana dalam Chanoyu, yaitu gaya Chabana atau Nageire.
8
1.4 Tujuan dan Manfaat Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam perangkaian bunga Ikebana khususnya rangkaian Ikebana yang digunakan dalam upacara minum teh atau Chanoyu yaitu gaya Chabana atau Nageire. Manfaat yang bisa diambil dari penulisan skripsi ini adalah agar pembaca dapat mengenal lebih dalam lagi seni Ikebana dan Chanoyu , terutama mengenai makna kesederhanaan rangkaian Ikebana dalam Chanoyu yaitu gaya Chabana atau Nageire.
1.5 Metode Penelitian Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kepustakaan dan
deskriptif
analitis, yaitu mendeskripsikan data-data yang diperoleh kemudian menganalisanya. Penulis juga memanfaatkan sumber bacaan dari koleksi perpustakaan Japan Foundation, perpustakaan Universitas Darma Persada, perpustakaan Universitas Indonesia, dan koleksi penulis sendiri.
1.6 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab. Dengan susunan: Bab 1 pendahuluan, bab 2 adalah landasan teori, bab 3 adalah analisis data, bab 4 adalah simpulan dan saran, dan bab 5 adalah ringkasan skripsi.
9
Bab 1, Pendahuluan memuat uraian latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2, Landasan Teori, menguraikan teori-teori yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu teori kebudayaan, teori keindahan, teori kebebasan, teori kesederhanaan, dan teori Zen- Budha. Bab 3, Analisis Data, menguraikan analisis tentang konsep keindahan alam dalam perspektif kultur Jepang pada bunga dan teh, analisis hubungan Ikebana dan Zen, analisis makna Ikebana sehubungan dengan prinsip keindahan bagi masyarakat Jepang, analisis perkembangan Ikebana dalam hubungan dengan hubungan Zen- Budha, analisis makna Chanoyu yang berhubungan dengan pemikiran masyarakat Jepang tentang konsep keindahan, analisis perkembangan Chanoyu dalam hubungan dengan Zen Budha, analisis rangkaian Chabana dalam hubungan dengan pemikiran masyarakat Jepang tentang konsep keindahan, analisis perbedaan antara kesederhanaan Chabana dengan kemewahan Tatehana, dan analisis makna estetik dalam konsep kesederhanaan rangkaian Ikebana gaya Chabana. Bab 4, Simpulan dan Saran, yang berisi kesimpulan dari semua bab dan saran dari penulis. Bab 5, Ringkasan Skripsi, yang merupakan ringkasan dari skripsi ini.