1
BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan manusia disebabkan oleh adanya perkawinan. Jika perkawinan tidak didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan hancur oleh bentuk-bentuk perzinahan sehingga manusia tidak berbeda dengan binatang yang hanya mementingkan hawa nafsunya. Oleh karena perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Budaya perkawinan dan aturannya berlaku pada suatu masyarakat atau pada bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya, semuanya itu dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Dalam menjalankan kehidupan berumah tangga tidak terdapat perselisihan antara suami dan istri, maka suatu perkawinan harus dilandasi dengan rasa saling terbuka dan saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Keterbukaan dan saling percaya menjadi dasar suatu rumah tangga untuk hidup rukun dan damai. Pertengkaran dapat terjadi, jika dalam rumah suatu keluarga tidak ada komunikasi
2
yang baik. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui lebih lanjut pembagian harta bersama dalam perceraian antara suami-istri. Undang-Undang perkawinan yang bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia, dan harmonis di dalam rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. Namun kenyataan membuktikan bahwa perkawinan yang harmonis tidak selalu tercapai atau dicapai dengan mudah. Sebaliknya perkawinan sering kandas ditengah jalan karena tidak terdapat kesepakatan atau tidak kerukunan pasangan suami dan istri, sehingga menyebabkan terjadi permusuhan yang berkepanjangan walaupun telah diusahakan untuk menghindarinya. Masalah di ruang lingkup Pengadilan Agama, diantarnya adalah masalah perceraian. Perceraian ialah “putusnya suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang”. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa Perkawinan adalah” ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “. Kehidupan rumah
tangga adalah unsur yang sangat penting dalam
masyarakat. Karena setiap individu telah dikodratkan untuk memiliki pasangan hidup dan menikah. Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu perintah agama yang telah diatur pula dalam Undang-Undang Perkawinan, sehingga barang siapa
3
yang tidak menjujung tinggi hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga, dia telah melanggar Undang-Undang dan sekaligus melanggar perintah agama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menempatkan kedudukan agama sebagai dasar membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis bagi bangsa dan Negara Indonesia. Di sini berarti bahwa suatu perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional bukan saja merupakan perikatan keperdataan tetapi juga merupakan perikatan keagamaan. Perkawinan dilangsungkan sekali seumur hidup tanpa boleh diputuskan begitu saja, sebagai layaknya kehidupan rumah tangga (suami istri) dapat berlangsung harmonis serta tidak adanya keretakan atau perpecahan dikemudian hari. Perkawinan yang buruk keadaannya tidak baik dibiarkan berlarut-larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak perkawinan yang demikian itu lebih baik diputuskan. Apabila tidak adanya keharmonisan di dalam rumah tangga maka dapat menimbulkan perpecahan yaitu perceraian. Putusnya perkawinan secara yuridis adalah merupakan suatu peritiwa hukum yang membawa akibat-akibat hukum. Baik hukum keluarga maupun hukum harta benda. Masalah perceraian berkaitan dengan perbuatan hukum seseorang dalam arti sempit mempunyai akibat hukum terhadap yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya. Itulah sebabnya hukum Islam memiliki peran penting dalam mengatur dan memutus perkara perceraian yang ada.
Hukum perkawinan bagi umat Islam tidak dapat dipisahkan
4
keberadaannya dengan hukum Islam yang merupakan hukum positif di Negara Republik Indonesia. Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dan perempuan guna membentuk keluarga yang sakinah, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia. Di dalam menjatuhkan keputusan tentang perceraian hakim tidak boleh salah dalam menerapkan hukum, karena harus dilihat dengan jelas apa yang menyebabkan hingga terjadinya perceraian. Apabila terjadi hal-hal yang bersifat sepele dan sekiranya masih ada kemungkinan untuk didamaikan maka sebisanya harus dicegah agar tidak sampai terjadi perceraian. Apabila terjadi suatu perceraian antara seorang suami dengan seorang istri maka akan mengakibatkan timbulnya
masalah baru, apabila suami istri tersebut telah dikaruniai anak.
Bagaimana nasib anak-anak mereka yang menjadi korban perceraian dari kedua orang tuanya. Timbulnya perceraian maka akan menimbulkan masalah tentang pembagian harta bersama yang diperoleh selama melangsungkan perkawinan. Karena harta bersama itu sudah bercampur dengan harta bawaan masing-masing. Di dalam penulisan ini, penulis hanya membatasi tentang masalah pembagian harta bersama, antara seorang suami dengan seorang istri apabila terjadi perceraian. Permohonan perceraian dikabulkan dan diputuskan oleh hakim, biasanya akan diikuti oleh pecahnya harta bersama. Sejak saat dilangsungkan perkawinan, menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan.
5
Masalah pembagian harta bersama mucul setelah adanya perceraian, dimana setelah bercerai keduanya menuntut haknya masing-masing. Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahannya adalah bagaimana pertimbangan hakim dalam hal penyelesaian sengketa pembagian harta bersama karena perceraian dan bagaimana penyelesaian sengketa harta dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan putusan hakim? Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Dalam penelitian ini mempunyai dua tujuan obyektif, yaitu untuk mengetahui bagaimana penentuan tata cara pembagian harta bersama karena perceraian di Pengadilan Agama? dan Bagaimanakah upaya Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa pembagian harta bersama karena perceraian ? 2. Tujuan subyektif, yaitu untuk penyusunan skripsi dalam memenuhi salah satu persyaratan guna menempuh gelar sarjana Strata-1 Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Perkawinan Suatu keluarga tentunya menambahkan dan mengharapkan keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal seperti yang diharapkan pada awal sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan. Suatu keluarga hanya terbentuk melalui perkawinan yang sah, karena mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat. Perkawinan pada dasarnya merupakan perintah agama yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, sehingga barang siapa yang tidak menjujung tinggi hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga, maka mereka tidak hanya melanggar UU semata melainkan sekaligus melanggar perintah agama. Tujuan dari perkawinan yaitu untuk mengatur pergaulan hidup sempurna, bahagia, dan kekal di dalam rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. 1.
Pengertian Perkawinan Adapun pengertian dari perkawinan menurut Soemiyati yang dalam istilah
agama disebut “Nikah” ialah: melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi
7
rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.1 Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir perkawinan di dalam hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah. Pada dasarnya antara pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Undang tidak terdapat perbedaan prinsipiil sebab pengertian perkawinan menurut Undang-Undang yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Mengenai pengertian perkawinan ini banyak beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan disatu pihak dan pembatasan banyaknya unsur di dalam perumusan pengertian perkawinan di pihak yang lain. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian jual-beli atau 1
Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty, hlm 10. 2 Ahmad Azhar Basyir, 2007, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, hlm. 13.
8
sewa-menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci jika dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan. Dalam Pasal 1 UndangUndang Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan adalah, “ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bila definisi tersebut di atas kita telaah, maka terdapatlah lima unsur di dalamnya: 1. Ikatan lahir batin Ikatan lahir batin maksudnya adalah bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Satu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami dan isteri. 2. Antara seorang pria dan wanita Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita, maka kesimpulan yang dapat ditarik pertama-tama bahwa hubungan perkawinan selain antara seorang pria dengan wanita tidaklah mungkin terjadi, misalnya antara wanita dengan wanita atau pria dengan pria.
9
3. Sebagai suami dan isteri Suatu perkawinan adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, baik syarat intern maupun syarat-syarat extern. Yang dimaksud dengan syarat intern adalah yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu : kesepakatan mereka, kecakapan mereka, dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat extern adalah yang menyangkut pelangsungan perkawinan. Syarat-syarat intern untuk pelangsungan perkawinan : a) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak. b) Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana kedua belah pihak belum mencapai umur 21 tahun. c) Bagi pria sudah mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita harus mencapai 16 tahun. d) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin. e) Bagi seorang wanita yang akan melakukam perkawinan untuk kedua kalinya dan seterusnya Undang-Undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi yang perkawinannya putus karena kematian. 4. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, yang dimaksud dengan keluarga ini adalah suatu kesatuan yang terdiri dari
10
ayah, ibu, dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertama KeTuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan penting. Pada prinsipnya perkawinan bertujuan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat seperti yang dicantumkan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, namun dalam realisasinya tidak semua perkawinan itu mencapai tujuan yang di kehendaki atau dengan kata lain gagal membina antara suami dan isteri tersebut, bahkan berkelanjutan menjadi permusuhan yang ada pada akhirnya menuju putusnya suatu perkawinan. Apabila suatu perceraian tidak dapat dihindarkan maka hal itu akan menimbulkan akibat-akibat yang menimpa suami isteri, keturunannya, harta benda atau harta perkawinannya terhadap harta/benda perkawinannya maka akan timbul perselisihan diantara suami dan isteri dan ahli warisnya. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam dimana Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah yaitu suatu perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin antara seorang pria dan seorang wanita untuk melanjutkan keturunan. Di kalangan kaum muslim nikah itu merupakan suatu perbuatan suci,
11
dimana perjanjian sipil dan walaupun pada umumnya dilakukan upacara dengan membaca ayat-ayat Qur’an, akan tetapi hukum Islam tidak menetapkan dengan tegas suatu upacara agama yang khusus untuk perkawinan, tidak ada pejabat yang ditentukan untuk itu dan tidak ada formalitas yang menyulitkan. Nikah secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yaitu melaksanakan ikatan persetujuan antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama. Dari pengertian nikah tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa : a) Nikah adalah persetujuan/perjanjian ataupun suatu akad antara seorang pria dan seorang wali pihak wanita. b) Untuk terjadinya nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak yang akan melakukan nikah. c) Nikah dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama yang terdapat di dalam hukum fiqh.3 Dalam pembagian lapangan-lapangan Hukum Islam, Perkawinan adalah termasuk dalam lapangan muamalat yaitu lapangan yang mengatur hubungan antara manusia dengan kehidupan di dunia ini. Hubungan antara manusia ini dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu : a) Hubungan kerumah-tanggaan dan keluarga.
3
Asaf A.A Fyzee, 1965, Pokok-Pokok Hukum Islam, Tinta Mas, Jakarta, hlm, 109