BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Batubara merupakan endapan sedimen yang terdiri dari komponen organik dan anorganik, bagian organik disebut maseral sedangkan bagian anorganik disebut mineral. Karakteristik komposisi maseral dan mineral pada batubara akan mempengaruhi kualitas batubara terutama parameter abu, sulfur dan nilai kalori. Di
samping
itu
karakteristik
batubara
juga
dapat
membatasi
dalam
pemanfaatannya (Anggayana, 1999). Batubara secara geokimia terbentuk karena proses pembatubaraan yang terjadi akibat kenaikan temperatur, tekanan dan waktu sehingga persentase unsur karbon dalam bahan asal pembentuk batubara cenderung meningkat. Namun sebaliknya kandungan unsur hidrogen dan oksigen dalam batubara menjadi berkurang. Proses pembatubaraan ini akan menghasilkan batubara dengan berbagai peringkat yang sesuai dengan tingkat kematangan bahan organiknya (Taylor et al., 1998). Pengembangan batubara di Indonesia pada dasarnya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan energi nasional, yaitu menjamin antara penyediaan dan kebutuhan energi yang dapat mendorong pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam perkembangannya batubara diharapkan dapat menjadi energi alternatif yang relatif bersih dan terbarukan (Jauhary, 2007). Perkembangan industri batubara Indonesia selama beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Di masa mendatang penggunaan batubara sebagai sumber energi akan meningkat pula terutama sebagai bahan bakar langsung misalnya untuk pembangkit listrik, pabrik semen, industri kecil dan rumah tangga maupun sebagai bahan bakar tak langsung yaitu, batubara dikonversi menjadi bentuk lain sebelum digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar tak langsung tersebut misalnya adalah batubara
1
yang diubah menjadi minyak atau batubara dicairkan. Salah satu jenis batubara yang potensial untuk dicairkan adalah batubara peringkat rendah. Batubara peringkat rendah memiliki kalori yang rendah sehingga nilai panasnya menjadi kecil. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, beberapa dari batubara tersebut memiliki keuntungan, yaitu mempunyai sifat yang baik sebagai bahan bakar, seperti kadar sulfur rendah, kadar abu rendah, dan tingginya kandungan zat terbang. Batubara dengan spesifikasi tersebut jika pengolahannya dilakukan secara lebih efektif, maka akan sangat berguna baik untuk keperluan domestik maupun diekspor (Sule et al., 1997). Pada tahap selanjutnya batubara diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bakar sintesis berupa bahan bakar cair dan gas sintesis hasil proses konversi batubara. Penggunaan batubara yang telah dikonversi menjadi bahan bakar cair dan gas sintesis tersebut akan menjadi lebih efisien dan relatif bersih (Artanto et al., 2000). Potensi sumberdaya batubara peringkat rendah Indonesia berdasarkan World Energy Council sebesar 86 % dari total potensi batubara Indonesia seperti brown coal atau lignit dan batubara subbituminus (Miranti, 2008; Sule dan Matasak, 2014). Salah satu potensi batubara peringkat rendah (low rank coal) tersebut, endapannya banyak tersebar di daerah Kalimantan Selatan terutama di Formasi Warukin (Kusnama, 2008). Proses pencairan batubara telah menunjukkan adanya hubungan antara proses konversi batubara peringkat rendah dengan komposisi maseral dalam batubara. Semakin banyak kandungan persen maseral vitrinit dan liptinit pada batubara, maka semakin banyak juga persen konversi pencairannya. Di samping itu semakin banyak persen kandungan vitrinit dan liptinit pada batubara akan meningkatkan rasio atom H/C (Parkash et al., 1984; Gagarin, 1999; Hartiniati et al., 1995 dan Cebolla et al., 1999). Beberapa variabel yang digunakan untuk proses pencairan antara lain: waktu reaksi, temperatur proses dan pemakaian katalis, telah dikemukakan oleh Artanto et al. (2000), Priyanto et al. (2001), Hirano (2001), Kouzu et al. (2001), Karaca (2006). Kehadiran katalis berbasis besi dalam proses pencairan batubara peringkat rendah telah memberikan hasil konversi pencairan yang tinggi (Priyanto, 2001; Hirano, 2001; Kouzu et al., 2001 dan Karaca, 2006).
2
Pencairan batubara peringkat rendah Indonesia telah banyak dilakukan oleh Artanto et al. (2000), Priyanto et al. (2001), Hirano (2001), Kouzu et al.(2001), Ningrum et al. (2007), Huda et al. (2009) dan Talla (2009), sedangkan penelitian mengenai pengaruh karakteristik maseral, mineralogi dan geokimia untuk batubara peringkat rendah Indonesia terhadap proses pencairannya belum dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap karakteristik batubara peringkat rendah yang berimplikasi terhadap proses pencairan batubara. Pengambilan sampel batubara pada penelitian ini dilakukan di pertambangan batubara PT. Adaro Indonesia yang termasuk dalam wilayah kuasa pertambangan eksploitasi DU.182/Kal-Sel dengan luas 25.549 Ha. Lokasi penambangan berada di daerah Wara, Tutupan dan Paringin. Dipilihnya lokasi penelitian ini karena batubara di daerah pertambangan PT. Adaro Indonesia merupakan salah satu batubara peringkat rendah yang endapannya banyak tersingkap di Formasi Warukin pada Cekungan Barito, Kalimantan Selatan. Penelitian percobaan pencairan batubara dirancang dengan temperatur rendah, yaitu 120 o C dan dengan tekanan 1 atm dalam suatu autoclave. Rancangan percobaan pencairan ini berbeda dengan penelitian-penelitian pencairan sebelumnya yang menggunakan rancangan percobaan pencairan pada temperatur dan tekanan tinggi. Mengacu pada Undang-Undang no.4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara yang di dalamnya antara lain menyebutkan adanya proyek pengembangan batubara melalui coal liquefaction (pencairan batubara), maka dengan melakukan penelitian pencairan batubara ini diharapkan pemanfaatan batubara Indonesia akan menjadi luas serta dapat diperoleh teknologi pencairan batubara yang layak dalam rangka mempersiapkan teknologi pada skala komersial, sehingga sasaran untuk menghemat penggunaan minyak dan mendayagunakan pemanfaatan batubara dapat dicapai sekaligus.
3
1.2. Permasalahan Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh karakter maseral, mineral dan geokimia batubara peringkat rendah di Formasi Warukin pada Cekungan Barito terhadap hasil pencairan. 2. Bagaimana perilaku pencairan batubara terhadap perubahan variabel reaksi waktu. 3. Berapa besar produk pencairan batubara Formasi Warukin pada Cekungan Barito. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan pada batubara Formasi Warukin ini adalah: 1.Mengetahui tipe maseral, mineral dan geokimia batubara peringkat rendah (low rank coal). 2.Mengetahui perilaku komposisi maseral, mineral dan geokimia batubara peringkat rendah pada proses pencairannya (liquefaction). 3.Mengetahui produk optimal pada proses pencairan batubara yang didasarkan pada pengaruh komposisi maseral, mineral dan geokimianya serta kondisi operasi pencairannya. 1.4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di pertambangan PT. Adaro Indonesia yang secara administratif berada di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan dan secara geografis terletak pada 115⁰ 40' 30'' – 115⁰ 50' 10'' BT dan 2⁰ 10' 30'' – 2⁰ 20' 30'' LS (Gambar 1.1).
4
) ( (Kusnama, 2008) Gambar 1.1
Peta lokasi penelitian (PT. Adaro Indonesia, 1997)
5
1.5. Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai pencairan batubara peringkat rendah antara lain sebagai berikut: 1. Stone and Park (1970), pencairan batubara lignit dan subbituminus pada suhu 100o C dengan tekanan 1 atm menghasilkan konversi pencairan sampai 50%. 2. Parkash et al.(1984), menunjukkan hubungan antara proses konversi batubara peringkat rendah dengan komposisi petrografi. Hasilnya memperlihatkan bahwa semakin banyak kandungan persen maseral vitrinit dan liptinit pada batubara, maka semakin banyak juga persen konversi pencairannya. Demikian juga semakin banyak persen kandungan vitrinit dan liptinit pada batubara akan meningkatkan rasio atom H/C. 3. Lee et al. (1994), pencairan batubara lignit dan subbituminus Indonesia dengan katalis Ni-Mo memberi peningkatan hasil dengan peningkatan temperatur dari 400 o C ke 430 o C. 4. Artanto et al. (2000), studi pencairan batubara subbituminus Banko Selatan dan batubara low rank coal menunjukkan bahwa dengan meningkatnya rasio H/C pada batubara memberikan hasil konversi pencairan lebih banyak. 5. Priyanto et al. (2001), Pencairan batubara subbituminus Tanito HarumIndonesia dengan katalis berbasis besi, hasilnya berupa perolehan minyak dapat mencapai 80% dengan pelarut donor-hidrogen pada temperatur pencairan maksimum 400o C. 6. Hirano (2001), pencairan batubara peringkat rendah Indonesia dengan katalis pirit. Pirit ini berpengaruh baik terhadap proses pencairan batubara karena pirit mempunyai kandungan besi yang tinggi dan sulfur yang dapat membentuk pyrrhotite dan merupakan senyawa aktif dalam reaksi pencairan batubara.
6
7. Kondo et al. (2001), pencairan batubara peringkat rendah Tanito HarumIndonesia dengan katalis alumina, hasil konversi pencairannya mencapai 49,4% pada temperatur pencairan 425o C. 8. Kouzu et al. (2001), pencairan batubara peringkat rendah Australia dan Indonesia dengan katalis limonit. Hasilnya adalah perolehan minyak meningkat dengan meningkatnya rasio H2O/Fe dalam katalis limonit. 9. Karaca (2006), pencairan batubara lignit dengan menggunakan katalis Fe2O3 dan Mo(CO)6. Waktu reaksi pencairan dari 30 menit sampai 120 menit akan meningkatkan gugus policyclic aromatic dan ratai alkana. Demikian juga dengan meningkatnya temperatur reaksi pencairan dari 400o C sampai 425 o C terjadi peningkatan minyak yang dihasilkan. 10. Ningrum (2007), pencairan batubara Misol (Kabupaten Raja Ampat). Hasil konversi pencairan batubara Misol sampai 84,47% dengan temperatur maksimum 400 o C, batubara Misol adalah batubara peringkat rendah dengan nilai kalori 4.660 kal/g. 11. Huda et al. (2009), pencairan batubara peringkat rendah (batubara Pendopo) Sumatera Selatan dengan nilai kalori 4.844 kal/g. Batubara Pendopo menghasilkan konversi pencairan sampai 80% dengan temperatur maksimum pencairan adalah 400 o C. 12. Talla (2009), studi pencairan batubara peringkat rendah Sorong dan Eco-coal. Hasil konversi pencairan batubara Sorong sebesar 89,94% dengan temperatur pencairan 400 o C, sedangkan pada batubara Eco-coal konversi pencairan yang dicapai 87,28% dengan temperatur pencairan 450o C. 13. Wang et al. (2010), studi pencairan batubara lignit dengan temperatur 200o C dan dengan hasil pencairan mencapai 50,7%. 14. Shui et al. (2011), pencairan batubara subbituminus dengan katalis besi sulfida yang dilakukan pada maksimum suhu 400 o C dan didapatkan konversi pencairan 70,2%.
7
1.6. Luaran Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan karakteristik batubara yang mencakup tipe maseral, mineral dan geokimia batubara yang dihubungkan dengan hasil proses pencairannya yang antara lain adalah: 1.
Hubungan antara tipe maseral batubara dengan proses pencairannya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan banyaknya maseral vitrinit dan liptinit pada batubara terhadap produk atau konversi pencairannya.
2.
Hubungan antara mineral-mineral dalam batubara dengan proses pencairannya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan banyaknya mineral pirit dan mineral lain yang ada pada batubara terhadap konversi pencairannya.
3.
Formulasi pengaruh maseral, mineral dan geokimia batubara terhadap proses pencairan batubara.
8