BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Jepang selama ini dikenal sebagai negara dengan kemajuan teknologi yang luar biasa pesat jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia. Kemajuan teknologi yang dimiliki Jepang ditemukan dalam hampir di semua bidang dalam hal kebutuhan untuk masyarakat sipil dan sangat bersaing dengan teknologi negara barat seperti Eropa dan Amerika. Sayangnya kemajuan teknologi yang dialami Jepang dalam bidang tersebut tidak bergerak bersama dengan teknologi pertahanannya. Dewasa ini pengembangan teknologi pertahanan Jepang masih sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Ketika Amerika Serikat dan negara Eropa seperti Rusia telah mapan dalam hal riset pengembangan fighter jet generasi ke-5, Jepang masih berada pada level generasi ke-4 seperti F2 Multi Role Fighter dalam hal pengembangan fighter aircraft dan itupun merupakan kerjasama antara Jepang dan Amerika Serikat. Pada era perang dunia ke-2 teknologi pertahanan yang dimiliki Jepang setara dengan negaranegara barat yang terlibat dalam perang, di matra udara Jepang memiliki beberapa fighter aircraft yang secara teknologi sangat bersaing dengan negara barat seperti Nakajima Ki-27, Nakajima Ki-34 dan Mitsubishi Zero. Kemajuan militer Jepang dalam hal alat utama sistem persenjataan (alutsista) tidak lepas dari peranan industri pertahanan Jepang yang melakukan produksi, serta riset dan pengembangan persenjataan. Sejak pasca perang dunia ke 2, kekuatan militer Jepang mengalami kemerosotan. Konstitusi 1947 menjadi titik balik orientasi kebijakan pertahanan Jepang. Jepang yang semula merupakan negara yang memiliki orientasi yang bersifat ekspansif menjadi negara yang menjunjung tinggi nilai perdamaian sebagaimana tertuang dalam pasal 9 Konstitusi 1947.
Hal tersebut juga berdampak pada industri pertahanan Jepang yang juga sebagai penyokong utama kekuatan militer Jepang. Pada era okupasi pada tahun 1947 – 1951, Amerika Serikat melakukan demiliterisasi sebagai langkah pertama. Jepang diperkenankan untuk menghidupkan kembali aktivitas industrinya namun tidak dapat memproduksi senjata. Supreme Commander of Allied Powers (SCAP) mengambil alih arsenal, instalasi penerbangan, laboratorium yang berhubungan dengan pertahanan1. Sehingga pada era tersebut riset dan pengembangan teknologi pertahanan Jepang sama sekali terhenti. Sebagai dampaknya Heavy Industries yang sejak lama melayani Jepang dalam penyediaan mesin-mesin perang seperti Kawasaki, Nakajima, dan Fuji beralih ke industri otomotif untuk kepentingan sipil seperti bus ataupun skuter2 hingga tahun 1952 dimana Amerika kembali menyerahkan instalasi pertahanan dan memperbolehkan kembali Jepang untuk melanjutkan produksi alutsista. Hal ini merupakan awal bagi bangkitnya kembali industri pertahanan Jepang pasca perang dunia ke 2. Kemudian pada tahun 1967 Jepang mengeluarkan kebijakan larangan ekspor persenjataan. Meskipun larangan tersebut hanya diperuntukkan bagi negara komunis dan negara yang terlibat dalam konflik internasional, pada kenyataannya tidak ada produk industri pertahanan Jepang yang keluar dari Jepang. Pada era pasca perang dunia kedua jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Eropa industri pertahanan Jepang cenderung membangun dirinya dengan isolasi dari perdagangan persenjataan di tingkat global3. Dengan kondisi seperti itu, industri pertahanan Jepang memiliki 3 karakteristik sebagai cirinya yaitu isolationism, less dependency on defence revenue karena industri pertahanan di Jepang tidak digolongkan sebagai industri strategis yang memberi pemasukan negara dalam jumlah besar dan kokusanka 1
Richard J Samuels (1994), “Rich Nation, Strong Army : National Security and the Technological Transformation of Japan”, Cornell University Press. Hal 131 2 Ibid. hal 134 3 Takahashi, Sugio (2008), “Transformation of Japan’s Defence Industry? Assessing the Impact of the Revolution in Military Affairs”. Hal 101. http://www.securitychallenges.org.au/ArticlePDFs/vol4no4Takahashi.pdf Diakses pada 10 November 2013
(indigenous production)4. Kokusanka merupakan suatu prinsip dimana produksi persenjataan merupakan produk asli Jepang sendiri. Dalam sejarahnya, kokusanka sebagai prinsip kemandirian industri pertahanan Jepang sudah muncul sejak tahun 1930an dimana kebijakan ini merupakan kebalikan dari era meiji yang cenderung banyak mengekspor persenjataan dari barat. Pada era modern orientasi kokusanka pada industri pertahanan Jepang terus berjalan dan diterapkan pada produksi persenjataan seperti tank, artileri, dan misil5. Faktor penting yang mendukungnya adalah hubungan antara pemerintah, militer dan pelaku industri pertahanan yang saling bergantung satu sama lain. Dalam perkembangannya, Jepang mengalami banyak kendala, khususnya dalam hal pengembangan alutsista yang bersifat ofensif dalam artian yang dapat digunakan untuk melakukan agresi dan serangan secara langsung ke teritori negara lain seperti kapal induk, misil, maupun fighter jet. Dalam konsep military realism disebutkan bahwa ancaman utama sebuah negara adalah serangan langsung (oleh negara lain)6. Alutsista yang lebih bersifat defensif seperti tank, Jepang tidak mengalami banyak hambatan sehingga riset dan pengembangannya terus berjalan dan sejajar dengan negara lain. Hingga saat ini Jepang, dalam hal ini Mitsubishi Heavy Industries telah memproduksi 3 tipe Main Battle Tank (MBT), type 74, type 90, dan yang terbaru type 10 yang secara spesifikasi setara dengan tank buatan Eropa seperti Leopard MBT. Salah satu yang menjadi halangan Jepang dalam mengembangkan teknologi persenjataan ofensif yang bersifat politis antara lain 9 Konstitusi 1947, yang kemudian diadopsi dalam Japan Basic Policy on National Defense bahwa kemampuan militer Jepang dibatasi hanya dalam tataran kebutuhan minimal untuk pertahanan diri (self-defense) dan Jepang tidak berorientasi pada kekuatan militer dimana Jepang tidak akan memiliki kekuatan
4
Ibid. Ibid. Hal. 107 6 Richard Samuel (1996), “Japan as Technological Superpower”, Japan Policy Research Institute, http://www.jpri.org/publication/workingpapers/wp15. Diakses pada 10 November 2013 5
militer yang mengancam negara lain dan tidak mengembangkan kekuatannya sehingga menimbulkan ancaman bagi negara lain7. Kondisi bidang pertahanan Jepang dalam hal pengembangan teknologi militer sebagaimana telah disebutkan diatas memiliki beberapa hambatan baik dari sisi teknologi, ekonomi, maupun politik. Untuk menjelaskan hal tersebut karya tulis ini akan mengengkat studi kasus pengembangan F-2 Multi Role Fighter. Fighter jet yang dikembangkan oleh Mitsubishi Heavy Industries bersama dengan Lockheed Martin ini pertama kali diserahkan kepada Japan Air Self Defense Force pada tahun 20058. Pengembangan F-2 merupakan hal yang menarik, karena memakan waktu yang begitu lama sejak rencana penggantian Mitsubishi F-1 Fighter Aircraft pada tahun 1980an. Berawal dari kerjasama untuk membangun fighter jet dengan kode FSX (Fighter Support Experimental) dengan platform F-16C yang dibuat oleh Lockheed Martin dengan sistem transfer teknologi dan kemudian menimbulkan kontroversi dan perdebatan di Amerika Serikat dan Jepang sendiri namun pada akhirnya berlanjut dengan pembagian produksi antara Jepang dan Amerika Serikat 60 : 40 dengan Mitsubishi Heavy Industries sebagai kontraktor utama dan Lockheed Martin sebagai subkontraktor. Studi kasus pengembagan Multirole Fighter ini dipilih dikarenakan dalam pengembangannya yang memakan waktu cukup lama kompleksitas hambatan dalam pengembangan teknologi militer oleh Jepang dapat terlihat dimana dari sisi penguasaan teknologi Jepang tidak cukup memiliki pengalaman dalam membangun Jet Tempur generasi baru untuk menggantikan Mitsubishi F1 yang sudah habis masa operasionalnya sehingga harus melakukan pengembangan dengan mekanisme transfer teknologi. Kemudian dari segi ekonomi dimana biaya research and development hingga produksi sebuah Jet Tempur yang sesuai dengan kebutuhan pertahanan Jepang yang sangat tinggi jika dibandingkan 7
“Fundamental Concepts of National Defense”, http://www.mod.go.jp/e/d_act/d_policy/dp02.html, Diakses pada 22 November 2013 8 “F2 Attack Fighter, Japan”, http://www.airforce-technology.com/projects/f2/. Diakses pada 22 November 2013
membeli secara completely build up dari negara lain. Dari aspek politik baik dari dalam negeri dimana secara konstitusional Jepang tidak dapat mengembangkan militernya melebihi standar minimum serta dari luar negeri dimana terjadi perdebatan di Amerika Serikat terkait transfer teknologi dan modifikasi pada proyek pengembangan F2 Multirole Fighter. Melalui studi kasus ini, akan dilihat bagaimana penerapan prinsip kokusanka dalam industri pertahanan Jepang, tantangan yang dihadapi Jepang melalui industri militernya dari segi politik baik domestik maupun luar negeri, serta peluang dari kebijakan kokusanka kedepannya. 1.2. Pertanyaan Penelitian Karya tulis ini akan disusun untuk mengkaji mengapa Jepang melakukan upaya pengembangan teknologi persenjataan dan pertahanan secara mandiri (kokusanka), bagaimana dan tantangan apa saja yang mempengaruhi Jepang dalam mengimplementasikan kebijakan kokusanka tersebut. 1.3. Landasan Konseptual Penelitian ini akan menggunakan tiga teori sebagai kerangka konseptual yaitu konsep perimbangan kekuasaan (balance of power) dan konsep kekuatan nasional yang keduanya dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations9 serta technonationalism yang dikemukakan oleh Richard J. Samuel. Dalam pandangan realisme, situasi politik internasional merpakan hal yang bersifat anarkis, sehingga negara sebagai aktor utama perlu ntuk melakukan selfhelp dalam membangun kekuatannya serta melakukan perimbangan kekuatan atas 9
bangsa
lain.
Morgenthau
dalam
buku
Politics
Among
Nations
Morgenthau dalam buku Politics Among Nations menyebutkan 9 unsur yang membentuk Kekuatan Nasional, antara lain Geografi, Sumber Daya Alam, Kemampuan Industri, Kesiagaan Militer, Karakter Nasional, Moral Nasional, Kualitas Diplomasi, Kualitas Pemerintahan
mengemukakan
bahwa
perimbangan
kekuatan
memiliki
fungsi
untuk
mempertahankan stabilitas dalam tatanan masyarakat bangsa-bangsa yang berdaulat10. Salah satu cara sebuah negara melakukan perimbangan kekuasaan menurut Morgenthau adalah dengan mengungguli kemampuan persenjataan bangsa lain yang dapat dilakukan melalui pola persaingan, meskipun konsekuensinya adalah muncul perlombaan senjata (arm-race) yang semakin meningkatkan kekhawatiran, kecurigaan, serta rasa tidak aman11. Tema yang diangkat dalam skripsi ini adalah kokusanka, prinsip kemandirian yang dianut Jepang untuk dapat memproduksi peralatan pertahanannya secara mandiri. Dari sudut pandang realisme, hal tersebut menunjukkan bahwa upaya Jepang dalam mengimplementasikan kebijakan kokusanka adalah untuk dapat menunjukkan hard-power-nya serta menunjukkan bahwa Jepang merupakan negara yang realis melihat kebijakan yang bersifat selfhelp, dan menunjukkan upaya Jepang untuk mengarah kepada normal state dan melakukan perimbangan kekuatan di kawasan Asia Timur. Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang cukup tidak stabil dalam aspek keamanan, khususnya pasca perang dingin. Korea Utara dan China menjadi ancaman yang cukup berarti bagi Jepang pasca perang dingin, meskipun secara resmi Jepang tidak pernah mencantumkan kedua negara tersebut sebagai ancaman. Korea Utara menjadi menjadi ancaman yang serius sejak terjadinya krisis nuklir Korea Utara yang terjadi pada tahun 1993 dimana ujicoba misil tersebut melintasi wilayah perairan Jepang. Kemudian China telah diwaspadai sebagai ancaman sejak akhir tahun 1980an karena sejak era tersebut China mulai membangun kekuatan militernya yang bersifat ofensif dan sejak tahun itu pula konflik menyangkut perbatasan antara China dan Jepang mulai meningkat khususnya terkait status kepemilikikan kawasan kepulauan Senkaku dan Diaoyu.
10
Hans J. Morgenthau (2010), “Politik Antarbangsa”, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hal. 201 11 Ibid. Hal. 213
Konsep kedua yang digunakan dalam karya tulis ini adalah konsep Kekuatan Nasional (National Powers) yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nation. Kekuatan nasional menurut Morgenthau tidak hanya berdasarkan pada jumlah populasi dari individu yang menempati suatu negara tetapi juga dibangun oleh faktor-faktor seperti geografi, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiagaan militer, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi, dan kualitas pemerintahan. Diantara beberapa faktor tersebut salah satu yang paling penting dari bagian kekuatan nasional adalah kemampuan industri dan kesiagaan militer khususnya dalam aspek penguasaan teknologi sebagai bagian dari pertahanan negara. Dalam karya tulis ini akan dilihat bagaimana usaha Jepang untuk melakukan pengembangan persenjataannya secara mandiri melalui industri pertahanannya sebagai bagian dari usaha membangun kekuatan negaranya. Morgenthau menyebutkan bahwa industri berat merupakan unsur mutlak kekuatan nasional. Jepang memiliki industri berat yang bergerak di berbagai bidang untuk keperluan non-militer dan upaya pemerintah Jepang menjadikan industri yang bergerak di bidang non-militer sebagai tumpuan dalam melakukan riset dan produksi peralatan pertahanan secara mandiri merupakan upaya Jepang untuk membangun kekuatan nasionalnya. Kemudian tingkat analisa yang digunakan adalah tingkat analisa negara (state level of analysis). Dalam studi hubungan international tingkat analisa negara merupakan suatu pendekatan dimana melihat negara sebagai aktor dan struktur internalnya mempengaruhi bagaimana negara tersebut berperilaku dalam hubungan internasional12. Kokusanka sebagai kebijakan tidak tertulis terkait industri pertahanannya merupakan bentuk pelaksanaan konsep Techno-nationalism oleh Jepang sehingga karya tulis ini akan dibahas dengan menggunakan konsep techno-nationalism. 12
Charles W. Kegley. Jr. (2008). “World Politics trends and transformation”. Eleventh edition. USA: Thomson and Wadsworth, hal. 14
Techno-nationalism sebagaimana dikemukakan oleh Richard J. Samuel merupakan suatu bentuk ideologi dimana menekankan pentingnya memiliki otonomi dalam hal teknologi sebagai bagian dari aspek keamanan nasional13. Techno-nationalism kemudian diartikan sebagai strategi yang diinisiasi oleh pemerintah dan orientasi kebijakan yang menekankan minimalisir atau menghindari ketergantungan teknologi dari negara luar dan mengupayakan kemandirian dalam hal penguasaan teknologi
14
.
Terminologi kokusanka muncul di Jepang sejak tahun 1931, dimana istilah tersebut muncul dalam kampanye pemerintah yang menginginkan modernisasi dan kemandirian dalam produksi seperti “Meiji Hakurai, Showa Kokusan” (Impor Pada Era Meiji, Produksi Domestik di Era Showa). Implementasi kokusanka sebagai techno-nationalism dalam industri pertahanan Jepang selain dilakukan dengan cara riset, pengembangan, dan produksi secara mandiri juga dilakukan dengan cara licensed production sebagaimana dalam studi kasus yang diangkat dalam karya tulis ini. Dimana cara tersebut merupakan langkah Jepang untuk dapat mempelajari teknologi pertahanan yang sempat tertinggal akibat dibekukannya aktivitas riset, pengembangan dan produksi alutsista. Tantangan yang dihadapi oleh Jepang pada era modern dalam hal pengembangan teknologi persenjataan antara lain kendala politik, dimana pada dasarnya Jepang sangat mampu untuk mengembangkan alutsista secara mandiri dengan hubungan antara industri pertahanan dan pemerintah yang cukup kuat dan penguasaan teknologi yang sudah sangat mumpuni. Namun, hal tersebut terkendala antara lain dengan pasal perdamaian Jepang pada konstitusi 1967 yang menyulitkan Jepang untuk dapat mengembangkan alutsista yang bersifat 13
Gregory P. Corning (2005), “Japan and the Politics of Techno-Globalism”, The Society for Japanese Studies. Hal. 188 http://www.jstor.org/stable/25064548 Diakses pada 20 Juni 2014 14 Chloris Qiaolei Jiang (2013), “Techno-nationalism and Creative Industries: The Development of Chinese Online Game Industry in a Globalized Economy”, Center for Chinese Media and Comparative Communication Research,. http://www.com.cuhk.edu.hk/c-centre/pdf/Game_Jiang.pdf. Diakses pada 10 November 2013
strategis-ofensif. Selain itu terisolasinya Industri Pertahanan Jepang dari bursa perdagangan senjata global berdampak pada pemasukan Industri yang hanya bergantung pada pemerintah yang kemudian berdampak pada tingginya biaya riset, pengembangan dan produksi. Oleh karena itu Jepang harus sedikit menerima ketertinggalan dalam pengembangan alutsista yang bersifat ofensif seperti fighter aircraft. Dengan kondisi seperti itu tentu sulit bagi industri pertahanan jepang untuk dapat membuat produk pertahanan dalam jumlah yang masif. 1.4. Argumentasi Utama Beberapa hal yang menjadi perhatian Jepang mengapa perlu untuk mengimplementasikan kebijakan kokusanka, antara lain penguasaan teknologi non-militer dan keberadaan industri berat dimana sektor pertahanan perlu untuk mendapat manfaat dari hal tersebut, dinamika keamanan regional dimana Jepang perlu untuk memiliki kesiapan, dan ketergantungan dengan negara lain yang menyebabkan kesulitan pembaruan peralatan militer menjadikan Jepang merasa perlu untuk menjadi normal state yang dapat menolong dirinya sendiri dalam menghadapi kemungkinan ancaman yang muncul. Dalam penerapan prinsip kokusanka atau Indigenization pada produksi alutsista Jepang menghadapi tantangan yang cukup besar. Faktor politik menjadi hal dominan yang menjadi hambatan Jepang untuk mengimplementasikan kebijakan upaya mandiri untuk dapat mengembangkan dan memproduksi peralatan tempurnya. Dari aspek politik dalam negeri Konstitusi 1947 yang menjadi dasar ketatanegaraan Jepang yang kemudian diturunkan dalam kebijakan dasar pertahanan Jepang sangat mempengaruhi upaya tersebut. Faktor regional dimana negara di kawasan tersebut memiliki sejarah yang kelam terhadap militer Jepang sehingga upaya Jepang untuk dapat mengembangkan teknologi pertahanannya menjadi hal yang sangat sensitif dan sangat berpotensi memunculkan ketegangan di kawasan Asia Timur. Selain itu Jepang juga
menghadapi tantangan dimana kemampuannya dalam hal teknologi pertahanan sangat terbatas dikarenakan tidak adanya industri pertahanan karena Jepang menggantungkan riset dan produksinya pada industri untuk keperluan sipil. Disamping itu pola pengembangan dan produksi yang bersifat “isolasi” dimana Jepang tidak dapat menjual ataupun mengeluarkan hasil riset dan produksinya dari Jepang untuk bekerjasama dengan negara lain menjadikan aktivitas riset dan pengembangan teknologi pertahanannya tidak cukup pesat. 1.5. Metode Penelitian Metode yang digunakan bersifat kualitatif dan dengan data-data bersumber pada pustaka atau literatur dimana menggunakan data-data yang diperoleh dari sumber tertulis seperti buku, jurnal ataupun dokumen – dokumen yang berkaitan dengan bahasan karya tulis ini15. Analisis data dilakukan dengan melakukan pendekatan melalui tingkat analisa negara dengan melihat pada latar belakang sejarah, pengaruhnnya serta situasi politik dalam negeri maupun luar negeri. 1.6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan karya tulis ini akan dibagi dalam 4 Bab. Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang penelitian yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual atau teori serta argumentasi utama dalam penulisan karya tulis. Bab kedua akan membahas mengenai faktor sejarah yakni bagaimana kekalahan Jepang pada perang dunia ke 2 dan pengaruhnya terhadap pengembangan teknologi pertahanan oleh Jepang pada masa tersebut dan pengaruhnya pada pengembangan teknologi pertahanan masa sekarang dan upaya Jepang dalam mengedepankan prinsip tak tertulis kokusanka dalam pengembangan teknologi pertahanannya
15
Trygive Mathisen, "Methodology in the Study of International Relation”, Oslo University Press, 1959. Hal 200 - 201
Bab ketiga secara khusus akan membahas studi kasus pengembangan F2 Fighter Aircraft dimana akan dibahas mengenai pentingnya pengembangan teknologi tempur udara bagi Jepang kemudian pembahasan mengenai sejarah, latar belakang, serta keberhasilan Jepang dalam mengembangkan fighter aircraftnya sendiri melalui kerjasama dalam bentuk transfer teknologi dan modifikasi F16-C sesuai dengan kebutuhan Japan Self Defense Force bersama dengan perusahaan asal Amerika Serikat. Bab keempat merupakan bab yang membahas mengenai analisis dari pemaparan bab sebelumnya yang secara fokus akan membahas mengenai hambatan yang dihadapi Jepang dalam menjalankan prinsip kokusanka dalam pengembangan teknologi pertahanannya baik dari sisi politik domestik dan luar negeri, ekonomi, dan tingkat penguasaan teknologi oleh Jepang sendiri dan Bab kelima merupakan kesimpulan dari karya tulis ini dan yang terakhir berisikan daftar pustaka yang menjadi referensi penulisan karya tulis ini.