BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Politik luar negeri Korea Selatan dari masa ke masa banyak diwarnai dengan berbagai macam perubahan. Perubahan ini terjadi dari setiap pemerintahan yang berkuasa memiliki pandangan politik luar negeri yang berbeda-beda. Korea Selatan memiliki kebijakan nasional utama dalam pelaksanaan politik luar negerinya yakni, mengembangkan ekonomi nasional.1 Namun, disamping itu, Pemerintah Korea Selatan juga bermaksud untuk memberikan peran dan berkontribusi yang lebih besar bahkan lebih lengkap dalam forum internasional untuk mengatasi masalah-masalah global seperti non-proliferasi dan pemberantasan kemiskinan. Kemudian salah satu tujuan utama Korea Selatan juga untuk meningkatkan citra nasional melalui penyelesaian berbagai masalah diplomatik dan kerjasama internasional dengan meningkatkan infrastruktur diplomatik. Korea Selatan yang saat ini terkenal dengan budaya pop atau yang sering disebut dengan Korean Wave mulai menggunakan aset budaya tersebut sebagai salah satu langkah untuk mengembalikan citra positif di dunia internasional dan alat kerjasama dengan negara lain. Korea Selatan memilih untuk menggunakan strategi soft power diplomacy dapat menghasilkan perubahan sikap atau perilaku Tiongkok seperti yang diinginkan Korea Selatan agar Tiongkok dapat memberi dukungan dalam bidang ekonomi. Soft power telah dipandang sebagai komponen kekuatan nasional yang sangat penting karena terkait dengan kekuatan yang tidak kasat mata seperti budaya, ideologi dan sistem sosial. Universalitas budaya suatu negara dan kemampuannya menetapkan norma, peraturan dan regim yang mampu mewarnai pola hubungan internasional merupakan sumber utama kekuatan nasional. Meskipun tidak nampak (intangible) keberadaannya dapat diukur dari soliditas bangsa tersebut, popularitas budayanya di mata dunia dan perannya dalam lembaga-lembaga dunia.
1
Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed (2004), Politik Luar Negeri Korea Selatan, (Yoyakarta: UGM Press), hlm. 8
1
Salah satu kerjasama internasional yang coba ditingkatkan oleh Korea Selatan saat ini adalah dengan negara Tiongkok, salah satu negara yang memiliki potensi ekonomi dan militer terbesar di Asia. Pada tahun 2012, Korea Selatan dan Tiongkok memperingati 20 tahun normalisasi hubungan mereka. Meninjau semua kemajuan substansial yang telah dibuat sejak mereka menjalin hubungan diplomatik lebih dari 20 tahun yang lalu, Korea Selatan dan Tiongkok menangani tantangan bersama dan memperdalam kerja sama mereka secara komprehensif. Kedua negara bersama mempromosikan perdamaian regional dan revitalisasi Asia, dan meningkatkan kemakmuran dunia.
Tiongkok bersedia untuk meluncurkan layanan izin RMB
(Chinese Yuan) di Korea Selatan agar kedua belah pihak bisa mempercepat negosiasi sehingga untuk menyelesaikan pembicaraan perdagangan bebas mereka sebelum akhir tahun. Tiongkok juga menyambut perusahaan Korea Selatan untuk berinvestasi lebih banyak di Tiongkok tengah dan barat. Korea Selatan mendukung Tiongkok untuk secara komprehensif memperdalam reformasi. Korea Selatan sangat berharap bahwa kedua negara bisa menjadi mitra strategis yang bisa mendukung dan membantu satu sama lain, siap untuk memperkuat komunikasi dengan Tiongkok di bidang urusan politik, keamanan dan militer, dan bersedia untuk bertukar pandangan mengenai isu-isu utama pada waktu yang tepat. Kerja sama bilateral Korea Selatan dan Tiongkok dapat memberikan kontribusi untuk kawasan Asia Timur dan dunia pada umumnya. Korea Selatan dan Tiongkok tidak hanya akan mencari pengembangan infrastruktur bersama, tetapi juga bergandengan tangan untuk mengatasi tantangan global dan menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan dan dunia. Korea Selatan dan Tiongkok telah mencapai konsensus penting tentang kerja sama dalam berbagai bidang dan menandatangani serangkaian kesepakatan penting. Meski, hubungan Korea Selatan dan Tiongkok dapat dikatakan sebagai suatu hubungan yang ‘tarik-ulur’, namun berbeda dengan keadaan beberapa dekade lalu, saat ini hubungan keduanya dapat dikatakan memasuki masa keemasan. Hubungan Korea Utara dan Tiongkok yang tengah mengalami kerenggangan karena pemerintah Tiongkok merasa dikelabui oleh Pyongyang menyusul ujicoba senjata
2
nuklir 12 Februari 2013 lalu,2 dimanfaatkan oleh Korea Selatan untuk membenahi hubungan dengan Tiongkok. Sejak normalisasi hubungan diplomatik tahun 1992, Korea Selatan kini menjadi mitra dagang terbesar ketiga bagi Tiongkok. Sebaliknya Beijing juga mitra dagang terbesar Korea Selatan. Saat ini kedua negara, ditambah Jepang, sedang merundingkan zona bebas perdagangan. Daniel Pinkston, pakar Korea di International Crisis Group (ICG), melihat perekonomian kedua negara saling erat bertautan. Perundingan yang sudah dimulai sejak 2012, akhirnya ditandatangani pada Juni 2015 lalu.3 Baik Korea Selatan ataupun Tiongkok termasuk rantai suplai global terbesar di kawasan Asia. Karena pendistribusian proses produksi secara global, sebagian besar produsen bergantung dari pasokan bahan baku atau komponen dari negara lain. Dapat dikatakan bahwa hubungan Korea Selatan dan Tiongkok yang sedang membaik ini hanya dilandasi atas kepentingan nasional masing-masing negara. Hubungan kerjasama bilateral yang mulai membaik antara Korea Selatan dan Tiongkok ini tidak hanya berdampak pada negeri tirai bambu dan negeri ginseng saja. Hubungan Korea Selatan dan Tiongkok akan membuat poros hubungan internasional saat ini mulai cenderung terkonsentrasi ke kawasan Asia Timur. Kemudian tumbuhnya perekonomian di negara-negara Asia Timur yang menyumbang dua perlima dari pertumbuhan ekonomi global telah menggeser perhatian publik dunia ke kawasan ini sehingga menjadikan Asia Timur sebagai wilayah yang menentukan pada abad ke-21 ini. Mulai terjalinnya perjanjian kerjasama antara kedua negara juga akan membawa tidak hanya stabilitas politik yang dipengaruhi namun juga sektor perekonomian dan keamanan khususnya dalam upaya denuklirisasi Korea Utara. Bahkan kerjasama perdagangan bebas Korea Selatan dan Tiongkok dapat menentukan kedudukan kedua negara di dalam hubungan internasional yang saat ini masih didominasi oleh Amerika Serikat.
1.2. Rumusan Masalah 2
Ruth Krichner, ‘Pengaruh Tiongkok pada Korea Utara’, DW.com (daring), 24 November 2010,
, diakses 4 Februari 2016. 3 David Gray, ‘Tiongkok-Korea Selatan Teken Perjanjian Perdagangan bebas’, Tempo.co (daring), 2 Juni 2015, , diakses 10 Februari 2016.
3
Bagaimana strategi soft power diplomacy berpengaruh dalam hubungan Korea Selatan dan Tiongkok?
1.3. Landasan Konseptual Untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai pengaruh strategi soft power diplomacy dalam membangun hubungan Korea Selatan dengan Tiongkok, peneliti menggunakan konsep utama yaitu Soft Power oleh Joseph S. Nye dan Modern Diplomasi oleh Barston. Peneliti juga menggunakan konsep kepentingan nasional untuk melihat pengaruh soft power diplomacy dalam pemenuhan kepentingan nasional Korea Selatan untuk meningkatkan kerjasama dengan Tiongkok. 1.3.1.
Modern Diplomasi Diplomasi sering dikaitkan dengan manajemen konflik atau manajemen
hubungan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Diplomasi juga merupakan salah satu instrumen utama dalam pelaksanaan politik atau kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam hubungan internasional, kebijakan luar negeri suatu negara akan didasarkan oleh kepentingan nasionalnya, sehingga diplomasi akan bertujuan untuk memenuhi kepentingan nasional tersebut. Jika dalam diplomasi menurut Morgenthau peran diplomat hanya sebagai simbol negara dan pemegang kebijakan luar negeri, maka menurut R. Barston dalam bukunya, Modern Diplomacy, peran utama seorang diplomat adalah mereduksi konflik dan menjaga keharmonisan hubungan antar-negara, sehingga tercipta perdamaian dunia. Dalam diplomasi modern menurut Barston, setidaknya ada enam tugas pokok sorang diplomat yang wajib dijalankan, yaitu : (1) Mempresentasikan negara (2) memberikan informasi terkait negara dimana dia ditugaskan/listening post, (3) memberikan masukan kepada Pemerintah terkait kebijakan Luar Negeri, (4) Mereduksi potensi konflik yang muncul dari kerjasama internasional (5) menjalankan kebijakan luar negeri, (6) menyesuaikan diri dalam dinamika politik luar negeri yang dinamis.4 Selain itu, Barston juga menjelaskan Masih dalam buku Modern Diplomacy, Barston menjelaskan bahwa jalur ekonomi dan perdagangan sesungguhnya bisa 4
Barston, R. P. (1997), Modern Diplomacy. Second Edition, (Longman, London and New York), hlm. 158.
4
digunakan sebagai instrumen untuk mempererat hubungan antar negara, selain penggunaan isu keamanan dan jalur politik tentunya.5 Modern diplomacy atau diplomasi yang baru menekankan adanya keterbukaan. Bicara mengenai diplomasi, berarti membicarakan tentang national interest, bagaimana mendapatkan kepentingan nasional dengan meningkatkan soft power dan hard power. Maka dari itu, pemerintah sebuah negara membuat apa yang disebut kebijakan luar negeri, seperti: ·
Pengaruh lingkungan internal
·
Pengaruh lingkungan eksternal
·
Soft power diplomacy
·
Hard diplomacy
Meningkatnya peran aktor transnasional menjadi sangat besar dalam perkembangan diplomasi modern. Dampak perkembangan teknologi terhadap diplomasi sangat besar, sistem baru memudahkan para aktor melakukan pertukaran informasi. Munculnya isu-isu baru merupakan hal wajar karena dunia sedang megalami globalisasi. Isu-isu global harus dapat dikuasai oleh para diplomat agar dalam mendapatkan kepetingan negaranya lebih mudah. Isu-isu di dunia tidak dapat dihalangi oleh batas-batas kenegaraan, dan pada akhirnya, peranan media massa secara nasional maupun internasional semakin nyata.
1.3.2.
Soft Power Aktor-aktor hubungan internasional, khususnya negara, memerlukan kekuatan
atau power yang dapat digunakan mempengaruhi pihak lain dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Perwujudan power tersebut dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni ancaman atau tindakan koersif (“sticks”), pancingan dan pembayaran/payments (“carrots”) serta daya tarik untuk membuat pihak lain melakukan apa yang diinginkan6. Power yang diwujudkan melalui dua cara pertama diasosiakan dengan hard power7, sedangkan yang diwujudkan melalui daya tarik, menurut Joseph S. Nye dikategorikan
5
R.P. Barston, Hlm. 184. Nye, J.S. (2008), ‘Public Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 616;94-109, hlm. 94 7 Nye, J.S. (2003), ‘The Velvet Hegemon,’ Foreign Policy, no. 136: 74 dalam Hackbarth, J R. (2009), ‘Soft Power and Smart Power in Africa’, Strategic Insights, Volume VIII, Issue 1:1-19, (Center for Contemporary Conflict), hlm. 2 6
5
sebagai soft power. Menurut Nye, power adalah kekuatan atau kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Nye menggolongkan power dalam dua spektrum perilaku yang berbeda, yakni hard power yang digolongkan dalam spektrum perilaku command power, yakni kemampuan untuk mengubah apa yang pihak lain lakukan (what others do) dan soft power dalam spektrum perilaku co-optive power, yakni kemampuan untuk dapat mempengaruhi dan membentuk apa yang pihak lain inginkan (what others want)8. Cooptive power dapat diperoleh melalui agenda setting (memanipulasi agenda pilihan politik sehingga pihak lain gagal mengekspresikan suatu preferensi politik tertentu karena merasa preferensi tersebut terlihat tidak realistis yang bersumber pada institusi) atau melalui attraction (daya tarik yang bersumber pada budaya, nilai-nilai dan kebijakan yang dimiliki). Soft power kemudian didefinisikan Nye sebagai kekuatan atau kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (power) tersebut melalui penggunaan daya tarik daripada penggunaan kekerasan (coercion) atau imbalan (payment)9. Soft power bersumber dari aset-aset yang dapat digunakan untuk memproduksi daya tarik. Nye menjabarkan bahwa soft power suatu negara utamanya didasarkan pada tiga sumber, yaitu kebudayaan (culture, yang membuat negara tersebut menarik bagi pihak lain), nilai politik (political values, yang dianut negara tersebut di dalam maupun luar negeri) dan kebijakan luar negeri (foreign policies, yang membuat negara memiliki legitimasi dan otoritas moral).10 Kebudayaan sebagai salah satu sumber utama soft power dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni high culture, seperti seni, literatur, dan pendidikan yang menarik perhatian elit tertentu serta pop culture, yang berfokus pada produksi hiburan massal (mass entertainment). Soft power adalah attractive power (kekuatan daya tarik)11 yang hanya dapat dihasilkan apabila sumber-sumber yang dimobilisasi melalui diplomasi publik memiliki daya tarik yang cukup atraktif untuk mempengaruhi preferensi target atau penerima soft power yang dituju. Oleh karena itu, dalam pembentukan soft power,
8
Nye, J.S. (2005), ‘Soft Power and Higher Education’, Forum for the Future of Higher Education, , diakses 20 Oktober 2015. 9 Nye, J.S, Public Diplomacy and Soft Power, hlm. 95 10 Nye.J.S, Public Diplomacy and Soft Power, hlm. 96 11 Nye.J.S, Public Diplomacy and Soft Power, hlm. 95
6
selain mengidentifikasi sumbernya perlu diidentifikasi pula faktor-faktor apa yang dapat membuat sumber-sumber soft power tersebut menarik dan dapat diterima oleh penerima soft power. Tabel 1. Spektrum Perilaku dan Sumber Power oleh Joseph S. Nye
Sumber: Nye, J.S. (2004), Soft Power: The Means to Success in World Politics, 1st ed. (New York: Public Affairs)
Aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan soft power diistilahkan sebagai “referees” dan “receivers” soft power. “Referees” soft power terkait dengan pihak yang menjadi sumber rujukan legitimasi dan kredibilitas soft power sedangkan “receivers” soft power adalah target yang dituju sebagai sasaran penerima soft power12. Hubungan antara sumber soft power dengan referees dan recievers soft power dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Sumber, Rujukan dan Target Soft Power
Sumber Soft Power Kebijakan luar negeri
Nilai-nilai dan kebijakan domestik High culture
Pop culture 12
Referees/rujukan untuk kredibilitas dan legitimasi Soft Power Pemerintah, media, organisasi non-pemerintah, (Nongovernmental Organizations/NGOs), organisasi antar-pemerintah (Intergovernmental Organizations/IGOs) Media, NGOs, IGOs
Pemerintah, NGOs, IGOs
Media, pasar (markets)
Recievers/Penerima Soft Power Pemerintah dan publik/masyarakat negara lain Pemerintah dan publik/masyarakat negara lain Pemerintah dan publik/masyarakat negara lain Publik/masyarakat
Nye.J.S, Public Diplomacy and Soft Power, hlm. 107
7
negara lain Sumber: Nye, J.S. (2008), ‘Public Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 616; 94-109, hlm. 107
1.3.3.
Konsep Kepentingan Nasional Hubungan bilateral yang dijalin antar dua negara tidak terlepas dari
kepentingan nasional masing-masing negara yang mendasarinya untuk melakukan kerjasama. Kepentingan nasional adalah sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Menurut Joseph S. Nye apapun bentuk Pemerintahannya, suatu negara pasti akan selalu bertindak dalam kerangka kepentingan nasionalnya.13 Politik luar negeri tersebut menjadi manifestasi utama suatu negara dari perilaku suatu negara dalam berhubungan dengan negara lain. Jika beberapa negara memiliki keselarasan dalam kepentingan nasional yang diperjuangkan masing-masing baik itu alasan ideologis maupun pragmatis maka negara-negara tersebut dapat menjalin hubungan kerjasama yang baik dan sangat kooperatif satu sama lain. Dalam bukunya Mohtar Mas’oed menjelaskan konsep ini sama dengan menjalankan kelangsungan hidup. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kelangsungan hidup tercipta dari adanya kemampuan minimum. Kemampuan minimum tersebut dapat dilihat dari kepentingan suatu negara yang dihubungkan dengan negara lain. Hal tersebut menjelaskan bagaimana sebuah kepentingan dapat menghasilkan kemampuan akan menilai kebutuhan maupun keinginan pribadi yang sejalan dengan itu berusaha menyeimbangkan akan kebutuhan maupun keinginan dilain pihak. Konsep ini juga menjelaskan seberapa luas cakupan dan seberapa jauh sebuah kepentingan nasional suatu negara harus sesuai dengan kemampuannya.6 Kemampuan disini menjadi batasan yang didukung dari Sumber Daya Manusia (SDM) maupun Sumber Daya Alam (SDA).14 Dalam upaya pencapaian tujuan nasional tersebut tidak hanya melibatkan kepentingan penguasa saja tetapi lebih mengedepankan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai dasar politik luar negeri suatu negara, kepentingan nasional menjadi poin utama dalam upaya menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi
13
Nye.J.S, (1992), Understanding International Conflicts, (USA: Harper Collins College Publisher), hlm. 40-41. Mochtar Mas’oed, (1994), Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES), hlm. 34. 14
8
perilaku suatu negara dalam perpolitikan internasional serta menjadi dasar penentu pembuat kebijakan luar negeri. Kepentingan nasional suatu bangsa dengan sendirinya perlu mempertimbangkan berbagai nilai yang berkembang dan menjadi ciri khas suatu negara. Aspek kebudayaan yang dimiliki oleh setiap negara tentunya mempunyai karakteristik paling khas. Kebijakan luar negeri yang telah ditetapkan oleh suatu negara diimplementasikan pelaksanaannya melalui diplomasi. Dalam penelitian ini, untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, Korea Selatan menggunakan soft power diplomacy untuk mengembalikan citra positif Korea Selatan di Tiongkok, sehingga mampu meningkatkan dan membangun kembali hubungan yang harmonis dengan negara tersebut. Kepentingan nasional Korea Selatan ini juga menjadi tolak-ukur keberhasilan strategi soft power diplomacy yang telah dilaksanakan oleh Korea.
1.4. Argumentasi Utama Dalam memenuhi kepentingan nasional di bidang ekonomi sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia, Korea Selatan memiliki strategi untuk menggunakan soft power diplomacy yang melibatkan aktor-aktor non untuk memulihkan hubungannya dengan Tiongkok. Strategi diplomasi ini diwujudkan dengan adanya budaya pop yang sering disebut juga dengan korean wave. Korean wave dapat mendukung pencapaian kepentingan nasional Korea Selatan dalam hal ini mewujudkan citra positif Korea Selatan sebagai negara adidaya. Pengaruh pelaksanaan strategi ini terlihat dari semakin kuatnya hubungan Korea Selatan dan Tiongkok yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kerjasama di bidang ekonomi dan sosial-budaya. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan adalah dengan meningkatnya intensitas perdagangan dan pertukaran budaya antara Korea Selatan dan Tiongkok. Korea Selatan dan Tiongkok juga membangun kerjasama perdagangan bebas, dimana Tiongkok memberikan investasi mencapai US$ 30 juta di Korea Selatan dalam bidang industri dan investasi senilai US$ 3 milyar dalam bidang pariwisata, dan hiburan.
1.5. Metode Penelitian a. Metode Penelitian
9
Dalam menelaah permasalahan yang ada dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisa deskriptif dengan metode penelitian kualitatif yang menekankan pada kualitas data dengan menjelaskan dan menganalisis hubungan antara data, fakta, dan teori yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan. b. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data akan ditekankan pada studi literatur, baik buku, laporan maupun jurnal yang membahas mengenai hubungan antara Korea dan Tiongkok serta penerapan politik luar negeri Korea Selatan untuk mendukung argumenargumen peneliti sehingga dapat menggambarkan suatu kesimpulan yang utuh bagaimana strategi, pengaruh dan prospek soft power diplomacy dalam membangun kembali hubungan Korea Selatan dan Tiongkok. Selain itu, referensi online juga akan digunakan sebagai alternatif informasi guna memperkaya bahasan yang akan dianalisa. Selain itu, penggunaan referensi online juga berguna untuk memberi informasi terkini, agar data yang digunakan dapat berimbang antara data primer dan data sekunder. Peneliti akan selektif dalam memilih sumber referensi dan tidak lupa untuk membandingkan berbagai sumber untuk mendukung argumen dalam penelitian ini agar terciptanya penelitian yang komprehensif dan reliable. c. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan langkah : •
Reduksi data merupakan proses pemilahan, pengkategorian, dan pemusatan pada data yang relevan dengan fokus permasalahan penelitian.
•
Perbandingan data lama dan data baru. Dalam penelitian ini perbandingan data dimulai dengan membandingkan angka atau volume kerjasama antara Korea Selatan dan Tiongkok sebelum dan sesudah masuknya Korean Wave di Tiongkok.
•
Penyajian data dilakukan dengan menggambarkan fenomena atau keadaan sesuai dengan data yang telah direduksi dan dibandingkan.
1.6. Sistematika Penelitian Dalam membuat penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Strategi Soft Power Diplomacy dalam Membangun Hubungan Korea Selatan dan Tiongkok” dengan
10
kerangka Modern Diplomacy dan Soft Power Diplomacy, peneliti akan membaginya ke dalam empat bab utama, yaitu pendahuluan, pembahasan, analisis, dan penutup. Pada BAB I, peneliti akan membahas mengenai latar belakang masalah terkait hubungan Korea Selatan dan Tiongkok serta mengapa kedua negara tersebut perlu berdiplomasi. Pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai pertanyaan penelitian, landasan konseptual dan teori yang digunakan untuk menjawab masalah yang ada, serta argumentasi utama, metode penelitian dan terakhir sistematika penelitian dari penelitian ini. Di dalam BAB II, peneliti akan lebih menekankan kepada perkembangan Korean Wave di Tiongkok dari awal masuknya hingga kebijakan yang membatasi adanya korean wave di negara tirai bambu tersebut. Selain itu, peneliti juga akan meneliti mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam perkembangan Korean Wave di Tiongkok seperti aktor non-pemerintah dan media massa. Pada BAB III, peneliti akan menjabarkan hubungan Korea Selatan dan Tiongkok di bidang keamanan, politik, ekonomi, dan sosial pasca masuknya Korean Wave di Tiongkok. Kemudian peneliti juga akan mengelaborasikan jawaban atas rumusan masalah dengan menganalisis keberhasilan penggunaan korean wave dilihat dari perspektif Modern Diplomacy dan Soft Power Diplomacy dalam mengembalikan citra Korea Selatan di mata masyarakat Tiongkok hingga pada pemenuhan kepentingan nasional Korea Selatan dan perbaikan hubungan bilateral Korea Selatan dan Tiongkok. Pada BAB IV, peneliti akan memberikan kesimpulan terhadap seluruh pembahasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya untuk mengetahui apakan argumen peneliti sesuai atau tidak sesuai.
11