BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Periode 1960-an adalah masa dimana studi gerakan sosial mulai berkembang pesat yang dibarengi pula oleh kemunculan beragam praktik dan model gerakan sosial di
seluruh dunia. Sebagai sebuah aksi kolektif, umur gerakan sosial berdampingan dengan sejarah perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Perubahan satu peradaban ke peradaban yang lain tidaklah selalu melalui jalan “damai” akan tetapi seringkali pula
diikuti oleh aksi kolektif dari kelompok yang termarjinalisasi, hal inilah yang dewasa ini dikenal sebagai gerakan sosial.1 Secara teoritis, Klandermans mengutip Charless Tilly mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang
yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang
berkelanjutan dengan kelompok elite, lawan dan penguasa. 2 Upaya penyatuan kepentingan yang sama menjadi akar pembentukan satu gerakan kolektif yang muncul
dari beragam kelompok. Penelitian ini akan membahas salah satu bentuk gerakan sosial yang paling dominan dan memiliki sejarah gerakan yang cukup panjang dalam perkembangan kajian gerakan sosial yaitu gerakan petani.
Gerakan petani3adalah gerakan sosial paling tua yang lahir dari kontradiksi masyarakat
pedesaan yang bertumpu pada kondisi agraria atau ketersediaan tanah di seluruh dunia. Gerakan petani adalah bagian dari aksi perlawanan masayarakat agraria atas
ketimpangan yang mereka alami. Sejarah kemunculan gerakan petani telah ada sejak
zaman komunal primitif, kolonialisme, hingga zaman modern sebagai dampak nyata
Abdul Wahid Situmorang, 2007, Gerakan Sosial; Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar 2 Bert Klandermans, 2005, Protes dalam Kajian Psikologi Sosial (terjm), Yogyakarta; Pustaka Pelajar, hal. xxi-xv 3 Pada beberapa literatur dan hasil penelitian terkait gerakan sosial yang berkaitan dengan aktivitas politik petani sebagai subjek sosial, terminologi “Gerakan Petani” seringkali pula disandingkan dengan istilah “Gerakan Agraria” meskipun memiliki implikasi yang cenderung meluas atau “seringkali dimaknai sebagai Gerakan Politik Pedesaan”. Sebagai contoh, lihat Aksi Petani dan Gerakan Politik Pedesaan, Jurnal Analisa Sosial, Vol. 15, No. 1 Agustus 2010, Bandung: Akatiga. Penelitian ini akan menggunakan terminologi “Gerakan Petani” untuk menjelaskan aktivitas politik organissasi petani di tingkatan lokal dan nasional serta sebagai istilah yang umum dalam organisasi petani di Indonesia. 1
1
dari transformasi sosial yang terjadi pasca kelahiran kapitalisme di Eropa atau Revolusi
Industri.4 Kaum tani dipandang sebagai kelompok masayarakat yang termarjinalkan
oleh sistem kapitalisme yang mengambil alih lahan melalui mekanisme akumulasi primitif yakni proses perampasan tanah rakyat tani lalu menciptakan proses lahirnya
tenaga kerja berlebih hingga melahirkan konflik dan kemiskinan masyarakat agraria.5 Gerakan petani tumbuh dan berkembang pesat di setiap negara yang memiliki basis masyarakat agraria terutama di negara dunia ketiga yang mengalami ketimpangan oleh struktur kapitalisme global termasuk yang terjadi di Indonesia.
Di Indonesia, gerakan kaum petani telah melewati sejarah panjang dari zaman kerajaan, kolonialisme Belanda dan Jepang, masa Soekarno, rezim Soeharto hingga saat ini.
Perjalanan sejarah ini telah membentuk karakter kehidupan bermasyarakat kaum tani
Indonesia.6 Secara umum karakter subsistensi masyarakat di pedesaan pada awalnya
dapat dicirikan dengan patronase yang begitu kental akibat sistem sosial yang feodal, sistem primordial yang masih kental, serta masyarakat tidak terorganisasi secara baik sementara di sisi lain kualitas hidup petani semakin mengalami penurunan, tidak
adanya jaminan hidup layak dan sistem pertanian yang ideal melahirkan ketimpangan dalam masyarakat petani Indonesia. Semakin berkembangnya ketimpangan dalam
masyarakat petani maka semakin mendorong pula upaya petani untuk menuntut hak dan jaminan atas tanah dengan membentuk beragam model perlawanan.
Sejarah gerakan petani Indonesia bukanlah sejarah singkat. Pada masa kerajaaan hingga
masuknya kolonialisme Inggris dan Belanda yang menerbitkan Agrarian Wet 1870,
gerakan petani harus melawan kelompok feodalisme yang menjalankan penguasaan tanah melalui regulasi yang sepihak yang dikenal dengan istilah domein veklaring.7
Noer Fauzi, 2005, Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta: Insist Press. Hal 14-16 Noer Fauzi, 2012, Land Reform Dari Masa ke Masa, Perjalanan Kebijakan Pertahanan 1945-2009, Yogyakarta; STPN press. Hal 139-140 6 Lihat, Noer Fauzi, 1999, Petani dan Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta; Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar 7 Pada asas Domein Veklaring dinyatakan “bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, baik secara individu atauapun komunal, maka tanah itu menjadi milik negara”. Dengan demikian tanah itu mutlak bisa disewakan kepada perusahaan swasta oleh negara melalui Hak Erfpacht yakni hak untuk menguasai dan menyewakan oleh kolonial selama 75 tahun dan serta melalui Hak Eigendom sebagai hak keleluasan kolonial untuk menguasai tanah jika petani tidak dapat membuktikan atau menunjukkan 4 5
2
Pada zaman Orde Lama Soekarno, gerakan petani mulai berkembang dan dijadikan sebagai basis politik. Gerakan politik agraria mulai menemui titik terang dengan
dikeluarkannya UU Pokok Agraria 1960 sekaligus menggugurkan UU Agraria kolonial yang secara nyata merampas hak milik rakyat petani. Akan tetapi, konflik tidak berarti hilang begitu saja, dampak dari UUPA 1960 ini adalah munculnya konflik dalam klas
petani itu sendiri yakni klas pemilik tanah dan petani penggarap dalam perebutan hak atas tanah. Pada masa itu, dua organisasi gerakan pedesaan beraliran kiri dan berafiliasi
dengan Partai Komunis Indonesia, Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Serikat Buruh
Kehutanan Indonesia (SABUKSI), melancarkan kampanye land reform atau pencatatan dan distribusi tanah kepada petani hingga aksi sepihak sebagai bentuk perjuangannya yang melahirkan konflik horizontal dalam masayarakat pedesaan Indonesia.
Pada zaman Orde Baru di bawah Soeharto, gerakan petani mengalami banyak tekanan atas sikap politik mereka pada zaman Orde Lama yang oleh politik stigmatisasi Orde
Baru selalu dikaitkan dengan gerakan komunis dan subversif. Pada zaman Orde Baru
kehidupan kaum tani menjadi semakin terpinggirkan dengan program pembangunan bercorak kapitalistik yang mensyaratkan adanya perebutan lahan oleh pemerintah dari
petani itu sendiri. Gerakan petani yang ada lebih memilih untuk menghindari kebijakan
dan persinggungan dengan pemerintah yang militeristik sampai tiba momentum reformasi yang diklaim sebagai penumbangan rezim Orde baru secara perlahan membuka saluran politik sekaligus menjadi faktor pemicu meledaknya masalah agraria
yang selama ini ditutupi oleh Orde Baru. Fenomena ini mendorong lahirnya pelawanan petani dengan cara terbuka di berbagai daerah8.
Upaya konslidasi gerakan untuk menanggapi persoalan petani dan masyarakat agraria
yang semakin kompleks, ditandai dengan munculnya organisasi yang merupakan koalisi
nasional dari sejumlah organisasi non-pemerintah, organisasi petani, dan individu yang memiliki tendensi untuk mendorong pembaruan agraria di Indonesia, organisasi
kepemilikannya. Pada sisi ini, UU Agraria 1870 mengukuhkan kontrol swasta terhdap tanah dan pintu masuk investasi modal asing di Indonesia. 8 Lebih jauh memahami konteks sejarah pergerakan petani, lihat Ahmad Nashih Luthfi dkk, 2010, Kronik Agraria Indonesia; Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor, Yogyakarta; STPN, SAINS dan ISSI
3
tersebut ialah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sebagai arus pertama fenomena
kemunculan gerakan agraria kontemporer, KPA bersama aliansi gerakan petani yang bergabung dibentuk dengan tujuan untuk mengkampanyekan dan mendorong jalannya upaya pembaruan agraria di Indonesia. Selain KPA, dibawah tekanan rezim Orde Baru,
gerakan petani ditingkatan lokal mulai membangun komunikasi dengan memanfaatkan situasi konflik agraria yang semakin meruncing. Pada konteks inilah mulai muncul gerakan petani yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia salah satunya ialah Federasi Serikat Petani Indonesia atau FSPI.
Pasca reformasi, gerakan petani mulai mencari bentuk serta berusaha menyatukan isu bersama. Era demokratisasi mendudukkan gerakan petani sebagai bagian dari proses
transformasi sosial untuk memperjuangkan nasib petani. Gerakan petani secara khusus
muncul dan berkembang berakar pada konflik-konflik agraria kemudian memunculkan karakter gerakan petani yang berbeda dari sebelumnya. Perubahan karakter gerakan
perlawanan petani bermula sejak pertengahan tahun 1980-an yang berlanjut hingga
saat ini. Dalam periode ini gerakan perlawanan petani tidak hanya bercorak ekonomi dalam hal ini produksi pertanian, tetapi juga bercorak budaya yang kental terutama di
daerah-daerah yang sistem masyarakat adatnya masih hidup, dan isu-isu yang
dikembangkan bermuatan politik emansipasi yakni perubahan politik yang lebih menyentuh akar persoalan petani pada umumnya yang oleh gerakan petani diklaim sebagai reforma agraria sejati.
Salah satu bentuk transformasi perubahan dalam gerakan petani pasca kurungan dalam
rezim selama 32 tahun ialah keterlibatan gerakan petani kembali secara langsung dalam pertarungan politik formal semisal pada pemilihan kepala daerah dan pemilihan
politik lainnya 9 ataupun pada tataran ikut serta dalam pengambilan kebijakan
sebagaimana kelompok gerakan agraria dan kelompok penstudi agraria lakukan pada Salah satu gerakan petani yang memperlihatkan transfromasi gerakan politik pedeaan dari aksi reclaiming menuju aksi politik formal ialah keterlibatan aktif gerakan petani Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB) dalam pemilihan umum dan upaya merebut jabatan politik formal pemerintahan melalui mekanisme politik electoral. Lihat Rizza Kamajaya, 2010, Transformasi Strategi Gerakan Petani; Dari Gerakan Bawah Tanah Menuju Gerakan Politik Formal, Yogyakarta; Research Centre for Politics and Government (PolGov) UGM 9
4
awal perkembangnya dalam institusi pemerintah melalui Kementrian Pertanian dan Badan Petanahan Negara (BPN) hingga keterlibatan gerakan petani nasional pada forum internasional10.
Segala bentuk perubahan tersebut, pada perjalannanya memberikan dampak yang nyata pada segala level gerakan petani di Indonesia. Di tingkatan lokal, kemajuankemajuan dan kemunduran dalam pembentukan dan penguatan organisasi petani sangat berkait dengan berbagai dinamika ekonomi dan politik makro yang terjadi di
tingkat nasional maupun internasional dan menjadi penentu arah perlawanan gerakan
petani. Sebuah kebijakan ekonomi yang dilahirkan di forum dunia bidang pertanian yang bercorak kapitalisme diyakini oleh gerakan petani secara tidak langsung akan
mempengaruhi kebijakan nasional yang selanjutnya akan merugikan petani itu sendiri. Semisal, terkait kebijakan impor pangan pemerintah Indonesia atau perundingan dalam
World Trade Organization dan Food and Agriculture Organization pada aspek perdagangan komoditas pertanian di pasar bebas dan implikasinya melalui mekanisme Agreement on Agriculture (AoA)11 terhadap produksi pertanian lokal Indonesia yang
mengalami penurunan serta terjadinya model baru perampasan tanah. 12 Dalam
perspektif gerakan petani, ini adalah bentuk upaya penegakan agenda neoliberalisasi pertanian yang tidak berpihak pada kelangsungan hidup petani dan kedaulatan pangan nasional.
Akan tetapi, proses transformasi tersebut tidak serta merta menyelesaikan kontradiksi
pokok yang terjadi dalam lapangan agraria di Indonesia. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya konflik agraria yang terjadi seperti perampasan dan penggusuran paksa
Lihat Gunawan Wiradi, 2000, Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta; Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar 11 Agreement on Agriculture (AoA) mulai berlaku sejak 1 Juanuari 1995, AoA adalah sebuah perjanjian baru di dalam WTO sebagai hasil Urugay Round, yang merupakan bagian dari ekspansi WTO terhadap isu pertanian. Dengan AoA, WTO mewajibkan naggotanya untuk: (1) membuka pasar domestiknya, market access; (2) mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petani, domestic support; (3) mengurangi dukungan dan subsidi bagi petani untuk mengekspor, export competiotion. Perkembangan selanjutnya, AoA kembali dirumuskan pada KTM WTO ke-9 di Balli, Indonesia pada bulan Desember 2013 yang melahirkan Bali Package sebagai paket baru dalam perjanjian WTO yang salah satunya dalam bidang pertanian. Lebih lanjut lihat Bonie Setiawan, 2013, WTO dan Perdagangan Abad 21, Yogyakarta; Resist Book 12 Lihat Bonnie Setiawan, 2003, Globalisasi Pertanian; Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani, Jakarta: Institute for Global Justice 10
5
petani dari lahannya atau sengketa kepemilikan lahan yang melibatkan petani dan
pihak negara atau perusahaan asing seringkali pula disertai dengan praktek kekerasan terhadap kaum tani. Dalam sejarah perampasan tanah yang terjadi di Indonesia,
penggunaan aparat kekerasan negara seperti kepolisian dan militer seringkali
digunakan oleh pemerintah dan investor modal besar untuk menyingkirkan rakyat tani dari tanahnya. Hal ini mendorong meningkatnya aksi protes dan perlawanan yang
dibangun oleh gerakan petani menentang isu perampasan tanah global menandai titik baru dalam gerakan petani di Indonesia.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat trend peningkatan konflik agraria di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia, kemudian di tahun 2011 terjadi peningkatan drastis, yaitu 163 konflik agraria, yang
ditandai dengan tewasnya 22 petani/warga tewas di wilayah-wilayah konflik tersebut. Sepanjang tahun 2012 KPA mencatat terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915
kepala keluarga (KK) dalam konflik-konflik yang terjadi. Sementara catatan kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani sepanjang tahun 2012 adalah 156 orang
petani telah ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tercatat 3 orang telah tewas13.
Situasi lapangan agraria yang semakin memperuncing konflik antara petani melawan negara ataupun dengan pihak swasta berupa sengketa kepemilikan lahan atau
sengekata kebijakan HGU oleh negara memaksa petani di tingkatan bawah untuk
melawan. Dinamika gerakan yang terjadi di dalam beragam kerja pengorganisasi, konsolidasi gerakan, dan gerakan advokasi pada akhirnya memunculkan sejumlah aliansi organisasi tani yang mengklaim diri berada di tataran nasional seperti Serikat
Tani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), dan organisasi tani yang memiliki hubungan dekat dengan Partai Rakyat
Konsorsium Pembaruan Agraria, 2012, Terkuburnya Keadilan Agraria bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria, dirilis dalam Konferensi Pers Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria pada tanggal 28 Desember 2012 di Sekretariat KPA, Jakarta. 13
6
Demokratik (PRD) yakni Serikat Tani Nasional (STN) yang massif menggerakan massa petani untuk melakukan protes terhadap masalah yang melingkupi petani.14
Salah satu organisasi tani nasional yang ada ialah Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).
AGRA pertama kali dibentuk oleh sejumlah activist tani dan petani dari
berbagai daerah pada tahun 2003. Semakin meluasnya konflik agraria serta
meningkatnya tindakan kekerasan terhadap petani mendorong AGRA untuk melakukan proses advokasi terhadap masyarakat tani tersebut. AGRA adalah salah organisasi
massa tani yang dibentuk pasca runthnya Orde Baru meskipun pada dasarnya,
kemucnulannya diawali dari berbagai medan konsolidasi gerakan-gerakan petani di tingkatan lokal di berbagai daerah di Indonesia. Pada perkembangannya, AGRA menaruh perhatian lebih pada isu perampasan tanah yang terjadi di sejumlah
Indonesia. Hal ini didasari oleh pandangan atas relasi petani dan tanah sebagai kesatuan yang semakin terancam, menanggapi hal tersebut AGRA kerap kali melakukan mobilisasi massa untuk menuntut hak atas tanah rakyat dan jaminan atas hidup petani.
Organisasi tani inilah yang juga kelak menjadi bagian dari gerakan petani transnasional di Indonesia dengan melibatkan diri dalam satu payung organsiasi tani global yang memiliki kesamaan kepentingan dan pandangan dalam melihat permasalahan agraria.
AGRA adalah anggota aktif dari Asian Peasant Coalitin (APC) yang merupakan koalisi petani tanpa tanah, nelayan, pekerja pertanian, masyarakat adat, penggembala,
peternak, petani perempuan dan pemuda pedesaan di Asia. APC memiliki 33 anggota
organisasi dengan lebih dari 15 juta anggota dalam sembilan negara-negara di Asia seperti Bangladesh, India, Nepal, Sri Lanka, Malaysia, Pakistan, Mongolia, Filipina dan
Indonesia. APC juga memiliki jaringan internasional yang luas di Afrika, Eropa, dan Amerika Latin yang berfokus pada gerakan perlawanan berbasis petani lokal demi
upaya penciptaan reforma agaria dan kedaulatan pangan serta dengan menyatakan sikap penolakan terhadap agenda imperialisme global. APC mengklaim bahwa mereka
Dianto Bachriadi, Menemukan Via Campesina di Indonesia; Gerakan Tani yang Berderak dari Aksi Protes Lokal hingga terlibat dalam Gerakan Transnasional, dalam pengantar Sutirnino M. Borras Jr, 2005, La Via Campesina; Potret Gerakan Tani Transnasional, Bandung; Garis Pergerakan Press. Hal xix-xxi 14
7
menumbuhkan hubungan dekat dengan gerakan seluruh kelompok demokratik guna mendapatkan dukungan mereka terhadap nasib para petani di wilayah ini. 15
AGRA dan APC terlibat aktif dalam kampanye “Stop Global Land Grabbing” yang dibentuk oleh APC bersama koalisi internasional lainnya sebagai bentuk tanggapan
maraknya kasus perampasan tanah yang terjadi di berbagai negara. Munculnya kontradiksi-kontradisksi baru di dalam masyarakat petani terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak berpihak terhadap petani serta kuatnya arus modal yang mencoba
mengambil alih lahan pertanian melalui mekanisme global land grabbing16 membentuk sikap penolakan petani yang diusung oleh AGRA. Hal inilah diyakini menjadi factor
pendorong dalam membentuk gerakan petani yang lebih luas. Isu perampasan tanah
global ini kemudian menjadi isu bersama dalam aktivitas politik Asian Peasant Coalitions dalam rangka menggalang solidaritas organisasi petani di Indonesia yang nantinya akan membentuk solidaritas perlawanan yang berskala internasional17.
Munculnya isu perampasan tanah sebagai isu bersama yang dikonsolidasikan oleh
AGRA dan APC menjadi hal menarik dan penting untuk ditelusuri. Konstruksi solidaritas sebagai alat perjuangan petani di tingkat lokal yang dibawa dan direpresentasi secara
bertingkat hingga ke pusaran transnasional adalah sisi terbaru dalam melihat pola
gerakan dan perlawanan yang dibangun oleh organisasi petani di Indonesia. Keterlibatan organisasi petani di Indonesia yang berafiliasi dengan gerakan petani
global semisal Aliansi Petani Indonesia yang berafiliasi dengan Asian Farmers
Association (AFA) yang memiliki hubungan dengan International Federation Agriculture
Producers (IFAP), Serikat Petani Indoneisa yang berafiliasi dengan La Via Campesina, The Asian Peasant Coalitin,diaskes http://www.asianpeasant.org/content/asian-peasant-coalition-apc , pada 20 Agustus 2013 16 Terminologi Global Land Grabbing mulai diperkenalkan oleh kelompok gerakan petani internasional untuk menanggapi maraknya konflik agrarian yang diakibaatkan oleh perampasan tanah petani melalui proses akumulasi modal dan penetrasi kepentingan asing di sutau wilayah. Mode perampasan atau pengambil alihan tanah dapat terjadi untuk kepentingan industri pertanian, pertambangan, proyek-proyek infrastruktur, bendungan, turisme, taman nasional, industri, perluasan daerah kota maupun untuk kegiatan militer. Lebih jauh terkait perampasan tanah akan dijelaskan pada BAB III 17 Danilo Ramos, 2009, Peasant Groups Launch Asia-Wide Actions against Global Land Grabbing, diakses di http://farmlandgrab.org/6501 , 20 Agustus 2013 15
8
serta AGRA yang berafiliasi dengan Asian Peasant Coalition diharapkan mampu menjadi jembatan gerakan yang lebih luas dan maju.
Kesemua organisasi petani yang berada dalam garis gerakan petani nasional mencoba merepresentasikan isu petani di Indonesia dan saling berinteraksi dengan gerakan
petani transnasional lainnya pada tingkatan global dengan harapan tetap mengakar pada kekhususan dan kontradiksi disetiap daerah di Indonesia sebagai bagian dari gerakan sosial transnasional. Meskipun, secara organisasi, hal ini bukanlah persoalan
yang mudah akibat adanya hambatan dalam pembangunan jaringan berupa
keterbatasan akses, logistic dan kesenjangan informasi tentu menjadi bagian dalam proses konslidasi gerakan petani transnasional ini di Indonesia. Akan tetapi, sebagai sebuah proses gerakan sosial, hal ini menjadi bagian dari dialektika gerakan itu sendiri
dan patut untuk dijelaskan latar belakang keterlibatan dan proses yang gerakan petani transnasional tersebut sedang jalani.
Salah satu cara pandang yang mengemukan dalam menjelaskan adanya relasi baru dalam gerakan petani ialah pandangan yang melihat bahwa terjadi perubahan karakter
perlawanan petani terhadap situasi ekonomi politik yang melingkupi mereka. Pertarungan kekuasaan yang terjadi di pedesaam telah berlangsung dalam rentang
waktu yang lama. Ekspansi modal dan praktik kapitalisme ke dalam kehidupan
masyarakat pedesaan telah merubah tatanan sosial-ekonomi di desa. Terjadi perubahan corak konflik menuju bentuk yang baru, tuan tanah klasik sebagai musuh petani kecil,
digantikan oleh perusahaan-perusahaan pemilik modal yang berasal dari luar desa.
Petani dilepaskan hubungannya dari kepemilikan tanah, dan bergeser menjadi buruh
tani, petani tak bertanah atau menjadi buruh industri. Perubahan bentuk eksploitasi
tersebut berakibat pada perubahan karakteristik konflik serta bentuk-bentuk
resistensi yang terjadi di pedesaan. Sehingga bentuk-bentuk umum tindakan kolektif yang menjadi dasar lahirnya gerakan petani turut berubah.
Cara pandang yang sama dalam kerangka memahami karakter-karakter gerakan
petani dalam konteks kekinian diungkapkan oleh James Petras. Ia memberikan analisis menarik dalam memahami karakter gerakan petani di masa kapitalisme 9
neoliberal, yang menuliskan bahwa :
“Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang terdahulu, yang tidak juga cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak kemana-mana, buta huruf dan tradisional yang berjuang demi ‘tanah untuk penggarap’. Gerakan-gerakan petani baru mempunyai suatu agenda nasional, mereka tidak hanya peduli dengan masalah pedesaan. Lebih khusus lagi, mereka menyadari bahwa kebijakan-kebijakan distribusi tanah hanya dapat berhasil bila disertai kredit, asistensi teknis dan perlindungan pasar. Mereka paham bahwa kerjasamakerjasama politik dengan kelas-kelas dan organisasi perkotaan perlu untuk mentransformasikan rezim yang berkuasa. Gerakan ini tidak sesederhana ‘organisasi-organisasi ekonomi’. Mereka adalah gerakan-gerakan sosio politik, yang berjuang melawan kebijakan-kebijakan privatisasi, deregulasi dan promosi ekspor yang merupakan agenda pasar bebas. Gerakan-gerakan pedesaan terus membentuk kerjasama-kerjasama politik dengan serikat- serikat buruh dan menyokong organisasi para kaum miskin di kawasan kumuh kota”.18
Perubahan gerakan rakyat pedesaan telah menjadi gejala global. meski para petani
tetap mengahadapi musuh mereka di arena lokalnya masing-masing akan tetapi aksi
kolektif dan para pelaku utama dan pendukungnya telah sampai melintasi batas-batas lokalitas. Berbagai gerakan rakyat bersama-sama menantang eksploitasi di tingkat lokal dan secara terbuka menentang neoliberalisme sembari membangun solidaritas dan aksi kolektif di tingkat global. Menengok keterlibatan sejumlah organisasi gerakan tani dan
reforma agraria di beberapa negara Amerika Latin, misalnya. Melalui hubunganhubungan dan pembangunan aliansi politik dengan sejumlah gerakan tani dan reforma agraria dan kelompok kelompok politik kiri di Eropa, justru mereka yang turut serta
untuk menggagas pembentukan gerakan petani bernama via campesina. Dengan sendirinya, sejak awal, agenda mendorong munculnya pusaran gerakan tani
transnasional merupakan bagian dari agenda perjuangan kelompok-kelompok petani tersebut. Agenda ini, mengutip pernyataan Joao Stedile, seorang tokoh penting dalam
Gerakan Rakyat Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra, MST) dari Brazil, merupakan konsekuensi logis dari kesadaran yang tumbuh di dalam
18
Noer Fauzi Rachman, 2005, Memahami Gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta: Insist Press, hal. 194
10
organisasi gerakan tani di sana terhadap watak dan dari perkembangan gerak kapital itu sendiri yang bersifat internasional dan tak mengenal batas-batas negara.19 1.2. Batasan dan Rumusan Masalah
Keberadaan gerakan petani transnasional dan keterlibatan gerakan petani lokal Indonesia dalam politik agraria transnasional serta proses pembentukan gerakan
kolektif dalam menanggapi isu dan masalah petani global yang sama menjadi satu
kajian menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian ini mengambil studi kasus afiliasi AGRA yang menjadi induk organisasi tani lokal di Indonesia dengan APC sebagai
organisasi tani transnasional yang mengusung kampanye global Anti Perampasan Tanah
sebagai respon terhadap isu perampasan tanah yang terjadi di Indonesia
terutama terkait konflik-konflik perampasan tanah yang terjadi di tingkatan lokal dan melahirkan resistensi dari masyarakat petani tersebut.
Berangkat dari paparan latar belakang diatas, penulis mencoba merumuskan pertanyaa penelitian sebagai berikut; Bagaimana gerakan petani transnasional mempengaruhi perlawanan gerakan petani lokal di Indonesia? 1.3. Tinjauan Pustaka Studi tentang gerakan petani sebagai aktor perubahan sosial yang membentuk perlawanan atas segala bentuk penindasan bukanlah studi yang baru. Ada banyak
penelitian yang berkaitan dengan petani dan perlawanan petani yang telah dilakukan sebelumnya baik dari segi antropologis, sosiologis maupun dari perspektif sejarahnya.
Penulis mencoba merangkum hasil studi tersebut dalam dua kelompok tradisi perspektif studi petani terutama terkait gerakan petani. Pertama yakni perspektif klasik yang melihat gerakan petani sebagai gerakan sektoral yang berkaitan dengan karakter
subsistensi masyarakat petani dan lebih memfokuskan pada mekanisme bentuk perlawanan dan upaya yang hendak dicapai oleh gerakan petani tersebut. Hal ini
ditandai dengan pola perlawanan dan jejaring organisasi yang masih bersifat sektoral 19
Dianto Bachriadi, 2005,Op. cit. Hal. xxix
11
dalam hal ini sector tani dan berskala nasional. Perspektif kedua ialah yang melihat gerakan petani sebagai gerakan yang telah meleburkan diri dalam perjuangan di
berbagai sector serupa gerakan buruh, gerakan lingkungan dan gerakan kaum miskin
kota yang saling berhubungan dengan gerakan politik lainnya serta telah mengaitkan diri pada gerakan yang berskala internasional. Poses keterlibatan gerakan petani lokal
dan nasional dalam perjuangan gerakan petani transnasional adalah dampak nyata
kontradiksi petani yang tidak lagi bersifat sektoral atau berskala lokal ataupun nasional tetapi mulai melihat proses penetrasi kapital internasional serta ancaman transnasional
lainnnya yang mengancam gerakan petani di berbagai tempat sehingga membutuhkan
sebuah konslidasi global sebagaimana yang ditunjukkan oleh gerakan petani lokal yang bergabung bersama gerakan petani global di seluruh dunia.
Terkait cara pandang pertama tersebut dalam melihat gerakan petani Indonesia,
penting bagi penulis untuk memaparkan berbagai karya yang menjelaskan pembagian
karakter tersebut. Isu petani (peasant) dan gerakannya menjadi topik yang menarik bagi penstudi sosial, khusunya yang mencuat pasca Perang Dunia Kedua didorong oleh posisi dan peran petani yang melibatkan diri dalam proses pemberontakan dan revoulsi
sosial. Petani seringkali di-stereotipe-kan sebagai kelompok masyarakat yang primitif
dan tidak punya kekuatan untuk mengubah nasib kemiskinannya.20 Karya klasik yang menunjukkan penindasan terhadap petani dan perlawanannya adalah Eric Wolf yang
berjudul Peasant War in Twentieth Century (1969)21. Penelitian Wolf merupakan gambaran atas perlawanan gerakan petani yang mengalami ketertindasan oleh golongan tertentu di pedesaan melalui pemberontakan di berbagai tempat di negara dunia ketiga sebagai negara dengan efek kolonialisme dan eksploitasi yang kental.
Pemberontakan petani abad kedua puluh tidak hanya merespon masalah lokal akan
tetapi pemberontakan tersebut merupakan reaksi yang langsung pada keguncangan
sosial demi perubahan sosial yang lebih luas lagi. Wolf melihat penyebaran kapitalisme dari Atlantik Utara sebagai pemaksaan ekonomi pasar pada masyarakat pra-kapitalis. Lihat Henry A. Landsberber dan Yu G. Alexander, 1984, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta: YIIS 21 Eric R. Wolf, 2004, Perang Petani (terj), Yogyakarta; Insist Press 20
12
Dalam kesimpulan Wolf berpendapat bahwa ekspansi kapitalisme dalam skala besar
telah merusak bentuk-bentuk kehidupan sosial yang tradisional dan mekanisme sosial
yang melindungi kaum petani. Efeknya kemunculan gerakan pemberontakan petani adalah serangkaian reaksi defensif yang menyatu menjadi gerakan politik yang lebih
luas berdasarkan para kelompok petani yang terpinggirkan. Gerakan ini pada dasarnya
telah membangun pondasi peleburan organisasi yang beragam kepentingan meskipun masih cenderung sektoral yaitu masih terbatas pada persoalan masyarakat agraria itu sendiri.
Beberapa rujukan penelitian yang dapat ditelusuri mengenai gerakan sosial petani coba dipetakan oleh Noer Fauzi dalam kelompok pestudi gerakan petani yang memiliki
pandangan klasik dalam memahami terbukanya ruang perlawanan masyarakat petani
pada konteks makro structural diantaranya adalah Barrington Moore (1966) yang cenderung Weberian, Eric R. Wolf (1969) dan Jaime Paige (1975) yang dikenal sebagai penstudi agraria Marxian, Joel Migdal (1974), , James Scott (1976) dengan perspektif
ekonomi moral petani-nya serta Samuel L. Popkin (1979) yang dipandang cenderung minimalis atau terkesan sempit dalam melihat studi agraria22.
Diantara teoritisi tersebut, studi klasik yang paling menonjol dalam beberapa dekade
adalah studi yang diajukan oleh James Scott dan Popkin. Scott dengan pendekatan
moral ekonomi petani-nya memandang bahwa pola gerakan perlawanan petani Asia sebagai perlawanan petani yang lemah dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Menurut Scott, tujuan sebagian besar perlawanan petani bukanlah bertujuan mengubah sistem dominasi sosial secara langsung, melainkan lebih dimaksudkan sebagai upayan
untuk tetap bertahan hidup dalam sistem itu. Pendekatan moral ekonomi petani atau
dikenal dengan pendekatan Scottian berasumsi bahwa gerakan perlawanan petani semata-mata didasari oleh moralitas tradisional yang berorientasi ke masa lalu dan
masa kini saja, sehingga ketika terjadi perubahan yang tidak sesuai atau dirasakan akan Noer Fauzi, Op. Cit. Hal 16-19; lihat pula Mustamin, 2007, Petani vs Negara; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta; Ar Ruzz Media,. 22
13
mengancam kelangsungan kehidupan yang telah mereka miliki, para petani kemudian mengadakan perlawanan terbuka23.
Pendekatan kedua adalah pendekatan rasionalitas petani yang dipelopori oleh Samuel L. Popkin dikenal sebagai pandangan yang banyak melakukan kritik terhadap
pandangan moral ekonomi-nya James Scott. Popkin memandang bahwa gerakan perlawanan petani lebih karena faktor determinan individu, bukannya kelompok. Bagi
Popkin, campur tangan organisasi politik di luar petani merupakan pendorong timbulnya kesadaran petani untuk terlibat dalam gerakan sosial. Popkin memandang bahwa faktor yang berperan dalam perubahan sosial di desa bukanlah bersifat
komunitas warga desa, melainkan pribadi-pribadi petani itu sendiri yang dimotivasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukannya kelompok. Dari hasil penelitian Popkin di Vietnam, ia menemukan bahwa gerakan petani pada dasarnya bersifat
kompromi. Menurutnya, gerakan petani memiliki sifat, pertama, gerakan yang dilakukan para petani adalah gerakan anti feodal, bukan gerakan untuk mengembalikan
tradisi lama (restorasi), tetapi untuk membangun tradisi yang baru; bukan untuk menghancurkan ekonomi pasar, tapi untuk mengontrol kapitalisme. Kedua, dalam gerakan petani, tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsistensi
dan tindakan kolektif, dan ketiga, kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas. Dengan kata lain, ada perbedaan yang jelas antara rasionalitas individu dan rasionalitas kelompok.24
Kesemua pemikir tersebut melihat gerakan petani sebagai bentuk resistensi terhadap kondisi yang ada dengan berbagai latar belakang kepentingan sehingga melahirkan aksi
protes dengan menekankan perlawanan pada ekspansi kapitalisme barat yang
imprealistik dan merosotnya hubungan patron client dalam struktur masyarakat dan negara sebagai promotor pokok gerakan petani. Perlawanan yang dibangun bersifat
ideologis sektoral yakni berdasarkan kepentingan moral petani atau kepentingan James C. Scott, Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES, 1989, hal. 24-35 24 Samuel L. Popkin, 1975, The Rational Peasant : The Political Economy of Rural Society in Vietnam, Berkeley : Univ. Of California Press, sebagaimana dikutip oleh Mustain. Op.Cit, hal 33-35. 23
14
ekonomi politik pada skala lokal yang nantinya akan menuntun mode perlawanan mereka. Hal ini mengemukakan konteks dan arus besar yang melingkupi pemahaman bahwa setiap gerakan rakyat di pedesaan selalu ada perubahan kemasyarakatan yang lebih luas yang melingkupinya.
Berbagai karya pemikir diatas mampu menjelsakan konteks petani dan gerakan petani secara historis dan sosial ekonomi tetapi belum mampu memberikan penjelasan terkait
fenomena gerakan petani transnasional yang sedang berkembang saat ini. Pandangan
klasik tersebut juga tidak dapat dipertahankan lagi mengingat gerakan-gerakan rakyat pedesaan sekarang ini telah menjadi gejala global menghadapi kontradiksi yang
melampaui batas-batas lokalitas. Selain itu, karakter perlawaan yang mulai terbangun
di berbagai gerakan petani di Indonesia telah meninggalkan corak perlawanan tersamar ala Scoot ataupun corak perlawanan Popkin dengan semakin menguatnya posisi
organisasi tani dalam mednorong perlawanan. Lebih lanjut penulis akan mengajukan
beberapa tulisan yang terkait dengan gerakan petani transnasonal tersebut sebagai upaya untuk memberikan gambaran proses gerakan petani transnasional dari segi
konseptualisasinya dan relasi yang terbangun antar kelompok gerakan petani pada skala global.
Karya lain yang menjadi rujukan penting dalam kebangkitan geakan petani
transnasional ialah Transnational Agrarian Movement Confronting Globalization (2008). Salah satu tulisan yang memfokuskan pada aktivitas petani transnasional diajukan oleh
Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Cristobal Kay yang berjudul Transnational Agrarian Movements; Origin and Politics, Campaigns and Impact. 25
Tulisan ini
memberikan penjelasan konseptual yang mencoba memaparkan sejarah kemunculan gerakan petani atau agraria transnasional sebagai gerakan politik. Mereka berfokus
pada perubahan yang terjadi dalam ekonomi politik global yang terkena dampak otonomi pada kapasitas masyarakat pedesaan yang heterogen, termasuk pemilik petani
Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Cristobal Kay, Transnational Agrarian Movements; Origin and Politics, Campaigns and Impact dalam Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Cristobal Kay (ed), 2008, Transnational Agrarian Movements Confronting Globalization, New York; Blackwell Publishing 25
15
kecil, petani penggarap, buruh pedesaan, buruh migran, belayan, pekerja ikan, penduduk yang tinggal di hutan, masyarakat adat, dan petani perempuan.
Tulisan ini dimulai dari sejarah kemunculan orgnisasi gerakan agrarian yang sarat akan
kepentingan politik dan pertarungan ideologis. Pembentukan aliansi transnasional
antara petani dan organisasi petani kecil dimuali sekitar akhir 1980-an tetapi akar pembentukannnya telah ada sejak abad kesembilan belas akhir dan awal abad dua puluh. Pada tulisan ini digambarkan bahwa organisasi petani transnasional awal
dibentuk oleh solidaritas gerakan agrarian populis, kelompok komunis di Eropa, elite reformis, kelompok pasifisme atau gerakan perdamaian dan kaum feminis. Gerakan
petani transnasional sangat bercorak politik dan saling bertarung, semisal rivalitas The Red Peasant International yang berbasis di Moscow dengan The Green International yang berbasis Eropa Barat.
Menurut Borras dkk, gerakan agraria transnasional adalah proyek politik dengan
sejarah yang berakar dalam masyarakat nasional yang beragam dengan bentuk
representasi yang sangat kompleks. Berawal dari dampak neoliberalisme yang secara signifikan mengubah dinamika produksi agrarian dan hubungan pertukaran dalam dan
di antara negara-negara di pembagian utara-selatan melahirkan proses simultan globalisasi ‘dari atas’ desentralisasi parsial ‘dari bawah’ dan privatisasi dari sisi pemerintah pusat yang digunakan untuk memainkan peran kunci dalam pemeliharan atau pengembangan sistem agraria.
Meskipun tulisan Borras dkk merupakan tulisan yang cukup komprehensif dalam
melihat dan menjelaskan sejarah gerakan petani transnasional serta bagaimana relasi organisasi lokal yang menyusun solidaritas akan tetapi belum sampai pada penjelasan dalam melihat gerakan petani transnasionalisme beroperasi dan mempengaruhi
perluasan isu dan mode gerakan petani lokal dalam agenda global untuk meraih citacita gerakan petani. Melanjutkan studi-studi tentang gerakan petani transnasional sebagai mana yang disebutkan diatas dan lebih lanjut bagaimana relasinya terhadap
gerakan petani di Indonesia, maka penulis mengambil topik penelitian yang berfokus pada upaya melihat dan mengalisa proses aktivitas lintas batas gerakan petani dan
16
pengaruh organisasi transnasional tersebut terhadap gerakan petani di Indonesia,
terfokus pada aksi kolektif yang dibangun oleh AGRA dan APC dlam isu perampasan tanah global di Indonesia. Pada sisi ini, penulis melihat pentingnya penelitian ini untuk
memberikan gambaran mekanisme dan kerangka kerja gerakan petani transnasional berkerja dan berinteraksi dengan gerakan petani lokal di Indonesia. 1.4. Kerangka Konseptual
Untuk menjawab pertanyaan pada penelitian ini, dibutuhkan kerangka konseptual yang mampu menjelaskan bagaimana gerakan petani transnasional menyebarkan gagasan
dan solidaritas tentang perlawanan terhadap gerakan petani lokal di sebuah negara di
seluruh dunia. Konsep pertama yang digunakan ialah Transnational Activism untuk menjelaskan mekanisme dan proses perluasan aktivitas gerakan petani transnasional di
Indonesia. Konsep kedua yakni framing dalam Identitas Kolektif yang diperlukan untuk menjelaskan upaya pembentukan solidaritas melalui penyusunan identitas kolektif serta genda bersama guna mempertahankan perlawanan bersama. 1.2.1. Transnational Activism
Konsepsi Transnational Activism dalam gerakan petani transnasional diperlukan untuk menjelaskan mekanisme dan proses transformasi gagasan dan aksi kolektif dalam
tubuh gerakan petani transnasional di Indonesia. Konsepsi Transnational Activism dominan diajukan oleh Sidney Tarrow dalam bukunya The New Transnational Activism (2005) yang secara deskriktif menjelaskan proses transformasi posisi dalam ide dan
gerakan lintas batas dan berakar pada lokalitas. Tarrow menjelaskan Transnational Activism sebagai agenda transformatif yang akan mengubah aktor dalam protes
domestik menjadi pelaku gerakan transnasional dengan tetap mengakar pada konteksnya sejarah dan kultur gerakan lintas batasmya. Transformasi ini bisa menjadi perantara dalam gerakan sosial pada level global menuju satu identitas antara banyak identitas lokal, nasional, dan transnasional26. 26
Sidney Tarrow, 2005. The New Transnational Activism. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 2-3
17
Tarrow memaparkan bahwa individu atau intentitas sosial sebagai aktor transnasional dalam melakukan aktivitasnya didukung dan dibatasi oleh jaringan domestik atau
gerakan lokalnya. Dalam menyusun aksi gerakan transnasional, para aktivis gerakan akan melibatkan diri dalam proses transformasi gerakan sebagai perantara gerakan domestiknya dengan situasi politik internasional, dan ketika mereka kembali ke basis
gerakan lokal, mereka akan membawa bentuk aksi dan cara baru dalam membingkai
isu-isu domestik yang nantinya akan menjadi identitas kolektif yang baru guna bergabung dalam gerakan transnasional yang lebih besar. Proses ini ditujukkan oleh
gerakan petani nasional AGRA yang beraliansi dengan gerakan petani yang lebih luas lagi yaitu APC dalam memperjuangan isu petani di tingkatan nasional dan internasional.
Perkembangan terminologi Transnationla Activism merupakan gabungan mekanisme
yang diistilahkan oleh Tarrow sebagai “diffusion of movement across borders” yang pada awal perkembangnnya lebih bercorak aktivitas spiritual dan gerakan sosial yang bersifat pembebasasn masyarakat semisal kemunculan gerakan anti perbudakan dan
gerakan nirkekerasan Gandhian, serta melalui fase “international mobilization” dan proses adaptasi bentuk dan pembingkaian aksi kolektif yang diistilahkan dengan
“modularity”. Tarrow menarik jauh konseptualisasi Transnational Activism sebagai gelombang baru yang melibatkan spektrum yang lebih luas, melibatkan masyarakat luas dan kelompok elit hingga meluas dan menjadi perhatian masyarakat domestik dan
internasional. Tujuannya adalah untuk membangun korelasi aktivitas transnasional dalam arus globalisasi dengan perubahan struktur politik internasional.
Konsisten pada tulisan sebelumnya, Sidney Tarrow bersama Donatella Della Porta
mencoba menjelaskan aksi kolektif transnasional lebih mendalam. Della Porta dan
Tarrow dalam tulisannya Transnational Procesess and Social Activism; an Introduction (2005) melihat bahwa saat ini adalah era dimana koalisi transnasional berjalan pesat melampaui relasi antar negara, hal ini dipengaruhi oleh tiga pola perubahan dalam
interkasi global yang dibagi ke dalam tiga tipe yaitu Enviromental Change, Cognitive Change, dan Relational Change. Pertama, Enviromental Change atau perubahan pada konstalasi internasional yang memungkinkan akses dan ruang politik internasional
18
terbuka lebar terhadap perubahan sosial. Pada tataran ini, Della Porta dan Tarrow memaparkan tiga perubahan pada level internasional yang menjadi penanda dalam
perubahan kontalsasi internasional yaitu, pertama, pasca Perang Dingin, politik global
tidak lagi terpusat pada pertarungan ideologis dan mulai memunculkan antor non negara semisal gerakan sosial. Kedua, dukungan kemajuan teknologi dan pola
komunikasi untuk menyatukan gagasan lintas batas. Ketiga, meningkatnya peranan
aktor hubungan internasioanl yang menguatkan dan memberi ruang bagi perusahaan atau institusi transnasional, pada sisi pula, ancaman terhadap lokal menjadi tampak dengan pentrasi kapital internasional melalui mekasnisme globalisasi.27
Ketiga perubahan pada tatatan internasional tersebut, meskipun menjadi penting tetapi
dianggap belum cukup untuk menjelaskan proses transnasionalisasi protes sosial,
Faktor perubahan selanjutnya dijelaskan melalui cognitive change, yakni konteks dimana gerakan sosial dan aktivis meyakini diri sebagai aktor reflektif untuk
mengembangkan serangkaian aksi gerakan dari proses pembelajaran terhadap situasi domestik dan global. Akibatnya, pengalaman aksi tranasional mereka dianalisa lebih
luas sehingga memunculkan taktik dan pembingkaian gagasan dan identitas kolektif yang terlembagakan.
Terakhir, factor pendorong perubahan dalam aktivitas trannasioanl ialah adanya
relational change, yakni kemungkinan berkembangnya gerakan melalui proses identifikasi target besama, yakni sebuah upaya pembangunan gerakan dengan
mengedepankan aspek hubungan antar actor baik melalui kerjasama maupun interaksi lainnya dalam menentukan formulasi baru dalam gerakan. Factor inilah yang dominan
dianggap mampu menjelaskan aktivitas gerakan petani transnasional di Indonesia
yakni melalui upaya pembentukan relasi dan solidaritas diantara gerakan lokal baik melalui penyebaran isu perlawanan bersama ataupun melalui pertemuan formal yang diagendakan bersama.
Donatella Della Porta dan Sindey Tarrow, Transnational Procesess and Social Activism; An Introduction, dalam Donatella Della Porta dan Sindney Tarrow (ed), 2005, Transnational Protest and Global Activism, New York; Rowman & Littlefield Publisher, Inc 27
19
Selain itu, Della Porta dan Tarrow menjelaskan bahwa proses aktivitas transnasional
atau pola terbentuknya sebuah aktivitas transnasional yang berbentuk protes maupun
gerakan yang lebih luas dapat dibedakan menjadi tiga model. Pertama, model diffusion atau penyebaran, upaya pembangunan gerakan dengan tidak mewajibkan adanya
aliansi melainkan dengan upaya menyatukan isu, metode, dan agenda advokasi yang diusung. Model ini mengandalkan pola komunikasi yang bersifat cair antar gerakan di
berbagai tempat guna membentuk solidaritas dengan memanfaatkan mediasi informasi
dan adaptasi atau framing tindakan kolektif karena kesamaan kondisi yang sedang di hadapi. Misalnya. model ini dapat dijumpai pada kemunculan gerakan disuatu negara yang memiliki isu, metode, dan target yang hendak dicapai sama dengan gerakan lain di negara berbeda meskipun kedua gerakan ini tidak dalam suatu aliansi transnasioanal.
Kedua, model Internalisasi, proses ini menjelaskan proses aktivitas politik dalam membentuk isu global melalui gerakan sosial disuatu tempat dengan memobilisasi
kekuatan sumber daya atau massa aksi dalam lingkup domestik. Hal ini dilakukan untuk melakukan penetrasi politik kepada pemerintah yang dianggap bertanggung jawab atas kebijakan yang dianggap timpang. Isu transnasional yang diusung, oleh gerakan ini lebih diupayakan untuk mengajukan gugatan pada level domestic, hal ini dilakukan kerena negara dianggap memiliki legitimasi atas suatu kebijakan global dan harus
didorong untuk bisa menjadi bagian dari gerakan sosial yang ada. Meskipun pada
perjalanannya, model ini tetap menjalankan politik transnasionalnya melalui pola komunikasi gerakan.
Ketiga, model Eksternalisasi, proses ini mengacu pada propaganda informasi dan upaya
negosiasi di tingkatan nasional dan internasional dengan tujuan untuk menyokong aliansi gerakan sosial global. Pada model ini, gerakan sosial dan aktivis organisasi
berfokus kepada lembaga-lembaga internasional untuk mobilisasi sumber daya yang dapat digunakan di tingkat global. Sebuah gerakan domestic akan menjadi bagian dari
gerakan protes transnasional dengan melibatkan diri pada isu-isu bersama ditingkan global, hal ini kerap dilakukan oleh organisasi nonpemerintah. Pada model inilah,
gerakan petani melakukan aktivitasnya yakni dengan melakukan proses pelibatan diri 20
secara organisasional dan membawa isu yang disusung global pada level nasional
sehingga memungkinkan melahirkan sutu gerakn yang luas. Keterlibatan gerakan petani lokal di Indonesia secara organisasional dengan gerakan transnasional yang
melahirkan afiliasi global semisal relasi AGRA yang merupakan anggota aktif Asian Peasant Coalition adalah fenomena penting dalam penelitian ini.
Ketiga model tersebut merupakan gambaran yang hendak diajukan oleh Tarrow dan Della Porta atas fenomena dan model pembentukan gerakan protes transnasional yang
sedang berkembang saat ini. Ketiganya pada dasarnya memiliki kekuatan tersendiri dan ketiganya dapat kita jumpai pada gerakan sosial yang sedang mencuat saat ini. Terlepas
dari perspektif atau ideologi apa yang diajukan diajukan oleh setiap gerakan sosial,
ketiga model ini adalah fase awal dalam melihat dan memhamai gerakan sosial terutama gerakan petani transnasional di Indonesia.
Della Porta dan Tarrow menawarkan model yang menarik dan relatif sederhana untuk
memahami munculnya, dan menjelaskan dinamika dan perkembangan aktivitas
transnasional dalam menjalanakn agenda bersama yang terdiri dari tiga variable. Ketiga variabel tersebut adalah kompleksitas internasionalisasi, struktur peluang yang
dihasilkan, dan pembentukan strata baru aktivis. Ketiga hal tersebut dijelaskan sebagai
berikut (1) Kompleksitas Internasional didefinisikan sebagai perluasan organisasi atau gerakan transnasional atau rezim internasional dan sebagai bentuk proses transformasi
sumber daya aktor gerakan lokal dan nasional ke tahap internasional yang nantinya
akan memberikan analiasa peluang dan hambatan mobilisasi sumber daya untuk gerakan sosial transnasional, dan secara khusus kepada masyarakat akar rumput gerakan petani. (2) Struktur Peluang, fase ini hendak menjelaskan bahwa kompleksitas
konteks internasional menawarkan sumber daya dan peluang bagi aktor gerakan untuk menantang elit dan untuk berkolaborasi dengan actor lain. (3) Rooted Cosmpolitans adalah terminolgi yang dapat dikatakan sebagai sebuah strata baru dalam gerakan
sosial yang terlibat dalam gerakan transnasional. Terminologi ini digunakan oleh Sidney Tarrow untuk mengambarkan aktor gerakan yang lahir dan berkembang pada konteks nasional kemudian terlibat dalam aktivitas transnasional dalam jaringan transnasional.
21
Konseptualisasi aktifitas transnasional ini akan memberikan gambaran mekanisme dan dinamika yang akan ditemui oleh gerakan petani transnasional di Indonesia. Aktivitas
yang dibangun lintas batas oleh gerakan petani pada akhirnya akan terus berkembang
dengan membangun isu dan memperkuat identias kolektif yang mereka miliki. Pada sisi ini, penelitian ini akan menggunakan konspesi ini untuk menjelaskan bagaimana sebuah gerakan transnasional hadir dan beroperasi di suatu negara dan melihat proses
masuknya gagasan kolektif yang didorong oleh gerakan petani untuk membentuk perlwanan petani transnasional yang lebih kuat dan lebih luas lagi di Indonesia. 1.4.2. Pembingkaian Identitas Kolektif
Selain menghadirkan gagasan dan perluasan isu perlawanan petani melalui aktivitas
transnasional, gerakan petani transnasional dan gerakan petani lokal di Indonesia juga dituntut untuk dapat mempertahankan dan menjaga solidaritas sebagai modal perlawanan bersama. Dalam suatu gerakan sosial, persoalan identifikasi diri yang
kemudian akan berimplikasi pada soal keterwakilan adalah hal penting. Untuk
menganalisa bagaimana gerakan petani transnasional dan gerakan petani lokal bertahan dan mengembangkan solidaritas melalui proses pembentukan agenda
bersama dan upaya mengenali musuh bersama maka akan digunakan konsep framing dalam identitas kolektif.
Gerakan petani transnasional sebagai bagian dari gerakan sosial tidak dapat dilepaskan
dari elemen yang menyusunnya. Gerakan sosial terdiri atas individu-individu, bahkan sangat jauh dari sekadar kumpulan individu, yang memiliki tujuan dan identitas kolektif
yang sama, yang secara bersama-sama terlibat dalam aksi kolektif yang bertujuan untuk mengubah kondisi yang telah ada28. Kebutuhan atas identitas kolektif mewajibkan sebuah gerakan petani transnasional untuk bisa membingkai isu dan gagasan perlawanan bersama dengan petani lokal lainnya di seluruh dunia melalui proses
pembingkaian sehingga keyakinan kolektif akan terbentuk dan ditransformasikan melalui interaksi antarindividu secara organisasional. 28
Bert Klandermans, op. cit, hal xiv- xix
22
Fenomena massifnya kemunculan gerakan petani tarnsnasional di era globalisasi menjadi lebih luas, terbuka, dan massal coba dijelaskan oleh McAdam, Tarrow dan Tilly
di bukunya Dynamics of Contention. McAdam dkk menyatakan bahwa gerakan sosial
kondusif terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan transisi menuju perubahan sosial. Pada situasi transisional seperti itu akan menyebabkan semakin
terbukanya kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi struktur-struktur sosial dan budayayang ada sehingga memungkinkan dilakukannya komunikasi, kordinasi, dan
komitmen di antara para actor sehingga pada gilirannya menghasilkan kesamaan pengertian (persepsi dan definisi tentang situasi) yang memunculkan kesadaran bersama tentang apa yang sedang terjadi.29
David A. Snow, Robert D. Benford dan Scott A. Hunt dalam tulisan mereka Identity Fields; Framing Processes and the Social Contruction of Movement Identities
mendefenisikan frame sebagai; “interpretive schemata that simplies and condenses the
“world out there” by selectively punctuating and encoding objects, situation s, events, experiences and sequences of actions within one’s present or past enviorment”. Dalam konteks gerakan sosial, pembingkain identitas kolektif tidak hanya fokus atau
menekankan "realitas" tetapi mereka juga berfungsi sebagai mode persebaran ide.
Pembingkian identitas kolektif menjadi syarat untuk membentuk identitas kolektif
dengan memusatkan perhatian pada situasi tertentu yang dianggap bermasalah, membuat labelisasi mengenai siapa atau apa yang dianggap bermasalah, dan
mengartikulasikan serangkaian agenda alternatif, termasuk apa yang harus dilakukan
untuk mencapai perubahan yang diinginkan30. Dalam konteks ini, proses framing dapat dipahami sebagai strategi retorika untuk mempengaruhi keselarasan kolektif dan identitas petani dan kolektifnya sebagai hasil dari interaksi dialektis.
Framing akan menuntun gerakan untuk mengenali medan dan sumber daya guna memobilisasi gerakan yang lebih besar. Proses identifikasi sumber daya dan actor
McAdam, Tarrow dan Tilly, 2001, Dynamics of Contention, dalam Mustamin, 2007, Petani vs Negara; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta; Ar Ruzz Media, Hal. 28 30 David A. Snow, Robert D. Benford dan Scott A. Hunt, Identity Fields; Framing Processes and the Social Contruction of Movement Identities, dalam Enrique Laraña, Hank Johnston dan Joseph R. Gusfield, eds, 1994, New Social Movement; From Ideology to Identity, Philadelphia; Temple Univ. Press, hal. 190 29
23
dalam gerakan ini dibagi atas tiga kelompok. Pertama, Protagonist Identity yang berkaitan dengan identitas individu dan kolektif yang dibangun oleh gerakan petani
transnasional di Indonesia untuk menjadi pendukung berkembangnya gerakan. Ini
termasuk klaim identitas kolektif tentang "gerakan" dan sekutu agregasi dan organisasi
yang sepaham dan segaris perjuangan atas isu yang diusung. Kedua, Antagonist Identity berkaitan tentang identitas individu dan kolektif gerakan petani yang diperhitungkan
menjadi lawan gerakan atau hambatan dalam membangun gerakan petani
transnasional yang lebih kuat. Ini termasuk klaim tentang countermovements, organisasi
gerakan lawan, lembaga musuh, serta agen kontrol sosial. Ketiga, Audience Identity berkaitan tentang identitas individu dan kolektif yang diperhitungkan menjadi
pengamat netral atau uncommitted yang mungkin bereaksi terhadap kegiatan gerakan.31
Robert Benford dan David Snow dalam tulisan mereka Framing Process and Social Movement; An Overview and Assessment memaparkan tiga model proses pembingkaian
yaitu diagnostic framing, prognostic framing, dan motivational framing. 32 Proses pembingkain diagnostic merujuk pada usaha gerakan sosial dalam hal ini gerakan
petani transnasional memaparkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami oleh para
petanni di seluruh dunia. Proses ini sering kali dimanknai sebagai cara untuk mengidentifikasi “korban” yang disebabkan oleh ketidakadilan, menjelaskan bentuk pengorbanan yang dialami oleh petani dan bagaimana sebuah kondisi timpang
berdampak terhadap kehidupan petani dan gerakannya yang nantinya akan menuntun penelitian ini mengambarkan idnetifikasi yang dilakukan oleh gerakan petani dan siapa lawan mereka.
Merujuk kepada proses pembingkian prognostic dimaknai sebagai bentuk gerakan
petani untuk mengartikulasikan usulan-usulan atau solusi yang tawarkan oleh gerakan petani terhadap permasalahan yang kemudian disusun sebagai agenda aksi bersama
yang harus tetap konsisten. Proses ini akan digunakan untuk menganalisa bagaimana David A. Snow. Ibid. Hal 192-201 Robert D. Benford dan David A. Snow, Framing Process and Social Movement; An Overview and Assessment, Annual Review of Sociology, vol 26, 2000, pp 611-639 31 32
24
gerakan petani transnasional berupa kebijakan pertanian yang tidak memihak petani semisal impor pangan yang nilai jaulanya lebih murah ketimbang produk nasional
sehingga menentukan pemerintah dan segala bentuk kebijakan pertanian yang bercorak liberal dan demi kepentingan indutrsi pangan global yang bertanggung jawab
atas ketimpangan yang dialami oleh petani sekaligus menentukan sikap yang harus dilakukan untuk mengubah keadaan tersebut.
Terakhir, pembingkaian motivation component adalah proses final dari tugas
pembingkaian, yaitu menyediakan dasar rasional keterlibatan dalam aksi kolektif yang nantinya akan melahirkan component penting dalam gerakan yakni “agen”, yaitu pihak yang terlibat sebagai bagian dari aksi pembingkaian kolektif. Agen dalam gerakan petani adalah organisasi yang terlibat dalam agenda perlawanan bersama baik oleh
kelompok petani itu sendiri ataupun kelompok diluar petani akan tetapi merasakan kondisi timpang yang sama semisal aum buruh dan masyarakat miskin kota yang sering kali menjadi bagian aksi gerakan petani transnasional di Indonesia. 1.5. Argument Utama
Menyebarnya isu perlawanan dan meningkatnya aksi protes gerakan petani lokal pada berbagai level merupakan dampak hadirnya gerakan petani transnasional di Indonesia.
Hal tersebut dijalankan melalui dua cara yaitu, pertama, melalui kemampuan memobilisasi isu lokal dengan membentuk satu kampanye yang bersifat global guna satu solidaritas internasional. Solidaritas ini yang kemudian memberikan tekanan
politik terhadap pengambil kebijakan di aras nasional dan internasional. Kedua gerakan petani transnasional membuka ruang bersama melalui penyusunan satu agenda bersama yang mempertemukan gerakan petani lokal dari berbagai negara sebagai upaya penguatan identitas kolektif gerakan petani lokal dan transnasional di Indonesia. 1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, terutama dalam upaya membuat deskripsi mendalam tentang pengaruh gerakan petani trasnnasional terhadap
25
petani atau organisasi tani lokal di Indonesia. Teknik-teknik yang digunakan dalam mengimplemtasikan metode pendekatan tersebut adalah sebagai berikut. 1.6.1 Teknik Pengunmpulan Data
Data-data yang dibutukan dalam penelitian ini diperoleh melalui dua cara, yakni: a. Wawancara
Wawancara secara mendalam (deep interview) dilakukan untuk memperoleh data yang lebih mendalam dari pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian ini. Wawancara dilakukan kepada sejumlah responden melalui sistem snow ball, dalam arti wawancara
dilakukan dengan responden satu ke responden lainnya tanpa ditentukan terlebih dahulu jumlahnya. Wawancara dengan responden akan dianggap selesai apabila data yang diperoleh sudah memadai. b. Observasi Lapangan
Metode dilakukan dengan teknik participant observation guna melengkapi data yang diperoleh dari wawancara dengan responden. Di dalam melakukan observasi, penulis
mengamati pola interkasi dan dinamika petani yang berkaitan dengan aksi dan agenda solidaritas dengan gerakan petani transnasional. c. Telaah Dokumen
Dokumen yang dimaksudkan adalah berbagai data yang dikumpulkan dari jurnal, buku, data-data dari internet serta dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan topik ini. 1.6.2. Teknik Analisa Data
Data yang berhasilkan ditemukan akan dipilah berdasarkan golongan sesuai
acuan kerangka berfikir dan tujuan penelitian. Membuat alur logis atas hasil temuan
data dan kemudian menyaringnya agar mendapatkan inti sari untuk menjelaskan masalah yang menjadi topik penelitian.
26