BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Peradaban manusia tidak pernah lepas dari mobilisasi. Seiring dengan
kemajuan informasi, pengetahuan, dan teknologi, semakin beragam pula jenis kebutuhan manusia yang hanya mempu dipenuhi dengan jarak jangkauan yang luas serta frekuensi pergerakan yang tinggi. Perkembangan peradaban diiringi dengan perkembangan metoda transportasi. Terbukti dari berbagai prasasti sejarah yang menunjukkan pemanfaatan berbagai sarana dan sumber daya. Dimulai dari penggunaan tenaga manusia (seperti tandu, gerobak dorong), hewan (kuda, keledai, gajah) hingga berkembang menjadi kendaraan bermesin (mobil, pesawat, kapal). Menurut catatan sejarah, transportasi darat merupakan metoda transportasi yang paling awal berkembang dan paling banyak digunakan oleh manusia. “95% perjalanan penumpang dan barang menggunakan moda transportasi darat” (Ditjen Perhubungan Darat, Masterplan Transportasi Darat, 2005) Sayangnya, jarak jangkau kendaraan tidak diimbangi dengan ketahanan fisik manusia yang mengendarainya. Tingkat kelelahan manusia, disamping juga faktor kerusakan kendaraan, memicu berbagai efek lanjutan yang kadang berakibat kematian. Kemajuan teknologi industri dan perubahan pola hidup manusia turut memberi dampak pada jumlah kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat. Biaya produksi yang sebanding dengan teknologi yang ditawarkan membuat produsen kendaraan bermotor menjadi sangat kompetitif dalam menawarkan kelebihan produk di tiap lapisan masyarakat. 1
Tabel 1. 1 Jumlah Kendaraan Bermotor Provinsi DIY Tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2012) JUMLAH JENIS KENDARAAN UNIT
PRESENTASE
mobil penumpang
138.987
8,56%
mobil barang
45.317
2,80%
bus
11.006
0,68%
sepeda motor
1.423.147
87,93%
1.618.457 TOTAL
(naik 8,76% dari th 2010)
(Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DIY. “DIY Dalam Angka 2011”. 2012) Terutama di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan data yang dihimpun BPS tahun 2012, jumlah sepeda motor yang terdaftar (87,93%) jauh melampaui jumlah kendaraan yang lain. Dan total jumlah kendaraan naik sebanyak 8,76% dibandingkan tahun 2010. Peningkatan jumlah kendaraan terdaftar mengindikasikan pula peningkatan jumlah kendaraan yang beroperasi di jalan. Perkembangan
jumlah
kendaraan
tersebut
diimbangi
dengan
perkembangan jumlah kecelakaan akibat faktor manusia dan kendaraan. Hubungan tersebut didasari oleh statistik laporan jumlah kecelakaan per tahun yang telah dihimpun Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diperkirakan jumlah kecelakaan tersebut sesungguhnya lebih besar, mengingat kemungkinan terjadinya kasus yang tidak dilaporkan (under reporting accident). Statistik jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa
2
Yogyakarta, yang diklasifikasikan berdasarkan area kecelakaan, fatalitas, dan jenis kendaraannya, beserta analisanya, dapat dilihat di lampiran 4. Menurut Iptu Sigit Purnomo, Kanit Laka Polres Kulon Progo, tingkat kecelakaan bukan dilihat dari jumlah kecelakaan, melainkan presentase antara fatalitas dengan jumlah kecelakaan. Semakin besar angkanya, berarti semakin berbahaya. Dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo menempati urutan terakhir dalam total jumlah kecelakaan (380 peristiwa). Namun, dilihat dari fatalitas dan jenis kendaraannya, Kabupaten Kulon Progo menempati peringkat ke – 4 korban meninggal (75 peristiwa), peringkat ke – 4 korban luka berat (27 peristiwa), peringkat ke – 3 korban luka ringan (695 peristiwa), dan peringkat ke – 4 kecelakaan mobil (45 peristiwa). Penyebab kasus berbagai kecelakaan lalu – lintas tersebut beraneka ragam, mengingat luasnya lingkup masalah dalam kegiatan berlalu – lintas setiap individu. Mulai dari faktor fisik dan psikologis pengendara, kelayakan kendaraan, kualitas sarana dan prasarana lalu – lintas, maupun faktor tak terduga seperti cuaca dan bencana alam. Hal serupa diungkapkan oleh Agum Gumelar, mantan Menteri Perhubungan Republik Indonesia, dalam harian Kompas tanggal 30 November 2003. Beliau menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan adalah 86% dipengaruhi oleh kesalahan pengemudi, baru kemudian keterampilan, disiplin, perilaku dan ekonomi. Penyebab kecelakaan berikutnya adalah 7% disebabkan oleh prasarana jalan, antara lain geometri, rambu, medan atau marka, jarak pandang serta pekerja jalan. 4% kecelakaan disebabkan oleh kelaikan kendaraan, standar keselamatan, prosedur pengangkutan serta prosedur perjalanan, 3% lainnya akibat faktor cuaca.
3
Sedangkan menurut penuturan Kepala Pusat Data Ops Ketupat Polres Kulonprogo, Iptu Sutarno, dalam http://m.seputar-indonesia.com tanggal 6 September 2011 yang diakses tanggal 16 April 2013 pukul 20.27, penyebab kecelakaan lalu – lintas di Kulon Progo, terutama saat mudik lebaran yaitu faktor kelelahan. Menurut beliau, Kulon Progo memang merupakan titik lelah perjalanan dari Jakarta, Bogor, Bandung, dan lainnya. Faktor lelah sebagai salah satu penyebeb kecelakaan sudah dibuktikan melalui riset. Pada tahun 2005, Departemen Perhubungan melakukan sebuah riset, yang hasilnya menunjukkan bahwa kondisi lelah dapat menimbulkan resiko kecelakaan. (Ditjen Perhubungan Darat, Buku Petunjuk Tata Cara Berlalu Lintas (Highway Code) di Indonesia, 2005). Hubungan antara keselamatan berlalu – lintas dan kondisi lelah bahkan diatur secara hukum. Undang Undang no. 22 Tahun 2009 pasal 90 ayat (3) menyebutkan, “Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam.” Aturan lain mengenai pencegahan kecelakaan dari faktor lelah diatur dalam pasal 90 mengenai Waktu Kerja Pengemudi. Sebuah penelitan pada awal 1979 Afrika Selatan bahkan menyarankan pengemudi untuk beritirahat ± 10 menit setiap jam, selain arahan lain membawa teman mengemudi untuk mengatasi rasa bosan dan mengecek kondisi kendaraan (Clark, 1979). Di negara lain pun, hubungan rasa lelah dengan resiko kecelakaan sudah dikaji secara mendalam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya berbagai lembaga riset lalu – lintas, penelitian mengenai kecelakaan, dan berbagai masterplan keselamatan berlalu – lintas. Beberapa contohnya seperti “Rest Area – Reducing Accidents Involving Driver Fatigue” oleh UC Berkeley Traffic Safety Center dan “Highway Design Manual” oleh California Department of Transportation. 4
Bisa disimpulkan bahwa pihak – pihak terkait, yaitu pemerintah dan berbagai badan riset independen, sudah mengamati pentingnya fasilitas penunjang keselamatan lalu – lintas, dalam hal ini mengenai hubungannya dengan suatu area peristirahatan bagi pengendara. Maka dari itu dibutuhkan suatu desain fasilitas umum untuk menunjang kepentingan tersebut. I.1.1. Rest Area
Gambar 1. 1 Foto Satelit Daerah Pembangunan Rest Area Provinsi DIY (Sumber: GoogleEarth, tanggal citra 9 Mei 2007; analisa penulis, 2013)
Menurut Perda DIY nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2009 – 2029 Pasal 14 (4) disebutkan, ”Arahan pengembangan pada jalan arteri/kolektor primer ditetapkan rest area di Tempel dan Kalasan Kabupaten Sleman, Temon Kabupaten Kulon Progo dan Bunder Kabupaten Gunungkidul.” Dilihat dari rencana tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemerintah daerah melihat pentingnya membangun sebuah rest area berskala provinsi untuk menunjang pengembangan fasilitas jaringan jalan. Mungkin pula disertai kebutuhan lain seperti peningkatan nilai ekonomi, 5
pengenalan budaya, promosi pariwisata, atau peluang di sektor lain yang dapat turut diraih dalam nilai strategis rest area. Dalam undang – undang yang sama, pemerintah daerah mengartikan rest area sebagai, “… tempat istirahat bagi pengemudi setelah menempuh waktu perjalanan tertentu. Di rest area ini tersedia fasilitas yang diperlukan baik bagi kendaraan maupun pengemudi.”
Dari pandangan pemerintah daerah mengenai rest area ideal tersebut, dapat dilihat 3 poin utama, yang memiliki tingkat kepentingan yang sama, yaitu:
Tempat istirahat Menjadi tempat bagi pengemudi dalam mengembalikan kondisi tubuh yang prima untuk melanjutkan perjalanan.
Fasilitas bagi kendaraan Kondisi kendaraan dapat dimaksimalkan kembali melalui pelayanan dan fasilitas yang tepat.
Fasilitas bagi pengemudi Tersedia berbagai kebutuhan pengemudi, baik kebutuhan nonfisik (informasi, hiburan, tempat ibadah) maupun fisik (makanan, toilet).
Namun begitu, tentu saja besar kemungkinannya setiap badan riset ataupun negara memiliki pandangan berbeda mengenai poin utama dari sebuah rest area. Akan lebih mudah bila melakukan generalisasi dari pendapat – pendapat tersebut, mengingat peran umum yang sama dari sebuah rest area, untuk mengurangi tingkat kecelakaan lalu – lintas. I.1.2. Desa Sindutan, Kecamatan Temon, Kulonprogo, DIY, Indonesia Kabupaten Kulon Progo merupakan bagian dari Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, dengan luas keseluruhan wilayah sebesar 58.627,5 6
Ha. Secara geografis berada di tepi paling barat provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat dan utara, Kabupaten Bantul dan Sleman di sebelah timur serta Samudra Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 1). Kecamatan Temon adalah kecamatan yang terletak di barat daya Kabupaten Kulonprogo. Secara administratif, Temon membawahi 13 desa. Menurut data dari Bappeda tanggal 5 Desember 2012, jumlah penduduk yang terdaftar di kecamatan Temon sebanyak 33.827 jiwa, di dalam luas wilayah sebesar 3.629,09 Ha. Dikenal sebagai kecamatan yang berbatasan langsung dengan kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Pandangan tersebut dikarenakan terdapat tugu batas provinsi antara provinsi DIY dengan provinsi Jawa Tengah yang menjulang di kanan – kiri jalan. Desa Sindutan merupakan desa yang secara administratif berada di Kecamatan Temon, merupakan desa yang berada di bagian barat kabupaten Kulonprogo. Meskipun bukan desa terbarat dari provinsi Yogyakarta maupun hanya salah satu dari sekian banyak desa yang berbatasan dengan Purworejo, namun desa Sindutan merupakan desa paling barat yang dilewati jalan raya Wates yang merupakan jalur utama kota Yogyakarta – Purworejo. Berdasarkan hal itu maka muncul pandangan bahwa desa Sindutan menjadi batas terbarat dalam perjalanan dari provinsi Yogyakarta. Dalam lembaran nomor 2 Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo nomor 2 tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2011 – 2016, dijelaskan mengenai isu strategis kabupaten Kulon Progo. Dalam bab IV “Analisis Isu – Isu Strategis” disebutkan salah satu poinnya yaitu “posisi strategis sebagai pintu gerbang DIY bagian barat.” 7
Bisa dikatakan, Kabupaten Kulon Progo, terutama desa Sindutan, kecamatan Temon, merupakan “wajah” provinsi DIY dari arah barat. Hal ini tercermin dari ungkapan Farhamsyah Muhammad, ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Sebagai wajah atau citra, maka muncul berbagai potensi dan masalah yang berhubungan dengan citra dan kelangsungan berbagai sektor kehidupan provinsi DIY. Sehubungan dengan peran Kabupaten Kulon Progo sebagai batas barat Provinsi DIY yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, maka wajar bila terdapat jalan kolektor utama yang menjadi jalur antarkabupaten bahkan antarprovinsi. Sesuai dengan penjelasan di awal, tingkat arus lalu – lintas yang tinggi sebanding dengan tingkat resiko kecelakaan yang tinggi pula. Menurut Unit Laka Kepolisian Resor Kulon Progo, sebagai jalan kolektor utama, jalan Jogja – Wates memiliki tingkat kecelakaan relatif tinggi dibanding daerah sekitarnya dalam lingkup kabupaten. Menurut Iptu Sigit Purnomo, Kanit Laka Polres Kulon Progo, tingkat kecelakaan tertinggi terjadi saat rangkaian hari raya Idul Fitri, dimana frekuensi kendaraan terjadi paling tinggi. Tambahnya lagi, hal ini disebabkan terutama karena faktor kelelahan. Kelelahan ini dipicu oleh dua hal, yang pertama kondisi jalan raya, dan yang kedua adalah posisi Kabupaten Kulon Progo terhadap kota besar lain, terutama Yogyakarta. Kedua faktor tersebut ditambah pula dengan faktor yang paling umum, jarak perjalanan tiap individu serta faktor cuaca. Faktor kondisi jalan raya melihat pada kondisi jalan dari arah Purworejo menuju DIY. Kondisi jalan berlubang dan mudah licin. Di sini, pengemudi terpaksa melaju dengan kecepatan rendah, namun harus
8
berkonsentrasi tinggi, demi keselamatan. Keadaan ini justru menambah tingkat kelelahan pengemudi. Ketika memasuki jalan raya dekat DIY yang kondisinya relatif lebih baik, pengemudi tersebut memanfaatkannya dengan melaju dengan kecepatan tinggi. Sayangnya, kecepatan tinggi itu tidak diimbangi dengan tingkat fokus yang memadai. Maka terjadilah kecelakaan, terutama di daerah sekitar daerah padat, seperti kota Wates dan Sentolo. Faktor kedua yaitu posisi kabupaten Kulon Progo. Pengemudi yang mulai memasuki wilayah DIY merasa bahwa kota besar, terutama Yogyakarta, tinggal ± 1 jam perjalanan lagi. Padahal, tingkat kelelahan yang dialami seringkali tidak memungkinkan hal tersebut. Ditambah dengan faktor jalan yang disebut di atas, tingkat resiko kecelakaan semakin meningkat. Apalagi bila ditambah dengan faktor cuaca, seperti gerimis, dan jarak yang sudah dilalui pengemudi. Menurut beliau, sangat tepat bila dibangun rest area di Temon untuk mewadahi hal tersebut. Hal ini didasari keadaan bahwa black spot (area rawan kecelakaan) pertama dari arah Jawa Tengah berada di sekitar Temon. Maka, pengendara yang masuk harus secepatnya berhenti sejenak untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
9
Black Spot
Black Area
Black Link
Dudukan Km.19
Salam Rejo Km. 18 Sukoreno Km. 19 Dudukan Km. 19 Kalimenur Km.22
Salam Rejo Km. 18 Sukoreno Km. 19 Dudukan Km 19. Kalimenur Km. 22
Karang Nongko Km. 28,5 Depan Terminal Wates Km.29 Depan SPBU Km. 30 Tambak Km. 31 Dalangan Km. 32 Triharjo
Karang Nongko Km. 28,5 Depan Terminal Wates Km. 29 Depan SPBU Km. 30 Tambak Km. 31 Dalangan Km. 32 Triharjo Sebokarang Km. 31,5
Kalimenur Km.22 Depan Terminal Wates Km.29
Tambak Km. 31 Turi Km. 41
Gambar 1. 2 Peta Rawan Kecelakaan Jalan Jogja – Wates (Sumber: Polres Kulon Progo Unit Laka; Dokumentasi Penulis, 2013) Dari keterangan tersebut, area Temon merupakan area rawan kecelakaan lalu – lintas. Dapat dikatakan area Temon memerlukan fasilitas untuk mengurangi tingkat kecelakaan tersebut. Labih lanjut, dalam Perda Kabupaten Kulon Progo nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012 – 2032 bagian ketiga : “Sistem Jaringan Transportasi” Pasal 14 (2) disebutkan, “Pengembangan tempat peristirahatan (rest area) berada di Desa Sindutan Kecamatan Temon.” Dari peraturan daerah tersebut terlihat bahwa dalam usaha peningkatan kualitas sistem jaringan transportasi, pemerintah daerah Kabupaten Kulon Progo menyediakan fasilitas rest area sebagai solusi masalah transportasi. Bila dikaitkan dengan fungsi tipologi rest area, 10
maka disimpulkan masalah yang dimaksud terutama masalah kecelakaan lalu – lintas. Melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan kecamatan Temon memiliki dua alasan memerlukan sebuah rest area. Alasan pertama mengenai statusnya sebagai area rawan kecelakaan lalu – lintas. Alasan kedua mengenai keberadaannya sebagai pintu gerbang DIY dari arah barat. Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo sudah memulai proyek rest area di kawasan ini. Sayangnya, proyek tersebut belum berjalan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Dari 9 ha luasan yang direncanakan, baru 1 ha yang terbangun dan beroperasi. Fasilitas yang sudah terbangun berupa area parkir, kios tanaman hias, 1 kios biofarmaka, WC, musholla, gazebo, serta 1 rumah makan. Menurut penuturan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kulon Progo, masalah utama kelambatan proyek dikarenakan masih sedikit investor yang bersedia menanamkan modal. Berdasarkan analisa penulis dari beberapa sumber media, sepertinya para investor belum dapat melihat potensi keberhasilan dari desain yang sekarang, baik dari segi konsep pengembangan, kesesuaian lokasi, serta animo masyarakat terhadap rest area yang sudah terbangun sekarang. Melihat kondisi tersebut, maka diputuskan untuk melakukan desain ulang rest area dengan penyesuaian berdasarkan isu –isu terkait.
11
I.2.
Rumusan Masalah I.II.1. Masalah Non – Arsitektural 1.
Bagaimana membuat sebuah rest area yang menjadi citra kabupaten Kulonprogo dan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.
Bagaimana rest area dapat menambah potensi ekonomi daerah, terutama bagi warga lokal.
I.II.2. Masalah Arsitektural 1.
Area Temon merupakan salah satu area rawan kecelakaan lalu – lintas di Kabupaten Kulon Progo.
2.
Delapan puluh enam persen (86%) kecelakaan lalu – lintas terjadi karena kesalahan pengemudi. Sebagian besar kesalaha pengemudi karena faktor kelelahan.
3.
Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo merupakan pintu gerbang provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari arah barat.
4.
Kulonprogo memiliki berbagai potensi lokal yang belum dapat terekspos secara maksimal.
5.
Rest area di Indonesia pada umumnya belum dapat mengangkat potensi ekonomi lokal, bahkan beberapa justru mematikannya.
I.3.
Tujuan 1. Merancang suatu rest area yang efektif mengurangi tingkat kecelakaan lalu – lintas di Jalan Temon, Kulonprogo 2. Merancang fasilitas rest area yang memenuhi kebutuhan pengunjung dalam rest, relax, comfort, information needs. 3. Merancang rest area yang mampu menjadi citra bagi kabupaten Kulonprogo dan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 12
4. Merancang rest area yang mampu memberi tambahan nilai potensi ekonomi bagi masyarakat lokal sekaligus menarik bagi pengunjung. 5. Mengintegrasikan pendekatan terpilih dalam konsep perancangan dengan penekanan pada fungsi rest area.
I.4.
Sasaran Pembahasan I.4.1. Sasaran Umum Menyusun
dan
merumuskan
konsep
perencanaan
dan
perancangan rest area di Temon, Kulonprogo melalui : a.
Identifikasi tapak terpilih pada kawasan
b. Identifikasi potensi alam pada kawasan I.4.2. Sasaran Khusus Menyusun
dan
merumuskan
konsep
perencanaan
dan
perancangan rest area di Temon, Kulonprogo melalui : a.
Identifikasi potensi kawasan kaitannya dengan perancangan rest area
b. Komparasi dan analisis perancangan rest area sejenis, maupun bangunan dan fasilitas dengan fungsi serupa.
I.5.
Lingkup Pembahasan Lingkup pembahasan secara garis besar terdiri dari kajian tema dan topik
serta konsep. Kajian tema dan topik membahas tentang rest area secara garis besar,dengan dilengkapi studi kasus. Konsep terdiri dari analisis pendekatan konsep yang membahas pengertian teori arsitektur organik berikut arsitek penganutnya, kebutuhan ruang, standar ruang, sirkulasi, dan lain sebagainya secara umum dengan
13
landasan teoritik dan empirik. Kemudian diaplikasikan ke dalam sebuah konsep perencanaan dan perancangan.
I.6.
Metode Pembahasan 1. Metode deskriptif, yaitu penjelasan data dan informasi yang berkaitan dengan latar belakang, permasalahan, dan tujuan penulisan. 2. Metode analisis, yaitu memahami lebih jauh mengenai kebutuhan ruang dan fungsi dalam fasilitas rest area, dengan bantuan studi literatur. 3. Metode studi kasus, yaitu mempelajari contoh – contoh fasilitas serupa lalu membandingkannya untuk mempelajari konsep, program ruang, aspek positif dan negatif, serta strategi penyelesaian masalah, baik melalui studi literatur maupun survey lapangan.
I.7.
Sistematika Pembahasan BAB I
PENDAHULUAN Substansi
urutan
perumusan pembahasan,
penulisan,
masalah, lingkup
berisi
tujuan
latar
belakang,
penulisan,
pembahasan,
sasaran
metodologi
pembahasan, dan kerangka berpikir. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Kajian mengenai tinjauan umum rest area, tinjauan lokasi rest area, hubungan antara kelelahan dan pengaruhnya dengan interaksi dengan alam, serta studi kasus preseden rest area. Tinjauan rest area berupa sejarah, kategori, peran bangunan, kegiatan yang diwadahi, kebutuhan ruang, dan
14
standar fasilitas secara umum. Tinjauan lokasi berisi pembahasan umum lokasi terpilih. BAB III
PENDEKATAN KONSEP PERANCANGAN Analisis mengenai prinsip – prinsip arsitektur organik berikut beberapa arsiteknya, analisis tapak terpilih, serta penjelasan dibutuhkan
mengenai berkaitan
standar
perancangan
dengan
konsep.
yang Standar
perancangan antara lain berupa kebutuhan ruang, tata masa, sirkulasi, material, dan struktur konstruksi. BAB IV
ANALISIS DAN KONSEP PERANCANGAN Analisis dan pembahasan dasar perancangan rest area dengan latar belakang, pendekatan, dan konsep terpilih.
I.8.
Keaslian Penulisan
Nama Penulis
Judul Tugas Akhir
Tahun
Dinar Pratama Aji
Rest Area di Jalan Jogjakarta Semarang
2006
Mahendra Ardiyanto
Rest Area Multifungsi: Komersial dan Rekreasi Dengan Pendekatan Kearifan Lokal
2007
Lestari Romdhiyatun
Rest Area dengan Pendekatan Green Architecture
2008
Indriyanti Nasution
Rest Area di Jalan Lintas Sumatera Utara dengan Pendekatan Green Architecture
2010
Idham
Rest Area sebagai Tempat Istirahat Sementara dan Rekerasi di Banyumas, Jawa Tengah
2011
Tujuan dan Konsep Rest area dengan pendekatan pemenuhan fungsi kebutuhan keamanan, ketersediaan informasi, dan kenyamanan. Rest area yang menjawab isu – isu terhadap rendahnya PAD Kulon Progo, dengan pendekatan kearifan lokal. Pengoptimalan kenyamanan rest area dengan pendekatan green architecture. Pengoptimalan fungsi rest area yang memenuhi kebutuhan keamanan, ketersediaan informasi, dan kenyamanan, dengan green architecture. Rest area sebagai sebuah tempat istirahat sementara bagi pemakai jalan, dengan pendekatan green architecture.
15
I.9.
Kerangka Berpikir Diagram 1. 1 Kerangka Berpikir
(Sumber: Analisa Penulis, 2013) 16