BAB I PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis terkait tingginya intensitas
konflik sosial yang terjadi belakangan ini di Lampung Timur. Kemunculan konflik yang begitu sering, diperparah dengan munculnya banyak korban jiwa ataupun kerugian materil didalamnya. Mayoritas konflik terjadi dengan rentang waktu yang cukup lama sehingga sangat mengganggu tatanan hidup masyarakat umum. Ditambah dengan menyoroti adanya masalah dibeberapa daerah terkait terulangnya berbagai penyebab yang menjadi latar belakang mencuatnya konflik, hal tersebut mengindikasikan bahwa ada ketidak beresan dalam menyelesaiakan konflik-konflik sebelumnya yang terjadi di Lampung. Namun, terdapat sedikit perbedaan terkait konflik sosial yang melibatkan dua desa di awal Tahun 2015. Konflik yang terjadi berlangsung cukup singkat dan berdampak pada minimnya kerugian materil ataupun jatuhnya korban jiwa. Hal tersebut disebabkan oleh gerak responsif berbagai pihak dalam penyelesian konflik sehingga
realisasi
perdamaian dapat terwujud dengan mudah. Dan terbukti bahwa konflik kedua desa ini menjadi salah satu rujukan dan sebagai bahan acuan oleh Komnas HAM tentang bagaimana tata kelola yang baik dilakukan dalam rangka penyelesaian konflik hoizontal.(http://radarpena.com) Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan mengkaji manajemen seperti apa yang dilakukan dalam proses menciptakan perdamaian, sehingga perdamaian dapat dengan cepat terealisasi. Kemudian, apakah manajeman konflik yang sudah baik dalam proses perwujudan perdamaian akan berlanjut pada manajemen pasca konflik, sehingga perdamaian yang sudah tercipta akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Konflik merupakan salah satu hal yang sering kita temui dan kita hadapi, baik konflik yang berskala kecil, sedang, hingga konflik yang berskala besar. Yang seringkali melibatkan pihak-pihak cukup luas dan banyak kejadian mengakibatkan kerugian materil maupun imateril yang cukup menyengsarakan
1
masyarakat. Dapat Dipastikan bahwa konflik lebih cenderung memberikan dampak negaif terhadap kehidupan masyarakat, oleh karena itu untuk menghentikan konflik tersebut dibutuhkan solusi yang paling tepat dan komprehensif sehingga dapat diterima oleh semua pihak. Namun, dalam kehidupan saat ini, konflik merupakan suatu keniscayaan, dan konflik menjadi bagian integral dalam hubungan sosial dan tidak bisa dihilangkan, yang bisa dilakukan hanyalah mengelolalnya yakni menjadikan situasi konflik lebih konstruktif dan tidak destruktif (Burton:1990). Konflik merupakan suatu kejadian yang sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia, dan hal tersebut merupakan masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan bukan untuk dihindari. Bermacam-macam konflik yang terjadi dengan berbagai latar belakang muncul diberbagai daerah di Indonesia, mulai dari ujung timur Papua yang marak dengan konflik yang berbau SARA, hingga ujung sumatera Aceh yang terkenal dengan gerakan separatisnya (GAM). Berbagai konflik yang terjadi di berbagai daerah tersebut merupakan suatu hal yang memang harus dihadapi oleh negara sebesar Indonesia yang terkenal dengan kemajemukannya dengan ribuan suku bangsa yang mendiaminya. Konflik yang sudah terjadi tentu harus diselesaikan, dengan apa? Caranya bagaiamana? Siapa yang harus menyelesaiakan? Dan itu merupakan suatu pertanyaan berulang ketika konflik muncul kembali. Semua pertanyaan tersebut seharusnya dapat terjawab ketika resolusi konflik dapat terealisasi dengan baik. Namun, selama ini yang kita ketahui bahwa kewajiban dalam penyelesaian konflik ditumpukan kepada pihak-pihak berwajib yang merupakan unsur dari pemerintah semacam kepolisian, TNI, pemerintah daerah dsb. Namun, harus disadari bahwa resolusi konflik yang benar-benar akan mengakhiri konflik dapat terwujud apabila adanya kerjasama antar pihak-pihak yang memang harus dilibatkan dalam mencari solusi dari suatu konflik yang terjadi. Konflik yang telah muncul dipermukaan tidak serta merta dapat diselesaikan dengan mudah, karena berbagai macam latar belakang penyebab konflik tersebut terjadi, oleh karena itu, perlunya penyelesaian yang komprehensif dan menyeluruh untuk mencari bagaimana solusi yang paling tepat digunakan, solusi
2
yang paling tepat pasti membutuhkan analisis yang benar-benar mendalam terkait solusi apa yang digunakan dalam penyelesaian konflik yang terjadi tersebut. Dengan analisis yang tepat diharapkan dapat memetakan semua masalah dengan cermat dan menyelesaikan semua masalah pada bidang-bidang sosial masyarakat yang menjadi akar masalah, sehingga penyelesaian yang dilakukan tidak hanya mengena dipermukaannya saja, namun sudah pada tahap melihat suatu konflik dari akar masalah yang terjadi, sehingga konflik akan benar-benar terselesaikan. Resolusi
konflik
yang
dilakukan
merupakan
cara
awal
untuk
menyelesaiakan konflik, namun lebih dari itu, bagaimana yang paling penting adalah pemulihan pasca konflik? Apakah pasca konflik yang terjadi keadaan masyarakat sudah kembali seperti semula? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan disini untuk memastikan bahwa memang pemulihan pasca-konflik berlangsung dan pembangunan perdamaian tumbuh berkembang di daerah-daerah konflik. Memasuki masa pasca-konflik sesungguhnya daerah-daerah pasca konflik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan perdamaian bersumber bukan hanya dari belum teratasinya masalah-masalah konflik di masa lalu, tetapi juga masih rentannya kondisi perdamaian disebabkan belum efektif dan majunya pembangunan perdamaian karena masih lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam mengatasi berbagai potensi konflik terpendam, ketegangan struktural dan berbagai hambatan perdamaian dihadapi masyarakat pasca-konflik. Membangun kembali masyarakat pasca-konflik membutuhkan pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik secara khusus, bukan hanya untuk mencegah agar konflik tidak kembali muncul ke permukaan, tetapi juga untuk mengkonsolidasikan perdamaian menuju tercapainya pembangunan dan perdamaian berkelanjutan. Demikian itu selain membutuhkan pemahaman yang baik atas konflik dan karakteristiknya di masa lalu sehingga bisa diantisipasi segala kemungkinan terjadinya konflik di masa yang akan datang, juga penting untuk memastikan pembangunan perdamaian semakin tumbuh berkembang di masyarakat. Penguatan fondasi perdamaian dalam kaitan kebijakan pembangunan dengan perdamaian dan demokrasi, baik dalam prinsip-prinsip maupun
3
mekanismenya, dalam hal ini penting untuk diperkuat bagi terselenggaranya pemerintahan efektif untuk mendorong transformasi konflik dan perdamaian jangka panjang di daerah-daerah konflik. Seperti halnya apa yang terjadi di Kabupaten Lampung Timur, potensi konflik yang ada di daerah ini cukup tinggi, hal tersebut disebabkan oleh terdapat jurang pemisah antara masyarakat asli pribumi dan masyarakat pendatang. Selain itu, fakor yang lain adalah tingginya angka kriminalitas, dan tidak ada tindakan tegas dari pihak yang berwenang, dan hal tersebut merupakan salah satu alasan masyarakat untuk “menyelesaikan” segala permasalahan dengan cara mereka sendiri. Kemudian faktor ekonomi yang tidak merata juga akan mendorong adanya konflik di kemudian hari. Hal tersebut terbukti sering memicu terjadinya konflik-konflik yang mengakibatkan berbagai macam kerugian yang harus ditanggung oleh masyarkat, pada tahun 2014 hingga pertengahan tahun 2015 sudah terjadi dua konflik besar yang menyedot perhatian masyarakat luas, karena konflik tersebut mengakibatkan banyak kerugian materil maupun imateril, mulai dari rusaknya rumah, penjarahan barang-barang, hingga yang paling ironis adalah terbunuhnya masyarakat dari pihak-pihak yang berseteru. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa berbagai resolusi konflik yang dikeluarkan belum sampai pada tahap penyelesaian secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu adanya titik temu dan tindakan lanjutan pasca resolusi konflik dikemukakan, karena perdamaian tidak hanya terealisasi sementara saja, maka dari itu, bagaimana semua pihak berusaha menjaga perdamaian yang berusaha diwujudkan setalah adanya ikrar perjanjian damai secara formal dilontarkan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Usaha menjaga perdamaian tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja, melainkan peace keeping merupakan tanggung jawab bersama oleh semua kalangan yang memiliki kapasitas dan andil dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Peace keeping yang seharusnya menjadi pegangan setiap masyarakat dalam menjalankan kehidupan merupakan suatu hal mutlak yang harus ditanamkan disetiap masyarakat, namun dalam proses menjaga perdamaian dalam diri masyarakat tentunya harus dibarengi
4
dengan upaya-upaya yang lebih masif dan nyata agar perdamaian tidak hanya terlihat dipermukaannya saja, namun harus menyeluruh dan abadi. Menjaga perdamaian yang abadi tidak terlepas dari perlunya kebijakankebijakan yang matang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah sebagai otoritas pembuat kebijakan, hingga sampai pada masyarakat yang merupakan target yang akan mengimplementasikan kebijakan tersebut, karena skema kebijakan jangka panjang pembangunan perdamaian (long term post conflict peace-building) merupakan suatu kebutuhan dan kewajiban yang harus segera ditemukan solusinya di tengah masyarakat Indonesia, yang kita kenal sebagai masyarakat yang pluaralis namun sering terjadi konfik di berbagai daerah. Seperti penyakit yang terus akan kumat bila dibiarkan dan lebih parahnya lagi bahwa terdapat pengulangan pola konflik maupun penyebabnya sehingga hal ini memunculkan kesimpulan bahwa bagaimana perdamaian selama ini hanya sebatas sementara dan belum ditangani dengan baik. Pengulangan konflik dengan pola dan penyebab yang relatif sama, juga terjadi pada daerah yang menjadi objek penelitian ini, yaitu daerah di kabupaten Lampung Timur, dimana setiap konflik yang melibatkan warga masyarakat dengan kuantitas tinggi disebabkan oleh adanya keadaan ketidakpuasan yang diakibatkan oleh kurang cekatannya pemerintah maupun petugas keamanan mengatasi potensi konflik di tengah masyarakat. Selain itu pemerintah masih kurang peka dan belum bisa belajar dari kesalahan yang telah berulang kali terjadi sehingga ketegangan yang dihasilkan oleh konflik yang berkepanjangan akan terus berulang. Oleh karena itu perlu adanya gerakan perubahan yang dilakukan untuk memutus rantai konflik yang akan selalu membelit masyarakat, dan langkah yang paling kongkrit adalah dengan menggunakan terminologi peace building untuk mengakhiri konflik panjang yang sering menggangu kestabilan kehidupan masyarakat. Peace building dibutuhkan untuk benar-benar memutus rantai konflik yang berulang kali terjadi, namun dalam peace building dibutuhkan adanya keseriusan dari semua pihak untuk menjalanakan berbagai program yang berusaha dimasukan dalam proses peace building, karena peace building tidak hanya
5
berpatokan pada pembangunan secara fisik saja, namun dapat dilihat lebih dalam adalah bagaiamana peace building harus menyusur ke semua sektor kehidupan masyarakat, karena rekonstruksi pasca konflik harus menyeluruh, seperti dari sisi psikologis, ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Dengan perhatian ke semua sektor kehidupan masyarakat, keadaan damai yang abadi pasca konflik diharapkan akan terealisasi di tengah masyarakat yang akan benar-benar dapat mendapatkan keadilan dan akan menghentikan berbagai konflik yang terjadi di masyarakat. Dapat dilihat bagaimana post concflict management sangatlah penting, terutama bagaimana menyangkut terhadap peace keeping dan peace building, karena keberhasilan mewujudkan suatu perdamaian yang abadi tidak jauh dari bagaimana menerapkan kedua aspek tersebut, karena aspek terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah tidak hanya sebatas berdamai secara fisik saja, namun harus dilihat bagaimana akar konflik yang akan dan bagaiamana cara menjaga perdamaian setelah perdamaian diwujudkan, tidak berhenti sampai situ saja setelah perdamaian dijaga harusnya ada tindakan konkrit untuk membangun dari berbagai sektor kehidupan masyarakat, karena diharapakan pembangunan yang merata di segala aspek kehidupan masyarakat akan menghilangkan jurang perbedaan sehingga dapat meminimalisir potensi konflik. Dapat Dilihat bahwa berbagai konflik yang terjadi secara garis besar pasti sudah diatasi dan sudah diselesaikan dengan berbagai cara, namun, dalam keadaan masyarakat saat ini tidak hanya sebatas resolusi sementara yang dikeluarkan dan dikemukakan, tetapi, tahap lebih jauh adalah bagaimana manajemen pasca konflik yang terjadi pada tataran apakah perdamaian yang terealisasikan dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama, setelah itu dalam tahap yang lebih jauh, untuk mendapatkan perdamaian yang abadi harus adanya peran dari semua pihak dalam mewujudkan konsep-konsep yang mengarah pada pembangunan perdamaian di semua aspek kehidupan masyarakat, sehingga perdamaian jangka panjang dapat terwujud dan terus terjaga. II.
RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang yang telah dijabarkan di atas, rumusan masalah yang
akan dibahas adalah, Bagaimana manajemen pasca konflik yang dilakukan oleh
6
berbagai pihak dalam mewujudkan perdamaian jangka panjang? Rumusan masalah ini diturunkan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam proses menjaga perdamaian? 2. Bagaimana
konsolidasi
yang
dilakukan
dalam
mewujudkan
perdamaian jangka panjang? III.
TUJUAN PENELITIAN Mengacu pada perumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manajemen seperti apa yang diterapkan sehingga perdamaian dapat dengan cepat terealisasi, serta akan menganalisis bagaimana proses implementasi intrumen perdamaian dan konsolidasi berbagai pihak dalam mewujudkan perdamaian jangka panjang. IV.
MANFAAT PENELITIAN Dalam penelitian ini, manfaat penelitian antara lain: 1. Memberikan sumbangan teoritis mengenai pemikiran peace keeping dan peace building pasca konflik 2. Sebagai pertimbangan pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam rangka merumuskan kebijakan mengenai peace keeping dan peace building pasca konflik. 3. Sebagai
bahan
informasi
kepada
masyarakat
dalam
rangka
mempererat hubungan pasca konflik. 4. Sebagai bahan acuan dan perbandingan untuk penelitian yang akan datang V.
LITERATUR REVIEW Bahasan terkait manajemen pasca konflik merupakan bahasan yang mulai
mendapatkan perhatian dan banyak dikaji sejumlah peneliti. Hal ini karena Manajemen pasca konflik merupakan salah satu elemen paling krusial dalam penyelesaian konflik secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu adanya tanggung jawab dari berbagai pihak untuk menyelesaiakan konflik secara menyeluruh, salah satu pihak yang harus berperan adalah pemerintah. Pemerintah merupakan pihak
7
yang paling bertanggungjawab dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi. Namun, dalam studi ini fokus yang diteliti berfokus pada kajian manajemen post konflik, bagaimana perwujudan peace making, peace keeping serta peace building pada skala mikro. Beberapa penelitian terdahulu terkait pembangunan perdamaian jangka panjang sering kali berada pada tataran makro, seperti konflik yang berada pada ranah negara, ataupun lebih jauh, diterapkan pada tataran konflik antar negara yang membutuhkan rekonsiliasi jangka panjang. Seperti apa yang dikemukakan oleh bapak Cornelius Lay dalam jurnal yang berjudul Post Conflict Peacebuilding : Governability Perspective (2009), tulisan yang menjadi salah satu bagian dari naskah peace building ini merupakan salah satu kajian yang bertema pada tujuan utama, yaitu melihat peran negara dalam perspektif penanggulangan konflik ataupun lebih jauh dalam tahap pembangunan perdamaian. Terutama fokus pada perubahan dari sisi membangun berbagai daerah yang lebih sering mengalami segresi konflik. Pada penelitian ini penulis coba melihat bagaiamana peran negara dalam membangun perdamaian. Bagaiamana dalam pandangannya negara merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam hal memberikan keamanan kepada masyarakatnya. Dan hal tersebut merupakan salah satu fungsi dasar negara yang harus dipenuhi. Ketika negara tidak bisa memberikan keamanan kepada masyarakatnya dapat dikatakan negara tersebut telah memenuhi kategori sebagai negara gagal. Oleh karena itu, negara harus benar-benar memaksimalkan peran dasarnya, terutama pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. ketika kebutuhan dasar masyarakat dapat dipenuh oleh negara, niscaya konflik-konflik yang selama ini menyambangi masyarakat lambat laun akan berkurang. Kemudian adalah tesis yang berjudul pembangunan perdamaian pasca konflik (2010) yang ditulis oleh Sarmalina Rieuwpassa, dalam tesis ini menekakan bagaiamana proses pembangunan pasca konflik yang terjadi di Desa Rumahtiga. Secara kasat mata perubahan yang terjadi tidak terlihat, karena fokus pembangunan perdamaian yang diambil adalah bagaimana memperbaiki nilainilai moral yang dianut bersama, hal tersebut dilakukan karena isu yang menjadi penyebab konflik adalah terkait agama, apabila menata moral masyarakat yang
8
dibangun diaharapkan sentimen SARA akan terbuang, kemudian peran-peran lembaga dalam menjaga dan membangun perdamaian berusaha dibangkitkan lagi, sehingga tanggung jawab dari pembangunan perdamaian tidak hanya ditujukan kepada pemerintah pusat saja. Selain peran negara yang dominan dalam suksesi manajemen post conflict, perlu adanya peran dari masyarakat sendiri yang cukup signifikan, karena keberhasilan dari semua program peace building harus melibatkan semua pihak yang mempunyai peran besar dalam setiap langkah yang diambil. Seperti dalam jurnal yang berjudul Pembangunan Perdamaian dan Peran Masyarakat Sipil di Indonesia yang dikarang oleh Lambang Trijono. Paper ini secara khusus membahas masalah dan tantangan yang dihadapi daerah-daerah pasca-konflik dan bagaimana peran masyarakat sipil memajukan pembangunan perdamaian di Indonesia, terutama untuk mencegah munculnya kembali konflik dan membangun fondasi perdamaian menuju tercapaianya konsolidasi perdamaian. Keadaan pasca konflik merupakan keadaan yang rentan untuk kembali munculnya konflik, karena de eskalasi konflik merupakan suatu hal yang tidak akan menjamin bahwa tidak akan kembali mengarah ke eskalasi konflik, pada keadaan rawan tersebut perlu adanya pendekatan transformatif konflik dan rekonsiliasi jangka panjang bisa diharapkan mampu mengatasi kesenjangan perdamaian sehingga perdamaian jangka panjang dapat terwujud. Oleh karena itu perlu adanya peran aktif masyarakat untuk merealisasikan hal tersebut karena terkait kesediaan negosiasi, berdialog dan menghentikan konflik berada di tangan masyarakat itu sendiri. Namun memang harus disadari perlu adanya deteksi lebih dini agar konflik tidak berkembang lebih besar, dan hal tersebut dapat memaksimalkan peran masyarakat untuk menanggulangi potensial konflik yang ada. Lambang Trijono juga menulis jurnal
yang
Indonesia:Kaitan
berjudul
Pembangunan
perdamaian,
Perdamaian
pembangunan
dan
Pasca-Konflik demokrasi
di
dalam
pengembangan kelembagaan pasca-konflik. secara khusus jurnal ini membahas masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi daerah-daerah pasca-konflik di Indonesia. Pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik diperlukan untuk mencapai konsolidasi perdamaian dan keberlanjutan. Masih
9
banyaknya konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya daerah-daerah yang memiliki sejarah panjang terkait konflik yang sering muncul, perlu dipertanyakan, apakah ada yang salah dengan penyelesaian konflik terdahulu? Oleh karena itu perlu adanya pembangunan pasca konflik yang harus diwujudkan, karena Daerah-daerah pasca-konflik menghadapi tantangan dan hambatan perdamaian khusus dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, bersumber dari bukan hanya masalah-masalah konflik dan kekerasan di masa lalu, tetapi juga kerentanan perdamaian di masyarakat disebabkan belum efektif dan majunya pembangunan perdamaian dilakukan. Tantangan ini membutuhkan pendekatan dan strategi khusus untuk mengatasinya, terutama agar konflik-kekerasan tidak kembali muncul (relapsed), dan perdamaian berkelanjutan bisa dicapai di daerahdaerah pasca-konflik. Selain fokus pada masa pembangunan perdamaian pasca konflik, juga harus diperhatikan bagaiamana proses menjaga perdamaian (peace keeping) sebelum dan sesudah peace building dapat teralisasikan, seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh David Henley, Maria J.C Schouten dan Alex yang berjudul, Memelihara Perdamaian di Minahasa Pasca Orde Baru(2007), dalam tulisan ini penulis menyoroti bagaiamana berbagai usaha yang dilakukan untuk menjaga perdamain yang berusaha diwujudkan di daerah Minahasa terutama setelah era Orde Baru berakhir, kerentanan akan konflik yang muncul setelah masa reformasi berusaha diatasi dengan berbagai macam cara, menjaga perdamaian disaat era transisi memiliki tantangan tersendiri, karena isu-isu terkait SARA berhembus kencang diberbagai daerah di Indonesia,oleh karena itu perlu adanya pencegahan yang dilakukan oleh pihak-pihak central, seperti masyarakat dan negara. Perhatian coba diarahkan pada dua lingkup yaitu masyarakat sipil dan negara, adanya kerjasama dari kedua belah pihak dapat menekan munculnya konflik di daerah rawan tersebut, selain itu bagaimana peran maksimal pemerintah daerah dapat menjaga keharmonisan daerah Minahasa, pemerintah lokal sanggup memberikan kestabilan di bergabai sektor seperti , sosial, politik dan ekonomi. Dapat dipastikan bahwa fakta perdamaian dan ketertiban bisa dijaga dengan kombinasi
10
masyarakat sipil yang kuat dan negara yang beradab serta kondisi ekonmi yang kondusif merupak kunci perdamaian dapat terjaga di daerah Minahasa. Konsep peace building maupun peace keeping, lebih dikenal dalam konteks hubungan internasional, karena konsep tersebut ber embrio dari modelmodel perdamaian yang lahir untuk dipergunakan dalam proses perdamaian konflik antar negara, seperi yang di sorot oleh Dr. Kirsti Samuels yang berjudul Post-Conflict Peace-Building and Constitution-Making, dalam jurnal ini menyoroti bagaimana pentingnya peraturan baru yang dibangun pasca konflik, selain itu bagiamana membuat pemerintahan baru yang lebih efektif, karena dengan birokrasi yang baru, diharapkan akan merubah dan menghapus luka lama akibat masalah dan konflik di masa lalu. Kirsti memandang bahwa selain pembangunan difokuskan pada masyarakatnya, namun harus kita melihat aspek yang lainnya yang juga lebih penting yaitu bagaimana transisi politik dan pemerintahan juga harus maksimal dalam menyempurnakan rehabilitasi pasca konflik. Karena perubahan keadaan politik/transisi akan terlihat lebih merubah secara signifikan dalam tata kelola kehidupan masyarakat. kenapa berargumen seperti itu, karena terkait konflik yang berulang kali muncul di Haiti dengan penyelesaian hanya berfokus pada rekonstruksi pada bidang-bidang yang diyakini menjadi pemicu konflik, seperti lingkungan,sumber daya alam dsb, namun pada dasarnya adalah konflik terjadi akibat tata kelola yang kurang baik di birokrasi. Terakhir adalah buku yang ditulis oleh Lambang Trijono (2007) berjudul Pembangunan sebagai Perdamaian. Pada buku ini penulis menyoroti bagaimana aspek lain yang dapat menumbuhkan perdamaian, terutama dalam konteks negara Indonesia setelah masa reformasi, yang terjadi konflik di sebagian tempat di Indonesia. Syarat utama masyarakat nyaman aman dan tentram adalah ketika semua kebutuhan dasar mereka telah terpenuhi, salah satunya adalah dari sisi pembangunannya, karena pendekatan pembangunan sebagai tumpuan dalam merealisasikan perdamaian karena dingaggap pembangunan dapat mengatasi berbagai potensi konflik dan akar-akar kekerasan di tengah masyarakat. terutama dalam konteks pembangunan di Indonesia pasca orde baru runtuh, pembangunan diarahkan
sebagai
kesejahteraan,
kemakmuran,
sehingga
perdamaian
11
berkelanjutan di Indonesia dapat berlanjut. Perdamaian pasca konflik disini tidak hanya dipandang sebagai selesainya dan terealisasinya resolusi konflik, namun lebih jauh lagi, perdamaian merupakan sebuah karya kreativitas manusia dalam praktik dan kebijakan pembangunan untuk mengatasi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan baik langsung maupun tidak langsung, struktural maupun kultural di tengah masyarakat. Oleh karena itu dari beberapa kajian terdahulu, kajian ini terdapat perbedaan dengan kajian-kajian terdahulu, dimana penggunaan konsep resolusi konflik (Galtung) digunakan untuk mengungkap persoalan dalam skala mikro, karena biasanya konsep tersebut dipergunakan dalam ranah yang lebih luas dan makro, terkait konflik antar negara. Yang kedua adalah kebanyakan studi konflik di Lampung hanya sebatas pada melihat bagaimana elemen-elemen perwujudan perdamaian, sedangkan dalam penelitian ini berbeda, ingin lebih jauh menganalisis berbagai usaha yang dilakukan demi terus menjaga perdamaian yang telah tercipta dalam jangka waktu yang panjang. VI.
KERANGKA TEORI Dalam bab ini penulis akan menjelaskan dan mencoba memaparkan teori
yang akan menjadi tool dalam menganalysis data-data primer maupun sekunder yang didapat, konsep teori besar yang akan digunakan adalah, teori reoslusi konflik (Peace making, peace keeping, peace building), namun sebelum sampai pada tahap resolusi konflik, ada tahap yang sangat penting yaitu bagaimana menganalisis konflik yang terjadi terlebih dahulu, sebelum menentukan arah perdamaian berikutnya. VI.I. Konflik Konflik merupakan suatu kejadian yang sering terjadi di tengah masyarakat, muliai dari konflik yang bersifat kecil hingga konflik besar yang mengancam kestabilan negara. Oleh karena itu, sudah banyak konsep terkait konflik yang dikemukakan oleh banyak pakar. menurut (Fisher, 2001:3) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki,sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Selain itu ada pendapat lain oleh (R.W Mack et.al, 1980:2) menyatakan bahwa sebuah
12
pertentangan dapat berupa sebagai konflik, pertama sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya. Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi, ketiga mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan mengahancurkan “musuh”, keempat interaksi pertentangan diantarai pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan dapat dideteksi dan di mufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan. Konflik merupakan suatu keniscyaan hidup yang harus dihadapi oleh masyarakat sosial, karena pada dasarnya manusia memiliki target masing-masing dan kadangkala mengejar sasaran yang bertentangan, karena memang pada dasarnya konflik meliputi semua hubungan kemanusiaan, baik hubungan sosial, hubungan ekonomi, maupun hubungan kekuasaan (Jamil,2007:6). Ketika ada ketidak seimbangan hubungan ketiga aspek tersebut maka besar kemungkinan hal tersebut yang akan memunculkan suatu konflik dipermukaan, karena apabila keseimbangan dari ketiga sektor tersebut terganggu maka akan muncul suatu persoalan pelik seperti diskrimnasi, pengangguran kemiskinan, tekanan kejahatan dll. Ketika konflik muncul dipermukaan tentu kita dapat melihat bagaimana sesungguhnya tipe konflik yang sedang kita hadapi tersebut, karena menurut (Fisher, 2001:5) ada terdapat 4 tipe konflik berdasarkan hubungan antara tujuan dan tingkah laku: (a). Kondisi tanpa konflik: walaupun dalam persepsi banyak orang keadaan seperti ini merupakan keadaan yang diharpkan, namun tetap perlu adanya usaha jika ingin bertahan lama. (b). Konflik laten (laten conflict): adalah konflik yang berada di bawah permukaan dan sebagaimana telah disarnkan, konflik ini perlu dibawa kepermukaan sebelum dapat diselesaikan dengan efektif. (c). Konflik terbuka: konflik ini mengakar secara dalam serta sangat tampak jelas, dan membutuhkan tindakan untuk mengatasi penyebab yang mengakar serta efk yang tampak. (d) konflik permukaan:konflik ini memiliki akar yang tidak dalam atau tidak mengakar,konflik yang muncul dipermukaan disebabkan oleh kesalahpahaman mengenai sasaran dan dapat diatasi dengan perbaikan komunikasi.
13
Ketika tipe konflik dapat dipetakan tentu akan lebih mudah dalam menganalisis dan melihat berbagai kecenderungan akan penyebab yang dapat melatarbelakangi suatu konflik dapat timbul ditengah masyarakat. Yang pertama adalah Triggers (pemicu), peristiwa yang memicu sebuah konflik namun tidak perlu diperlukan dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan konflik itu sendiri, kemudian, pivotial factors our roots causes (penyebab dasar), yang ketiga adalah mobilizing
factors(
faktor
yang
memobilisasi)
masalah
masalah
yang
memobilisasi kelompok untuk melakukan tindakan kekerasan, dan yang terakhir adalah aggravating factors( faktor yang memperburuk) merupakan faktor yang memberikan tambahan pada mobilizing factors dan pivotial factors, namun tidak cukup untuk dapat menimbulkan konflik itu sendiri (Klem:2007) dalam (Sholihun, 2007:16). Penyebab tersebut secara umum dapat terlihat ketika konflik muncul dipermukaan, namun apabila ingin menganalisis secara komprehensif, ada beberapa teorisasi penyebab suatu konflik yang dapat digunakan teori hubungan komunitas, teori negosiasi utama, teori kebutuhan manusia, teori identitas, teori miskomunikasi antar budaya dan teori transformasi konflik. Ketika akar masalah dan penyebab suatu konflik dapat ditemukan dan di identifikasi, kemudian langkah selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan suatu Konflik, dengan mencari solusi-solusi yang paling tepat dan konstrukrif untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, oleh karena itu perlu dipikirkan lebih matang bagaimana agar resolusi yang dibangun dapat bermanfaat cukup siginifikan, menurut
fisher (2001:7-8) menjelaskan bahwa, resolusi konflik
merupakan upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan, artinya disini resolusi konflik yang diberikan tidak hanya berlaku sementara, namun diharapkan resolusi dapat langgeng hingga tidak akan terjadi konflik lagi dengan isu-isu yang sama. Selanjutnya adalah bagaimana memikirkan setelah konflik muncul dipermukaan, tentu niatan semua pihak untuk segera menyelesaiakan permaslahan tersebut dengan berbagai cara.
14
VI.II. MANAJEMEN PASCA KONFLIK Ada beberapa cara resolusi konflik yang digunakan dalam proses penyelesaian konflik. Menurut johan galtung (1996:21) konflik dapat dicegah atau diatur jika pihak-pihak yang berkonflik dapat menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan menyepakati aturan main untuk mengatur konflik. Johan galtung kemudian menawarkan beberapa model yang dapat dipakai sebagai proses resolusi konflik, meliputi peace making, peace keeping, dan peace building. ketiga rangakaian model resolusi konflik yang dikemukakan oleh galtung memiliki dimensi dan target tujuan masing-masing, namun serangakain model tersebut akan bermuara pada tujuan akhir yaitu mewujudkan perdamaian jangka panjang. Kemudian akan lebih spesifik dibahas ketiga model tersebut guna rujukan dalam pembahasan manajamen pasca konflik yang dilakukan oleh semua pihak dalam perwujudan perdamaian jangka panjang. VI.II.I. Peace making Tahap awal ketika konflik muncul adalah untuk sesegara mungkin menciptakan suatu perdamaian. Perdamaian
dapat diwujudkan dengan daya
upaya negosiasi antara kelompok-kelompok yang memliki perbedaan kepentingan didalamnya (Galtung dalam jamil,2007:72). Ada beberapa metode yang bisa diterapkan dalam mewujudkan suatu perdamaian ini setidaknya dalam rangkaian perwujudan perdamaian di Lampung Timur, dapat menggunakan pendekatan yang resolusi konflik yang dikemukakan oleh ,(Ikhsan Malik, 2003: wirawan, 2010 : Mitchel, 2007: Christoper A. Moore dalam Wirawan,2010): 1. Coercive Pemerintah dapat melakukan kebijakan intervensi sebagai upaya untuk mengendalikan konflik dengan pemaksaan secara fisik (coercive Capacity). Hal ini dapat berupa ancaman dan penjatuhan sanksi kepada pihak yang berkonflik. Selain itu coercive juga digunakan dalam tahap genting, terutama dalam hal menghentikan konflik terbuka yang sedang terjadi 2. Litigasi Litigasi merupakan penyelesaian konflik dengan mengedepanakan jalur hukum sebagai faktor penyelesaiannya, namun disini perlu dicermati, Pemilihan
15
jalur litigasi untuk menyelesaikan konflik harus dipertimbangkan secara bijak karena memiliki beberapa hambatan. Pertama, proses peradilan menyerap banyak waktu dalam jangka panjang. Hal ini menjadi kontraproduktif bagi kaum tertindas karena semangatnya menjadi merosot,menciptakan rasa frustasi, dan pada akhirnya organisasi perjuangan menjadi lemah dan rapuh. Kedua, badan peradilan cenderung berpihak kepada penguasa, akibatnya, terdapat kecenderungan untuk mengalahkan kepentingan rakyat tertindas 3. Non-litigasi Model non-litigasi merupakan model penyelesaian konflik yang berada di luar pengadilan. Penyelesaian konflik melalui lebaga non-peradilan semakin menarik karena lembaga peradilan tak mampu menjawab permasalahan yang semakin banyak. Model non litigasi lebih sering digunakan dalam proses penyelesaian konflik di Indonesia karena dengan melihat berbagai pertimbangan. Peneyelesaian konflik dengan cara non litigasi dapat mengakomodasi segala macam kepentingan yang ada di masyarakat. model non litigasi biasanya direpresentasikan dalam model negosiasi, mediasi maupun arbitraasi, dimana didalamnya biasanya akan mendpatkan suatu kemenangan bersama (win-win solution). Menurut Dahendrof (dalam Surbakti, 1999:160).Negosiasi merupakan langkah pertama yang diambil ketika keinginan berdamai muncul dari diri masyarakat yang berkonflik, karena didalamnya terdapat berbagai unsur aktoraktor yang dimana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan tanpa pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak. Oleh karena itu, negosiasi merupakan langkah ter aman diawal masa perundingan kedua belah pihak. Apabila dalam proses negosiasi masih belum menemukan suatu jalan keluar dalam mendamaikan kedua kelompok yang berkonflik, maka perlu kirannya untuk menggunakan cara lain, salah satunya adalah mediasi. Mediasi merupakan sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif dan upaya untuk mencai sebuah kesepakatan (spencer &Brogan dalam Jamil, 2007:106). Disini mediator diposisikan sebagai
16
pihak
pemberi
saran
atau
menentukan
sebuah
proses
mediasi
untuk
mengupayakan sebuah penyelesaian. Selain itu, juga perlu dicermati bahwa kecakapan mediator untuk membantu menyelesaiakan konflik harus benar benar dilihat, karena menurut (Muslih:2007:107) mediator harus, fokus pada persoalan bukan terhadap kesahalahan orang lain, mengerti dan menghormati setiap perbedaan pandangan, memiliki keinginan berbagi dan merasakan, dan mampu bekerja sama dalam menyelesaikan masalah. VI.II.II. Peace Keeping Setelah perjanjian pembuatan perdamaian terealisasi langkah selanjutnya adalah
bagaimana
mengimplementasikan
hal
tersebut
guna
menjaga
perdamaian/peacekeeping. Peacekeeping sendiri memiliki arti sebagai proses penjagaan keamanan dengan pengakuan masing-masing pihak terhadap perjanjian dan berusaha untuk selalu menjaganya sebagai sebuah perisai dalam penyelesaian konflik yang terjadi selanjutnya. Dalam artian (Galtung:1996) peace keeping diartikan sebagai operasi keamanan yang melibatkan aparat keamanan dan militer. Hal ini perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain. Tahapan menjaga perdamaian merupakan tahap lanjuan dari perjanjian damai yang telah diseapakati oleh pihak-pihak yang berkonflik, menurut (Fisher:2001) menjaga perdamaian adalah kegiatan memantau dan menegakkan kesepakatan, menggunakan kekerasan bila perlu. Caranya mencakup pengawasan terhadap dihormatinya kesepakatan dan dilaksanakannya kegiatan-kegiatan pengembangan diri yang disepakati. Peace keeping pun dalam tata perundang-undangan di Indonesia telah diatur dalam UU NO 7 TH 2012 tentang penangan konflik sosial terutama yang tertuang dalam pasal 7. Dari hal tersebut dilihat bahwa peace keeping merupakan upaya awal yang dilakukan untuk menghindari agar eskalasi konflik tidak muncul kembali. Ketika tahap peace keeping dapat terealisasikan, kedepannya akan lebih mudah lagi dalam menerapkan berbagai macam cara untuk membuat perdamaian yang abadi. Karena pada dasarnya Peace keeping merupakan bagian dari perdamaian negatif dimana peace keeping diharapkan dapat menghentikan segala kekerasan yang
17
sebelumnya telah terjadi di tengah masyarakat. Pada dasarnya operasionalisasi peace keeping dilakukan setelah konflik terbuka mencuat, dan biasanya peace keeping operation hanya memerlukan rentang waktu yang tidak begitu lama, relatif cepat dan sementara. Dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan didalam mandat, suatu peacekeeping operation tidak pernah mampu dalam meredam dan mengakhiri suatu konflik secara independen. Tugas utama dari suatu peacekeeping operation ada dua, yaitu; 1) untuk menghentikan atau membendung konflik dan membantu menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi usaha-usaha peacemaking dapat berjalan, 2) mengawasi jalannya proses implementasi dari suatu kesepakatan yang telah melewati proses negosiasi oleh para peacemakers. peacekeeping berjalan dan menyokong peacemaking setelah negosiasi telah berhasil disetujui dan diterapkan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk melakukan gencatan senjata dan secara tidak langsung akan bekerjasama dengan peacekeeping operation yang ada. Namun pada kenyataaannya terkadang apa yang telah direncanakan tidak sesuai dengan proses implementasi pada kasus tertentu. Operasionalisasi peace keeping yang dikenal pada era dahulu lebih relevan dan pengaplikasian pada konflik yang bersifat internasional. Berbeda dengan saat ini peace keeping mulai diterapkan pada masalah-masalah lingkup yang lebih kecil (UNI:1996) peacekeeping operation lebih sering diturunkan di wilayah atau negara yang mengalami perang sipil yang dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis, religi, serta instabilitas nasional yang disebabkan oleh kurangnya kapabilitas pemerintahan yang ada. Konflik-konflik semacam ini dapat melibatkan lebih dari dua pihak; adanya pihak-pihak yang tidak responsif terhadap otoritas pengaturan yang ada; situasi gencatan senjata yang tidak berjalan efektif; hilangnya aspek hukum; adanya kemungkinan angkatan bersenjata penduduk lokal menjadi pihak oposisi bagi pasukan perdamaian PBB; melibatkan sejumlah besar kaum sipil biasanya karena menjadi korban perang dan masalah pengungsian; hancurnya infrastruktur publik; dan ketidakjelasan wilayah-wilayah yang menjadi tujuan dari operasi perdamaian yang dilakukan.
18
Keberhasilan operasionalisasi peacekeeping tidak terlepas dari para aktoraktor yang memilik andil besar dalam proses tersebut, tanggungjawab dalam proses menjaga perdamaian berada di tangan militer namun tidak menutup kemungkinan bagi aktor lain untuk membantu dalam proses menjaga perdamaian. Operasionalisasi peacekeeping harus berada dibawah kendali militer dan dengan syarat adanya sifat sukarela dan rasa tanggungjawab yang dikedepankan, walaupun intervensi keadaan menggunakan kekuatan militer, sebisa mungkin untuk meminimalisir penggunaan senjata dalam proses dilapangan, mereka dilapangan hanya sebatas menegakan hukum yang selama ini dirasa kurang maksimal. (Review of UN Peacekeeping:2000) VI.II.III. Peace Building Tahap krusial selanjutnya setelah peace making dan peace keeping adalah perwujudan Peace building. Berbagai tahap tersebut tidak dapat dipisahkan dari rangkaian resolusi konflik yang dikatakan (Galtung:1996). Menurut Galtung peace
building
diartikan
sebagai
strategi
atau
upaya
yang
mencoba
mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Dalam tataran yang lebih luas, peace building menurut (Brahimi:2000) dimaknai untuk “membangun kembali landasan perdamaian dan menyediakan berbagai perangkat untuk membangun sesuatu yang lebih dari sekedar ketiadaan perang. Menurut Galtung, proses peace building merupakan proses jangka panjang yang penelusuran
dan
penyelesaian
akar
konflik,
mengubah
asumsi-asumsi
kontradiktif, serta memperkuat elemen yang dapat menhubungkan pihak-pihak yang bertikai dalam suatu formasi baru damai mencapai perdamaian positif. Efek dari panjangnya waktu yang diperlukan dalam penerapan peace building, diepngaruhi oleh target yang ingin dicapai. Karena, menurut Fisher (2001:126-138) pembangunan pasca konflik harus dilaksanakan menyeluruh dan semua aspek harus terkena dampak dari rekonstruksi pasca perang, rekonstruksi harus difokuskan pada sisi fisik, sosial, dan psikologis, dimana secara fisik, kerusakan-kerusakan yang di akibatkan oleh konflik yang terjadi harus dipulihkan
19
terlebih dahulu, kemudian harus adanya rekonstruksi dari dalam diri manusia itu sendiri lewat psikologis para korban konflik. Hal ini terdapat dimensi struktural pada pembangunan perdamaian yang berfokus pada kondisi-kondisi sosial yang mendorong konflik dan kekerasan mengimplikasikan bahwa perdamaian harus dibangun pada fondasi sosial, ekonomi politik yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduk. Misalnya, promosi keadilan substantif dan prosedural melalui sarana struktural, biasanya melibatkan pembangunan institusi dan penguatan masyarakat sipil. Dapat dikatakan semua aspek dari pemrintah maupun masyarakat harus benarbenar dibenahi, dan diharapakan pembangunan perdamaian pasca konflik harus menjadi bagian dari proyek komprhensif untuk membangun kembali lembagalembaga masyarakat. Senada apa yang dikatakan oleh Lederach, (dalam, Pariela,2008) membangun perdamaian di daerah yang dilanda konflik komunal dengan agregasi sosial yang tajam membutuhkan perspektif transformasi konflik dan rekonsiliasi jangka panjang, bukan hanya melakukan respon sesaat atas konflik yang terjadi, tetapi juga merumuskan dan membangun strategi pembangunan perdamaian kedepan
untuk
mengatasi
kesenjagan,
ketidak-adilan,
kemiskinan
dan
rekonstruksi komunitas yang telah hancur akibat konflik menuju perdamaian berkelanjutan dan berkeadilan. Kemudian, Sesuai dengan konteks objek penelitian, terkait pasca konflik yang terjadi di desa Negara Nabung dan Taman asri, akan diidentifikasi berbagai masalah yang berkaitan dengan konflik dan kekerasan, perjanjian perdamaian serta upaya-upaya perdamaian dan proses kelembagaan yang merupakan landasan yang sangat kuat untuk mewujudkan perdamaian yang abadi di ke dua desa tersebut. Pendekatan pembangunan sebagai salah satu cara memutus rantai konflik yang terjadi didasarkan pada tiga asumsi, seperti yang dikemukakan oleh Trijono (2007) yaitu pertama, pembangunan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak asasi manusia untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk kekerasan, kemiskinan, represi, ketidak-amanan dan aliensi budaya, kedua pembangunan dijalankan oleh struktur dan kelembagaan ekonomi dan politik,
20
negara dan pasar yang tidak menekan, sebaliknya membebaskan dan meningkatkan kapasitas manusia untuk terwujudnya perdamaian dan yang ketiga strategi, perencanaan dan kebijakan pembangunan harus peka konflik dan mampu mendorong perdamaian. Konsep pembangunan perdamaian, tidak hanya dianalogikan sebagai pembangunan bangunan secara fisik, namun konsep ini dapat dilihat secara komprehensif, dimana manusia memliki kebutuhan multi dimensi, dan hal tersebut harus terpenuhi, seperti: kesejahteraan, kebebasan, keamanan dan pengembangan identitas kultur. Apabila semua kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi, potensi konflik akan semakin kecil dan bahkan hilang karena manusia akan mengalihkan energi negatif mereka kearah yang lebih positif. Dalam proses menerapkan peace building dalam kehidupan masyarakat, Nicole Ball dalam Crocker at al (2001:723) menyatakan sebagai berikut: 1. Menjamin tingkat keamanan yang memadai bagi masyarakat agar dapat melakukan kembali aktifitas ekonomi, memberi semangat kepada para pengungsi dan orang-orang yang berada dipengasingan untuk membangun kembali diri mereka sendiri, dan meyakinkan para pengusaha untuk berinvestasi. 2. Memperkuat kapasitas pemerintah untuk menyelengagrakan tugas-tugas pokoknya. 3. Membantu mengembalikan pengungsi dan orang-orang yang berada di pengasingan 4. Menyokong tumbuhnya ekonomi rumah tangga, terutama dengan memperkuat sector pertanian tradisional 5. Membantu pemulihan masyarakat melalui proyek-proyek rehabilitasi infrastruktur social dan ekonomi 6. Rehabilitasi infrastruktur yang penting untuk menghidupkan kembali ekonomi, seperti jalan-jalan utama, jembatan-jembatan, pasar-pasar dan fasilitas negara 7. Membersihkan ranjau-ranjau darat dari jalur-jalur taransportasi uatama, area yang padat penduduk, dan tempat-tempat krusial lainnya.
21
8. Menstabilkan mata uang nasional dan rehabilitasi lembaga-lembaga keungan 9. Mendorong rekonsiliasi nasional 10. Memberikan prioritas kepada kelompok-kelompok masyarakat dan daerahdaerah yang pengaruh oleh konflik. Pada titik penting lainnya adalah bagaimana sangat diperlukan peran aktif masyarakat terutama yang terdampak konflik, hal tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan perdamaian. Fisher (2001:132) menjelaskan bahwa ada tiga unsur utama yang perlu diperhatikan ketika memikirkan untuk membangun kembali suatu masyarakat yang mengalami kesengsaraan akibat kekerasan. Proses menuju perdamaian dapat terealisasi melalui tiga konsep, yaitu kebenaran, belas kasihan, dan keadilan. Fisher yakin bahwa dengan mencari keseimbangan diantara ke-tiga unsur ini, rekonsiliasi dapat diusahakan dan rekonsiliasi inilah yang akan menjadi pondasi bagi pengembangan perdamaian. Agar lebih mudah memahai konsep resolusi konflik yang dikemukakan oleh johan galtung, berikut dilampirkan tabel kerangka resolusi konflik yang sudah disederhanakan sebagai berikut: Tabel 1.1 Kerangka resolusi konflik versi Galtung Masalah Strategi Target Kekerasan Peace keeping (aktivitas Kelompok pejuang atau militer) para militer Pertentangan kepentingan Peace making (aktivitas Pemimpin/tokoh politik) Struktur sosial ekonomi Peace building (aktivitas Masyarakat umum dan sikap negatif sosial ekonomi) (pengikut) Sumber: Tubagus Arif Faturahman (2001) dalam (Djamil,2007:72) VII.
KERANGKA PIKIR Diagram 1.1
Konflik
Peace making
Resolusi Konflik
Post Konflik
Peace Keeping
Peace Building
22
Sumber: Diolah secara mandiri oleh peneliti berdasarkan kerangka teori.
VIII. DEFINISI KONSEPTUAL Dalam rangka memberikan arahan pada fokus studi ini, maka perlu dilakukan generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empirik. Selain itu definisi konseptual ini secara khusus sebagai acuan dasar dan panduan penulis dalam melakukan penelitian di lapangan. Secara umum definisi konseptual ini sebagai acuan umum pembaca lainnya agar memiliki konsepsi yang sama terhadap istilah-istilah kunci yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini 1. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki,sasaran-sasaran yang tidak sejalan 2. Peace
Making
merupakan
perwujudan
perdamaian
dengan
menggunakan berbagai daya upaya, mulai dari negosiasi, mediasi dll. 3. Resolusi Konflik merupakan penanganan sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. 4. Peace Keeping adalah proses penjagaan keamanan dengan pengakuan masing-masing pihak terhadap perjanjian dan berusaha untuk selalu menjaganya sebagai sebuah perisai dalam penyelesaian konflik yang terjadi sebelumnya 5. Peace Building merupakan kegiatan membangun kembali landasan perdamaian dan menyediakan berbagai perangkat untuk membangun sesuatu yang lebih dari sekedar ketiadaan perang IX.
DEFINISI OPERASIONAL Pada bagian definisi operasional ini dimaksudkan untuk lebih melihat
bagaiamana keadaan pasca konflik yang telah terwujud, Selain itu untuk memudahkan mengumpulkan data, maka definisi konsep dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator agar mampu menggambarkan dan menjelaskan gejalagejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
23
1. Konflik dalam studi ini meliputi berbagai elemen konflik yang akan dilihat adalah, yang pertama terkait sejarah konflik yang pernah terjadi sebelumnya, kemudian akan fokus melihat kronologi dan dinamika selama konflik beralangsung selain itu faktor pendorong konflik sehingga dapat muncul dipermukaan 2. Peace making dalam penelitian ini bagaimana penggunaan berbagai cara seperti: negosiasi,mediasi, atau litigasi dan bahkan menggunakan kekerasan/coercive dalam perwujudan perdamaian dalam beberapa konflik di Lampung Timur. 3. Peace keeping dalam hal ini fokus yang akan disoroti adalah terkait implementasi perjanjian damai yang telah disepakati yang merupakan salah satu elemen penting peacekeeping, kemudian adalah bagaiamana melihat signifikansi peran yang dimainkan oleh berbagai pihak dalam menjaga perdamaian. 4. Peace Building. fokus lebih rinci akan melihat bagaimana skenario atau program-program mendatang yang dibuat sebagai perwujudan perdamain jangka panjang, disertai dengan menulusuri akar-akar konflik yang menjadi masalah laten di Lampung Timur. Kemudian penyelidikan terkait upaya-upaya yang sampai saat ini telah dilakukan dalam pembangunan perdamaian. X.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metode kualitatif
didefinisikan Creswell (2007)
sebagai sebuah proses penyelidikan untuk
memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam latar ilmiah dan menggunakan pendekatan studi kasus, yang akan menghasilkan data deskriptif dan bersifat narasi, kenapa peneliti menggunakan kualitatif studi kasus disini, pertama pengertian pendekatan studi kasus adalah pendekatan kualitiatif yang penelitiannya
mengeksplorasi
kehidupan
nyata,
sistem
terbatas
kontemporer(kasus) atau beragam sistem terbatas, melalui pengumpulan data
24
yang detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi atau sumber
informasi
majemuk
(misalnya,pengamatan,
wawancara,
bahan
audiovisual,dan dokumen dan berbagai laporan) Creswell (2012) dikarenakan disini melihat suatu konflik yang terjadi antar warga desa negara nabung dan warga Taman asri, pertimbangan mengapa menggunakan metode ini adalah permasalahan ini adalah permasalahan ekskulsif masalah ini sedang hangat terjadi. Selain itu penelitian ini berkenaan dengan satu fase spesifik atau khas namun tetap mempunyai dengan kaitan global. Hasil penelitian dengan pendekatan ini memberi gambaran luas dan mendalam terkait konflik kekerasan. X.I. Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi objek penelitian ini tepatnya berada di Kabupaten Lampung Timur, tepatnya mengambil beberapa desa yang pernah dijangkiti segresi konflik sejak dahulu. yang pertama adalah di Kecamatan Jepara desa Talang Sari, kemudian berada di konflik yang melibatkan dua desa, antara Raman aji dan Batanghari Nuban. Dan yang terakhir adalah konflik yang melibatkan dua desa, yaitu Negara Nabung dan Desa Taman Asri. Keseluruhan konflik tersebut berada di daerah teritorial Provinsi Lampung yang menjadi pintu gerbang dari pulau Sumatera. Daerah yang terkenal menjadi daerah tujuan para transmigrasi yang sukses. Tidak terkecuali di Kecamatan Probolinggo Kabupaten Lampung Timur yang merupakan salah satu daerah tujuan transmigrasi. Desa dengan mayoritas warga transmigran berdampingan dengan desa yang mayoritas warga asli terkadang dapat hidup berdampingan dan harmonis, tetapi juga terkadang tidak harmonis dan
menyimpan bara konflik dikemudian hari. Selain itu
maraknya kriminal yang terjadi di kabupaten Lampung Timur terkadang menjadi penyulut permasalahan yang lebih besar. Keamanan yang kurang terjamin di daerah ini, merupakan salah satu penyulut berbagai permasalahan besar yang terjadi di kemudian hari. X.II. Subyek dan Objek Penelitian Subyek yang akan di teliti dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang ada di birokrasi, seperti Bupati, Kesbang polinmas, dan berbagai pihak di ranah pemerintah terutama pihak yang mengurusi permasalahan konflik. Kenapa
25
penting untuk mencari informasi dari pihak-pihak tersebut, karena didasari pertimbangan bahwa, pihak-pihak tersebut merupakan pihak-pihak yang memliki otoritas dalam membuat suatu kebijakan terkait penanggulanagan konflik yang terjadi di Lampung Timur. Kemudian pihak-pihak berwajib pemangku tanggung jawab pengamanan di masyarakat, yaitu kepolisian dan TNI. Selain itu, peneliti tidak melupakan pentingnya subjek yang berasal dari masyarakat yang berkonflik, meliputi beberapa warga desa Negara Nabung dan Taman Asri, serta pemanku adat dan masyarakat yang memiliki andil dalam proses, mulai konflik muncul hingga pasca konflik terjadi. Sedangkan objek penelitian ini adalah, keadaan sosial, ekonomi, politik, masyarakat sehari-hari
yang ada di kedua desa pasca konflik, terkait
kemungkinan adanya perubahan yang terjadi. Serta, bagaiamana peran semua pihak terutama pihak berwajib, dan pemerintah daerah dan masyarakat bersinergi dalam mewujudkan perdamaian yang abadi di tengah masyarakat. Dalam Proses observasi kesulitan yang didapat peneliti adalah, keadaan masyarakat secara kasat mata sudah berjalan seperti biasa, sisa-sisa konflik terdahulu telah hilang, sehingga dapat dikatakan keadaan masyarakat sudah seperti semula, dan rekonstruksi yang dilakukan telah dilakukan dengan baik. X.III. Jenis Data Menurut Lofland (dalam Moleong, 2005:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Data berupa tindakan diperolah dengan mengamati dan mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian, sedangkan data yang berupa kata-kata diperoleh dari wawancara dengan informan. Pada Penelitian ini jenis data adalah data primer dan data sekunder yaitu: 1. Data primer yaitu data yang diperoleh di lapangan melalui wawancara mendalam dan intensif yang dilakukan secara terbuka dan fleksibel, yang memungkinan informan mengelaborasi nilai dan sikap mereka dan memaknai tindakan mereka. Selain itu juga melalui pengamatan langsung peneliti selama berada di Lampung Timur. Informan yang diwawancarai adalah pihak-pihak yang
26
memliki andil dalam proses awal terjadinya konflik hingga terwujudnya perdamaian, mulai dari pamong kedua desa yang menjadi negosiator awal, dan tidak lupa peran mediator, seperti Bupati, Sekretaris daerah, kepolisian dan TNI yang merupakan stakeholder utama di Lampung Timur dalam mewujudkan perdamaian jangka panjang. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku, makalah dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini. Dokumen tersebut berupa artikel, majalah, koran, maupun dokumen resmi serta rekaman video terkait fokus penelitian. Data yang paling banyak memberikan informasi adalah berupa berita-berita di koran dan berita yang ada di media internet yang memberitakan tentang fenomena konflik sosial yang terjadi di Lampung Timur. Selain itu dokumen perjanjian damai tertulis yang telah disepakati kedua desa, sebagai salah satu dokumen penting yang akan menjadi data sekunder yang dapat membantu analisis kedepannya. Selain itu peraturan daerah yang dibuat khusus sebagai penangkal munculnya konflik kedepannya, hal tersebut menjadi menjadi salah satu data penting yang digunakan peneliti. X.IV. Teknik Pengumpulan Data Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sebagai peneliti. Peneliti merupakan pelaku utama. Adapun cara yang digunakan melalui teknik pengumpulan data yang meliputi observasi (pengamatan), wawancara, dan dokumentasi. a.
Observasi
Menurut Marshall (Sugiyono, 2010:310) melalui observasi, peneliti dapat mengamati dan belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut Observasi digunakan untuk mencari data yang ada di objek penelitian, seperti dalam penelitian ini adalah objek penelitian yang menjadi bahan observasi adalah apa yang terjadi saat ini dalam keadaan pasca konflik. Kemudian adalah melihat bagaimana, dalam jangka waktu hampir satu tahun ini masih adakah usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak- pihak dalam mengkonsolidasikan aspek-aspek yang mednukung dalam perwujudan perdamaian jangka panjang. b. Wawancara
27
Menurut Moleong (2005:186) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam untuk diketahui tentang penginterpretasian situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal itu tidak bisa ditemukan dalam observasi. Teknik pengumpulan data melalui wawancara ini berusaha untuk mendapatkan data dari informan melalui wawancara yang dilakukan, data data yang ingin dicari adalah bagaimana tanggapan-tanggapan dan jawaban bagaimana konflik dapat terjadi, kemudian proses perdamaian hingga dapat terealisasi, hingga tahap paling jauh adalah bagaimana usaha konsolidasi perdamaian jangka panjang. target dari subyek yang menjadi informan dalam proses wawancara adalah orang-orang yang memiliki informasi yang relevan dengan data yang dibutuhkan, seperti, Bupati, anggota DPRD Kabupaten Lampung Timur,Kepolisian, TNI. Alsan kenapa pihakpihak tersebut menjadi informan kunci adalah disamping sebagai mediator dalam perwujudan perdamaian, pihak-pihak tersebut juga berperan aktif sebagai aktor penjaga perdamaian, selain itu, pemerintah daerah sebagai otoritas pembuat kebijakan. Apakah sudah membuat suatu kebijakan yang dapat mendorong suatu perdamaian yang abadi. 3. Studi Dokumen Studi dokumen (documentations) yang dilakukan guna mengungkap buktibukti nyata berbentuk dokumen, peraturan perundang-undangan atau PERDA (peraturan daerah) dan laporan hasilkegiatan. Data utama yang digali dalam teknik ini adalah ikrar perjanjian damai, kemudian adalah segala macam peraturan yang dapat mendukung terhentinya konflik yang sering menerpa Lampung Timur X.V. Teknik Anaysis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif dan data yang diperoleh dianalisis berdasarkan teori Milles dan Huberman (1992). Mereka menyatakan bahwa langkah-langkah dalam analisis data adalah reduksi data, display data, penarikan kesimpulan dan verifikasi
28
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemisahan, perbaikan dan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Dalam penelitian ini langkah pertama adalah peneliti mencoba memilah dan memilih data dan informasi mana yang penting dan tidak penting sesuai dengan topik penelitian. Display data atau penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan. Data yang telah dipilih seperti data wawancara dan pengamatan langsung dianalisis isinya. Lebih dari itu, penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif yang dibantu dengan matriks, tabel, diagram, grafik, jaringan dan bagan yang bertujuan untuk mempertajam pemahaman peneliti terhadap, informasi yang diperoleh. Kemudian disederhanakan melalui penyederhanaan kalimat. Kemudian data disesuaikan dengan judul bab-bab yang telah disusun dalam sistematika bab sebelumnya. Untuk memperoleh validitas atau keabsahan data maka peneliti melakukan cross and ceck antara narasumber yang satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, termasuk juga dalam telaah dokumen. Setelah data dan informasi sudah dianggap valid, peneliti mencoba menarik kesimpulan dari hasil temuan penelitian.Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan. Sehingga data-data yang ada teruji validitasnya. Hasil penelitian tergantung pada intervensi data, sehingga hasil yang diperoleh dapat saja berbeda bila dilakukan oleh orang lain dalam waktu dan tempat yang berbeda. Berkaitan dengan penelitian ini, analisa yang dilakukan dengan cara menginterpretasikan data baik data primer maupun sekunder. Pemahaman atas data atau informasi dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang manajemen pasca konflik yang dilakukan di Lampung Timur XI.
SISTEMATIKA PENULISAN Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat,
studi literatur/ literartur review, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab I ini berisi landasan pemikiran tesis dan operasional kerja tesis.
29
Bab pertama ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang masalah mendasar penelitian ini, termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji dalam konteks sekarang. Bab II, terdiri dari gambaran umum, setting lokasi dan profil beberapa konflik yang pernah terjadi di lampung Timur serta
penanganannya, serta
menganalisis perbedaan penenganan konflik dari era sentralistik ke desentralistik. Bab III, berisi identifikasi type konflik serta pembahasan dan dinamika konflik yang terjadi dibeberapa konflik yang mendera di Kabupaten Lampung Timur. Serta identifikasi model penyelesaian konflik seperti apa yang digunakan sehingga perdamaian dapat terelisasi, serta dijelaskan berbagai usaha yang dilakukan dalam rekonstruksi daruruat konflik Bab IV, menyoroti bagaimana mulai dari proses implementasi perjanjian damai dan peran dari berbagai pihak dalam menjaga perdamaian (peace keeping), kemudian dalam tahap lebih jauh lagi akan menjelaskan bagaimana konsolidasi dan berbabagi cara yang dilakukan demi mewujudkan perdamaian jangka panjang Bab V, kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan tesis mengenai, manajemen pasca konflik yang terjadi di Lampung Timur
30