BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Penelitian ini hendak membahas tentang perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Korea Selatan yang mempengaruhi perubahan terhadap kebijakan wajib militer di Korea Selatan. Sebagaimana diketahui, Wajib Militer merupakan suatu kebijakan yang telah ada sejak Republik Korea Selatan terbentuk dan juga sebagai salah satu instrumen cadangan pertahanan negara yang paling besar. Namun masalah yang timbul akibat dampak dari wajib militer terhadap pemuda di Korea Selatan menjadi masalah yang mengakar di dalam militerisme Korea Selatan. Walaupun dengan seiringnya perkembangan zaman, budaya yang keras dan bullying seringkali menjadi alasan bagi laki-laki Korea untuk menunda dan menghindari masa pengabdiannya kepada negara dalam wajib militer tersebut. Apalagi dengan adanya kasus pembunuhan di dalam lingkungan tentara wajib militer beberapa waktu lalu semakin membuat ketakutan para pemuda laki-laki meningkat.1 Hal tersebut tentu menjadi sebuah ironi dan menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai sikap nasionalisme pemuda laki-laki Korea Selatan, dimana mereka seharusnya dilatih untuk berani dan berjuang gigih untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara dari serangan yang dapat sewaktu-waktu dilakukan oleh Korea Utara. Perang Korea yang tidak pernah berujung damai dan hanya dihentikan sementara, membuat kedua Negara harus berada pada posisi siap siaga. Posisi keduanya yang berdekatan secara geografis membuat ancaman terhadap serangan menjadi lebih besar. Meski saat ini peperangan secara konvensional sudah tidak relevan lagi, akan tetapi bukan berarti hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Hal ini terbukti dari beberapa agresi yang masih dilakukan sebagai sebuah bentuk intervensi pada negara lain, seperti yang dilakukan Amerika terhadap Irak, Iran, Libya, dan Afganistan. Kemudian, walau seperti yang kita ketahui bahwa Korea Selatan sekarang ini merupakan salah satu kekuatan militer yang kuat, kondisi perang tersebut turut terus mendorong Korea Selatan untuk terus meningkatkan pertahanannya hingga beberapa waktu lalu semenjak Korea Selatan menerima banyak ancaman dari Korea Utara. Hal ini pada akhirnya menimbulkan kenyataan bahwa sebenarnya wajib militer masih sangat dibutuhkan bagi negara untuk meningkatkan kewaspadaan dan jumlah tentara aktif 1
H.J. Kim, ‘South Korean military says shooting spree leaves 2 dead’, DFW (daring), 13 Mei 2015,
, diakses 27 Mei 2015.
1
mereka apabila perang tiba-tiba terjadi. Hal ini pun menjadi fakta yang sangat bertolak belakang dengan ketertarikan pemuda Korea untuk melakukan wajib militer yang terus berkurang dari masa ke masa. Amandemen terakhir yang ditulis tahun 2007 dalam Article 3 menyebutkan bahwa “men of Korean nationality must fulfill their military obligation in a satisfactory manner. Women may also accomplish their active duty if they desire.”2 Artikel tersebut mewajibkan pemuda Korea untuk melaksanakan kewajibannya kepada negara dengan sikap yang baik atau memuaskan. Namun kenyataannya banyak pemuda yang menghindari dan mengundur pelaksanaan wajib militer mereka karena takut dengan apa yang akan terjadi di dalam wajib militer.3 Berbagai bentuk pelanggaran atas wajib militer tersebut tidak hanya dilakukan oleh warga sipil biasa namun juga dilakukan oleh figur publik seperti selebriti. Kenyataan tersebut menimbulkan kontroversi baik secara internal negara maupun eksternal di mata internasional. Sebagai negara yang memiliki citra yang baik dengan kebudayaannya dan selebriti nya yang terkenal di seluruh dunia, hal ini menjadi sesuatu yang ganjil apabila seorang tokoh masyarakat
yang
seharusnya
menjadi
contoh
bagi
generasi
muda
untuk
terus
memperjuangkan negaranya. Perbedaan perspektif masyarakat mengenai pentingnya wajib militer, yang diasumsikan oleh akibat dari perkembangan masyarakat demokratis yang melihat bahwa perang secara konvensional belum tentu akan terjadi di jaman modern ini, dan meningkatnya angka kematian dari aksi bunuh diri yang diakibatkan oleh tekanan yang terjadi dalam wajib militer yang membuat takut para pemuda Korea Selatan untuk mengabdi kepada negara. Seiring berjalannya waktu, pemerintah merespon masalah tersebut dengan cara mengubah kebijakan wajib militer terkait masa pengabdian dalam wajib militer tersebut. Pada waktu awal pasca Perang Korea masa wajib militer adalah 3 tahun penuh, atau 36 bulan, kemudian pada pemerintahan Roh Moo Hyun diturunkan menjadi 30 bulan dan 26 bulan, kemudian pada pemerintahan Presiden Lee-Myung Bak diubah dan dipotong masa wajib militer yang mulanya 24 bulan menjadi 21 bulan.4 Sedangkan regulasi mengenai umur dari masa ke masa cenderung tidak ada perubahan yaitu 18-35 tahun untuk pria dan 18-26 tahun
War resisters, “Korea, South”, War Resister’s International Website. Diakses pada situs , diakses pada 2 Maret 2015 3 Kwon, ‘South Korean Military Service: a Private’s Letter’, mykoreanhusband (daring), , diakses pada 27 Maret 2015. 4 E.J. Kim, “S. Korea to cut mandatory military duty by three months (daring)”. Yon Hap News Agency, , diakses pada 2 Maret 2015 2
2
untuk wanita.5 Pada pemerintahan presiden yang baru, Park Geun Hye kembali diwacanakan akan adanya pengurangan masa wajib militer. Memang perdebatan dengan lama nya waktu wajib militer ini seperti timbul tenggelam dan turut diproses dari perumusan kebijakan pertahanan yang ada. Namun, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan demokrasi dan serangkaian upaya pemerintah untuk memodifikasi salah satu kebijakan yang paling krusial di Korea Selatan tersebut menjadi suatu hal yang dan dirasa penting dan menarik bagi penulis untuk diangkat oleh penulis dalam penelitian ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Korea Selatan teradap Wajib Militer di Era Kontemporer? Mengapa wajib militer berubah?”
C.
LANDASAN KONSEPTUAL
Konsep pelaksanaan wajib militer bukan berarti menciptakan masyarakat yang militeristik namun untuk membentuk karakter bangsa yang mencintai tanah air nya sendiri. Keamanan negara bukan hanya urusan tentara saja melainkan seluruh rakyat. Maka dari itu untuk memahami persoalan-persoalan di atas, hendak diajukan konsep awal mengenai makna Wajib Militer bagi negara. Peran wajib militer dalam doktrin militer klasik merupakan hal penting untuk pertahanan wilayah negara. Di tahun 1800an, Napoleon Bonaparte memperkenalkan konsep mobilisasi wajib militer. Kemampuan perancis memobilisasi wajib militer secara cepat ketika itu dapat dilihat sebagai faktor yang mendukung suksesnya Napoleon. Semakin besar jumlah pasukan yang digelar di medan perang menjadi faktor yang menentukan kemenangan. Sekarang konsep mobilisasi wajib militer secara masal ini diterapkan sebagai metode yang dapat menanggulangi agresi militer negara asing. Kemampuan memobilisasi para wajib militer ini dapat menentukan nasib bangsa dalam menangkal ancaman agresi militer negara asing.6 Central Intelligence Agency. “Military Age and Obligation (daring)”. CIA Website. , diakses pada 2 Maret 2015. 6 Editors of Encyclopedia Britannica, ‘Conscription: Military Service’, Britannica (daring), 28 Agustus 2014, 5
3
Terdapat beberapa alasan yang mendasari wajib militer ini, antaranya adalah pertama, pembentukan semangat patriotisme di kalangan generasi muda. Kedua, sebagai komponen cadangan pertahanan negara, dimana menurut modern defense jumlah tentara haruslah terbatas, memiliki keahlian tinggi (expert dan professional). Tentara berfungsi sebagai special force yang dilengkapi dengan persenjataan high technology.Wajib militer diterapkan suatu negara dalam kondisi perang yang membutuhkan mobilisasi pasukan dalam skala besar. Hal ini sering dilakukan Amerika Serikat, dengan konsep conscription seperti dalam Perang Dunia II. Conscription berhasil membentuk citizen soldier. Citizen soldier melibatkan warga negara yang memiliki pekerjaan tetap, cukup umur, juga pada warga negara yang akan bepergian ke luar negeri. Partisipasi masyarakat sipil dalam pertahanan akan meringankan biaya dan memperkuat total defense system.7 Singapura sudah menerapkan wajib militer sejak tahun 1976, sementara Swiss telah memberlakukan wajib militer bagi rakyatnya sejak 200 tahun lalu. Dengan demikian, kecintaan kepada tanah airnya akan tertanam, demikian pula disiplin akan terpelihara. Dengan adanya wajib militer, setidaknya konflik seperti masalah disitegrasi dapat diredam, karena munculnya rasa nasionalisme dan patriotism untuk mempertahankan keutuhan negara. Di Korea Selatan, invasi serta ketegangan dengan korea utara telah mendorong korea selatan mengalokasikan 2,6% dari PDB dan 15% dari pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan militer serta mewajibkan seluruh pria untuk mengikuti wajib militer. Bagi mereka yang menghindari, menolak, maupun melanggar aturan dalam wajib militer tersebut akan dikenakan sanksi penjara selama masa pengabdian mereka di wajib militer. Jumlah tentara aktif di Korea Selatan menempati urutan keenam terbesar didunia, dan urutan kedua dalam jumlah tentara cadangan. Pasukan militer Korea Selatan terdiri atas angkatan darat (ROKA), angkatan laut (ROKN), dan korps marinir (ROKMC). Angkatan bersenjata ini kebanyakan berkonsentrasi di daerah perbatasan zona demiliterisasi Korea (DMZ).8 Untuk memperdalam pemahaman seputar wajib militer dan perang, serta kaitannya dengan peran pemerintah dalam menanggulangi kasus pelanggaran pada wajib militer di Korea Selatan, penulis akan mengkorelasikan hal tersebut dengan Teori Democratic Peace. Gagasan tentang democratic peace berasal dari Teori Liberalisme yang memiliki konsep
, diakses pada 27 Mei 2015. H.C.Dethloff & H.C. Shenk, Citizen and Soldier : A Sourcebook on Military Service and National Defense from Colonial America to the Present, Routledge, New York, 2011, hal.111-127. 8 ISPO, ‘Information on South Korean Military Service’, UCSD (daring), , diakses 27 Mei 2015. 7
4
utama dan fokus pada liberty, liberation, freedom, justice, dan human rights.9 Hal ini dapat dikorelasikan dengan Teori Democratic peace yang percaya bahwa negara yang menerapkan sistem demokrasi atau negara liberal jarang--bahkan tidak pernah--untuk saling berperang dan jarang sekali untuk terlibat dalam military dispute/ konflik militer antar satu sama lain.10 Gagasan awal mengenai democratic peace yang dikemukakan oleh Immanuel Kant pada akhir abad ke -18 adalah konsep mengenai perpetual peace. Kant berpendapat bahwa perang antar negara liberal/demokratis tidak akan terjadi.11 Ia berpendapat bahwa perdamaian merupakan hasil akhir dari interaksi antar negara yang menerapkan pemerintahan republic. Kant percaya bahwa apabila persetujuan dari masyarakat dibutuhkan untuk menilai apakah perang harus dilaksanakan, maka kemungkinan besar rakyat akan menolak untuk melibatkan diri mereka dalam bencana perang. Apabila konstitusi yang diterapkan bukan republic dan subjeknya bukan lah masyarakat, sebuah deklarasi perang adalah hal yang mudah untuk diputuskan karena perang hanya memerlukan suara dan keputusan dari individu tertentu (pemimpin absolut, dictator atau raja/monarki).12 Hal ini dapat dikorelasikan dengan kondisi Korea Selatan yang merupakan negara republik, dan sebagian besar masyarakat nya adalah masyarakat demokratis yang percaya bahwa perang dalam bentuk konvensional tidak perlu dilakukan sehingga penolakan dan penghindaran akan wajib militer masih terjadi. Sementara itu kondisi Korea Utara yang dipimpin seorang diktator dapat mendeklarasi peperangan kapanpun yang dia mau walaupun kemungkinan pecahnya peperangan kecil. Setelah Kant, banyak bermunculan tulisan dengan ide yang sama. Beberapa penulis percaya bahwa negara non-demokrasi lebih rawan menuju konflik dan peperangan pada masa transisi menuju demokrasi. 13 Pendapat tersebut juga mencakup kerawanan negara demokrasi terhadap serangan dari negara tetangga yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi. Bila dilihat dari asumsi-asumsi perspektif liberalisme dalam melihat perdamaian dan perang, negara yang tidak demokratis dan adanya system balance of power seringkali menyebabkan perang. Maka dari itu bentuk liberalisme kedua yang meninjau pada Negara, memberikan solusi untuk level negara bahwa perdamaian dapat tercapai jika adanya national
Slide ke-4 dari ‘Teori HI dalam Perspektif Liberal’, sebuah presentasi oleh Dra. Siti Daulah Khoiriati, MA, Ph.D dalam materi kuliah ke-4 kelas Teori Hubungan Internasional A 2013, Ilmu Hubungan Interasional, Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada. 10 A. Gat, “The Democratic Peace and Theory Reframed: The Impact of Modernity”, World Politics, Vol.58, No.1, Oktober 2005, hal. 73. 11 J. Pugh, “Democratic Peace Theory, a Review and Evaluation”, CEMPROC Working Paper Series, April 2005, diakses melalui <www.cemproc.org/democraticpeaceCWPS.pdf>, pada 5 Maret 2015, hal.3. 12 J. Pugg, hal.3. 13 F. Chernoff, “The Study of Democratic Peace and Progress in International Relations”, International Studies Review, vol.6, no.1, 2004, hal.54. 9
5
self-determination, open government responsive to public opinion, collective security.14 Jika dilihat dari karakteristik pemerintahan yang terbuka dan dapat merespon kepentingan publik maka hal ini merujuk pada sistem yang demokratis, dalam artian bahwa pemerintah yang terbuka akan memungkinkan adanya hubungan dua arah antara rakyat dan pemerintah. Hubungan antara masyarakat dan pemerintah Korea Selatan terjalin dengan terbuka sesuai dengan sistem demokratis, pemerintahan Korea Selatan berusaha sebaik mungkin untuk menampung sebanyak-banyaknya opini dari rakyat mengenai kebijakan wajib militer yang sekiranya masih butuh dievaluasi dikarenakan oleh kurang ketatnya keamanan sehingga dapat terjadi baku tembak beberapa waktu lalu. Bagi pemerintah Korea keselamatan masyarakatnya adalah yang terpenting dalam aktifitas pengabdian kepada negara dalam wajib militer. Kemudian, argumen mengenai konsep democratic peace juga dijelaskan secara komprehensif oleh Michael Doyle dengan juga merujuk pada Kant:15 1. Pada level domestik, bentuk dan struktur institusi pemerintahan demokratis menyebabkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dilakukan dengan hati-hati, dengan latar belakang sebagai sebuah pemerintahan demokrasi liberal, persetujuan rakyat dibutuhkan sebelum aksi militer bisa diputuskan. 2. Pada level Internasional, prinsip untuk menghargai hak asasi manusia dengan tidak melakukan diskriminasi menghasilkan sebuah konsesus diantara negaranegara liberal untuk menghargai moral dan norma yang dimiliki masing masing negara, terutama terkait dengan prinsip non-intervensi. 3. Dalam hubungan antar negara liberal, hal ini ditandai dengan interaksi di bidang sosial dan ekonomi, serta interdependensi. Sebagaimana asumsi 'spirit of commerce' dari Kant, bahwa negara liberal memiliki insentif material untuk mempromosikan kejayaan negara liberal yang lain sebagai mitra perdagangan. 4. Negara-negara liberal dengan sistem demokrasi memiliki pandangan yang sama terkait perang, yang mana perang tidak diperlukan jika ada kerjasama. Selain mengutarakan argumennya, Doyle juga merumuskan tiga pilar democratic peace,16 yakni penyelesaian konflik secara damai antar negara-negara demokratis, nilai-nilai bersama diantara negara-negara demokratis – sebagai suatu fondasi moral bersama, dan kerjasama ekonomi diantara negara-negara demokrasi. T. Dunn, ‘Liberalism’, The Globalization of World Politics, Oxford University Press, New York, 2011, p.103. G. Cavallar,’Kantian Prespectives on Democratic Peace : Alternatives to Doyle,’ Review of International Studies, Vol. 27, No 2, April 2001, hal.231 16 M. Doyle ‘Kant, Liberal Legacies and Foreign Affairs’ pts 1 &2, Philosophy and Public Affairs, 12/3, 1983, hal. 205-235. 14 15
6
Selain dari pendapat Doyle diatas, bisa ditambahkan pula bahwa negara demokrasi tidak saling menyerang karena pemimipin negara-negara demokrasi mencoba untuk menerapkan norma dalam melakukan hubungan dengan negara demokrasi lain. Karena kebijakan yang diambil merupakan hasil dari proses demokrasi di tingkat domestik, maka norma tersebut bisa lebih terjamin penerapannya. Negara-negara demokrasi seperti Korea Selatan percaya bahwa perdamaian bisa dicapai dengan membentuk institusi yang disepakati bersama, sehingga ada norma dan rule of law untuk dipatuhi bersama, karena opini publik merupakan kekuatan yang konstruktif. Secara singkat, tidak terjadinya perang antara negaranegara demokrasi karena negara demokrasi menerapkan nilai-nilai dari liberal seperti demokrasi itu sendiri, ekonomi interdependensi, hukum internasional dan organisasi internasional.17 Andrew Heywood juga berdebat dalam bukunya yang menyatakan bahwa seiring dengan menyebarnya demokrasi, maka muncul lah ‘zones of peace’, dimana konflik militer menjadi hampir tak terpikirkan di area itu. Namun ia juga setuju dengan pendapat ilmuanilmuan terdahulunya bahwa negara demokratis bisa saja berperang dengan negara otoriter/non-demokratis apabila diperlukan sebagai bentuk pertahanan. 18 Kemudian Francis Fukuyama juga menyatakan bahwa semakin besar prinsip-prinsip dan struktur-struktur liberal-demokratis diterima, serta meluasnya kapitalisme pasar, dapat menghasilkan tatanan global yang lebih stabil dan damai. Namun, kadangkala terjadi kontroversi dimana terjadi suatu intervensi liberal yang memberikan ide bahwa demokrasi bisa dan harus dipromosikan melalui ‘perubahan rezim’ yang dilakukan oleh kumpulan kekuatan militer negara demokratis.19 Secara keseluruhan dapat dimengerti bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam liberalism seperti nilai-nilai norma dan hukum, opini publik, institusi yang didasari oleh kesepakatan bersama, merupakan suatu hal yang penting, terkait dengan kualitas demokrasi serta
aspek
perpolitikan
dalam
negeri
yang
juga
mengatur
bagaimana
negara
mempertahankan kedaulatan negara tersebut. Dalam konteks permasalahan penelitian ini, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan dalam masa wajib militer dari masa ke masa yang semakin lama waktunya semakin berkurang, dan keaadaan negara dan warga negara Korea Selatan yang semakin modern, semakin membuka wawasan mereka akan demokrasi dan H. Patapan, ‘Democratic International Relations: Montesquieu and Theoretical Foundation of Democratic Peace Theory’, Australia Journal of International Affairs, Vol.66, No.3, Juni 2012, hal.316. 18 A. Heywood, Global Politics, Palgrave Macmillan, London, 2011, hal.66. 19 F. Fukuyama, ‘Theories of Global Politics’, dalam A.Heywood (Ed.), Global Politics, Palgrave Macmillan, London, 2011, hal. 64, 512-513. 17
7
membuat mereka mempertanyakan urgensi dari kebutuhan akan perang dan kesiapan untuk berperang dengan negara tentangga, Korea Utara. Maka dari itu, berlandas pada Democratic peace Theory yang mengedepankan nilai-nilai liberalism dan resiprositas, pengurangan masa wajib militer merupakan salah satu upaya Korea Selatan untuk mencegah terjadinya perang dan dengan membangun hubungan yang berlandaskan demokrasi dengan negara tentangga sekitar sebagai bentuk strategi politik pertahanan dalam negeri negara mereka.
D.
HIPOTESIS
Hipotesis awal skripsi ini lebih cenderung melihat bahwa perubahan yang terjadi di dalam politik domestik Korea Selatan dalam bentuk perubahan dalam kebijakan wajib militer diduga berkaitan dengan berubahnya cara pandang masyarakat Korea Selatan terhadap perang dan perdamaian, terutama setelah terjadinya demokratisasi di sepanjang tahun 1980an. Masyarakat Korea Selatan yang semakin sadar akan pentingnya hak-hak sipil dan hak-hak asasi mereka sebagai warga negara demokratis, menuntut pemerintah untuk mereformasi kegiatan wajib militer yang sudah berlangsung sejak zaman terbentuknya negara Korea Selatan itu sendiri. Seiiring dengan meningkatnya demokrasi dan tingkat sosial ekonomi dalam masyarakat di Korea Selatan menyebabkan masyarakat merasa bahwa kebutuhan mereka untuk siap pergi berperang akan menurun. Terlebih lagi, opini masyarakat mengenai wajib militer di Korea Selatan juga berubah diduga karena keluhan akan budaya nya yang keras menjadi salah satu alasan akan dukungan dalam perubahan kebijakan wajib militer tersebut. Kasus pemuda Korea yang menunda pengabdiannya untuk menghindari tekanan dan kekerasan yang ada di dalam budaya wajib militer, dikhawatirkan akan berdampak pada sikap nasionalisme pemuda laki-laki Korea. Di sisi lain, wajib militer saat ini lebih menekankan pada aspek nasionalisme, sehingga evaluasi mengenai kebijakan wajib militer ini direvisi dan dikurangi masa pengabdiannya. Karena bagi warga laki-laki Korea Selatan, mereka dapat terlibat secara langsung dalam melindungi negara, sekaligus meningkatkan kesadaran mereka sebagai bagian dari negara.
E.
JANGKAUAN PENELITIAN
Fokus analisis dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari perubahan dalam masyarakat di Korea Selatan di Era Kontemporer terhadap perubahan dalam kebijakan 8
wajib militer yang telah terjadi sebelumnya terhadap politik pertahanan Korea Selatan, untuk menganalisa apa penyebab dan strategi pemerintah dibalik perubahan dalam kebijakan wajib militer tersebut, dan untuk menyimpulkan apakah perubahan tersebut mempengaruhi pembentukan sikap nasionalisme masyarakat Korea Selatan. Kemudian, skripsi ini pun akan menelaah perkembangan masyarakat demokratis di Korea Selatan yang dapat dikatakan sebagai penyebab adanya penolakan dan tuntutan atas pelaksanaan wajib militer di Korea Selatan. Penelitian akan dilakukan dengan fokus pada pemerintahan tiga presiden Korea terakhir yakni Roh Moo Hyun, Lee Myung Bak dan Park Geun Hye dikarenakan pada kurun waktu tersebut terjadi pengurangan masa wajib militer secara bertahap yakni 26 bulan menjadi 24 bulan dan juga rencana untuk menguranginya lagi menjadi 21 bulan, serta hal-hal apa saja yang terjadi selama masa tersebut yang mempengaruhi perubahan keputusan para pemimpin pemerintahan dan juga keputusan masyarakat Korea Selatan. Oleh karena itu penulis akan memfokuskan analisa penulisan pada tahun 2008-sekarang untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam rumusan masalah penelitian.
F.
SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini akan terdiri dari empat bab: BAB I Bab ini akan berisi pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesis, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan dari skripsi ini.
BAB II Bab ini berisi pemaparan mengenai gambaran mengenai wajib militer di Korea Selatan, menelaah perkembangan demokrasi di Korea Selatan yang dapat dikatakan sebagai penyebab mulai adanya penolakan terhadap kebijakan wajib militer, serta bagaimana wajib militer ini berlangsung di dalam keadaan masyarakat yang berubah. Lalu, bab ini akan menelaah tantangan pertahanan yang dihadapi Korea Selatan. Dimulai dengan sejarah singkat awal mula terbentuknya kebijakan wajib militer, kemudian pemaparan mengenai fenomena demokratisasi sepanjang tahun 1980-an, kemudian penjelasan tentang tantangan yang dihadapi kebijakan wajib militer semenjak adanya demokratisasi, apa saja yang berubah, siapa yang menolak, siapa yang mendukung, serta pengaruh-pengaruh dan aktor-aktor yang terlibat di dalam pembentukan dan perubahan kebijakan wajib militer tersebut. Bab ini juga
9
akan menjelaskan tentang peran gelombang hallyu dalam meningkatkan rasa nasionalisme pemuda untuk mengikuti wajib militer.
BAB III Bab ini akan berusaha untuk menganalisa penyebab mengapa pemerintah bisa sampai mengubah aturan dalam kebijakan wajib militer yang sudah ada, apa yang berubah dari kebijakan tersebut, lalu bagaimana perubahan tersebut membawa pengaruh dalam pertahanan dan terhadap ancaman perang dari Korea Utara, juga bagaimana pengurangan masa wajib militer tersebut mempengaruhi pembentukan sikap nasionalisme dari pemuda-pemuda Korea Selatan dalam mengikuti wajib militer.
BAB IV Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini.
10