BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana anak mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja dimana keluarga tidak lagi merupakan pengaruh tunggal bagi perkembangan mereka, keluarga tetap merupakan dukungan yang sangat diperlukan bagi perkembangan kepribadian remaja tersebut. Dengan demikian peran orang tua sangat dibutuhkan, terutama karena bertanggung jawab menciptakan sistem sosialisasi yang baik dan sehat bagi perkembangan moral remaja. Remaja sedang tumbuh dan berkembang karena itu mereka memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana (Santrock, 2003). Sedangkan menurut Yusuf (2002), keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi perkembangan penyesuaian individu. Keluarga juga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang, terutama anak. Keluarga berfungsi sebagai seleksi budaya luar dan mediasi hubungan anak dengan lingkungannya. Interaksi sosial awal terjadi dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orang tua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain. Apa yang dianggap benar dan salah oleh keluarga sosial tersebut dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan anggota keluarga (Gunarso, 1991). Keluarga adalah unit satuan masyarakat terkecil yang merupakan suatu komponen kecil dalam masyarakat. Keluarga juga sebagai lingkungan yang kita kenal pertama kali sebelum kita mengenal lingkungan lain dan sekitarnya. Tanpa disadari dengan keluarga kita melakukan sosialisasi antar anggota
1
keluarga, dimana ini akan sangat berpengaruh untuk bersosialisasi dengan lingkungan luar dan sekitarnya. Dengan keluarga pula, pengetahuan dasar tentang hidup kita dapatkan, bagaimana kita seharusnya bertindak, berperilaku, berfikir secara benar, dll. Fungsi lain adalah sebagai pengembangan individu kita, karena keluarga yang baik pastinya akan mengarahkan kita untuk mencapai individu yang berguna bagi lingkungan keluarga sendiri, maupun lingkungan luar. Dalam keluarga terkadang terdapat permasalahan, dan tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami istri tidak selamanya berada dalam situasi yang damai, tentram dan terkadang hingga mengarah pada perceraian. William (dalam Veronica 2003), berpendapat bahwa perceraian merupakan terputusnya keluarga. Karen Lyners (2000) juga menegaskan bahwa perceraian dapat mempengaruhi kondisi remaja yang cenderung takut membangun hubungan dengan lawan jenisnya serta fobia akan pernikahan. Sedangkan menurut Ross (2003), satu dari empat remaja yang mengalami perceraian orang tua punya kecenderungan mengalami depresi, mereka merupakan kelompok paling rawan menjadi korban narkotika dan obat-obat psikotropika lainnya. Selain itu William (dalam Veronica 2003) mengungkapkan dampak perceraian adalah hilangnya rasa persahabatan (kasih atau rasa aman), hilangnya modal peran orang dewasa bagi para remaja. Hilangnya modal peran dari orang dewasa, khususnya orang tua memungkinkan remaja untuk mengambil orang lain sebagai modal peran bagi dirinya, dan hal ini akan berdampak negatif bagi remaja apabila model peran yang dijadikan panutan bagi dirinya mempunyai perilaku yang negatif. Salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan. Dengan demikian berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri. Lesley (dalam Erna, 1999) mengemukakan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman didalam keluarga. Dampak
2
perceraian lain yang terlihat adalah meningkatnya “perasaan dekat” anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu. Selain itu anak-anak dengan orang tua yang bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi inferior dengan anak-anak lain. Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orangtua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka. Dampak perceraian yang dirasakan oleh anak antara lain : 1. Tidak aman 2. Tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuanya yang pergi 3. Sedih 4. Kesepian 5. Marah 6. Kehilangan 7. Merasa bersalah dan menyalahkan diri Dari data yang penulis temukan, jumlah perceraian di Indonesia semakin meningkat. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), kurun 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Fenomena masuknya perkara perceraian ke Pengadilan Agama memang meningkat, dalam 5 tahun terakhir peningkatan perkara yang masuk bisa mencapai 81%. Di satu sisi, itu adalah bentuk kesadaran hukum masyarakat. Namun, disisi lain, kesadaran hukum tersebut harus dibina agar masyarakat lebih memperbaiki kehidupan pernikahan. Dari data Ditjen Badilag 2010, kasus tersebut dibagi menjadi beberapa aspek yang menjadi pemicu munculnya perceraian. Misalnya, ada 10.029 kasus perceraian yang dipicu masalah cemburu. Kemudian, ada 67.891 kasus perceraian dipicu masalah ekonomi. Sedangkan perceraian karena masalah
3
ketidakharmonisan dalam rumah tangga mencapai 91.841 perkara. Tak hanya itu, Ditjen Badilag juga mengungkapkan, pemicu perceraian adalah masalah politik. Tercatat ada 334 kasus perkara perceraian yang dipicu masalah politik. Adapun secara geografis, perkara perceraian paling banyak terjadi di Jawa Barat yakni 33.684 kasus, disusul Jawa Timur dengan 21.324 kasus. Di posisi ketiga adalah Jawa Tengah dengan 12.019 kasus. Secara tidak langsung perceraian dapat memberikan dampak pada anak yang orang tuanya bercerai, terutama pada remaja. Kondisi remaja yang disebabkan oleh perceraian orang tua itu lebih serius dibandingkan dengan perpisahan yang disebabkan oleh kematian. Hal ini dikarenakan perceraian orang tua membuat remaja cenderung berbeda dalam mata kelompok teman sebayanya. Jika anak ditanya dimana orang tuanya, atau mengapa mereka mempunyai ayah atau ibu yang baru sebagai pengganti orang tua yang tidak ada, umumnya mereka akan merasa serba salah dan malu. Rumah tangga yang pecah dapat lebih merusak anak dalam membangun hubungan sosialnya dengan teman sebayanya atau dengan lingkungan sosialnya. Darmawanti (2006) menyatakan bahwa dampak peceraian pada remaja adalah adanya penyimpangan perilaku pada remaja, hal ini akan termanifestasi dalam bentuk perilaku, yaitu: 1. Suka mengamuk, menjadi kasar dan tindakan agresif lainnya. 2. Menjadi pendiam, tidak lagi ceria dan tidak suka bergaul. 3. Sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasinya di sekolah cenderung turun. 4. Suka melamun terutama mengkhayal orang tuanya akan bersama lagi. Peran orang tua dalam perkembangan dan pertumbuhan remaja adalah sangat mutlak. Menurut Teller (1995) status perkawinan orang tua dapat mempengaruhi penyesuaian sosial remaja. Status perkawinan orang tua yang tidak bercerai akan memberikan dampak yang positif bagi penyesuaian sosial
4
remaja. Remaja akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Suharni dan Sayekti (2001) juga menegaskan bahwa remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga tidak bercerai memiliki kecenderungan interaksi sosial lebih baik. Menurut Havighurst (1964) hubungan yang baik dalam usia remaja adalah usia dimana remaja mengembangkan kompetensi mereka dalam membangun hubungan dengan teman seusianya dan masa-masa mereka mengadaptasi nilai-nilai dalam masyarakat yang harus mereka pegang sebagai norma perilaku mereka. Tetapi hal ini terkadang tidak dapat berjalan dengan baik. Perceraian orang tua dapat menyebabkan kompetensi sosial remaja menurun, hal ini ditegaskan pula oleh Rorgan dan Rector (2000), mereka berpendapat bahwa perceraian orang tua dapat menurunkan kompetensi sosial remaja, yang seharusnya pada usia ini mereka banyak membangun pertemanan dengan teman-teman sebayanya dan remaja juga mengalami ketakutan untuk membangun hubungan dengan lawan jenis mereka, sehingga dapat mempengaruhi penyesuaian sosial, terutama dengan lawan jenisnya. Keluarga tidak bercerai akan memberikan pengaruh pada remaja untuk menjadi lebih percaya diri, selain itu akan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya karena adanya rasa saling menghargai antar anggota keluarga. Pada dasarnya manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, sebagai makhluk sosial maka manusia membutuhkan hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini manusia disebut juga sebagai social animal atau hewan yang memiliki naluri untuk hidup bersama. Untuk hidup bersama maka manusia perlu berhubungan dengan orang lain. Dalam tahap berhubungan dengan orang lain inilah yang dikatakan sebagai seseorang berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, maka interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Gillin & Gillin dalam Soekarno: 1990).
5
Dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan baik akan menghasilkan umpan balik yang baik pula. Komunikasi interpersonal diperlukan untuk mengatur tata krama pergaulan antar manusia, sebab dengan melakukan komunikasi interpersonal yang baik akan memberikan pengaruh langsung pada struktur seseorang dalam kehidupannya (Cangara, 2006). Komunikasi interpersonal dalam keluarga sangat penting karena adanya komunikasi interpersonal antar sesama anggota keluarga maka akan tercipta hubungan yang harmonis dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu anggota keluarga. Yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal dalam keluarga yaitu hubungan timbal balik antara anggota keluarga untuk berbagi berbagai hal dan makna dalam keluarga. Tujuan dari komunikasi interpersonal dalam keluarga yaitu untuk mengetahui dunia luar, untuk mengubah sikap dan perilaku. Oleh karena itu dengan melakukan komunikasi interpersonal yang baik diharapkan perkembangan pemahaman moral akan berjalan baik pada seorang remaja (Widjaja, 2000).
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian, yaitu : bagaimana komunikasi interpersonal anak remaja pasca perceraian orang tuanya?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai komunikasi interpersonal anak remaja pasca perceraian orang tuanya.
6
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Dari segi teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
dalam
ilmu
komunikasi,
mengenai
komunikasi
interpersonal anak remaja pasca perceraian orang tuanya, dan bagi peneliti selanjutnya dapat memperdalam lagi tentang komunikasi interpersonal anak remaja pasca perceraian orang tuanya.
1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat mengenai dampak perceraian orang tua terhadap anak remajanya dan untuk mengetahui komunikasi interpersonal anak remaja pasca perceraian orang tuanya.
7