BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Sungai merupakan alur air alami, mengalir menuju samudera, danau, laut, maupun ke sungai yang lain, menjadi satu bagian dari siklus hidrologi. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari hasil presipitasi. Pada beberapa wilayah tertentu, air sungai juga dapat berasal dari lelehan es atau salju. Selain air, sungai juga mengalirkan sedimen dan polutan. Sungai adalah sistem yang kompleks, terdiri dari banyak komponen yang saling berhubungan dan berpengaruh dalam suatu sistem yang sinergis dan mampu menghasilkan sistem kerja yang efisien. Kompleksitas sungai dapat diketahui dari bentuk alur dan percabangan sungai, formasi dasar sungai, morfologi sungai, dan ekosistem sungai (Maryono, 2003). Dalam perkembangan ruang dan waktu, jaringan sungai akan membentuk pola alur tertentu di antara saluran utama dengan cabang-cabangnya. Pola alur sungai dapat diklasifikasikan atas dasar bentuk dan teksturnya. Bentuk atau pola, berkembang dalam merespon terhadap topografi, struktur geologi, dan litologi batuan dasarnya. Alur sungai berkembang ketika air permukaan meningkat dan batuan dasarnya kurang resisten terhadap erosi. Jenis pola alur sungai antara alur sungai utama dengan cabang-cabangnya di satu wilayah dengan wilayah lainnya sangat bervariasi. Adanya perbedaan pola alur sungai antar wilayah sangat ditentukan oleh perbedaan kemiringan topografi dan struktur batuan dasarnya. Pola alur sungai yang umum dikenal adalah pola dendritik, radial, rectangular, trellis, anular, dan paralel. Menurut aliran airnya, sungai dibedakan menjadi sungai permanen dan sungai non-permanen atau musiman.
1
Proses geomorfologi utama yang terjadi di sungai adalah erosi, longsor tebing, dan sedimentasi. Air yang mengalir di sungai sebagai fungsi dari gaya gravitasi merupakan sarana transport material yang longsor dan atau tererosi, kemudian tersedimentasi pada daerah yang lebih rendah. Erosi adalah kombinasi proses pengikisan, pengangkutan, dan pemindahan materi lapukan batuan, kemudian dibawa ke tempat lain oleh tenaga pengangkut. Sedimentasi adalah proses pengendapan material yang berasal dari tempat lain (Dibyosaputro, 1997). Bagian terpenting pada proses geomorfologi di suatu alur sungai adalah aliran air. Sungai memiliki peranan yang penting, tidak hanya dalam dinamika permukaan bumi, akan tetapi berpengaruh terhadap manusia di bumi (Morisawa, 1968). Sungai juga memberikan manfaat yang besar, baik bagi lingkungan, maupun kehidupan manusia. Secara alamiah, fungsi sungai dalam kaitannya dengan ekologi dijabarkan oleh Agus Maryono (2005), antara lain : sebagai saluran eko-drainase, sebagai saluran irigasi, dan fungsi ekologi. Sungai dalam suatu sistem sungai merupakan komponen eko-drainase utama pada basin yang bersangkutan. Bentuk dan ukuran alur sungai alamiah, dalam kaitannya dengan eko-drainase, merupakan bentuk yang sesuai dengan kondisi geologi, geografi, ekologi, dan hidrologi daerah tersebut. Konsep eko-drainase yang diusulkan oleh Maryono (2001) dalam Maryono (2005), eko-drainase diartikan suatu usaha membuang atau mengalirkan air kelebihan ke sungai dengan waktu seoptimal mungkin, sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai terkait (akibat kenaikan debit puncak dan pemendekan waktu mencapai debit puncak). Sungai alami mempunyai bentuk yang tidak teratur, ketidak teraturan ini pada hakikatnya berfungsi untuk menahan air supaya tidak cepat mengalir ke hilir, serta menahan sedimen. Di samping itu, dalam rangka memecah atau menurunkan energi air tersebut. Fungsi sungai terkait perencanaan bangunan irigasi teknis yaitu sungai dapat dipakai sebagai saluran irigasi, apabila dari segi teknis memungkinkan.
2
Kehilangan air di saluran dengan menggunakan sungai kecil, lebih sedikit dibandingkan menggunakan saluran tanah buatan, karena pada umumnya porositas sungai relatif rendah mengingat adanya kandungan lumpur dan sedimen gradasi kecil yang relatif tinggi. Penggunaan sungai untuk irigasi tetap harus mempertimbangkan besarnya debit tambahan maksimum yang masih dapat ditolelir, baik bagi hidraulik maupun ekologi sungai tersebut. Fungsi ekologi sungai erat kaitannya dengan habitat flora dan fauna di sekitar sungai tersebut dan bantarannya. Keberadaan komponen biotik sekaligus sebagai barometer kondisi kualitas air sungai di daerah tersebut. Sungai memiliki kemampuan alamiah untuk menetralisasi diri apabila terjadi pencemaran atau kejadian bencana yang merubah kualitas dan kuantitas air dan saluran sungai tersebut. Meskipun demikian, sungai tetap memiliki ambang batas maksimum terhadap pencemaran ataupun gangguan. Apabila usaha pengelolaan sungai tidak tepat dan pelestarian sungai tidak berjalan, dapat menyebabkan disfungsi alamiah sungai yang berujung kepada permasalahan kerusakan ekosistem di sekitar sungai itu. Fungsi alamiah sungai secara teknis yakni mengalirkan air dan mengangkut sedimen hasil erosi pada DAS dan alurnya, yang keduanya berlangsung secara bersamaan dan saling mempengaruhi (Mulyanto, 2007). Alur sungai yang terbentuk pada bentuklahan vulkan umumnya berpola radial. Proses di dalamnya, selain dipengaruhi faktor fisik wilayah juga dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi. Pola radial arah alirannya menyebar secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu, seperti puncak gunungapi atau bukit intrusi. Pola radial yang kompleks pada bentuklahan vulkanik disebut multiradial, dapat berupa radial sentrifugal maupun sentripetal. Alur sungai yang mengalir di wilayah gunungapi kebanyakan bersifat musiman, yakni keberadaan air melimpah hanya saat bulan basah dan alirannya labil, sebab dinamika yang terjadi di sungai - sungai ini tinggi, terlebih apabila gunungapi tersebut sangat aktif. Erupsi gunungapi dapat mempengaruhi sistem hidrologi, ketika kuantitas sedimen terdeposisi di saluran sungai melebihi jumlah normal yang biasanya
3
dijumpai di sistem sungai non-vulkanik (Thouret, 2003; Gran, 2005 dalam Tannaro et al., 2010). Pada saat terjadi erupsi gunungapi, biasanya mengeluarkan bahan – bahan hasil letusan seperti abu vulkanik, batu apung, lava dan material awan panas. Bahan – bahan tersebut sangat mudah terkikis oleh aliran permukaan dan tertutup bahan sedimentasi dari endapan – endapan lainnya. Besarnya volume pengendapan material yang berasal dari hasil erupsi gunungapi berpengaruh terhadap alur sungai yaang mengalir di lereng gunungapi tersebut, terkadang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran daerah pengaliran sungai dan intensitas evolusi dasar sungai semakin meningkat pula. Hal tersebut menyebabkan sungai menjadi sangat labil (Gayo dkk., 1985). Erupsi gunungapi dapat menjadi ancaman bahaya dengan potensi kerusakan besar bagi lingkungan sekitarnya dan juga resiko kematian. Bahaya primer seperti aliran piroklastis, awan panas, dan lahar. Bahaya sekunder atau posteruptive seperti intensitasi laju erosi, remobilisasi, dan redeposisi material piroklastik yang lepas - lepas oleh proses fluvial dan aliran massa (Tanguy,1998; Kuenzi,1979 dalam Manville et al., 2004). Gambar 1.1 merupakan dokumentasi yang diambil pasca erupsi di alur sungai yang mengalir di daerah vulkan Gunungapi Merapi dan Gunungapi Semeru.
a
b
Gambar 1.1 (a) Debris Flow Sungai Curah Lekong, Semeru, 19 Januari 2001 (Suwa & Lavigne, 2003); (b) Sedimen Lahar Sungai Boyong, Merapi, 20 Februari 1995 (Lavigne et al.,2000)
4
Sungai Opak secara geografis terletak di sisi selatan Gunungapi Merapi, dan memiliki aliran utama melewati Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Panjang Sungai Opak kurang lebih 19 kilometer, dengan muara menghadap ke Samudra Hindia di Pantai Samas. Sungai Opak berhulu di lereng Gunungapi Merapi pada ketinggian 1125 mdpal. Aliran Sungai Opak melintas sisi barat Taman Wisata Candi Prambanan dan pernah menjadi batas alami wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Beberapa anak sungainya antara lain Kali Code, Kali Gajahwong, dan Kali Oyo. Proses geomorfologi Sungai Opak erat kaitannya dengan kegiatan vulkanisme, dan merupakan jalur utama aliran material piroklastis yang berasal dari Gunungapi Merapi setelah melewati Sungai Gendol. Kestabilan dasar alur Sungai Opak selain dipengaruhi oleh material Gunungapi Merapi berupa batuan, pasir, dan lumpur juga dipengaruhi oleh adanya bangunan Sabo DAM yang dibangun sepanjang hulu Sungai Opak. Material piroklastik yang turun dalam bentuk aliran lahar diestimasikan masih dapat berlangsung hingga empat musim penghujan setelah erupsi tahun 2010 mengingat masih banyak volume material yang tertimbun di bagian atas (Helmy, 2011). Secara visual, material yang terdapat pada dasar Sungai Opak hulu, tengah, hilir, berbeda dalam hal sortasi ukuran butir. Material di hulu masih bercampur kerikil, begitu pula bagian tengah namun ukuran kerikilnya relatif lebih kecil, sedangkan di hilir berupa pasir bercampur lumpur. Dinamika Sungai Opak selain dipengaruhi oleh kondisi fisik wilayah, juga dipengaruhi oleh aktivitas Gunungapi Merapi. Sedimen yang terangkut aliran Sungai Opak berasal dari agregat material hasil erupsi yang tererosi di wilayah yang lebih tinggi. Volume aliran sedimen dari hasil erosi maupun reruntuhan tebing sungai dimulai dari sumber mata air di daerah gunungapi kemudian terangkut ke tempat yang lebih rendah. Sumber sedimen lainnya yaitu aliran lahar yang membawa banyak material piroklastis, dan mempunyai kemungkinan prosentase volume sedimen pada saluran yang dilaluinya.
5
Proses aliran sedimen akan berbeda dari hulu ke hilir, hal tersebut dipengaruhi oleh tenaga pengangkut. Tenaga tersebut adalah kecepatan aliran yang merupakan fungsi dari intensitas dan tebal hujan, gradien sungai, dan keseragaman dasar saluran. Gambar 1.2 adalah dokumentasi material Sungai Opak dari hulu ke hilir, bahwa semakin ke arah hilir material dasar sungai akan semakin halus.
Gambar 1.2 Material Dasar Sungai Opak dari hulu ke hilir : (a) material percampuran pasir, kerikil dan kerakal; (b) material berupa pasir ukuran sedang bercampur dengan sedikit kerikil; (c) material dominan berupa pasir yang lebih halus (Helmy, 2011) Gunungapi Merapi (2965 m) yang terletak di Jawa Tengah, merupakan salah satu gunungapi teraktif di dunia dengan rata – rata kala ulang kejadian erupsi 2 hingga 4 tahun. Catatan terakhir aktivitas vulkanik yang dilansir dari situs www.volcano.si.edu yaitu erupsi terbesar Gunungapi Merapi pada tahun 2010. Dimulai 26 Oktober 2010 dengan Volcanic Explosivity Index (VEI) 4, menghasilkan total volume lava 2.0 x 106 m3 dan volume tephra 1.3 x 108 m3. Karakteristik erupsi yang terjadi yakni central vent eruption, explosive eruption, pyroclastic flow, ekstrusi kubah lava, aliran lumpur dan lahar. Aktivitas utama tersebut berakhir 22 November 2010. Menurut Lavigne, et al. (2011), tercatat volume tephra erupsi Merapi tahun 2010 sebesar 100 x 106 m3, 10 kali lebih banyak dibandingkan jumlah deposit setelah tipe erupsi serupa di masa lampau. Kondisi tersebut menjadi alasan mengapa aliran lahar yang terus menerus walaupun setelah erupsi tetap menjadi ancaman bahaya. Erupsi utama pada 26 Oktober 2010 ditandai dengan ledakan
6
dan aliran pikroklastik yang bergerak hingga 8 km ke bawah melalui saluran Kali Gendol dan Kali Kuning. Aliran piroklastis dengan material kompleks berlangsung 2-9 menit, tetapi fasa erupsi masih berlangsung hingga 35 menit mengeluarkan awan panas dan abu vulkanik. Kejadian itu menelan setidaknya 35 orang korban. Erupsi kembali terjadi pada awal November 2010, tercatat setidaknya 64 kejadian aliran piroklastik hingga 5 November 2010. Selama periode Oktober – November, abu vulkanik menutup sebagian besar wilayah di sekitar Gunung Merapi, bahkan hingga ke dataran rendah di timur Gunung Merapi (karena terbawa oleh angin). Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari kejadian bencana erupsi Merapi 2010 beserta bencana sekundernya (banjir lahar, wabah penyakit) total korban meninggal sebanyak 386 orang, luka-luka 131 orang, korban evakuasi lebih dari 300.000 penduduk yang 11.000 diantaranya tidak dapat menempati rumah lama mereka kerena telah rusak akibat bencana erupsi (USAID, 2011 dikutip dalam www.vulcano.si.edu). Barulah pada 9 November 2010 hingga Maret 2011 aktivitas Gunungapi Merapi perlahan menurun hingga sekarang. Meskipun sekarang aktivitas Gunungapi Merapi tidak besar, tetap perlu diwaspadai kembali terjadinya bahaya banjir lahar, karena material piroklastik masih banyak menumpuk di hulu sungai-sungai utama yang menjadi lintasan lahar. Gambar 1.3 menunjukkan perbedaan kondisi kubah Merapi sebelum dan pasca erupsi Gunungapi Merapi.
Gambar 1.3 Perbedaan kubah lava Gunungapi Merapi sebelum dan sesudah erupsi, sebagian dari kubah longsor oleh erupsi eksplosiv (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, 2010-2011)
7
Aktivitas gunungapi Merapi tercatat sebanyak 23 dari 61 kejadian erupsi sejak pertengahan tahun 1500 yang menghasilkan sumber deposit lahar. Lahar adalah istilah umum untuk aliran cepat berisi material campuran antara puing batuan dan air dari bahan vulkanis (Lavigne dan Claude, 2002). Kombinasi deposit lahar menutup sekitar 286 km2 pada bagian lereng, dan mencapai beberapa tempat yang lebih rendah di bawah lereng gunungapi tersebut. Pada kasus Gunungapi Merapi, kejadian aliran lahar biasanya dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi di wilayah sekitar Gunung Merapi (sekitar 40mm per 2 jam). Kebanyakan aliran lahar terjadi selama musim penghujan (November – April), dan memiliki rata-rata kecepatan alir 5-7 m/s di titik 1000 mdpal. Fakta tersebut menjadi ancaman bahaya gunungapi, sehingga perlu dipetakan zona bahaya Gunungapi Merapi (Gambar 1.4) sebagaimana yang pertama kali dibuat oleh Pardyanto (1978). Lahar dapat berupa aliran tunggal yang berubah setelah menuruni lembah dari bentuk debris flow menjadi hyperconcentrate flow (Lavigne et al., 2000). Debris flow adalah percampuran dari bahan padatan dan cairan, dengan konsentrasi sedimen umumnya lebih dari 60% per volume dan 80% per berat. Konsentrasi sedimen pada hyperconcentrate flow berkisar dari 20-60% per volum dan 40-80% per berat (Beverage & Culbertson, 1964 dalam Lavigne et al., 2002). Deposit lahar yang berasal dari Gunungapi Merapi mengalami sortasi yang kurang baik, dan terdiri dari partikel dengan rentang ukuran debu hingga bongkah. Teksturnya pasir berbatu atau batu berpasir, karena sumber materialnya bongkah dan abu kasar hasil runtuhan dari aliran piroklastik khas Gunung Merapi (Lavigne et al., 2000). Sungai Opak merupakan salah satu dari 13 sungai utama yang mengalirkan bahan erupsi Gunungapi Merapi. Hulu Sungai Opak bertemu dengan Sungai Gendol yang mampu menampung volume material piroklastik dalam jumlah yang besar.
8
Gambar 1.4 Peta Bahaya Gunungapi Merapi (VSI, 1995) skala 1:100.000 membagi 3 zona bahaya erupsi, dan Sungai Opak hulu termasuk zona bahaya sekunder (Pardyanto, 1987 dalam Lavigne, 2000) Material piroklastik hasil erupsi akan bergerak dalam aliran apabila intensitas hujan cukup besar untuk mengangkutnya ke bawah. Catatan dari erupsi tahun 2006, aliran piroklastis, lahar, dan longsor yang terjadi selama musim penghujan Juli - Agustus 2006 telah memindahkan sekitar 1.3 x 106 m3 deposit material dan abu vulkanik (Ralf et al., 2011). Keberadaan material hasil erupsi jelas mempengaruhi hasil sedimentasi. Pada daerah yang curam, aliran piroklastik cenderung mengikuti cekungan topografi. Volume dan persebaran material piroklastis pada suatu saluran tergantung pada ketebalan material sebelumnya (kaitannya dengan kedalaman saluran semula), detail morfologi dari tebing lembah, letak belokan, penampang melintang saluran, kecepatan aliran, dan
9
kemungkinan dari efek aliran tidak tetap yang disebabkan oleh gelombang kinetik selama pergerakan aliran (Walker, 1995 dalam Gettiser, et al., 2011). Morfologi sungai adalah ilmu yang mempelajari tentang geometri (bentuk dan ukuran), jenis, sifat dan perilaku sungai dengan segala aspek dan perubahannya dalam dimensi ruang dan waktu. Sungai akan terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi, dan hidrologi daerah setempat, serta dalam perkembangannnya akan mencapai kondisi keseimbangan dinamiknya (Kern, 1994 dalam Maryono, 2005). Kondisi geografi menentukan letak dan bentuk alur sungai memanjang dan melintang. Ekologi menentukan tampang melintang dan keragaman hayati serta faktor resistensi sungai, sedangkan hidrologi menentukan besar kecil dan frekuensi aliran sungai. Disamping ketiga faktor tersebut, aktivitas manusia di sungai turut mempengaruhi perubahan morfologi sungai, baik dalam skala kecil, seperti akibat dari adanya penambang pasir sungai secara tradisional, maupun dalam skala besar seperti pembangunan Sabo DAM dan pelurusan alur sungai. Dengan demikian, morfologi sungai akan menyangkut juga sifat dinamik sungai dan lingkungannya yang saling terkait. Morfologi sungai akan mengalami perkembangan baik secara memanjang ataupun melintang. Suatu aktivitas atau kejadian di wilayah sungai akan menyebabkan perubahan baik fisik maupun biotik dengan waktu yang lebih cepat dari perubahan secara alamiah. Morfologi Sungai Opak dari hulu ke hilir seperti pada umumnya sungai – sungai lain. Bagian hulu sungai terletak di daerah yang relatif tinggi sehingga air dapat mengalir turun, dicirikan oleh arus deras membentuk lembah V dengan proses dominan erosi tebing dan transpor sedimen piroklastis. Bagian tengah sungai terletak pada daerah yang lebih landai dengan aliran yang tidak terlalu deras, proses yang berlangsung adalah keseimbangan antara erosi dan sedimentasi. Sedangkan bagian hilir sungai terletak di daerah landai dan sudah mendekati muara sungai, arus aliran lemah, proses sedimentasi berlangsung intensif dan terjadi meandering. Pada gambar 1.5 ditunjukkan adanya perbedaan bentuk lembah dan proses dominan yang berpengaruh dalam membentuk morfologi sungai di hulu, tengah, dan hilir.
10
a
b
c
Gambar 1.5 Kondisi aliran Sungai Opak : (a) hulu sungai di Desa Argomulyo; (b) tengah sungai di Desa Tamanmartani ; (c) hilir sungai di Desa Srigading, (Maryono, 2009) Berdasarkan overview kondisi diatas, tulisan ini akan memaparkan hasil penelitian dan analisis respon perubahan morfologi Sungai Opak yang mengalir di lereng selatan Gunungapi Merapi terhadap adanya dinamika sedimen transpor material piroklastik sisa erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. 1.2. Perumusan Masalah Gunungapi Merapi sangat aktif dalam menghasilkan sedimen lahar hujan. Hal ini dikarenakan jutaan kubik meter deposit piroklastis yang merupakan produk dari aliran lahar, dapat dikeluarkan pada saat erupsi dalam interval 2- 4 tahun. Selain itu, kerentanan akan bahaya lahar hujan juga didukung intensitas hujan yang tinggi dan pola alur sungai yang padat. Di alur Sungai Opak dan sungai - sungai utama lainnya di lereng Gunungapi Merapi, konsentrasi sedimen mengalami peningkatan pada saat lahar mengalir. Lahar merupakan sumber sedimen yang dibawa oleh aliran yang volumenya tidak tetap, maka muatan sedimen berfluktuasi selama aliran (Lavigne dan Claude, 2002). Aliran Lahar terbagi menjadi dua yakni Debris flow dan hyperconcntrated flow. Debris flow di Gunungapi Merapi dapat berlangsung hingga 10 menit, aliran ini membawa sangat banyak material piroklastik, kemudian diikuti hyperconcntrated flow dengan muatan sedimen lebih sedikit. Setelah erupsi Merapi tahun 2010 hingga sekarang, masih menyisakan potensi bahaya sekunder yakni banjir lahar hujan.
11
Dikutip dari wawancara “vivanews” dengan Urip Bahagia, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Kamis 4 November 2011, bahwa sebanyak 4.500 kepala keluarga (KK) atau sekitar 14.000 jiwa yang tinggal di bantaran sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi, khususnya warga di Kabupaten Sleman, terancam bahaya banjir lahar hujan. Ancaman ini jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan waktu yang lama (pada musim penghujan) di puncak Gunungapi Merapi. Warga yang terancam banjir lahar tersebut tinggal di bantaran Kali Gendol, Opak, Kuning, dan Boyong. Potensi paling besar di Kali Gendol karena material Gunungapi Merapi masih mencapai volume 90 x 106 m3 dan alur Kali Gendol ini cukup panjang yang nantinya akan menjadi satu dengan Kali Opak, mulai dari Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak, dan Kecamatan Prambanan. Proses sedimentasi dapat memberikan dampak yang menguntungkan dan merugikan. Keuntungan sedimentasi yaitu pada tingkat tertentu adanya aliran sedimen ke arah hilir dapat menambah kesuburan tanah serta terbentuknya tanah garapan baru di daerah hilir. Tetapi, pada saat bersamaan aliran sedimen juga dapat menurunkan kualitas perairan dan pendangkalan badan perairan. Dalam konteks pengelolaan DAS, kegiatan pengelolaaan yang dilakukan umumnya bertujuan mengendalikan laju sedimentasi karena kerugian yang ditimbulkan oleh adanya proses sedimentasi jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh (Asdak, 2007). Komponen morfologi sungai dapat berubah oleh ketersediaan pasokan sedimen, yang kemudian mempengaruhi terjadinya proses agradasi dan degradasi dasar sungai. Apabila proses agradasi atau peninggian dasar saluran oleh volume sedimen berlangsung intensif di hulu sungai, akan menimbulkan dampak negativ yakni berkurangnya volume saluran, sehingga potensi bencana yang terjadi adalah meluapnya aliran permukaan keluar atau dapat disebut banjir genangan, dengan potensi sekunder yakni rusaknya lahan pertanian di sekitar saluran yang memanfaatkan saluran sungai tersebut sebagai sumber irigasi. Apabila proses degradasi atau penurunan dasar saluran berlangsung intensif, berdampak negativ pada bertambahnya kedalaman saluran, kemudian berpotensi menyebabkan
12
kerusakan infrastruktur, seperti membahayakan kestabilan fondasi pilar utama jembatan maupun tergerusnya tebing sungai akibat aliran air yang semakin cepat dan volumenya bertambah. Penelitian tentang proses sedimentasi, dalam kaitannya merubah morfologi sungai di gunungapi yang menjadi saluran lahar seperti Sungai Opak, belum secara intensif dilakukan. Setelah terjadi erupsi, pemantauan kondisi dan proses yang terjadi seharusnya dilakukan secara periodik, sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan yang efektif baik dari segi tenaga maupun biaya. Selain itu, langkah evakuasi yang berlanjut dengan penanggulangan apabila terjadi bencana banjir lahar juga dapat secara tepat dilakukan. Penelitian ini tentunya memberikan manfaat untuk kebijakan meminimalisir potensi dampak. Pengkajian perubahan morfologi sungai erat kaitannya dengan proses sedimentasi. Kajian tersebut mencakup seberapa besar konsentrasi sedimen suspensi yang terangkut saat debit aliran tinggi (keadaan banjir) dan pada kondisi aliran normal, persebaran ukuran sedimen muatan dasar pada beberapa titik ketinggian, dan perubahan morfologi (bentuk dan profil melintang) sungai kondisi sebelum terjadi erupsi dan sesudahnya. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisa konsentrasi sedimen suspensi yang terangkut pada kondisi debit aliran tinggi (keadaan banjir) dan pada kondisi aliran normal. 2. Mengetahui persebaran ukuran material sedimen muatan dasar pada aliran Sungai Opak di beberapa titik ketinggian (elevasi). 3. Mengkaji perubahan morfologi Sungai Opak kondisi sebelum dan sesudah erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. 1.4. Kegunaan Penelitian Kajian sedimen transport dan perubahan morfologi alur sungai, dari segi keilmuan bermanfaat untuk referensi pengelolaan DAS atau satuan ekologi yang lebih besar. Secara alamiah, tanpa campur tangan manusia, seluruh komponen 13
yang membentuk sungai memiliki skala perubahan ruang-waktu (Gambar 1.6) yang berbeda tergantung kekuatan ekologi dan fisik hidrauliknya masing-masing (Maryono, 2005). Perubahan skala ruang-waktu ini sangat penting guna memahami perubahan alamiah yang biasa terjadi pada sungai dan perubahan yang akan terjadi oleh suatu aktivitas tertentu di sungai. Ditilik dari sudut pandang pembangunan dan kebijakan, informasi mengenai kuantitas sedimen transpor Sungai Opak sangat dibutuhkan. Sungai Opak termasuk sungai utama yang mengalirkan material piroklastis Gunungapi Merapi dalam bentuk aliran lahar. Maka dari itu, informasi tentang sedimen seringkali dibutuhkan untuk pekerjaan – pekerjaan keteknikan seperti perancangan bangunan-bangunan irigasi, (intake, saluran irigasi, dll.), bangunan embung, bangunan pengendali lahar (bendung), tanggul tepi sungai, waduk, dan lain – lain.
Gambar 1.6 Model ruang-waktu perubahan morfologi sungai dari habitat mikro menjadi suatu system DAS yang kompleks (Kern, 1994 dalam Maryono, 2005) Pengaruh ketersediaan sedimen terhadap lingkungan yaitu : apabila sedimen terendapkan terlalu banyak pada suatu saluran, dapat menyebabkan pendangkalan saluran tersebut, yang kemudian mengurangi volume tubuh saluran dalam
14
menampung aliran permukaan. Dengan demikian, seandainya terjadi curah hujan dengan intensitas dan ketebalan tinggi, akan memenuhi ketersediaan air permukaan, bahkan berpotensi melimpah. Apabila badan saluran berkurang volumenya dalam menampung aliran, akan berpotensi menyebabkan meluapnya air atau banjir genangan di sekitar hilir daerah pengaliran yang notabene diperuntukkan sebagai bentang budaya. Dengan mengetahui kecenderungan perubahan morfologi sungai dan analisa sedimen transpor, kita dapat menentukan langkah kebijakan yang tepat dan efektif baik dalam segi biaya maupun tenaga untuk diterapkan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Apakah dengan cara merevitalisasi bangunan penahan aliran, pengerukan sedimen, maupun dengan pembangunan bendung baru apabila dirasa perlu.
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Geomorfologi dan kegunungapian Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bumi itu sendiri, merupakan bagian dari ilmu geografi, yang juga mencoba memahami tentang bentuklahan, yang terkadang juga mempertimbangkan hubungan mineralogi dan petrologi dan dengan paleontologi dan stratigrafi (Lobeck, 1980). Lobeck (1980) menyatakan bahwa proses geomorfologi adalah perubahanperubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi. Penyebab proses tersebut yaitu benda-benda alam yang kita kenal dengan nama geomorphic agent, berupa air dan angin. Keduanya merupakan penyebab erosi yang dibantu dengan adanya gaya berat, dan keseluruhannya bekerja bersamasama dalam melakukan perubahan terhadap permukaan muka bumi. Tenaga tenaga perusak ini dapat kita golongkan dalam tenaga asal luar (eksogen), yaitu yang datang dari luar atau dari permukaan bumi, sebagai lawan dari tenaga asal dalam (endogen) yang berasal dari dalam bumi. Tenaga asal luar pada umumnya bekerja sebagai perusak, sedangkan tenaga asal dalam sebagai pembentuk. Kedua
15
tenaga inipun bekerja bersama-sama dalam mengubah bentuk permukaan muka bumi ini. Geomorfologi tidak sekedar mempelajari bentuk lahan yang tampak saja, tetapi juga mentafsirkan bagaimana bentuk-bentuk tersebut bisa terjadi, proses apa yang mengakibatkan pembentukan dan perubahan muka bumi. Jadi meliputi bentuklahan (landform), proses-proses yang menyebabkan pembentukan dan perubahan yang dialami oleh setiap bentuklahan yang dijumpai di permukaan bumi termasuk yang terdapat di dasar laut atau samudera serta mencari hubungan antara bentuk lahan dengan proses-proses dalam tatanan keruangan dan kaitannya dengan lingkungan. Dengan demikian bahwa dalam mempelajari geomorfologi terkait pada geologi, fisiografi, dan proses geomorfologi yang menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan dalam perubahan bentuk lahan (Lobeck, 1980). Konsep dasar Geomorfologi perlu dipahami secara baik untuk membantu mengenal dan menganalisa kenampakan bentuk lahan di permukaan bumi, sehingga pada akhirnya dapat mengetahui bentuklahan baik secara deskriptif maupun secara empiris, Terutama dalam melakukan klasifikasi bentuk lahan. Aspek geomorfologi menurut Van Zuidam (1983) ada empat macam, yaitu : 1. Aspek morfologi (morphology), terdiri atas aspek morfografi (morphography) yang merupakan aspek - aspek geomorfologi gambaran bentuk muka bumi yang ditelaah, bersifat pemerian suatu daerah. Dicerminkan oleh penggunaan istilah seperti daratan, perbukitan, dan plato. 2. Aspek morfometri (morphometry) yang merupakan aspek geomorfologi kuantitatif dari daerah muka bumi atau bentuk muka bumi yang ditelaah. Meliputi kemiringan lereng, bentuk lereng, ketinggian, beda tinggi, kekerasan medan, bentuk lembah, tingkat pengikisan dan pola aliran. Aspek morfogenesa atau aspek - aspek yang berkenaan dengan asal mula dan perkembangan bentuk muka bumi, terdiri atas :
16
Aspek morfostruktur pasif yang meliputi litologi baik menyangkut tipe batuan maupun struktur lapisan batuan (stratigrafi). Aspek morfodinamis, yang berkenan dengan proses pembentukan dinamika eksogen (berhubungan dengan pengerjaan oleh air, angin, dan es). Contohnya : dunes, teras sungai, dan tanggul pantai. 3. Aspek
morfokronologi
(morphocronology)
yang
berkenaan
dengan
pengidentifikasian usia bentukan atau usia relatif, maupun usia geologis absolut. 4. Aspek
morfospasial
(morphospatial
atau
morfo-arrangement)
yang
berkenaan dengan tatanan dan keterkaitan - keterkaitan spasial, baik letak antar satu bentuk muka bumi dengan lainnya maupun letak antara satu tipe proses geomorfologis tertentu dengan satu atau sejumlah tipe proses geomorfologis lainnya. Salah satu bentukan geomorfologi yaitu gunungapi, atau bentuklahan vulkan. Gunungapi adalah tempat dimana magma keluar ke permukaan bumi. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk luar sebuah gunungapi tidak harus berbentuk kerucut, melainkan dapat berupa bentukan seperti hanya lubang kepundan saja ataupun bentuk sebuah rekah memanjang dan lain sebagainya (Sumintadireja, 2000). Lebih lanjut, Sumintadireja (2000) menyatakan hal terkait gunungapi yang perlu dipelajari ialah struktur gunungapi dengan tipe erupsinya. Magma dengan viskositas tinggi akan menghasilkan fragmen - fragmen dan lava, dengan demikian gunungapi strato terbentuk, untuk magma dengan viskositas yang lebih tinggi lagi dapat membentuk dome atau spine yang diikuti explosi kuat. Faktor lain yang penting bagi pembentukan struktur gunungapi yakni bentuk lubang tempat keluarnya magma dari gunungapi atau disebut proses erupsi. Proses erupsi sendiri tergantung dari viskositas cairan, sehingga tidak terlepas dari komposisi kimiawinya. Karakter ini bukan ditentukan oleh komposisi kimia secara keseluruhan, melainkan komposisi cairnya.
17
Gunungapi aktif didefinisikan oleh Sumintadireja (2000) sebagai gunungapi yang berpotensi terjadi erupsi di kemudian hari dan atau memiliki catatan sejarah pernah terjadi erupsi dan aktivitas secara intensif di maasa lampau, dan berpotensi terulang kembali di masa mendatang. Berdasarkan tinjauan sejarahnya, sebuah gunungapi dianggap aktif apabila pernah tercatat aktifitasnya dalam sejarah kurang lebih selama 1600 tahun. Akar dari suatu gunungapi terletak sekitar 100300 km di bawah permukaan bumi, pada kedalaman tersebut suhu yang sangat panas ini dapat meleburkan batuan dan menjadikannya larutan silikat atau magma. Oleh karena magma lebih ringan dari batuan di sekitarnya dan disertai adanya tekanan gas, maka magma mengapung naik sebagai diapir melalui zona lemah atau rekahan atau sesar. Setelah magma naik dekat ke permukaan bumi tekanan menjadi turun, sehingga gas di dalam magma mengembang dan membuka kulit bumi sebagai suatu proses erupsi gunungapi yang menghasilkan aliran lava secara efusif atau dapat juga berupa letusan atau eksplosif gunungapi sebagai piroklastik (Sumintadireja, 2000). Neuman van Padang dalam Sumintadireja (2000) membuat klasifikasi gunungapi di Indonesia sebagai berikut : Gunungapi tipe A, ialah gunugapi yang mempunyai catatan erupsi di dalam waktu sejarah Gunungapi tipe B, ialah gunungapi yang ada pada tingkat solfatara atau fumarol Lapangan solfatara dan fumarol. Untuk kategori ini, bentuk gunungapi sendiri sudah tidak nampak. Erupsi berdasarkan sumber kejadiannya dikelompokkan menjadi 3 macam yakni erupsi magmatik, preatik, dan preatomagmatik. Erupsi magmatik terjadi akibat magma yang berhasil naik dan keluar ke permukaan bumi, material volkanik dihasilkan oleh suatu proses erupsi yang eksplosif atau efusif. Erupsi preatik terjadi akibat adanya kontak air secara lansung maupun tidak lansung dengan magma. Erupsi preatomagmatik merupakan erupsi magmatik yang diawali
18
oleh erupsi preatik dan diakhiri oleh erupsi yang bahannya berasal dari magma. Proses erupsi magmatik, preatik dan preatomamatik dapat terjadi pada satu gunungapi tetapi waktunya berbeda (Sumintadireja, 2000). Erupsi gunungapi yang bersifat efusif akan menghasilkan lava dengan bermacam-macam
jenis
berdasarkan
ukuran, bentuk,
serta kenampakan
permukaan dan di dalam lavanya sendiri. Lava terutama dikontrol oleh viskositas, kecepatan efusif, dan keadaan lingkungan pengendapannya. Aliran lava dapat dibedakan menjadi lava encer, yng memiliki viskositas dan kandungn silika rendah, dan lava kental yang yang memiliki kandungan silika dan viskositas tinggi. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi dengan bentuk strato, dengan kawah yang tersumbat oleh kubah lava yang dihasilkan oleh erupsi efusif, sedangkan awan panasnya dihasilkan dari lava pijar yang longsor atau langsung dari pusat erupsi. Menurut M.T Zen, dkk (1980) dalam Sumintadireja (2000) Gunungapi Merapi memiliki sifat khusus yaitu siklus periodik keaktifan dalam jangka waktu 2 hingga 3 tahun sekali, atau bisa berlangsung sampai 7 tahun, kemudian beristirahat selama 6 hingga 12 tahun. Ada 4 macam tipe erupsi yang dijabarkan oleh Sumintadireja (2000) pada gunungapi tipe strato, sebagai berikut : Tipe A, magma naik melalui pipa kepundan dan memecahkan kubah yang lama dan membentuk kubah baru atau lidah lava. Pada fase ini, mulai ada letusan kecil tidak terlalu berbahaya yang menghasilkan awan panas. Tipe B, fase ini sangat umum dan dimulai dengan naiknya magma melalui pipa kepundan dan memecah penutup diatasnya dengan letusan letusan kecil dan keluarnya lava. Fase utama menghancurkan sebagian puncak gunungapi, pada fase akhir, lava membentuk kubah atau lidah yang berasal dari lava dengan viskoitas tinggi. Awan panas dapat mencapai 12-14 km jauhnya dari pusat erupsi. Tipe C, erupsi dimulai dengan naiknya magma dengan kandungan gas yang cukup tinggi. Letusan yang terjadi memecahkan penutup di atasnya dan melepaskan gas yang terkandung, tidak ada aliran lava yang terbentuk. Erupsi tipe ini berlangsung singkat. 19
Tipe D, merupakan erupsi yang paling berbahaya, tanpa gunungapi dihancurkan, kaldera terbentuk, dan sangat banyak awan panas. adanya aliran lava puncak. 1.5.2. Konsep DAS, hidrologi, dan aliran sedimen Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau ataupun laut (Manan, 1979 dalam Asdak, 2007). DAS juga merupakan ekosistim yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air, dan manusia dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya (Soeryono,1979 dalam Asdak, 2007). DAS dibedakan menurut bentuk atau pola, dimana bentuk DAS ini akan menentukan pola hidrologi yang ada. Corak atau pola DAS dipengaruhi oleh faktor geomorfologi, topografi, dan bentuk wilayah DAS (Asdak, 2007). Hidrologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejadian, perputaran, dan penyebaran air di permukaan serta di bawah permukaan bumi. Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti jenis tanah, tata guna lahan, topografi, kemiringan, dan panjang lereng (Asdak, 2007). Pegerakan air di bumi, secara umum dapat dinyatakan sebagai suatu rangkaian kejadian yang disebut siklus hidrologi. Siklus hidrologi merupakan suatu sistem tertutup, dalam arti bahwa pegerakan air pada sistem tersebut selalu tetap berada di dalam sistemnya (Soewarno, 1991) . Hidrometri didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari pengukuran air pada siklus hirologi dan atau pengumpulan dan pemrosesan data dasar untuk analisa hidrologi, meliputi kegiatan pengukuran variabel-variabel pada siklus hirologi seperti curah hujan, aliran sungai, evaporasi, air tanah, angkutan sedimen, maupun kualitas air (Soewarno, 1991). Pengetahuan mengenai angkutan sedimen (sediment transport) yang terbawa oleh aliran sungai dalam kaitannya dngan debit sungai akan mempunyai arti
20
penting bagi teknis pengembangan dan pengolahan su,berdaya air, konservasi tanah, dan air, serta perencanaan
bangunan pengamanan sungai (Soewarno,
1991). Dari aspek hidrologi, muatan sedimen biasanya dikaitkan dengan debit aliran sungai yang bersangkutan, yaitu dengan membuat kurva hubungan antara kadar sedimen dengan debit sungai atau dikenal dengan istilah Sediment Discharge Rating Curve. Kurva ini umumnya berbentu logaritmik dan dapat dipakai sebagai alat evaluasi. 1.5.3. Sungai dan aliran sungai Asdak (2007) menyatakan sungai adalah aliran air yang bergerak, baik besar maupun kecil, dan secara geomorfologi pengertian sungai termasuk saluran dalam keadaan tanpa air. Sungai yang salurannya kering sepanjang tahun, terisi air hanya selama dan atau sesaat setelah presipitasi, disebut ephemeral. Jaringan aliran sungai (sistem drainase) dapat terbentuk menyerupai percabangan pohon, segi empat (rectangular), trellis, annular, dan radial (Gambar 1.7). Dalam skala DAS, pola drainase mempengaruhi besarnya debit puncak dan lama waktu berlangsungnya debit puncak (Black, 1991 dalam Asdak , 2007).
Gambar 1.7 Berbagai macam pola drainase sungai (Google search – image) Menurut ketersediaan airnya, saluran sungai yang terisi air dalam setahun tapi saat musim kering airnya sangat sedikit bahkan tidak ada, namun masih menerima aliran dari aquifer sekitarnya apabila water table dalam keadaan cukup
21
tinggi, disebut sungai intermitten. Saluran sungai yang terisi air sepanjang musim, mendapat pasokan air dari aquifer stabil, disebut sungai perrenial (Morisawa, 1968). Klasifikasi sungai berdasarkan ukurannya dibedakan menjadi sungai besar, sedang, dan kecil. Klasifisi ukuran tersebut didasarkan pada lebar dan tinggi sungai, kecepatan aliran dan debit sungai dibuat oleh Leopold (1964). Pada Gambar 1.8 menunjukkan bahwa lebar sungai yang cukup besar namun debitnya kecil maka sungai tersebut diklasifikasikan sebagi sungai kecil. Sebaliknya, jika lebar sungai tidak terlalu besar namun debit besar maka diklasifikasikan sebagai sungai besar, karena kedalaman maupun kecepatan aliran sungai tersebut besar. Sungai – sungai di Indonesia banyak memiliki variasi lebar, kedalaman, serta debitnya, maka klasifikasi sungai dari Leopold sangat sesuai diterapkan (Maryono, 2005).
Gambar 1.8 Karakteristik ukuran sungai berdasarkan lebar, kedalaman, dan kecepatan (leopold, 1964 dalam Maryono, 2005) 22
Aliran sungai terbuka dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Klasifikasi menurut Depeweg dan Mendez (2007) berdasarkan perubahan kedalaman aliran terhadap waktu-ruang dibedakan menjadi aliran steady dan unsteady. Aliran steady yaitu apabila variabel utama aliran tidak berubah dan cenderung tetap terhadap waktu (variabel-variabel pada setiap titik tetap konstan seiring waktu). Aliran unsteady, yaitu apabila variabel aliran (besar dan arah kecepatan, tekanan, berat jenis, lintasan aliran) berubah terhadap waktu di dalam aliran tersebut (Gambar 1.9).
Gambar 1.9 Aliran steady dan unsteady dengan dasar saluran yang seragam (Depeweg & Mendez, 2007) Klasifikasi aliran sungai dalam kondisi normal juga dikemukakan oleh Zhou Liu (2001) berdasarkan gaya yang terjadi dalam aliran, dibedakan menjadi aliran laminer dan turbulen. Aliran laminer terjadi pada kecepatan fluida yang rendah. Aliran terlihat seperti lapisan yang meluncur perlahan, tegangan geser pada aliran ini dirumuskan dengan hukum viskositas newton. Pada aliran turbulen, partikel air berpindah dengan arah menyebar, menyebabkan pertukaran momentum dari satu bagian aliran ke bagian lain yang menyebabkan tegangan geser turbulen (angka reynold), dirumuskan dengan persamaaan Navier-Stokes. Banjir pada suatu aliran sungai terjadi apabila aliran air tidak lagi mampu tertampung oleh palung sungai, karena debit banjir lebih besar dari kapasitas sungai yang ada. Banjir dapat disebabkan oleh tingginya curah hujan wilayah, bentuk fisiografi DAS, kapasitas drainase, dan sedimentasi dasar aliran. Pada
23
sungai-sungai yang mengalir di lereng gunungapi aktiv, umumnya banjir aliran merupakan aliran debris (Zhou Liu, 2001). Penelitian sebelumnya oleh Tiny Manomana (2007) menjabarkan tentang aliran debris. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air dan sedimen dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Sekali aliran ini dimulai (karena kesetimbangan statik antara gaya geser yang ditimbulkan lebih besar dari gaya geser yang menahan), maka jumlah massa yang mengalir, ketinggiannya, serta kecepatannya akan semakin bertambah (mempunyai percepatan). Aliran debris juga mengangkut material sedimen yang sangat besar, berbutir kasar, non kohesif maupun mengangkut material berbutir kecil sampai besar seperti pasir, kerikil, bebatuan kecil, serta bongkah (sand, gravel,cobbless, boulders). 1.5.4. Sedimen transpor A. Pengertian sedimen dan proses transpor sedimen Sungai merupakan jalur aliran air diatas permukaan bumi yang disamping mengalirkan air juga mengangkut sedimen. Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap dibagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk (Asdak, 2007). Proses transpor sedimen yang terjadi yakni dimulai dengan tenaga air hujan melepaskan partikel batuan atau agregat tanah akan menghasilkan butiran - butiran lepas. Butiran – butiran tersebut sebagian terangkut oleh aliran permukaan bebas. Dalam perjalanannya, aliran tersebut melakukan pengikisan terhadap permukaan tanah yang dilalui, sehingga jumlah muatan sedimen yang diangkut bertambah. Muatan sedimen yang terangkut oleh aliran permukaan bebas sebagian akan masuk ke alur – alur sungai dan akhirnya diendapkan pada tempat yang alirannya sudah tidak mampu mengangkut muatan sedimen tersebut.
Berkurangnya
daya
angkutan
tersebut
disebabkan
karena
berkurangnya gradien sungai, adanya belokan alur sungai, bertambahnya material yang diangkut, dan adanya dam – dam sepanjang alur sungai (Siamsuhardi, 1984).
24
Kecepatan transpor sedimen adalah hasil perkalian antara berat partikel sedimen dengan kecepatan rata-ratanya. Besarnya transpor sedimen dalam aliran merupakan fungsi dari suplai sedimen dan energi aliran sungai. Ketika besarnya energi aliran sungai melampaui besarnya suplai sedimen, terjadilah degradasi sungai. Sebaliknya, ketika suplai sedimen lebih besar daripada energi aliran sungai, terjadi agradasi sungai. Selama periode aliran besar (stormflow events), meningkatnya kurva hidrograf berasosiasi dengan meningkatnya laju transpor sedimen. Ketika debit aliran puncak telah terlampaui dan debit aliran berkurang, laju sedimen pun berkurang yang berakibat terjadinya sedimentasi (Asdak, 2007). Sedimentasi sendiri merupakan suatu proses pengendapan material yang ditranspor oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan (Soemarto, 1995). B. Jenis – jenis sedimen angkutan Menurut Soewarno (1991), angkutan sedimen dapat bergerak dan bergeser disepanjang dasar sungai atau bergerak melayang pada aliran sungai, tergantung pada komposisi material (ukuran dan berat jenis) dan kondisi aliran yang meliputi kecepatan dan kedalaman aliran. Jenis sedimen angkutan yang dibawa oleh alur sungai dibedakan menjadi beban bilas (wash load), beban layang (suspended load), dan beban alas (bed load). Beban bilas (wash load) terdiri dari patikel – partikel yang sangat halus dan koloid. Partikel tersebut mengendap sangat lambat meskipun dalam aliran air tenang. Jenis bahan ini didapatkan dari bahan alas (bed material) dalam jumlah yang sangat sedikit, atau terbatas. Aliran turbulen yang biasa saja di alur sungai sudah mempunyai kemampuan besar untuk mengangkut beban bilas, sehingga beban bilas yang diangkut hanya merupakan fungsi penyediaan material yang terdapat di alas sungai (Soemarto,1995). Muatan dasar (bed load) bergerak dalam aliran sungai dengan cara bergulir, meluncur dan meloncat diatas permukaan dasar sungai. Muatan melayang (suspended load) terdiri dari butiran halus yang ukurannya lebih dari 0,1 mm dan senantiasa melayang di dalam aliran air. Penghasil sedimen terbesar adalah hasil longsoran permukaan lereng pegunungan, erosi sungai
25
(dasar dan tebing alur sungai), dan bahan- bahan hasil letusan gunung berapi yang masih aktif (Yusuf Gayo, dkk., 1985). Muatan sedimen melayang (suspended load) dapat dipandang sebagai material sungai yang melayang di dalam aliran dan terdiri dari butiran-butiran pasir halus yang senantiasa didukung oleh air dan hanya sedikit interaksinya dengan dasar sungai, karena selalu terdorong ke atas oleh turbulensi aliran (Soewarno,1991). Kecepatan aliran sungai pada badan sungai selalu lebih besar dibandingkan di tempat dekat permukaan tebing atau dasar sungai. Dalam pola aliran yang berputar (turbulence flow), tenaga momentum yang diakibatkan oleh kecepatan aliran yang tidak menentu tersebut akan dipindahkan ke arah aliran air yang lebih lambat oleh gulungan air yang berawal dan berakhir secara tidak menentu pula. Sebagian tenaga kinetis yang terbentuk oleh momentum bergerak ke dasar sungai, memungkinkan terjadi gerakan partikel – partikel besar sedimen yang tinggal di dasar sungai yang dikenal sebagai sedimen merayap atau muatan dasar, sedangkan partikel yang kecil ukurannya akan terlarut dalam air dan bergerak bersama badan air mengikuti arus kecepatan aliran yang terbentuk karena gradien sungai. Dengan demikian, tampak jelas perbedaan sedimen suspensi dengan sedimen muatan dasar, yaitu ukuran partikel dan cara partikel - partikel tersebut bergerak (Asdak, 2007). C. Hasil sedimen Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Dengan kata lain bahwa, sedimen merupakan pecahan agregat tanah, mineral, atau material organik yang ditransferkan dari berbagai sumber dan diendapkan oleh media udara, angin, es, atau oleh air dan juga termasuk didalamnya material yang diendapakan dari material yang melayang dalam air atau dalam bentuk larutan kimia (Asdak, 2007).
26
Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS dan transpor partikel - partikel tanah yang tererosi tersebut untuk keluar dari DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu pada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan cekungan permukaan tanah, di kaki - kaki lereng, dan bentuk penampung sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS. Besarnya hasil sedimen dinyatakan sebagai volume atau berat sedimen per satuan daerah tangkapan air per satuan waktu.satuan yang biasa digunakan
untuk menunjukkan besarnya hasil
sedimen adalah ton/ km2 per tahun (Asdak, 2007). Menurut jenis sedimen dan ukuran partikel tanah serta komposisi mineral dari bahan induk penyusun, dikenal berbagai jenis sedimen seperti sedimen pasir, liat, kerakal dan lain sebagainya tergantung pada ukuran partikel. Asdak (2007) membedakan jenis sedimen menurut ukurannya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.1. Klasifikasi ukuran sedimen yang lebih rinci dibuat oleh Friedman dan Sanders (1987) dalam Widiyanto (2013) memaparkan ukuran material dari geluh sangat halus (1/512 – 1/256 mm) hingga bongkah sangat besar (> 2048 mm). Hydrographic Survey Team (1995) juga membuat skala ukuran butir material sedimen dari koloid (1/4096 mm) hingga bongkah (256 mm). Kedua tabel klasifikasi tersebut dapat dilihat pada lampiran 1. Tabel 1.1 Jenis sedimen menurut ukurannya
Sumber : Asdak, 2007
27
1.5.5. Morfologi sungai A. Definisi morfologi sungai dan zonasi sungai Morfologi sungai menggambarkan keterpaduan antara karakteristik abiotik (fisik-hidrologi, hidraulika, sedimen transpor) dan karakteristik biotik (biologi atau ekologi) daerah yang dilaluinya. Mangelsdorf & Scheuermann (1980) dalam Maryono (2005) mengusulkan empat faktor utama yang berpengaruh terhadap pembentukan alur morfologi sungai, yaitu : tektonik, geologi, iklim, dan vegetasi. Hubungan antara faktor – faktor tersebut disajikan dalam Gambar 1.10.
Gambar 1.10 Sistem pembentukan morfologi sungai (Mangelsdorf&Scuerman, 1980 dalam Maryono, 2005) Selanjutnya dengan adanya debit air yang mengalir, proses angkutan material sedimen dari daerah tinggi ke daerah rendah berlangsung dan diikuti hidupnya vegetasi sepanjang sungai. Proses yang terus berlangsung ini akan membentuk geometri sungai dengan tampang memanjang dan melintang (landscape sungai) yang spesifik. Geometri sungai menggambarkan keterkaitan antara faktor-faktor biotik dan abiotik sungai yang bersangkutan. Menurut Agus Maryono (2005), alur sungai terbagi menjadi zona memanjang dan zona melebar. Zona memanjang pada umumnya diawali dengan sungai kecil dari mata air di daerah pegunungan, kemudian sungai menengah di daerah peralihan antara pegunungan dan dataran rendah, dan selanjutnya sungai besar pada dataran rendah sampai di daerah dekat pantai. 28
Pada umumnya ditemukan tiga pembagian zona sungai memanjang, yakni sungai bagian hulu (upstream) bagian tengah (middle – stream), dan bagian hilir (downstream). Dari hulu hingga hilir dapat ditelusuri perubahanperubahan komponen sungai seperti kemiringan sungai, debit sungai, temperatur, kandungan oksigen, kecepatan aliran, dan kekuatan aliran terhadap erosi. Faktor yang mempengaruhi perubahan – perubahan komponen tersebut adalah kemiringan sungai, di samping juga jenis material dasar dan tebing yang dilewati sungai. Perubahan kemiringan sungai menentukan perubahan temperatur, kandungan oksigen, dan kecepatan aliran air. Perubahan kemiringan yang dikombinasikan dengan jenis sedimen dasar sungai dan iklim mikro akan menentukan jenis vegetasi sungai. Zonasi sungai secara melintang dapat dibedakan menjadi tiga zona, yakni zona akuatik (badan sungai), zona amphibi (daerah tebing sungai sampai pertengahan bantaran), dan zona sungai (daerah pertengahan bantaran yang sering tergenang banjir sampai batas luar bantaran yang hanya kadang – kadang terkena banjir). Tinggi genangan air atau banjir merupakan faktor dominan yang mempengaruhi perubahan kualitas dan kuantitas habitat serta morfologi sungai. Selain itu, pada zonasi melintang juga terdapat hubungan durasi banjir dengan jenis material sungai. Misalnya, frekuensi dan durasi banjir yang tinggi pada sungai dengan material dasar yang relatif lepas (kandungan lempung sedikit) akan menghasilkan tampang sungai yang relatif lebar. B. Struktur dasar sungai Struktur dasar sungai merupakan hasil dari saling pengaruh antara aliran atau arus dengan material dasar sungai. Bentuk dasar sungai tersebut adalah hasil perubahan formasi dasar sungai, sebagai reaksi material dasar terhadap aliran air baik aliran lateral melintang, spiral, maupun mikro dan makro turbulen. Umumnya, pada sungai alamiah kondisi dinamik material sedimen dasar sungai sudah mencapai kondisi stabil. Jumlah sedimen terendapkan
29
(agradasi) dan erosi terangkut (degradasi) di suatu tempat tertentu di sepanjang alur sungai relatif seimbang. Sehingga bentuk alur sungai bisa dikatakan relatif tetap untuk kurun waktu morfologis (Maryono, 2003). Perubahan kemiringan sungai diartikan sebagai perubahan kekasaran dinding tebing dasar sungai. Transpor sedimen di dasar sungai akan membentuk konfigurasi dasar sungai. Bentuk – bentuk konfigurasi dasar sungai memiliki karakteristik dan hukum yang teratur dan dapat diklasifikasikan ke dalam mikrostruktur dan makrostruktur. Konfigurasi mikrostruktur umumnya terdiri dari riffle, dune, plane bed, anti dune, dan armour layer. Konfigurasi makrostruktur terdiri dari gosong pasir (bars) atau large dune, pulau (island) dan meander. Karakter universal dari struktur dasar sungai adalah bentuknya mengikuti prinsip energi minimal. Semua bentuk dan konfigurasi dasar sungai mengarah resisten terhadap aliran air dan sedimen paling minimal. Bentuk riffle, dune, plane bad dan anti dune merupakan fungsi dari kecepatan dan kedalaman air. Bentukan lainnya merupakan hasil interaksi antara aliran, sedimen dan vegetasi (Maryono 2003). Pola tersebut menunjukkan keteraturan dalam sistem dasar sungai sebagaimana klasifikasi dasar sungai komprehensif (Gambar 1.11), yang diusulkan Maryono (1999) dalam Maryono (2000).
Gambar 1.11 Klasifikasi struktur dasar sungai (Maryono,1999 dalam Maryono, 2000)
30
1.6. Penelitian Terdahulu Tabel 1.2 Penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan Nama Peneliti Bernard Robert
Tahun dan Lokasi 1994, DAS Citanduy
Tiny 2000, Sungai Mananoma Progo , dkk.
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode
Hasil Penelitian
Pendugaan Besar Angkutan Sedimen pada DAS Citanduy
Menentukan besar angkutan sedimen, nilai SDR dan kecenderungan fluktuasi debit sedimen di DAS Citanduy.
Estimasi besar erosi dengan metode USLE (faktor R,L,K,S,C,P) dan besar sedimentasi dengan sediment yield. Kedua data tersebut digunakan untuk menentukan SDR.
1. Peta tingkat bahaya erosi 2. Kurva lengkung sedimen 3. Permodelan erosi sedimentasi DAS Citanduy
Analisis persamaan transport sedimen terhadap fenomena perubahan morfologi Sungai Progo tengah
mengidentifikasi pengaruh dari faktor angkutan sedimen, terhadap fenomena pola perubahan morfologi sungai
Model hitungan angkutan sedimen dibandingkan dengan hasil analisis geometri sungai untuk mendapatkan persamaan transpor sedimen yang memberikan hasil paling baik dan mendekati. Data yang digunakan adalah data profil melintang Sungai Progo tahun 1996 dan tahun 2000.
1. Perhitungan angkutan sedimen didasarkan pada data debit harian yang terjadi sepanjang tahun 1996-2000 2. Tabel Perbandingan hasil perhitungan rumus angkutan sedimen terhadap pengukuran
31
Ismail
2001, Waduk Sermo
Studi tentang Sedimen Sungai pada Inlet dan Outlet Waduk Sermo
Mempelajari morfometri material dasar dan faktor morfologi sungai inlet dan outlet waduk sermo
Pengambilan sampel sedimen dasar di lapangan dengan random sampling, analisis laboratorium untuk kebundaran, diameter, dan skewness material, dan uji statistika T-test untuk menganalisa keseragaman material.
Lavigne & Thouret
2002, Sungai Boyong
Sediment transportation and deposition by raintriggered lahars at Merapi Volcano, Central Java, Indonesia
Memaparkan hasil investigasi terkait transportasi dan deposisi sedimen oleh lahar, termasuk konsentrasi sedimen.
Penggabungan Metode observasional data kejadian lahar selama 2 tahun, pengukuran konsentrasi sedimen suspensi, dan data sabo DAM untuk analisa kualitatif.
Lietz & Debiak
2005, Kanal Pantai West Palm
Development of Rating Curve Estimators for Suspended-Sediment Concentration and Transport in the C-51 Canal Based on urrogate Technology, Palm Beach County, Florida, 2004-05
Membuat estimator rating curve dan model regresi untuk memperkirakan besarnya sedimen tersuspensi berdasarkan hasil analisa sampel yang diambil di lapangan.
Analisis regresi linear sederhana dan regresi linear ganda untuk membuat estimator rating curve data konsentrasi dan muatan sedimen suspensi
1. Karakteristik dan tingkat keseragaman material dasar sungai inlet dan outlet 2. Uji faktor yang paling mempengarui morfometri sungai 3. Uji pengaruh keberadaan waduk terhadap perubahan morfologi sungai 1. Analisis deskriptif sampel sedimen 2. Presentase total sedimen dari berbagai tipe aliran lahar
1. Signifikansi hubungan antara sedimen tersuspensi dengan tingkat kekeruhan air 2. Kurva estimasi konsentrasi dan muatan sedimen tahun berikutnya berdasarkan data lapangan sebelumnya, dengan derajat kepercayaan 95%
32
1. Kurva lengkung debit aliran 2. Kurva lengkung suspensi 3. Estimasi debit runoff
Sigit Nur Cahyo
2008, DAS Tinalah
Debit Suspensi Sungai Tinalah, Kab. Kulon Progo
Mengetahui debit suspensi dan debit runoff rata-rata di Sungai Tinalah
Pengambilan data sampel sedimen suspensi dan pengukuran debit secara langsung di lapangan, analisa laboratorium untuk kadar sedimen
Aisyah Allimudin
2012, DAS Mamasa
Pendugaan sedimentasi pada DAS Mamasa, Kab. Mamasa, provinsi Sulawesi Barat
Menduga besarnya total sedimen serta nilai hasil/ produksi sedimen per satuan luas pada empat cakupan perencanaan Chek Dam
Penggabungan data primer berupa sampel air dan data sekunder berupa data debit aliran sungai dan laju erosi tanah pada tiap unit lahan, serta Aplikasi WMS (Watershed Modeling System).
1. Total muatan sedimen yang dihasilkan dari keseluruhan cakupan perencanaan Chek Dam
Rona Kusuma
2013, Sungai Opak
Kajian sedimen transpor dan perubaan morfologi Sungai Opak pasca erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010
Menganalisa konsentrasi sedimen suspensi dalam debit aliran, mengetahui persebaran sedimen muatan dasar di Sungai Opak, dan mengkaji perubahan morfologi sungai akibat deposisi sedimen di Sungai Opak.
Pembuatan discharge rating curve dan sedimen rating curve untuk data sedimen suspensi, Wolman Pebble Count Method untuk pengukuran data sedimen dasar, analisa geometri dan profil Sungai Opak untuk data sungai kondisi sebelum dan sesudah tahun 2010
1. Sedimen rating curve dan discharge rating curve 2. Persebaran sampel ukuran sedimen dasar sungai dan hasil uji statistic 3. Perbandingan profil alur Sungai Opak sebelum dan sesudah tahun 2010
33
1.7. Landasan Teori Sungai merupakan jalur aliran air yang berfungsi mengalirkan air dan mengangkut sedimen. Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Proses dalam sedimentasi meliputi prose erosi, transportasi, pengendapan (deposition) dan pemadatan (compaction) dari sedimentasi itu sendiri (Soewarno,1991). Proses tersebut berjalan sangat kompleks, dimulai dari jatuhnya hujan yang menghasilkan energi kinetik yang merupakan permulaan dari proses erosi. Begitu tanah menjadi partikel halus, lalu menggelinding bersama aliran, sebagian akan tertinggal diatas tanah, sebagian lainnya masuk ke sungai terbawa aliran menjadi angkutan sedimen. Bentuk, ukuran, dan berat partikel tanah akan menentukan jumlah besarnya angkutan sedimen. Apabila partikel tanah terkikis dari permukaan bumi atau dari dasar dan tebing sungai maka endapan yang dihasilkan akan bergerak atau berpindah secara kontinyu menurut arah aliran air yang membawanya menjadi angkutan sedimen yang dapat diukur di lokasi pengamatan tertentu. Angkutan sedimen dapat bergerak atau bergeser di sepanjang dasar sungai, atau bergerak melayang pada aliran sungai, tergantung pada komposisi (ukuran dan berat jenis) dan kondisi aliran (kecepatan dan kedalaman aliran). Material dasar yang terangkut dapat dibedakan menjadi muatan sedimen dasar dan muatan sedimen melayang (suspensi). Diamping material dasar, juga ada angkutan sedimen sangat halus yang disebut dengan muatan bilas yang lebih tergantung oleh kondisi daerah pengaliran sungai. Dasar sungai biasanya tersusun oleh endapan dari material angkutan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai dan material tersebut dapat terangkut kembali apabila kecepatan aliran cukup tingi. Volume angkutan sedimen terutama tergantung dari perubahan kecepatan aliran yang terjadi karena adanya fluktuasi pasokan air permukaan oleh curah hujan, maupun oleh aktivitas manusia (pembuatan cek dam, pengerukan sedimen, pelurusan sungai). Sebagai akibat dari perubahan volume angkutan sedimen adalah terjadinya penggerusan di beberapa
34
tempat dan n pengendaapan di temp pat lain padda dasar sunngai dan ataau tebing - tebing sungai. Dengan demiikian, angk kutan sedim men turut beerperan dalaam pembenttukan u akkan selalu berubah. Kerangka K teeoritis morfologii sungai, yaang pada umumnya dari penelitian ini, dittunjukkan oleh o skema ddiagram alir pada Gam mbar 1.12.
Gam mbar 1.12 Diiagram alir kerangka k teeoritis penellitian
35
1.8. Hipotesis Perspektif tentang sedimen transpor umumnya akan terus berkembang seiring perubahan ruang-waktu ditambah adanya proses erosi dan vulkanisme dapat mempengaruhi sedimen angkutan dalam aliran. Dinamika fisik ini tentunya tetap menarik untuk diteliti secara periodik dan mendalam. Berdasarkan studi literatur dan pemahaman teori-teori yang telah ada maka ditarik beberapa hipotesis : 1. Konsentrasi sedimen suspensi akan lebih tinggi pada saat terjadi aliran banjir dibandingkan pada saat aliran normal. 2. Ukuran material dasar sungai akan semakin mengecil seiring posisi aliran pada elevasi yang lebih rendah. 3. Konsentrasi dan debit sedimen berkorelasi positiv dengan debit aliran. 4. Terjadi perubahan morfologi sungai dari kondisi sebelum dengan sesudah erupsi Gunungapi merapi tahun 2010 oleh pengaruh dinamika sedimen transpor.
1.9. Batasan Operasional Alur Sungai adalah bagian dari muka bumi yang selalu terisi oleh aliran air yang bersumber dari aliran limpasan, aliran sub permukaan, mata air, dan air bawah tanah (base flow) (Forman & Gordon, 1983; dalam Waryono,2002). Banjir adalah suatu aliran berlebih atau penggenangan yang datang dari sungai atau tubuh air lainnya seperti danau atau waduk, dan menyebabkan atau mengancam kerusakan. Perbedaan antara debit normal dan aliran sungai yang melampaui kapasitas tampung tebing atau tanggul sungai sehingga menggenangi daerah sekitarnya (Peraturan Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial no : P.3/V-SET/2013) Bed load (muatan sedimen dasar) adalah partikel sedimen yang bergerak pada dasar sungai dengan cara menggelinding, atau melompat (Yusuf Gayo, dkk., 1985) Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu)
36
milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter (Peraturan Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial no : P.3/VSET/2013) Debit sungai adalah volume air yang melalui penampang basah sungai dalam satuan waktu tertentu, biasanya dinyatakan dalam satuan m3/detik atau liter/detik (Suryatmojo, 2006). Debit suspensi adalah hasil kali kosentrasi sedimen dengan debit aliran, dinyatakan dalam satuan ton/hari (Soewarno,1991). Dinamika memanjang sungai adalah perubahan elevasi sungai karena perbedaan kemiringan lereng. Kecenderungan berkurangnya kemiringan memanjang sungai pada umumnya mendapat retensi alam, sedimentasi, dan erosi sepanjang tebing sungai (Maryono, 2005). Dinamika melintang sungai adalah adalah perubahan penampang sungai karena perbedaan struktur dasar sungai . Di suatu tempat tertentu secara melintang sungai akan mengalami erosi di satu sisi dan di sedimentasi sisi lain (pada belokan sungai) atau tererosi pada kedua sisinya seperti pada sungai yang lurus (Maryono, 2005). Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan atau adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim lokal (Soewarno,1991). Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu. Intensitas hujan harian selama 1 tahun adalah rata-rata intensitas hujan setiap harinya selama 1 tahun, sedangkan intensitas hujan tahunan, total dari seluruh intensitas hujan sepanjang tahun (Peraturan Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial no : P.3/V-SET/2013) Kadar suspensi adalah jumlah berat material yang tersuspensi kering per satuan volume air, umumnya dinyatakan dalam satuan berat per volume (Chow, 1964 dalam Asdak, 2007).
37
Lengkung debit adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara tinggi muka air dan debit, dibuat berdasarkan data pengukuran debit dari berbagai ketingggian muka air, yang mencakupp keadaan tinggi muka air rendah sampai tinggi (Soewarno,1991). Lengkung sedimen melayang adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara konsentrasi sedimen dengan debit aliran. Biasanya digambarkan pada kertas logaritmik, konsentrasi sedimen digambarkan pada skala mendatar sedangkan debit digambarkan pada skala tegak (Soewarno,1991). Muatan sedimen tersuspensi adalah partikel sedimen yang bergerak diatas dasar sungai dan berada di dalam air dengan cara melayang (Hsien, 1971 dalam Asdak, 2007). Morfologi sungai adalah kajian tentang geometri (bentuk dan ukuran), jenis, sifat dan perilaku sungai dengan segala aspek dan perubahannya dalam dimensi ruang dan waktu. Proses morfologi pembentukan sungai yakni sungai terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi, dan hidrologi daerah setempat,
serta
dalam
perkembangannnya
akan
mencapai
kondisi
keseimbangan dinamiknya (Kern, 1994) Sedimen adalah tanah dan bagian - bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi. Sedimen yang dihasilkan dari proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau berhenti, proses ini disebut dengan sedimentasi (Arsyad, 2000).
Sedimentasi adalah proses pengangkutan pecahan material dalam suspensi atau terbawa oleh aliran air, maupun yang terakumulasi oleh angkutan dasar dengan perantara alami (Garde dan Raju, 1977 dalam Robert, 1994). Stage discharge rating curve adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara tinggi muka air dan debit pada lokasi penampang sungai tertentu. Lengkung aliran dibuat berdasarkan data pengukuran aliran yang dilaksanakan pada muka air dan waktu yang berbeda-beda. Kemudian data pengukuranan aliran tersebut digambarkan pada kertas arithmatik atau kertas logaritmik, tergantung pada kondisi lokasi yang bersangkutan. Tinggi muka air digambarkan pada
38
sumbu vertikal sedang debit sumbu horizontal. Lengkung aliran disamping berguna untuk dipakai sebagai dasar penentuan besarnya debit sungai di lokasi dan tinggi muka air pada periode waktu tertentu, juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan sifat fisik dan sifat hidraulis dari lokasi penampang sungai yang bersangkutan (Suryatmojo, 2006). Suspended sediment discharge rating curve adalah metode kurva dikenal dalam memprediksi debit sedimen tersuspensi. Korelasi biasanya dikembangkan sebagai hubungan antara muatan sedimentasi dan debit. Idealnya, yang diukur debit dan konsentrasi sedimen dilakukan terus menerus, sebagai beban ditangguhkan sedimen lebih tergantung pada sumber, yaitu tingkat erosi pada daerah tangkapan air daripada sungai hidrolik. Dalam prakteknya, debit dan konsentrasi sedimen dilakukan sebentar-sebentar atau di tempat, karena memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu, penggunaan kurva debit sedimenrating untuk memprediksi sedimentasi dapat menghasilkan kesalahan. (Wulandari, 2004). Suspended load (muatan suspensi) adalah muatan yang terdiri dari butiran halus yang ukurannya lebih dari 0,1 mm dan senantiasa melayang di dalam aliran air.(Yusuf Gayo, dkk., 1985). Tingi muka air (stage height) sungai adalah elevasi permukaan air (water level) pada suatu penampang melintang sungai terhadap suatu titik tetap yang elevasinya telah diketahui. Dan fluktuasi permukaan air sungai menunjukan adanya perubahan kecepatan aliran dan debitnya (Soewarno,1991). Topografi adalah gambaran variabilitas permukaaan bumi, yang biasanya berasosiasi dengan ciri-ciri bentuk permukaan seperti varisi relief suatu daerah. Untuk menggambarkan secara lebih sederhana dapat digunakan pengertian-pengertian bentang lahan, seperti perbukitan, lembah dan dataran (Zuidam, 1973).
39