BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh semua makhluk hidup dan bersifat sebagai sumberdaya yang terbaharukan dan dinamis, artinya sumber air akan datang sepanjang tahun namun pada situasi tertentu air dapat berubah sifat menjadi tak terbaharukan, sebagai contoh ketika sumber air tersebut terletak pada geologi dengan formasi batuan-batuan yang pejal dan keras sehingga mempengaruhi proses sirkulasi air di dalam tanah dan membutuhkan waktu lama dalam proses perjalanannya. Adanya musim kemarau dengan durasi waktu yang panjang juga akan mempengaruhi menipisnya pasokan sumber air yang ada di alam. Fenomena alam sekarang ini sudah sulit untuk diprediksi. Musim kemarau panjang dan musim penghujan pendek dengan intensitas hujan tinggi merupakan kondisi alam yang perlu diperhatikan. Kondisi klimatologis yang tidak dapat diprediksi ini dirasakan di segala penjuru dunia bahkan di negara-negara tertentu lebih ekstrim keadaannya. Negara India merupakan salah satu contoh nyata yang mengalami hal semacam itu. Potensi hujan yang jatuh di permukaan Bumi hanya sekitar 100 mm/tahun, namun masyarakat tidak berputus asa untuk menjalani hidup setiap tahunnya. Masyarakat mengoptimalkan potensi air hujan tersebut dengan membuat wadah penampungan air hujan. Hasilnya dengan air yang hanya sekitar 100 mm/tahun tersebut mampu menghidupi masyarakat dengan variasi kepadatan penduduk berkisar antara 10500 jiwa/km2. Adanya fakta di Negara India tersebut setidaknya membuat ide gagasan di Indonesia untuk menanggulangi fenomena alam yang berupa kekurangan air tiap tahunnya. (Agarwal & Narain 1997). Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah di Indonesia yang tiap tahunnya mengalami masalah alam terutama untuk urusan kekurangan air bersih. Estimasi beberapa kecamatan yang kekurangan air bersih di Kabupaten Gunungkidul berdasarkan berita setempat dapat dilihat pada Gambar 1.1.
1
Gambar 1.1. Peta Estimasi Daerah-Daerah Rawan Kekurangan Air Bersih di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2013
2
Kabupaten Gunungkidul tiap tahunnya sekitar 5-10 kecamatan yang mengalami krisis kekurangan air bersih. Menurut berita tanggal 3 september 2013 dari Radio Star Jogja (2013) menyebutkan bahwa Kabupaten Gunungkidul terdapat 10 kecamatan yang rawan kekurangan air bersih, yaitu Kecamatan Paliyan, Kecamatan Panggang, Kecamatan Saptosari, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Tepus, Kecamatan Purwosari, Kecamatan Girisubo, Kecamatan Rongkop, Kecamatan Patuk, dan Kecamatan Gedangsari. Langkah antisipatif merupakan hal yang nyata harus dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut. Masyarakat yang mengalami dan merasakan adanya siklus tahunan tersebut harus memahami dan memikirkan upaya untuk menanggulanginya, mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, hingga tanggap
darurat.
Upaya
pencegahan
yang
dilakukan
dapat
berupa
pengoptimalisasian sumberdaya air yang tersedia. Pertama, ketersediaan air selama musim penghujan yang terdapat di telaga, sumur, ataupun mata air harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kedua, ketersediaan air yang berasal dari air hujan harus dimanfaatkan keberadaannya, setidaknya ada setengah volume total air hujan yang jatuh mampu dimanfaatkan dari total pasokan air hujan selama musim penghujan berlangsung. Selanjutnya untuk upaya mitigasi salah satunya dengan membangun bak penampungan air hujan (PAH). Sebagian besar PAH dibuat berdasarkan ukuran standar yang dicontohkan dan padat biaya. PAH merupakan sarana yang digunakan oleh masyarakat Gunungkidul secara swakarsa dan swadaya sebagai alat adaptasi terhadap keterbatasan air. PAH dibangun guna mengatasi kekurangan air terutama untuk masyarakat yang tinggal jauh dari jangkauan pelayanan air bersih. PAH dikenal sejak 30 tahun yang lalu dan pemakaiannya masih penuh digunakan untuk menampung air hujan. Tipe PAH yang sudah berumur 30 tahun memiliki bentuk yang berbeda dengan PAH yang baru seperti sekarang. Kecenderungan bentuknya tabung dengan diameter antara 1,5 meter hingga 3 meter sehingga pemakaiannya bisa digunakan untuk beberapa kepala keluarga. Pada waktu sekarang bangunan PAH dibuat dengan
3
ukuran 3-24 m3 dan tiap kepala keluarga sudah memilikinya PAH tersebut. Umumnya penduduk menggunakan dua komponen, yaitu atap sebagai penangkap air hujan dan talang sebagai alat yang menghubungkan antara atap dan bak penampungan. Desa Giriharjo merupakan salah satu contoh wilayah di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul yang menggunakan sumberdaya air yang berasal dari air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada saat musim hujan. Desa Giriharjo merupakan ibukota Kecamatan Panggang. Secara administratif, Desa Giriharjo memiliki 6 pedukuhan yang letaknya terbagi menjadi 2 bagian, yaitu pada bagian selatan terdapat Pedukuhan Panggang I, Pedukuhan Panggang II, dan Pedukuhan Panggang III, sedangkan pada bagian utara terdapat Pedukuhan Banyumeneng I, Pedukuhan Banyumeneng II, dan Pedukuhan Banyumeneng III. Pedukuhan Banyumeneng I, Pedukuhan Banyumeneng II, dan Pedukuhan Panggang I banyak penduduknya yang masih menggunakan penampungan air hujan. Pedukuhan Banyumeneng III, Pedukuhan Panggang II, dan Pedukuhan Panggang III sudah banyak menggunakan PDAM untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Walaupun tidak dipungkiri ketika penduduk mengalami kesulitan dalam pasokan air PDAM, mereka juga memanfaatkan air hujan. Dipandang dari kondisi klimatologisnya, Desa Giriharjo juga memiliki potensi curah hujan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 1800 mm/tahun. Berdasarkan data pencatatan stasiun hujan Panggang di Desa Giriharjo dalam kurun waktu 10 tahun, menunjukkan besarnya curah hujan di bulan basah mencapai 375 mm/bulan (hujan maksimum di bulan Januari). Rata-rata curah hujan di musim hujan mencapai 250 mm hingga 370 mm, sedangkan di musim kemarau rata-rata curah hujan mencapai 8 mm hingga 95 mm. Adanya potensi hujan tersebut berdampak positif bagi penduduk untuk memenuhi kebutuhan air dan setidaknya pada bulan-bulan basah tiap tahunnya penduduk tidak menggunakan air tangki atau PDAM. Bak penampungan air hujan memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat karena sumber air yang tersedia sepenuhnya mampu memenuhi
4
kebutuhan air seluruh warga di Desa Giriharjo. Sumber air yang terdapat di Desa Giriharjo adalah telaga dan mataair. Sekiranya ada dua telaga terdapat di desa ini, yaitu Telaga Gendeng Welut dan Telaga Gandu. Telaga Gendeng Welut dan Telaga Gandu terletak di Dusun Panggang II. Fungsi telaga tersebut digunakan untuk menyiram tanaman (perkebunan, pertanian) dan ketika musim penghujan airnya keruh sehingga belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Sumber air yang berasal dari mataair yang ada di Desa Giriharjo, yaitu Mataair Njumbleng dan Mataair Kali Gedhe. Mataair Njumbleng alirannya hanya sesaat sehingga tidak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan air penduduk. Mataair ini saat ini sudah tidak digunakan untuk dikonsumsi atau pemenuhan kebutuhan domestik. Mataair lainnya adalah Kali Gedhe. Letaknya satu kilometer arah selatan dari Dusun Banyumeneng II atau secara geografis terletak di 110° 24,7’237” BT dan 7°59,26’744” LS. Mataair ini digunakan oleh sebagian besar penduduk di Dusun Banyumeneng II, Banyumeneng III, dan sebagian kecil di Dusun Banyumeneng I. Sejak tahun 2009 atas kerjasama Pemerintah Daerah dengan Universitas Gadjah Mada, penduduk Dusun Banyumeneng I mendapatkan bantuan air untuk memenuhi kebutuhan yang berupa fasilitas pipa jaringan distribusi air. Mataair Kali Gedhe (434100 mT 9116671 mU) didistribusikan dengan menggunakan tenaga surya sebagai tenaga penopang untuk mengalirkan air ke tiga pedusunan. Tenaga surya ini pada dasarnya menghasilkan listrik untuk menghidupkan pompa. Selanjutnya mesin pompa digunakan untuk mendistribusikan air ke daerah-daerah dengan topografi tinggi. Walaupun sudah ada tenaga surya yang mampu membantu kebutuhan air penduduk, namun tidak semua penduduk di Dusun Banyumeneng I yang letaknya di ketinggian kira-kira antara 414 mdpal sampai 432 mdpal dapat menikmati potensi mataair tersebut dan hanya beberapa rumah yang menggunakan tangki permanen untuk menampung air dari Mataair Kali Gedhe. Adanya hal semacam ini penduduk selanjutnya beralih untuk tidak lagi bergantung pada sumber air dari telaga maupun dari mataair. Sebagian besar penduduk beralih menggunakan sumber air lain yang jumlahnya masih melimpah
5
dan mudah untuk diperoleh yaitu menggunakan sumberdaya air meteorologis atau air hujan. Menurut penelitian Adji, dkk. (2007) menyebutkan bahwa di Desa Giriharjo terdapat 145 buah PAH, namun pada tahun 2014 ini jumlah PAH mengalami penyusutan dan data terbaru dari Kelurahan Desa Giriharjo hasil Lomba Desa sebagai perwakilan Desa di Kecamatan Panggang tahun 2014 menyebutkan bahwa PAH di Desa Giriharjo hanya berjumlah 28 buah. Letak 28 PAH tersebut tersebar di enam Dusun di Desa Giriharjo. Adanya PAH dan pemanfaatannya ketika musim penghujan setidaknya mengurangi konsumsi masyarakat dalam menggunakan air PDAM. Masyarakat juga menghemat keuangannya untuk tidak lagi membeli air PDAM. Pengeluaran uang yang biasanya sebesar Rp 37.000,- /bulan bisa dihemat untuk kebutuhan lainnya tiap bulannya. Masyarakat bisa beralih untuk merawat bak penampungan dan menjaganya untuk menghasilkan air yang tidak kalah dengan PDAM.
1.2. Perumusan Masalah Kabupaten mengalami
Gunungkidul
masalah
terhadap
merupakan
daerah
yang setiap
kondisi
hidrologis
sehingga
tahunnya
mempunyai
keterbatasan akses terhadap air bersih. Upaya untuk mengatasi permasalahan kekurangan air di berbagai daerah di Kabupaten Gunungkidul adalah dengan sistem perencanaan yang komprehensif. Dalam upaya ini perlu adanya saling keterkaitan antara berbagai pihak untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah telah mengupayakan segala hal untuk mengatasi masalah kekurangan air, seperti pemasokan air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat terutama untuk daerah yang rawan air baik berupa pendistribusian menggunaan saluran/jaringan pipa atau non pipa (penyetoran air menggunakan tanki-tanki). Selain dari pemerintah, juga ada dari pihak lain yang memanfaatkan untuk menjual air yang berupa penyetoran tangki-tangki air dan masyarakat akan membelinya dengan harga antara Rp 100.000,- hingga Rp 150.000,- tiap pembelian 5000 liter air.
6
Masyarakat juga tidak kalah dalam upaya untuk mengatasi masalah kekurangan air bersih. Masyarakat sudah mengupayakan berbagai sumberdaya air yang ada di sekitar tempat tinggal mereka untuk dijadikan sumber konsumsi, mulai dari pemanfaatan air dari mataair, sungai bawah tanah, hingga ketika musim hujan datang menggunakan penampungan air hujan sebagai media alternatif untuk menanggulangi apabila kedua sumber (mataair dan sungai bawah tanah) kondisinya tidak memungkinkan. Besarnya potensi hujan membuat penduduk berupaya untuk mengoptimalkan sumberdaya air tersebut. Penampungan
air
hujan
sudah
banyak
ditemukan
di
Kabupaten
Gunungkidul namun kendalanya dari jumlah total PAH yang terdapat di fisiografi Perbukitan Karst sebanyak 28.527 buah (Dinas Pertambangan, 1998) hanya mampu untuk mencukupi 38% dari 74.227 KK (Adji, dkk. 2007). Adanya hal tersebut perlu ditelusuri dan dievaluasi terutama dari dimensi penampungan air hujannya. Penelusuran masalah dan evaluasi PAH dilakukan dengan mengecek satu persatu kondisinya di lapangan. Keadaan PAH dilihat dalam kategori renovasi atau sudah layak digunakan sehingga hasilnya mampu dimaksimalkan oleh masyarakat untuk konsumsi kebutuhan sehari-sehari semasa musim hujan. Selanjutnya potensi hujan yang jatuh ke permukaan bumi mampu dimaksimalkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan air khususnya untuk kebutuhan air domestik yang lama-kelamaan bisa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan air peternakan, industri keluarga dan pertanian. Besarnya atap yang dimiliki tiap KK untuk ke depannya seluruh luasannya harus dimanfaatkan dan setiap rumah harus memiliki bak penampungan yang mampu menampung besarnya volume air yang tertangkap. Penduduk bisa menambah luasan bak untuk menghasilkan jumlah air yang besar dan bisa mencukupi kebutuhan air di musim penghujan dan diharapkan bisa mencukupi setengah dari musim kemarau sehingga penduduk bisa mengurangi pengeluaran untuk membeli air, baik untuk membayar air PAM maupun air tangki. Setidaknya
7
penduduk yang biasanya mengeluarkan biaya sebesar Rp 150.000,- setiap bulannya mampu menyisikan uangnya untuk kebutuhan yang lain. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah didapat dari latar belakang penelitian, maka dapat ditentukan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana kondisi ketersediaan air hujan di Desa Giriharjo? 2. Bagaimana pentingnya penampungan air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari khususnya kebutuhan air domestik?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui ketersediaan air hujan di Desa Giriharjo Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul 2. Menghitung volume penampungan air hujan untuk pemenuhan kebutuhan air domestik.
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Sumber data terkait dengan penampungan air hujan (PAH) di Desa Giriharjo yang berupa gambaran peta persebaran penampungan air hujan (silinder dan balok) dan besarnya hujan potensial untuk dioptimalkan sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan air sehari-hari 2. Sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang terkait ilmu lingkungan terutama tentang upaya mensejahterakan masyarakat
Sasaran Penelitian Sasaran dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penduduk Desa Giriharjo Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul, yaitu penduduk di Dusun Banyumeneng I, Dusun Banyumeneng II, Dusun
8
Banyumeneng III, Dusun Panggang I, Dusun Panggang II, dan Dusun Panggang III 2. Penampungan Air Hujan (karakteristik) di Desa Giriharjo Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Siklus Hidrologi Air merupakan bagian penting dari sumberdaya alam dan bersifat sumberdaya yang terbaharukan dan dinamis.Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di Bumi (Kodoatie dan Sjarief, 2010). Air dalam kehidupan khususnya untuk manusia merupakan kebutuhan paling esensial sehingga pemenuhan atas ketersediaannya mutlak dibutuhkan (Asih, 2006). Siklus hidrologi merupakan pemindahan air secara berlanjut yang dimulai dari laut menuju ke atmosfer yang selanjutnya dari atmosfer jatuh ke permukaan tanah dan berakhir ke laut kembali. Proses ini berlangsung secara kontinyu (Hadisusanto, 2010). Siklus hidrologi di dalamnya terdapat beberapa proses yang saling terkait mencerminkan pergerakan air, meliputi proses presipitasi, evaporasi, transpirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan, aliran air bawah tanah. Selanjutnya proses Evapotranspirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi, aliran disebut sebagai komponen ketersediaan air (Suharini dkk., 2010). Asdak (2007) menambahkan bahwa siklus hidrologi merupakan gejala naik turunnya berat air yang bergerak di permukaan bumi. Selanjutnya air akan mengalami perpindahan dari permukaan laut menuju ke atmosfer, yaitu dari wujud cair berubah menjadi wujud gas. Air yang telah berbentuk gas di atmosfer tersebut kemudian dijatuhkan kembali ke permukaan tanah dalam bentuk cair. Proses ini terjadi secara berulang-ulang, namun tidak semua air langsung mengalami proses tersebut, hanya saja akan mengalami penahanan atau air akan tertahan sementara di sungai, waduk, di dalam tanah yang semuanya dapat
9
dimanfaatkan oleh makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupan di bumi. Gambar 1.2. menunjukkan proses sirkulasi hidrologi yang terjadi di atmosfer dan di permukaan bumi.
Gambar 1.2. Siklus Hidrologi (Seyhan, 1990)
1.5.2. Hujan/Presipitasi Hujan merupakan semua bentuk air yang mengalir di sungai dan di dalam tampungan, baik itu yang terdapat di atas maupun bawah permukaan tanah (Setyawan dkk., 2012). Hujan diistilahkan sebagai tetes air dengan diameter lebih dari 0,5 mm yang memiliki intensitas lebih dari 1,25 mm/jam (Tjasyono, 2004). Semua air yang bergerak di dalam bagian lahan dari daur hidrologi secara langsung maupun tidak langsung berasal dari presipitasi (Seyhan, 1995). Sitanala (1989) menambahkan bahwa besarnya curah hujan merupakan besarnya kuantitas air (volume) air yang jatuh pada suatu area. Besarnya curah hujan yang dimaksudkan untuk satu kali hujan, seperti perhari, perbulan, permusim/pertahun. Bayong (2004) mengungkapkan bahwa terdapat dua proses ketika awan menghasilkan tetesan hujan. Proses yang pertama adalah Bowen-Ludlam atau biasa disebut dengan proses hujan panas. Proses ini hanya melibatkan fase cair yang kejadiannya terjadi pada awan panas yang keberadaannya banyak ditemukan di daerah tropis. Proses yang kedua adalah Bergeron-Findeisen atau proses Kristal
10
es. Proses ini aktif terjadi di daerah beriklim sedang dengan kondisi awan mengandung campuran tetes air dan partikel es yang disebut awan dingin. Presipitasi dari daerah satu dengan daerah lain dan dari tahun ke tahun memiliki perbedaan. Sekiranya ada 4 daerah yang membedakan intensitas jatuhnya hujan, yaitu sebagai berikut: 1. Daerah Equator (dari 0-20°) dengan kriteria hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1500-3000 mm, 2. Daerah yang terletak antara 30° hingga 10° LT, kriteria hujan rata-rata sebesar 400-800 mm, 3. Daerah kering (bukan tropis) yang termasuk Negara berhujan, karakteristik hujannya sebesar kurang dari 200 mm bahkan sampai ± 10 mm, 4. Daerah yang terletak di garis lintang lebih dari 70°, karakteristik presipitasinya tidak akan lebih dari 200 mm (Martha dan Adidarma, 1978).
1.5.3. Kebutuhan Air Domestik Menurut Linsey and Franzini (1985, dalam Sudarmadji dkk., 2014) bahwa kebutuhan air domestik merupakan air yang digunakan untuk keperluan masyarakat
dalam
satu
rumah,
rumah-rumah
apartemen,
dan
lainnya.
Ketersediaan air digunakan untuk keperluan mandi, minum, menyiram tanaman, sanitasi dan lainnya yang berhubungan dengan rumah tangga. Sedangkan menurut Kindler dan Russel (1984, dalam Sudarmadji dkk., 2014) berpendapat bahwa air yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga meliputi kebutuhan air untuk mempersiapkan makanan, toilet, mencuci pakaian, mandi, mencuci kendaraan, dan menyiram pekarangan. Kebutuhan air domestik diperkirakan tiap orang sebesar 170 liter/hari untuk perkotaan, dan 100 liter/hari untuk perdesaan (Setyawan dkk., 2012). Yulistiyanto dan Kironoto (2008) mengungkapkan mengenai perhitungan kebutuhan air domestik yang didasarkan pada jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, kebutuhan air per kapita, dan proyeksi air yang akan digunakan. Penentuan 11
kebutuhan air domestik dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama menggunakan data sekunder yang berupa jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan sebagai ukuran proyeksi air yang digunakan. Kedua menggunakan data primer yang berupa data mengenai pengguna atau konsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga. Pemakaian air untuk keperluan rumah tangga dikalkulasikan dengan standar pemakaian air di setiap daerah, yaitu dibedakan antara pedesaan dan perkotaan. Pola konsumsi penduduk baik penduduk kota maupun desa juga memengaruhi kebutuhan air domestik. Sumberdaya air penduduk kota membutuhkan 120 liter/hari/kapita, sedangkan penduduk desa memerlukan 60 liter/hari/kapita. Sebagian besar pemakaian air di daerah perkotaan cenderung lebih banyak daripada di daerah pedesaan walaupun sumber air di daerah pedesaan melimpah (Badan Standardisasi Nasional, 2002).
1.5.4. Pemanenan Air Hujan/Rainwater Harvesting/ (RWH) sebagai Upaya untuk Mengurangi Kekurangan Ketersediaan Sumberdaya Air (Air Permukaan dan Airtanah) Penyediaan air minum yang cukup sangat penting untuk kehidupan. Jutaan orang di seluruh dunia masih tidak memiliki akses ke kebutuhan dasarnya. Kondisi masih memprihatikan saat orang-orang miskin di dunia tidak memiki cukup modal dan teknis yang kompleks dalam penyediaan air tradisional. Pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting/RWH) adalah pilihan yang telah diadopsi banyak daerah di dunia yang menunjukkan bahwa sistem penyediaan air konvensional telah gagal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah teknik yang telah digunakan sejak jaman dahulu (The Shumacher Centre for Technology and Development, 2005). Rainwater Harvesting (RWH) sering disebut dengan sistem pemanenan air hujan. Sistem RWH adalah kombinasi beberapa komponen yang utamanya menggunakan atap rumah yang bertujuan mengumpulkan air dan menampung
12
hasil penangkapan air dari atap pada tabung, tank, bak, atau media yang lain yang mampu menampung besarnya hujan yang dipanen. Sistem RWH pada masingmasing komponen bervariasi tergantung pada kondisi, estetika, energi, persyaratan kualitas air, dan anggaran (Regional District of Nanaimo, 2012).
Gambar 1.3. Tiga komponen dasar dari sistem pemanenan air hujan: tangkapan (atap) (1), sistem pengiriman (2), Penampungan (3). (Worm dan Van Hattum, 2006)
Contoh sistem RWH dapat ditemukan dalam semua peradaban besar sepanjang sejarah.Di negara-negara industri, sistem RWH canggih telah dikembangkan dengan tujuan mengurangi tagihan air atau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terpencil atau rumah tangga di daerah kering. Secara tradisional di Uganda dan Sri Lanka, air hujan dikumpulkan dari pohon menggunakan daun pisang atau batang sebagai selokan sementara hingga 200 liter dapat dikumpulkan dari pohon besar dalam badai tunggal. Banyak individu dan kelompok telah mengambil inisiatif dan mengembangkan berbagai macam sistem RWH seluruh dunia (The Shumacher Centre for Technology and Development, 2005). Dalam rangka untuk mengetahui apakah RWH cocok untuk situasi tertentu Ada beberapa isu penting yang perlu dipertimbangkan. Desain sebuah sistem RWH ditentukan oleh beberapa faktor: 1. Jumlah pengguna dan tingkat konsumsi mereka (beberapa menggunakan) 2. data curah hujan lokal dan pola curah hujan 3. Rezim pengguna sistem (sesekali, intermiten, sebagian atau penuh)
13
4. Daerah tangkapan atap (m2) 5. Koefisien run-off (ini bervariasi antara 0,5 dan 0,9 tergantung pada bahan atap dan kemiringan) (Worm, dan Van Hattum, 2006).
1.6. Telaah Pustaka Penelitian mengenai penampungan air hujan (PAH)/Rainwater Harvesting telah banyak dilakukan, namun bedanya pada penelitian terdahulu banyak yang menerapkan teknik penampungan air hujan di daerah perkotaan sebagai upaya alternatif untuk menanggulangi kekurangan sumberdaya air karena banyaknya air yang digunakan di perkotaan. Harsoyo (2010) mengungkap bahwa terdapat banyak permasalahanpermasalahan yang dialami Kota Jakarta terutama dari segi pengelolaan sumberdaya air, misalnya banjir sebagai bencana tahunan ibukota; limbah cair; kelangkaan air baku; kualitas air permukaan; dan pencemaran airtanah. Keberadaan masalah tersebut sangat krusial yang akibatnya mengganggu keseimbangan sumberdaya air sehingga perlu diatasi dengan pengelolaan secara terpadu. Kontribusi yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa teknik untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi Kota Jakarta. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini berupa penerapan teknik pemanenan air hujan untuk mengoptimalisasikan ketersediaan air terutama yang berasal dari hujan. Dilihat dari ruang lingkup implementasinya, teknik ini dapat digolongkan dalam 2 kategori, yaitu teknik pemanenan air hujan dengan atap bangunan (roof top rainwaterharvesting) dan teknik pemanenan air hujan (dan aliran permukaan) dengan bangunan reservoir, seperti dam parit, embung, kolam, situ, dan waduk. Metode yang dilakukan yaitu mengasumsikan suatu PAH untuk memenuhi kebutuhan air penduduk dengan memperhatikan pada luas area tangkapan, curah hujan tahunan, dan koefisien run off. Kesimpulannya bahwa alternatif upaya konservasi air dengan teknik pemanenan air hujan (rainwater harvesting) memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan sumberdaya air
14
sesuai dengan prinsip-prinsip dalam konsep IUWRM (Integrated Urban Water Resources Management). Yulistyorini (2011) meneliti mengenai peran penting pemanenan air hujan dan cara untuk memaksimalkan potensi sumberdaya air yang berasal dari air hujan. Selain itu, diungkapkan juga mengenai komponen-komponen yang digunakan untuk membuat suatu desain untuk membuat RWH menjadi alat yang awet dan tidak membahayakan konsumennya. Selanjutnya juga menjelaskan tentang kualitas dari air yang dihasilkan ketika pemanenan air hujan. Data yang digunakan dalam kalkulasi potensi air hujan yang tertampung adalah data curah hujan tahunan dan luas tanggapan hujan (m2). Hasilnya berupa perhitungan efisiensi air yang ditangkap dalam suatu RWH. Rekomendasi yang diusungnya lebih mengarah ke pemanfaatan atap rumah penduduk. Kesimpulan yang bisa didapat adalah perlu adanya sosialisasi terkait pemanenan air hujan kepada masyarakat luas mengingat Indonesia banyak terdapat wilayah yang mengalami krisis air bersih. Hari, dkk. (2012) menjelaskan mengenai potensi Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting) Kampus UNNES Sebagai UNNES Konservasi. Tujuan dilaksanakan penelitian tersebut untuk mengetahui potensi pemanenan air hujan melalui embung, sumur resapan, lubang resapan biopori, dan atap bangunan UNNES; dan mengetahui pemanfaatan hasil pemanenan air hujan yang ada di lingkungan kampus UNNES. Metode yang dilakukan dalam proses penelitian ini berupa analisis deskriptif, analisis kapasitas infiltrasi, dan analisis perhitungan pemanenan hujan. Perhitungan pemanenan air hujan sangat sederhana, yaitu hanya menggunakan data curah hujan dan luas atap. Selanjutnya untuk analisis infiltrasi menggunakan kurva kapasitas infiltrasi yang nantinya akan mengetahui tingkatan infiltrasi sehingga dapat diketahui seberapa besar embung, sumur resapan, dan lubang resapan biopori mampu meresapkan air. Hasilnya tidak mengecewakan bahwa pemanfaatan PAH yang ada di lingkungan kampus UNNES baik itu menggunakan
15
embung, sumur resapan, lubang resapan biopori, dan atap bangunan UNNES dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, yaitu kurang lebih 5 liter per orang. Pemanenan air hujan mempunyai manfaat besar dalam meningkatkan ketersediaan air sehingga ketika musim kemarau tidak kekurangan air, dan ketika musim hujan air dapat tertampung dan terserap tanpa menyebabkan adanya aliran permukaan. Kesimpulannya adalah ketersediaan air di kampus UNNES dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa, dosen dan karyawan terutama untuk kebutuhan kebersihan ruangan (kamar mandi) dan menyiram ruangan.
1.7. Kerangka Pikir Defisit air atau surplus air yang terjadi di sebagian Desa Giriharjo disebabkan oleh ketersediaan air yang berbanding dengan kebutuhan air domestik. Atap, curah hujan, dan bak penampungan berperan penting terjadinya kondisi defisit maupun surplus. Penduduk yang sudah mengalami surplus air akibat pemanfaatan hujan secara optimal sudah tidak perlu dilakukan evaluasi. Sedangkan dalam upaya untuk menanggulangi kondisi defisit, penduduk harus mengevaluasi kondisi dari komponen-komponen yang digunakan untuk menerima ketersediaan air (dalam hal ini air hujan karena ketersediaan air di daerah kajian dominan berasal dari air hujan). Upaya evaluasi difokuskan pada atap yang digunakan sebagai penangkap hujan dan bak penampungan. Atap merupakan media penangkap air hujan dan berpotensi besar meningkatkan volume air hujan yang tertangkap. Hasil sensus menunjukkan bahwa penduduk hanya menggunakan sebagian atapnya untuk menangkap air hujan. Selanjutnya atap yang digunakan hanya bagian rumah utama padahal penduduk memiliki bangunan tambahan, seperti dapur dan garasi. Sehingga pemanfaatan atap harus diperluas hingga semua atap yang menutupi bangunan yang dimiliki oleh penduduk.
16
Bak penampungan dijadikan target evaluasi karena semakin besar bentuk bak akan menghasilkan air hujan yang semakin besar pula. Metode evaluasi bak dilakukan dengan memperlebar atau memperdalam bak penampungan. Panjang dan lebar bak bisa diperpanjang dan tinggi bak bisa diperdalam. Apabila penduduk masih memiliki lahan, penduduk bisa memanjangkan panjang dan lebar bak. Sedangkan penduduk yang lahannya sudah tidak memadai, penduduk bisa melakukan perbaikan dengan menambah kedalaman dari bak. Penentuan mana saja yang akan dievaluasi ditentukan berdasarkan dari estimasi kumulatif ketersediaan air hujan dengan kebutuhan air domestik. Dua upaya ini semuanya tergantung dari penduduknya sendiri, apabila penduduk tidak sanggup melakukannya karena terkendala biaya, namun setidaknya penduduk mengetahui seberapa besar air hujan yang bisa dimanfaatkan dan diharapkan penduduk berfikir ulang untuk membeli air tangki karena setiap bulannya penduduk bisa menghabiskan uang sebesar Rp 300.000,-. Gambaran tentang kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.4. Hujan (harian)
Luas Atap
Volume Bak Tampungan
Pemakaian Air
Ketersediaan Air Evaluasi
Kebutuhan Air Domestik
Defisit/ Surplus
Rekomendasi
∑ Anggota Keluarga
Defisit
Surplus
Stop
Gambar 1.4. Kerangka Pikir Penelitian
17
1.8. Batasan Istilah Hidrologi merupakan ilmu yang pada hakikatnya mempelajari tentang setiap fase air di bumi (siklus air pada hidrosfer), yang termasuk di dalamnya berupa fenomena, distribusi dan pergerakan air tersebut di muka bumi (Asdak, 2007). Siklus hidrologi merupakan pemindahan air secara berlanjut yang dimulai dari laut menuju ke atmosfer yang selanjutnya dari atmosfer jatuh ke permukaan tanah dan berakhir ke laut kembali. Proses ini berlangsung secara kontinyu (Hadisusanto, 2011). Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, runoff dan infiltrasi (Handoko, 1995). Kebutuhan air domestik adalah jumlah air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan domestik atau rumah tangga (Notodiharjo, 1982). Rainwater Harvesting adalah kombinasi beberapa komponen yang utamanya menggunakan atap rumah yang bertujuan mengumpulkan air dan menampung hasil penangkapan air dari atap pada tabung, tank, bak, atau media yang lain yang mampu menampung besarnya hujan yang dipanen (Regional District of Nanaimo, 2012).
18