BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG. Anggota gerak atas merupakan bagian dari anggota gerak yang cukup banyak di fungsikan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, seperti membawa tas, menulis, mengangkat barang dan lain-lain. Sehingga anggota gerak atas sangat rentan terjadi cidera. Cidera ini biasanya banyak disebabkan oleh kesalahan gerak atau kesalahan posisi, penggunaan yang berlebihan (overuse), postur yang buruk, faktor pekerjaan dan trauma. Hal tersebut tentu akan menyebabkan pembebanan pada salah satu sisi tubuh dan menimbulkan ketidakseimbangan secara anatomi, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan dari bagian tubuh yang mengalami kerja berlebih (Kisner, 2007). Patologi gerak dan fungsional seringkali mengganggu anggota gerak yang memiliki mobilitas yang luas sehingga membutuhkan tingkat stabilitas yang baik, stabilitas suatu anggota gerak tidak terlepas hanya pada sebatas komponen stabilisasi aktif maupun pasif, namun bentuk sendi serta struktur pembentuk persendian tersebut (Kisner, 2007). Sendi bahu (shoulder joint) merupakan salah satu anggota gerak yang memiliki mobilitas tinggi dan mudah mengalami cidera, sehingga pada pasien sering dikeluhkan kumpulan gejala rasa nyeri pada bahu “Painful Shoulder Syndrome” (rotator cuff disease, impingement syndrome, shoulder instabilities) yang dapat menyebabkan keterbatasan gerak hingga gangguan fungsi (Kisner, 2007). 1.2. RUMUSAN MASALAH. 1. Apa definisi impingement syndrome? 2. Bagaimana anatomi fungsional dari bahu? 3. Apa etiologi terjadinya impingement syndrome? 4. Bagaimana patofisiologi terjadinya impingement syndrome? 5. Bagaimana gambaran klinis dari impingement syndrome? 6. Bagaimana cara mendiagnosis impingement syndrome? 1
7. Apa diagnosis banding impingement syndrome? 8. Bagaimana tatalaksana impingement syndrome? 9. Bagaimana prognosis impingement syndrome? 1.3. TUJUAN. 1. Mengetahui definisi impingement syndrome. 2. Mengetahui anatomi fungsional dari bahu. 3. Mengetahui etiologi terjadinya impingement syndrome. 4. Mengetahui patofisiologi terjadinya impingement syndrome. 5. Mengetahui gambaran klinis dari impingement syndrome. 6. Mengetahui cara mendiagnosis impingement syndrome. 7. Mengetahui diagnosis banding impingement syndrome. 8. Mengetahui tatalaksana impingement syndrome. 9. Mengetahui prognosis impingement syndrome. 1.4. MANFAAT. 1. Memahami definisi impingement syndrome. 2. Memahami anatomi fungsional dari bahu. 3. Memahami etiologi terjadinya impingement syndrome. 4. Memahami patofisiologi terjadinya impingement syndrome. 5. Memahami gambaran klinis dari impingement syndrome. 6. Memahami cara mendiagnosis impingement syndrome. 7. Memahami diagnosis banding impingement syndrome. 8. Memahami tatalaksana impingement syndrome. 9. Memahami prognosis impingement syndrome.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. DEFINISI. Menurut Neer shoulder impingement adalah menyempitnya celah diantara acromion dan tuberositas mayor caput humerus sehingga menyebabkan insertio dari tendon supraspinatus, biceps caput longum serta bursa subacromialis pada shoulder (Shoulder impingement) terjepit. Sedangkan syndrome adalah kumpulan dari gejalagejala. Maka jika dihubungkan, shoulder impingement syndrome adalah kumpulan dari gejala-gejala akibat dari menyempitnya celah diantara acromion dan tuberositas mayor caput humerus sehingga menyebabkan insertio dari tendon supraspinatus, biceps caput longum serta bursa subacromialis pada shoulder terjepit (Aimie, Beth, dkk, 2007). 2. 2. ANATOMI FUNGSIONAL. Rotator cuff terdiri dari empat otot, yaitu: m. Subscapularis, m. Supraspinatus, m. Infraspinatus, dan m. Teres minor serta muskulotendonnya. M. Subscapularis di persarafi oleh n. Subscapular yang berasal dari scapula. Berinsersio di tuberkulum minus os humerus dan berorigo di fossa subscapularis. M. Supraspinatus and Infraspinatus keduanya diinervasi oleh n. Suprascapular, yang berasal dari scapula dan berinsersio di tuberkulum major os humerus dan berorigo di fossa supraspinata dan fossa infraspinata. Sedangkan M. Teres minor diinervasi oleh n. Axilaris yang berasal dari scapula dan berisersio di tuberkulum major os humerus. Ruang kosong (subacromial space) berada di bawah acromion, processus coracoideus, artikulatio acromioclavicular dan ligamen coracoacromial. Terdapat sebuah bursa di subacromial space yang menyediakan lubrikan untuk rotator cuff (Allen, 1998).
3
Gambar 1. Anatomy of the shoulder and rotator cuff, showing (left) anterior view and (right) posterior view.
Memahami fungsi anatomis dari rotator cuff akan membantu dalam memahami penyakitnya. Rotator cuff merupakan pengatur keseimbangan yang dinamis dari artikulatio glenohumeral. Sedangkan pengatur keseimbangan statisnya adalah kapsul dan ligamen-ligamen glenohumeral. Meskipun otot rotator cuff dapat menimbulkan perputaran, otot tersebut juga dapat menekan kaput humerus. M. Deltoideus dapat mengabduksikan bahu. Tanpa otot-otot rotator cuff yang utuh, terutama dalam derajat 60 pertama dari elevasi humeral, akan menyebabkan migrasi dari kaput humerus yang menghasilkan subacromial impingement dari rotator cuff (Allen, 1998). Sendi bahu merupakan salah satu sendi yang paling mobil dan serba guna karena lingkup gerak sendi yang sangat luas, sehingga berperan penting dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Gerakan pada sendi bahu: fleksi (1800), ekstensi (600), abduksi (1800), adduksi (750), endorotasi (900), eksorotasi (900) (Widjaja, 1998). Glenohumeral,
sternoklavikular, dan akromioklavikular merupakan sendi
artrodial. Walaupun sendi ini masing-masing dapat bergerak sendiri, semuanya bergerak secara simultan dan sinkron, sehingga tercipta gerakan yang halus dan mulus. Sendi sternoklavikular menghubungkan gelang bahu dan dinding dada, yang dibentuk oleh iga I, klavikula, dan manubrium sterni. Sendi akromioklavikular dan sternoklavikular memungkinkan klavikula mengadakan rotasi sesuai dengan sumb panjangnya, ataupun
4
melakukan gerakan elevasi pada saat mengangkat bahu. Dapat pula melakukan gerakan fleksi dan ekstensi gelang bahu. (Cole dan Tobis, 1990) (Gambar 2)
Gambar 2 : Persendian pada gelang bahu : (1). Glenohumeral,
(2). Suprahumeral.
(3). Akromioklavikular.
(4). Scapulokostal,
(5). Sternoklavikular.
(6). Costosternal.
(7). Costovertebral. Sendi glenohumeral dibentuk oleh humerus dan skapula dengan fosa glenoid yang menjadi lebih dalam dengan adanya labrum glenoid. Permukaan kapsul sendi cukup luas dan untuk mempertahankan kaput sendi tetap pada tempatnya diperkuat oleh ligamen glenohumeri dan ligamen korakohumeral. Muskulotendineus “rotator cuff“ terdiri atas gabungan tendon dari otot supraspinatus, infraspinatus, teres minor yang berinsersi pada tuberkulum mayus humeri, dan subskapularis yang berinsersi pada tuberkulum minus humeri. Subskapularis berfungsi sebagai internal rotator, supraspinatus sebagai elevator, sedangkan infraspinatus dan teres minor berfungsi sebagai eksternal rotator (Widjaja, 1998). Sendi bahu mempunyai gerakan yang paling luas diantara sendi-sendi lain. Geraka abduksi bisa sampai 1800. Dua pertiga bagian gerak ini dilakukan oleh sendi 5
glenohumeral dan sepertiga lainnya dilakukan oleh skapulotorasik. Karena itu untuk mencapai gerak lengan yang penuh sampai diatas kepala diperlukan sendi yang tidak ada gangguan. (gambar 3) Gerakan lain yang penting adalah gerakan rotasi internal dan rotasi eksternal. Gerakan rotasi internal merupakan gerakan gelang bahu dimana tangan dapat mencapai bagian punggung/ belakang kepala (gambar 4). Kedua gerakan ini sangat penting untuk dapat melakukan aktivitas memakai baju dan bersisir
Gambar 3 : Gerakan skapulotorasik. (sumber : Caillet R.)
Gambar 4 : Tes Rotasi. (sumber : Dixon AS) 6
2.3. ETIOLOGI. Shoulder impingement syndrome terjadi apabila rotator cuff atau bursa mengalami peradangan yang bisa disebabkan oleh penggunaan berlebihan atau cedera. Cedera paling sering terjadi pada orang yang melakukan gerakan keatas melewati kepala secara berulang-ulang. Contohnya : bermain baseball, tennis. (Mayo Clinic, 2015)
Gambar 5 : Shoulder Impingement Syndrome (sumber : Mayoclinic) 2.4. PATOFISIOLOGI. Patofisiologi shoulder impingement syndrome dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya, bursa subacromial yang berada di atap rotator cuff, memungkinkan tendon rotator cuff untuk meluncur mendekati atap dari bahu tanpa adanya gesekan. Normalnya, kepala humerus akan mendekat ke acromion ketika bahu bergerak, terutama ketika melakukan gerakan yang mencapai atas kepala. Ketika rotator cuff mengalami peradangan karena cedera atau penggunaan berlebihan, atau ketika bursa mengalami peradangan maka kedua tendon dan bursa yang membengkak akan menjadi terjepit 7
diantara kepala humerus dan acromion (Shoulder Impingement Syndrome). Impingement syndrome dinyatakan dalam grade 1, 2 dan 3 berdasarkan tingkat tekanan dari tendon. Grade 1 merupakan tekanan yang ringan ditandai dengan sedikit tarikan tanpa robekan yang jelas pada tendon (robekan mikroskopik). Tidak ada kehilangan kekuatan dan tendon masih dalam panjang yang normal. Pasien biasanya berusia < 25 tahun. Nyeri biasanya hilang timbul dengan ada riwayat melakukan gerakan yang mencapai kepala. Nyeri dirasakan pada saat bahu diangkat 60-120o. Nyeri tekan saat dilakukan palpasi di tuberkulum major (Carla M. S dan Hollister A, 2015). Grade 2 merupakan tekanan sedang ditandai dengan robeknya jaringan ikat yang merupakan substansi dari tendon. Terjadi penurunan kekuatan dan panjang otot-tendontulang meningkat. Pasien biasanya berusia 25-40 tahun. Nyeri dirasakan ringan sampai sedang dengan riwayat melakukan gerakan yang mencapai kepala. Biasanya nyeri sudah menggangu jam tidur malam pasien (Carla M. S dan Hollister A, 2015). Grade 3 merupakan tekanan yang sudah mengakibatkan rupture dari tendon secara keseluruhan. Pasien merasakan nyeri bahkan saat sedang istirahat/ berbaring (Carla M. S dan Hollister A, 2015). 2.5. GAMBARAN KLINIS. Tanda yang khas dan mengarah kepada Shoulder Impingement pada inspeksi ditemukan asymmetric shoulder line, terutama pada bahu yang mengalami gangguan akan berusaha diposisikan lebih tinggi dan secara tidak disadari maka tubuh telah melakukan proteksi pada bagian tubuh yang mengalami presepsi nyeri, namun posisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya ischemia pada tendon dan berlanjut pada kelemahan otot-otot bahu dan hilangnya stabilitas glenohumeral (Purbo, 2006). Pada pemeriksaan cepat akan ditemukan nyeri painful arc pada gerak shoulder antara 60º-120º (aktif abduksi-elevasi shoulder) dan adanya reverse scapula humeral rhythem pada sisi bahu yang mengalami impingement. Pemeriksaan orientasi secara cepat dapat digunakan sebagai dugaan awal menentukan beberapa jaringan spesifik yang mungkin terjadi cidera seperti, “hand behind the head dan hand behind the back” digunakan untuk tes orientasi pada m.supraspinatus, m.infraspinatus dan bursa 8
subacromialis, dan “abdomilal press” digunakan untuk tes orientasi pada m.subscapularis (Sugijanto, 2010). Pada pemeriksaan fungsi gerak dasar (PFGD) aktif, pasif dan isometrik abduksi bahu maka akan ditemukan nyeri meningkat akibat adanya profokasi pada jaringan subacromial yang mengalami peradangan. Selanjutnya pada pemeriksaan khusus seperti Neer test, Hawkin & Kenedy test, Empty Can test (Cooper, Joseph, 2008) dan Undercaudal Traction with Active abduction (Sugijanto, 2010) maka akan lebih memberi profokasi secara spesifik pada cidera jaringan subacromialis sehingga hal tersebut dapat dipastikan sebagai sumber penyebab terjadinya penurunan aktifitas olahraga dengan posisi lengan berada diatas kepala serta aktifitas fungsional seperti mandi, menyisir, mengambil dompet di saku, menulis di papan tulis dan sebagainya (Sugijanto, 2010). Untuk memastikan lebih lanjut maka dilakukan palpasi pada posisi-posisi tertentu pada bahu untuk memberi profokasi berupa tekanan pada jaringan subacromialis sehingga dapat memilahkan struktur jaringan spesifik yang terpatologi, seperti palpasi tendon pada m.supraspinatus pada ventrolateral acromion dilakukan pada kombinasi posisi bahu adduksi, ekstensi, internal rotasi (posisi borgol), m.infraspinatus pada dorsolateral acromion pata tuberositas minor dilakukan pada kombinasi posisi bahu horizontal adduksi, fleksi, eksternal rotasi (posisi sphinx), m.subscapularis dilakukan dalam posisi bahu netral kemudian palpasi pada medial sulcus bicipitalis, m.biceps caput longum pada sulcus bicipitalis dengan gerakan bahu internal dan eksternal rotasi, sedangkan untuk palpasi pada bursa subacromialis pada anterior acromion dilakukan pada posisi bahu ekstensi penuh. Dengan demikian maka dapat dipilahkan jaringan spesifik untuk mendukung dalam ketepatan menentukan diagnosa dan intervensi (Sugijanto, 2010). 2. 6. DIAGNOSIS. 2. 6. 1. Anamnesis. Pada penderita shoulder impingement syndrome, nyeri merupakan gejala yang paling umum ditemukan. Tipe nyeri biasanya terjadi pada malam hari dan nyeri pada waktu siang hari berhubungan dengan penggunaan berlebihan pada bahu. Karakteristik 9
nyeri pada shoulder impingement syndrome adalah nyeri yang hebat pada anteroposterior dan lateral bahu, sepanjang deltoid dan area biceps. Kelemahan dan kaku sendi bahu merupakan gejala nomor dua setelah nyeri. 2. 6. 2. Pemeriksaan fisik Shoulder impingement syndrome Frozen shoulder merupakan gangguan pada bursa atau tendon rotator cuff. Pada pemeriksaan fungsi gerak dasar (PFGD) aktif, pasif dan isometrik abduksi bahu maka akan ditemukan nyeri meningkat akibat adanya profokasi pada jaringan subacromial yang mengalami peradangan. Selain itu ada pemeriksaan khusus Neer impingement sign (passive painful arc manuever). Prinsip test ini adalah memaksa tuberkulum major untuk mendekat ke acromion anterior. Merotasikan tendon rotator cuff posterior (infraspinatus dan teres minor) ke bawah acromion. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk menentukan derajat impingement. Neer impingement sign: 1. Mengekstensikan siku lengan dengan penuh. 2. Merotasikan lengan ke arah dalam (rotasi interna) dengan posisi ibu jari menyentuh sisi dari kaki. 3. Secara pasif pemeriksa memfleksikan bahu penderita secara perlahan keatas hingga mencapai sudut 180o. Derajat impingement dinilai jika penderita merasakan nyeri pada derajat ke 90 (ringan), derajat ke 60-70 (sedang), derajat ke ≤ 45 (berat). Selain itu ada juga pemeriksaan khusus lainnya Hawkin impingement sign. Prinsip test ini adalah menusuk tendon agar mendekat ke lengkung coracoacromial. Hawkin impingement sign: 1. Lengan di fleksikan ke arah depan hingga 90o. 2. Siku di fleksikan hingga 90o. 3. Pemeriksa memegang siku pasien dengan satu tangan dan tangan lainnya memegang pergelangan tangan pasien. 4. Secara pasif pemeriksa merotasikan bahu ke arah luar (rotasi eksterna). 10
(mendekatkan m. Subscapularis ke lengkung coracoacromial) 5. Secara pasif pemeriksa merotasikan bahu ke arah dalam (rotasi interna). (mendekatkan m. Supraspinatus, m. Teres minor dan m. Infraspinatus) Interpretasi: Nyeri yang dirasakan saat bahu dirotasikan menunjukkan otot rotator cuff mana yang terkena.
Gambar 6. Neer Impingement Sign dan Hawkins Sign 2. 7. DIAGNOSIS BANDING. 2.7. 1. BURSITIS. Umumnya merupakan akibat dari trauma, degeneratif, deposit kalsium dari “rotator cuff“. Bursa subakromion yang paling sering terkena, kemudian subdeltoid. Pada gerakan aktif abduksi terbatas. Didaerah tersebut dijumpai nyeri tekan.
11
Gambaran radiologis, terdapat perubahan pada tulang, deposit kalsium ,atau pelebaran bursa. 2.7. 2. RUPTUR DARI ROTATOR CUFF. Etiologi : adanya trauma akut, kronis atau idiopatik. Gambaran klinis : bila ruptur total maka timbul nyeri hebat, sedangkan bila parsial maka nyeri bersifat ringan. Drop arm tes positif, yaitu lengan sukar di abduksikan secara aktif (secara pasif dapat dikerjakan) tetapi dengan tahanan yang ringan saja lengan akan jatuh kebawah. 2.7. 3. TENDINITIS BISIPITALIS. Penyebabnya adalah iritasi dan inflamasi tendon biseps. Pada umumnya penderita mengeluh nyeri bahu sepanjang otot biseps yang menjalar kelengan bawah, nyeri tekan pada daerah sulkus bisipitalis. Tes spesifik ; Tes Yergason menunjukkan tanda yang positif. Lengan dalam posisi abduksi dan fleksi pada siku, lakukan eksorotasi dari lengan bawah serta diberi tahanan, maka rasa sakit akan timbul pada tendon biseps. 2. 8. PENATALAKSANAAN. 2. 8. 1. KONSERVATIF. Impingement syndrome biasanya di terapi secara konservatif. Namun untuk beberapa kasus perlu dilakukan arthroscopic surgery atau open surgery. Terapi konservatif meliputi istirahat, penghentian aktifitas yang menyakitkan, dan terapi fisik. Pengobatan terapi fisik biasanya akan fokus pada mempertahankan Range of movement, meningkatkan postur, memperkuat otot bahu, dan mengurangi rasa sakit. Obat-obatan NSAID dan kompres es dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Gabungan terapi suntikan kortikosteroid dan anestesi lokal dapat digunakan untuk impingement syndrome yang persisten. Namun jumlah total suntikan umumnya dibatasi maksimal tiga kali karena kemungkinan efek samping dari kortikosteroid tersebut.
12
Latihan mempertahankan Range of Movement
Gambar 7. Weighted ROM Codman pendulum stretch Latihan dengan over head pulleys ( katrol ). Bila diajarkan dengan benar, sistem katrol sangat efektif untuk membantu mencapai lingkup gerak sendi bahu dengan penuh. Peralatan : dua buah katrol digantungkan pada tiang dengan seutas tali dihubungkan dengan kedua katrol tersebut. Kedua ujung tali diberi alat agar tangan dapat menggenggam dengan
baik. Posisi
penderita bisa duduk, berdiri atau berbaring telentang dengan bahu terletak dibawah katrol tersebut. Dengan menarik tali pada salah satu sisi tali yang lain akan terangkat. Sendi siku diusahakan tetap dalam posisi ekstensi dan penderita tidak boleh mengangkat bahu maupun mengangkat tubuh. Gerakan dilakukan perlahan-lahan ( gambar 8 ).15,21
13
Gambar 8 : Latihan dengan overhead pulley ( katrol ). Latihan untuk memperkuat otot bahu
Gambar 9. Latihan Memperkuat Otot Bahu 14
Latihan meningkatkan Posture
Gambar 10 : Latihan meningkatkan Posture. 2. 8. 1. OPERATIF. Terapi operatif (Open Surgery : Anterior Acromioplasty dan Coracoacromial Ligamen Ressection) dan (Arthroscopic : Acromioplasty). Namun jika dengan terapi koservatif tidak ada perbaikan selama 6 bulan maka boleh dilakukan terapi operatif.
15
Gambar 11. Terapi Operatif 2. 9. PROGNOSIS. Menurut penelitian yang dilakukan di amerika serikat pada tahun 2008 oleh penangangan fisioterapi terhadap Shoulder impingement syndrome mempunyai prognosis yang baik yaitu 2 dari 3 pasien yang mengalami Shoulder Impingement syndrome mendapatkan hasil yang memuaskan. Karena bila dilihat dari KEPMENKES 1363 tahun 2008 Bab I, pasal 1 ayat 2 “ Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
16
BAB III KESIMPULAN 1. Shoulder impingement syndrome adalah kumpulan dari gejala-gejala akibat dari menyempitnya celah diantara acromion dan tuberositas mayor caput humerus sehingga menyebabkan insertio dari tendon supraspinatus, biceps caput longum serta bursa subacromialis pada shoulder terjepit. 2. Rotator cuff terdiri dari empat otot, yaitu: m. Subscapularis, m. Supraspinatus, m. Infraspinatus, dan m. Teres minor serta muskulotendonnya. M. Subscapularis di persarafi oleh n. Subscapular yang berasal dari scapula. Berinsersio di tuberkulum minus os humerus dan berorigo di fossa subscapularis. M. Supraspinatus and Infraspinatus keduanya diinervasi oleh n. Suprascapular, yang berasal dari scapula dan berinsersio di tuberkulum major os humerus dan berorigo di fossa supraspinata dan fossa infraspinata. Sedangkan M. Teres minor diinervasi oleh n. Axilaris yang berasal dari scapula dan berisersio di tuberkulum major os humerus. Ruang kosong (subacromial space) berada di bawah acromion, processus coracoideus, artikulatio acromioclavicular dan ligamen coracoacromial. Terdapat sebuah bursa di subacromial space yang menyediakan lubrikan untuk rotator cuff. 3. Shoulder impingement syndrome terjadi apabila rotator cuff atau bursa mengalami peradangan yang bisa disebabkan oleh penggunaan berlebihan atau cedera. Cedera paling sering terjadi pada orang yang melakukan gerakan keatas melewati kepala secara berulang-ulang. Contohnya : bermain baseball, tennis. 4. Patofisiologi shoulder impingement syndrome dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya, bursa subacromial yang berada di atap rotator cuff, memungkinkan tendon rotator cuff untuk meluncur mendekati atap dari bahu tanpa adanya gesekan. Normalnya, kepala humerus akan mendekat ke acromion ketika bahu bergerak, terutama ketika melakukan gerakan yang mencapai atas kepala. Ketika rotator cuff mengalami peradangan karena cedera atau penggunaan berlebihan, atau ketika bursa mengalami peradangan maka kedua tendon dan bursa yang membengkak akan menjadi terjepit diantara kepala humerus dan acromion 17
(Shoulder Impingement Syndrome). Impingement syndrome dinyatakan dalam grade 1, 2 dan 3 berdasarkan tingkat tekanan dari tendon. 5. Tanda yang khas dan mengarah kepada Shoulder Impingement pada inspeksi ditemukan asymmetric shoulder line, terutama pada bahu yang mengalami gangguan akan berusaha diposisikan lebih tinggi dan secara tidak disadari maka tubuh telah melakukan proteksi pada bagian tubuh yang mengalami presepsi nyeri, namun posisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya ischemia pada tendon dan berlanjut pada kelemahan otot-otot bahu dan hilangnya stabilitas glenohumeral. 6. Diagnosis pasien Shoulder Impingement Syndrome dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan nyeri yang merupakan gejala yang paling umum ditemukan. Tipe nyeri biasanya terjadi pada malam hari dan nyeri pada waktu siang hari berhubungan dengan penggunaan berlebihan pada bahu. Karakteristik nyeri pada shoulder impingement syndrome adalah nyeri yang hebat pada antero-posterior dan lateral bahu, sepanjang deltoid dan area biceps. Kelemahan dan kaku sendi bahu merupakan gejala nomor dua setelah nyeri. Sedangkan pada pemeriksaan fisik yaitu pada pemeriksaan fungsi gerak dasar (PFGD) aktif, pasif dan isometrik abduksi bahu maka akan ditemukan nyeri meningkat akibat adanya profokasi pada jaringan subacromial yang mengalami peradangan. Selain itu ada pemeriksaan khusus Neer impingement sign (passive painful arc manuever) dan Hawkin Sign 7. Impingement syndrome biasanya di terapi secara konservatif. Namun untuk beberapa kasus perlu dilakukan arthroscopic surgery atau open surgery. Terapi konservatif meliputi istirahat, penghentian aktifitas yang menyakitkan, dan terapi fisik. Pengobatan terapi fisik biasanya akan fokus pada mempertahankan Range of movement, meningkatkan postur, memperkuat otot bahu, dan mengurangi rasa sakit. Obat-obatan NSAID dan kompres es dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. 8. Prognosis pasien dengan Shoulder Impingement Syndrome pada umumnya adalah baik. 18
DAFTAR PUSTAKA Aimie, Beth, et al, 2007 ”Comparasion of Manual Therapy Techniques with Therapeutic Exercise in the Treatment of Shoulder Impingement”, A Randomized Controlled Pilot Clinical, The Journal of Manual & manipulative Therapy, Vol 16, No 4. Allen E. Fongemie, MD., Daniel D. Buss, M.D., dand Sharon J. Rolnick, Ph.D., Minneapolis, Minnesota. 1998. Management of Shoulder Impingement Syndrome and Rotator Cuff Tears. American Academy of Family Physicians. Hal: 667-674. http://www.aafp.org/afp/1998/0215/p667.html (Diakses 10 Agustus 2015). Caillet R. 1981. Shoulder Pain 2nd edition. FA Davis Company. Philadelphia: 82-9 Carla M., Saulsbery., Hollister A. 2015. Shoulder Impingement. LSU Health Science Center. Cole M. Theodore., Tobis S. Jerome. 1990. Meassurement of Muskuloskeletal Function in, Kottke J. Frederic, Lehmann F. Justus, Krusen’s Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation 4th ed. WB Sounders. Philadelphia: 20-32. Cooper, Joseph, 2008. “Chronic Shoulder Injuries”, Impingement Syndrome, Essential Sports medicine & Manual of Musculoskeletal Medicine. (Humana Press, a part of Springer Science & Business Media). Kisner C. Lynn Allen Colby. 2007. Therapeutic Exercise, Fifth Edition, (Philadelpia: F.A. Davis Company). Mayo Clinic Staff. 2015. Rotator Cuff Injury. Mayo Clinic. Purbo. 2006. Aspec Fisiologic Shoulder Pain, Journal Physical Therapy, Fisiosby. Surabaya. Sugijanto. 2010. FT Manual Terapi Shoulder, Bahan Kuliah, FT Manual Terapi, UIEU FFT. Jakarta.
19