BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1.1.1. Daya Saing dan Pariwisata Internasional Sejak awal tahun 2000, World Tourism Organization (WTO) menyatakan bahwa pariwisata sudah menjadi industri terbesar di dunia. Banyak negara menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan penggerak perekonomian, karena mampu menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang sangat besar. Tahun 2006 misalnya, sektor ini menghasilkan 10,3 persen dari total GDP (Growth Domestic Product) dunia, menciptakan 234 juta lapangan kerja atau sama dengan 8,2 persen dari total lapangan kerja di seluruh dunia. World Travel and Tourism Council (WTTC) melaporkan bahwa pada tahun 2011, sektor pariwisata tetap menjadi industri terbesar di dunia, menyumbang 9 persen terhadap GDP dunia, menciptakan 255 juta lapangan kerja. WTTC (2012) memperkirakan
pada
tahun
2022
mendatang,
sektor
pariwisata
akan
menciptakan 328 juta lapangan kerja atau setara dengan 1 dari 10 lapangan kerja yang tersedia di planet bumi ini. Statistik menunjukan bahwa perkembangan pariwisata dunia dalam beberapa dekade terakhir mengalami pertumbuhan yang signifikan, yaitu mencapai angka 6,5 persen. Tahun 1950 jumlah wisatawan dunia baru mencapai 25 juta orang, pada tahun 1980 naik menjadi 278 juta orang, dan pada tahun 2005 meningkat tajam menjadi 806 juta wisatawan. Tahun 2008, terdapat sejumlah 922 juta wisatawan yang melakukan perjalanan dan menghasilkan devisa sebesar 944 miliar dolar. WTO kemudian mencatat pada tahun 2010, jumlah wisatawan dunia sudah mencapi 935 juta orang, pada tahun 2011 meningkat ke angkat 990 juta orang. Data terakhir pada tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah wisatawan dunia sudah menembus angkat 1 miliar, tepatnya 1,035 miliar wisatawan, dengan total pendapatan mencapai 1.030 miliar dolar, menyumbang 9% terhadap GDP dunia (WTTC 2012). WTO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 mendatang jumlah wisatawan dunia akan menembus angka 1,6 miliar orang. (WTO, 2012)
1
Negara yang paling banyak memperoleh keuntungan dari perkembangan industri pariwisata adalah negara-negara maju yang memiliki daya saing tinggi, yang pada umumnya berada di Eropa dan Amerika.China adalah satu-satunya negara di Asia yang termasuk ke dalam kelompok beruntung ini pada tahun 2008, disusul Malaysia pada tahun 2010. Sepuluh negara yang memperoleh kunjungan wisatawan tertinggi dan sepuluh negara yang memperoleh devisa terbanyak dari sektor pariwisata pada tahun 2008 dan 2010 mayoritas adalah negara-negara yang memiliki peringkat daya saing relatif tinggi. Tabel 1. Sepuluh Negara Penerima Wisatawan Tertinggi Tahun 2008 dan 2010 Jumlah Kunjungan (2008) (juta) 79,3
Peringkat Daya Saing (2009) 4/133
Peringkat Daya saing (2011) 3/139
No
Negara
1
Perancis
2
USA
58,0
8/133
USA
59,7
6/139
3
Spanyol
57,3
6/133
China
52,7
39/139
4
China
53,0
47/133
Spanyol
55,7
8/139
5
Italy
42,7
28/133
Italy
43,6
27/139
6
30,2
11/133
7/139
25,4
77/133
United Kingdom Turkey
28,1
7
United Kingdom Ukraine
27,0
50/139
8
Turkey
25,0
56/133
Germany
26,9
2/139
9
Germany
24,9
3/133
Malaysia
24,6
35/139
Mexico
22,6
51/133
Mexico
22,4
43/139
10
Jumlah negara Total Dunia
10
414,4 juta (45%) 922 juta (100%)
Negara
Jumlah Kunjungan (2010 (juta)) 76,8
Perancis
-
-
-
-
417,5 juta (44.65%) 935 juta (100%)
-
(Sumber: Diolah dari data WTO 2009, 2011& WEF 2009, 2011)
Tabel di atas menunjukkan bahwa sekitar 45% wisatawan dunia terkonsentrasi hanya di negara maju yang memiliki daya saing tinggi, sementara sisanya 55% menyebar
dan diperebutkan oleh ratusan negara berkembang
yang memiliki daya saing relatif rendah. Kondisi yang sama juga berlaku dalam hal perolehan devisa, bahkan persentasenya lebih tinggi, seperti digambarkan pada tabel di bawah ini.
2
Tabel 2. Sepuluh Negara Penerima Devisa Tertinggi Tahun 2008 dan 2010
110,1
Peringkat Daya Saing (2009) 8/133
Spanyol Perancis Italy
61,6 55,6 45,7
6/133 4/133 28/133
5
China
40,8
47/133
6
Germany
40
7
United Kingdom
8
Australia
9
Turkey
10
Austria
No
Negara
1
USA
2 3 4
Jumlah 10 Total dunia
Devisa (2008) (Miliar Dolar)
103.5
Peringkat Daya Saing (2011) 6/139
Spanyol Perancis China
52.5 46.3 45.8
8/139 3/139 39/139
Italy
38.8
27/139
3/133
Germany
34.7
2/139
36
11/133
United Kingdom
30.4
7/139
24,7
9/133
Australia
30.1
13/139
22
56/133
Hongkong
23.0
12/139
21,8
2/133
20.8
50/139
458,3(48,5%) 944(100%)
Negara
USA
Turkey
-
-
Devisa (2010)(Miliar Dolar)
425.9(46,34%) 919(100%)
-
(Sumber: Diolah dari data WTO 2009 & 2011; WEF 2009 & 2011)
Tabel tersebut menunjukkan bahwa sepuluh negara penerima devisa terbanyak pada tahun 2008 memiliki total market share sebesar
48,55%,
sedangkan sisanya sebesar 51, 45% tersebar di negara-negara yang tidak termasuk kelompok destinasi utama, yang mana jumlahnya mencapai ratusan negara. Tahun 2010, sepuluh negara penerima devisa terbanyak menguasai market share lebih 46%. Sisanya sebesar 54% justru diperebutkan oleh 129 negara lainnya yang tidak termasuk ke dalam kelompok sepuluh besar. 1.1.2. Daya Saing dan Pariwisata Indonesia Indonesia sebagai salah satu destinasi pariwisata yang berada di negara berkembang (Asia Tenggara) belum dapat dipersandingkan dengan negaranegara maju tersebut di atas. Peringkat daya saing Indonesia masih rendah, yaitu di urutan 60 pada tahun 2007, peringkat 80 pada tahun 2008, melorot ke peringkat 81 pada tahun 2009, dan peringkat 74 pada tahun 2011. Indonesia hanya mampu meraih porsi yang sangat kecil dari pangsa pasar wisatawan mancanegara, yaitu kurang dari 1% (0,70% pada tahun 2008 dan 0,74% pada tahun 2010). Indonesia adalah negara besar dengan perolehan kecil, baik dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan maupun dari perolehan devisa. Posisi Indonesia
3
bahkan masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara pesaing terdekat sesama anggota ASEAN seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Komparasi Daya Saing Indonesia Dibandingkan Negara Pesaing di ASEAN Aspek/ Negara Peringkat WEF : 2007 2008 2009 2011 2013 Peringkat di ASEAN Kunjungan: (2007) Devisa (2007)
Indonesia
Malaysia
60 80 81 74 70 4 5.506 5.346
Singapore
31 32 32 35 34 2 20.973 14.047
Thailand
8 16 10 10 10 1 7.957 8.664
43 42 39 41 43 3 14.464 15.573
(Sumber: WEF 2007, 2008, 2009,2013)
Jumlah kunjungan dan pengeluaran wisatawan di Indonesia memang cendrung meningkat, tetapi pertumbuhannya belum setinggi capaian negaranegara pesaing Indonesia di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Namun demikian, bila dilihat dari sumbangan sektor pariwisata terhadap perekonomian nasional, perkembangannya menunjukkan trend positif.
Tabel 4. Statistik Kunjungan Wisatawan di Indonesia 2001 – 2012
Tahun
Jumlah wisatawan mancanegara
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
5.153.620 5.033.400 4.467.021 5.321.165 5.002.101 4.871.351 5.505.759
2008 2009 2010 2011 2012
6.234.497 6.323.730 7.002.944 7.649.731 8.044.462
Rata-rata pengeluaran Rata-rata per orang (usd) lama tinggal Per Per (hari) kunjungan hari 1.053,36 100,42 10,49 893,26 91,29 9,79 903,74 93,27 9,69 901,66 95,17 9,47 904,00 99,86 9,05 913,09 100,48 9,09 970,98 107,70 9,02 1.178,54 995,93 1.085,75 1.118,26 1.133,81
137,38 129,57 135,01 142,69 147,22
Penerimaan devisa (juta usd)
8,58 7,69 8,04 7,84 7,70
5.396,26 4.305,56 4.037,02 4.797,88 4.521,89 4.447,98 5.345,98 7.347,60 6.297,99 7.603,45 8.554,39 9.120,85
(Sumber: Kemenparekraf, 2013)
Tabel di atas menggambarkan trend perkembangan sektor pariwisata di Indonesia berdasarkan tiga indikator kunci, yaitu: jumlah kunjungan, lama tinggal dan
pembelanjaan.
Berdasarkan
jumlah
kunjungan,
terlihat
adanya
4
kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan, terutama pada tahun-tahun terakhir (2009, 2010, 2011, 2012). Namun demikian, tabel tersebut juga memberi indikasi bahwa penurunan kunjungan pernah terjadi pada tahun 2002, 2003, 2005 dan 2006 seperti terlihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 1. Trend Kunjungan Wisatawan ke Indonesia (Sumber: Diolah dari Data Statistik Pariwisata, Kemenparekraf, 2013)
Rata-rata pengeluaran wisatawan per hari pada periode 2001-2008 berkisar antara USD 91.29 – USD 147.22. Tahun 2002 – 2006 pengeluaran wisatawan masih berada di bawah USD 100 per hari (sebelumnya pernah mencapai USD 100 per hari pada tahun 2001), tetapi pada tahun 2007 dan 2008 terjadi peningkatan yang signifikan menjadi USD 107.70 (2007) dan kemudian naik lagi menjadi USD 137.38 (2008). Tahun 2009 terjadi penurunan ke angka USD 129,57 tetapi pada tahun 2010 sudah naik lagi ke angka USD 135,01. Begitu
juga
pada
tahun
2011
dan
2012
terjadi
peningkatan
yang
menggembirakan yaitu mencapai angka tertinggi (USD 147,22) seperti digambarkan pada grafik di bawah ini.
5
PENGELUARAN PER HARI 200 150 100,42 107,7 91,29 93,27 95,17 99,86 100,48 100
137,38129,57135,01142,69147,22
50 0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
PENGELUARAN 100,4 91,29 93,27 95,17 99,86 100,4 107,7 137,3 129,5 135,0 142,6 147,2
Gambar 2. Trend Pengeluaran Wisatawan Mancanegara di Indonesia (Sumber: Diolah dari Data Statistik Pariwisata Kemenparekraf, 2013)
Selanjutnya, berdasarkan lama tinggal wisatawan asing di Indonesia sejak awal abad 21 ini, terlihat adanya kecenderungan menurun. Tahun 2001 misalnya, rata-rata lama tinggal wisatawan masih di atas 10 hari, tetapi setelah tahun tersebut terjadi penurunan sampai ke level 7,69 hari yaitu pada tahun 2009. Tahun 2010 terjadi sedikit perbaikan yaitu meningkat ke angka 8,04 hari tetapi pada tahun 2012 kembali menurun ke angka 7,70. Namun demikian, dilihat berdasarkan perolehan devisa - setelah mengalami keterpurukan pada periode 2002–2006 - pada tahun-tahun terakhir ini justru menunjukkan kenaikan yang signifikan, yaitu mencapai 5,35 miliar dolar pada tahun 2007 dan 7,38 miliar dolar pada tahun 2008. Tahun 2010 naik lagi menjadi 7,6 miliar dolar dan puncaknya dicapai pada tahun 2012 yaitu sebesar 9,12 miliar dolar.
TREND PEROLEHAN DEVISA SEKTOR PARIWISATA TAHUN 2001-2012 10.000
6.000
7.603
7.348
8.000 5.396 4.305 4.037
4.798 4.522 4.448
5.346
8.554
9.121
6.298
4.000 2.000 0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Devisa (USD) 5.39 4.30 4.03 4.79 4.52 4.44 5.34 7.34 6.29 7.60 8.55 9.12
Gambar 3. Trend Perolehan Devisa Sektor Pariwisata Periode 2001 – 2012 (Sumber: Diolah dari Data Statistik Pariwisata, Kemenparekraf, 2013)
6
Dilihat berdasarkan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional, nampak bahwa peran pariwisata cukup signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tahun 2001 misalnya, sektor pariwisata menyumbang sebesar 3,53 persen terhadap PDB nasional. Angka tersebut terus bergerak naik setiap tahun dan pada tahun 2008 kontribusi sektor ini sudah mencapai 11 persen terhadap PDB nasional. Artinya sektor pariwisata memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional, seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Kinerja Ekonomi Pariwisata Indonesia Berdasarkan Indikator EkonomiTahun 2001-2008 No URAIAN 2001 2002 2003 2004 1 ADHB (Trilliun Rp) PDB NASIONAL 1646,32 1821,83 2013,67 2295,83 PDB PARIWISATA 49,10 75,25 81,34 88,61 Hotel 9,94 10,46 11,33 12,69 Restoran 33,75 58,63 63,19 68,32 Rekreasi & Hiburan 5,41 6,17 6,82 7,61 2 ADHK (Trilliun Rp) PDB NASIONAL 1440,41 1505,22 1577,17 1656,52 PDB PARIWISATA 46,77 49,24 51,68 55,15 Hotel 9,64 10,11 10,74 11,59 Restoran 32,09 33,65 35,12 37,26 Rekreasi & Hiburan 5,04 5,48 5,82 6,30 3 PERTUMBUHAN EKONOMI (%) PDB NASIONAL 3,64 4,50 4,78 5,03 PDB PARIWISATA 5,63 5,28 4,95 6,72 Hotel 7,39 4,83 6,24 7,93 Restoran 5,20 4,87 4,38 6,08 Rekreasi & Hiburan 5,12 8,76 6,13 8,34 4 KONTRIBUSI PDB PARIWISATA TERHADAP PDB NASIONAL (%) PDB PARIWISATA 3,53 5,41 5,85 6,38 Hotel 0,71 0,75 0,82 0,91 Restoran 2,43 4,22 4,55 4,92 Rekreasi & Hiburan 0,39 0,44 0,49 0,55
2005
2006
2007
2008
2774,28 101,69 14,15 78,81 8,74
3339,22 118,67 16,07 92,42 10,17
3949,32 134,89 17,32 106,25 11,32
4954,03 153,25 18,82 121,24 13,19
1750,82 58,48 12,31 39,45 6,71
1847,13 61,92 12,95 41,72 7,25
1963,09 66,09 13,65 44,68 7,77
2082,10 70,27 14,20 47,62 8,45
5,69 6,03 6,23 5,88 6,52
5,50 5,88 5,18 5,75 7,95
6,28 6,74 5,37 7,08 7,26
6,06 6,31 4,07 6,58 8,70
7,32 1,02 5,67 0,63
8,54 1,16 6,65 0,73
9,71 1,25 7,65 0,81
11,03 1,35 8,72 0,95
(Sumber: Depbudpar, 2009)
Menyadari peran penting sektor pariwisata dan kontribusinya terhadap perekonomian nasional, maka pemerintah melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sejak tahun 2004 mendorong upaya peningkatan daya saing destinasi-destinasi pariwisata di Indonesia melalui serangkaian strategi dan program yang dituangkan dalam Rencana Strategis (Renstra) periode 2004 – 2009 dan Renstra 2009 – 2014. Daerah-daerah yang memiliki potensi untuk
7
dikembangkan sebagai destinasi utama (unggulan) didorong untuk melakukan akselerasi pengembangan dengan tujuan agar daerah tersebut dapat tumbuh lebih cepat dan berkelanjutan. Untuk keperluan itu, pemerintah memberikan dukungan dana stimulasi APBN. Strategi ini diwadahi melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Penetapan Destinasi Pariwisata Unggulan. Untuk periode 2008 – 2010, misalnya, pemerintah menetapkan 5 Destinasi Unggulan, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Papua Barat. 1.1.3. Daya Saing dan Pariwisata Sumatera Utara Sebagai salah satu provinsi yang termasuk dalam program destinasi pariwisata unggulan, Sumatera Utara sangat menarik untuk dicermati. Provinsi ini terletak pada lokasi geografis yang amat stategis, berdekatan dengan negara Singapura sebagai hub pariwisata di Asia Tenggara dan dekat pula dengan negara
Malaysia.
Medan
sebagai
ibukota provinsi
melalui
bandaranya
Kualanamu International Airport (KNO) dapat dicapai hanya 65 menit dengan pesawat terbang dari kota Singapura dan 70 menit dari kota Kuala Lumpur. Dilihat berdasarkan peta destinasi-destinasi pariwisata di Indonesia, posisi Sumatera Utara terletak di bagian barat Indonesia. Medan sebagai ibu kota provinsi dengan bandaranya Kualanamu (KNO), merupakan pintu gerbang utama masuknya wisatawan mancanegara ke bagian barat Indonesia, terutama yang berkunjung ke wilayah Sumatera.
Gambar 4. Posisi Sumatera Utara dalam Peta Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) (Sumber : PP 50 tahun 2011 tentang RIPPARNAS)
8
Selama
tiga
dasawarsa
terakhir,
kepariwisataan
Sumatera
utara
dikembangkan dengan bertumpu pada dua destinasi utama (primary destination) yaitu Destinasi Medan–Toba dan Destinasi Nias – Simeulue seperti terlihat pada gambar di bawah ini
Gambar 5. Peta Destinasi Pariwisata di Sumatera Utara (Sumber: PP 50 tahun 2011 tentang RIPPARNAS)
Dalam konteks ini, Sumatera Utara dipandang unik oleh banyak stake holder karena memiliki dua destinasi utama (primary destination) dengan karakter berbeda. Secara umum, para pemangku kepentingan (stake holder) berpandangan bahwa Nias adalah destinasi yang menawarkan perjalanan wisata berkarakter adventure mode dan cendrung dikunjungi oleh wisatawan tipe allocentric. Berbeda halnya dengan Berastagi-Toba-Samosir yang cendrung menawarkan pengalaman comfort mode dan lebih diminati oleh mereka yang termasuk kelompok psychocentric. Pada masa lalu, kinerja kepariwisataan provinsi ini sangat menonjol, terutama di Pulau Sumatera. Puncak prestasi tertinggi dicapai pada tahun 1995 dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 301.287 orang. Namun demikian, pasca krisis tahun 1997 hingga kini, kondisi kepariwisataan Sumatera Utara belum pulih seperti semula dan tingkat pertumbuhannya relatif rendah. Kondisi ini amat berbeda dengan performance destinasi-destinasi utama di Indonesia, seperti Bali, Jakarta, Batam dan atau Indonesia secara umum. Sebagai perbandingan, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia pada tahun 2008
9
yang berjumlah 6.429.027orang, sudah jauh melampaui
batas tertinggi yang
pernah dicapai pada periode emas sebelum krisis ekonomi tahun 1995 yaitu 4.324.229 orang, sedangkan Sumatera Utara masih tertatih-tatih pada kisaran 170 ribuan (masih jauh dari capaian tahun 1995 yang mencapai 301.287 orang) Berdasarkan statistik kunjungan selama 3 dasawarsa terakhir, periode 1981 sampai tahun 2010, dapat dilihat bagaimana peran dan kontribusi Sumatera Utara terhadap kepariwisataan nasional. Tabel 6. Perbandingan Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia dan Sumatera Utara dalam Tiga Dasawarsa (1981 – 2010) Tahun
Indonesia
Sumatera utara
KontribusiSumatera utara
1981 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2011 2012
600.151 749,351 2,051,686 4,310,504 5,064,217 5,002,101 7.002.944 7.649.731 8.044.462
56.219 86,957 149,450 301,287 115,929 117,539 191.466 223.126 241.833
9,37 11.60 7.28 6.99 2.29 2.35 2.73 2.91 3.00
(Sumber: Diolah dari data BPS, 2013)
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ditampilkan grafik kinerja kepariwisataan Sumatera Utara dibandingkan dengan pertumbuhan pariwisata nasional. 8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 TAHUN INDONESIA SUMUT
1
2
3
4
5
6
7
1981
1985
1990
1995
2000
2005
2010
600.151
749.351
2.177.566
4.324.229
5.064.217
5.002.101
7.002.944
56.219
86.957
149.450
301.287
115.929
117.539
191.466
Gambar 6. Trend Kunjungan Wisman ke Indonesian dan Sumatera Utara (Sumber: Diolah dari data BPS, 2011)
10
Berdasarkan grafik di atas dapat dibaca bahwa trend kunjungan ke Sumatera Utara tidak paralel dengan trend kunjungan nasional. Pertumbuhan kunjungan ke Sumatera Utara tertinggal jauh dibandingkan dengan pertumbuhan kunjungan nasional. Bahkan, kontribusi Sumatera Utara terhadap kunjungan nasional semakin lama semakin mengecil. Pada periode sepuluh tahun pertama (1981-1990) kontribusi Sumatera Utara mencapai rata-rata 9,41% terhadap total kunjungan nasional, tetapi pada dekade kedua (1991-2000) turun menjadi 4,77% dan angka tersebut terus merosot menjadi hanya 2,49% pada dekade terakhir ini (2001-2010). Tabel 7. Rata-Rata Kontribusi Sumatera UtaraTerhadap Total Kunjungan Wisatawan ke Indonesia (dalam %) Periode
Kontribusi Sumatera Utara
1981-1990
9,41%
1991-2000
4,77%
2001-2010
2,49%
(Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, 2011)
Berbagai analisis, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan (Depbudpar, 2006) maupun peneliti independen (Nasution,2006; De Lange, 2006; Emrizal, 2008) mengindikasikan bahwa dinamika dan menurunnya performance kepariwisataan Sumatera Utara berhubungan dengan rendahnya daya
saing
destinasi,
terutama
berkaitan
dengan
faktor-faktor
seperti
aksessibilitas, kualitas daya tarik pariwisata, isu keamanan dan lingkungan. 1.1.4. Daya Saing dan Perencanaan Daya saing atau destination competitiveness dipercaya merupakan aspek penentu yang sangat signifikan dalam kemajuan pariwisata suatu negara atau destinasi. Destinasi yang memiliki daya saing tinggi diprediksi akan mampu memperoleh pangsa pasar (market share) yang lebih besar dalam persaingan pariwisata global atau setidaknya memiliki potensi lebih besar. Dwyer (2000) menjelaskan pentingnya daya saing bagi suatu negara atau destinasi sebagai berikut,”to ensure that the benefits from
increasing
globalization are shared, all countries need to ensure that they have the necessary level of competitiveness”. Senada dengan Dwyer, World Travel and
11
Tourism Council (WTTC, 2001) juga menegaskan, “maintaining competitiveness has become an increasing challenge for destinations”. Kompetisi global yang semakin tajam mengharuskan setiap negara atau destinasi untuk selalu meningkatkan daya saingnya. Munculnya destinasidestinasi baru di berbagai belahan dunia, menuntut agar destinasi yang ada bahkan yang sudah mapan sekalipun - untuk berbenah diri. Kondisi ini menjadi justifikasi bagi setiap destinasi agar tidak pernah lalai. Kelalaian
dalam
memperbaiki
daya
saing
dapat
berakibat
pada
menurunnya performance destinasi secara keseluruhan. Jika suatu destinasi tidak melakukan perbaikan daya saing, maka destinasi lain akan melakukannya, seperti ditekankan oleh Brent Ritchie, Kepala Pusat Penelitian dan Pendidikan World Tourism Organization (2003:37), “…,don’t forget, if you do not provide a competitive destination, somebody else will.” Dewasa ini persoalan daya saing menjadi isu sentral dalam perencanaan dan manajemen destinasi pariwisata. Ritchie(2003:5) bahkan menegaskan bahwa salah satu tolok ukur pengelolaan destinasi yang baik adalah daya saing. “What is good destination management? One measure is destination competitiveness…” Kendati demikian, para penganjur daya saing menyadari bahwa daya saing bukanlah konsep yang bersifat statis, tetapi sangat dinamis. Tidak pernah ada satu set indikator tetap (fix indicator) atau satu kriteria keunikan permanen yang dapat dijadikan parameter daya saing suatu destinasi secara terus menerus. Indikator atau parameter saat ini akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sesuai dengan trend yang berkembang. Sustainabilitas lingkungan, misalnya, pada masa lalu belum menjadi perhatian wisatawan, tetapi sekarang justru menjadi prioritas. Terkait dengan hal ini, Doktor Ike Janita Dewi (2011:x), seorang pakar pariwisata Indonesia, yang melakukan amatan dari sisi permintaan (demand) menulis, “...tren konsumen hijau semakin menguat dan isu keberlanjutan semakin menentukan motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu destinasi wisata. Wisatawan akan memilih dan mengevaluasi suatu destinasi berdasarkan ukuran-ukuran keberlanjutan, seperti isu perlindungan sumber daya budaya, konservasi lingkungan, dan pelibatan masyarakat dalam industri pariwisata”. Sebagaimana diketahui, destinasi pariwisata merupakan komponen utama di dalam sistem kepariwisataan. Setiap destinasi menawarkan produk dan
12
pelayanan yang beragam untuk menarik minat wisatawan. Sebaliknya, wisatawan memiliki kebebasan dan kesempatan untuk memilih di antara pilihanpilihan yang tersedia (Laws, 1991). Menurut Majo dan Jarvis (1991), wisatawan memilih suatu destinasi di antara beberapa alternatif dengan cara mengevaluasi masing-masing alternatif dan mempertimbangkan potensi dan kemampuan destinasi tersebut dalam memenuhi manfaat (benefits) yang mereka cari. Beragam
faktor
mempengaruhi
pilihan
terhadap
suatu
destinasi.
Wisatawan memiliki motivasi dan preferensi yang berbeda terhadap destinasi yang berbeda. Menurut Kozak (1999), adalah tidak mungkin bagi suatu destinasi untuk bersaing atau menjadi kompetitif terhadap semua segmen pasar, karena itu Kozak mengajukan argumen, untuk menjadi kompetitf suatu destinasi harusnya fokus terhadap suatu segmen pasar atau demand tertentu. Permasalahannya, metode pemeringkatan daya saing yang selama ini dikenal (model WTTC 2004 dan model WEF 2007, 2008, 2009, 2011), adalah model berskala nasional yang cenderung hanya berfokus pada sisi supply, sementara sisi demand terabaikan. Karena itu, model-model yang ada tidak mampu menjawab pertanyaan penting seperti, “terhadap pasar mana suatu destinasi kompetitif dan terhadap segmen mana ia kurang kompetitif”. Pertanyaan yang sama yang muncul di destinasi level regional juga tidak mampu dijawab melalui model yang ada pada saat ini. Padahal,
jawaban atas
pertanyaan ini sangat
dibutuhkan karena
karakteristik pasar wisatawan tidak homogen tetapi heterogen. Sebagaimana digambarkan oleh Dwyer (2003) dan Heath (2002), level permintaan terhadap suatu destinasi adalah tidak sama di antara pasar yang berbeda. Faktor permintaan (demand condition) diduga sangat menentukan daya saing destinasi. Selain itu, model-model daya saing yang ada sekarang ini tidak memberikan “semacam pedoman” tentang faktor-faktor apa yang harus diprioritaskan terlebih dahulu dalam upaya meningkatkan daya saing suatu destinasi. Padahal, dalam konteks perencanaan, isu tentang prioritas menjadi penting karena terbatasnya sumber daya untuk melakukan pembenahan semua aspek secara simultan. Keterbatasan sumber daya yang ada mengharuskan suatu negara atau suatu destinasi untuk jeli memilih prioritas. Keterkaitan antara daya saing dengan perencanaan terletak pada aspek ini. Peringkat daya saing pada dasarnya memuat informasi tentang faktor
13
kekuatan dan kelemahan suatu destinasi, sementara dalam proses perencanaan terdapat unsur “choose alternative (priority) and allocate resoucess” yang harus disertai justifikasi rasional (lihat Djunaidi 2012, Rustiadi dan kawan-kawan 2011, Tarigan 2006). Dengan demikian, peringkat daya saing suatu destinasi semestinya bisa menjadi input bagi perencanaan mengenai apa-apa yang harus dibenahi untuk kemudian dapat disusun suatu strategi pengembangan yang tepat dengan rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan saat ini adalah, model dan faktor daya saing yang dikembangkan oleh berbagai pihak, belum dapat dengan mudah digunakan sebagai alat analisis dalam perencanaan, karena tidak mampu memberikan gambaran tentang apa yang lebih penting (prioritas) dan apa yang bukan prioritas. Untuk itu, diperlukan pengembangan lebih lanjut agar model tersebut dapat diimplementasikan, terutama untuk perencanaan destinasi tingkat daerah (provinsi dan kabupaten). Daya saing destinasi level daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) dipandang penting karena akan mempengaruhi daya saing destinasi pada tingkat negara. Tingkat daya saing negara sebagai suatu destinasi pariwisata pada dasarnya terbentuk dari akumulasi faktor-faktor daya saing yang tersebar di berbagai daerah seperti halnya daya tarik alam dan daya tarik budaya. Penelitian ini bermaksud mengadaptasi faktor-faktor daya saing versi WEF yang berskala nasional dan berbasis supply untuk diimplementasikan pada tingkat regional (provinsi) dan mengaitkannya dengan tipe-tipe wisatawan. 1.1.5. Permasalahan Daya Saing Destinasi dengan Tipologi Wisatawan Sebagaimana digambarkan di awal, daya saing destinasi telah diklaim oleh sejumlah ahli sebagai “tourism holy grail” (Ritchie dan Crouch, 2000). Sejak tahun 90-an, beragam konsep dan pemikiran tentang bagaimana seharusnya daya saing destinasi diukur, telah dikemukakan oleh para pemikir pariwisata. Banyak riset telah dilakukan oleh para peniliti antara lain oleh Gooroochurn & Sugiyarto (2005), Hassan (2000), Heath (2002),
Poon (1993), Ritchie dan
Crouch (1993, 1994, 2000, 2003), World Economic Forum (2007, 2008, 2009, 2011) Sejumlah kemajuan positif telah dicapai, beragam pendekatan dan model telah dihasilkan, antara lain model Richie dan Crouch (1999, 2003), model Heath (2002), model Dwyer (2004), model WTTC/ Gooroochurn & Sugiyarto (2004),
14
dan yang terakhir adalah model World Economic Forum (2007, 2008, 2009, 2011). Di antara model-model tersebut, model WEF dinilai paling advanced. Berbeda dengan model-model terdahulu yang hanya sampai pada tahapan menemukan faktor penentu daya saing dan melakukan pemeringkatan, model WEF justru sudah melangkah lebih maju. Model ini sudah sampai pada tahapan menemukan relasi antara faktor-faktor daya saing dengan jumlah kunjungan dan tingkat pengeluaran wisatawan di suatu negara. Temuan WEF yang notabene berbasis pada sisi supply ini menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara daya saing destinasi (level negara) dengan jumlah kunjungan dan pembelanjaan wisatawan. Temuan WEF mengajarkan dan menegaskan kepada kita bahwa kesuksesan suatu destinasi sangat dipengaruhi oleh tingkat daya saingnya. Artinya, bilamana suatu destinasi menginginkan peningkatan jumlah kunjungan dan pembelanjaan wisatawan, maka hal pertama dan utama yang harus dilakukan adalah membenahi faktor daya saingnya. Faktor yang
dimaksud
adalah atribut sisi supply seperti regulasi dan kebijakan, SDM, lingkungan, keamanan, infrastruktur perhubungan (darat, laut, udara), infrastruktur pariwisata, ICT (Information Communication Technology), daya tarik alam dan budaya serta sikap masyarakat terhadap pariwisata. Tanpa mengesampingkan temuan positif yang dihasilkan dan pujian yang diberikan kepada WEF, sejumlah kritik juga disampaikan oleh beberapa ahli, antara lain datang dari Crouch (2007) yang menyatakan bahwa, tujuan nasional pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara berbeda antara satu negara dengan negara lain, dan perbedaan-perbedaan tersebut akan menyebabkan perbedaan fokus terhadap industri yang dinilai penting. Selain itu, Crouch (2007) menegaskan bahwa destinasi juga berbeda satu sama lain dan negara-negara bersaing
untuk
memperebutkan
segmen
pasar
yang
berbeda.
Crouch
berpandangan, akan lebih baik kalau membandingkan negara (destinasi) berdasarkan segmen pasar (sisi demand). Faktor yang dianggap penting untuk suatu segmen mungkin kurang penting untuk segmen yang berbeda (Crouch, 2007). Sementara itu, Prof.Dr. I Gde Pitana, M.Sc, pakar pariwisata dari Indonesia juga memberikan kritik terhadap model WEF. Menurut Pitana, banyak indikator
15
yang dijadikan alat ukur daya saing tidak berhubungan secara langsung dengan pariwisata,
atau
tidak
merupakan
pertimbangan
dari
wisatawan
untuk
mengunjungi suatu destinasi. Pitana bahkan mempertanyakan pula kesahihan komparasi yang dilakukan, yaitu membandingkan negara kecil dengan negara besar (Republika, 10 Maret 2011). Kritik senada terhadap temuan WEF juga disampaikan oleh Kester (2011), seorang analis dan pakar pariwisata dari World Tourism Organization (WTO) yang menulis, “The weighting of pillars might be reconsidered. Currently, all pillars are weighted equally within their respective subindexes, yet one could question whether it is appropriate to treat price competitivenessin the T&T industry and ICT infrastructure, for instance, on an equal footing, since the first might be much more decisive in determining T&T competitiveness than the latter”. (2011; 49) Kritik Kester menekankan pada ketidaksetujuannya atas pemberian bobot yang sama terhadap semua faktor daya saing model WEF. Menurut pandangan Kester, faktor harga misalnya, justru lebih menentukan keputusan wisatawan daripada faktor infrakstruktur ICT (Information Communication Technology). Artinya, kendati semua faktor daya saing versi WEF ini dinilai penting, tetapi tingkat pentingnya belum tentu sama dari sisi pandang segmen yang berbeda (demand yang berbeda). Substansi dari kritik-kritik di atas memiliki relevansi manakala dikaitkan dengan teori Plog (1974, 1991, 2001, 2004) yang menyatakan: “Each psychographic segment (tourist type) has a unique lifestyle that lead to different choices about the kind of products they buy, the personal interest or vacation they pursue, and the destination they choose for their trip, including what they like to do when they get there…” (2004;47) “...Personality characteristic determine travel patterns and preferences...” (2004;52) Deskripsi Plog menekankan bahwa tipe wisatawan yang berbeda akan memilih tipe destinasi yang berbeda dan mempunyai preferensi yang berbeda terhadap atribut-atribut suatu destinasi. Penjelasan ini dapat dimaknai bahwa suatu destinasi bisa saja kompetitif (berdaya saing) terhadap suatu jenis pasar (tipe wisatawan) tertentu tetapi tidak kompetitif untuk segmen yang lain. Plog (2004) bahkan mengklaim bahwa kesuksesan suatu destinasi ditentukan oleh tipe wisatawan yang berkunjung ke destinasi dimaksud :
16
“Some general rules apply that determine why destination is likely to be successful today and into the future , and why others fail. These rules relate to the kinds of people that a destination attract. Some groups (type) of visitor are better than other. The desired type travel more, spend more and most important, influence others to follow in their footsteps and visit where they have gone”.(2004; 45) Sebagai long standing model, yang sudah bertahan selama 40 tahun, dan sudah banyak mengalami uji empiris, klaim Plog tentu tidak bisa diabaikan. Para penguji yang mendukung teori (model) Plog bahkan menulis : “Plog’s (1972, 1991b) theoritical model provides a firm foundation for psychographic segmentation in the field of travel research...”. “This study provides important implication for both academicians and practioners. This research indicates that the Plog model is more robust than previously thought. In particular, the application of Plog model to a homogeneus sample, with its inherent limitations, indicate that it can be successfully adapted to other traveler segmen. For academicians, the study provide a foundation for future behavioral research on psychographic segmentation... ” (Griffith & Albanese, 1996; 50) “Applying a framework such as that provided by Plog, a destination’s strategic planners can identify whether changes in their tourist mix will damage their destination competitiveness...”.(Liu et al, 2006;19) Kutipan di atas secara jelas menegaskan bahwa model Plog lebih kokoh (robust) daripada perkiraan orang sebelumnya dan dapat digunakan sebagai basis riset di bidang pariwisata. Tipologi Plog dinilai telah memberikan dasar yang kuat dalam cara penentuan tipe wisatawan berdasarkan ciri psikografis tertentu (psychographic segmentation). Mengacu pada paparan di atas dapat dirumuskan beberapa pokok pikiran utama yaitu, (1) Daya saing atau destination competitiveness dipercaya merupakan aspek penentu yang sangat signifikan terhadap kemajuan pariwisata suatu negara atau destinasi; (2) Teori atau model daya saing yang ada selama ini pada umumnya berskala nasional dengan basis supply, sedangkan model berskala regional (provinsi) belum ditemukan; (3) Teori daya saing yang ada baru bersifat umum dan belum dikaitkan dengan demand khususnya tipe-tipe wisatawan. Berdasarkan rumusan tersebut, akan sangat menarik tentunya untuk meneliti faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata dalam konteks regional (provinsi) dan mengkaji keterkaitannya dengan tipe wisatawan, khususnya tipologi Plog.
17
1.2. Pembatasan Masalah dan Asumsi-Asumsi Mengingat luasnya cakupan dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing suatu destinasi, maka perlu dilakukan pembatasan sesuai judul disertasi ”Faktor-Faktor Daya Saing Destinasi Pariwisata Regional Berbasis Tipe Wisatawan (Kasus: Sumatera Utara)”, yaitu sebagai berikut: 1.
Perumusan faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional berbasis demand dilakukan dengan mengadaptasi faktor-faktor daya saing versi World Economic Forum (WEF) yang terdiri dari: a.
Policy rules and regulations (Regulasi dan kebijakan)
b.
Environmental sustainability (Keberlanjutan lingkungan)
c.
Safety and security (Keamanan)
d.
Health and hygiene (Kesehatan dan kebersihan)
e.
Prioritization of Travel & Tourism (Prioritas bidang pariwisata)
f.
Air transport infrastructure (Infrastruktur transportasi udara)
g.
Ground transport infrastructure (Infrastruktur transportasi darat)
h.
Tourism infrastructure (Infrastruktur pariwisata)
i.
ICT infrastructure (Teknologi informasi)
j.
Price competitiveness in the T&T industry (Harga)
k.
Human resources (Sumber Daya Manusia)
l.
Affinity for Travel & Tourism (Keterbukaan terhadap pariwisata)
m. Natural resources (Sumber daya alam) n. 2.
Cultural resources (Sumber daya budaya)
Faktor-faktor dan variabel yang diadaptasi dibatasi dengan kriteria: (a) relevan untuk diimplementasikan pada destinasi level regional (provinsi) dan (b) dapat dinilai oleh pasar wisatawan.
3.
Pasar wisatawan yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi hanya mencakup wisatawan mancanegara yang berumur minimal 17 tahun; berpendidikan minimal senior high school; berasal dari Belanda, Australia dan USA serta Malaysia dengan tujuan kunjungan (motivasi) adalah untuk berlibur (leisure). Wisatawan dari negara yang sama tetapi datang dengan motivasi
berbeda (misalnya berbisnis) tidak diperhitungkan dalam
penelitian ini.
18
4.
Faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional yang dibahas dan dikaitkan dengan tipe tipe wisatawan dibatasi hanya pada 10 faktor utama yang ditemukan dalam penelitian ini (faktor-faktor yang berada pada urutan sepuluh teratas).
5.
Sumatera Utara dalam konteks penelitian ini diasumsikan sebagai destinasi pariwisata tingkat regional (level provinsi) dalam pengertian sebagai Tourist Destination Region sedangkan Indonesia diasumsikan sebagai destinasi tingkat nasional dalam pengertian sebagai Tourist Destination Country (untuk penjelasan detail tentang istilah “regional”, lihat lampiran-2). 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan paparan di atas, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut: 1.
Bagaimana faktor-faktor daya saing pariwisata nasional yang berbasis supply dimodifikasi menjadi faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional (provinsi) berbasis demand (pasar) ?
2.
Seperti apa perbedaan urutan prioritas faktor-faktor daya saing destinasi tersebut dipandang dari tiap tipe wisatawan?
3.
Bagaimana hubungan tipologi wisatawan dengan faktor-faktor daya saing destinasi? 1.4.Tujuan Penelitian Tujuan pokok dari penelitian ini adalah ditemukannya pola hubungan antar
tipe psychographic wisatawan dengan faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: 1.
Termodifikasinya faktor daya saing versi WEF yang berbasis supply menjadi berbasis demand (wisatawan) dalam konteks destinasi pariwisata regional
2.
Diperolehnya informasi tentang urutan prioritas faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional dipandang dari tiap tipe wisatawan.
3.
Ditemukannya pola hubungan tipologi wisatawan dengan faktor-faktor daya saing destinasi.
19
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Dari
aspek
perencanaan
teoritis, wilayah
hasil
penelitian
utamanya
ini
dalam
dapat hal
memperkaya
perencanaan
teori
destinasi
pariwisata, mengingat dalam disertasi ini didiskusikan tentang faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata tingkat regional berbasis tipe wisatawan. 2.
Hasil penelitian berupa pola hubungan tipe psychographic wisatawan dengan faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional dapat digunakan sebagai preskripsi dan alat analisis dalam perencanaaan pengembangan wilayah provinsi Sumatera Utara, utamanya dalam perencanaan destinasi pariwisata.
3.
Hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dalam menentukan fokus dan prioritas pembangunan sesuai
dengan
tipe
wisatawan
yang
ditargetkan
dengan
mempertimbangkan keterbatasan dana dan sumber daya yang tersedia. 1.6. Signifikansi Penelitian Signifikansi dari penelitian ini adalah: 1.
Daya saing dan tipologi wisatawan adalah topik-topik yang penting dalam literatur perencanaan dan pengelolaan destinasi pariwisata.
2.
Belum adanya penelitian berbasis data empiris yang mengkaji faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional yang dikaitkan dengan tipe wisatawan. 1.7. Rasionalitas Penelitian Sebagaimana dipaparkan di awal bahwa penelitian disertasi berjudul
“Faktor-Faktor Daya Saing Destinasi Pariwisata Regional Berbasis Tipe Wisatawan (Kasus: Sumatera Utara)” ini dilakukan dengan mengadaptasi model daya saing versi World Economic Forum (WEF) dan mengaitkannya dengan tipe wisatawan model Plog. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut dipaparkan rasionalitas yang mendasari pilihan terhadap model WEF, tipologi Plog, pemilihan responden (Wisatawan Belanda, Australia, Amerika dan Malaysia) sebagai berikut:
20
a.
Rasionalitas pilihan terhadap model Daya Saing versi WEF Model WEF dipilih karena model ini merupakan the highest level of development untuk saat ini, dan terbukti secara ilmiah memiliki korelasi yang kuat terhadap jumlah kunjungan dan perolehan devisa. Model WEF ini adalah model pertama yang memiliki causal effect relationship dan telah mengalami uji empiris selama bertahun-tahun (sejak tahun 2007) dengan melibatkan ratusan negara. Karena itu, faktor-faktor yang terdapat dalam model ini dipandang relevan untuk dimodifikasi lebih lanjut, untuk diimplementasikan di level regional (provinsi), khususnya di Provinsi Sumatera Utara.
b.
Rasionalitas pilihan terhadap Model Plog Tipologi psikografis Plog ini adalah model paling populer, sudah bertahan lebih dari 40 tahun, diklaim memiliki predictive power yang memadai, paling sering dikutip dalam literatur, sering diuji dan dikritik oleh para peneliti namun banyak pula dipuji, seperti telah dipaparkan dalam latar belakang masalah. Model Plog ini adalah satu-satunya model psikografis, dengan dasar kognitif-normatif (cognitive-normative model), memiliki beberapa kelebihan dengan sistem klasifikasi yang jelas dan mudah diukur. Model-model lain (Gray1970; Cohen 1972; Smith 1977; Cohen 1979; Perreault, Dorden and Dorden 1979; Dalen 1989; American Express 1989) bukan merupakan model psikografis, tetapi berbasis interaksi (interactional type). (lihat sistem klasifikasi Murphy, 1985). Model
psikografis
ini
dipilih
setelah
mempertimbangkan
keunggulannya. Abbey (1979) menyatakan bahwa variabel psikografi menghasilkan perbedaan yang signifikan antara kelompok konsumen (wisatawan), dan perbedaan tersebut lebih nyata (more larger) dibanding perbedaan yang dihasilkan dari profil demografi. Peneliti lain, Resinger dan Movando (2004) menegaskan, “psychographic are more useful than demographic in describing consumer because they better differentiate between
them”.
Lesser
dan
Hughes
(1986:18)
mengindikasikan,
“Psychographic segments which are developed for markets in one geographic location are generalizable to markets in other geographic locations”.
21
Selain itu, secara intuitif tipologi psikografis ini sangat menarik dan menurut Plog (2001) terbukti applicable di sejumlah negara di Eropa, Australia, Canada, Hongkong dan sebagian Amerika. Dengan asumsi bahwa model Plog ini adalah benar robust, maka saya (peneliti) berpandangan akan menemukan sesuatu yang bermakna dengan “meminjamnya” untuk dikaitkan dengan faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional dan diterapkan di lokus yang berbeda dan baru, yaitu Sumatera Utara. c.
Rasionalitas Pemilihan Responden (Wisatawan Amerika dan Malaysia)
Belanda, Australia,
Dalam penelitian ini responden yang dipilih berasal dari Negara Belanda, Australia,
Amerika dan Malaysia. Masing-masingnya dipilih
dengan alasan tertentu, yaitu (1) Belanda adalah pasar tradisional Sumatera Utara, dipilih karena dinilai dapat mewakili pasar jarak jauh (long haul) yang berasal dari Eropa. Selain itu, wisatawan Belanda dinilai penting bagi Sumatera Utara karena jumlah kunjungan wisatawan ini relatif stabil dari waktu ke waktu (lihat tabel 8). (2) Wisatawan Australia dan Amerika adalah merupakan pasar yang relatif baru bagi Sumatera Utara. Wisatawan Australia dapat mewakili benua Australia sedangkan wisatawan Amerika dapat mewakili pasar Amerika. Kedua pasar ini dinilai potensial bagi Sumatera Utara karena jumlah kunjungan mereka cukup signifikan dari waktu ke waktu. (3) Wisatawan Malaysia adalah pasar tradisional Sumatera Utara, dipilih sebagai responden karena dinilai dapat mewakili pasar jarak dekat (short haul) dan merepresentasikan Asia Tenggara dengan karakter budaya Melayu yang mirip dengan Sumatera Utara. Selain itu, wisatawan Malaysia dinilai penting karena merupakan jumlah terbesar dari wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Utara. Tabel 8. Data Kunjungan Wisatawan Belanda, Australia, Amerika dan Malaysia ke Sumatera Utara Periode 2007 - 2011 Negara
2007
2008
2009
2010
2011
Belanda
6.425
6.916
6.371
6.820
6.549
Australia
2.337
2.913
2.793
3.046
3.498
USA
2.963
3.029
2.529
3.101
3.189
81.347
84.387
102.685
109.230
132.037
Malaysia
(Sumber: BPS Sumatera Utara, 2009 dan 2012)
22
1.8. Keaslian Penelitian Penelitian ini difokuskan pada kajian faktor-faktor daya saing destinasi pariwisata regional dan kaitannya dengan tipe wisatawan, dengan lokus di Sumatera Utara. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian dengan topik daya saing pariwisata sudah beberapa kali di laksanakan pada tingkat internasional maupun dalam skala nasional. Penelitianpenelitian tersebut dilaksanakan dengan beragam tujuan, metode analisis dan obyek (lokus) yang berbeda. Di bawah ini diuraikan secara singkat beberapa penelitian yang berkaitan dengan daya saing. Uraian ini dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan serta untuk memperlihatkan bahwa belum ada penelitian daya saing yang mengkaitkannya dengan tipe wisatawan (Model Plog). Singkatnya, uraian di bawah ini adalah untuk menegaskan keaslian penelitian disertasi ini. Tahun 2004, Ismail dan kawan-kawan melakukan penelitian tentang daya saing ekonomi dengan studi kasus industri pariwisata. Lokus penelitian adalah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Variabel daya saing yang diteliti adalah obyek dan daya tarik wisata, pemasaran dan promosi, transportasi, telekomunikasi dan informasi, akomodasi dan restoran, serta cenderamata dan kondisi lingkungan. Analisis dalam penelitian ini menggunakan trend dan rating scale. Ismail menemukan bahwa secara umum daya saing masing-masing daerah penelitian berada pada posisi kurang dan sedang. Penelitian Ismail ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian disertasi ini. Persamaannya adalah pada aspek lokus penelitian serta beberapa variabel penelitian yaitu obyek dan daya tarik wisata, transportasi dan kondisi lingkungan. Perbedaanya terletak pada jumlah variabel yang diteliti, dimana Ismail hanya meneliti 7 variabel sedangkan penelitian ini mencakup 14 variabel dengan jenis responden yang berbeda yaitu wisatawan mancanegara dari Belanda, Australia, Amerika dan Malaysia. Perbedaan lain adalah pada alat analisis, dimana Ismail menggunakan metode trend dan rating scale sedangkan penelitian disertasi ini menggunakan teknik analisis yang berbeda yaitu crosstab dan korelasi Rank Spearman.
23
Tahun 2005, Gooroochurn & Sugiyarto melakukan penelitian tentang daya saing pariwisata dalam konteks negara. Penelitian ini menemukan delapan indikator daya saing pariwisata yang penting yaitu harga, teknologi, lingkungan, sosial, SDM, keterbukaan, infrastruktur dan human tourism. Penelitian Gooroochurn & Sugiyarto (2005) memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian disertasi ini. Persamaanya adalah pada beberapa variable yang diteliti yaitu aspek harga, lingkungan, sumber daya manusia serta infrastruktur. Perbedaanya adalah pada lokus penelitian, dimana Gooroochurn & Sugiyarto meneliti data dari 122 negara, sedangkan lokus penelitian disertasi ini adalah destinasi pariwisata pada level regional yaitu Sumatera Utara. Perbedaan lain adalah, Gooroochurn & Sugiyarto berfokus pada upaya menemukan tingkat daya saing negara berdasarkan delapan indikator dengan basis data sekunder, sedangkan penelitian ini berfokus pada kajian faktor daya saing destinasi pariwisata regional dan kaitannya dengan tipe wisatawan dengan basis data primer, yang dikumpulkan dari wisatawan mancanegara dari empat negara yaitu Belanda, Australia, Amerika dan Malaysia. Tahun 2006, Omerzel dan kawan-kawan melakukan penelitian di Slovenia dengan judul Competiveness of Slovenia as Tourist Destination. Penelitian ini dilakukan dengan mengadopsi model daya saing Larry Dwyer dan kawan-kawan yang dikenal dengan istilah integrated model. Responden penelitian ini adalah para stakeholders pariwisata di negara tersebut. Fokus penelitian adalah untuk menemukan posisi daya saing dan faktor-faktor lemah (weak point) sektor pariwisata di Slovenia sekaligus untuk melihat sejauh mana aplikabilitas (applicability) model daya saing Dwyer dapat diterapkan pada lokus yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 85 faktor yang dinilai, mayoritas nilai Slovenia berada di bawah skor 4 (pada skala 1 – 5) dan masih banyak aspek kepariwisataan Slovenia yang dinilai berada di bawah rata-rata. Aspek yang paling lemah adalah faktor manajemen destinasi yang mengindikasikan tidak adanya strategi yang jelas untuk pengembangan ke depan. Hasil penelitian Omerzel ini juga mengkonfirmasi bahwa model dapat digunakan di lokasi yang berbeda dan dapat dipakai untuk memonitor daya saing destinasi pariwisata dari waktu ke waktu. Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
24
Tabel 9. Penelitian-Penelitian Terkait Daya Saing Destinasi No 1
Peneliti Zarmawis Ismail, dkk (2004)
Judul/Topik Peningkatan Daya Saing Ekonomi Indonesia: Studi Kasus Industri Pariwisata (Persepsi Wisatawan)
Lokus Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur 122 negara
Fokus Daya saing Industri Pariwisata
Metode Metode deskriptif dengan analisis trend dan rating scale.
Hasil Secara umum daya saing untuk semua aspek (variabel) di ke-enam daerah penelitian berada pada posisi kurang dan sedang. Variabel yang diteliti adalah obyek dan daya tarik wisata, pemasaran dan promosi, transportasi, telekomunikasi dan informasi, akomodasi dan restoran, serta cenderamata dan kondisi lingkungan
2
Gooroochurn & Sugiyarto (2005)
Competitiveness indicators in the travel and tourism industry.
Competitiveness Indicator
Ditemukan: (1) Delapan faktor daya saing pariwisata yaitu harga, teknologi, lingkungan, sosial, SDM, keterbukaan, infrastruktur dan human tourism, (2)ranking daya saing negara
Competiveness of Slovenia as Tourist Destination
Slovenia
Competitive position of Slovenia based on Dwyer model
Metode deskriptif, dengan analisa Tourism Competitiveness Index dan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Metode deskriptif, dengan skala Likert.
3
Omerzel (2006)
4
Crouch, I.G (2007)
Modeling Destination Competitiveness
Gold Coast, Queensland, Australia
Faktor daya saing utama destinasi pariwisata
Metode deskriptif dengan analisis AHP (Analytic Hierarchy Proces)
Ditemukan bahwa: 1. Dari 85 faktor yang dinilai, mayoritas nilai Slovenia berada di bawah 4 ( pada skala 1 – 5) 2. Model dapat digunakan di lokasi yang berbeda untuk memonitor daya saing destinasi pariwisata dari waktu ke waktu Disimpulkan bahwa dari 36 atribut yang mempengaruhi daya saing destinasi, 10 di antaranya dinilai sangat penting yaitu physiography and climate, market ties, culture and history, tourism superstructure, safety and security, cost/value, accessibility, awareness/image, location, infrastructure
bersambung 25
No 5
Peneliti World Economic Forum (WEF) – 2007, 2008, 2009
Judul/Topik Travel and Tourism Competitiveness Index
Lokus 133 negara
Fokus Daya saing negara dalam sektor pariwisata
Metode Metode deskriptif, dengan analisis Statistik
6
Kayar & Kozak(2008)
28 negara di Eropa (European Union/EU)
Effective determinant of destination competitiveness
7
Croes, R(2010)
Measuring Destination Competitiveness : An Application of Travel and Tourism Competitiveness Index Measuring and Explaining Competitiveness in the Context of Small Island Destination
16 destinasi pulau kecil di wilayah Caribia
Competitiveness among small island destinations
Metode deskrptif dengan cluster analysis and multidimensional scaling technique Metode deskriptif, dengan analisis regresi.
8
Emrizal (2015)
Faktor-Faktor Daya Saing Destinasi Pariwisata Regional berbasis Tipe Wisatawan (Kasus: Sumatera Utara)
Sumatera Utara
Faktor daya saing destinasi dan keterkaitannya dengan tipe wisatawan
Hasil Ditemukan : 1. 14 pilar daya saing pariwisata yaitu: policy rules and regulation, environmental sustainability, safety and security, health and hygiene, prioritization of travel and tourism, air transport infrastructure, ground transport infrastructure, tourism infrastructure, ICT infrastructure, price, human resources, affinity for travel & tourism, natural resources, cultural resources. 2. Daftar peringkat daya saing masing-masing negara mulai dari urutan pertama (1) sampai urutan ke 133 Faktor utama yang mempengaruhi daya saing destinasi (negara) adalah infrastruktur transportasi udara, sumber daya alam dan budaya, infrastruktur transportasi darat serta hygiene dan sanitasi. Ditemukan bahwa dalam konteks destinasidestinasi pulau kecil, pulau yang mahal justru memperoleh pendapatan lebih banyak. Peneliti menyimpulkan bahwa kualitas produk yang bermutu tinggi yang menentukan daya saing destinasi pulau kecil.
Paradigma rasionalistik, dengan metode Delphi dan analisis korelasi Rank Spearman
(Sumber : Zarmawis Ismail, dkk ,2004; Gooroochurn & Sugiyarto, 2005; Omerzel, 2006; Crouch, I.G.,2007; World Economic Forum, 2007, 2008, 2009; Kayar & Kozak, 2008; Croes, R, 2010; Emrizal, 2015)
26