BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih kurang 17.508 pulau dengan sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang berpenduduk. Indonesia secara keseluruhan juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia yakni 81.000 Km dan merupakan 14 % dari garis pantai yang ada di seluruh dunia. Luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilo meter persegi atau mendekati 70 % dari luas keseluruhan negara Indonesia (Dahuri, 2002). Ekosistem di laut Indonesia sangat bervariasi, khususnya ekosistem pesisir. Indonesia merupakan rumah bagi sebagian besar terumbu karang yang luar biasa yang ada di dunia. Zona pesisir Indonesia menopang kehidupan sekitar 60 % penduduk Indonesia. Pada beberapa wilayah, kehidupan masyarakat sangat bergantung kepada kualitas ekosistem terumbu karang yang menjadi habitat hewan laut yang menjadi sumber pangan sehari–hari dengan nilai gizi yang tinggi dan sebagai komoditas untuk diperdagangkan. Selain itu, secara tradisional terumbu karang juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena mengandung kapur (Tomascik dkk., 1997). Ekosistem laut di Indonesia menopang tipe terumbu karang yang bervariasi yaitu terumbu karang tepi, penghalang dan atol. Tipe terumbu karang yang dominan di Indonesia ialah terumbu karang tepi. Terumbu karang tepi ini dapat dijumpai sepanjang pesisir Sulawesi, Maluku, Barat dan Utara Papua, Madura, Bali, tetapi komposisi terumbu karang tipe ini paling baik terbentuk di wilayah Kepulauan Seribu (Tomascik dkk., 1997). Pulau–pulau di Kepulauan Seribu pada umumnya dikelilingi oleh terumbu karang tepian (fringing reefs) dengan kedalaman 0,5–5 meter yang juga merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut. Jenis karang yang dapat ditemukan termasuk dalam jenis karang keras (hard coral), seperti karang batu (massive coral), karang meja (table coral), karang kipas (gorgonion), karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral) dan jenis karang lunak (soft coral). Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa kawasan Kepulauan Seribu terdapat sekitar 267 jenis karang bercabang (Terangi, 2009). Secara alami, terdapat banyak masalah dan penyebab hilangnya terumbu karang baik lokal maupun global seperti penyakit, sedimentasi, spesies pendatang, pemutihan (bleaching), predator, karang keropos (osteoporosis of coral), tumbuhnya alga dan pengaruh badai. Selain itu, perubahan iklim global juga menjadi penyebab hilangnya terumbu karang berupa panas, dingin, terang dan gelap, terutama meningginya suhu air laut menyebabkan kerusakan simbiosisme antara karang dengan alga pada karang tersebut (zooxanthella). Semakin banyak karbondioksida dilepas ke atmosfir semakin banyak pula yang kembali ke laut melalui air hujan dan mengubah pH (keasaman) air laut menjadi lebih rendah atau makin asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos. Karang keropos ini jika dikembalikan ke kondisi air laut semula tidak dapat memperbaiki terumbu kembali (Coremap, 2008). Secara non alami, penyebab utama kerusakan dan penurunan kualitas ekosistem terumbu karang diduga paling banyak berasal dari penangkapan ikan dengan cara yang merusak, penambangan karang dan sedimentasi. Penangkapan ikan dengan cara yang merusak meliputi penggunaan dinamit sebagai alat 1
2
pengebom, penggunaan sianida sebagai racun, teknik penangkapan ikan dengan muroami atau jaring penangkap ikan lain yang merusak terumbu karang. Pengeboman terumbu karang untuk mendapatkan ikan merupakan praktek yang umum di seluruh laut Indonesia. Sianida sebagai racun sering digunakan untuk menangkap ikan–ikan ornamental di banyak wilayah di Indonesia. Aktivitas kapal nelayan dan kegiatan olahraga air serta wisata bahari juga menyebabkan kerusakan terumbu karang melalui jaring tangkap yang digunakan oleh nelayan, pembuangan jangkar kapal dan aktivitas berjalan–jalan di atas karang yang merupakan dampak dari kegiatan wisata bahari (Coremap, 2008). Kualitas terumbu karang di Kepulauan Seribu saat ini umumnya dikategorikan dalam kondisi rusak hingga sedang. Hasil penelitian Yayasan Terangi menunjukkan bahwa rerata tutupan karang hidup adalah sebesar 32,69 % pada tahun 2004 dan 33,61 % pada tahun 2005. Pada tahun 2007, hasil penelitian kerjasama Sudin Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta dan Yayasan Terangi menunjukkan tutupan karang hidup sebesar 31,33 %. Apabila penurunan kualitas ekosistem terumbu karang ini tidak segera ditangani maka akan semakin berakibat buruk bagi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Terangi, 2009). Upaya melindungi dan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat pesisir sesungguhnya juga memiliki tanggung jawab yang sama besar, mengingat kegiatan dan penghidupan mereka sehari–hari sangat bergantung pada layanan sumberdaya yang ada dan dampak dari kegiatan mereka pun cukup besar pengaruhnya terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Masyarakat perlu diajak untuk memutuskan metode atau cara yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan lautan di sekitar mereka. Dengan demikian, masyarakat memegang peranan penting dalam menentukan kondisi lingkungan dan sumberdaya di sekitarnya. Gambaran penurunan kualitas ekosistem terumbu karang di kawasan Kepulauan Seribu dapat diteliti dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah dari sudut pandang partisipasi masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan yang berbasis ekosistem terumbu karang. Terjadinya penurunan kualitas ekosistem terumbu karang mengindikasikan bahwa pengelolaannya belum dilakukan dengan baik oleh masyarakat. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola ekosistem terumbu karang telah berjalan sejak dulu, namun dapat dikatakan saat ini sedang mengalami penurunan intensitas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengungkapkan dan menganalisis secara mendalam berbagai fakta empirik yang mempengaruhi pola dan tingkat partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan–kelautan yang berasal dari ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Tujuan Penelitian Paradigma baru pembangunan perikanan–kelautan merupakan koreksi terhadap paradigma lama yang kurang memperhatikan keberadaan dan peran masyarakat sekitar pesisir. Paradigma baru ini berupaya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai obyek pembangunan, melainkan dilihat sebagai subyek yang aktif yang memiliki
3
inisiatif, kemauan, dan kemampuan dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya perikanan dan kelautan. Paradigma ini memberikan peluang dan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat pesisir untuk ikut terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya. Dengan partisipasi seperti ini maka akan timbul rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) atas keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya. Apabila partisipasi hanya bersifat pasif dan parsial, maka rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat atas keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan menjadi rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Craig dan Mayo (1995) bahwa jaminan pembangunan berkelanjutan adalah adanya partisipasi anggota–anggota masyarakat. Program pengelolaan pesisir di tingkat pusat maupun lokal harus mencakup mekanisme yang menjamin adanya partisipasi masyarakat secara adil dan efektif dalam pengambilan keputusan sehingga kerjasama pengelolaan sumberdaya pesisir dapat berlangsung secara berkelanjutan. Partisipasi aktif masyarakat secara luas merupakan bagian penting dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan secara lestari. Untuk itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung dengan sumberdaya ini perlu diberdayakan peran sertanya, baik pada level perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil maupun pengawasan kegiatan. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL–BM) merupakan kawasan laut yang ditetapkan sebagai daerah yang secara permanen tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif selain untuk aktivitas konservasi. Pengelolaan DPL–BM dilakukan secara bersama oleh masyarakat, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Urgensi penerapan DPL– BM adalah untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti pemulihan kualitas hidup terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme laut lainnya, serta lebih lanjut dapat meningkatkan produksi perikanan. DPL–BM diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Di sisi lain, penerapan DPL–BM merupakan proses pemberdayaan masyarakat secara sosial dan ekonomis agar masyarakat memperoleh akses untuk mengelola sumberdaya mereka sendiri (Coremap, 2008). Mempertimbangkan laju kerusakan sumberdaya perikanan dan kelautan yang terus terjadi di wilayah perairan Kepulauan Seribu, pada tahun 2004 masyarakat melalui program yang diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, sepakat untuk menerapkan pendekatan pengelolaan daerah perlindungan laut melalui penetapan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di sekitar perairan Gosong Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang. Program ini kemudian juga diterapkan pada empat kelurahan lainnya, yaitu Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Tidung dan Kelurahan Pulau Pari. Konsep dasar dari program APL–BM adalah membebaskan kawasan dari aktivitas yang dapat mempengaruhi kemampuan ekosistem perairan laut untuk memulihkan diri secara alamiah. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa pengelolaan kawasan APL–BM tersebut dilakukan secara kolaboratif bersama antara masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
4
Hingga saat ini, kemauan, kemampuan serta peluang masyarakat untuk berperan lebih aktif dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan melalui program daerah perlindungan laut belum berjalan optimal dan masih terkendala oleh berbagai faktor. Berdasarkan pengamatan awal, ditemukan indikasi bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program APL–BM di Kepulauan Seribu masih belum berjalan dengan optimal. Kendala yang dihadapi antara lain adalah perbedaan penafsiran atas aturan yang berlaku dalam sistem zonasi APL–BM, belum terbentuknya forum komunikasi yang dijalankan oleh masyarakat untuk membahas permasalahan pengelolaan sumberdaya serta kapasitas kelembagaan masyarakat pengelola sumberdaya yang rendah. Belum optimalnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan program APL–BM dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah Kepulauan Seribu saat ini merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : (1) Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (2) Menganalis faktor–faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (3) Merancang strategi untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu di masa yang akan datang Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai proses pembelajaran dalam mensintesis sebuah model pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis kelembagaan lokal yang didasarkan pada analisis teoritik dan empirik. Secara rinci, kegunaan penelitian ini adalah : (1) Merupakan upaya pencarian kebenaran ilmiah tentang berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian ekosistem. (2) Sebagai sumber informasi bagi pihak lain dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan ekosistem dalam rangka mendorong transformasi perilaku dan kelembagaan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian perilaku (behavioral research) di bidang penyuluhan pembangunan dengan fokus melakukan pengamatan atas perilaku individu dan masyarakat dalam berpartisipasi dalam pengelolaan program Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di pulau–pulau kecil. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap faktor–faktor yang membentuk partisipasi masyarakat untuk kemudian diuji hubungannya sehingga diperoleh pemahaman situasi yang lebih baik. Subyek penelitian ini adalah kelompok pemanfaat langsung (primary
5
stakeholders/user groups) sumberdaya perikanan–kelautan berbasis ekosistem terumbu karang sebagai sumber utama penghidupannya. Secara umum, partisipasi didefinisikan sebagai proses peran serta masyarakat secara aktif dan substansial dalam pembangunan yang berkenaan dengan aspek kehidupan mereka. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL–BM) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari berbagai aktivitas penangkapan ikan dan pengambilan sumberdaya lainnya yang pengelolaannya dilakukan secara kolaboratif. Pulau–pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2000 Km2 yang secara ekologis terpisah dari pulau induk dan memiliki batas fisik yang jelas sehingga bersifat insular. Penyuluhan pembangunan meliputi upaya sadar dan terencana yang berkaitan dengan transformasi perilaku melalui pendekatan pendidikan non formal dan komunikasi dialogis agar masyarakat mampu mengambil keputusan yang berkualitas terkait aspek pengelolaan sumberdaya yang menjadi sumber utama penghidupan mereka. Penelitian yang berkaitan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya secara tradisional maupun kolaboratif telah cukup banyak dilakukan oleh beberapa pihak sebelumnya. Fauzy dan Bukhari (2002) melakukan penelitian berkaitan dengan perspektif sosial ekonomi masyarakat terkait dengan pengaruh degradasi sumberdaya yang terus terjadi di wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat jeda komunikasi antara pemangku kepentingan dan keterbatasan akses yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat pada program-program konservasi yang dikelola oleh pihak Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Sementara itu, Clifton (2003) melakukan kajian tentang prospek penerapan pendekatan komanajemen dalam pengelolaan daerah perlindungan laut sebagai dampak dari reformasi kelembagaan yang terjadi di Indonesia. Hasil penelitiannya menyimpulkan terdapat beberapa hambatan kelembagaan dan budaya dalam penerapan pendekatan kolaboratif tersebut. Hambatan tersebut di antaranya adalah lemahnya koordinasi antara pemerintahan pusat, daerah dan pemangku kepentingan di tingkat lokal serta belum terdapat kesamaan persepsi tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam mengakses sumberdaya perikanan dan kelautan yang ada di wilayah perlindungan laut. Satria (2009) juga melakukan penelitian dengan topik dinamika implementasi program pengelolaan daerah perlindungan karang secara kolaboratif di Lombok Barat. Temuan penting dari penelitian tersebut adalah pendekatan pengelolaan tradisional awig–awig yang pernah berlaku di wilayah tersebut memiliki potensi besar untuk direvitalisasi sebagai pendekatan yang efektif dengan sejumlah penguatan, antara lain penguatan hukum, penguatan kapasitas kelompok–kelompok pemanfaat dalam mengaktualisasikan kepentingannya dan peningkatan koordinasi antar aras lembaga pemerintahan. Glasser et al. (2010) melakukan penelitian terkait dengan disain manajemen program daerah perlindungan laut yang dikoordinasi oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan RI melalui program Coremap di wilayah Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dan tingkat keberlanjutan program tersebut adalah rendah sebagai dampak dari manajemen program yang sentralistik dan belum mengoptimalkan kelembagaan lokal yang tumbuh di masyarakat.
6
Sangadji (2010) melakukan penelitian yang menitikberatkan pada kajian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tengah dengan pola kemitraan. Temuan penting dari penelitian tersebut adalah masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses informasi terkait tujuan dan mekanisme kemitraan pengelolaan sumberdaya yang diterapkan sehingga berdampak pada rendahnya motivasi untuk berpartisipasi. Di sisi lain juga ditemukan fakta bahwa kegiatan penyuluhan memiliki peran yang signifikan dalam membangun jejaring kerjasama di tengah rendahnya kinerja faktor–faktor pembangunan lainnya. Sementara Faiza (2011) melakukan penelitian terhadap efektifitas dan tingkat keberlanjutan program pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Minahasa Selatan, Lampung Selatan dan Kepulauan Seribu Utara. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa efektivitas dan tingkat keberlanjutan program yang diterapkan di Kepulauan Seribu Utara tergolong rendah yang disebabkan oleh faktor keterbatasan dukungan dalam legalitas program dan internalisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah. Beberapa penelitian sebelumnya seperti yang disebutkan di atas belum mengkaji secara khusus aspek partisipasi masyarakat pada dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat dalam perspektif perilaku individu dan kelompok pemanfaat sebagai dampak dari interaksi tiga faktor dasar pembentuk partisipasi yaitu kemauan (motivasi), kemampuan dan peluang/akses (dinamika sosial–budaya dan disain program). Penelitian ini dirancang untuk menemukan faktor–faktor penentu utama dan pola hubungan di antara faktor– faktor tersebut yang kemudian secara simultan membentuk tingkat partisipasi masyarakat. Berdasarkan temuan tersebut kemudian dirancang strategi dalam tataran praksis untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan mengembangkan potensi yang ada untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh dan substansial. Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah strategi pengembangan partisipasi masyarakat pada pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat dirancang dengan mengakomodasi pandangan antroposentris kelompok masyarakat pemanfaat utama sumberdaya perikanan–kelautan sebagai basis perekat dan rekayasa sosial terkait konsep pengelolaan sumberdayanya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini kemudian menjajagi peluang untuk merekomendasikan pemberian hak pengelolaan sumberdaya secara terbatas pada komunitas (communal right) meskipun komunitas tersebut tidak memiliki rekam jejak sejarah pengelolaan sumberdaya berbasis kelembagaan tradisional. Hasil penelitian disajikan dengan pola rangkaian penelitian yang terdiri dari beberapa judul penelitian. Pola ini digunakan dengan maksud agar setiap judul memiliki fokus penelitian yang kuat dan kedalaman pengkajian. Selanjutnya, judul–judul dari rangkaian penelitian tersebut diintegrasikan dalam bagian pembahasan umum dan ditutup dengan kesimpulan umum. Bab I menjelaskan latar belakang penelitian, tujuan, manfaat dan ruang lingkup penelitian. Bab II menyajikan profil wilayah penelitian dan karakteristik sosial–ekonomi kelompok masyarakat pemanfaat utama sumberdaya perikanan– kelautan berbasis ekosistem terumbu karang. Bab III menguraikan analisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan areal perlindungan laut berbasis masyarakat dan faktor–faktor yang mempengaruhinya. Bab IV menguraikan
7
analisis sikap masyarakat terhadap konsep pengelolaan areal perlindungan laut berbasis masyarakat saat ini dan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya di masa yang akan datang. Bab V menguraikan pembahasan umum untuk mengintegrasikan hasil kajian atau temuan dari setiap judul penelitian sehingga dapat menjelaskan hubungan satu dengan lainnya sebagai satu rangkaian penelitian. Bab VI menyajikan kesimpulan yang merupakan temuan utama penelitian dan saran kebijakan berdasarkan temuan tersebut. Daftar Pustaka menyajikan pustaka–pustaka yang menjadi sumber rujukan penelitian. Daftar lampiran menyajikan kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian dan hasil olah data statistik dari perangkat lunak. Berdasarkan uraian di atas, maka disusun kerangka berpikir rangkaian penelitian yang menggambarkan hubungan antar peubah–peubah penelitian sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
8
Konseptualisasi peubah–peubah penelitian diuraikan sebagai berikut : (1) Karakteristik Individu (X1): ciri-ciri atau sifat–sifat individu yang melekat pada pribadi seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupannya dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan (Tabel 1). Tabel 1. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Karakteristik Individu Indikator
Definisi Operasional
X1.1 Umur
Masa hidup responden
X1.2 Pengalaman berinteraksi dengan sumberdaya
Lamanya responden melakukan berbagai kegiatan memanfaatkan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Pendidikan formal yang yang pernah dan sedang diikuti responden
X1.3 Pendidikan formal
X1.4 Tingkat pendapatan
X1.5 Jumlah tanggungan keluarga X1.6 Pendidikan non formal X1.7 Jenis pekerjaan dan alat tangkap
Jumlah uang yang diperoleh responden dalam satu bulan baik yang bersumber dari perikanan maupun usaha lainnya Banyak orang yang berada dalam satu rumah tangga yang menjadi beban tanggungan hidup Pelatihan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya yang pernah diikuti oleh responden Jenis pekerjaan atau alat tangkap yang menjadi sarana responden untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
Parameter Pengukuran Dihitung mulai dari tahun kelahiran dan dibulatkan ke tahun terdekat pada saat penelitian dilakukan Dihitung sejak awal mulai melakukan kegiatan usaha perikanan (jumlah tahun)
Skala Pengukuran Rasio
Rasio
Dihitung berdasarkan lamanya pendidian formal yang pernah dan sedang diikuti(jumlah tahun) Diukur berdasarkan banyaknya pendapatan dalam satu bulan (dinyatakan dalam Rupiah) Diukur berdasarkan jumlah orang yang menjadi beban tanggungan hidup Diukur berdasarkan lamanya jam pelatihan yang pernah diikuti.
Rasio
Dinyatakan dalam pekerjaan sebagai : nelayan muroami, nelayan pancing, nelayan jaring payang, nelayan jaring ikan hias, nelayan bubu, pemandu wisata dan pembudidaya karang komersial
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
9
Tabel 1. (Lanjutan). Indikator X1.8 Status kepemilikan alat produksi X1.9 Pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya
Definisi Operasional Kedudukan responden dalam organisasi pekerjaannya. Pengetahuan responden dalam memanfaatkan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
Parameter Pengukuran dinyatakan dalam status pemilik alat produksi dan pekerja
Skala Pengukuran Rasio
Dihitung berdasarkan skor pengetahuan dalam memanfaatkan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
Interval
(2) Dinamika Sosial Budaya Masyarakat (X2) : dinamika sosial dan budaya yang ada di masyarakat terkait dengan proses pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan melalui penerapan program APL–BM (Tabel 2). Tabel 2. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Indikator X2.1 Tingkat kekosmopolitan individu
X2.2 Keterdedahan terhadap media massa
X2.3 Kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya X2.4 Dukungan tokoh masyarakat informal
Definisi Operasional Upaya responden untuk berhubungan dengan pihak lain yang berada luar komunitasnya dalam rangka mencari informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pengelolaan APL– BM Upaya responden memanfaatkan media massa dalam rangka mencari informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pengelolaan APL–BM Keberadaan lembaga dan aturan lokal terkait dengan pengelolaan APL–BM yang disepakati masyarakat Dukungan tokoh masyarakat informal dalam pengelolaan APL–BM
Parameter Pengukuran Dihitung berdasarkan frekuensi kontak responden setiap bulannya dalam mencari informasi di luar komunitasnya dari pihak lain
Skala Pengukuran Interval
Dihitung berdasarkan durasi (jam) responden setiap bulannya dalam mencari, mendapat dan memanfaatkan informasi dari media massa Dihitung berdasarkan keberadaan lembaga lokal dan tingkat pengaruh aturan lokal
Interval
Dihitung berdasarkan tingkat pengaruh dukungan tokoh masyarakat informal dalam pengelolaan APL–BM
Interval
Interval
10
Tabel 2. (Lanjutan). Indikator
Definisi Operasional
X2.5 Dukungan tokoh masyarakat formal / aparat pemerintah
Dukungan tokoh masyarakat formal / aparat pemerintah dalam pengelolaan APL–BM
X2.6 Dukungan organisasi non pemerintah masyarakat
Dukungan organisasi non pemerintah dalam pengelolaan APL–BM
Parameter Pengukuran Dihitung berdasarkan tingkat pengaruh dukungan tokoh masyarakat formal / aparat pemerintah dalam pengelolaan APL–BM Dihitung berdasarkan tingkat pengaruh dukungan organisasi non pemerintah dalam pengelolaan APL–BM
Skala Pengukuran Interval
Interval
(3) Kualitas program pengelolaan APL–BM (X3) adalah persepsi responden terhadap kinerja program pengelolaan APL–BM yang pendekatan komunikasi, inisiasi dan kontinuitas dan kesesuaian konsep program serta dukungan intensitas peran penyuluhan (Tabel 3). Tabel 3. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Kualitas Program Pengelolaan APL–BM Indikator X3.1 Pendekatan komunikasi program X3.2 Inisiasi dan kontinuitas program
X3.3 Kesesuaian konsep program
X3.4 Intensitas peran penyuluhan
Definisi Operasional Pola komunikasi yang digunakan dalam menyebarluaskan informasi program Inisiatif pengusulan dan susunan rangkaian kerja yang diterapkan secara sistematis sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat Kesesuaian konsep program dengan kebutuhan dan situasi sosial yang berada di sekitar masyarakat Dukungan peran penyuluhan dalam fungsi fasilitator, edukator dan advokator untuk mendukung pengelolaan APL–BM
Parameter Pengukuran Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Skala Pengukuran Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
11
(4) Kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM (X4) adalah persepsi responden terhadap seberapa besar/tinggi kemampuan teknis, manajerial dan sosial yang dimiliki oleh organisasi masyarakat yang membuatnya mampu berpartisipasi secara aktif dalam mengelola program APL–BM (Tabel 4) Tabel 4. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Kemampuan Organisasi Masyarakat Indikator X4.1 Kemampuan teknis
X4.2 Kemampuan manajerial
X4..3 Kemampuan sosial
Definisi Operasional Tingkat pengetahuan dan keterampilan teknis organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL– BM Tingkat pengetahuan dan keterampilan manajerial organisasi masyarakat dalam mengalokasikan sumberdaya organisasi untuk kegiatan pengelolaan APL–BM Tingkat pengetahuan dan keterampilan sosial organisasi masyarakat dalam membangun hubungan dan jaringan kerjasama/ kemitraan pada kegiatan pengelolaan APL–BM .
Parameter Pengukuran Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Skala Pengukuran Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
(5) Motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan APL– BM (X4) adalah persepsi responden terhadap seberapa kuat keinginankeinginan dalam dirinya yang mendorong untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan APL–BM (Tabel 5). Tabel 5. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Motivasi Masyarakat Indikator
Definisi Operasional
X5.1 Keinginan untuk meningkatkan pendapatan
Kemauan responden untuk meraih pendapatan tambahan dari manfaat program yang mendorongnya untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan APL– BM
Parameter Pengukuran Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Skala Pengukuran Interval
12
Tabel 5. (Lanjutan). Indikator
Definisi Operasional
X5.2 Keinginan untuk mendapat pengakuan atas kredibilitas dalam mengelola sumberdaya
Kemauan responden untuk mendapatkan kepercayaan dan dianggap mampu dalam mengelola sumberdaya secara lestari yang mendorongnya untuk berpartisipasi secara aktif pengelolaan APL–BM Kemauan responden atas dasar kesadaran sendiri untuk menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mendorongnya untuk berpartisipasi secara aktif pengelolaan APL–BM
X5.3 Keinginan melestarikan sumberdaya
Parameter Pengukuran Diukur berdasarkan skor persepsi/perasaan responden
Skala Pengukuran Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi/perasaan responden
Interval
(6) Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM (Y1) adalah persepsi responden terhadap seberapa jauh keterlibatan dirinya dalam penerapan kegiatan-kegiatan pengelolaan APL–BM yang telah dilakukan (Tabel 6). Tabel 6. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL–BM. Indikator Y1..1 Merencanakan kegiatan pengelolaan APL–BM Y1..2 Melaksanakan kegiatan pengelolaan APL–BM Y.1.3 Menikmati hasil pengelolaan APL–BM Y.1.4 Mengevaluasi kegiatan pengelolaan APL–BM
Definisi Operasional Intensitas keterlibatan responden dalam merencanakan berbagai kegiatan pengelolaan APL–BM, baik secara bersama maupun mandiri. Intensitas keterlibatan responden dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan APL–BM, baik secara bersama maupun mandiri. Intensitas keterlibatan responden dalam menikmati hasil kegiatan penggelolaan APL–BM. Intensitas keterlibatan responden dalam melakukan pengawasan dan penilaian / evaluasi terhadap kinerja kegiatan pengelolaan APL–BM.
Parameter Pengukuran Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Skala Pengukuran Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
Diukur berdasarkan skor persepsi responden
Interval
13
(7) Sikap masyarakat dalam pengelolaan APL–BM saat ini (Y2) adalah kecenderungan menyetujui / mendukung atau tidak terhadap pengelolaan sumberdaya melalui program proses pengelolaan sumberdaya perikanan– kelautan melalui penerapan program APL–BM yang diterapkan (Tabel 7). Tabel 7. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL–BM Saat Ini Indikator Y2.1 Sikap terhadap status ekosistem
Y2.2 Sikap terhadap konsep pengelolaan APL–BM
Definisi Operasional Penilaian obyektif individu terhadap perubahan status ekosistem saat ini sebagai dampak penerapan program APL– BM Kecenderungan untuk menyetujui / mendukung atau menolak konsep pengelolaan APL–BM yang diterapkan saat ini
Parameter Pengukuran Diukur berdasarkan skor sikap responden
Skala Pengukuran Interval
Diukur berdasarkan skor sikap responden
Interval