BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sejak tahun 2001, pemerintah daerah telah melaksanakan secara serentak
otonomi daerah dengan berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 22 & 25 tahun 1999, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undangundang tersebut telah menetapkan pelimpahan kewenangan otonomi daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sebagai konsekuensinya bahwa pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan dua perubahan mendasar, yaitu pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah dan pelimpahan sumber-sumber keuangan daerah melalui dana perimbangan dan perluasan basis pajak dan retribusi daerah. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintahan akan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan yang telah diterima oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini berlaku prinsip money follow function, yaitu anggaran mengikuti
fungsi/kewenangan
yang
diberikan,
artinya
semakin
banyak
kewenangan yang telah dilimpahkan, maka kecenderungannya akan semakin besar pula anggaran yang dibutuhkan oleh daerah untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Jika kewenangan sudah diberikan secara penuh kepada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah seharusnya mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Sementara itu, pelimpahan sumber-sumber keuangan daerah melalui dana perimbangan akan berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada masing-masing daerah. Dengan semakin besarnya sumber-sumber penerimaan daerah, maka volume keuangan yang akan dikelola oleh pemerintah daerah dalam APBD semakin besar, sehingga semakin besar pula peluang bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan seluruh kewenangan yang telah diterimanya. Selama periode
2003-2008, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menerima dana perimbangan dengan jumlah nominal yang semakin besar pada setiap tahun anggaran, yaitu semula berjumlah Rp. 654,302 miliar pada tahun 2003, kemudian meningkat menjadi
Rp. 1,269 triliun pada tahun 2008, berarti selama periode 2003-
2008, rata-rata kenaikannya mencapai 18,79 %.
Bilamana jumlah dana
perimbangan ini dihitung kontribusinya terhadap total penerimaan dalam APBD Kabupaten Bogor, maka rata-rata proporsinya telah mencapai 74,34 % dari total penerimaan APBD Kabupaten Bogor selama periode 2003-2008, sedangkan kontribusi lainnya berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 17,13 % dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar 8,53 % (Bappeda Kabupaten Bogor, 2010).
Kondisi ini mengungkapkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor,
sesungguhnya sangat tinggi ketergantungannya pada anggaran yang berasal dari pemerintah pusat terlihat dari
rasio kecukupan penerimaan PAD (Revenue
Adequacy Ratio) yang belum mencapai proporsi
20 %, sebagaimana standar
yang berlaku di era otonomi daerah saat ini. Fenomena umum yang terjadi pada setiap daerah bahwa adanya desentralisasi fiskal melalui dana perimbangan menyebabkan perubahan terhadap pola alokasi anggaran atau pola pembiayaan pembangunan yang terkait dengan kepentingan publik. Selama ini, kecenderungan yang terjadi yaitu setiap daerah selalu mendahulukan pemenuhan alokasi anggaran untuk belanja aparatur dibandingkan dengan belanja publik, dengan argumentasi bahwa biaya tetap (fixed cost), berupa gaji dan tunjangan pegawai serta biaya operasional instansi pemerintah merupakan satu kewajiban yang harus didahulukan, agar proses pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sementara itu, sejumlah urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan, seperti bidang pendidikan, kesehatan dan
transportasi/infrastruktur wilayah dan bidang
pelayanan kebutuhan dasar lainnya belum mampu memenuhi rasio alokasi belanja daerah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau pun belum memenuhi standar pelayanan minimal, sehingga kinerja pelayanan publik cenderung tidak tercapai pada setiap tahun anggaran. Sebagai gambaran, bahwa proporsi dari alokasi belanja publik rata-rata sekitar 32,1 %, lebih kecil dibandingkan dengan
alokasi dari belanja aparatur yang rata-rata mencapai 67,9 % pada periode 20012006 (Bappeda Kabupaten Bogor, 2008). Bilamana alokasi belanja publik di Kabupaten Bogor dihitung rasio-nya terhadap total penerimaan APBD, Dana Perimbangan (DP) maupun terhadap total Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
selama
periode
2001-2006
maka
kecenderungannya adalah terus menurun pada setiap tahun anggaran, yakni : (1) rasio belanja publik terhadap total APBD, yaitu menurun dari 3,98 % pada tahun 2001,
kemudian menjadi 2,02 % pada tahun 2006; (2) rasio belanja publik
terhadap Dana Perimbangan juga menurun dari 3,29 % pada tahun 2001, kemudian menjadi 1,63 % pada tahun 2006; (3) rasio belanja publik terhadap PAD yaitu menurun dari 0,57 % pada tahun 2001, kemudian menjadi 0,34 % pada tahun 2006. Data ini menunjukkan bahwa rasio dari belanja publik terhadap pendapatan dalam APBD belum mencapai alokasi minimal sebagaimana patokan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi dimaksud mengungkapkan pula bahwa kebijakan alokasi belanja publik dalam APBD Kabupaten Bogor selama periode 2001-2006 belum mengaitkan antara tambahan kenaikan penerimaan daerah dengan tambahan alokasi belanja publik yang proporsional pada setiap tahun anggaran. Kebijakan alokasi belanja daerah yang telah ditempuh, justru mengarah pada kondisi yang kontra produktif atau tidak berimbang, yaitu adanya tambahan kenaikan penerimaan daerah tidak dijadikan sebagai dasar perhitungan untuk penentuan kebijakan bagi penambahan alokasi belanja publik yang seimbang dalam APBD Kabupaten Bogor selama periode 2001-2006. Kondisi alokasi belanja publik yang relatif rendah di atas, baik ditinjau dari proporsinya terhadap total belanja daerah maupun rasio-nya terhadap total penerimaan daerah dalam APBD berimplikasi pada pencapain tingkat kinerja pelayanan publik di Kabupaten Bogor. Sebagai gambaran bahwa salah satu indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja pelayanan publik atau pun taraf kesejahteraan rakyat adalah dengan ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM - Human Development Index). Pada periode 2001-2006, tingkat pencapaian IPM Kabupaten Bogor, yaitu semula sebesar 66,70 poin pada tahun 2001, kemudian meningkat menjadi 69,45 poin pada tahun 2006, berarti terdapat
kenaikan sebesar 0,55 poin selama periode 2001-2006 dan tingkat pencapaian IPM dimaksud menurut klasifikasi yang berlaku termasuk dalam kategori lamban (BPS Kabupaten Bogor, 2008). Oleh karena itu, kondisi ini dianggap tidak sebanding dengan kenaikan rencana belanja daerah dalam APBD yang mencapai rata-rata 21,14 % selama periode 2001-2006 (Bappeda Kabupaten Bogor, 2008). Konsekwensi dan keterkaitan antara alokasi belanja daerah dengan kinerja pelayanan publik didasarkan pada anggapan bahwa alokasi belanja publik dalam APBD Kabupaten Bogor merupakan salah satu masukan (input) yang sangat menentukan bagi penciptaan keluaran (output) dari setiap kegiatan dan program pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Sementara itu, hasil (outcome) dari kegiatan dan program pembangunan yang termasuk dalam kelompok belanja publik akan dirasakan secara langsung manfaatnya oleh masyarakat melalui ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, infrastruktur wilayah ataupun fasilitas pelayanan dasar masyarakat lainnya di Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, besaran alokasi belanja publik dalam APBD sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja pelayanan publik di Kabupaten Bogor. Kondisi di atas, sesungguhnya sangat terkait pula dengan pola alokasi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah daerah selama ini, dimana pola-pola alokasi anggarannya masih menggunakan pendekatan tradisional, diantaranya yaitu : (1) pola incrementalism, yaitu penentuan alokasi anggaran belanja didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi atau jumlah penduduk. Maksudnya, jika tingkat inflasi atau jumlah penduduk meningkat, maka alokasi anggaran untuk program dan kegiatan pada setiap urusan pemerintahan/SKPD akan meningkat pula alokasi anggarannya; (2) pola line item, yaitu perumusan alokasi anggaran belanja didasarkan atas pos anggaran atau kode rekening yang telah ada atau yang telah tersedia dalam struktur APBD sesuai dengan pedoman penyusunan APBD yang berlaku dan karenanya untuk tahun anggaran berikutnya, hanya ditambambahkan saja alokasi anggaran yang baru dengan besaran yang sama dengan tingkat inflasi atau pertambahan jumlah penduduk maupun pertimbangan lainnya; (3) pola quota, yaitu penentuan alokasi anggaran belanja didasarkan pada nilai atau prosentase
tertentu terhadap total alokasi belanja daerah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Namun demikian, pola quota ini mulai diterapkan atau diterjemahkan secara pragmatis oleh lembaga legislatif dengan argumentasi bahwa hal tersebut telah mengacu pada hak budget dewan, dimana setiap anggota dewan memperoleh jatah alokasi anggaran berdasarkan posisinya sebagai anggota dewan, anggota komisi/alat kelengkapan dewan, pimpinan dewan dan jatah alokasi anggaran berdasarkan daerah pemilihannya (dapil) menurut jumlah dan/atau proporsi tertentu, dengan ketentuan bahwa distribusi dari jatah alokasi anggaran dimaksud sepenuhnya berada dibawah kendali anggota dewan. Ketiga pola alokasi belanja di atas sangat menentukan besaran pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, untuk setiap urusan pemerintahan maupun untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang akan ditetapkan dalam dokumen APBD. Dampak dari pola alokasi anggaran tersebut, yaitu semakin sulitnya untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan atau pun yang telah disepakati dan pada gilirannya akan sulit untuk menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) maupun pemenuhan pelayanan publik yang berkualitas serta perbaikan taraf kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, ketepatan dalam penentuan kebijakan alokasi belanja daerah, terutama untuk belanja publik akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja pelayanan dasar, khususnya pelayanan dalam bidang pendidikan, kesehatan, transportasi/ infrastruktur wilayah dan perbaikan taraf hidup atau kemampuan daya beli masyarakat serta kinerja pelayanan dasar masyarakat lainnya. Untuk itu, pertanyaan utama dalam kajian kali ini adalah bagaimana kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada masa yang akan datang ? menjadi fokus kajian dalam tesis ini.
Jawaban atas pertanyaan ini
1.2.
Perumusan Masalah Anggaran kinerja telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor
dalam pengelolaan APBD Kabupaten Bogor dimulai pada tahun anggaran 2001, tetapi secara efektif dan komprehensif baru dilaksanakan pada tahun anggaran 2003. Dalam anggaran kinerja, pagu anggaran atau plafon anggaran sementara selalu dikaitkan dengan rencana atau target kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang berkenaan. Prinsipnya bahwa semakin tinggi kinerja yang akan dicapai, semakin besar juga pagu anggaran yang akan disediakan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya prinsip dari anggaran kinerja tersebut, tidak selalu diterapkan sebagaimana mestinya. Kebijakan alokasi anggaran yang diterapkan pada setiap unit kerja atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada kenyataannya masih ditentukan menurut kompleksitas masalah yang dihadapi. Prinsip yang berlaku selama ini, yaitu semakin kompleks masalah yang dihadapi atau semakin banyak kuantitas masalah yang diajukan oleh SKPD, semakin besar pula anggaran yang dialokasikan.
Hal itu berarti bahwa
Pemerintah Kabupaten Bogor masih membiayai masukan dan tidak mengaitkan antara target kinerja yang akan dicapai dengan alokasi anggaran/alokasi belanja yang akan diserap. Kebijakan seperti ini kelihatannya secara akal sehat sangat logis dan adil, tetapi yang terjadi adalah setiap SKPD tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya.
Justru yang terjadi, yakni setiap SKPD memiliki
peluang baru, yaitu semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak anggaran yang akan diperoleh. Semestinya, pemerintah daerah yang berorientasi pada hasil/kinerja harus berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif bagi setiap SKPD, yaitu dengan membiayai hasil dan bukan masukan serta mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu SKPD mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, maka semakin banyak pula anggaran yang akan dialokasikan untuk mengkompensasi semua biaya yang telah dikeluarkan oleh SKPD yang bersangkutan. Dengan demikian, pertanyaan utama kajian kali ini adalah bagaimana kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada masa yang akan datang ?
Kebijakan dan prioritas pembangunan daerah, sesungguhnya telah dirumuskan
secara normatif dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Kabupaten Bogor atau Rencana Strategis (Renstra) SKPD, dimana tahapan dan rencana pencapaian kinerjanya dijabarkan lebih lanjut kedalam dokumen kebijakan tahunan daerah yang terdiri atas Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan pada akhirnya bermuara pada dokumen Rancangan APBD (RAPBD) yang akan disetujui secara bersama-sama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan DPRD Kabupaten Bogor pada setiap tahun anggaran.
Pada tahap perumusan kebijakan tahunan daerah, seringkali
terjadi inkonsistensi atau tidak adanya kesinambungan antara rumusan kebijakan dalam dokumen perencanaan yang disebutkan di atas, dengan plafon anggaran yang tertuang dalam dokumen APBD. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya kerangka pengeluaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Fund = MTEF) dalam dokumen RPJMD Pemerintah Kabupaten Bogor atau Renstra SKPD sebagai salah satu pendekatan penganggaran kebijakan, yakni pengambilan keputusan yang didasarkan pada perspektif belanja daerah lebih dari satu tahun anggaran atau selama lima tahun anggaran dengan mempertimbangkan implikasinya terhadap belanja pada tahun berikutnya, yakni dengan cara mencantumkan prakiraan maju rencana alokasi belanja selama lima tahun ke depan dalam dokumen rencana kerja dan anggaran setiap SKPD. Kendala lainnya yang dihadapi, diantaranya yaitu ketika perumusan kebijakan tahunan daerah, selain harus mengacu pada dokumen RPJMD atau Renstra, maka pemerintah daerah harus berpedoman juga pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Pusat, RKPD Propinsi dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE-Mendagri) atau Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD yang diterbitkan oleh pemerintah pusat pada setiap tahun anggaran. Permasalahan alokasi belanja akan semakin dilematis, bilamana proyeksi maupun target-target kinerja dalam dokumen RPJMD atau Renstra yang telah ditetapkan, sangat berbeda dengan kondisi dan permasalahan yang sedang dihadapi ketika penyusunan dokumen kebijakan tahunan daerah. Kebiasaan yang lazim ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu melakukan upaya
sinergi dan sinkronisasi antara arahan dari pemerintah pusat dan propinsi dengan aspirasi yang berkembang dari hasil penjaringan aspirasi masyarakat sejak dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat desa/kelurahan, kecamatan, forum SKPD/Pra-Musrenbang hingga Musrenbang tingkat kabupaten. Pilihan kebijakan dan prioritas pembangunan beserta alokasi belanja daerah yang akan ditetapkan seringkali bias ke atas atau cenderung mengikuti arah kebijakan dari
pemerintah pusat dan propinsi, sehingga beberapa usulan dari hasil
penjaringan aspirasi masyarakat maupun tuntutan pembangunan yang telah dihimpun melaui Musrenbang semakin sulit untuk direalisasikan anggarannya. Oleh karena itu, pertanyaan pertama yang akan diajukan, yaitu bagaimana konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan (dokumen KUA dan PPAS) dengan realisasi alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen penganggaran (dokumen APBD) Kabupaten Bogor ? Implikasi ditetapkannya kebijakan dan prioritas pembangunan daerah dalam dokumen kebijakan tahunan daerah seringkali berpengaruh terhadap penetapan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara yang menunjukkan besarnya alokasi belanja daerah beserta target maupun tolok ukur kinerja yang akan dicapai oleh setiap SKPD untuk satu tahun yang akan datang. Selama ini, prinsip yang dianut oleh setiap SKPD, yaitu target kinerja yang akan dicapai harus mengacu pada pagu anggaran atau alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan bagi SKPD yang bersangkutan. Artinya, semakin rendah pagu anggaran atau alokasi belanja daerah yang ditetapkan bagi SKPD yang bersangkutan, maka semakin rendah pula target kinerja yang direncanakan atau yang akan dicapai pada tahun yang akan datang, meskipun target kinerja tersebut telah menyimpang dari target yang telah ditetapkan sebelumnya dalam dokumen RPJMD atau Renstra SKPD. Kondisi sebaliknya seringkali terjadi, yaitu bilamana tambahan pagu anggaran atau plafon anggaran sementara ditetapkan relatif besar dibandingkan dengan tahun lalu, maka tidak serta-merta target kinerjanya semakin besar sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, prinsip yang dianut adalah “function follow money” dan bukan “money follow function”, yang menunjukkan bahwa target kinerja “dicocok-cocokan” atau “diatur sedemikian rupa”, sehingga
pagu anggaran atau plafon anggaran sementara diperkirakan akan mampu mencapai atau pun melampaui target kinerja yang telah ditetapkan. Dengan kata lain bahwa sistem pagu anggaran atau plafon anggaran sementara, seringkali dijadikan sebagai “tameng” atau “pelindung” untuk menetapkan tinggi atau rendahnya target kinerja yang akan dicapai pada tahun anggaran yang akan datang. Saat ini, tuntutan yang berkembang di masyarakat, yaitu agar alokasi belanja daerah dalam APBD untuk belanja pelayanan dasar harus senantiasa meningkat pada setiap tahun anggaran dan diharapkan dapat mencapai rasio yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi, pada sisi lain tambahan kenaikan dari alokasi belanja daerah untuk kepentingan publik itu tidak sebanding dengan pencapaian kinerja pelayanan dasar yang telah dicapai oleh pemerintah daerah. Hasil evaluasi terhadap beberapa indikator kinerja yang terukur menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang semakin besar antara harapan yang akan diraih untuk pelayanan dasar, seperti bidang pendidikan, kesehatan, transportasi/infrastruktur wilayah, bidang ekonomi dan bidang pelayanan dasar lainnya dengan alokasi belanja daerah yang telah ditetapkan, sehingga secara kumulatif berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pertanyaan kedua yaitu bagaimana pemetaan kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan selama ini di Kabupaten Bogor ? Kinerja pelayanan publik, khususnya yang berkenaan dengan pelayanan dasar,
seperti
pelayanan
dalam
bidang
pendidikan,
kesehatan,
transportasi/infrastruktur wilayah, bidang ekonomi dan pelayanan bidang pelayanan dasar lainnya di Kabupaten Bogor yang secara kumulatif diindikasikan oleh tingkat pencapaian angka IPM selama periode 2001-2006, yang termasuk dalam klasifikasi lamban mengungkapkan bahwa kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan selama ini belum mencapai hasil yang optimal. Pada tataran kebijakan, hal itu disebabkan belum diterapkannya suatu kebijakan alternatif yang memadukan sejumlah kriteria/prioritas pembangunan, topik atau tema-tema tertentu (tematik) yang sejalan dengan rumusan misi yang telah ditetapkan dalam dokumen RPJMD atau Renstra SKPD. Selama ini, prioritas alokasi belanja daerah hanya mengikuti pengelompokkan atau klasifikasi belanja daerah menurut
nomenklatur
yang
(Permendagri),
dan
ditetapkan fungsi
dalam belanja
Peraturan daerah
Menteri
dalam
Dalam
kaitannya
Negeri dengan
pengelompokkan belanja menurut fungsi belanja di tingkat negara. Oleh karena itu, kebijakan alokasi belanja yang diterapkan selama ini, seringkali prioritasnya berubah-ubah, fokusnya beragam dan obyek yang menjadi sasaran pada masingmasing fokus dan prioritas pembangunannya tidak berkesinambungan pada setiap tahun anggaran, sehingga target kinerjanya tidak pernah terlampaui sebagaimana target yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pencapaian kinerja dimaksud, perlu dirumuskan kembali kebijakan alternatif alokasi belanja daerah dalam pengelolaan APBD Kabupaten Bogor untuk tahun anggaran yang akan datang.
Pengembangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah
dimaksud, tidak hanya mempertimbangkan sistem pagu atau plafon anggaran sementara yang berlaku selama ini, melainkan didasarkan pula pada pertimbangan alokasi belanja daerah menurut sistem tematik atau menurut tema-tema yang terdapat dalam rumusan misi yang telah ditetapkan dalam RPJMD, sehingga keterkaitan antara pagu anggaran atau plafon anggaran sementara dengan target kinerja menurut tematik yang telah dipilih, kiranya berpengaruh terhadap pencapaian kinerja pelayanan dasar pada tahun yang akan datang. Pertanyaan ketiga yang akan diajukan, yaitu bagaimana rancangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik yang dapat diterapkan di Pemerintah Kabupaten Bogor ?
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Tujuan umum yang akan dicapai dalam kajian pembangunan daerah ini
adalah untuk merumuskan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan pencapaian kinerja pelayanan dasar di Kabupaten Bogor. Untuk memenuhi tujuan umum itu, maka tujuan spesifik dari kajian ini adalah : 1.
Mengevaluasi konsistensi antara kebijakan alokasi belanja daerah yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan dengan realisasi alokasi
belanja daerah yang telah ditetapkan dalam dokumen penganggaran oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. 2.
Mengidentifikasi dan melakukan pemetaan atas kebijakan alokasi belanja daerah yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
3.
Merancang kebijakan alternatif alokasi belanja daerah menurut pendekatan tematik yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor pada tahun yang akan datang. Hasil kajian ini diharapkan berguna untuk :
1.
Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam penentuan kebijakan dan prioritas alokasi belanja daerah untuk mengoptimalkan pencapaian pelayanan dasar masyarakat di Kabupaten Bogor.
2.
Sebagai bahan masukan untuk pembelajaran (learning process) mengenai penerapan kebijakan alokasi belanja daerah dalam pengelolaan APBD, khususnya di Kabupaten Bogor dan kabupaten/kota lainnya di Indonesia.
3.
Sebagai bahan rujukan dan rekomendasi bagi komponen masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Bogor berkenaan dengan kebijakan alokasi belanja daerah dalam pengelolaan APBD dan peningkatan kinerja pelayanan dasar masyarakat di Kabupaten Bogor.
4.
Sebagai salah satu bahan pembanding dan bahan kajian bagi mahasiswa untuk penelitian selanjutnya mengenai kebijakan alokasi belanja daerah dan optimalisasi pencapaian kinerja pelayanan dasar masyarakat di setiap kabupaten/kota di Indonesia.