BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Selulosa asetat merupakan ester asam organik dari selulosa yang telah lama
dikenal di dunia. Produksi selulosa asetat adalah yang terbesar dari semua turunan selulosa. Selulosa asetat pertama kali dikenalkan oleh Schutzanberger pada 1865. Pada 1879, Franchimont melaporkan penggunaan asam sulfat sebagai katalis untuk asetilasi, dimana katalis ini masih sangat biasa digunakan untuk produksi selulosa asetat secara komersial. Proses pembuatan selulosa asetat selanjutnya disempurnakan oleh Miles (1903) dan Von Bayer (1906). Selanjutnya dibawah pengawasan Camille dan Henri Dreyfus untuk pertama kalinya direalisasikan proses produksi selulosa asetat dengan skala besar di Inggris (Mc Ketta,1997). Selulosa asetat banyak digunakan untuk berbagai macam hal, yaitu sebagai bahan untuk pembutaan benang tenunan dalam industri tekstil, sebagai filter pada rokok, bahan untuk lembaran-lembaran plastik, film, dan juga cat. Oleh karena itu, selulosa asetat merupakan bahan industri yang cukup penting peranannya. (Kirk & Othmer, 1977). Saat ini untuk memenuhi kebutuhan selulosa asetat, Indonesia masih mengandalkan impor dari luar negeri, yaitu dari Jepang, Singapura, Amerika, dan beberapa negara Eropa. Ketergantungan akan impor ini tidaklah menguntungkan bagi Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu penghasil tekstil dan rokok terbesar di dunia. Akan lebih baik bila Indonesia mampu untuk memproduksi selulosa asetat di dalam negeri sehingga biaya produksi akan lebih murah dan tidak terpengaruh perubahan harga di negara lain. Selain itu, dengan didirikannya industri selulosa asetat maka dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan meningkatkan perekonomian warga Indonesia. Jumlah impor selulosa asetat di Indonesia terus meningkat, pada tahun 2007 adalah sebesar 55,161 ton dan meningkat menjadi 247,017 ton pada tahun 2010. Diperkirakana pada tahun 2017 (tahun pabrik didirikan), jumlah impor selulosa asetat meningkat menjadi 567,657 ton.
1
Namun, menurut Mc. Ketta (1997), kapasitas minimum untuk pabrik selulosa asetat yang pernah didirikan adalah 6.000 – 70.000 ton/tahun, sehingga pabrik yang akan didirikan mengikuti kapasitas minimum pabrik yang sudah ada yaitu 6.000 ton/tahun. Menurut Faith (1961), untuk menghasilkan 1 ton selulosa asetat dibutuhkan 1400 lb selulosa, sehingga dengan kapasitas 6000 ton/tahun, selulosa yang dibutuhkan adalah 3810,1762 ton/tahun. Karena kapas mengandung 99% selulosa, maka jumlah kapas yang dibutuhkan sebesar 3848,66 ton/tahun. Jumlah produksi kapas di Indonesia juga terus meningkat, produksi tahun 2008 adalah 3858 ton dan meningkat menjadi 4373 ton pada tahun 2011. Didukung dengan program pemerintah untuk meningkatkan produksi kapas local, maka diperkirakan pada tahun 2017 produksi kapas di Indonesia menjadi 5423 ton. Produksi kapas lokal ini sudah mencukupi untuk kebutuhan bahan baku utama pabrik selulosa asetat yang akan didirikan.
B.
TINJAUAN PUSTAKA Proses pembuatan selulosa asetat hanya terdapat satu macam proses, yaitu
reaksi esterifikasi (Faith, 1961). Selulosa asetat adalah senyawa ester organik turunan selulosa. Selulosa yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi untuk mendapatkan kelarutan polimer yang besar untuk pembuatan serat karena pengotor hemiselulosa mementuk gel yang tidak diinginkan. Selulosa asetat merupakan hasil reaksi esterifikasi dari selulosa dan asetat anhidrid. Ada 3 proses utama yang biasa digunakan untuk mengubah selulosa menjadi selulosa asetat, yaitu: 1.
Solution process (proses larutan) Proses ini merupakan proses paling umum dan biasa digunakan. Pada
proses asetilasi digunakan asetat anhidrid sebagai solven dan berlangsung dengan asam asetat glasial sebagai diluen serta asam sulfat sebagai katalis. 2.
Solvent process (proses dengan pelarut) Methylene chloride digunakan sebagai pengganti asam asetat anhidrid
dan berfungsi sebagai solven bagi selulosa asetat yang terbentuk.
2
3.
Heterogenous process (proses heterogen) Cairan organik inert, seperti benzene atau ligroin digunakan sebagai
non-solven untuk menjaga selulosa terasetilasi yang telah terbentuk dalam larutan.
(Mc Ketta, 1997)
Berikut adalah perbandingan ketiga proses di atas: Daftar I-1. Pertimbangan Proses
Jenis solven
Solution Process
Solvent Process
Asetat anhidrid
Methylene chloride
Heterogeneous Process Benzene atau ligroin
Tidak bisa direcycle
Tidak bisa direcycle
Dapat di-recycle menjadi asam asetat Titik didih solven 139,9oC (283,8oF) Harga solven Murah Recycle solven
Kondisi operasi
Mudah dikontrol
Toksisitas solven
Tidak beracun
Waktu reaksi
5-8 jam
Kebutuhan solven
Sedikit (ada recycle)
39,8oC (104oF) Mahal Sulit dikontrol (titik didih solven rendah) Toksik
35oC (95oF) Mahal Sulit dikontrol (titik didih solven rendah) Toksik Lebih lama dari Kurang lebih sama solution process dengan solution dan solvent process process Banyak
Banyak
Bahan yang digunakan dalam proses juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan proses yang akan digunakan. Data bahan-bahan solven yang dapat dijadikan pertimbangan disajikan pada daftar berikut: Daftar I-2. Sifat Fisik dan Kimia dari Asam Asetat Anhidrid, Methylene Chloride, dan Benzene atau Ligroin
Wujud Kenampakan Bau Kelarutan Specific gravity Titik didih
Asam Asetat Anhidrid Cair Jernih (tidak berwarna)
Methylene Chloride Cair Jernih (tidak berwarna)
Berbau tajam
Seperti kloroform
2,6 g/ 100 g air pada 20 C 1.08 139,9oC
1,32 g/100 g air pada 20oC 1,318 pada 25oC 39,8oC (104oF)
Benzene atau Ligroin Cair Jernih (tidak berwarna) Seperti bensin atau kerosin Tidak larut dalam air 0,60-0,75 35oC (95oF) 3
(283,8oF) -73,1oC (-99,6oF) -97oC (-143oF) 0,5 kPa pada 350 mmHg pada 20oC 20oC (68oF)
Titik lebur Vapor pressure
< -73oC (< -99oF) 40 mmHg pada 20oC (68oF) (Perry, 1990; MSDS)
Berdasarkan perbandingan proses pada Daftar I-1, maka proses yang dipilih untuk memproduksi selulosa asetat adalah solution process, karena secara ekonomi, solvennya lebih murah dan dapat di-recylce sehingga dapat menekan biaya produksi. Dari segi SHE, reaksinya mudah dikontrol dan limbahnya lebih aman bagi lingkungan. Berdasarkan data pada Daftar I-2, maka bahan yang dipilih sebagai solven adalah asam asetat anhidrid, karena bahan tersebut lebih aman dibandingkan bahan-bahan lain. Methylene chloride dan benzene ligroin titik didihnya rendah atau dibawah suhu operasi sehingga perlu perhatian lebih dari sisi safety bila menggunakan methylene chloride dan benzene ligroin. Asam asetat anhidrid juga merupakan produk yang umum digunakan untuk berbagai keperluan. Selain itu, pada proses pemisahan juga lebih mudah dilakukan. Pada proses hidrolisis, asam asetat anhidrid akan bereaksi dengan air menjadi asam asetat yang dapat digunakan lagi untuk proses lainnya sehingga dapat menghemat bahan baku. Methylene
Chloride
penggunaannya
juga
cukup
mulai ditinggalkan
banyak
digunakan,
namun
karena
limbahnya
dapat
sekarang mencemari
lingkungan (Yamakawa et. al.,2003). Pada skala industri, proses yang paling banyak dipakai adalah proses yang pertama (solution process) dimana asam asetat (CH 3 COOH) dipakai sebagai diluen dan asam sulfat sebagai katalis, karena untuk mendapatkan bahan baku yang berupa selulosa, asam asetat anhidrat, dan asam sulfat tidak begitu sulit. Selulosa dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, yaitu kapas (90%), serat linen (70-75%), kayu (40-50%), rumput laut dan alga (25-30%) (Schlager, 2006). Asetat anhidrad tidak diproduksi di Indonesia, sehingga harus diimpor dari luar negeri.
4
Menurut Mc Ketta (1997), proses produksi selulosa asetat secara garis besar adalah sebagai berikut : 1.
Preparasi meliputi pretreatment dan aktivasi Pada tahap ini dipilih bahan yang mengandung α-cellulose tinggi (99%)
seperti selulosa dari kapas. Metoda pretreatment ini bisa bermacam-macam, tetapi yang paling umum adalah menggunakan asam asetat. Pada pretreatment ini, kadar moisture adalah 6% dari berat selulosa. Jika selulosa terlalu kering, maka sejumlah air harus ditambahkan ke asam asetat. 2.
Asetilasi Tahap
kedua
adalah
langkah
asetilasi
yang
bertujuan
untuk
memproduksi selulosa asetat primer (TAC). Metode asetilasi selulosa dalam produksi selulosa asetat menggunakan proses batch yang disertai dengan pendinginan pada reaktor (acetylator). Suhu larutan tidak boleh lebih dari 50oC. Reaksi asetilasi bersifat eksotermis. Untuk mengontrol suhu saat reaksi asetilasi sehingga tidak melampaui suhu maksimum, maka campuran asetat anhidrid dan asam asetat biasanya didinginkan suhunya. Normalnya suhu dijaga sekitar 40–50 oC. Menurut Mc Ketta (1997), pada proses asetilasi campuran asetat grup untuk proses esterifikasi terdiri dari 60% asam asetat dan 40% asetat anhidrid dengan 5-10% diatas kebutuhan stoikiometrisnya untuk bereaksi dengan selulosa hasil pretreatment. Proses pembuatan selulosa asetat dari selulosa dan asam asetat anhidrid berdasarkan pada reaksi asetilasi dengan menggunakan katalis asam sulfat, reaksinya adalah sebagai berikut: (C 6 H 7 O 2 (OH) 3 ) x (s) + 3 (CH 3 CO) 2 O (l)
(C 6 H 7 O 2 (OCOCH 3 ) 3 ) x(s) +3 CH 3 COOH (l)
(3)
selulosa
asetat anhidrid
selulosa asetat
asam asetat
Proses berlangsung pada reaktor tangki berpengaduk (batch) pada suhu rendah, yaitu 40-50 oC, tekanan 1 atm dengan waktu reaksi sekitar 5–8 jam. Suhu operasi tidak boleh lebih dari 50oC. Hal ini untuk mencegah rusaknya rantai selulosa asetat yang telah terbentuk dan mencegah terbentuknya gel,
5
sehingga harus dijaga agar reaksi tetap berlangsung pada kisaran suhu normalnya (Kirk & Othmer, 1977). 3.
Hidrolisis dan Netralisasi Langkah ketiga adalah hidrolisis sisa asetat anhidrid, dan dilanjutkan
dengan proses netralisasi katalis asam sulfat yang masih tersisa dalam campuran selulosa asetat primer dari unit asetilasi. (Kirk & Othmer, 1977) Setelah asetilasi, produk reaktor selanjutnya dihidrolisis dalam hidroliser dengan menambahkan sejumlah air yang dimasukkan dalam bentuk larutan asam asetat dengan konsentrasi rendah. Dalam hidroliser, air ditambahkan untuk menghentikan reaksi asetilasi dan memulai proses hidrolisis. (Kirk & Othmer, 1977). Pada proses hidrolisis, larutan asam asetat encer ditambahkan sebanyak tiga kali jumlah larutan umpan. Hal ini bertujuan untuk mengubah asetat anhidrid sisa menjadi asam asetat glasial. Selain itu juga untuk mendapatkan selulosa asetat dalam bentuk padatan (serpihan) (Yamakawa et. al., 2003). Reaksinya adalah sebagai berikut : (CH 3 CO) 2 O (l) +
asetat anhidrid
H 2 O (l)
2 CH 3 COOH
air
(4)
(l)
asam asetat
Dalam reaksi ini katalis yang digunakan adalah asam sulfat. Asam sulfat pada tahun 1879, diperkenalkan oleh Franchimont sebagai katalis yang bisa digunakan untuk asetilasi selulosa, dan semenjak itu asam sulfat mulai biasa digunakan untuk produksi selulosa asetat secara komersial. Pada kasus asetilasi dengan katalis yang tinggi (pekat), asam sulfat 98% dinetralisir dengan menambahkan magnesium asetat atau natrium asetat untuk
mengurangi
kandungan
asam
sulfat
bebas
dan
mencegah
depolimerisasi yang berlebihan. Dalam hal ini gugus sulfat akan digantikan dengan gugus asetat. Magnesium atau natrium akan mengubah asam sulfat menjadi garam sulfat (Kirk & Othmer, 1977). Pada proses netralisasi dapat digunakan magnesium asetat atau natrium asetat yang akan menetralkan asam sulfat dan membentuk magnesium sulfat atau natrium sulfat. Dari sifat kimianya, kelarutan magnesium sulfat adalah 33,7 g/100 g air dan kelarutan natrium sulfat adalah 19,5 g/100 g air.
6
Kelarutan natrium sulfat yang rendah akan mempermudah proses pemisahannya dari produk, sehingga kemurnian produk utama dan produk samping yang dihasilkan lebih tinggi. Reaksinya adalah: 2CH 3 COONa
(l)
natrium asetat 4.
+ H 2 SO 4 (l)
asam sulfat
Na 2 SO 4 (l)
+
2 CH 3 COOH
natrium sulfat
(l)
(6)
asam asetat
Flake Recovery (precipitation – washing – drying) Tahap ini dilakukan berdasarkan spesifikasi produk yang diinginkan.
Saat tahap flake precipitation, larutan selulosa asetat terhidrolisis dicampur dengan larutan asam asetat. Penambahan asam asetat dilakukan dengan cepat dan diaduk dengan putaran yang cepat. Untuk mendapatkan endapan powder, larutan yang telah diaduk dicampur dengan perlahan hingga terbentuk endapan (Ott, dkk., 1954). Selulosa asetat yang mengendap kemudian dipisahkan dari larutan asam asetat misal dengan memakai centrifuge. Padatan akan dikirim ke washer untuk diambil asam asetat dan garam yang tersisa dari netralisasi asam sulfat. Padatan lalu dikeringkan menggunakan dryer. Padatan selulosa asetat disimpan atau dapat disalurkan dengan berbagai metode transportasi. Dapat pula dibuat dalam paket kecil yang dibungkus dalam multilayer paper bag, untuk menjaga kelembapan produk maka paper bag harus dilengkapi lapisan penahan uap (Mc Ketta, 1997).
7