BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, dan pemenuhan kebutuhan akan pangan merupakan bagian dari hak asasi setiap individu.
Ketahanan pangan,
disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak asasi pangan masyarakat, juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan sebuah bangsa. Mengingat pentingnya masalah pangan, maka setiap negara akan menempatkan pembangunan di bidang ketahanan pangan sebagai pondasi bagi pembangunan di bidang lainnya.
Bangsa
Indonesia meskipun dikenal sebagai negara agraris, namun pada kenyataannya masih menghadapi masalah ketahanan pangan yang sangat serius.
Masalah yang tengah
dihadapi ini, tidak hanya terbatas pada sub-sistem produksi, melainkan juga pada subsistem distribusi dan sub-sistem konsumsi. Dewan Ketahanan Pangan (2006) mengungkapkan bahwa meskipun keragaan ketahanan pangan nasional 2000-2005 menunjukan keadaan yang lebih baik di tingkat nasional, namun di tingkat rumah tangga, kondisi ketahanan pangan sebagian masyarakat masih lemah. Kondisi ini dibuktikan dengan masih banyaknya penduduk rawan pangan dan balita yang menderita kekurangan gizi. Pada tahun 2002 jumlah penduduk yang mengkonsumsi kurang 90 % dari konsumsi yang direkomendasikan (2.000 kkal/kap/hari) berjumlah 52,3 juta jiwa dan 15,4 juta jiwa diantaranya tergolong sangat rawan karena tingkat konsumsinya kurang dari 70 %. Sedangkan jumlah balita menderita kurang gizi pada tahun 2002 berjumlah 5,02 juta jiwa dan meningkat menjadi 5,12 juta jiwa pada tahun 2003.
Jumlah penduduk miskin dan rawan pangan ini diperkirakan akan
meningkat pada tahun-tahun terakhir ini, terutama terkait dengan dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM yang berimplikasi pada peningkatan harga-harga kebutuhan pokok. Masalah ketahanan pangan di Indonesia pada dasarnya terkait erat dengan masalah kemiskinan di pedesaan. Data statistik bulan September 2006 menunjukan bahwa jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret 2006
1
tercatat sebanyak 39,05 juta (17,75 %). Sebagian besar dari penduduk miskin tersebut yaitu sekitar 63,41 % berada di pedesaan dan pada umumnya bergantung atau berbasis pada sektor pertanian (BPS, 2006). Sementara itu, data Sensus Pertanian tahun 2003 juga menunjukan terjadinya peningkatan jumlah rumah tangga pertanian dari sekitar 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun 2003 (meningkat 2,2 % per tahun). Jumlah petani gurem juga meningkat dari 10,8 juta (52,7 %) menjadi 13,7 juta (56,5 %) rumah tangga. Sebagian besar petani gurem tersebut berada di Jawa, dimana selama periode 1993-2003, jumlahnya meningkat dari 70 % menjadi 75 %. Saat ini dari seluruh petani di Jawa, hanya 25 % yang tergolong berkecukupan, sementara sisanya sebanyak 75 % terjerat dalam belenggu kemiskinan (DKP, 2006). Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk miskin itu berada di pedesaan, dan pada umumnya mereka adalah petani gurem (skala kecil) dan buruh tani. Tentunya kondisi ini sangat ironis jika dikaitkan dengan fakta lain yang menunjukan bahwa sebagian besar produksi pangan di Indonesia diadakan oleh para petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 ha dan buruh tani. Di satu sisi para petani gurem dan buruh tani adalah produsen pangan terbesar di negeri ini, namun disisi lain mereka juga adalah kelompok terbesar yang tergolong miskin dan rentan terhadap masalah kerawanan pangan.
Kondisi ini menunjukan kemungkinan telah
terjadinya kesalahan (fallacy) dalam kebijakan pembangunan pertanian yang cenderung mengutamakan aspek produktivitas dan efisiensi, namun belum memberikan perhatian yang cukup bagi upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan para petaninya, bahkan yang terjadi adalah ketidakberdayaan petani. Upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri akan membutuhkan adanya sebuah kelembagaan sebagai pintu masuk.
Melalui wadah
kelembagaan itulah setiap pihak yang berkepentingan (stakeholders) dapat berdialog, belajar dan bekerja bersama untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan sekaligus mencari alternatif jalan keluarnya. Sebenarnya sudah sejak lama masyarakat pedesaan memiliki kelembagaan lokal yang juga berfungsi sebagai pembangkit “energi sosial” untuk menyelesaikan beragam permasalahan hidup mereka secara mandiri. Namun kelembagaan lokal tersebut menjadi melemah, memudar dan bahkan hancur
2
karena digerus oleh pendekatan pembangunan masa lalu yang berciri terpusat, seragam dan mendominasi. Ketika kelembagaan lokal tersebut melemah, maka hal itu akan berdampak pada lemahnya kemampuan dan kemandirian masyarakat pedesaan dalam mengatasi masalah-masalah hidup yang dihadapinya. Jika kapasitas diri dan kapasitas kelembagaan masyarakat pedesaan melemah, maka hal ini juga melemahkan kapasitas lembaga negara secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena ketidakberdayaan kelembagaan lokal sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam implementasi program-program pembangunan, serta semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Pihak pemerintah sebenarnya telah berupaya untuk memecahkan masalah kemiskinan di pedesaan melalui program-program pemberian bantuan dana bergulir seperti program Impres Desa Tertinggal (IDT) dan Kredit Usaha Tani (KUT), atau pun program bantuan lainnya yang sifatnya pemberian cuma-cuma seperti program pemberian beras miskin (Raskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun pada kenyataannya program-program tersebut belum mampu mengentaskan masalah kemiskinan, bahkan program bantuan yang sifatnya dana bergulir pada umumnya mengalami kegagalan. Program-program bantuan dana bergulir yang seharusnya diperuntukan bagi
rumah
tangga miskin, pada kenyataannya lebih banyak dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya yang secara sosial-ekonomi relatif tergolong mampu. Fenomena ini selaras dengan
apa yang dikemukakan oleh Chambers (1987) bahwa jaringan
kekerabatan dan koneksi kelompok lapisan elit pedesaan kerapkali menjadi “jaring penangkap” bantuan-bantuan yang diperuntukan bagi keluarga-keluarga miskin. Dalam kasus kemiskinan di Indonesia, Sajogjo (1988) menggambarkan kondisi ini sebagai kondisi kemiskinan struktural, yang menjadikan sebagian orang miskin menjadi semakin miskin dan sebagian orang kaya menjadi kaya, antara lain dengan cara mengambil porsi nafkah orang miskin. Demikian pula halnya dalam upaya peningkatan ketahanan pangan, pemerintah pada masa Orde Baru melalui Program Revolusi Hijau telah merubah sistem pertanian rakyat secara sentralisasi yakni dengan cara “modernisasi” sub-sistem produksi dan distribusi. Meskipun program ini berhasil meningkatkan produksi pangan (padi), dan
3
lahan-lahan pertanian secara nasional, namun belum mampu mendorong sistem pangan lokal menjadi kuat dan berkelanjutan. Artinya, kebijakan itu bukan ditujukan untuk memperkuat sistem kelembagaan pangan lokal yang telah berkembang sebelumnya, misalnya dengan memperkuat akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria, teknologi lokal, kelembagaan pangan, pengembangan infrastruktur berbasis petani, sistem perdagangan lokal, atau sistem pengelolaan cadangan pangan seperti lumbung. Berbagai sub-sistem dalam sistem ketahanan pangan rakyat, bukannya semakin kuat tetapi justru semakin terpinggirkan oleh kebijakan Orde Baru yang bersifat searah, terpusat dan seragam. Lebih lanjut peranan swasta dalam perekonomian lokal justru menunjukkan fakta semakin merapuhkan kelembagaan ketahanan pangan lokal yang ada. Sejalan dengan pernyataan di atas, Pakpahan, dkk. (2006) juga mengemukakan bahwa pembangunan pertanian di Indonesia cenderung dikembangkan dengan pola seragam di berbagai wilayah secara massal, dengan tujuan terutama dititikberatkan pada upaya untuk mencapai swasembada pangan (produktivitas) dan efisiensi, bukan pada kesejahteraan petani. Pola pembangunan seperti ini kerapkali melupakan satu hal penting yaitu keanekaragaman yang mampu memunculkan keunikan. sendiri merupakan “berkah”
Dimana keunikan itu
karena ia akan memberikan nilai
yang tinggi akibat
kelangkaannya. Maka dari itu, keanekaragaman sumberdaya, sosial dan ekonomi yang dimiliki haruslah menjadi sumber kekuatan baru dalam mengembangkan kerangka pembangunan pertanian yang bermanfaat. Aktivitas pembangunan pertanian itu sendiri tidak akan berhasil dengan baik jika tanpa adanya upaya penataan dan pemberdayaan kelembagaan pertanian. Dengan kata lain, kinerja pertanian apa yang akan dicapai (misalnya tingkat produktivitas, efisiensi dan distribusi) ditentukan oleh karakteristik kelembagaan yang ada. Kelembagaanlah yang mengatur, mengendalikan dan mengontrol interdependensi antar pelaku ekonomi terhadap keseluruhan sumberdaya. Dengan demikian, kelembagaan itulah yang mengatur tentang siapa memperoleh apa dan seberapa banyak (Pakpahan, dkk., 2006). Satu hal lain yang juga sangat penting adalah bahwa negara kita dihadapkan pada masalah kualitas lingkungan hidup dan sosial yang semakin menurun, berbagai bencana alam yang terjadi dewasa ini tidak terlepas dari kesalahan kita sebagai manusia yang
4
kurang arif dan ramah terhadap lingkungan. Karena pada hakikatnya krisis ekologi adalah krisis manusia. Kondisi kerawanan pangan di negara kita juga terkait erat dengan masalah kerusakan lingkungan. Sehingga upaya-upaya pembangunan ketahanan pangan baik di tingkat nasional, daerah, desa dan komunitas, harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Sebagaimana dikemukakan oleh Soemarwoto (1997), “hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal”. 1
Masalah ketahanan
pangan adalah masalah yang berat dan rumit, namun kita harus senantiasa optimis, dengan niat yang tulus dan upaya yang maksimal, maka suatu keniscayaan masalah ini dapat dipecahkan. Terlebih memasuki era reformasi dan otonomi daerah ini, cita-cita untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang mandiri, berkeadilan, mensejahterakan dan berkelanjutan semakin terbuka peluangnya untuk direalisasikan. Mengacu kepada keseluruhan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk mengkaji lebih mendalam mengenai dinamika pemberdayaan kelembagaan pada komunitas petani dengan karakateristik sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologi yang beragam dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan. Terkait dengan kajian ini, penulis akan melakukan studi kasus tentang dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani dalam mewujudkan ketahanan pangan di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penulis memandang bahwa kedua lokasi tersebut sangat relevan untuk dijadikan lokasi studi kasus, terutama karena mengingat kedua desa ini memiliki karakteristik yang berbeda baik itu secara sosial, budaya, ekonomi, ekologi dan politik. Desa Cigadog adalah cerminan masyarakat petani pesisir yang ada di Kabupaten Garut dimana mata pencaharian penduduknya tidak hanya bergantung pada sumberdaya pertanian, melainkan juga pada sumberdaya kelautan. Sedangkan Desa Girijaya lebih mencerminkan masyarakat petani pegunungan yang mengandalkan hidupnya pada sektor pertanian, perkebunan, kerajinan tangan dan perdagangan. Dengan adanya perbedaan karakteristik tersebut,
1 Ungkapan tersebut disampaikan Otto Soemarwoto dalam Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di Universitas Pajajaran, Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972.
5
diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih beragam, spesifik dan unik tentang dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan. Pada akhirnya yang menjadi pokok kajian ini adalah “bagaimana dinamika pemberdayaan kelembagaan pangan komunitas pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dengan berbasiskan pada keragaman aspek sosiologis dan ekologis ?. ” 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan memiliki dimensi yang luas dan beragam. Masalah ketahanan pangan dapat dikaji dari dimensi sosial, ekonomi, budaya, politik dan ekologi. Apabila ketahanan pangan dipandang sebagai sebuah sistem, maka masalah ketahanan pangan dapat dikaji dari subsistem persediaan, sub-sistem distribusi dan sub-sistem konsumsi. Selain itu masalah ketahanan pangan juga dapat ditinjau dari aspek manajemen yakni berkaitan dengan efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta kordinasi dari berbagai kebijakan dan program. Mengingat begitu luasnya dimensi permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, maka penelitian ini difokuskan pada aspek dinamika pemberdayaan kelembagaan pangan di tingkat komunitas dan desa. Kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah memiliki sifat multidimensional, yang ditentukan oleh berbagai faktor ekologis, sosial, ekonomi dan budaya serta melibatkan berbagai sektor dan pelaku yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat (Handewi dan Lusi, 2006).
Pada kasus negara-negara berkembang, penyebab dari timbulnya kerawanan
pangan suatu komunitas adalah karena penduduk dari komunitas tersebut tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber produksi pangan (terutama) tanah, air, input pertanian, modal dan teknologi.2
Kondisi ini pada akhirnya berimplikasi terhadap perlunya
pemahaman yang mendalam tentang, bagaimana peta sosial dan kondisi sumber-
sumber kehidupan komunitas petani pesisir dan pegunungan ?
2
Seeds of Hope : Feeding The World Through Community Based Food System. Salzburg Seminar 398 ©. 2002. W.K. KELLOGG Foundation.
6
Asumsi yang mendasari dari pertanyaan ini adalah bahwa setiap komunitas memiliki kondisi dan karakter sistem sosial dan sistem ekologis yang relatif berbeda dan beragam. Kondisi dan karakter sosial dan ekologi yang ada dalam suatu komunitas dapat diidentifikasi dengan cara memetakan kondisi sumber-sumber kehidupan (livelihood assets) yang ada pada komunitas tersebut. Adanya perbedaan karakteristik sosial dan ekologi yang terdapat pada komunitas petani pesisir dan pegunungan diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi ketahanan pangan dan bentuk serta karakter kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di dalam kedua komunitas tersebut. Kebijakan dan program pembangunan pertanian, khususnya ketahanan pangan jika ditinjau secara konseptual, pada umumnya relatif sudah baik dan memadai. Namun sebagaimana dikemukakan Kolopaking (2006), proses-proses kebijakan tersebut kerapkali berhenti hingga pada tahap perumusan. Sedangkan pada tahap implementasinya, kebijakan dan program tersebut pada umumnya tidak ada yang mengawal dari segi pelaksanaan, terlebih lagi hingga sampai tahap penilaian/evaluasi.
Berdasarkan pada
fenomena tersebut, maka perlu ada upaya untuk mengevaluasi program-program pemberdayaan yang terkait dengan upaya peningkatan ketahanan pangan komunitas pedesaan. Pertanyaannya, bagaimana proses kebijakan dan hasil dari implementasi
program-program pemberdayaan masyarakat yang terkait dengan bidang ketahanan pangan pada komunitas petani pesisir dan pegunungan ? Upaya untuk memahami kondisi ketahanan pangan pada suatu masyarakat, membutuhkan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang kelembagaan kelembagaan yang terkait dengan ketahanan pangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Pada umumnya, permasalahan yang ditemui pada aspek kelembagaan lokal adalah rendahnya kapasitas lembaga tersebut dalam merespon perubahan yang datang dari dalam dan (terutama) dari luar komunitas. Kondisi ini menyebabkan lembaga tersebut tidak mampu untuk berkembang dan bahkan mengalami kehancuran.
Contoh kasus,
hancurnya kelembagaan ketahanan pangan lokal dapat diamati dan tercermin melalui proses hancurnya kelembagaan “lumbung paceklik” dan “beras perelek” yang sejak dulu berkembang di masyarakat pedesaan Jawa Barat.
7
Sedangkan permasalahan yang kerapkali ditemui pada lembaga-lembaga intervensi bentukan
pemerintah
yaitu
pada
umumnya
lembaga
tersebut
tidak
mampu
mengintegrasikan antara kepentingan pemerintah atas desa dengan kepentingan masyarakat desa. Permasalahan tersebut muncul karena dalam proses pembentukannya, kurang melibatkan partisipasi masyarakat desa, terutama lapisan bawah. Seperti halnya proses pembentukan dan operasionalisasi lembaga KUD pada umumnya kurang melibatkan partisipasi dari lapisan masyarakat paling bawah (rumah tangga miskin dan rawan pangan). Pada akhirnya, meskipun di suatu wilayah kecamatan terdapat lembaga KUD, namun para petani lapisan bawah lebih memilih memanfaatkan atau “bekerjasama” dengan para tengkulak. Fenomena ini terjadi karena para tengkulak lebih “membumi”, lebih memahami serta pro-aktif dalam upaya memenuhi kebutuhan para petani kecil dibanding dengan lembaga KUD yang cenderung pasif menunggu. Kondisi yang sama terjadi pula pada lembaga-lembaga ketahanan pangan lain seperti PKK, UPGK dan Posyandu, dimana pada umumnya lembaga-lembaga tersebut hanya aktif jika ada program dan bantuan dari pemerintah atas desa. Sedangkan lembaga-lembaga swasta yang ada di wilayah desa, pada umumnya lebih mengutamakan upaya pemenuhan kepentingan perusahaan tersebut dalam mengejar keuntungan (profit oriented) daripada memperhatikan dan turut membantu memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat miskin yang ada di sekitar lingkup perusahannya. Hasil-hasil riset sebelumnya menunjukan bahwa permasalahan pokok yang dihadapi dalam implementasi kebijakan dan program pertanian di pedesaan pada umumnya dan ketahanan pangan pada khususnya adalah disebabkan karena : (1) lemahnya kapasitas kelembagaan (institution capacity) komunitas petani di pedesaan, (2) rendahnya tingkat partisipasi, dukungan teknis serta lemahnya sinergy dari kelembagaan stakeholders lainnya, seperti lembaga pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi. Akibatnya, program-program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan kerapkali kurang memberikan hasil yang optimum, serta tidak berkelanjutan (Nasdian, 2006 ; Dharmawan, 2006). Oleh karena itu perlu upaya untuk mengkaji, bagaimana
peran dan tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan
8
swasta yang ada dalam mewujudkan ketahanan pangan di kedua komunitas desa tersebut ?
3
Setelah mengidentifikasi program-program pemberdayaan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan di kedua desa tersebut berikut dengan peran kelembagaankelembagaan yang ada dalam mewujudkan ketahanan pangan,
maka pertanyaan
berikutnya adalah bagaimanakah dinamika kelembagaan dan para aktor
(masyarakat, pemerintah, dan swasta) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan di kedua komunitas desa tersebut ? Pada dasarnya proses pemberdayaan kelembagaan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah bukan suatu proses yang berlangsung secara statis, melainkan bersifat kompleks dan dinamis. Permasalahan yang pertama kali muncul dalam implementasi program pemberdayaan di tingkat lokal (komunitas), pada umumnya terjadi dalam proses menentukan “sasaran” atau “penerima manfaat” program pemberdayaan. Banyak kasus menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan pemerintah di tingkat komunitas malah justru menimbulkan kecemburuan sosial diantara sesama warga sebagai akibat dari proses penentuan sasaran program yang kurang melibatkan partisipasi rumah tangga- rumah tangga miskin dan rawan pangan. Disamping itu, implementasi kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat pada tataran praktis cenderung bersifat kaku dan seragam, sehingga kurang memberi ruang yang leluasa bagi adanya penyesuaianpenyesuaian dengan kepentingan/kebutuhan riil komunitas lokal. Sedangkan permasalahan di tingkat supra desa, pihak pemerintah kerapkali dihadapkan pada permasalahan adanya “ego sektoral” atau “ego departemen” yang menghambat terjadinya proses kerjasama antar sektor/departemen/dinas. Sementara itu pihak swasta yang ada di komunitas desa, kerapkali cenderung hanya mementingkan tujuan-tujuan atau kepentingan perusahaan untuk memperoleh keuntungan ekonomis 3
Cakupan kajian ini dititikberatkan pada implementasi program “Desa Mandiri Pangan”. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti melupakan program-program pemberdayaan lainnya yang ada di masyarakat. Kasus implementasi program-program pemberdayaan yang lain (pusat dan daerah) tetap akan dikaji, sejauh hal ini akan memberi manfaat dan sekaligus sebagai bahan perbandingan dengan implementasi program Desa Mandiri Pangan.
9
yang sebesar-besarnya, dan kurang memiliki kepekaan sosial-ekonomi tentang kondisi kemiskinan masyarakat yang ada di sekitarnya. Guna menjawab pertanyaan di atas, maka peneliti menjadikan Program Aksi Desa Mandiri Pangan yang tengah diimplementasikan di dua lokasi studi sebagai “pintu masuk” dan sekaligus “ruang” untuk belajar memahami proses dan dinamika pemberdayaan kelembagaan dan pola relasi stakeholders (masyarakat, pemerintah dan swasta) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan yang ada pada komunitas pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan kedua komunitas tersebut. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : Tujuan Pokok : Mengkaji dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan komunitas petani di pedesaan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, dengan berbasiskan pada keragaman aspek sosiologis dan ekologis. Tujuan Spesifik : 1. Mengidentifikasi peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, phisycal capital, financial capital) komunitas desa. 2. Mengidentifikasi proses kebijakan dan hasil implementasi program pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa. 3. Mengidentifikasi peran dan menganalisis tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan. 4. Menganalisis dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal guna mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa.
10
1.4. Manfaat Penelitian Hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai salah satu sumber pengetahuan, data dan informasi bagi berbagai pihak yang tertarik untuk mengetahui dan mempelajari kasus yang serupa dengan topik penelitian ini. 2. Bahan masukan bagi pihak penentu kebijakan (pemerintah pusat dan daerah), subyek atau pelaksana program (masyarakat, pendamping, penyuluh pertanian dan pemerintah
kabupaten
dan
desa)
terutama
dalam
upaya
memecahkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan di kedua desa tersebut.
11