Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bertambahnya jumlah penduduk dan sempitnya lahan untuk kegiatan pembangunan dan pertanian merupakan salah satu masalah dunia yang dihadapi dewasa ini, baik di perdesaan maupun di perkotaan (Santun, 2006). Gejala ini dapat dilihat dari meningkatnya penduduk dunia yang tinggal di kota dari 1,983 milyar pada tahun 1985, 3 milyar pada tahun 2000 dan akan mencapai 5 milyar pada tahun 2025 (WCED, 1988; SKEPHI), Hal ini juga terjadi di Indonesia, jumlah penduduk perkotaan dalam beberapa dekade mengalami pertambahan yang sangat pesat. Pada tahun 2004 persentase penduduk perkotaan mencapai 48,3 persen. Kondisi ini terus meningkat seperti keadaan tahun 1971 yang hanya sebesar 17,4 persen menjadi sebesar 22,27 persen pada tahun 1980 dan pada tahun 1995 sebesar 35,9 persen. Diperkirakan pada tahun 2025 proporsi penduduk perkotaan akan mencapai 68,3 persen (Indrawati, 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia semakin mengkota dan kota semakin mendunia, diikuti dengan sistem ekonomi yang semakin menuju pada sistem ekonomi perkotaan, dengan jaring-jaring komunikasi, produksi, dan perdagangan yang saling tumpang tindih (WCED, 1988). Pesatnya kegiatan perekonomian pada kota-kota besar tersebut umumnya diikuti dengan fenomena ekslusivisme permukiman kota dan kian meningkatnya kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat kota. Sementara itu, di tingkat internal kota muncul tantangan meningkatnya permintaan terhadap pelayanan publik, seperti transportasi massal, air bersih dan sanitasi, enerji, pekerjaan yang layak, perumahan dan lingkungan yang aman, bersih serta sehat (Indrawati, 2005). Gejala masih lemahnya manajemen perkotaan di kota-kota besar Indonesia termasuk DKI Jakarta
ditandai dengan meningkatnya kemacetan,
polusi, kriminalitas, banjir, dan rendahnya mutu pelayanan publik. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan publik, pemerintah kota harus
2 Bambang Deliyanto
mampu meningkatkan1 kapasitasnya untuk menghasilkan dan mengelola infra struktur, pelayanan, dan permukiman perkotaannya. Salah satu upaya yang pernah dicoba untuk mengatasi besarnya tantangan perkotaan di DKI Jakarta tersebut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Inpres No. 13/1976 tentang Pengembangan Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) untuk meringankan tekanan penduduk DKI Jakarta. Kebijakan ini ternyata sampai dengan tahun 1997 telah mendorong dikeluarkannya 1.592 Ijin Lokasi untuk pembangunan perumahan dan permukiman seluas 121.631 ha oleh Pemda setempat. Dinyatakan Bappeda DKI (1997) dalam Properti Indonesia, Oktober 1997, bahwa pada tahun 1997 Kabupaten dan Kodya Bogor telah bertambah 130 permukiman baru; Kabupaten dan Kodya Bekasi bertambah 107 permukiman baru; dan Kabupaten dan Kodya Tangerang bertambah 152 permukiman baru. Jumlah tersebut baru merupakan realisasi sebagian dari 1.592 Ijin Lokasi, dan baru mencapai 16.609 ha dari 121.631 ha. Kebijakan tersebut, di sisi lain ternyata berdampak negatif pada kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Dari 193 situ yang ada di Jabotabek, 65% menjadi permukiman dalam kurun waktu 20 tahun terakhir; luas area DKI yang terkena banjir dari 21,36% tahun 1992 menjadi 79,71% pada tahun 2002 (Bappeda, 2002); alokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 1965-1985: 37% turun menjadi 25,85% pada RTRW 1985-2005, kini RTH yang dialokasikan RT/RW 2005-2010 tinggal 13,94% (Yoga, 2006), ironisnya kini RTH di DKI Jaya tinggal 9% . Akibat ketidaksiapan Pemerintah Kota dalam mengelola lingkungan menyebabkan kualitas udara Jakarta menduduki peringkat terkotor ke 3 di dunia. Ketidaksiapan ini juga memberikan dampak sosial dalam bentuk kriminal seperti perampokan, penodongan, dan penggunaan narkoba yang menurut data adalah merupakan tiga kejahatan yang paling kerap terjadi (Kusumawijaya, 2006). Ketidak-sanggupan Pemerintah Kota dalam meningkatkan pelayanan infra struktur dan permukiman mengakibatkan menjamurnya permukiman kumuh dan liar2 dengan kepadatan yang terus meningkat, diikuti dengan berjangkitnya
1
2
WCED (1988) menyebutkan diperlukan peningkatan fasilitas pelayanan hingga 65 % dalam kurun waktu 15 tahun hingga tahun 2000-an. Gambaran rendahnya kualitas biofisik permukiman kota dapat dilihat dari adanya rumah liar dan kumuh yang mencapai 500 ribu KK di Jakarta, 40 ribu di Bandung, 90 ribu KK Semarang, dan 125 ribu KK di Surabaya pada tahun 1991 (Manuwoto, 1991).Kini di Jakarta menurun menjadi121.884 KK, Provinsi Jabar 109.716 KK (BPS, 2010)
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
3
penyakit menular yang berkaitan dengan lingkungan yang kurang sehat3. Masalah permukiman kumuh dan permukiman liar tersebut apa bila tidak dibenahi akan terus meningkat. Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992 mengamanatkan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di sektor permukiman dan lingkungan hidup, maupun sektor lainnya seperti sektor pertambangan dan energi, serta transportasi yang telah diratifikasi oleh banyak negara termasuk Indonesia. Beberapa upaya dan kebijakan stratejik dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk mengurangi peningkatan dampak negatif dari kebijakan pembangunan permukiman dan memperbaiki kualitas lingkungan permukiman kumuh dan liar di perkotaan. Lima kebijakan pengelolaan lingkungan untuk memecahkan masalah lingkungan permukiman kumuh dan liar adalah (1) program pemindahan penduduk, (2) bantuan penataan lingkungan permukiman, (3) perbaikan kampung, (4) rehabilitasi kawasan kumuh, (5) peremajaan lingkungan4 permukiman kumuh dan membangun permukiman susun (Komarudin, 1999). Membangun permukiman susun melalui kegiatan peremajaan lingkungan merupakan
upaya
yang
menjadi
prioritas
Pemerintah
Daerah
dalam
merehabilitasi kawasan kumuh di perkotaan. Di sisi lain, peralihan kebiasan atau budaya menghuni
permukiman tidak susun (landed houses) ke permukiman
susun akan memunculkan permasalahan penghunian bagi penghuni terutama dalam
beradaptasi
dengan
lingkungan
permukiman
rumah
susun.
Ketidakmampuan beradaptasi ini dapat menimbulkan tekanan jiwa (stress) dan gangguan kesehatan pada penghuninya (Bell, 1978; Holahan, 1982; Wirawan 1992). Frick (2006) mengatakan, interaksi sosial antar manusia dalam rumah susun seringkali kurang akrab dibandingkan dengan kampung atau desa. Kehidupan sosial di rumah susun yang dikenal sebagai kehidupan masyarakat modern menuntut kesiapan sikap, perilaku, dan pola hidup tertentu. Pada umumnya dijumpai bahwa kondisi penghuni belum dibekali oleh sikap dan kesiapan mental maupun perilaku yang cocok untuk hidup di rumah susun. 3
Di Jakarta 25,82% rumah tidak mempunyai got atau mempunyai got tetapi alirannya lambat dan tergenang, 59,43% rumah tangga merasakan gangguan polusi (BPS, 2004). 4 Prinsip peremajaan lingkungan permukiman kumuh adalah memukimkan kembali penghuni permukiman kumuh (Jakarta 86.147 bangunan) yang diremajakan ke dalam lingkungan permukiman (program 1000 tower) rumah susun yang baru, sehat, bersih, teratur dan tertib. Pembangunan Rumah susun ini dilakukan sebagai salah satu solusi kelangkaan dan mahalnya lahan maupun perkembangan kebutuhan masyarakat akan perumahan, serta kepadatan daerah yang tinggi di daerah perkotaan (60% - 75% luas lahan tertutup bangunan, kepadatan bangunan 80 – 150 unit per Ha) .
4 Bambang Deliyanto
Mayoritas
calon penghuni bertahun-tahun tinggal dan hidup di lingkungan
permukiman kumuh yang serba tidak teratur dan tidak tertib harus menempatkan diri ke dalam pola hidup masyarakat rumah susun (bertingkat) yang serba teratur, tertib, tertata, terbatas teritorinya, dan dikendalikan oleh peraturan dan norma-norma sosial tertentu. Proses pengubahan sistem nilai seperti tersebut memerlukan waktu dan proses belajar yang cukup lama. Masyarakat yang bertahun-tahun terbiasa hidup dengan pola dan gaya hidup mereka sendiri, bertetangga yang sifatnya horizontal, harus menyesuaikan diri pada lingkungan permukiman baru yang sama sekali berbeda. Hidup yang biasa melekat dengan tanah, bercocok tanam, memelihara unggas/ binatang, dibiasakan untuk hidup bertetangga secara vertikal, keluar rumah harus naik-turun tangga, tidak gaduh, tenggang rasa antar tetangga dan antara etnik, toleransi menggunakan dan memelihara ruang dan benda bersama, menjaga kebersihan di ringkungan unit masing-masing, dan mentaati peraturan dan tata tertib yang berlaku. Beberapa perilaku yang sering terjadi di lingkungan permukiman rumah susun misalnya duduk-duduk di tangga, bersuara keras, menyetel radio/tape/televisi keras-keras, anak-anak berlarian di selasar dan berteriak-teriak, membuang sampah tidak pada tempatnya, meletakkan barang bekas di ruang bersama, menjemur pakaian di jendela/balkon, dan kurang peduli terhadap kehidupan tetangga dan kebersihan lingkungan. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan kultural
(cultural gap) antara kehidupan di permukiman tidak susun dengan kehidupan di rumah susun, penghuni menjumpai suatu kondisi yang berbeda sama sekali dengan apa yang dialami sebelumnya di hunian tidak bertingkat atau susun, mereka mengalami kejutan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Kesenjangan kultural ini dimungkinkan karena menurut psikolog John S. Nimpuno bahwa tingkah laku manusia tidak bisa dilepaskan dari ketergantungannya pada tiga sistem, yaitu sistem lingkungan hidup biofisik, sistem sosial dan sistem konsep/orientasi budaya (Darmiwati, 2000). Masalah sosial juga dapat muncul akibat adanya penyeragaman bentuk bangunan yang direncanakan oleh Arsitek (Halim, 2005), seperti penyeragaman bentuk bangunan rumah susun untuk penghuni yang berasal dari berbagai daerah dengan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Variasi unit rumah susun yang sangat beranekaragam (dari tipe 21 sampai 72, dari sederhana sampai mewah) menurut Frick (2006) dan Newman (1972) dapat memunculkan kekumuhan dan kriminalitas yang tinggi, seperti yang terjadi pada permukiman
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
5
rumah susun di Pruitt-Igoe, St Louis, Missori AS, sehingga permukiman rumah susun tersebut dihancurkan pada tahun 1972. Kesenjangan kultural tersebut di atas dapat menimbulkan sikap negatif penghuni terhadap lingkungan permukiman rumah susun, sikap tersebut dapat mendorong pada kondisi permukiman yang tidak berkelanjutan atau fungsi lingkungan permukiman tidak lestari. Fungsi lingkungan permukiman akan terlaksana dengan optimal bila didukung oleh sikap positif penghuni terhadap lingkungan, baik secara kognisi, afeksi, maupun konasi, juga didukung adanya peningkatan motivasi hidup sehat, serta peningkatan status sosial ekonomi yang mencakup pendidikan, pendapatan, kualitas rumah, dan kualitas hidup (Harsiti, 2002, Gamal, 2009). Bila fungsi lingkungan permukiman ini bisa lestari dan berkelanjutan pada ujungnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai penghuninya, seperti yang dinyatakan oleh Kirmanto (2002), bahwa dalam
kerangka
hubungan
ekologis
antara
manusia
dan
lingkungan
permukimannya terlihat bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat masyarakat tinggal. Uraian tersebut di atas menunjukkan adanya transaksi antara individu (manusia) dengan seting fisiknya Gifford (1987), seperti juga yang dikemukakan Kurt Lewin dalam teori medan (field theory) bahwa perilaku karakteristik individu
adalah fungsi
dan lingkungannya. Adanya hubungan timbal balik5 ini,
maka diperlukan kegiatan penelitian yang mengevaluasi apakah performansi seting lingkungan buatan (rumah susun) yang dibangun untuk meremajakan lingkungan
tidak menimbulkan permasalahan baik secara teknis, fungsional
maupun perilaku bagi penghuninya, dan apakah performansi perilaku penghuni sudah berperilaku ekologis? Sehingga diharapkan dapat menjaga kualitas lingkungan secara berkelanjutan selama dihuni.
Frick (2006), menyatakan
bahwa di Indonesia masih sangat miskin akan penelitian tersebut, apalagi suatu penelitian yang menggabungkan kegiatan evaluasi pascahuni dan evaluasi perilaku ekologis ke dalam suatu model eco-spatial behavior (ESB) yang dapat memprediksikan
kualitas
lingkungan
rumah
susun
dimasa
mendatang
berdasarkan berbagai skenario penghunian.
5
Seperti yang diungkapkan oleh Winston Churchill (mantan Perdana Menteri Inggris): ”Kita membentuk bangunan dan kemudian bangunan kitalah yang membentuk kita”, (Halim, 2005)
6 Bambang Deliyanto
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan penelitian evaluasi performansi seting rumah susun dan performansi perilaku ekologis penghuni hasil peremajaan lingkungan, serta penyusunan model pendekatan ESB penghunian rumah susun.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi adanya interaksi antara perilaku penghuni dengan seting spasial huniannya kepada stakeholder yang terkait dengan permukiman, khususnya hunian rumah susun.
1.2. Perumusan Masalah
Membangun rumah susun tidak sekedar membangun bangunan fisik rumah saja, tetapi juga mencakup aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat penghuni. Oleh karena itu rumah susun secara teknis dan fisik harus bisa dihuni (livable), secara sosial budaya harus sesuai kebiasaan budaya penghuni (habitable), dan bisa dihuni secara berkelanjutan (sustainable) baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan atau ekologis (Timmer and Seymoar, 2006; Fann, 2006; Munasinghe, 1993) Rumah susun KBBK ini dibangun dalam rangka peremajaan lingkungan kumuh di pusat kota. Pembangunan rumah susun ini dibangun untuk memenuhi salah satu kebutuhan fungsi kawasan yaitu fungsi hunian. Untuk memenuhi fungsi tersebut dilakukan perancangan seting perilaku (behavior setting) dari aktivitas penghunian rumah susun melalui perancangan seting spasial (disain arsitektural) rumah susun. Behavioral Setting menurut Roger Barker (1968) adalah kombinasi yang stabil antara perilaku dan milleu ruangnya (milleu adalah nilai ruang yang ditentukan oleh kondisi atau fungsi spatial tertentu akibat adanya sistem aktivitas di dalamnya). Penghunian kembali permukiman yang telah menjadi rumah susun ini, ada yang berhasil dan ada yang tidak, yang berhasil menunjukkan adanya toleransi penghuni terhadap behavior setting baru, sebaliknya yang tidak berhasil merupakan bentuk intoleran penghuni terhadap behavior setting baru karena adanya kesenjangan budaya (cultural gap) antara penghunian rumah tidak susun dan penghunian rumah susun. Menurut Bell (1978), diperlukan perilaku penyesuaian (coping) untuk mengatasi kesenjangan ini, bila tidak teratasi dapat memberikan efek lanjutan baik terhadap fisik, psikhis,
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
7
maupun sosial budaya yang akhirnya dapat mempengaruhi kualitas lingkungan huniannya. Dikemukakan Kirmanto (2002), bahwa kualitas sumber daya manusia di masa datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat masyarakat tinggal (rumah susun), karena manusia sangat bergantung pada sistem lingkungan hidup biofisik, dan dua sistem lainnya, yaitu sistem sosial, dan sistem konsep/orientasi budaya (Darmiwati, 2000). Untuk mengetahui kualitas lingkungan permukiman rumah susun perlu dilakukan penilaian (evaluasi) baik evaluasi kehidupan sosial budaya maupun evaluasi seting spasial. Penelitian ini lebih difokuskan pada evaluasi seting spasial, walaupun tetap memperhatikan aspek lainnya. Evaluasi seting spasial merupakan evaluasi pascahuni (POE) untuk mengetahui performansi dari behavior setting rumah susun yang mencakup performansi teknis, performansi fungsi, dan perilaku spasial (Snyder dan Catanese, 1979). Apakah performansi behavior setting tersebut dapat mendukung kualitas lingkungan rumah susun di masa mendatang atau tidak, bila tidak apakah diperlukan model pendekatan penghunian lain (ecospatial behavior) agar aktivitas penghunian pada behavior setting rumah susun dapat berkelanjutan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah performansi penataan (behavior setting) rumah susun di KBBK telah memenuhi aspek teknis, fungsional, dan perilaku? 2. Apakah penghuni rumah susun di KBBK dalam memanfaatkan kemanfaatan lingkungan/ruang sudah berperilaku ESB? 3. Aspek-aspek utama apa saja yang mendahului situasi (anteseden) respons penghuni agar berperilaku ESB dalam penghunian di rumah susun KBBK? 4. Apakah diperlukan penyusunan skenario pendekatan penghunian ESB di rumah susun KBBK?.
Secara skematis perumusan masalah tersebut disajikan pada Gambar 1.1 sebagai berikut :
8 Bambang Deliyanto
Efek terhadap Fisik Psikologis Sosekbud
Permasalahan adaptasi sosekbud
Evaluasi Sosekbud
Peremajaan lingkungan melalui pembangunan rusun yang :
Perancangan behavior Setting
Pemrograman Behavior Setting
Pelaksanaan Pembangunan
Evaluasi Spasial Teknis Fungsional Persepsi Perilaku ESB
Livable Habitable Sustainable
Respons Sosekbud
Penghunian
Permasalahan adaptasi spasial & spatial behavior
Respons Spasial
Penyusunan Model ESB Fokus penelitian
Efek terhadap Fisik Psikologis Sosekbud
Gambar 1.1 Skema Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Mengkaji dan memberikan pemikiran tentang konsep pendekatan ESB dalam penghunian rumah susun, dilanjutkan dengan menyusun alternativ solusi melalui permodelan ESB yang kemudian diterapkan melalui kebijakan penghunian dalam mengelola kualitas lingkungan rumah susun di KBBK secara berkelanjutan.
1.3.2. Tujuan Khusus a. Mengevaluasi
performansi
pascahuni
yang
mencakup
performansi teknis, fungsi hunian dan perilaku penghunian rumah susun di KBBK. b. Mengevaluasi performansi ESB aktivitas penghunian di rumah susun KBBK.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
c. Menemu-kenali
aspek
utama
yang
mendahului
9
situasi
(anteseden utama) respons penghuni agar berperilaku ESB dalam aktivitas penghunian di rumah susun KBBK. d.
Menyusun skenario pendekatan ESB penghunian di rumah susun KBBK.
1.4. Kerangka Pikir
Salah satu masalah yang mendapat perhatian masyarakat dunia dan telah dituangkan ke dalam Agenda 21 di Rio de Janeiro tahun 1992 adalah pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di sektor permukiman dan lingkungan hidup. Peremajaan lingkungan perkotaan melalui pembangunan rumah susun adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di sektor tersebut. Berkaitan dengan hal peremajaan lingkungan permukiman di perkotaan khususnya DKI Jakarta, Pemerintah Pusat melalui Surat Menteri Sekretaris Negara No 12.130/M/SEKNEG/1987 menetapkan peruntukan sebagian tanah komplek Kemayoran6 untuk pembangunan rumah susun, kemudian Menteri Negara Perumahan Rakyat melalui Perum Perumnas membangun rumah susun di kawasan tersebut sebanyak 8.252 berbagai tipe unit satuan rumah susun dan berbagai tipe unit untuk usaha (Perumnas, 1990), yang sejak 1992 sudah dihuni kembali oleh penghuni sekitar peremajaan lingkungan permukiman. Agar penghunian kembali permukiman rumah susun ini dapat mendukung permukiman yang berkelanjutan7 baik berkelanjutan secara ekonomi, sosial maupun ekologis, maka behavior setting8 permukiman rumah susun seyogyanya juga merujuk pada ketiga indikator keberlanjutan tersebut, yaitu behavior setting untuk aktivitas individu & sosial, behavior setting untuk aktivitas ekonomi, dan behavior setting yang berkaitan pengelolaan lingkungan permukiman rumah susun.
6
7
8
Lahan seluas 454 ha ex Bandara Internasional Kemayoran (yang dikelola Setneg) yang kosong sejak Bandara tersebut dipindahkan ke Cengkareng. Lahan tersebut dimanfaatkan sebagai momen untuk menata permukiman kumuh yang dihuni oleh 4.902 Kepala Keluarga (pemilik, penyewa, penggarap) di sekitar wilayah tersebut yaitu di Kelurahan Gunung Sahari Selatan, PademanganTimur, dan Kebon Kosong (Perumnas, 1990. Pembangunan berkelanjutan hendaknya mencakup tiga komponen yaitu keberlanjutan secara ekosistem, ekonomi, dan sosial (Munasinghe, 1992 dalam Bunasor, 2006). Behavioral Setting didefinisikan sebagai pola perilaku kelompok, (bukan perilaku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi setting atau spatial tertentu yang disebut dengan physical milleu atau suatu nilai ruang yang ditentukan oleh sistem aktivitasnya (Roger Barker, 1968). Behavior Setting ini oleh David Haviland (1967) disebut dengan “ruang aktivitas”.
10 Bambang Deliyanto
Penghunian kembali ini mengakibatkan terjadinya interaksi manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini dapat menimbulkan berbagai dampak fisik maupun dampak psikologis, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif merupakan sesuatu yang diharapkan oleh para perancang lingkungan buatan (arsitek) atau perancang behavior setting, namun menurut Holahan (1982)
sebagian
besar
hasil
rancangan
arsitek
ternyata
telah
gagal
mempertemukan kebutuhan perilaku (behavioral need) pemakainya. Penyataan ini ternyata dirasakan pula oleh penghuni rumah susun Kota Baru Bandar Kemayoran (KBBK). Mereka merasakan bahwa Rumah Susun yang dihuni belum sesuai dengan yang diharapkan, karena adanya peralihan kebiasaan dari menghuni permukiman horisontal (landed houses) menuju kebiasaan baru tinggal di permukiman rumah susun. Peralihan kebiasaan ini akan memunculkan permasalahan penghunian bagi penghuni dalam beradaptasi dengan lingkungan permukiman rumah susun. Ketidakmampuan beradaptasi ini dapat menimbulkan tekanan jiwa (stress) dan gangguan kesehatan pada penghuninya (Bell, 1978; Holahan, 1982; Wirawan 1992), yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas permukiman yang dihuni itu sendiri. Oleh karena itu untuk mengetahui kesenjangan antara kebutuhan penghunian penghuni dan hasil rancangan behavior setting tersebut diperlukan suatu evaluasi yaitu evaluasi pascahuni atau Post Occupancy Evaluation9 (POE) untuk mengetahui performansi teknis, fungsi spasial, dan perilaku spasial penghunian. Interaksi antara penghuni dan seting lingkungan buatan untuk aktivitas penghunian (behavior setting penghunian) rumah susun menghasilkan respons spatial behavior10 (perilaku spasial) bagi penghuninya. Baik itu respons yang dapat merangsang penghuni berperilaku ekologis (eco-spatial behavior)11 melalui evaluasi performansi ESB, maupun respons spatial behavior tanpa adanya pengaruh dari perilaku ekologis melalui POE. Edward Chase Tolman (1886-1959), menyatakan bahwa respons penghuni terhadap behavior setting dipengaruhi oleh situasi dan hal-hal yang mendahului situasi tersebut atau antecedent. Oleh karena itu diperlukan suatu pengamatan 9 10
11
POE adalah pengujian efektivitas sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia (Snyder dan Catanese, 1979. Diterjemahkan Sangkayo, 1984) Spatial Behavior adalah cara bagaimana manusia menggunakan suatu setting lingkungan atau kemanfaatan (affordances) lingkungan (Laurens, 2005), atau sebaliknya yaitu spatial behavior merupakan perwujudan setting (tatanan) phisik ruang akibat dari perilaku manusia terhadap ruang dan fluktuasi dari unsur-unsur sistem nonsensate. (Golledge & Stimson, 1997 : 5-7). Eco Spatial Behavior adalah spatial behavior yang memperhatikan prinsip-prinsip ekologis (keseimbangan, keanekaragaman, dan transformasi enerji) yang melestarikan lingkungan.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
11
yang dapat mengetahui anteseden utama apa yang dapat menstimulus penghuni agar berperilaku ESB. Agar
dapat
menjawab
tujuan
penelitian
tersebut
di
atas,
serta
menghasilkan rekomendasi behavior setting yang mampu merangsang respons penghuni agar berperilaku keruangan yang ekologis diperlukan suatu model ESB penghunian rumah susun dengan tujuan bisa mendorong penghunian rumah susun menghasilkan permukiman rumah susun yang berkelanjutan di kawasan peremajaan lingkungan KBBK. Secara skematis kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut ini:
Gambar 1.2 Bagan Kerangka Berfikir
12 Bambang Deliyanto
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoretik a. Sebagai evaluasi ada tidaknya penerapan pendekatan ESB dan faktor lain dalam penghunian rumah susun yang mempengaruhi situasi di lokasi penelitian. b. Memberikan kontribusi terhadap pengetahuan lingkungan dalam hal adanya interaksi timbal balik antara perilaku penghuni dan penataan (setting) lingkungan buatan.
1.5.2. Manfaat Praktis a. Hasil
evaluasi
pascahuni
suatu
peremajaan
lingkungan
permukiman dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan untuk peremajaan lingkungan yang akan datang. b. Memberikan
masukan
pengembang
dalam
kepada
pembuat
perencanaan
kebijakan
permukiman
dan baru
(peremajaan kota) yang berorientasi pada pelestarian fungsi lingkungan
permukiman,
kemampuan
coping
lingkungan
penghunian rumah susun, peningkatan kesejahteraan, dan peningkatan kesadaran institusi sosial. c. memberikan masukan dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan penghunian permukiman baru (permukiman rumah susun). 1.6. Novelty
Novelty penelitian ini adalah menghasilkan model pendekatan ESB pada penghunian rumah susun di KBBK berdasarkan hasil evaluasi pascahuni (Post Occupancy Evaluation) yang lazim dilakukan untuk desain lingkungan buatan dan hasil evaluasi perilaku penghuni dalam menjangkau kemanfaatan setting behavior penghunian rumah susun agar penghuni berperilaku ESB. Model ini berkemampuan untuk: 1. Mengukur performansi ESB, teknis spasial, fungsi spasial, dan perilaku spasial penghuni 2. Memprediksi dan mengukur kualitas lingkungan, sosial, dan ekonomi permukiman rumah susun.