BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki18.110
pulau,dengan luas wilayah teritorialnya 3,1 juta km² dan wilayah perairannya 5,8 juta km². Geografi yang luas ini membuat Indonesia memiliki wilayah yang bersinggungan dengan banyak negara. Indonesia memiliki perbatasan darat dengan Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini sepanjang 3092,8 km. Sedangkan, wilayah lautnya berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Perbatasan laut ini mencakup 92 pulau kecil terdepan, mulai dari Pulau Miangas di utara hingga Pulau Rote di selatan. Dengan jumlah kawasan perbatasan yang banyak, Indonesia berkepentingan untuk menjaga kedaulatan dari ancaman negara lain dan menyejahterakan kehidupan masyarakatnya di perbatasan. Sebagai beranda depan, wajah perbatasan Indonesia seharusnya mencerminkan kondisi yang aman dan sejahtera. Namun, paradigma masa lalu yang memandang kawasan perbatasan sebagai halaman belakang dan daerah terluar membuat pembangunannya menjadi tertinggal karena kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Indonesia sempat mengalami rezim yang sentralis, yang lebih mementingkan pembangunan kawasan pusat. Akibatnya, pembangunan kawasan perbatasan secara umum tertinggal dibandingkan daerah Indonesia lainnya.1 Di antara tiga negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, garis perbatasan dengan Malaysia yang membentang sepanjang 2.004 km memiliki hubungan simbiosis yang kuat dari sektor ekonomi maupun sosial. Terdapat 16 kecamatan di Kalimantan Barat dan 14 kecamatan di Kalimantan Timur, dan dari 30 kecamatan yang berada di kawasan perbatasan darat Indonesia-Malaysia tersebut, Entikong merupakan wilayah perbatasan yang memiliki aktivitas perekonomian tertinggi (Kompas, 2003). Aktivitas perekonomian tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kecamatan ini berbatasan langsung dengan Tebedu yang berada di negara bagian
1
Pansus Perbatasan Negara dan Tim Kerja Perbatasan Negara Komite I. 2011. Perbatasan Negara: Problema dan Solusi. Jakarta: DPD RI.
13
Serawak, Malaysia. Tebedu dikenal sebagai kawasan perdagangan skala menengah karena memiliki pusat perbelanjaan dan pasar sentral. Di masa depan, kawasan ini diproyeksikan oleh Pemerintah Malaysia untuk berkembang ke dalam skala yang lebih besar dengan pembangunan Inland Port maupun pusat-pusat industri. Hal inilah yang membuat masyarakat Indonesia yang tinggal di perbatasan tertarik untuk berdagang ataupun mencari pekerjaan di Malaysia.
Gambar 1. 1. Peta Perbatasan Darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat sumber : http://sttnas.ac.id
Dari lima desa yang masuk administrasi Kecamatan Entikong, empat desa di antaranya berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu Desa Entikong, Pala Pasang, Suruh Tembawang, dan Semanget. Gambar 1.1 memperlihatkan jarak kecamatan Entikong yang lebih dekat ke Serian (semacam ibu kota kabupaten di Serawak, Malaysia) bila dibandingkan jarak ke ibu kota Kabupaten Sanggau. Hal ini menyebabkan warga di kelima desa di Entikong lebih banyak melakukan interaksi dengan pihak Malaysia dibandingkan pihak Indonesia. Selain itu, infrastruktur jalan masih belum baik dan merata menjadi salah satu alasan sulitnya akses menuju kawasan perbatasan dari ibukota kabupaten maupun ibukota provinsi. Kualitas jalan raya Malaysia-Indonesia (Malindo) dari Balai Karangan hingga PPLB Entikong secara umum memang baik, tetapi jalan-jalan lainnya masih belum tertangani. Buruknya kualitas transportasi darat membuat warga lebih memilih transportasi air melalui Sungai Sekayam untuk pergi menuju ibukota kabupaten. Dalam sekali perjalanan pulang-pergi, biaya sewa perahu berkisar antara Rp. 1 juta hingga Rp.
14
1,4 juta. Mahalnya akses menuju ibukota membuat kehidupan warga perbatasan tergantung kepada suplai produk yang datang dari Malaysia yang harganya relatif lebih murah. Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada April 2015 telah menandatangani kerjadama dengan TNI AD untuk memperbaiki Jalan Lintas Malindo yang menghubungkan Pontianak dengan Entikong sepanjang 171 km dengan nilai anggaran 342,68 miliar rupiah. Rencana ini ditargetkan selesai dalam jangka waktu tiga tahun, sehingga pada tahun 2019 diharapkan Entikong mampu tampil sebagai gerbang terdepan Indonesia sesuai dengan rencana KSN (Sayap Republika, 2015). Kedua, hingga akhir tahun 2012, di Entikong Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) resmi di
terdapat satu-satunya Pos
sepanjang perbatasan darat Indonesia-
Malaysia. Peran terbukanya akses formal Entikong–Tebedu sejak tahun 1991, merupakan langkah penting dalam pertumbuhan ekonomi di perbatasan. Diresmikannya Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) dari semula Pos Lintas Batas (PLB), menjadikan Entikong sebagai pintu keluar masuk antarnegara (Indonesia-Malaysia) yang berlaku secara internasional. Kondisi tersebut mengubah peran sebuah kawasan perbatasan Entikong sebagai pintu utama dalam koneksitas dengan negara tetangga yang sebelumnya hanya dilakukan secara tradisional. Dari sisi pergerakan manusia, arus manusia yang melewati PPLB Entkong memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata arus masuk lebih tinggi dari arus keluar. Peningkatan pergerakan disebabkan oleh berubahnya fungsi pos pelintas batas yang tidak hanya dilalui oleh pelintas tradisional tetapi disebabkan pula oleh pelintas non tradisional (Gambar 1.2). Perkembangan kegiatan perdagangan yang diusahakan secara tradisional melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong ternyata memiliki nilai realisasi yang cukup tinggi. Berjalannya kegiatan tersebut menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB) dengan dokumen perijinan khusus (paspor merah) dan waktu terbatas (pergi pagi pulang sore hari). Tercatat nilai realisasi sejak tahun 2001 sampai 2006 telah mencapai US $ 10.456.121,75 (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Barat, 2009).
15
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agu-11 Sep-11 Okt-11 Nov-11 Des-11 Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 Mei-12 Jun-12 Jul-12 Agu-12 Sep-12 Okt-12 Nov-12 Des-12
0
KEBERANGKATAN
KEDATANGAN
Gambar 1. 2. Perkembangan Jumlah Pelintas Melalui PPLB Entikong Tahun 2011-2012 sumber: Sanggau Dalam Angka 2012
Ketiga, kecamatan ini termasuk salah satu dari 26 kawasan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang ditetapkan melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang dan Kawasan Nasional (RTRWN). Arahan kebijakan ini menetapkan 9 kawasan perbatasan negara beserta 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan, yang bertujuan untuk menyediakan pelayanan kegiatan masyarakat di perbatasan termasuk pelayanan kegiatan lintas batas. Hingga tahun 2019, RTRWN telah memprogramkan agar seluruh kawasan perbatasan dapat dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya dalam aspek kesejahteraan, hankam, dan lingkungan, serta mempercepat pengembangan 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional. Dalam Program Pembangunan Kawasan Perbatasan yang ditulis oleh Dr. Suprayoga Hadi dijelaskan bahwa penggunaan istilah PKSN, bukan berarti pengembangan kawasan perbatasan sematamata berorientasi kepada pendekatan hankam semata. Pendekatan kesejahteraan bersama-sama dengan pendekatan hankam dan lingkungan menjadi strategi pengembangan kawasan perbatasan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk menjamin kedaulatan wilayah NKRI. Fakta mengenai PPLB dan status PKSN di Entikong ini kemudian menyiratkan perhatian pemerintah yang besar terhadap kecamatan ini terutama aspek kesejahteraan dan perekonomian. Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP)
telah mengusulkan kepada
Presiden agar menjadikan Kecamatan Entikong sebagai Bandar Entikong Jaya. Bandar Entikong Jaya (BEJ) direncanakan sebagai kawasan terpadu yang terdiri dari tujuh distrik
16
yaitu: pelabuhan darat, industrial, perumahan, pusat niaga, pergudangan, pelestarian alam, dan pariwisata. Luas areal kawasan ini diperkirakan hingga 5.000 hektar. Jika konsep ini disetujui, diperkirakan BEJ dapat menyerap hingga 100.000 pekerja. Pendekatan yang menyentuh sisi kesejahteraan ekonomi ini tentu saja menjadi jalan keluar untuk meningkatkan daya saing Kecamatan Entikong di sektor perdagangan. Dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya sebagai kawasan perbatasan, Entikong memiliki permasalahan serius dari aspek sosial, budaya, dan kesejahteraan warganya. Permasalahan pertama adalah tingkat kesejahteraan masyarakat perbatasan yang terhitung rendah. Meski setiap tahun presentasi penduduk miskin terus turun menjadi 4,40% dan jumlah keluarga menengah ke atas terus meningkat, tak mengubah fakta bahwa 3 dari 5 desa dari Kecamatan ini tersebut termasuk dalam klasifikasi desa tertinggal . Hal ini dapat dilihat dari data statistik yang dirilis oleh BPS pada tahun 2012 sebanyak 1701 kepala keluarga berubah status menjadi keluarga pra sejahtera di Kabupaten Sanggau (Tabel 1.1). Berdasarkan hasil kajian beberapa lembaga, sebagian besar berpendapat faktor utama yang membuat rendahnya tingkat kesejahteraan di kawasan perbatasan disebabkan oleh kekeliruan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap masalah perbatasan, dimana pada masa lalu perancangan kawasan perbatasan hanya didasari oleh pendekatan batas negara dan pertahanan keamanan semata. Tabel 1. 1. Jumlah Keluarga.Menurut Klasifikasi Kesejahteraan Tahun 2012
Keluarga / Family
2008
2009
2010
2011
2012
Pra Sejahtera Pre Welfare Family
4554
3021
2150
1346
3047
Sejahtera I Family of Welfare Stage I 31265
28316
29551
31504
24179
Sejahtera II Family of Welfare Stage 38049 II
44950
46231
44744
45395
Sejahtera III Family of Welfare Stage III
-
-
18680
27137
Sejahtera III Plus Family of Welfare Stage III 7567
-
-
7567
9398
JUMLAH
-
-
103841 109156
-
Sumber : Sanggau Dalam Angka 2012
17
Implikasi dari kurang atraktifnya area perbatasan yang dikelola oleh Pemerintah Indonesia membuat warga negara kita yang tinggal di sana mencari kebutuhan primer hingga tersier ke negeri seberang, mulai dari berdagang atau sekedar rekreasi hingga mencari profesi. Begitupun halnya dengan arus perpindahan barang. Walau Indonesia banyak mengekspor bahan baku ke luar negeri, tetapi di sisi lain lebih banyak lagi barang jadi yang impor masuk ke Indonesia untuk memenuhi hasrat konsumerisme masyarakatnya. Homogenitas budaya yang dimiliki oleh Kalimantan Barat dan Serawak membuat masyarakat di perbatasan sana tidak begitu peduli dengan produk negara mana yang mereka konsumsi ataupun di wilayah negara mana rumah mereka berdiri. Masyarakat akan berkiblat pada pemerintah yang menjanjikan kesejahteraan. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang diayomi dan dipelihara oleh Malaysia, lebih mengenal ringgit dibanding rupiah, hingga berpindah warga negara meski bertanah air di Indonesia. Hal ini dapat dipelajari dengan preseden kasus Camar Bulan, Kalimantan Barat. Dengan segala program yang direncanakan oleh pemerintah, kesejahteraan di Entikong tak akan tercapai tanpa adanya fasilitas perdagangan yang dapat menekan harga komoditas dalam negeri dan mendistribusikannya hingga ke masyarakat di pelosok. Dengan dibukanya Distribution Center di Entikong diharapkan memperpendek rantai pasokan barang lokal hingga daerah perbatasan dan memperlebar hubungan antara Pontianak dan Kuching. Sehingga produk dalam negeri dapat bersaing dalam pasar bilateral. Selain itu, pengelolaan Distribution Center di daerah perbatasan mampu mengubah paradigma logistik dari sekedar aktivitas yang menghabiskan dana besar menjadi salah satu sumber keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif inilah yang akan menjadi aset dalam menunjang berkembangnya Entikong sebagai wilayah perdagangan yang produktif sehingga mampu menyongsong Entikong sebagai Kawasan Strategis Nasional pada tahun 2019 serta mengubah citra kawasan terbelakang menjadi yang terdepan.
18
1.2.
Permasalahan
1.2.1
Permasalahan Non-Arsitektural a.
Bagaimana cara memperpendek rantai distribusi produk industri Indonesia sehingga dapat dikonsumsi oleh warga perbatasan dengan harga murah?
b.
Bagaimana cara menambah lapangan pekerjaan dari sektor non sumber daya alam di dalam negeri?
c.
Bagaimana melepaskan kebergantungan masyarakat di sektor perdagangan kepada Malaysia?
1.2.2
Permasalahan Arsitektural a.
Bagaimana membuat fasilitas perdagangan bilateral yang mengakomodir distribusi barang-barang produksi Indonesia hingga ke luar negeri melalui jalur darat?
b.
Bagaimana fasilitas ini dapat merespon isu perubahan lingkungan terkait semakin luasnya hutan yang dibuka untuk kepentingan pembangunan Kawasan Strategis Nasional 2019?
c.
Bagaimana membangun citra Entikong sebagai teras terdepan NKRI di mata internasional?
d.
Bagaimana menyelesaikan permasalahan fisika bangunan pada bangunan Distribution Center?
1.3.
Tujuan dan Sasaran Penulisan
1.3.1
Tujuan Penulisan Menyusun dan merumuskan konsep perencanaan dan perancangan sebuah
Distribution Center yang mampu memfasilitasi arus perdagangan antar negara, memperpendek rantai distribusi dari produsen di pulau lain, dan merespon isu pelestarian hutan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. 1.3.2
Sasaran Penulisan a.
Menciptakan Distribution Center yang mengedepankan fungsi perdagangan antar negara dan memperpendek rantai dari produsen di pulau lain .
b.
Meningkatkan citra Pemerintah dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
c.
Pemahaman masalah dan potensi tapak di Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat.
19
d. 1.4.
Memberikan respon terhadap isu lingkungan yang berkembang di kawasan.
Lingkup Pembahasan a.
Organisasi ruang luar, yang mencakup proses pemilihan tapak, aksesibilitas, pembagian zonasi, fitur dan sirkulasi ruang luar. Penentuan konsep ruang luar, bentuk gubahan massa bangunan dan desain lansekap.
b.
Organisasi ruang dalam, yang mencakup konfigurasi antar ruang, konsep interior, sirkulasi dan alur cerita museum, suasana, teknik penyajian dan fitur ruang.
1.5.
Metodologi Penulisan a.
Observasi Lapangan Observasi lapangan meliputi studi lokasi perancangan dengan survei
langsung ke lokasi, mencari data-data yang terkait dengan proses perancangan. Lalu mencari segala potensi serta masalah yang ada pada tapak dengan menganalisisnya, sehingga dapat tergambarkan bagaimana kondisi tapak dan eksisting yang akan diolah. b.
Studi Literatur Studi literatur meliputi tinjauan berbagai macam literatur tipologi arsitektur,
teoriteori, dan data-data yang terkait dengan pemilihan judul, untuk nantinya dijadikan sebagai acuan analisis dan penulisan. c.
Analisis Memproses segala Input data yang masuk dengan mengidentifikasinya, baik
data pada observasi lapangan dan studi literatur sebagai materi sintesa penulisan. d.
Sintesa Membuat suatu hasil segala input data penelitian menjadi suatu bentuk
output berupa pendekatan konsep beserta konsep desain perancangan arsitektur sesuai dengan pertimbangan dari observasi hingga studi literatur sebelumnya. 1.6.
Keaslian Penulisan Pada penulisan ini penulis menggunakan berbagai referensi baik secara teoritik
maupun pada studi kasus yang diambil. Beberapa judul penelitian juga dipakai sebagai acuan penulisan ini. referensi yang diambil berupa tipologi gudang dan ruang komersial yang mirip dan cara pendekataan konsep yang sama. Walaupun demikian belum
20
diketemukan judul tipologi yang sama untuk digunakan sebagai acuan. Beberapa judul karya yang menjadi acuan: a.
Kurniadi, Gabriel Roy. 1998. “Pelabuhan Laut Sintete di Kalimantan Barat Sebagai Pintu
Gerbang
Kabupaten
DATI
II
Sambas”.
Mengambil
penerapan
kontekstualismenya dari segi kawasan sebagai pintu masuk negara dan sama-sama memiliki penekanan pada bidang perdagangan. Namun di sini penulis mengangkat tema transportasi darat dan masalah keimigrasian. b.
Nugroho, Wardono Aristo. 1999. “Terminal Terpadu Penumpang Kapal Laut dengan Fasilitas Komersial di Pelabuhan Balikpapan”. Mengambil pendekatan konsep pemanfaatan ruang kosong antara embarkasi dan debarkasi sebagai ruang komersil, namun di sini berkaitan erat dengan alur distribusi barang dari pelabuhan darat.
1.7.
Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah arsitektural yang diambil, tujuan dan sasaran penulisan, lingkup penulisan, metodologi penulisan, sistematika penulisan, kerangka pola pikir, serta keaslian penulisan. BAB II Tinjauan Teoritik Bab ini berisi tentang kajian teoritis tentang tipologi bangunan yang diambil yaitu Warehouse (gudang). Juga membahas seluk beluk syarat pembangunan Warehouse dan studi kasus. BAB III Tinjauan Khusus Dampak dari pembangunan industri dan perdagangan secara langsung akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan di sekitarnya, maka bab ini akan membahas solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh bangunan melalui strategi desain. BAB IV Tinjauan Tapak Bab ini berisi tentang hasil observasi dan survey lokasi perbatasan Entikong, analisis potensi kawasan, identifikasi permasalahan fisik, serta penentuan alternatif Tapak yang akan dikembangkan sebagai ikon dari Kawasan Strategis Nasional.
21
BAB V Analisis Pola Aktivitas dan Ruang Bab ini menjelaskan aktivitas user yang dibagi berdasarkan karakteristik pekerjaan, kemudian bagaimana hubungan antar user bisa menjelaskan hubungan antar ruang dalam suatu bangunan. BAB VI Studi Bentuk dan Tatanan Ruang Untuk mencapai citra yang ingin dipancarkan dari suatu bangunan, diperlukan pemahaman mengenai norma bentuk dan tatanan ruang. Bab ini menjelaskan teori-teori yang berhubungan dengan pengolahan bentuk dan tatanan massa bangunan. BAB VII Konsep Perancangan Bab ini berupa pemaparan tentang konsep perancangan yang diangkat untuk menyelesaikan permasalahan kawasan dan implementasinya.
22
1.8.
Kerangka Pemikiran
23