BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan kemiskinan di Indonesia yang sangat kompleks membutuhkan penanganan yang berkelanjutan. Saat ini jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 29,13 juta orang atau sekitar 11,96% dari total jumlah penduduk Indonesia (BPS, Maret 2012). Meskipun tingkat kemiskinan di Indonesia terus menurun, namun mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, maka jumlah penduduk miskin tersebut masih besar. Tujuan utama penanggulangan kemiskinan di Indonesia adalah pengurangan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan. Berdasarkan RPJMN 2010‐2014, maka tingkat kemiskinan pada tahun 2014 ditargetkan pada 8‐10% dari total jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan MDGs maka pada tahun 2015 ditargetkan tingkat kemiskinan adalah 7,5% atau setengah dari kondisi di tahun 1990. Dalam RPJP 2005‐2025, ditargetkan penduduk miskin di tahun 2025 sebesar 14,5 juta jiwa atau 5,3 % dari total jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 273,7 juta orang. Mengingat target di atas, pemerintah tengah menyusun Master Plan Percepatan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) yang menjabarkan upaya‐upaya aktif dan kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. MP3KI mengembangkan rencana kebijakan makro, regional dan sektoral yang komprehensif untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan yang relatif merata di seluruh daerah. Sebagai kebijakan makro, MP3KI perlu dilengkapi dengan penjabaran terkait isu‐isu sentral upaya penanggulangan kemiskinan. Maka dari itu, disusunlah Peta Jalan Penanggulangan Kemiskinan Yang menjabarkan secara lebih detail beberapa isu sentral yang dibahas dalam MP3KI. Sebagai salah satu prioritas utama pembangunan di Indonesia, penanggulangan kemiskinan merupakan usaha yang terencana dan terarah yang meliputi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui peningkatan kesejahteraan, penguatan kelembagaan serta berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan melembaga. Sejak tahun 2004, upaya tersebut dituangkan dalam strategi dan kebijakan yang bersifat pro-poor, pro growth dan pro job melalui: 1) Peningkatan daya saing ketenagakerjaan; 1
2) Pengurangan kemiskinan; 3) Pemberdayaan koperasi dan UMKM; Peningkatan daya saing ketenagakerjaan dilakukan melalui peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja, perbaikan iklim ketenagakerjaan dan penguatan hubungan industrial dan peningkatan fasilitasi dan perlindungan tenaga kerja dalam rangka mendukung mobilitas tenaga kerja. Pengurangan kemiskinan dilakukan melalui penataan kelembagaan jaminan sosial, pengembangan bantuan sosial dan dukungan dari fokus prioritas lintas bidang kemiskinan. Pemberdayaan koperasi dan UMKM dilakukan seperti peningkatan iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan UMKM, pengembangan produk dan pemasaran bagi koperasi dan UMKM, peningkatan daya saing sumber daya manusia koperasi dan UMKM serta penguatan kelembagaan koperasi. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 15/2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, program‐program penanggulangan kemiskinan dibagi ke dalam tiga kelompok atau tiga klaster. Klaster pertama adalah program bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri dari subsidi beras untuk rakyat miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan (PKH), Beasiswa untuk Siswa Miskin (BSM) dan bantuan sosial lainnya. Klaster 2 adalah program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang yang dikenal sebagai PNPM Mandiri. PNPM Mandiri bertujuan memberdayakan masyarakat, terutama masyarakat miskin, sehingga mereka dapat mengenali potensi dan masalahnya, untuk dapat secara mandiri meningkatkan taraf hidup mereka. Sedangkan klaster 3 adalah kelompok pemberdayaan usaha mikro kecil yang ditujukan bagi individu dan kelompok masyarakat yang telah memiliki usaha namun belum bankable. Melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan melalui perbankan dan bertujuan untuk memberikan modal bagi pengusaha mikro dan kecil. Program penanggulangan kemiskinan dalam tiga klaster tersebut dikordinasikan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden. Dalam pelaksanaannya, sejumlah hambatan dan tantangan masih muncul seperti koordinasi pelaksanaan di setiap klaster, krisis sektor finansial global yang memberikan dampak besar pada pengurangan kemiskinan, serta adanya data yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang hidup di bawah dan dekat garis kemiskinan sangat rentan terkena imbas negatif krisis finansial dan ekonomi, serta beresiko jatuh lebih dalam lagi.
2
Kemudian, untuk mempercepat pengurangan kemiskinan, Pemerintah melalui Keppres No.10/2011 meluncurkan Tim Kordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro Rakyat yang terdiri dari: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Pembangunan Rumah Murah dan Rumah Sangat Murah; Penyediaan Angkutan Umum Murah; Penyediaan Air Bersih untuk Rakyat; Penyediaan Listrik Murah dan Hemat serta Terjangkau; Peningkatan Penghidupan Nelayan; dan Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir Perkotaan.
Melihat masih besarnya jumlah penduduk miskin dan kompleksitas permasalahannya, maka untuk menghadapi berbagai permasalahan sosial dalam periode 2015‐2025 diperlukan pemahaman atas: 1) 2) 3) 4) 5)
Situasi perkembangan lingkungan strategis baik global, regional dan nasional Kondisi dan permasalah sosial yang akan dihadapi; Kemampuan dan realisasi penanggulangan kemiskinan Tantangan ke depan; dan Tindak lanjut yang harus dilakukan
Berdasarkan latar belakang dan pemahaman di atas maka pada tahun 2012 Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Bappenas melakukan kajian Peta Jalan Penanggulangan Kemiskinan 2015‐2025. Kajian ini juga sejalan dan terhubung dengan arahan Presiden terkait penyusunan Masterplan Percepatan dan Perluasan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI)
1.2. Tujuan Kajian Tujuan dari kegiatan Kajian Penyusunan Peta Jalan Penanggulangan Kemiskinan 2015‐2025 adalah: 1. Mengembangkan analisa untk menyusun proyeksi target pengurangan kemiskinan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang hingga akhir RPJP 2025. 2. Memahami situasi perkembangan lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional , tantangan dan permasalahan kemiskinan yang akan dihadapi, serta langkah‐langkah yang akan disiapkan; 3. Menyusun landasan pengembangan strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan untuk kurun waktu 10 tahun mendatang (setelah RPJMN 2010‐ 2014 hingga akhir RPJP tahun 2025),dan
3
4. Menyusun tahap pengembangan kebijakan penanggulangan kemiskinan periode 2015‐2025 sebagai landasan penyusunan RPJMN pada kurun waktu tersebut.
1.3. Landasan Kebijakan Penanggulangan kemiskinan merupakan amanat ideologi dan konstitusi Indonesia. Pancasila, sebagai ideologi bangsa, dengan jelas mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula dalam Pembukaan Undang‐undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa tujuan nasional adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Selain itu, dalam batang tubuh Undang‐Undang Dasar 1945 juga banyak ditemukan pasal yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Pasal‐pasal tersebut antara lain pasal 18B ayat 1, pasal 27 ayat 2, pasal 28A, pasal 28B ayat 2 dan pasal 28, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34. Dengan demikian, dari segi ideologi dan dasar negara serta konstitusi, pemerintah memiliki amanat untuk melaksanakan segenap upaya dalam rangka menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Agenda besar pembangunan Indonesia yang termuat dalam RPJPN 2005‐2025 memiliki visi “Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Agenda tersebut kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010‐2014 dan selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. RPJMN 2010‐2014 juga telah menetapkan sasaran pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, antara lain: 1. Pertumbuhan ekonomi, dengan proyeksi 7,0 – 7,7% pada tahun 2014; 2. Penurunan tingkat pengangguran, dengan target 5 – 6% pada akhir 2014; 3. Penurunan angka kemiskinan, dengan target 8‐10 % di akhir 2014. RPJMN dan RKP ini berkaitan dengan Sepuluh Arahan Presiden yang disampaikan pada rapat kerja dengan menteri, gubernur, serta ahli ekonomi dan teknologi, di Istana Tampak Siring pada 2010. Sepuluh arahan tersebut adalah: 1. Ekonomi harus tumbuh lebih tinggi; 2. Pengangguran harus menurun dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak; 3. Kemiskinan harus makin menurun; 4. Pendapatan per kapita harus meningkat; 4
5. Stabilitas ekonomi terjaga; 6. Pembiayaan (financing) dalam negeri makin kuat dan meningkat; 7. Ketahanan pangan dan air meningkat; 8. Ketahanan energi meningkat; 9. Daya saing ekonomi nasional menguat dan meningkat; 10. Memperkuat “green economy” atau ekonomi ramah lingkungan. Terkait hal tersebut, pemerintah juga telah menetapkan strategi utama pembangunan, yaitu: 1. Pro‐Pertumbuhan (pro-growth), untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui investasi, sehingga diperlukan perbaikan iklim investasi, melalui peningkatan kualitas pengeluaran pemerintah, melalui ekspor, dan peningkatan konsumsi; 2. Pro‐Lapangan Kerja (pro-job), agar pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas‐luasnya dengan menekankan pada investasi padat pekerja; 3. Pro‐Masyarakat Miskin (pro-poor), agar pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar‐besarnya dengan penyempurnaan sistem perlindungan sosial, meningkatkan akses kepada pelayan dasar, dan melakukan pemberdayaan masyarakat; 4. Pro‐Lingkungan (pro-environment), agar proses pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan dan menjaga kualitas lingkungan dalam kerangka perwujudan pembangunan yang berkelanjutan. Keseluruhan strategi pembangunan tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan kerja yang seluas‐luasnya dan mengurangi jumlah penduduk miskin secepat‐cepatnya dengan melibatkan seluruh masyarakat (inclusive growth). Untuk meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010, tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Dalam Perpres tersebut diamanatkan untuk membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat pusat yang keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan di provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
5
1.4. Konsepsi dan Perspektif Mengenai Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks karena berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dari manusia. Dalam hubungan ini, World Bank (2000) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu masalah yang bersifat multidimensi sebagai berikut : “Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom” Walaupun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi‐dimensi lain di luar ekonomi. Namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan‐kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan yang dapat diterima, yang mana kesemuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Asset dalam hal ini mencakup human assets, natural assets, physical assets, financial assets, dan social assets (World Bank, 2000). Ketidakcukupan pendapatan dan harta bahkan telah dilihat sebagai salah satu penyebab utama dari kemiskinan tersebut. Menurut Chambers (1996), kemiskinan terutama di daerah perdesaan (rural poverty) adalah masalah ketidakberdayaan (powerlessness), keterisolasian (isolation), kerentanan (vulnerability) dan kelemahan fisik (physical weakness), dimana satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi. Namun demikian, kemiskinan menurut Chambers merupakan faktor penentu yang memiliki pengaruh paling kuat daripada yang lain‐lainnya (poverty is a strongly determinant of the others). Kemiskinan menyumbang terhadap kelemahan fisik (physical weakness) melalui kekurangan pangan (lack of food), badan yang kurus, gizi yang buruk, yang menyebabkan mudah terkena infeksi (penyakit), dan ketidakmampuan untuk membayar jasa atau layanan kesehatan. Kemiskinan juga menyumbang terhadap keterisolasian (isolation) yang disebabkan ketidakmampuan untuk membayar biaya pendidikan, membeli sebuah radio atau sepeda untuk melakukan perjalanan ke tempat kerja, atau untuk tinggal di dekat pusat desa atau jalan utama. Selain itu, kemiskinan juga menyumbang terhadap kerentanan (vulnerability) melalui ketiadaan asset (lack of assets) untuk membayar pengeluaran yang semakin besar, 6
atau untuk memenuhi keperluan‐keperluan yang bersifat darurat (contigencies); dan kemiskinan juga menyumbang terhadap ketidakberdayaan (powerlessness) yang disebabkan ketidakcukupan kekayaan (lack of wealths) yang terjadi bersama‐ sama dengan rendahnya status, dimana kaum miskin tidak memiliki suara (the poor have no voice). Kelemahan fisik dari sebuah rumah tangga dapat memberikan kontribusi terhadap kemiskinan melalui beberapa cara, salah satu diantaranya adalah melalui produktivitas yang rendah dari tenaga kerja yang lemah. Keterisolasian dalam arti ketiadaan pendidikan, keterpencilan, dan ketiadaan kontak dengan dunia luar, telah ikut melestarikan kemiskinan. Kerentanan merupakan bagian dari banyak kaitan yang ada, yang berhubungan dengan kemiskinan, kelemahan fisik, keterisolasian, dan ketidakberdayaan. Singkatnya, saling keterkaitan di antara berbagai aspek kemiskinan tersebut atau yang oleh Chambers (1996) sebut sebagai klaster ketidakberuntungan ‘the clusters of disadvantage’ telah membentuk suatu lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal (the vicious circle of poverty) atau ‘the deprivation trap’. Secara umum, kemiskinan dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu kemiskinan absolut (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty). Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki seseorang atau suatu keluarga. Artinya, ketika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan miskin. Hal ini berarti diperlukan suatu tingkat pendapatan minimum yang memungkinkan seseorang atau suatu keluarga dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang atau keluarga tersebut dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimumnya. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau biasa disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Untuk mengukur kemiskinan ada beberapa ukuran atau indeks yang sering digunakan para ahli selama ini, diantaranya adalah : Pertama, adalah poverty headcount index (P0) yang merupakan suatu ukuran kasar dari kemiskinan karena hanya menunjuk kepada proporsi dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, ukuran ini hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian, lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya. Artinya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan 7
penduduk yang paling kaya diantara orang‐orang miskin. Apabila hanya ukuran ini digunakan oleh pemerintah sebagai dasar kebijakan, maka akan menghasilkan kebijakan yang bias, karena di mata pemerintah sebagai pengambil kebijakan, semua orang miskin memiliki kesamaan bobot kemiskinan. Selain itu, ukuran ini hanya menghitung jumlah kepala orang miskin (headcount), dan tidak mampu menangkap tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri. Sementara persentase dari penduduk yang miskin tersebut tidak menggambarkan intensitas dari kemiskinan. Kedua, adalah poverty gap index (P1), yang mengukur kedalaman kemiskinan (the depth of poverty) di dalam suatu wilayah, dan indeks ini memperkirakan jarak atau perbedaan rata‐rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Ukuran ini menggambarkan jarak rata‐rata (mean distance) dibawah garis kemiskinan yang dinyatakan sebagai suatu proporsi terhadap garis kemiskinan tersebut. Rata‐rata disini adalah rata‐rata dari penduduk secara keseluruhan, dan penduduk yang tidak miskin (non-poor) dianggap sebagai memiliki poverty gap sama dengan nol (Ravallion and Bidani, 1994). Ukuran ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan, dan dengan menggunakan ukuran atau indeks kedalaman kemiskinan ini, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat memperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Namun demikian, ukuran ini masih memiliki kelemahan karena mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ketiga, adalah squared poverty gap (P2) yang menunjukkan keparahan kemiskinan di dalam suatu wilayah. Secara sederhana, indeks P2 ini, dapat didefinisikan sebagai rata‐rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Tidak seperti poverty gap index (P1) yang hanya memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, ukuran P2 ini telah mempertimbangkan pula keparahan kemiskinan (severity of poverty) di dalam suatu wilayah dan ketimpangan pendapatan diantara penduduk miskin tersebut. Oleh karena itu, indeks ini sering juga dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Suatu ukuran kemiskinan yang baik menurut Kakwani (2000), harus memperhitungkan atau memasukkan tiga indikator kemiskinan sebagai berikut, yaitu : (1) persentase penduduk miskin, (2) jurang kemiskinan agregat, dan (3) distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. IPB (2008), mengatakan bahwa secara ekonomi, parameter untuk mengukur kemiskinan yang sering digunakan adalah angka pendapatan atau pengeluaran per 8
kapita, ataupun angka produk domestik bruto (PDB) per kapita. Ukuran internasional saat ini ditetapkan oleh Bank Dunia dengan angka pendapatan per kapita lebih kecil atau sama dengan US$ 2 per hari. Meski ukuran mereka sangat pasti, tetapi pendekatan‐pendekatan ekonomi tersebut, dipandang oleh banyak pihak tidak cukup realistis untuk mewakili kondisi kemiskinan yang sebenarnya. Angka‐angka tersebut dianggap terlalu mengawang‐awang karena diturunkan dari kondisi makro ekonomi suatu negara. Sebagai koreksi, para ahli pangan pertanian mendekati kemiskinan dengan angka asupan energi atau nutrisi per kapita. Pendekatan sosial‐budaya mengukur kemiskinan dari capaian derajat kesehatan, derajat pendidikan, intensitas beban kerja, akses kepada sumber‐sumber nafkah seperti tanah dan modal. Dari pendekatan sosio‐fisikal, kemiskinan diukur dari kemudahan menjangkau pusat‐pusat pelayanan dan ketersediaan infrastruktur (listrik, air bersih, telpon, televisi, jalan aspal) bagi kehidupan. Dari perspektif sosio‐ politik, kemiskinan diukur dari seberapa besar akses kaum miskin dalam menyuarakan hak‐hak politiknya. Sementara dari sudut pandang sosio‐ekologi, kemiskinan diukur dari seberapa tinggi derajat kenyamanan lingkungan telah dinikmati oleh sebuah lapisan masyarakat dalam kehidupannya. Rustiadi, dkk, (2007) mengatakan bahwa berbagai upaya menetapakan tolok ukur kemiskinan telah banyak dilakukan oleh banyak pakar, bebarapa tolok ukur yang telah banyak dikenal selama ini adalah: 1. Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-Service Ratio/ GSR) Konsep ini bertolak dari fakta yang menunjukan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa. Dengan demikian semakin kecil nilai rasio barang dan jasa yang dikonsumsi, makin tinggi kesejahteraan seseorang. Standar nilai rasio yang digunakan di beberapa tempat sangat bervariasi. Konsep ini memiliki kelemahan selama tidak ada kejelasan perbedaan antara barang dan jasa. Di lain pihak, seringkali kita dihadapkan dengan ketidakjelasan dalam membedakan antara konsumsi dengan biaya. 2. Persentase/rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan. Sebagai kebutuhan pokok yang paling hakiki, konsumsi terhadap makanan akan selalu menjadi prioritas utama dalam pola konsumsi manusia. Konsep ini bertolak dari pemikiran bahwa seseorang akan terlebih dahulu memenuhi kebutuhan konsumsi makanannya sebelum mengkonsumsi komoditi‐komoditi lainnya. Seseorang baru akan mengkonsumsi komoditi lainnya setelah terlebih dahulu memenuhi konsumsi makannya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi komoditi selain makanan. Dengan demikian berdasarkan tolok ukur ini
9
semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. 3. Pendapatan setara harga beras. Profesor Sayogyo dari IPB telah membuat ambang batas kemiskinan berdasarkan harga setara beras. Dengan didasarkan pada kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun, ditentukan ambang kemiskinan di desa dan di kota masing‐masing jika pendapatannya kurang dari 240 kg/kapita/tahun. Dengan adanya perkembangan, aspirasi masyarakat telah meningkat, sehingga ukuran relatif dari ambang kemiskinan tersebut menurut Profesor Teken perlu ditingkatkan menjadi 360 kg/kapita/tahun untuk perkotaan. Konsep ini mempunyai beberapa kelemahan karena ; (1) tidak semua masyarakat dan golongan masyarakat di Indonesia memilih beras sebagai makanan pokoknya, (2) terjadinya deferensiasi harga yang terlalu besar terutama di pedesaan, dan (3) harga komoditi beras yang ada tergantung pada harga komoditi yang disubsidi atau kredit dari pemerintah (pupuk, pestisida dan sebagainya). 4. Pemenuhan kebutuhan pokok. Pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan sembilan bahan pokok ini dikembangkan oleh Direktorat Tata Guna Tanah atas prakarsa Prof. I. Made Sandy, dengan menetapkan kebutuhan baku minimal, kemudian angka kebutuhan baku minimal tersebut dikalikan dengan harga dan ditotalkan sembilan kebutuhan pokok tersebut. Tingkat pengeluaran tiap keluarga dihitung dalam rupiah kemudian baru disusun suatu kriteria perbandingan antara total pendapatan dengan indeks kebutuhan sembilan bahan pokok. Hasil yang diperoleh kurang dari 75% tergolong sangat miskin, 75‐100% hampir sangat miskin, 100‐125% miskin dan >125% tidak miskin. Konsep ini pun mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah: (1) kesulitan dalam menentuan satuan fisik, kebutuhan minimal karena kebutuhan tiap wilayah beragam, dan (2) sebagian dari sembilan bahan pokok tersebut disubsidi pemerintah dan sebagaian lainnya tidak sehingga kurang homogen. Pada prinsipnya keempat kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) semakin besar presentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan barang‐barang dibandingkan terhadap jasa maka seseorang dikategorikan semakin miskin, (2) semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan dari pada non pangan maka seseorang dikategorikan semakin miskin, (3) tingkat pendapatan di bawah batas standar pendapatan tertentu dikatakan miskin, dan (4) semakin
10
rendah kemampuan seseorang untuk memenuhi sembilan bahan pokok maka seseorang dikatagorikan semakin miskin. Sekalipun batasan konseptualnya dipahami secara berbeda‐beda, namun semua orang sepakat bahwa ketika membahas kemiskinan di Indonesia maka pandangan akan tertuju pada sebuah lapisan masyarakat tertentu yang dalam membina kehidupan mereka menghadapi masalah kekurangan sandang, pangan, papan (rumah‐tinggal), pendidikan, pelayanan sarana kehidupan (air bersih, lingkungan, kesehatan dan infrastruktur), dan martabat yang rendah, (IPB, 2008). Selanjutnya Rustiadi, dkk (2007), mengatakan bahwa secara hakiki kemiskinan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini sering meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin, sangat miskin dan seterusnya dalam kehidupan sehari‐hari sehingga seringkali berkonotasi merendahkan. Todaro (2004), mengatakan bahwa kemiskinan dapat terjadi karena perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata. Pada tingkat distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka akan semakin rendah jumlah kemiskinan. Akan tetapi tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan. Pemahaman terhadap hakikat distribusi ukuran pendapatan merupakan landasan dasar bagi setiap analisis masalah kemiskinan di negara‐negara yang berpendapatan rendah. Sementara itu Amartya Sen dalam karyanya yang berjudul Development As Freedom (1999) menyatakan bahwa kemiskinan berkaitan dengan freedom of choice. Menurutnya orang miskin sama sekali tidak memiliki freedom of choice karena terjadi capability deprivation. Capability mengacu pada dua perkara, yaitu ability to do dan ability to be. Orang miskin benar‐benar mengalami ability to do dan ability to be yang rendah karena mereka dalam posisi yang dirampas. Capability deprivation yang dimaksud Sen adalah: 1. Structural deprivation. Perampasan struktural berkaitan dengan: (1) power relations, di mana posisi orang miskin selalu dalam posisi yang lemah; (2) adanya kebijakan pemerintah yang memengaruhi kebijakan dalam penangulangan kemiskinan; (3) dualisme ekonomi yang muncul dalam wajah baru.
11
2. Social capability deprivation: orang miskin tidak dapat meraih kesempatan, informasi, pengetahuan, ketrampilan, dan partisipasi dalam organisasi. 3. Economic capability deprivation: orang miskin tidak dapat mengakses fasilitas keuangan pada lembaga‐lembaga keuangan resmi seperti perbankan, tetapi mereka terjebak pada kaum rentenir yang tidak membutuhkan prosedur yang berbelit‐belit. 4. Technological capability deprivation: dimana orang miskin tidak dapat memiliki teknologi baru yang memerlukan modal yang cukup besar. Teknologi tradisional seperti pembuatan alat‐alat dari bahan lokal (tanah, bambu, kayu, dll) telah digantikan oleh alat‐alat pabrikan. 5. Political capability deprivation: orang miskin tidak mampu memengaruhi keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak didengarkan aspirasinya, dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan collective action. 6. Psychological deprivation: orang miskin selalu memperoleh stigma sebagai orang‐orang yang kolot, bodoh, malas, tidak aspiratif. Stigma inilah yang berakibatmereka menjadi rendah diri dan merasa disepelekan, merasa teralienasi di dalamkehidupan sosial dan politik. Pada tahun 2005, Jeffrey Sachs melalui bukunya yang berjudul The End of Poverty: How We Can Make It Happen in Our Lifetime memperkaya kajian kemiskinan yang sudah ada. Sachs agak berbeda dengan teori‐teori sebelumnya yang melulu bicara soal kelangkaan modal. Dulu memang orang miskin disebabkan oleh tidak adanya modal. Dengan tidak ada modal maka produktivitas rendah, dan lalu menyebabkan tabungan rendah. Namun Sachs mencoba memodifikasi teori kemiskinannya tidak sesederhana itu. Bagi Sachs, untuk mengakhiri kemiskinan, caranya dengan membuat orang termiskin dapat menapaki tangga pembangunan. Dan untuk mendorong agar orang termiskin tersebut dapat menapaki anak tangga pertama, maka diperlukan sejumlah modal, yaitu : (a) modal manusia (human capital) seperti kesehatan, gizi, dan keterampilan yang diperlukan oleh setiap orang untuk produktif secara ekonomi, (b) modal usaha (business capital) seperti mesin, fasilitas, alat transportasi bermotor yang digunakan baik di pertanian, industri maupun jasa, (c) modal infrastruktur (infrastructure capital) seperti jalan, tenaga listrik, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan, dan sistem telekomunikasi, yang menjadi prasyarat penting bagi produktivitas usaha, (d) modal alam (natural capital) seperti suburnya lahan, keanekaragaman hayati, dan ekosistem yang berfungsi dengan baik, (e) modal kelembagaan publik (public institutional capital) seperti hukum ekonomi, sistem peradilan, layanan pemerintah dan kebijakan yang mendukung terciptanya kemakmuran, dan (f) modal pengetahuan seperti pengetahuan dan
12
teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas usaha dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, kemiskinan dilihat sebagai akibat dan produk dari pelanggaran HAM. Kemiskinan dicirikan oleh diskriminasi, ketimpangan dalam akses sumberdaya, stigmatisasi sosial dan kultural, serta sejumlah penolakan terhadap hak asasi dan martabat manusia. Pemberantasan kemiskinan adalah perkara tanggung jawab melaksanakan hak asasi (menghormati, melindungi, memenuhi). Penanggulangan kemiskinan dan hak asasi bukanlah dua proyek yang berbeda tetapi dua pendekatan yang saling tergantung dan menguatkan dari satu proyek yang sama. Pembangunan itu sendiri adalah proses ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang komprehensif, yang ditujukan untuk perbaikan secara terus menerus kesejahteraan/ kualitas hidup segenap populasi dan semua individu atas dasar aktivitas dan partisipasi yang bebas dan bermakna dalam pembangunan dan dalam distribusi hasil pembangunan (Deklarasi Hak atas Pembangunan, 1986). Dalam konteks negara, Indonesia sesungguhnya telah memiliki perangkat hukum dan UU yang cukup memadai di bidang HAM. UUD 1945 hasil amandemen, pada pasal 27‐29 mengatur semua hal yang terkait dengan HAM, mulai dari hak hidup sampai dengan hak‐hak sipil sebagai warga negara. Namun, ini menjadi sebuah tantangan dan tanggung jawab yang berat bagi negara dalam pemenuhan HAM setiap warga negara, khususnya terkait dengan kemiskinan apabila tanpa partisipasi masyarakat. Beberapa hak yang dijamin dalam konstitusi Indonesia adalah sebagai berikut: Pasal 27 Ayat (2): Tiap‐tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 H ayat (1): setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan Pasal 31 ayat (1): Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan Pasal 31 ayat (2): setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 34 ayat (2): negara mengembangkan sistem jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat manusia Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
13
Selain itu, sesuai dengan paradigma penanggulangan kemiskinan yang dianut dalam konstitusi UUD 1945 serta dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, maka pendekatan dalam upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan berbasis pada hak dasar. Hak dasar yang menjadi acuan dalam penanggulangan kemiskinan terdiri dari 10 (sepuluh) hak dasar yang meliputi: (1) hak atas pangan; (2) hak atas layanan kesehatan; (3) hak atas layanan pendidikan; (4) hak atas pekerjaan dan berusaha; (5) hak atas perumahan; (6) hak atas air bersih dan aman serta sanitasi yang baik; (7) hak atas tanah; (8) hak atas sumber daya alam; (9) hak atas rasa aman; serta (10) hak untuk berpartisipasi. Pengelompokan program penanggulangan kemiskinan juga didasarkan pada pemenuhan hak‐hak dasar tersebut. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, baik laki‐laki maupun perempuan, tidak terpenuhi hak‐hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Oleh sebab itu, kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki‐laki maupun perempuan, untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka. Penanggulangan kemiskinan akan berkaitan erat dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan terhadap hak‐hak dasar masyarakat miskin, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang secara normatif merupakan tanggung jawab negara kepada warganya agar tidak jatuh miskin dan masyarakat miskin harus segera dipulihkan hak‐haknya agar dapat mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis hak (right based approach) berimplikasi pada perubahan cara pandang terhadap hubungan negara dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Pendekatan berbasis hak dalam penanggulangan kemiskinan mengatur kewajiban negara, yang berarti bahwa pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak‐hak dasar masyarakat miskin secara bertahap dan progresif. Karena itu, pemerintah harus memperhatikan dan mengedepankan hak‐hak dasar masyarakat miskin, baik dalam perumusan kebijakan publik maupun penyelenggaraan pelayanan publik, melindungi masyarakat miskin dari hal yang mengancam kesejahteraan mereka dengan menggunakan sumber daya dan sumber dana yang tersedia dalam memenuhi hak‐hak dasarnya. Pemerintah dapat memilih 14
berbagai instrumen kebijakan, baik melalui anggaran maupun peraturan perundangan, untuk melaksanakan kewajiban pemenuhan hak‐hak dasar secara progresif, baik kuantitas maupun kualitas. Pemerintah juga dapat menentukan skala prioritas dalam penggunaan sumber daya dan sumber dana secara lebih efisien dan lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Dalam hal penetapan parameter kemiskinan, para akademisi boleh berbeda‐beda pandangan, namun substansi yang hendak dicapai tetaplah sama, yaitu mengukur derajat kesejahteraan warga masyarakat di suatu daerah. Hal itu wajar terjadi, kemiskinan adalah multi-facet phenomenon. Artinya, masalah kemiskinan ternyata memiliki banyak dimensi yang pengukurannya bisa beragam. Dimensi sosial‐budaya, ekonomi, politik, sains dan teknologi, serta dimensi lainnya akan menghasilkan peta kemiskinan dengan variasi beraneka, meski tetap menunjuk pada lapisan yang seringkali sama.
15
BAB II KONDISI KEMISKINAN DI INDONESIA
2.1 Kondisi Umum Kemiskinan Kemiskinan masih merupakan persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Data BPS menyatakan bahwa pada Bulan Maret 2012 total jumlah penduduk miskin mencapai 29,13 juta orang atai 11,96% (Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XV, 2 Juli 2012). Dari jumlah tersebut proporsi penduduk miskin yang tinggal di daerah perkotaan adalah sebesar 399,5 ribu orang dan yang tinggal di perdesaan sebesar 487 ribu orang. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23 persen, menurun menjadi 8,78 persen pada Maret 2012. Begitu juga dengan penduduk miskin di daerah perdesaan, yaitu dari 15,72 persen pada Maret 2011 menjadi 15,12 persen pada Maret 2012. Komposisi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin Menurut Daerah Maret 2011-Maret 2012 Jumlah Penduduk Persentase Daerah/Tahun Miskin (Juta) Penduduk Miskin Perkotaan Maret 2011 Maret 2012
11,05 10,65
9,23 8,78
Perdesaan Maret 2011 Maret 2012
18,97 18,48
15,72 15,12
Kota+Desa Maret 2011 Maret 2012
30,02 29,13
12,49 11,96
Sumber : Data Susenas Maret 2011 dan Maret 2012
Walaupun tingkat kemiskinan cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun jumlah absolutnya masih bisa dikatakan sangat besar. Jumlah penduduk miskin pada Bulan Maret 2012 sebesar 29,13 juta tersebut masih lebih banyak dibandingkan jumlah total penduduk Malaysia (28,2 juta orang). Selain itu jika melihat persebaran jumlah dan persentase penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan menurut pulau akan nampak bahwa ada perbedaan distribusi total 16
jumlah angka atau persentase penduduk miskin yang terkait dengan kesenjangan antar wilayah. Persentase penduduk miskin terbesar berada di dua pulau yakni Maluku dan Papua sebesar 24,77%, dan persentase penduduk miskin terkecil berada di pulau Kalimantan, yakni sebesar 6,69%. Dan dilihat dari jumlah penduduk, sebagian besar penduduk miskin berada di Pulau Jawa yakni sebesar 16,11 juta orang; sementara jumlah penduduk miskin terkecil berada di Pulau Kalimantan yakni 950.000 orang. Masih besarnya angka‐angka kemiskinan tersebut merupakan tantangan dan pekerjaan rumah yang sangat besar bagi semua pihak. Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Di Perkotaan dan Perdesaan Menurut Wilayah Tahun 2011 Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa) Kota Desa Kota+Desa
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+Desa
Sumatera
2,045.34
4,273.53
6,318.87
10.1
13.55
12.21
Jawa‐Bali
7,628.58
9,298.95
16,927.54
9.13
15.79
11.88
Nusa Tenggara
544.46
1,338.23
1,882.69
19.11
20.51
20.09
Kalimantan
266.04
705.86
971.88
4.45
8.65
6.88
Sulawesi
354.15
1,798.01
2,152.16
5.96
15.32
12.17
Maluku
65.04
398.45
463.48
7.4
22.38
17.44
Papua
50.97
1,122.54
1,173.51
4.97
40.09
30.68
10,954.58
18,935.57
29,890.13
9.09
15.59
12.36
Wilayah
NASIONAL
Sumber : Badan Pusat Statistik, September 2011
Angka ini menunjukan penurunan, meskipun lambat, jika dibandingkan pada 5 tahun sebelumnya yaitu 37,17 juta jiwa (2007). Mengenai gambaran mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia berdasarkan waktu dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Gambar 1. Jumlah dan Prosentase Penduduk Miskin 2005 – 2011
17
Gambar 2. Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan dan Perdesaan Tahun 2005 – 2011
Hal yang juga patut diwaspadai selain mengenai penduduk yang berada di bawah garis kemiskin tersebut juga adalah penduduk hampir miskin di Indonesia yang jumlahnya mencapai 27,14 juta jiwa atau 11,29% dari jumlah penduduk Indonesia. Karena meskipun kondisi mereka tidak berada dibawah garis kemiskinan, tetapi sesungguhnya posisinya sangat rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Permasalahan lain terkait dengan kemiskinan adalah tentang distribusi pendapatan yang menunjukkan kecenderungan makin senjang. Indeks Gini mengalami peningkatan dari 0,308 (tahun 1999) menjadi 0,329 (2002) dan menjadi 0,33 (2010). Bahkan menurut data terakhir dari BPS 0,42 di tahun 2012. Indeks Gini tersebut dihitung dengan pendekatan pengeluaran; bila dihitung dengan pendekatan kepemilikan aset, tentu lebih besar. Dan hal ini menandakan adanya kesenjangan yang lebih lebar.
2.2 Kondisi Kemiskinan Petani Jika ditelaah lebih jauh, kemiskinan di Indonesia pada dasarnya merupakan fenomena perdesaan, lebih khusus lagi pertanian. Hal ini ditunjukan dengan Jumlah penduduk miskin di perdesaan yang mencapai 15.72% ( dari jumlah penduduk Indonesia). Dan mudah untuk diduga, sebagain besar mereka bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani gurem maupun buruh tani. BPS mencatat, pada Maret 2011, sebanyak 57,78 persen penduduk miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian.
18
Bukti lainnya ditunjukkan dengan lebarnya kesenjangan pendapatan yang terjadi antara petani dan non‐petani. Dengan tenaga kerja sebanyak 42,47 persen dari total tenaga kerja, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian ‐ yang merupakan proksi dari pendapatan petani ‐ hanya 14,72 persen dari PDB total. Pada tahun yang sama (2011), sektor industri pengolahan dengan tenaga kerja 13,71 persen dari total tenaga kerja memiliki PDB sejumlah 24,28 persen dari PDB total. Pada sektor tersebut percepatan kemiskinan mencapai 56,07 persen, jauh melebihi yang terjadi di sektor industri yakni 6,77 persen. Tingkat kesejahteraan petani gurem (tidak punya lahan) dan petani dengan pemilikan lahan < 0,3 hektar cenderung stagnan. Pendapatan mereka rata‐rata masih sangat rendah dan juga cenderung stagnan. Tingkat pendapat di pedesaan hanya berkisar antara 0,3 – 0,8 dari tingkat pendapatan di perkotaan. Upah buruh petani nyaris tidak bergerak dari 37 ribu rupiah per hari menjadi 39 ribu per hari untuk saat ini. Data BPS menunjukkan, jumlah petani gurem di Indonesia terus meningkat, dari 10,80 juta orang pada tahun 1993 menjadi 13,66 juta orang pada tahun 2003 dan 15,60 juta orang pada tahun 2008. Bahkan Indonesia merupakan negara agraris dengan penguasaan lahan tersempit di dunia, dengan land-man ratio sebesar 362 m2/kapita pada tahun 2003 dan 354 m/kapita pada tahun 2008 (Adnyana 2005; SPI 2010). Jumlah petani gurem yang makin banyak mencerminkan makin banyaknya petani yang terperangkap dalam kemiskinan. Selain petani gurem, kelompok miskin pedesaan adalah buruh tani. Sampai dengan tahun 2010, terdapat 13,4 juta rumah tangga petani (36% dari total rumah tangga petani) yang berada pada status buruh tani karena tidak memiliki tanah. Serapan tenaga kerja di sektor pertanian memang tetap tinggi. Namun bila sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem, maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993‐2003 jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta orang telah bertambah menjadi 13,7 juta orang pada tahun 2003, dengan 82,7% di antaranya termasuk kategori miskin.
2.3 Kondisi Kemiskinan Nelayan Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang pantai 104.000 km dan memiliki 17.504 buah pulau serta dua pertiga dari luas wilayahnya berupa laut (Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011), Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar. Potensi ikan lestarinya paling tidak sekitar 6,17 juta ton per tahun, terdiri atas 4,07 juta ton di perairan nusantara yang hanya 38 persennya 19
dimanfaatkan dan 2,1 juta ton per tahun berada di perairan Zona Ekonomi Eklusif (ZEE). Potensi ini pemanfaatannya juga baru 20 persen (Dahuri, 2002). Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja. Pada saat krisis ekonomi, peranan sektor perikanan sangat signifikan, terutama dalam hal mendatangkan devisa. Akan tetapi ironisnya, sektor perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan kalangan pengusaha, padahal bila sektor perikanan dikelola secara serius akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan ekonomi nasional dan dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat nelayan dan petani ikan (Subri, 2007). Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap rumah tangga nelayan memiliki 4 jiwa, maka sekurang‐kurangnya terdapat 8 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya sehari‐hari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan. Sebagian di antaranya bekerja dalam bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut, penambangan lepas pantai dan usaha‐usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir. Kondisi ini menjadikan nelayan sebagai salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan paling rendah (the poorest of the poor). Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti Indonesia bahwa di tengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Kondisi ini cukup ironi jika dibandingkan dengan keterangan yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Dalam pernyataannya kepada berbagai media nasional, jika digali secara optimal potensi ekonomi kelautan Indonesia bisa mencapai 1,2 triliun dolar AS atau sekitar Rp 11.400 triliun per tahun. Berdasarkan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) potensi perikanan mencapai 31,935 miliar USD per tahun. Sedangkan potensi bio‐ teknologi mencapai 40 miliar USD per tahun. Sementara Asian Development Bank 20
(ADB) menyatakan bahwa potensi ekonomi di wilayah pesisir Indonesia mencapai 56 miliar USD per tahun. Selain itu, Potensi wisata bahari menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 2 miliar USD per tahun. Potensi minyak bumi, berdasarkan perkiraan Ikatan Ahli Geologi Indoensia (IAGI), mencapai 6,6 miliar dolar AS per tahun. Sedangkan, potensi transportasi laut berdasarkan perhitungan Bappenas mencapai 20 miliar USD per tahun. Seperti diketahui, 80 persen industri dan 65 persen kota/ kabupaten berada di wilayah pesisir (Kemendagri 2010). Produksi perikanan laut sekitar 6,4 juta ton per tahun, perairan umum sekitar 4,94 ton per tahun, lahan budidaya tambak 1,2 juta hektare, budidaya Laut sebanyak 8,4 juta hektare, dan budidaya Air Tawar 2,2 juta hektare. Sedangkan cadangan Minyak Bumi sekitar 9,1 persen miliar Barel di Laut dan dari 60 Cekungan Migas Indonesia, 70 persen berada di Laut. Kondisi tersebut di atas semestinya bisa berkontribusi positif terhadap kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir yang dekat dan berinteraksi langsung dengan kebaharian. Tetapi yang terjadi hari ini adalah kondisi yang sebaliknya. Nelayan dan masyarakat pesisir secara umum begitu identik dengan kemiskinan; masyarakat terpinggirkan yan terus bergulat dengan berbagai persoalan ekonomi, sosial, dan budaya (Winengan, 2007). Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatan. Kehidupan nelayan sampai saat ini belum dapat dikatakan layak bahkan jauh dari kata sejahtera. Jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Jumlah 7,87 juta orang tersebut berasal dari sekitar 10.600 desa nelayan miskin yang terdapat di kawasan pesisir di berbagai daerah di tanah air. Berbagai hasil kajian penelitian, selama ini, tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan telah mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau nelayan‐nelayan kecil, hidup dalam kubangan kemiskinan. Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari‐hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2006) 21
Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah‐rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah‐rumah yang menunjukkan tanda‐tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah‐rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi. Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara turun‐temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003). Rumah tangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian. Rumah tangga nelayan memiliki ciri‐ ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan ( common property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh laki‐laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh. Menurut Hermanto (1995), kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan keluarga rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap permodalan yang rendah. Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial‐ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta‐ fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung‐kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah‐rumah 22
yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah‐ rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak‐anak mereka, pola konsumsi sehari‐hari dan tingkat pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak‐anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan hidup. Untuk mengatasi subsistensinya, keluarga nelayan ternyata memiliki kemampuan dan strategi bertahan yang luar biasa. Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor nonproduksi. Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan (berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab kemiskinan berupa kekurangan modal produksi.
23
Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinan dapat dilakukan melalui: 1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan‐kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. 2. Diversifikasi Pekerjaan. Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi pekerjaan. 3. Jaringan Sosial. Melalui jaringan sosial, individu‐individu rumahtangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial‐ budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan‐tekanan atau kesulitan‐kesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka. 4. Migrasi. Migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga terjamin. Dalam waktu‐waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu dititipkan kepada teman‐ temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, mereka pun akan kembali ke kampung halaman dan mencari ikan di daerah asalnya. Terlepas dari kemampuan bertahan keluarga nelayan tersebut, pemerintah tidak bisa membiarkan kondisi seperti itu terus berlangsung, Apabila fenomena kemiskinan nelayan tersebut tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan risiko : 1. Akan terjadi kerawanan sosial yang diwarnai dengan anarkis, yang didorong oleh kecemburuan sosial antara nelayan besar dan nelayan kecil. 2. Penjarahan aset‐aset yang dikuasai oleh para pemodal, dalam bentuk transportasi, perhotelan dan perkebunan. 24
3. Terjadi migrasi besar‐besar ke kota‐kota besar, atau ke luar negeri agar dapat bertahan hidup. 4. Terjadi disorganisasi keluarga, sebagai dampak dari migrasi yang akan menambah jumlah permasalahan kesejahteraan sosial, khususnya anak‐anak terlantar, ketunaan sosial dan wanita rawan sosial ekonomi.
2.4 Kondisi Kemiskinan Perkotaan Jika berbicara mengenai kemiskinan di perkotaan maka sebenarnya pembagian dikotomi desa‐kota dalam konteks pengurangan kemiskinan belum dapat dikatakan tepat karena pada dasarnya desa‐kota terkait dalam suatu hubungan khas yang resiprokal. Beragam produk industri yang dihasilkan di kota banyak ditemukan di perdesaan. Pada umumnya masyarakat desa lemah dalam kapasitas daya belinya tetapi dorongan untuk mengkonsumsi beragam produk dan jasa‐jasa pelayanan publik kota yang tidak terdapat di desa menguat. Dorongan tersebut diisi oleh aktivitas migrasi ke kota yang antara lain untuk mendapatkan barang dan jasa konsumsi dengan mengisi tiap celah pekerjaan yang mungkin. Artinya, desa kemudian berinteraksi dengan kota melalui kaum migran kota. Beberapa ciri pembeda wilayah desa kota memang secara faktual dapat dilihat secara kasat mata dengan merujuk pada hasil‐hasil bias pembangunan fisik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Berpijak pada ciri desa‐kota tersebut kota memberikan kesan kemajuan (progress) dari pada desa. Akan tetapi, di sisi lain, kehidupan kota yang menunjukkan kemajuan terdapat keterbelakangan yang tercermin dari potret ketidakberdayaan, kantung‐kantung pengangguran, kemiskinan yang terkonsentrasi pada permukiman kumuh. Kehadiran rumah kardus, infrastruktur yang tidak memadai, dan jarak antar tempat tinggal yang rapat hanyalah satu dari sekian ciri untuk menggambarkan potret kemiskinan di perkotaan. Jadi, kawasan kumuh merupakan suatu wilayah yang memiliki kondisi lingkungan yang buruk, kotor, penduduk yang padat serta keterbatasan ruang (untuk ventilasi cahaya, udara, sanitasi, dan lapangan terbuka). Kondisi yang ada seringkali menimbulkan dampak yang membahayakan kehidupan manusia (misalnya kebakaran dan kriminalitas). Gambaran ciri lain yang lebih menyedihkan dari kaum miskin kota seringkali terlihat dari fakta bahwa kaum miskin kota umumnya terlibat dalam konflik‐konflik rasial, konflik pertanahan, perebutan pada akses layanan publik, kriminalitas, kurangnya sanitasi lingkungan, dan sebagainya. Permukiman kumuh terdiri atas dua klasifikasi, yakni permukiman kumuh‐ legal/slums dan permukiman kumuh‐ilegal/squatters (Housing the Poor in Asian Cities, Quick Guide 1, UN HABITAT, 2008 : 15). Biasanya istilah permukiman kumuh‐ 25
legal (slums) digunakan untuk menunjukkan area dengan kualitas perumahan yang buruk, infrastruktur yang tidak memadai, dan kondisi lingkungan yang terus menurun. Akan tetapi, penghuni biasanya memiliki kepemilikan lahan yang terjamin; baik sebagai pemilik, penghuni atau penyewa resmi atas tanah tersebut. Singkatnya, ciri‐ciri fisik daerah kumuh adalah: sangat padat penduduknya, jalan sempit berupagang‐gang kecil, drainase tidak memadai bahkan ada yang tanpa drainase, tidak ada ruang terbuka di antara rumahnya, fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim, fasilitas sumber air bersih sangat minim, tata bangunan yang sangat tidak teratur, sistem sirkulasi udara dalam rumah tidak baik, tidak ada privacy bagi penghuni rumah dan berlokasi di pusat kegiatan ekonomi kota. Sementara permukiman kumuh‐ilegal (squatters) biasanya digunakan untuk menggambarkan area dimana terdapat penduduk yang mendirikan rumahnya di atas lahan yang bukan miliknya, atau tidak memiliki ijin mendirikan atau menyewakan bangunan, dan biasanya membangun tanpa mengikuti aturan tata kota yang berlaku. Kelompok squatter umumnya merupakan pendatang dari wilayah perdesaan atau pinggiran kota yang berimigrasi ke perkotaan. Selain secara ekonomi umumnya mereka merupakan komunitas yang berpenghasilan rendah, bekerja di sektor informal, dengan penghasilan tidak tetap, juga secara sosial mereka berpendidikan rendah, berketerampilan terbatas dengan akses terbatas terhadap pelayanan sosial dan administrasi publik. Mengacu pada dinamika di atas maka pemahaman terhadap ciri fisik kemiskinan tidak cukup hanya didasari pada ketiadaan, kekurangan dan keterdesakan ekonomi semata. Lebih penting lagi dipahami bahwa kemiskinan juga merupakan perwujudan dari realitas kegagalan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi: kebutuhan hidup, hak dasar, keadilan dalam perlakukan hukum, kesetaraan gender dan kehidupan yang beradab dan bermartabat, serta ruang aktivitas yang memungkinkan mereka berinteraksi baik secara ekonomi, sosial, budaya dengan anggota masyarakat lainnya. Multidimensionalitas kemiskinan tersebut pada gilirannya melahirkan posisi bahwa kaum miskin dimanapun berada selalu menduduki posisi yang marjinal. Eksistensi diri mereka senantiasa terpinggirkan. Aspirasi yang dipunyai kaum miskin tak tersuarakan karena keputusan yang diambil lebih baik memilih sikap diam. Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang serba minim tersebut Santoso (1991) menemukan bahwa pada kota‐kota yang berbasis industri terdapat penyebab seseorang menjadi miskin. Ada dijumpai perbedaan yang berarti pada latar belakang yang mengakibatkan seseorang masuk kondisi miskin di perkotaan 26
antara bercorak industri dengan non‐industri. Pada kota‐kota non‐industri seseorang menjadi miskin lebih disebabkan oleh karena tekanan ekonomi di pedesaan, sedangkan pada kota industri penyebabnya menjadi lebih kompleks, termasuk di dalamnya disintegrasi keluarga, penggusuran, dan depresi psikologis. 2.4.1. Buruh dan Kaum Miskin Di Perkotaan Indonesia Tantangan dan pekerjaan rumah untuk menanggulangi kemiskinan yang sangat besar karena persoalan kemiskinan juga terkait dengan masih cukup tingginya angka pengangguran bagi angkatan kerja produktif. Meskipun kondisi ketenagakerjaan menunjukkan sedikit perkembangan positif dilihat dari kesempatan kerja, namun jika di lihat dari tingkat pendidikan penduduk yang bekerja terlihat bahwa komposisinya masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD ke bawah (49,40% atau 54,18 juta orang) dan disusul oleh lulusan SMP (18,87% atau 20,70 juta orang), sedangkan pekerja yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas) hanya 31,72% atau 34,79 juta orang. Berdasarkan usia, tingkat pengangguran terbuka (TPT) kaum muda (usia 15‐29 tahun) masih relatif tinggi karena mencapai 14,57% pada bulan agustus 2011. Angka ini lebih dari dua kali lipat TPT total yang hanya 6,56%. Meski secara persentase TPT kaum muda sudah menurun tetapi dari jumlah absolut masih besar yakni 5,34 juta orang. Angka tersebut menunjukkan bahwa rentang usia seperti itu lebih sulit menemukan pekerjaan sehingga jumlah penganggur muda lebih tinggi dibandingkan dengan penganggur dewasa. Tingginya pengangguran kelompok usia 15‐29 tahun berpotensi besar memberikan dampak negatif kepada ekonomi nasional dan masyarakat jika tidak segera ditangani oleh pemerintah. Terlebih jika dibandingkan dengan data pendidikan yang ditamatkan bahwa hampir separuh dari penganggur kelompok usia tersebut berpendidikan rendah, yaitu hanya tamatan SD dan SMP. Jumlah mereka mencapai 2,55 juta orang atau sekitar 47,79% dari seluruh kelompok usia 15‐29 tahun. Tingginya persentase pengangguran berpendidikan SD dan SLTP menunjukkan fenomena penganggur usia muda berpendidikan rendah. Fenomena ini muncul oleh kecenderungan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) usia 15‐19 tahun yang meningkat sejak tahun 2009 hingga 2011 (RKP 2013 : 88). Kelompok usia yang seharusnya masih berada di bangku sekolah banyak yang memasuki pasar kerja karena yang drop‐out dan tidak mampu melanjutkan. Tahun 2010 (menurut Data Kemendikbud) sekitar 1,2 juta siswa keluar dari sekolah dan masuk pasar kerja. Indikasi ini tercermin pada pertambahan angkatan kerja baru yang berpendidikan SD dan SLTP, sekitar 0,9 juta orang rata‐rata per tahun. Maka dari itu pemerintah menetapkan bahwa sasaran yang hendak dicapai di tahun 2013 adalah menurunkan 27
tingkat pengangguran terbuka menjadi di sekitar 6,0‐6,4 persen. Kesempatan kerja diperkirakan bertambah 3,1 juta dan angkatan kerja baru bertambah 2,5 juta. Gambar 3. Grafik Tingkat Pengangguran Menurut Umur
Sumber : BPS
Berdasarkan lapangan pekerjaan pada Februari 2012 (Data Strategis BPS 2012 : 38), dari 112,8 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di Sektor Pertanian, yaitu 41,2 juta orang (36,52 persen), disusul Sektor Perdagangan sebesar 24,0 juta orang (21,30 persen), dan Sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 17,4 juta orang (15,40 persen). Ciri dominan yang biasanya menandai ketiga sektor tersebut adalah labour turn over yang begitu tinggi dan karakter informalitas jenis usahanya. Data tersebut di atas diafirmasi oleh indikasi yang dipaparkan dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2013 yang menyebutkan bahwa pada bulan Agustus 2011 terdapat 109,7 juta tenaga kerja, dimana sebanyak 68,2 juta (62,17%) adalah tenaga kerja di sektor informal. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, penduduk bekerja pada sektor formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan, sisanya termasuk pada sektor informal (Berita Resmi Statistik No.75/11/Th. XV, 5 November 2012). Pada umumnya, masyarakat yang berada di sekitar garis kemiskinan bekerja di kegiatan ekonomi informal. Dengan bekerja dan memperoleh penghasilan, penduduk miskin berharap dapat meningkatkan taraf hidup dan mempertahankan daya belinya. Tabel 3. Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama 2011–2012 Status Pekerjaan Utama 1 Formal Berusaha dibantu buruh tetap
2011
2012
Februari
Agustus
Februari
Agustus
2
3
4
5
3.2%
3.4%
3.5%
3.5%
28
Buruh/Karyawan Informal Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak tetap Pekerja bebas di pertanian Pekerja bebas di non‐pertanian Pekerja keluarga/tak dibayar Jumlah
31.0%
34.4%
33.8%
36.4%
19.0% 19.1% 5.0% 4.6% 18.0% 111.28 (100%)
17.7% 17.9% 5.0% 5.1% 16.4% 109.67 (100%)
17.3% 18.1% 4.8% 5.3% 17.3% 112.80 (100%)
16.6% 16.9% 4.8% 5.6% 16.2% 110.80 (100%)
Sumber : Berita Resmi Statistik No. 75/11/Th. XV, 5 November 2012, hal.3
Berdasarkan Status Pekerjaan Utamanya, sektor informal pada umumnya mengalami penurunan. Peningkatan pekerja sektor informal yang cukup berarti terdapat pada kategori Pekerja Bebas Non‐Pertanian. Namun ILO (ILO 2010) mengingatkan bahwa peningkatan tersebut juga perlu diperhatikan karena jika kita mempertimbangkan situasi dimana kegiatan seorang bos pemulung–yang melaksanakan beberapa pekerjaan administratif, manajerial bahkan sejumlah pekerjaan profesional–kemungkinan mendapatkan imbalan finansial cukup banyak. Terkait dengan itu, pemulung yang sebenarnya pergi dari satu rumah ke rumah lain dapat dikategorikan sebagai pekerja informal, namun bos yang menjalankan bisnis pemulung ini dapat dikategorikan sebagai formal. Bos tersebut menjalankan pekerjaan profesional atau manajerial. Fenomena ini banyak ditemukan di kota‐ kota besar di seluruh dunia. Di sisi lain, terdapat juga kasus‐kasus di mana semakin banyak pekerja yang berusaha sendiri dapat dikategorikan sebagai seorang profesional. Seorang programer komputer dapat dikategorikan sebagai pekerja formal, walaupun orang tersebut mungkin saja bekerja sendiri atau dibantu oleh pekerja sementara. Oleh karena itu penting untuk memeriksa, tidak hanya status pekerjaan, namun juga tipe pekerjaan. BPS telah menetapkan 10 kategori mengenai tipe pekerjaan ini, antara lain: 1) Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya. 2) Pekerja administrasi dan manajerial. 3) Pekerja juru tulis dan terkait. 4) Pekerja bidang penjualan. 5) Pekerja bidang jasa. 6) Pekerja pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu. 7) Pekerja produksi dan terkait. 8) Operator dan pekerja perlengkapan pengangkutan. 9) Buruh. 10) Lain‐lain.
29
Tabel 4. Aktivitas Informal Jenis pekerjaan umum
Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya Pekerja administrasi dan manajerial Pekerja juru tulis dan terkait Pekerja bidang penjualan Pekerja bidang jasa Pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu Pekerja produksi dan terkait Operator peralatan pengangkutan Buruh
Berusaha sendiri
Status pekerjaan Berusaha Berusaha sendiri sendiri dibantu dibantu oleh oleh pekerja pekerja sementara/ permanen tidak /dibayar dibayar
Karyawan/ pekerja
Pekerja musiman di bidang pertanian
Pekerja musiman di bidang nonpertanian
Pekerja tidak dibayar
F
F
F
F
F
F
Inf
F
F
F
F
F
F
Inf
F
F
F
F
F
F
Inf
Inf
F
F
F
Inf
Inf
Inf
Inf
F
F
F
Inf
Inf
Inf
Inf
Inf
F
F
Inf
Inf
Inf
Inf
F
F
F
Inf
Inf
Inf
Inf
F
F
F
Inf
Inf
Inf
Inf
F
F
F F
Inf Inf
Inf Inf
Inf Inf
Lain‐lain Inf F F Catatan: F: Formal, INF: Informal Sumber: BPS, 2009, hal. xxx (urutan diubah), ILO 2010
Keadaan makro ketenagakerjaan tentang penurunan TPT di atas dapat diperbandingkan dibandingkan dengan data Bank Dunia dan ILO yang menyebutkan bahwa jumlah pekerja kontrak dan outsourcing di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 65 persen dari jumlah pekerja di Indonesia. Artinya, pada tahun 2010 hanya 35 persen pekerja formal saja di Indonesia yang memiliki pekerjaan permanen hingga pensiun. Di titik ini kesempatan kerja yang luas dibuka oleh 30
pembangunan nampaknya belum dapat diartikan telah mampu menjamin kepastian dan keberlanjutan kerja meski peluangnya terbuka lebar secara yuridis. Sehingga meskipun angka tingkat pengangguran turun namun penurunan kualitas jaminan perlindungan keberlanjutan kerja justru meningkat. Pada gilirannya, kondisi demikian secara struktural turut berkontribusi terhadap besarnya jumlah dan persentase penduduk miskin dalam kategori ‘rentan miskin’ dan ‘hampir miskin’ versi PPLS maupun kategori ‘Hampir Miskin’, ‘Hampir Tidak Miskin’, dan ‘Tidak Miskin’ versi BPS. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kondisi di atas, yaitu: Perkembangan industri dan berbagai masalah dalam regulasi ketenagakerjaan mempengaruhi lambatnya penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur. Selama tahun 2003‐2012 hanya mengalami perubahan 0,3%. Pekerja sektor pertanian sudah banyak yang meninggalkan perdesaan dan beralih ke sektor jasa di perkotaan. Pengembangan usaha mengalami kendala terbatasnya entrepreneurship dan masih terbatasnya financial inclusion. Penelitian Akatiga pada tahun 2010 (Rina Herawati 2010 : 10), yang melakukan survey terhadap 600 buruh sektor metal di 7 kabupaten/kota di 3 provinsi, turut menguatkan kondisi di atas dimana 82,8% responden berusia kurang dari 35 tahun. Artinya peluang kerja semakin terbatas bagi calon pekerja berusia di atas 35 tahun. Selain itu, penelitian Akatiga tersebut juga menunjukkan, bahwa 50,3% responden memiliki masa kerja tidak lebih dari 3 tahun, yang terdiri dari 27,7% bermasa kerja 1‐12 bulan dan 23,2% bermasa kerja 1‐3 tahun. Artinya masa kerja seseorang pada sektor formal di Indonesia pun makin terbatas sehingga memperbesar kelompok rentan dan hampir miskin. Keterbatasan masa kerja pada sektor formal memperlihatkan kecenderungan menguatnya tesis deindustrialisasi yang dikemukakan oleh ILO (ILO 2010). Menurut Basri (2009)1 ada lima petanda terjadinya deindustrialisasi yakni, pertama, jumlah usaha manufaktur telah menyusut sehingga terdapat net‐entry negatif. Kedua, ada kecenderungan memburuknya persaingan. Ketiga, Indonesia telah mulai menjauh dari jaringan manufaktur regional dan global. Keempat, kredit ke sektor ini merosot cukup tajam. Kelima, sektor manufaktur menggunakan listrik lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.
1
Basri, Faisal. (2009). Deindustrialisasi. Tempo Ed. 30 November‐6 Desember 2009 pp. 102‐ 103. 31
2.4.2 Gender, Sektor Informal dan Kemiskinan di Perkotaan Pengurangan kemiskinan berdasarkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, perlindungan habitat tempat tinggal dan keadilan sosial memerlukan partisipasi penuh dan setara antara perempuan dan laki‐laki. Gagasan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya juga berpusat pada perempuan dan laki‐laki, sebagai agen sekaligus penerima manfaat pembangunan. Namun pada kenyataannya, penerima manfaat pembangunan tidak merata bagi seluruh kelompok masyarakat di perkotaan. Pembangunan kota saat ini cenderung menambah beban hidup bagi masyarakat miskin perkotaan. Perempuan miskin adlaah kelompok yang lebih berat menanggung beban tersebut daripada laki‐laki miskin. ILO, misalnya, mengemukakan bahwa di seluruh dunia terdapat 550 juta pekerja miskin, atau orang yang tidak mampu mengangkat diri dan keluarganya untuk berpenghasilan di atas US$ 1 PPP per hari. Dari jumlah tersebut terdapat sekitar 330 juta atau sekitar 60% perempuan (ILO 2004). Padahal tujuan pembangunan berkelanjutan adalah pembasmian kemiskinan seperti dinyatakan dalam Deklarasi Rio dimana "all states and all people shall cooperate in the essential task of eradicating poverty as an indispensable requirement for sustainable development, in order to decrease the disparities in standard of living and better meet the needs of the majority of the people of the world” (Prinsip No.5 Rio Declaration on Environment and Development 1992). Selain memberikan 66% dari jam kerjanya, perempuan miskin hanya mendapatkan 10% dari hasil kerjanya (Tjokrowinoto 1996). Jam kerja perempuan sekitar 30‐50 persen lebih panjang dari laki‐laki pada usia yang sama dan untuk pekerjaan yang dibayar maupun tidak dibayar, dibandingkan dengan laki‐laki pada usia yang sama (Cahyono 2005). Menurut data SUPAS 2010, jumlah penduduk usia produktif pada wilayah perkotaan di Indonesia berkisar 47.259.076 orang (96,64%) dari total penduduk usia produktif perkotaan. Komposisi buruh laki‐laki usia produktif 15‐64 tahun pada sektor ekonomi formal berkisar sebesar 9.032.065 orang atau 19,11% dari total penduduk usia produktif perkotaan dan persentase perempuan yang mengisi posisi tersebut masih sangat rendah (8,81%) dibanding laki‐laki. Data tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa ternyata jumlah perempuan masih sangat rendah untuk berpartisipasi di dalam sektor ekonomi formal maupun informal. Sementara keadaan yang relatif sama juga terjadi pada sektor ekonomi informal dimana persentase penduduk usia produktif laki‐laki bekerja berkisar 47,17% dan perempuan sebesar 24,86% dari total penduduk usia produktif perkotaan. Besaran persentase pada tabel di bawah dapat diartikan bahwa laki‐laki umumnya masih menjadi pencari nafkah utama keluarga menurut Undang‐undang Perkawinan No.1 32
tahun 1974. Namun besaran tersebut dapat mengaburkan fakta lain bahwa perempuan baik di perkotaan maupun perdesaan juga turut menanggung beban kerja ganda (double burden). Tabel 5. Total Penduduk Usia Produktif Menurut Jenis Kelamin dan Status Pekerjaan Utama Di Perkotaan 2010 Status Pekerjaan Utama Informal Formal
Jenis Kelamin
Jumlah
L 22,294,166 P 11,747,498 L 9,032,065 P 4,161,925 Sumber : BPS SUPAS 2010 (diolah)
% 47.17 24.86 19.11 8.81
Tinjauan kritis atas data‐data resmi dengan membandingkannya dengan data mikro diperlukan khususnya dengan mengaitkan posisi perempuan miskin dengan konsep kerja. Di era kapitalisme seperti saat ini, terjadi anggapan bahwa pekerjaan‐ pekerjaan yang menghasilkan upah/bernilai ekonomis (produksi dan berada di ruang publik) dianggap sebagai kerja, sementara pekerjaan‐pekerjaan yang tidak menghasilkan upah/tidak bernilai ekonomis dianggap bukan kerja, hanya aktivitas. Misalnya, dalam "Publikasi Keadaan Angkatan Kerjadi Indonesia" yang dikeluarkan BPS meletakkan kategori 'Mengurus Rumah Tangga' ke dalam klasifikasi 'Bukan Angkatan Kerja / Not Economically Active'. Oleh karena itu dengan tajam Moore (1988: 15) menyimpulkan kerja‐kerja perempuan seringkali nirmata (invisible) karena keterlibatan perempuan tampak di pekerjaan‐pekerjaan yang tidak menghasilkan upah atau tidak dilakukan di luar rumah (walaupun memberikan penghasilan). Teknik pelabelan semacam itu tercermin pula pada akses dan kontrol Perempuan Usaha Kecil (PUK) terhadap usahanya. Misalnya, dalam proses pengambilan keputusan, kasus yang jelas menyangkut akses perempuan adalah pada perizinan usaha karena dokumen penting yang harus ada "NPWP" seringkali terhambat dengan dasar UU Perkawinan No.1 tahun 1974 dimana perempuan dilegalkan sebagai bukan sebagai pencari nafkah utama. Konsekuensi yang dialami PUK dengan tidak adanya izin antara lain: (1) tidak terdata sehingga dianggap tidak berkontribusi dalam perekonomian makro, (2) kesulitan mengakses kredit di lembaga keuangan formal, dan (3) karena tidak terdata maka tidak masuk dalam pelatihan‐pelatihan yang diberikan oleh pemerintah. Di arena rumah tangga, kontrol PUK terhadap usahanya juga masih lemah. ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil) memperlihatkan indikasi bahwa 33
usaha yang semula dirintis oleh perempuan kemudian diambil alih oleh laki‐laki (dalam hal ini suaminya), terutama saat usaha tersebut mulai berkembang atau meningkat. Akibatnya peranan perempuan yang semula menjadi pemilik dan pengelola usaha kemudian bergeser hanya menjadi karyawan atau tenaga kerja yang tidak dibayar (Bernighausen, 2001). Contoh lain memperlihatkan seorang PUK yang bahkan tidak dapat memutuskan lokasi usahanya sendiri. Ketika PUK menginginkan pemasaran yang lebih luas di luar arena rumah, suaminya tidak mengizinkan. Suaminya hanya mengizinkannya berusaha di rumah sehingga akses PUK terhadap pasar menjadi semakin sempit yang berdampak pada usaha yang ditekuninya sepi pembeli dan akhirnya gulung tikar (Akatiga, 2005). Pelabelan juga menyebabkan ketika seorang perempuan (yang mayoritas usahanya termotivasi kondisi kritis dan kemiskinan keluarganya) memutuskan berusaha, selalu diikuti dengan embel‐embel "boleh bekerja asalkan tidak melupakan rumah tangga". Akibatnya mayoritas mereka mengalami apa yang disebut beban ganda. Mekanisme dan kondisi beban kerja ganda perempuan dapat mengaburkan selintas kesan angka‐angka statistik keberhasilan pembangunan di perkotaan. Mekanisme dan kondisi itu dirujuk dengan istilah “Feminisasi Kemiskinan”. Mogadham (2005:7) dalam Kumurur (2010: 43) mendefinisikan Feminisasi Kemiskinan sebagai "pertumbuhan populasi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan secara bersama". Menurut Veronica A. Kumurur (2010:110)2, perempuan‐perempuan miskin yang tinggal di kota‐kota besar memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik perempuan miskin kota antara lain sebagai berikut:
Sebagai pencari nafkah dan kebanyakan perempuan miskin menerjunkan diri pada sektor‐sektor marjinal misalnya, sebagai buruh pabrik, buruh cuci, pembantu rumah tangga, pedagang kecil, dan lain‐lain (Westy 2008) Termasuk kelompok yang rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik itu berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, sosial, dan penelantaran rumah tangga. Memiliki beban kerja berat, yang harus ditanggung dalam kerja produktif di luar rumah, karena ia tetap harus menjalankan berbagai kegiatan produktif di dalam rumah seperti mencuci, memasak, serta mengasuh dan menjaga anak (Resmi Setia M.S, 2003)
2
Veronica A. Kumurur, Pembangunan Kota dan Kondisi Kemiskinan Perempuan, PPLH‐SDA Unsrat Press, Manado, 2010
34
Menggantungkan hidupnya pada usaha‐usaha mikro, dan relasi kekuasaan yang menekan kelompok perempuan, dimana "kekuasan menekan" tidak hanya datang dari laki‐laki atau pada ruang domestik, tetapi penekanan tersebsar justru datang dari struktur pasar (Dewayanti 2003). Bekerja pada pekerjaan yang tidak memerlukan kemahiran keterampilan dan modal, seperti pedagang jalanan, dan di perdagangan jalanan ini, perempuan menempati tempat yang paling miskin (Murray 1995:53). Tidak memiliki waktu untuk menghadiri pertemuan‐pertemuan pada kursus‐ kursus menjahit, memasak yang dibentuk oleh pemerintah kelurahan (Murray 1995:94) Bekerja tanpa kontrak kerja, diwajibkan bekerja pada waktu libur, dipecat apabila hamil (Murray 1995:118) Bagi perempuan muda (lajang) lebih menyukai pekerjaannya daripada uangnya. Dengan harapan ada laki‐laki kaya yangakan mengawininya dan menjadikan dia kaya (Murray 1995:119) Memilih pekerjaan sebagai pelacur kelas bawah dan bekerja pada bar‐bar kota yang tidak menarik bayaran masuk, tempat‐tempat minum kopi di hotel, di disko‐disko pada saat 'ladies night' atau bekerja pada kondisi lebih formal lagi, yaitu sebagai pelayan bar (Murray 1995:125)
Kondisi perempuan miskian diartikan sebagai suatu kondisi yang dialami seorang perempuan yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya dalam pemenuhan hak‐hak dasar dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Dalam hal ini, hak‐ hak dasar yang diakui secara umum antara lain terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial‐ekonomi‐politik. Hak‐hak dasar tersebut tidak berdiri sendiri sebagai suatu pilihan melainkan saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak‐hak lainnya. Kondisi yang dialami perempuan miskin adalah: (a) berpendidikan rendah; (b) ketergantungan terhadap orang lain; (c) tidak memiliki pekerjaan tetap; dan (d) beban kerja lebih berat.
35
BAB III ANALISIS SEBAB-SEBAB KEMISKINAN
3.1 Pengantar Analisis Situasi kemiskinan yang dihadapi oleh para petani di pedesaan bukan lah gejala tersendiri yang terpisah dari kemiskinan di kota. Dengan memandang bahwa antara perdesaan dan perkotaan terdapat hubungan kemiskinan yang interaktif maka ciri‐ ciri umum kemiskinan yang relatif sama sebenarnya juga dihadapi oleh penduduk miskin kota berikut kehidupan ekonomi subsistennya. Indrasari Tjandraningsih (2012)3 dalam paparannya memperlihatkan bahwa rendahnya upah menjelaskan mengapa keinginan kaum buruh industri–terutama di sektor manufaktur padat karya untuk pasar ekspor‐untuk memperbaiki kehidupan dan menyumbang ekonomi desa, tak banyak terwujud karena alih‐alih membawa pulang uang ke desa, yang terjadi justru warga desa mensubsidi industri melalui sumbangan pemenuhan kebutuhan hidup buruhnya yang tak dapat dipenuhi oleh upah yang diterima. Kisah‐ kisah buruh di kota yang bersandar pada pengiriman beras dan bahan makanan dari keluarga di desa dan menitipkan anak untuk diasuh nenek‐kakek di desa adalah contoh dari subsidi desa terhadap roda industrialisasi. Melalui Capability Approach, yang diketengahkan oleh Amartya Sen (1999) didalam Development As Freedom, berikut akan diuraikan analisis sebab‐sebab kemiskinan. Menurut Sen, kemiskinan berkaitan dengan freedom of choice. Orang miskin sama sekali tidak memiliki freedom of choice karena terjadi deprivasi terhadap kapabilitasnya. Kapabilitas mengacu pada dua perkara, yaitu ‘kemampuan untuk melakukan’ (ability to do) dan ‘kemampuan untuk menjadi’ (ability to be). Baik penduduk miskin kota maupun petani miskin di pedesaan mengalami ability to do dan ability to be yang rendah karena mereka dalam posisi yang dieksploitasi. 3.2 Analisis Sebab-Sebab Kemiskinan Petani 3.2.1 Analisis atas Perjanjian-Perjanjian Perdagangan Internasional Sejak ditandatanginya kesepakatan internasional tentang perdagangan April 1994, di Marrakesh, Maroko, yang dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT), sesungguhnya Globalisasi telah dimulai. GATT selain kumpulan aturan 3
Indrasari Tjandraningsih, Kemiskinan Yang Berkelanjutan : Miskin di Desa, Miskin di Kota, Disampaikan dalam acara In Memoriam Prof. Sajogyo, Bogor 26 Mei 2012. Diakses dari http://akatiga.org/index.php/artikeldanopini/58‐beritaterkini/149‐kemiskinanygberkelanjutan
36
mengenai perdagangan, juga merupakan forum negosiasi perdagangan antar pemerintah dan pengadilan dimana jika terjadi perselisihan dagang antar bangsa bisa diselesaikan. Kesepakatan itu dibangun diatas asumsi bahwa sistim dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistim proteksionis, dan “persaingan bebas” akan meguntungkan mereka yang efektif dan efisien. Terkait dengan sektor pertanian dan kaum petani di Indonesia, kerangka kebijakan global yang menjadi dasar berbagai perjanjian dan prakteknya dalam tataran internasional yang paling berpengaruh adalah Perjanjian Bidang Pertanian (Agreement on Agricultur/AoA) yang ditandatangani pada tahun 1995. Krangka liberalisasi perdagangan komoditi dalam konteks WTO tertuang dalam Perjanjian Bidang Pertanian (AoA). AoA adalah salah satu pakta internasional dalam WTO yang dihasilkan melalui serangkaian Perundingan dalam Putaran Uruguay dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Pakta ini diberlakukan bersamaan dengan berdirinya WTO pada 1 Januari 1995. AoA bekerja melalui tiga pilar utamanya, yaitu: (i) pengurangan dukungan domestik (Domestic Support); (ii) perluasan Akses Pasar dan (iii) penghapusan subsidi ekspor. Dukungan Domestik adalah berbagai bentuk dukungan atau subsidi kepada petani produsen. Dalam AoA dirancang agar dukungan domestik diubah sedemikian rupa sehingga nantinya bisa dihilangkan. Kalaupun tetap ada, pengaruhnya diperkecil sehingga tidak sampai menyebabkan terjadinya distorsi perdagangan atau produksi untuk masing‐masing produk pertanian. Tujuannnya untuk mengurangi dukungan terhadap petani. Dukungan domestik ini dikategorikan ke dalam:
Green Box (Kotak Hijau): Jenis dukungan yang tidak terpengaruh, atau kecil pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan sehingga dukungan jenis ini tidak perlu dikurangi, seperti: pelayanan umum, bantuan pangan dalam negeri, stok penyangga pangan, bantuan darurat, program lingkungan hidup dan bantuan daerah; Amber Box (Kotak Kuning): Semua dukungan yang digolongkan bisa mendistorsi perdagangan sehingga harus dikurangi sesuai dengan komitmen. Contohnya, berbagai bentuk subsidi harga input atau harga output; Blue Box (Kotak Biru): Berbagai jenis bantuan langsung sebagai program untuk membatasi produksi suatu komunitas. Bantuan langsung ke produsen tidak memengaruhi produksi atau disebut juga “decouple payment”.
Penyimpangan terhadap kesepakatan mengenai dukungan domestik ini justru dilakukan oleh negara‐negara di Eropa dan AS. Eropa dan AS telah mengeluarkan dana sebesar US$380 miliar untuk menyubsidi sektor pertaniannya tiap tahun. 37
Subsidi ini dikatakan untuk melindungi kepentingan petani kecil. Namun, Bank Dunia mensinyalir lebih dari setengah jumlah subsidi pertanian EU hanya dinikmati oleh 1% produsen, sementara di AS 70% dari total subsidi dinikmati oleh 10% produsen, yang mayoritas merupakan kalangan pengusaha di sektor pertanian. Pilar kedua adalah perluasan akses pasar. Akses pasar adalah konsep paling mendasar dalam perdagangan internasional. Pilar ini ditujukan untuk menciptakan situasi perdagangan tanpa hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama di semua negara WTO. Tarif adalah pajak yang dikenakan untuk barang yang masuk melalui wilayah pabean. Tarif berfungsi sebagai pemasukan bagi pemerintah, perlindungan terhadap industri dalam negeri, dan mendorong perbaikan kualitas produksi dalam negeri. Ketentuan‐ketentuan dalam hal pengurangan tarif ini adalah sebagai berikut:
Negara-negara Maju: Pengurangan tarif sebesar rata‐rata 36%, dan minimal telah mengurangi tarif rata‐rata sebesar 15% dalam 5 tahun. Negara-negara Berkembang: Pengurangan tarif sebesar rata‐rata 24% dengan jumlah pengurangan minimum sebesar 10% yang harus dicapai dalam waktu 9 tahun. Negara-negara Terbelakang: Pengurangan tarif dikecualikan, namun harus mengubah hambatan non tarif menjadi tarif (tariffication) serta menetapkan batas maksimum yang tidak bisa ditingkatkan lagi di kemudian hari.
Pilar ketiga terkait dengan penghapusan subsidi ekspor. Subsidi ekspor adalah bantuan pemerintah suatu negara yang diberikan kepada eksportir atau produsen yang melaksanakan ekspor tertentu. Dengan bantuan ini, penerima subsidi akan lebih mampu bersaing dalam merebut pasar ekspor. Ini adalah salah satu bentuk subsidi yang dapat mendistorsi pasar dan umumnya dilakukan oleh negara‐negara maju. Hampir semua jenis subsidi ekspor untuk komoditas pertanian tidak diperbolehkan. Kenyataannya lain antara perjanjian degan apa yang terjadi. Hal ini nampak sebagai hiprokitisme negara‐negara maju. Beberapa contoh fakta dalam hal ini antara lain:
Mei 2002, Presiden G.W Bush menandatangani Farm of Bill yang memuat subsidi sebesar US$ 180 miliar, setara dengan Rp 162 triliun (patokan kurs Rp 9000/US$) dalam tempo 10 tahun. Bandingkan dengan anggaran Deptan Indonesia tahun 2003 yang hanya 2,3 triliun atau anggaran untuk subsidi pupuk petani (2003) yang hanya 1,3 triliun; Tahun 2002, sebanyak 30 negara industri yang tergabung dalam OECD menghabiskan US$ 311 miliar untuk menyubsidi pertaniannya. Negara‐ 38
negara EU menyubsidi petani‐petani gulanya sebesar 50 euro untuk setiap ton panen tanaman penghasil gula (sama dengan Rp 650,000/ton, dengan kurs Rp 13,000). UE juga menyubsidi dana sebesar US$ 913 (sama dengan Rp 8,217,000) per kepala sapi kepada peternak sapi mereka. Indonesia sudah mengikatkan diri dalam komitmen liberalisasi sejak pertengahan tahun 1980‐an. Pada tahun 1994 komitmen ini semakin kuat dengan mengumumkan paket secara komprehensif sebagai bagian dari komitmen sukarela untuk mendukung liberalisasi perdagangan. Ironinya, dengan berlandasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, justru pada prakteknya Indonesia dinilai telah sangat liberal dengan berbagai kebijakan pertaniannya. Hal ini ditunjukan oleh beberapa fakta sebagai berikut:
Indonesia mengurangi tarif untuk 6000 produk industri dan pertanian, memangkas 95% dari total tarifnya sebesar rata‐rata 40%. Total tarif untuk seluruh mata tarif turun dari 99.861 menjadi 64.391, tingkat tarif rata‐rata sederhana per mata tarif sebesar 74,2% menjadi 48,05% atau turun sebesar 26,5 %. Sebenarnya bagi negara‐negara berkembang seperti Indonesia cukup menurunkan tarif sebesar 24%. Komitmen Indonesia melebihi standar yang disepakati AoA; Indonesia mematok tarif untuk komoditi pokok seperti, beras (160%), gula (95%), kedelai (27%), kacang tanah (18%), gandum (40%), mentega (210%), dan daging (50%). Sementara negara‐negara maju tetap menetapkan tarif yang tinggi untuk komoditi pokoknya seperti, beras (>500%), gula (224%), kacang tanah (174%), daging sapi (213%), mentega (360%), dan gandum (360%).
Liberalisasi sektor pertanian ini jelas memberikan dampak‐dampak negatif terhadap sektor pertanian dan kehidupan petani Indonesia, antara lain ditunjukan oleh kontribusi pertanian terhadap PDB semakin menurun, dari 50% pada tahun 1960‐ an, menjadi 20,2% pada tahun 1988, terus menurun menjadi 17,2% pada tahun 1996, dan tahun 2000 hanya sekitar 15%, dan terakhir 2011 sebesar 14%. Selain itu, berdampak pula pada menurunnya pertumbuhan sektor pertanian, dari 4,1% per tahun pada tahun 2004 menjadi 3,0% per tahun pada 2006. Demikian juga dengan pangsa pasar pertanian menurun dari 15,4% tahun 2004 menjadi 13,0% pada tahun 2006. Terkait dengan nasib petani, khususnya petani kecil, dengan kebijakan “akses pasar” dan “domestic support” terhadap perusahaan agribisnis karena alasan persaingan global ini akan memaksa pemerintah untuk mengubah kebijakan dari subsidi bagi petani kecil menjadi subsidi kepada perusahaan agribisnis raksasa, dan 39
proses ini sekaligus menggusur kemampuan petani kecil sebagai produsen. Kebijakan corporate farming, bahkan akan mempercepat proses transformasi pertanian dari kapitalisme kecil di pedesaan menuju ke industri pertanian perusahaan raksasa. Ini berarti akan terjadi proses perubahan radikal disektor pertanian, dari petani kecil menjadai buruh industri agribisnis yang dkelelola oleh para menejer produski professional dalam suatu relasi kerja dan sistim kerja industrial. Studi FAO tentang dampak implementasi kesepakatan pertanian ‘Uruguay Round” terhadap petani di 16 negara berkembang memnunjukkan terjadinya trend semakin terjadi konsentrasi pertanian, dan ini berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan. Studi FAO tentang dampak implementasi kesepakatan pertanian ‘Uruguay Round” terhadap petani di 16 negara berkembang memnunjukkan terjadinya trend semakin terjadi konsentrasi pertanian, dan ini berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan. 3.2.2 Analisa Politik dan Kebijakan terkait Ketimpangan Pemilikan, Penguasaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Agraria Bagi rakyat Indonesia hubungan dengan tanah merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi. Hubungan ini sangat menentukan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, keberlanjutan dan harmoni bagi bangsa dan Negara Indonesia. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik, akan lahir kemiskinan bagi sebagian terbesar rakyat Indonesia, ketidakadilan, peluruhan serta sengketa dan konflik yang berkepanjangan yang bisa bersifat struktural. Hubungan yang mendasar dan asasi tersebut dijamin dan dilindungi keberadaannya oleh Konstitusi. Negara menggariskan nilai‐nilai dalam upaya menata struktur keagrariaan nasional yang berkeadilan: (a) semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, (b) penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan, (c) tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah cara‐cara pemerasan, (d) usaha dalam bidang agraria tidak boleh bersifat monopoli, (e) menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah, dan (f) untuk kepentingan bersama. Tapi fakta‐fakta di atas menjelaskan bahwa salah satu akar persoalan kemiskinan petani berkaitan erat dengan ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, khususnya tanah. Kehidupan rumahtangga petani sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah dan kemampuan 40
memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Tingkat pendapatan rumahtangga petani ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan. Penguasaan tanah oleh petani penggarap cenderung makin menyempit. Ketimpangan ini sangat dipengaruhi oleh politik dan kebijakan dalam bidang agraria yang dijalankan. Padahal tidak kurang‐kurangnya Pancasila, UUD 45 dan UUPA menuntut agar politik, arah dan kebijakan pertanahan memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan sosial dan sebesar‐besar kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai‐nilai luhur ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, utamanya tanah. Ada beberapa undang‐undang yang dinilai memberikan kontribusi pada ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria ini. Beberapa undang‐undang itu antara lain: Undang‐undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang‐undang No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang‐undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil, dan Undangundang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Dan yang terbaru adalah Undang‐Undang No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Melalui Undang‐undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dilakukan penunjukan luas kawasan hutan adalah 136.94 juta hektar atau 69 persen wilayah Indonesia. Undang‐undang kehutanan ini merupakan undang‐undang yang dinilai dapat merugikan masyarakat adat dan petani. Sebab, proses yang dipakai dalam undang‐ undang ini adalah mekanisme penunjukkan kawasan secara langsung melalui Menteri Kehutanan terkait kawasan hutan, sementara proses lanjutan setelah penunjukkan (penetapan tata guna hutan kesepakatan atau TGHK) belum dijalankan secara tuntas. Sampai hari ini, 121, 74 juta (88%) hektar kawasan hutan belum ditata batas. Padahal, ada masalah besar disana, sebab di dalam kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak tersebut, terdapat sedikitnya 19.000 desa yang penduduknya setiap hari rawan mengenai posisi dan keterkaitannya dengan sumber‐sumber penghidupan di kawasan hutan dengan dalih penyerobotan kawasan hutan. Menurut data Kemenhut, luas HTI hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Sementara, luas HPH di Indonesia 214,9 juta hektar dari 303 perusahaan HPH. 41
Begitupun halnya dengan Undang‐Undang No.18/2004 tentang Perkebunan. Misalkan saja beberapa pasal yang diajukan pengujian konsistensinya dengan konstitusi di Mahkamah Konsitutsi. Pasal 21 Undang‐Undang tersebut mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Sementara, Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur‐ unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya. Ketentuan dalam pasal tersebut juga mencerminkan adanya pembedaan kedudukan, ketidakadilan, serta ketidakpastian hukum yang merugikan petani. Undang‐Undang tersebut, ujarnya, harus mampu melindungi hak‐hak masyarakat adat dan penduduk lokal. Sebab dengan adanya ketentuan tersebut maka upaya untuk memenuhi hak petani dapat dianggap mengganggu jalannya usaha perkebunan. Sehingga tidak mengherankan jika sampai pada pertengahan 2010, sedikitnya terjadi 106 kasus kriminalisasi petani akibat bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Pada bulan September 2012, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan dengan perkara Nomor 55/PUU‐VIII/2010 yang intinya mencabut pasal di UU Perkebunan itu. MK menilai, pasal itu memicu konflik pertanahan antara rakyat dengan perusahaan perkebunan dan berpotensi mempidanakan petani. Keluarnya putusan ini merupakan salah satu bukti bahwa kebijakan‐kebijakan terkait dengan pertanahan ini menyimpan potensi‐potensi persoalan yang erat kaitannya dengan nasib petani. 3.2.3 Analisa Kebijakan Terkait Tata Produksi Petani Selain undang‐undang diatas yang terkait langsung dengan kepemilikan alat produksi bagi petani, ada beberapa Undang‐Undang (UU) yang sangat signifikan terkait dengan tata produksi petani seperti UU Sumber Daya Air Nomer 7 tahun 2004, UU Perlindungan Varietas Tanaman Nomor 29 tahun 2000, UU Sistem Budidaya Tanaman Nomor 12 tahun 1992, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan nomor 41 tahun 2009, UU Penanaman Modal Nomor 25 tahun 2007, UU Perbankan No 7 tahun 1992 dan beberapa UU lain yang secara tidak langsung berdampak kepada kehidupan petani. UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air memiliki keterkaitan yang sangat erat terhadap keberlangsung tata produksi petani. Tetapi Undang‐undang ini telah membatasi peran negara semata sebagai pembuat dan pengawas regulasi atau sebagai regulator. Negara sebatas sebagai regulator dan swasta sebagai 42
penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan penjabaran dari penerapan sistem ekonomi liberal. Negara sebatas regulator akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan terjaminnya keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Kususnya dalam hal masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian yang bertumpu pada ketersediaan air dalam menjalankan usaha pertaniannya. Negara tidak cukup dapat memberikan jaminan dan memberikan perlindungan pada kelompok‐kelompok tidak mampu dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Peran sosial tersebut tidak dapat digantikan oleh swasta yang memiliki orientasi keuntungan sebagai tujuan utama. Penyelenggaran air minum dan pengelolaan air oleh swasta dengan orientasi keuntungan berpengaruh kepada biaya dan tarif yang ditanggung pengguna. Keuntungan perusahaan, biaya eksternal, biaya operasional dan investasi menjadi biaya total yang ditanggung oleh pengguna air. Inilah yang disebut pengenaan full cost recovery. Dalam Dissenting Opinion‐nya, Hakim Konstitusi A. Mukhtie Fadjar menyatakan bahwa air yang semakin langka, perlu pengaturan oleh negara. Akan tetapi, dalam tataran paradigmatik, pengaturan oleh negara atas sumber daya air, seharusnya hanya menyangkut pengaturan dalam pengelolaan (manajemen) sumber daya air, agar air dapat digunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat dalam rangka penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air (the right to water) yang secara universal sudah diakui sebagai hak asasi manusia. Bukan pengaturan dalam bentuk pemberian hak‐hak tertentu atas air (water right) kepada perseorangan dan/atau badan usaha swasta, seperti yang dianut oleh UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (UU SDA), yang dapat tergelincir menjadi privatisasi terselubung sumber daya air, sehingga mendistorsi ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Kebijakan lain yang tidak kalah erat kaitannya dengan kepentingan petani adalah UU Perlindungan Varietas Tanaman Nomor 29 tahun 2000 (UU PVT) . Undang‐undang ini cenderung lebih melindungi hak‐hak pemulia tanaman. Hal ini agak kontradiktif dengan UU
No 4 tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian Internasional mengenai Sumberdaya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian. UU ini bisa menjadi acuan bagi upaya perwujudan pelaksanaan Hak Petani terkait benih di Indonesia karena mencoba melindungi hak‐hak petani atas benih. Dengan UU PVT Hak untuk mempertukarkan benih hasil panen secara bebas juga dihalangi (Pasal 10 ayat 1 dan penjelasannya). Sehingga UU PVT secara umum tidak mendukung hak berbagai kelompok masyarakat tani dalam menjaga keanekaragaman hayati pertanian dan mendorong inovasi petani, sebagai contoh persilangan tanaman dan penemuan varietas baru oleh petani. Secara teori petani 43
bisa mendaftarkan galurgalur silangannya dan varietas lokal yang digunakannya untuk bahan persilangan ke kantor PVT, tetapi hanya pencatatan untuk bahan keperluan persilangan oleh lembaga formal. Bila ada sekelompok atau perorangan petani yang melakukan persilangan dan ingin meminta hak pemulia untuk varietas tertentu yang dihasilkannya akan menemui banyak halangan karena proses dalam UU PVT ketat, memerlukan biaya dan memang diciptakan untuk melindungi penemuan lembaga formal (swasta dan publik) yang secara profesional memperoleh keuntungan dari penemuan dan penjualan suatu varietas baru. Prasyaratnya antara lain adalah: varietas yang baru, varietas bersifat unik dapat dibedakan dengan mudah dari varietas sejenis lainnya, varietas sudah seragam sifat‐sifat utama dari varietas tetap walau ada variasi dengan ditanam di tempat yang berbeda‐beda, varietas sudah stabil sifatnya tidak berubah meski ditanam berulang‐ulang, dan varietas itu diberi nama tertentu. Siapa yang untung dengan Hak PVT? Mereka adalah perusahaan‐perusahaan benih lokal dan internasional, serta para pemulia lokal dan negara‐negara maju. Pemulia lokal dan perusahaan lokal, bila tidak mampu bersaing, secara berangsur akan dicaplok oleh perusahaan‐perusahaan besar transnasional ini. Bila ingin mengetahui 9 perusahaan besar dunia yang mendominasi bisnih benih maka bisa berkunjung ke 10 website ETC group. Dengan PVT maka keanekaragaman hayati pertanian dari negara kita, cepat atau lambat akan menjadi milik negara maju. Ini berlawanan juga dengan Konvensi Keanekaragaman Hayati, karena PVT tidak mengatur pembagian manfaat dari pemanfaatan keanekaragaman hayati negara‐ negara Selatan. Petani di negara Indonesia akan membayar lebih mahal untuk memperoleh benih unggul karena penguasaan plasma nutfah (sumber‐sumber genetik tanaman) dipegang oleh negara‐negara maju melalui perusahaan‐ perusahaan benih mereka. 3.2.4 Analisis Ekonomi dan Kemiskinan Petani Aspek ekonomi, khususnya keuangan dan perkreditan, sangat berpengaruh pada kehidupan petani, terutama petani kecil (gurem). Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan, pendapatan, dan pengeluarannya. Hasil produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang‐kadang dalam waktu yang sangat mendesak seperti kematian, pesta perkawinan dan selamatan lain. Petani kaya dapat menyimpan hasil panen untuk kemudian dijual sedikit demi sedikit pada waktu diperlukan sedangkan petani gurem (tidak berlahan dan penguasaan lahan sempit) masih kesulitan untuk menyimpan hasil (Mubiyarto, 1973). 44
Keberadaan kredit benar‐benar dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran hidup sehari‐hari sebelum hasil panen terjual dan untuk pertemuan sosial lainnya. Dikarenakan penguasaan lahan tergolong sempit, upah yang mahal dan kesempatan kerja terbatas di luar musim tanam, sebagian besar petani tidak dapat memenuhi biaya hidupnya dari satu musim ke musim lainnya tampa pinjaman. Kredit sudah menjadi bagian hidup dan ekonomi usahatani, bila kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis. Namun kredit murah saat ini sangat terbatas seiring dengan berlakunya Undang‐ Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia dan Letter of Intent (LOI) antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter International (IMF). Pembiayaan pertanian tidak lagi sepenuhnya tergantung pada KLBI, tetapi lebih banyak mengandalkan kesediaan modal yang dimiliki lembaga keuangan perbankan dan non perbankan di dalam maupun di luar negri dengan pola pengelolaan yang mengarah pada sistem pembiayaan komersial. Para petani pada umumnya akan mengurangi jumlah pinjaman apabila suku bunga kreditnya tinggi agar supaya jumlah pengembalian kredit masih berada di tingkat kemampuan usahanya. Ketika harga jual hasil usaha petani tinggi aksesibilitas petani terhadap kredit bunga tinggi akan meningkat. Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani gurem adalah adanya jurang pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga permodalan denganberbagai skim kreditnya ditawarkan ke petani, tetapi pada kenytaannya hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu sedangkan petani kecil masih tetap kesulitan. Sudah banyak lembaga yang menyediakan kredit di tingkat desa, berdasarkan organisasinya dapat dikelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu: (a) lembaga kredit informal terdiri atas Bank keliling dikenal dengan nama lokal ”Bank jongkok”, pedagang hasil pertanian, pelepas uang, pedagang sarana produksi dan penggilingan padi; (b) lembaga kredit formal terdiri atas Koperasi Unit Desa (KUD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), BRI Unit Desa dan lembaga pegadaian; dan (c) kredit program pemerintah terdiri atas Usaha Pelayanan Kredit Desa (UPKD) dana APBD dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dana APBN. Lembaga kredit yang sudah lama terbentuk adalah lembaga informal, lembaga ini tidak dibangun oleh pemerintah tetapi berdiri sendiri sejalan dengan tumbuhnya permintaan dari petani. Yang dijadikan pertimbangan dalam pemberian kredit lembaga ini adalah aspek kepercayaan, kredit diberikan kepada para petani yang 45
dipercaya melakukan pembayaran cukup lancar. Suku bunga lembaga informal sangat tinggi, yaitu Bank kelililing (80%), pedagang hasil dan pelepas uang (60%) dan kios saprotan serta penggilingan padi (24%) per tahun. Karakteristik skim kredit terdiri atas nilai plafond, jenis agunan, bentuk kredit, lama pinjaman, tingkat suku bunga dan bentuk serta cara pembayaran bahwa dalam pembiayaan usahatani, delapan puluh persen petani gurem disamping menggunakan modal sendiri (internal finance) juga melakukan pinjaman kredit (external finance). Mereka pada umumnya hanya akses kepada lembaga‐lembaga kredit informal dan kredit program sedangkan lembaga kredit formal yang diakses hanya lembaga pegadaian. Sumber kredit pertanian yang banyak diakses petani kecil berturut‐turut adalah pedagang saprotan (20%), penggilingan padi (20%), UPKD (16%), KKP (8%), pedagang hasil pertanian (8%), pelepas uang (4%) dan pegadaian (4%). Lembaga kredit formal umumnya menyediakan dana dengan suku bunga rendah, yaitu BRI Unit Desa dan BPR masing‐masing 24 persen dan 36 persen per tahun. Namun demikian, petani kecil tidak bisa akses dikarenakan beberapa kendala: (a) petani tidak memiliki agunan sertifikat tanah, (b) pembayaran secara bulanan tidak sesuai dengan usahatani padi yang memberikan siklus produksi musiman dan (c) petani kecil umumnya belum familier dengan prosedur administrasi yang rumit. Sekarang ini, lembaga formal hanya dimanfaatkan oleh kelompok petani kaya seperti pemilik penggilingan padi, pedagang input produksi dan pelaku bisinis lainnya. Sebaliknya, petani kecil hanya akses kepada lembaga kredit informal karena tidak mensyaratkan agunan dan prosedur perolehan sangat mudah, meskipun lembaga ini menetapkan suku bunga yang tinggi antara 24 sampai 80 persen per tahun.
3.3 Nelayan Perikanan, seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati‐hati (Fauzi, 2005). Kekayaan alam laut Indonesia sangat beragam dan tersebar pada sebagian besar lautan nusantara dan tiap wilayah dengan berbagai macam potensinya, terdiri atas berbagai jenis hasil laut seperti: ikan, cumi, lobster, udang, kepiting, penyu, rumput 46
laut, siput, mutiara, lola, teripang, dan hasil ikutan lainnya, semuanya itu bila dikelolah dan dimanfaatkan secara optimal dengan mempertimbangkan aspek kelestarian maka dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pesisir dan nelayan. Namun sejauh ini aspek pengelolaan sumber daya perikanan belum berjalan efektif dan terkontrol. Nelayan umumnya berusaha untuk memperoleh hasil tangkapan sebanyak‐banyaknya tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan. Karena sifatnya yang open access maka sumber daya perikanan dapat diakses oleh masyarakat umum secara bebas tanpa batas waktu dan aturan yang jelas, sehingga sebagai nelayan lokal yang mempunyai peralatan tangkap secara tradisional, tetap kalah bersaing dalam memperoleh hasil tangkapan ikan dengan nelayan luar yang memiliki sarana prasarana penangkapan modern. Penangkapan dengan kapal modern tersebut dapat mengakibatkan terjadinya over fishing yang berdampak terhadap kemerosotan stok sumber daya perikanan, serta dapat berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Dengan demikian maka dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap yang tersedia perlu mempertimbangkan aspek keseimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi, sehingga sumber daya perikanan tetap lestari. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang mengontrol penggunaan sumberdaya sehingga terhindar dari kelangkaan sumberdaya dan kerusakan ekosistim laut yang dapat berakibat terhadap kutukan sumber daya alam, yakni suatu fenomena dimana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami pertumbuhan yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan penduduknya hidup dalam kemiskinan (Fauzi, 2005). Apabila sumberdaya alam tidak dikelola secara berkelanjutan maka akan berdampak terhadap kelangkaan sumberdaya dan lambat laun akan berdampak terhadap penurunan tingkat kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yang mengarah kepada tingkat kemiskinan masyarakat. Hal ini disebabkan karena sumber daya alam sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok setiap orang. Fauzi (2005), mengatakan bahwa permasalahan kemiskinan nelayan lebih disebabkan karena kurang tepatnya kebijakan yang diarahkan pada peningkatan pendapatan yang merupakan turunan dari kurangnya pemahaman masalah kemiskinan itu sendiri. Sumber daya ikan memiliki karakteristik unik yang harus dipahami secara benar sehingga tidak menghasilkan pemahaman mengenai kemiskinan yang keliru (misleading), yang pada akhirnya melahirkan strategi pengentasan kemiskinan yang keliru pula. 47
Sesungguhnya, ada dua hal utama yang terkandung dalam kemiskinan, yaitu kerentanan dan ketidak berdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan yang mendesak (Sutrisno, 1995 dalam Subri, 2007). Selain faktor struktural, yaitu keterbatasan dalam mengakses sistem sumber kesejahteraan sosial, kemiskinan para nelayan juga dipengaruhi oleh faktor alam. Pemasangan rumpon oleh nelayan besar di Pelabuhan Ratu ditambah dengan kondisi cuaca (sejak bulan September), merupakan permasalahan yang selalu dihadapi nelayan. Banyak nelayan dan buruh nelayan tidak melaut, karena hasil tangkapan ikan seringkali tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, terutama untuk BBM. Dalam kondisi paceklik ini, para buruh nelayan menggantungkan bantuan dari orang lain guna memenuhi kebutuhan keluarga sehari‐hari. Selain kedua faktor tersebut, faktor ketiga adalah faktor kultural, yang ditandai dengan perilaku konsumtif (boros), persepsi bantuan sebagai hibah, masih percaya mistik, kesadaran lingkungan rendah, keterampilan untuk pengembangan potensi rendah dan waktu luang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan produktif di kalangan pemuda (nonton tv, rekreatif). Kemudian berkaitan dengan aspek ekonomi, pada umumnya penduduk terjerat bank keliling/renternir, nilai jual ikan ditentukan oleh tengkulak, dan perahu tradisional dengan daya tampung dan jelajah terbatas. Permasalahan tersebut berakumulasi dari waktu ke waktu, dan para nelayan pada umumnya tidak mampu mengatasinya. Maka dari itu, mereka terus menerus berada dalam lingkaran kemiskinan. Menurut Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumbersumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor‐faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya tingkat kesehatan serta alasan‐alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.
48
Menurut Kusnadi (2000), faktor‐faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu: 1.
2.
Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim ikan nelayan akan menghadapi kesulitan‐kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari‐hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta terbatasnya peluang‐peluang kerja yang bisa di akses oleh rumah tangga nelayan. Kondisi‐kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan rumahtangga nelayan ke dalam jebakan kekurangan.
Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu‐satunya jalan keluar untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa menang dalam tawarmenawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup sehari‐hari yang tak kunjung usai.
3.4 Analisis Sebab-Sebab Kemiskinan Wilayah Perkotaan Seperti yang disebutkan pada bagian‐bagian sebelumnya, persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat miskin perkotaan merupakan persoalan yang bersifat multidimensional. Multidimensionalitas penanganan kemiskinan di 49
perkotaan, khususnya terkait dengan pekerja sektor informal di permukiman kumuh, melibatkan banyak unsur pemangku kepentingan. Misalnya, jumlah peran unsur‐unsur kewenangan kekuasaan pemerintahan yang terlibat dalam program pengurangan kemiskinan di perkotaan, antara lain adalah: 1. Kementerian Kesehatan bertugas menyediakan pelayanan kesehatan dan promosi skema asuransi mikro, 2. Kementerian Keuangan yang berperan memonitor dan meregulasi skema‐ skema kebijakan keuangan mikro, 3. Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat berperan mendorong upaya pemberdayaan kelompok‐kelompok miskin melalui kebijakan pengurangan kemiskinan tingkat nasional 4. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berperan mempromosikan dan mendukung pengembangan koperasi‐koperasi atau badan‐badan keswadayaan ekonomi masyarakat, 5. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 6. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas secara umum berperan mengkordinasikan aktivitas‐aktivitas pengurangan kemiskinan tingkat nasional dan internasional untuk meningkatkan peluang‐ peluang ekonomi informal, 7. Kementerian Pekerjaan Umum yang berperan untuk mengembangkan pembangunan infrastruktur untuk mendukung komunitas lokal, 8. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan yang berperan meningkatkan kualitas output dari kewirausahaan sektor informal, 9. Kementerian Pertanian berperan mendukung peningkatan teknik‐teknik pertanian dan infrastruktur pertanian, 10. Kementerian Sosial mengambil peran sebagai pengembang program untuk membantu kelompok masyarakat miskin menuju keswadayaan, 11. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menangani promosi dan dukungan atas penciptaan lapangan kerja dan penerapan standar perburuhan dalam ekonomi informal, 12. Pemerintah daerah mempunyai peran untuk menata program‐program untuk sektor informal. 13. Pemerintah provinsi mengedepankan peran untuk menata program‐ program pengurangan kemiskinan tingkat nasional dan lokal atas nama Kementerian Dalam Negeri. Program pengurangan kemiskinan menampakkan hasil yang cukup baik jika melihat angka penurunan kemiskinan nasional dari 10,3% pada tahun 2005 menjadi sekitar 6,32% pada tahun 2012. Banyaknya unsur kewenangan kekuasaan pemerintah yang terlibat ternyata belum serta merta menurunkan tingkat kemiskinan pekerja sektor 50
informal di permukiman kumuh dengan cepat. Hal itu dapat diketahui dari data bahwa pada periode tahun 2008‐2009 program pengurangan kemiskinan secara umum telah mengentaskan 2,5 juta penduduk dari kemiskinan. Namun pada periode tahun 2009‐2012 penduduk miskin yang berhasil dientaskan berjumlah sekitar 1 hinga 1,5 juta jiwa. Artinya, penurunan kemiskinan melambat sebesar 0,84% di tahun 2011 menjadi 0,53% di tahun 2012 (Bappenas, 2012). Indikasi perlambatan tersebut nampak dari data BPS bahwa selama kurun Maret 2011‐ Maret 2012, garis kemiskinan meningkat sebesar 6,4%, dari Rp 233,7 ribu/kapita/bulan menjadi Rp 248,7 ribu/kapita/bulan (naik Rp 8.290/kapita/hari) sebagai akibat inflasi pada masyarakat miskin mencapai 6,52%, dibanding inflasi nasional 4,5% dimana 73,5% pengeluaran masyarakat miskin untuk makanan. Berkaca dari perspektif Amartya Sen, salah satu faktor penting mengapa masyarakat miskin, baik di desa maupun di kota, sulit untuk bergerak dari kondisi kemiskinannya adalah karena faktor hubungan‐hubungan kekuasaan yang melingkupi mereka. Pada tingkat kekuasaan mikro keseharian, kaum migran perdesaan yang pergi ke kota dan mengalami kondisi kemiskinan dan berpendidikan rendah merupakan kelompok yang paling menderita hak‐hak politiknya. Lea Jellinek (Jellinek, 1991)4 menggambarkan kondisi lemahnya posisi struktural mereka dalam kehidupan mikro,”tidak ada organisasi sosial dan politik di dalam komunitas yang memungkinkan para penghuninya untuk berjuang bersama menolak penggusuran”. Dalam suasana politik di Indonesia yang paternalistik, bahkan ketika anggota‐ anggota kelompok miskin terlibat menjadi anggota sebuah partai politik atau organisasi massa, organisasi‐organisasi tersebut berjuang meraih keuntungan politiknya daripada berjuang mencari jalan dan cara untuk mengurangi berkembangnya kemiskinan di daerah para anggotanya berada. Sementara kelompok pekerja sektor informal di permukiman kumuh perkotaan berupaya untuk mengikuti laju ritme pertumbuhan ekonomi kota, keterampilan mereka terbatas pada tradisi yang mereka pelajari dari generasi sebelumnya di desa asal. Satu‐satunya peluang untuk bertahan di kehidupan lingkungan perkotaan adalah dengan menjual tenaganya secara aktif dalam bisnis‐bisnis kaki‐lima atau pedagang asongan di sektor ekonomi informal, sektor yang tidak memerlukan formalitas legal. Untuk mengakses sebuah ruang bagi tipe aktivitas bisnis demikian tidak terlalu sulit bagi mereka. Mereka akan mendatangi pelanggan pada lokasi‐ lokasi strategis, yakni ruang publik, dengan membuka kios statis atau bergerak. Ketika mereka berupaya untuk mengakses secara ilegal ruang publik pertama‐tama mereka harus berhadapan dengan preman yang mengendalikan wilayah tersebut 4
Jellinek, L., The Wheel of Fortune. The History of a Poor Community of Jakarta, Sydney, London Wellington, Boston: Allen and Unwin, in association with Asian Studies Association of Australia, 1991.
51
guna mengamankan lokasi untuk berjualan. Aktivitas transaksional yang merupakan bentuk hubungan kekuasaan feodal patron‐klien antara preman dengan pedagang. Selanjutnya, selain dengan preman, para pekerja sektor informal di perkotaan juga bertemu dengan aktor kekuasaan lainnya yakni pejabat pemerintahan lokal korup, yang juga sebenarnya sama‐sama miskin seperti misalnya petugas Satpol PP, petugas dari kelurahan, dan petugas dari kecamatan. Baik preman maupun pejabat pemerintahan lokal korup mengumpulkan pajak tidak resmi dari para pekerja sektor informal yang menduduki suatu ruang publik, seperti trotoar jalan. Akan tetapi, jaminan keamanan dari preman dan pejabat pemerintahan lokal korup segera hilang ketika pemerintah daerah tiba‐tiba menerapkan langkah‐langkah untuk membersihkan wilayah tersebut dari aktivitas perdagangan kecil‐kecilan. Para pekerja sektor informal itu serta merta menjadi tidak berdaya. Apa yang dipaparkan di atas merupakan gambaran persoalan yang berada di seputar kelompok masyarakat miskin pekerja sektor informal di perkotaan. Menjadi orang miskin (ability to be the poor) bahkan tidak cukup karena mereka juga harus bekerja lebih keras menanggung beban menjadi sasaran pemerasan oleh preman dan pejabat pemerintahan lokal yang korup. Angkatan kerja yang termasuk jenis kategori pekerja informal lain yang menciptakan pekerjaan sendiri adalah pekerja jasa pemulung. Pemulung merupakan mata rantai pertama dari industri daur ulang. Peran pemulung sampah di perkotaan seharusnya sejalan antara kebutuhan pekerjaan dengan mengelola sampah baik di TPA maupun di pelosok kota. Setidaknya dari 352 unit TPA di Indonesia diperkirakan terdapat 1.256.804 orang yang setiap hari bekerja mengais dan memilah sampah di berbagai TPA tersebut. Namun tidak ada kebijakan yang melindungi para pekerja informal yang merupakan inisiatif tersendiri ini terpisah dari petugas kebersihan kota dari dinas Pekerjaan Umum. Sebagai contoh, meski Wagub DKI Jakarta berencana merekrut atau mempekerjakan pemulung untuk membersihakan kota jakarta dari sampah dengan menggaji 2 juta rupiah perbulan. Namun rencana tersebut belum sejalan dengan PP No. 81 Tahun 2012. PP tersebut lebih banyak mengatur tentang manajemen pengelolaan sampah dan pemeliharaan lingkungan namun belum memposisikan keberadaan pemulung sebagai salah satu garda depan kebersihan kota. Nasib para pemulung belum diperhatikan secara khusus seperti bagaimana memberikan bantuan mesin atau teknologi dalam mendaur ulang sampah yang sudah dikelola oleh kelompok pemulung selama ini sebagai sentra produksi/industri. Artinya, kebijakan penguasa masih mengabaikan peran pemulung yang selama ini telah mengolah sampah untuk di daur ulang. Pada tingkat makro, hubungan kekuasaan yang timpang nampak dari adanya kebijakan pemerintah lainnya yang mempengaruhi kebijakan dalam 52
penanggulangan kemiskinan. Pengurangan kemiskinan melalui program peningkatan permukiman akan terkendala dengan kondisi bahwa lahan‐lahan di banyak kota‐kota besar telah beralih fungsi menjadi ruang komersial hipermodern. Misalnya, dalam RTRW Jakarta tahun 2010, alokasi lahan untuk permukiman seluas 37,21% dari luas jakarta atau 5.477,68 ha. Namun sejak 2001 hingga kini telah terjadi pengurangan lahan permukiman sebesar 17.997,41 ha. Apabila diasumsikan maka yang dibongkar adalah kawasan permukiman kumuh yang memiliki kepadatan rata‐rata 300 orang/ha, maka yang tergusur sekitar 5,4 juta orang dari masyarakat miskin kota Jakarta (Kumurur, 2010:109‐110). Selain itu hanya dalam waktu lima tahun (2000‐2005), ruang komersial hipermodern meledak menjadi tiga kali lipat. Dengan jumlah sekitar 130 supermalls (173 jika ditambahkan kota‐kota satelit sekitarnya), Jakarta mungkin menjadi kota dengan jumlah pusat perbelanjaan modern terbanyak di dunia (The Jakarta Post, 25 August 2009, hlm. 18). Dari sekitar 10.000‐12.000 rumah yang dibangun di Jakarta setiap tahun, terdapat 4.000‐4.500 rumah mewah yang berdiri dengan menyalahi aturan atau tanpa izin (KOMPAS, 2 September 2009, hal. 26). Kebijakan lain yang merefleksikan hubungan kekuasaan yang asimetris sehingga dapat mempengaruhi pengurangan kemiskinan di perkotaan diantaranya adalah Undang‐undang No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Undang‐undang ini banyak ditolak oleh publik karena isinya tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Dimana kedua aturan tersebut menjadi instrumen legal untuk melakukan penggusuran tanah‐tanah rakyat, serta tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat korban (ELSAM 2011:7) Menurut data YLBHI, ketika Perpres No. 65 Tahun 2006 diberlakukan oleh pemerintah terjadi lonjakan angka korban penggusuran di kawasan perkotaan. Sepanjang tahun 2006, jumlah korban penggusuran sebanyak 1.883 KK, sedangkan pada tahun 2007 menjadi 5.935 KK (YLBHI, 9 Agustus 2010).5 Sementara jika melihat data pengaduan di Komnas tercatat 819 kasus sengketa tanah yang diadukan sepanjang tahun 2010. Sementara berdasarkan laporan pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM selama periode September 2007 hingga September 2008, pengaduan pelanggaran hak atas tanah menempati peringkat kedua dengan jumlah 692 kasus. Peringkat pertama adalah hak memperoleh keadilan sebanyak 1.374
5
http://www.bantuanhukum.or.id/index.php/id/wilayah‐kerja/jakarta/advokasi‐kasus‐dan‐ kebijakan/338‐politik‐penggusuran‐di‐jakarta‐laporan‐lbh‐jakarta‐mengenai‐peta‐rencana‐ penggusuran‐di‐jakarta‐tahun‐2008
53
kasus (KOMPAS, 27 Juli 2011).6 Tahun 2011, dalam klasifikasi pengaduan ke Komnas HAM, kasus sengketa lahan menduduki posisi yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah ketika itu turut memperumit persoalan pengurangan kemiskinan di perkotaan. Persoalan ketimpangan hubungan kekuasaan struktural lainnya terhadap masyarakat miskin di perkotaan yaitu berkenaan dengan masalah perekonomian nasional yang sudah semakin terbuka dengan adanya pembentukan blok‐blok ekonomi regional seperti AFTA, CAFTA, APEC serta sejenisnya. Disamping itu beberapa regulasi perjanjian internasional seperti GATT dan WTO menjadikan segi‐ segi kebutuhan pokok bagi daur hidup manusia yang bermartabat diperlakukan sebagai pasar barang konsumsi. B. Herry‐Priyono menelisik bahwa cara untuk melakukan akumulasi yang lebih besar oleh segelintir orang adalah dengan mengkolonisasi secara ekspansif semua aspek kehidupan oleh logika pasar (KOMPAS, 16 Desember 2005)7. Skema perjanjian dan blok‐blok ekonomi tersebut di atas menjadi masalah serius karena berimplikasi pada makin terbatasnya akses pada perumahan, pekerjaan, makanan, air, kesehatan, lingkungan hidup yang layak, masuk ke dalam logika pasar. Perumahan, pekerjaan, pendidikan, makanan, kesehatan, air, dan lingkungan hidup itu bukan lagi hak asasi, padahal karena dasar itulah maka dinamakan hak asasi, tetapi tergantung kepada kemampuan daya beli—punya uang atau tidak. Hak asasi itu berarti bahwa punya uang atau tidak, maka manusia tetap berhak memperoleh makanan dan minuman. Kolonisasi perjanjian dan blok‐blok regional yang berdampak atas peri kehidupan penduduk miskin adalah dengan membuat perekonomian domestik kian rentan, termasuk juga sistem perekonomian di perkotaan yang mendera masyarakat kota. Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap masalah tersebut yaitu terjadinya peningkatan harga‐harga berbagai komoditas khususnya di perkotaan hingga tak terjangkau oleh daya beli masyarakat miskin di perkotaan yang nampak dari indikasi data perlambatan pengurangan kemiskinan di atas. Peningkatan harga‐ harga barang kebutuhan pokok terhadap peri masyarakat miskin kota dan buruh akan sulit diimbangi oleh upah dan kondisi status pekerjaan yang rentan dalam bentuk informalisasi (pasar) tenaga kerja. Informalisasi (pasar) tenaga kerja tersebut dapat terlihat dari penerapan mekanisme fleksibilitas pasar tenaga kerja dan politik upah murah. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebut‐sebut sebagai salah satu penghambat 6
http://nasional.kompas.com/read/2011/07/27/0258241/Segera.Audit.Penggunaan.dan.Penguasaan. Lahan 7 http://www.kompas.com/kompas‐cetak/0512/15/opini/2290496.htm
54
penanaman investasi asing maupun domestik di Indonesia. Bagi pemerintah, tentunya hambatan penanaman investasi juga merupakan salah satu penghambat suksesnya proyek MP3EI. Untuk itu, pemerintah berencana untuk merevisi UU Ketenagakerjaan, khususnya terkait pesangon, alih daya (outsourcing) dan pola kontrak kerja antara perusahaan dan pekerja (Jurnas.com, 26 Juli 2011)8. Bagi kalangan pengusaha, UU Ketenagakerjaan saat ini dianggap sangat “overprotected” (Neraca.com, 12 Oktober 2011)9 sehingga tidak membuat nyaman para pemilik modal untuk menanamkan investasinya di Indonesia. UU Ketenagakerjaan ini sendiri sebenarnya juga sangat merugikan buruh, karena melegalkan sistem kerja kontrak dan alih daya guna memenuhi prinsip pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem pasar tenaga kerja menjadi bagian dari Letter of Intent (LOI) antara IMF dan pemerintah Indonesia pada tahun 2003, khususnya pasal 4210. Pada gilirannya, dampak dari penerapan sistem kerja kontrak dan alih daya turut berkontribusi terhadap penurunan kesejahteraan buruh dan menghilangkan jaminan kepastian serta keberlangsungan kerja. Hal ini dimungkinkan karena sistem kerja kontrak dan alih daya telah membatasi masa kerja seseorang menjadi sangat pendek melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun. Dampaknya, hanya sekitar 35% pekerja yang berstatus pekerja tetap. Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh, karena dengan sistem kerja kontrak dan alih daya maka upah buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan upah riil di atas laju inflasi, dan berbagai tunjangan yang biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak akan pernah diberikan kepada buruh kontrak dan alih daya.
Sebenarnya kebijakan mengenai perburuhan dan upah bukanlah merupakan faktor penghambat paling besar untuk menarik pemilik modal menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam laporan World Economic Forum (WEF) untuk tahun 2011‐2012 disebutkan bahwa faktor tertinggi di Indonesia yang menyebabkan daya saing Indonesia turun adalah korupsi (Global Competitiveness Report 2011‐2012 : 206)11. Sementara pembatasan terhadap peraturan perburuhan hanya menempati urutan ke 12. Artinya, klaim bahwa peraturan perburuhan adalah faktor terbesar yang menghambat penanaman modal di Indonesia merupakan pernyataan yang tidak tepat.
8
http://www.jurnas.com/news/35448/UU_Tenaga_Kerja_Hambat_MP3EI/1/Ekonomi/Ekonomi http://www.neraca.co.id/2011/10/12/uu‐ketenagakerjaan‐harus‐direvisi/ 10 Lihat Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding March 18, 2003. http://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm Bagian kebijakan Perburuhan pasal 42 11 http://www3.weforum.org/docs/WEF_GCR_Report_2011‐12.pdf 9
55
Selain menyangkut soal ketenagakerjaan, pengurangan kemiskinan di perkotaan juga terkait dengan akses terhadap lahan kota yang mengalami tekanan urbanisasi. Hubungan antara urbanisasi dan keberadaan penduduk miskin di perkotaan sudah sering dikemukakan dan dirujuk dengan istilah over‐urbanization atau urbanisasi berlebih (Sovani, 1969:322‐331)12. Istilah ini mengacu pada fakta bahwa di negara yang sedang berkembang ekonominya, urbanisasi bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi melainkan juga oleh dorongan penduduk dari desa untuk turut mengakses berbagai kemudahan serta pelayanan publik di kota seperti penerangan, jalan raya, kesehatan, pendidikan dan sebagainya; jasa pelayanan publik yang lebih baik daripada tempat asal kaum migran. Namun ditengah pertumbuhan perekonomian Indonesia yang saat ini berkisar 6%‐6,5%, laju urbanisasi yang terjadi melebihi kapasitas daya dukung lahan kota. Pertumbuhan dan kemajuan ekonomi yang dialami oleh kota‐kota di Indonesia saat ini ditandai oleh tingginya permintaan akan lahan kota. Selain itu, secara simbolik masyarakat berpenghasilan menengah ke atas merasa memperlihatkan pencapaian mereka atas kemajuan ekonomi dengan menjadikan tanah sebagai simbol status. Namun tanah sebagai sebagai simbol status tidak berhenti hanya sebagai ‘benda pajangan’ melainkan ditransformasi untuk menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu investasi yang dilakukan oleh kelas‐kelas sosial menengah atas di perkotaan adalah dengan menanamkannya kembali pada sektor properti. Transformasi dari simbol status menjadi investasi misalnya dapat dilihat dari kenyataan makin berkembangnya kota‐kota baru, dimana tidak kurang dari 7 (tujuh) kotabaru berskala besar telah terbangun di Jabodetabek sejak tahun 1980‐an (Gani, 2010). Berdasarkan data yang dihimpun oleh REI, ketujuh kotabaru dimaksud adalah : Bumi Serpong Damai (“Kota Mandiri”, mulai dibangun 1989 dengan luas 6000 ha); Lippo Cikarang (“Kota Baru Industri, 1989, 3000 ha); Jababeka (“Kota Industri”, 1989, 5600 ha), Lippo Karawaci (“Q‐city CBD”, 1990, 1235 ha), Alam Sutra (“Lifestyle Community”, 1990, 865 ha), Sentul City (“Innovation City”, 1994, 3100 ha) dan Kota Wisata Cibubur (“Wisata Dunia, 1996, 1000 ha). Penanaman modal investasi pada sektor properti sebenarnya merefleksikan adanya keterbatasan peluang‐peluang alternatif untuk berinvestasi pada sektor‐sektor ekonomi lain. Dorongan untuk melakukan investasi pada ruang‐ruang tanah di perkotaan kemudian turut mempengaruhi beragam persoalan yang timbul di seputar kepemilikan dan pengelolaan lahan‐lahan di kota. Jadi masalah akan kebutuhan tanah yang meningkat bukan hanya karena adanya pertumbuhan penduduk kota dan migrasi dari desa tetapi juga dilahirkan dari keterbatasan 12
Sovani, NV. The Analysis of ‘Over‐Urbanization’, dalam G. Breese (ed). The City in Newly Developing Countries, New Jersey, Prentice‐Hall, 1969, hal.322‐331
56
peluang investasi para penduduk kelas yang berasal dari sosial menengah atas di perkotaan. Misalnya, ketika pendapatan masyarakat kelas menengah perkotaan meningkat karena kesempatan kerja makin luas dan mereka ingin mendapatkan perumahan yang lebih baik, ternyata tanah‐tanah di daerah pinggir kota telah diborong oleh spekulan tanah dan harga tanah pun meroket. Pandangan tersebut sebagian turut menjelaskan mengapa harga‐harga tanah membumbung dan spekulasi tanah begitu marak terjadi pada saat angka pertumbuhan ekonomi sedang meningkat dan pengembangan suatu kota dilaksanakan. Kajian‐kajian tentang pasar lahan kota oleh para ekonom dapat digunakan untuk menjajaki seberapa besar tekanan persoalan lahan kota tersebut terjadi. Sebagai contoh, ketika pertumbuhan ekonomi nasional yang terus membaik dan permintaan masyarakat yang semakin besar, membuat para pengembang properti semakin gencar memanfaatkan peluang pasar yang belakangan ini kian terbuka lebar. Pada tahun 2011 hingga 2012 kebutuhan perumahan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tajam hingga mencapai angka 1 juta unit rumah per tahunnya. Angka permintaan konsumen kelas atas didominasi oleh sektor perhotelan, apartemen, perkantoran, ruko/rumah toko, serta rukan/rumah kantor juga mengalami lonjakan cukup tinggi (Mediadata, Profil Perusahaan Property 2012)13. Perkembangan bisnis properti komersial hingga triwulan II 2012 tetap menjanjikan, terlihat dari tingginya pasokan gedung‐gedung perkantoran dan apartemen, serta kenaikan harga sewa dan jual yang mencapai 30 persen. Berdasarkan data Bank Indonesia, perkembangan properti komersial kuartal III tahun 2012 tercatat bahwa jumlah pasokan perkantoran dengan sistem sewa dan jual di wilayah Jakarta meningkat masing‐masing 57.000 m2. Kenaikan tingkat hunian perkantoran sewa/leased office sebanyak 98,0% dengan tarif sewa Rp 180.105/m2/bulan. Sedangkan untuk perkantoran jual, membukukan kenaikan 96,3% dengan harga jual Rp 21,8 juta/m2. Prospek bisnis properti yang cerah tak hanya terjadi pada bisnis gedung perkantoran, namun juga apartemen/condominium. Di sektor bisnis ritel, pasokan lahan baru pusat belanja di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) diprediksi mencapai 870.505 m2 hingga 2015. Pada 2013, pasokan ritel diprediksikan tumbuh dengan tambahan sekitar 220.000 m2. Sedangkan di wilayah penyangga Jakarta akan ada tambahan sebanyak 190.000 m2. Dan, sepanjang kuartal III‐ 2012, total pasokan baru sudah mencapai 164.981 m2 (Colliers Internasional, 2012:2) 14.
13
http://mediadata.co.id/MCS‐Indonesia‐Edition/profil‐perusahaan‐properti‐di‐indonesia‐2012.html Colliers International, Research and Forecast Report: Jakarta Real Estate, 2012,hal.2. Sumber : http://www.colliers.com/en‐ GB/Indonesia/~/media/Files/APAC/Indonesia/PDF/ColliersMarketReport1Q2012.ashx
14
57
Besarnya luas lahan yang ditawarkan dan tingginya harga tanah perkotaan dan daerah sekitarnya yang menghambat program perumahan murah bagi penduduk miskin kota mengindikasikan bahwa spekulasi tanah yang diuraikan di atas secara pararel terjadi justru pada saat pertumbuhan PDB tinggi, tidak meratanya distribusi pendapatan di perkotaan, dan akumulasi kekayaan yang kian terkonsentrasi pada sekumpulan kalangan atas di kota yang menguasai perusahaan‐perusahaan besar properti. Di satu sisi, spekulasi tanah memacu tercerai berainya komunitas desa pinggiran kota. Di sisi lain, kondisi semacam itu menghalangi sebagian besar penduduk kota untuk memiliki hunian di kota (dalam konteks tidak adanya bantuan perumahan dari pemerintah). Para calon pemilik rumah turun kemampuan keuangannya dan menjadi sekedar penyewa. Lambatnya investasi pada sektor sekunder industri pengolahan karena rendahnya tingkat daya saing (Negara et.al, 2010)16, bergesernya investasi kepada sektor tersier yang dikuasai oleh modal asing (M. Soekarni, Agus Syarip H, dan Joko Suryanto, 2010 : 9)17 maka investasi pada tanah di kota atau daerah‐daerah penyangga di sekitarnya selalu menjadi cara yang paling aman dalam situasi politik yang tidak stabil. Orang bisa meraup keuntungan meski hanya mempunyai keterampilan minimal dalam manajemen dan bisnis. Pada gilirannya, kondisi tersebut juga turut mempengaruhi pola transaksi spekulasi tanah yang meningkat menjadi bersifat ‘institusional’ yaitu antara sesama spekulan daripada bersifat ‘terminal’ antara spekulan dengan pembeli akhir. Pola transaksi tersebut akhirnya menjadi faktor yang turut menyulitkan pemerintah dalam menyediakan perumahan murah bagi penduduk miskin perkotaan di Indonesia. Institusionalisasi spekulasi tanah telah mengurangi kemampuan migran kota dalam membeli tanah untuk tempat tinggal karena wilayah‐wilayah perkotaan yang ada cenderung lebih sebagai obyek spekulasi tanah ketimbang untuk perluasan dan pembangunan kota. Hal ini mengakibatkan antara lain tingginya tingkat kepadatan penduduk dan tidak meratanya penyebaran penduduk di perkotaan sehingga terjadi kesesakan. Spekulasi tanah yang meningkat dan tingginya harga tanah berakibat pada semakin banyaknya daerah permukiman padat yang kumuh, baik legal maupun liar.
16
Negara, S.D., Carunia, M.F. & L, Adam, The Development of Foreign Direct Investment and Its Impact on Firm's Productivity, Employment and Exports Indonesia. Proceeding International Conference on Foreign Direct Investment in East Asia : Issue, Strategies, and Prospects, Bangkok, September 2010 17 M. Soekarni, Agus Syarip H, dan joko Suryanto, Peta Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia, Jakarta, LIPI, 2009
58
Secara sosiologis, eksistensi permukiman kumuh yang mengiringi suatu proses urbanisasi dan perkembangan kota juga memperlihatkan bahwa norma‐norma kepemilikan lahan di perkotaan dan daerah‐daerah sekitarnya telah runtuh. Banyaknya kasus sertifikat ganda kepemilikan tanah dan tumpang tindihnya penggunaan lahan selain merupakan masalah hukum perdata kepemilikan dapat dibaca sebagai simptom keruntuhan norma‐norma tersebut. Maka dari itu upaya pengurangan kemiskinan dari segi penyediaan lahan rumah murah di perkotaan tanpa memahami struktur kepemilikan lahan kota sebagai implikasi dari urbanisasi dapat melahirkan salah kaprah dalam memandang kemiskinan di perkotaan.
3.5 Analisis Hubungan antara Daya Dukung Sumber Daya Alam dan Lingkungan dengan Kemiskinan Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan lingkungan. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya alam dan menurunnya mutu lingkungan hidup, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penunjang kehidupan sehari‐hari. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan. Masyarakat miskin seringkali terpinggirkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini terjadi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh perusahaan besar dan peralihan hutan menjadi kawasan lindung. Sekitar 30% dari hutan produksi tetap hanya dikelola oleh sekelompok perusahaan dan cenderung mengabaikan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam hutan. Pada tahun 2002, Indonesia memiliki kawasan lindung seluas 50,68 juta ha yang meliputi hutan lindung (32,34 juta ha) dan 371 unit kawasan konservasi daratan (18,34 juta ha), 35 unit kawasan konservasi laut seluas 4,72 juta ha mencakup jenis cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman nasional. Pengelolaan kawasan lindung tanpa mempertimbangkan kehidupan masyarakat yang tinggal akan menjauhkan akses masyarakat terhadap sumberdaya dan menghambat tercapainya pembangunan berkelanjutan. Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya dan hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat miskin akibat penurunan mutu lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah pertambangan. Berdasarkan statistik kehutanan, luas hutan 59
Indonesia telah menyusut dari 130,1 juta ha (67,7% dari luas daratan) pada tahun 1993 menjadi 123,4 juta ha (64,2% dari luas daratan) pada tahun 2001. Penyusutan ini disebabkan oleh penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman. Sekitar 35% dari hutan produksi tetap seluas 35 juta ha juga rusak berat. Hutan yang dapat dikonversi kini tinggal 16,65 juta ha. Apabila dengan laju konversi tetap seperti saat ini maka dalam waktu 25 tahun areal hutan konversi akan habis. Saat ini laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta hektar per tahun. Dampak lanjutan dari kerusakan ini adalah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi. Selain itu, kerusakan hutan juga berdampak bagi masyarakat miskin dalam bentuk menyusutnya lahan yang menjadi sumber penghidupan, dan terjadinya erosi dan tanah longsor yang menyebabkan hilangnya tempat tinggal mereka.
60
BAB IV ANALISIS UPAYA PENGURANGAN KEMISKINAN PERIODE 2009-2012
4.1. Review keseluruhan kebijakan dan program yang ditujukan untuk Penanggulangan Kemiskinan Pemerintah saat ini memiliki berbagai program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil, yang dijalankan oleh berbagai elemen Pemerintah baik pusat maupun daerah. Untuk meningkatkan efektifitas upaya penanggulangan kemiskinan, Presiden telah mengeluarkan Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, yang bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga 8 % sampai 10 % pada akhir tahun 2014. Terdapat empat strategi dasar yang telah ditetapkan dalam melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan, yaitu: Menyempurnakan program perlindungan sosial; Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; Pemberdayaan masyarakat; dan Pembangunan yang inklusif. Terkait dengan strategi tersebut diatas, Pemerintah telah menetapkan instrumen penanggulangan kemiskinan yang dibagi berdasarkan empat klaster, yakni:
Klaster I - Program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga Instrumen ini bertujuan untuk mengurangi beban rumah tangga miskin melalui peningkatan akses terhadap kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi. Program‐program yang termasuk dalam klaster I ini antara lain: o Program Keluarga Harapan (PKH); o Bantuan Operasional Sekolah (BOS); o Bantuan Siswa Miskin (BSM); o Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS); 61
o Program Beras Untuk Masyarakat Miskin (RASKIN). Klaster II – Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Instrumen ini bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk ikut terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat. Instrumen yang termasuk dalam klaster ini adalah: o Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang meliputi: PNPM Mandiri Perdesaan PNPM Perdesaan R2PN (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias) PNPM Mandiri Agribisnis/SADI (Smallholder Agribusiness Development Initiative) PNPM Generasi Sehat Dan Cerdas PNPMLingkunganMandiriPerdesaan(PNPM‐ LMP) Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP) PNPM Mandiri Respek (Rencana Strategis Pengembangan Kampung) Bagi Masyarakat Papua PNPM Mandiri Perkotaan PNPM Mandiri Infrastruktur Perdesaan Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) Program Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) PNPM‐Mandiri Daerah Tertinggal Dan Khusus/ Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK) PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanann (PNPM Mandiri‐KP) PNPM‐Mandiri Pariwisata PNPM‐Mandiri Perumahan dan Permukiman (PNPM‐Mandiri Perkim) Klaster III – Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil. Instrumen ini bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Program‐program penanggulangan kemiskinan yang termasuk dalam klaster ini adalah termasuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Bersama (KUBE). Klaster IV – Program Pro-Rakyat. Selain tiga klaster yang dijelaskan diatas, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro‐Rakyat. Upaya peningkatan dan perluasan program pro‐rakyat (disebut juga Program Klaster IV) meliputi program‐program sebagai berikut: o Program Rumah Sangat Murah o Program Kendaraan Angkutan Umum Murah o Program Air Bersih Untuk Rakyat 62
o Program Listrik Murah dan Hemat o Program Peningkatan Kehidupan Nelayan o Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan. Selain program‐program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, juga terdapat banyak program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan atas dasar partisipasi dunia usaha baik itu oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun oleh Perusahaan Swasta Asing dan Nasional. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh BUMN umumnya termasuk dalam Program Kerja Bina Lingkungan (PKBL) sementara program‐program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Perusahaan Swasta Asing dan Nasional umumnya dilakukan melalui program‐program tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility. Dari sisi anggaran, pemerintah telah mendistribusikan anggaran pengentasan kemiskinan kepada 22 lembaga/kementerian. Pada 2012, anggaran pengentasan kemiskinan mencapai Rp 99,2 triliun. Hal ini mengalami kenaikan sebesar Rp 5,4 triliun dari tahun 2011 yang hanya Rp 93,8 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk merealisasikan target penurunan angka kemiskinan menjadi sebesar 11‐12 persen. Berikut adalah penggambaran belanja APBN tahun 2012 tentang alokasi program penanggulangan kemiskinan dalam APBN: Gambar 19.Belanja APBN 2012
63
Tabel 20: Alokasi BLM PNPM Mandiri 2007-2012 (dalam triliun rupiah)
Sumber: Kemenko Bidang Kesra
Tabel 21: Anggaran Kemiskinan dan Tingkat Kemiskinan
4.2. Analisis Kebijakan, Strategi dan Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan 2009-2014 Bagian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa efisien dan efektif program‐ program di keseluruhan kluster yang saat ini berjalan. Sejumlah masukan, kritisi dan perbaikan diperlukan dari berbagai pemangku kepentingan di seluruh Indonesia karena program penanggulangan kemiskinan adalah program nasional yang menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya Pemerintah semata. Ke depan, perbaikan bukan hanya pada sisi pelaksanaan, namun juga pada sisi perencanaan, pengawasan dan evaluasi, dengan melibatkan peran serta dari seluruh komponen masyarakat termasuk di dalamnya lembaga swadaya masyarakat, akademisi dan pihak swasta. 64
4.2.1 Analisis Kebijakan dan Prioritas Target Bidang Dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya, maka perlu dilakukan prioritas dalam penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan penjelasan di bagian sebelumnya, beberapa sektor yang seharusnya menjadi prioritas untuk diintervensi terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan adalah Sektor Pendidikan, Kesehatan, Ketahanan Pangan, Prasarana Dasar, dan Ketenagakerjaan. Sedangkan indikator yang digunakan adalah indikator utama pada setiap sektor tersebut yang terkait dengan kemiskinan. Aspek yang dianalisis meliputi posisi relatif capaian indikator; perkembangan capaian indikator; efektivitas (kebijakan secara kumulatif) untuk perbaikan capaian indikator; dan relevansi perubahan capaian indikator antar tingkat‐wilayah. 4.2.1.1 Kebijakan Pangan Kebijakan mengenai pangan sebagai hak asasi sebenarnya telah disadari oleh pemerintah lewat Undang Undang No.7 tahun 1996 tentang Perlindungan Pangan yang menyebutkan bahwa pangan yang aman dan bermutu merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Landasan hukum sistem ketahanan pangan tersebut didukung dengan berbagai kebijakan yang tertuang misalkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 368/KMK.01/1999 tentang penetapan tarif impor beras, Inpres No. 9 tahun 2001 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah, Kepres No. 132 tahun 2001 tentang Dewan Ketahanan Pangan, dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Berbagai peraturan perundangan tersebut mengatur tentang ketersediaan, distribusi dan harga, konsumsi, mutu, gizi, dan keamanan pangan, serta pencegahan dan penganggulangan masalah kerawanan pangan termasuk pemberian bantuan pangan bagi masyarakat miskin. Pemerintah juga meluncurkan program penganekaragaman pangan yang tertuang dalam dokumen Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2006‐2009 dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006‐2010 yang keduanya merupakan dokumen kebijakan dan program di bidang pangan dan gizi mutakhir (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Pada periode yang sama dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan untuk merumuskan kebijakan serta melaksanakan evaluasi dan pengendalian di bidang penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, juga pencegahan dan penanggulangan masalah pangan serta gizi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional.
65
Namun dalam pelaksanaannya, berbagai kebijakan tersebut belum mampu menjamin kondisi ketahanan pangan masyarakat. Bahkan beberapa kebijakan tersebut menimbulkan dampak negatif. Hal ini ditunjukkan misalkan Keputusan Menteri Keuangan No 368/KMK.01/1999 yang menetapkan tarif impor beras sebesar Rp. 430/kg, dan Inpres No. 9 tahun 2001 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah yang dimaksudkan untuk melindungi petani padi terutama pada saat panen raya, yang ternyata dalam kenyataannya telah menyebabkan adanya selisih harga dalam negeri dan harga luar negeri sehingga mendorong meningkatnya penyelundupan. Persoalan di atas juga tidak terlepas dari peran Bulog dalam mengendalikan persediaan, distribusi, dan harga pangan pokok termasuk beras. Dengan berlakunya PP No.7 tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum BULOG, maka Bulog bertindak seperti perusahaan yang memperhitungkan keuntungan dalam operasinya. Berbagai kelemahan pelaksanaan kebijakan tersebut disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum, pengawasan yang kurang efektif, dan berbagai penyimpangan. Kelemahan tersebut berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani sebagai penghasil pangan, masih tingginya ketergantungan bahan pangan beras, tingginya harga beras pada tingkat konsumen, serta masih maraknya penyelundupan beras. Melalui Kepmendagri dan Otda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Desa/Kelurahan, Depdagri berupaya mendorong proses pemberdayaan masyarakat agar kelembagaan ketahanan pangan asli dan lokal dalam bentuk lumbung pangan masyarakat dapat berkembang. Kemudian kebijakan tersebut disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang berupaya memodifikasi kelembagaan pangan lokal sejenis lumbung di setiap desa dalam bentuk Lembaga Cadangan Pangan Pemerintah Desa, atau semacam "bulog" tingkat desa. Namun sayangnya persoalan tidak semudah itu. Dari 19.000 Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD) yang terdaftar di Depdagri tahun 2002, saat ini yang aktif hanya tinggal 5.140 buah (Ayip Muflich, tanpa tahun : 110)18. 4.2.1.2 Kebijakan Kesehatan Mengenai upaya pemenuhan hak dasar terhadap pelayanan kesehatan telah dilakukan antara lain melalui pelaksanaan Instruksi Presiden tentang Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes) untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan sejak 18
Ayip Muflich,Masalah dan Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mendukung Ketahanan Pangan, tanpa tahun, hal.110, diakses dari pse.litbang.deptan.go.id/ind/.../Pros_AYIP_06.pdf
66
tahun 1970‐an. Akan tetapi penyebaran tenaga kesehatan masih terkonsentrasi di kota‐kota besar. Masalah tersebut makin bertambah ketika dilakukan penghapusan ketentuan Wajib Kerja Sarana pada tahun 2002 karena akhirnya daerah‐daerah yang terpencil kehilangan tenaga‐tenaga dokter, perawat, dan bidan. Ketimpangan penyebaran tenaga kesehatan diimbangi oleh pemerintah dengan mendorong pemberdayaan masyarakat miskin melalui promosi kesehatan dengan mengacu pada pasal 38 UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 guna meningkatkan keterlibatan masyarakat. Sayangnya, kegiatan tersebut masih cenderung bersifat satu arah atau instruktif sehingga kelangsungan bentuk‐bentuk partisipasi masyarakat mudah terganggu. Sebagai akibat krisis ekonomi jumlah pos pelayanan terpadu (Posyandu) terus menurun karena tingginya drop out kader (40%). Dalam hal pelayanan kesehatan, kebijakan pembebasan biaya kesehatan melalui ‘Kartu Sehat’ dilaksanakan sejak tahun 1993 kemudian diteruskan melalui program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS‐BK) guna menanggulangi efek krisis ekonomi 1997 dan dilanjutkan dengan PKPS‐BBM Bidang Kesehatan tahun 2003. Masalah yang dihadapi dalam mekanisme ini adalah ketidaktepatan dalam penentuan sasaran sehingga penduduk miskin yang berhak tidak mendapatkan pelayanan. Di samping itu, mekanisme penyaluran dana langsung ke rumah sakit tidak memberikan insentif bagi pemberi pelayanan untuk secara aktif meningkatkan mutu dan memperluas layanan ke kelompok miskin. Dengan diundangkannya Otonomi Daerah pada tahun 2001, pemerintah daerah sejak saat itu juga diminta berperan dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk menjamin terlaksananya pelayanan kesehatan dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimum Kesehatan (SPM) di kabupaten/kota. SPM terdiri dari 26 jenis pelayanan kesehatan yang wajib diselenggarakan daerah dan beberapa kegiatan lain sesuai dengan kondisi kesehatan daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah kabupaten/kota tidak menerapkan SPM meskipun telah dibuat kesepakatan pemerintah kabupaten/kota agar menyediakan anggaran sebesar 15% dari seluruh APBD. Saat ini langkah strategis ke depan yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak dasar atas layanan kesehatan adalah pusat pelayanan terpadu untuk kesehatan masyarakat termasuk kesehatan reproduksi, dan pengembangan mekanisme jaminan kesehatan yang memadai untuk melindungi masyarakat miskin dari goncangan akibat pengeluaran kesehatan. Upaya ini sesuai dengan Sistem
67
Kesehatan Nasional 2004, Kepmenkes 131 tahun 2004, dan Undang‐Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 4.2.1.3 Kebijakan Pendidikan Bidang pendidikan merupakan sasaran tidak langsung dari program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah. Tujuannya adalah agar masyarakat peserta didik dapat meningkatkan kemampuannya yang antara lain dapat digunakan untuk mencari nafkah. Hal ini disebabkan dengan fakta bahwa ketika penduduk miskin menjadi lebih terdidik, baik melalui pelatihan dan pembinaan, maka peluang mereka untuk bisa disalurkan menjadi tenaga kerja baik di sektor formal atau informal atau juga membuka usaha mikro kecil untuk mendapatkan pendapatan dan melanjutkan penghidupan mereka. Pada tahun 1994 mulai dilaksanakan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dengan tujuan agar setiap anak berusia 7‐15 tahun dapat menyelesaikan pendidikan minimal lulus jenjang sekolah menengah pertama atau yang sederajat. Langkah yang telah dilakukan adalah peningkatan sarana dan prasarana pendidikan secara lebih luas seperti melalui pembangunan unit sekolah, penambahan ruang kelas baru dan pelaksanaan pendidikan alternatif baik formal maupun nonformal seperti SMP/MTs Terbuka dan Kelompok Belajar Paket B setara SMP. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut telah meningkatkan jumlah gedung dan jumlah guru SLTP dan memberikan dampak bagi peningkatan angka partisipasi sekolah. Bagi masyarakat miskin di daerah perdesaan, mereka masih merasakan kurangnya layanan pendidikan tingkat lanjut setara SLTA/SMK. Hal ini menyiratkan pentingnya peningkatan layanan pendidikan menengah di daerah perdesaan. Kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan akses keluarga miskin terhadap pendidikan formal dilakukan melalui pendidikan nonformal dengan tujuan memperluas kesempatan pendidikan dan latihan bagi keluarga miskin. Sehingga diharapkan mereka dapat memiliki kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) yang dapat digunakan untuk mencari matapencaharian yang layak. Perluasan pendidikan nonformal dilakukan melalui program Paket A setara SD, Paket B setara SLTP, dan Paket C setara SLTA. Pendidikan nonformal lainnya adalah program pendidikan anak usia dini, pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan, pendidikan keluarga, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Berbagai upaya juga dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan. Namun, upaya tersebut belum memperoleh dukungan pemerintah secara memadai. Oleh sebab itu, pendidikan nonformal perlu dikembangkan dan disebarluaskan bagi anak dari keluarga miskin, dan adanya 68
perlindungan dan dukungan bagi pendidikan nonformal yang dilakukan oleh masyarakat. Kebijakan peningkatan efisiensi pendidikan ditempuh dengan perbaikan otonomi manajemen pendidikan melalui penerapan sistem manajemen berbasis sekolah (MBS) di setiap jenjang pendidikan. Dengan sistem MBS, semua komponen dalam sekolah, termasuk masyarakat mempunyai wewenang yang cukup besar dalam mengelola sekolah. Masyarakat diberi peluang yang besar untuk berpartisipasi dan dijamin dengan Keputusan Mendiknas No. 44/M/2001 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Penguatan tata kelola di tingkat satuan pendidikan dilakukan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang ditujukan untuk meningkatkan kemandirian, kemitraan, keterbukaan, akuntabilitas, dan peran serta masyarakat. Untuk meningkatkan standar dan kualitas tata kelola pendidikan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, telah disusun PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota. Kenyataan menunjukkan bahwa peran dan fungsi dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah belum optimal. Selain itu, orangtua murid yang miskin sulit untuk menjadi anggota dewan pendidikan dan komite sekolah, dan biasanya didominasi oleh orantua murid yang mampu. Dengan keanggotaan seperti itu, dewan pendidikan dan komite sekolah kurang mampu menyuarakan kebutuhan masyarakat miskin. Sementara itu pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan daya tanggap pemerintah daerah terhadap pentingnya layanan pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa perhatian dan dukungan terhadap pengembangan pendidikan masih belum memadai. Salah satu penyebab adalah belum mantapnya pembagian peran dan tanggungjawab masing‐masing tingkat pemerintahan termasuk kontribusinya dalam penyediaan anggaran pendidikan, serta belum terlaksananya standar pelayanan minimal yang seharusnya ditetapkan oleh masing‐masing kabupaten/kota dengan acuan umum dari pemerintah pusat. 4.2.1.4 Kebijakan Peningkatan Kesempatan Kerja serta Kesempatan Berusaha Setiap tahunnya penduduk miskin membawa angkatan kerja baru yang perlu dicermati dan disalurkan pemerintah untuk masuk dalam sektor formal atau informal. Karena satu dan lain hal, sektor formal belum bisa menyerap secara optimal tenaga kerja terdidik apalagi penduduk miskin karena faktor kebijakan, iklim investasi dan usaha, kesadaran hukum dan lain lain. Untuk itu, diperlukan strategi yang tepat untuk dapat membuka lapangan kerja di sektor informal bagi 69
penduduk miskin yang jumlahnya kurang lebih 54 juta orang atau 12 juta rumah tangga di seluruh Indonesia (data PPLS 2011 untuk penduduk miskin di desil 1 dan 2). Oleh sebab itu, pemerintah sebaiknya segera mengevaluasi semua strategi dan program strategi terkait ketenagakerjaan bagi penduduk miskin di Indonesia sehingga dapat lebih tepat sasaran, tepat guna, efisien, efektif dan menciptakan trickle down effect yang berkesinambungan dengan dampak yang signifikan. Kebijakan ekonomi perdagangan di Indonesia umumnya dilakukan hanya untuk merespon pasar, tetapi kurang menciptakan inovasi dan peluang baru bagi pengembangan usaha (khususnya usaha mikro) yang banyak dilakukan masyarakat miskin. Pembangunan berbagai pusat perdagangan yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perekonomian masyarakat setempat ternyata cenderung menimbulkan dampak meminggirkan dan mematikan usaha yang dirintis masyarakat sekitarnya. Penerapan tarif dan bea yang tidak konsisten, serta maraknya penyelundupan dan komoditi lainnya sering merugikan pengusaha kecil. Berbagai peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah daerah seringkali mengganggu kelancaran arus barang dan menyebabkan mahalnya biaya produksi serta rendahnya daya saing usaha masyarakat. Pengembangan koperasi, usaha mikro dan kecil, termasuk usaha kerajinan lokal berskala kecil di perkotaan umumnya masih kurang mendapat dukungan penguatan teknologi, pemasaran dan permodalan. Seringkali jaringan pemasaran yang panjang juga turut melemahkan harga di tingkat produsen produk‐produk lembaga usaha kelompok miskin di perkotaan. Upaya pemerintah dalam menghadapi persoalan ketenagakerjaan telah dilakukan melalui berbagai kebijakan, misalnya kebijakan ketenagakerjaan yang ditujukan untuk mengatasi masalah kerentanan pekerja terhadap PHK, upaya memperkuat akses terhadap pekerjaan diatur melalui UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Penerapan Upah Minimum, serta UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun, pelaksanaan perundang‐undangan tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai pelanggaran masih dilakukan seperti perbedaan upah perempuan dan laki‐laki, diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja, perlakukan terburuk pekerja anak, dan lemahnya jaminan kerja. Berbagai kebijakan juga tidak konsisten dengan kebijakan lain dan kebijakan di atasnya seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, dan Inpres No. 9 Tahun 2000. UU Perkawinan Tahun 1974 pasal 1 menyatakan laki‐ laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Inkoherensi 70
dan inkonsistensi berbagai UU di atas kemudian menciptakan kesenjangan gender secara meluas padahal UU tersebut dijadikan rujukan bagi kebijakan lain seperti penentuan upah dan pajak. Pengkajian ulang atau revisi atas UU Perkawinan Tahun 1974 perlu sesegera mungkin dilakukan agar konsisten dengan kebijakan lainnya. Kebijakan perluasan kesempatan kerja yang selama ini dikedepankan berhadapan dengan dilema antara kebutuhan untuk menciptakan pasar tenaga kerja yang mampu memberi insentif peningkatan investasi industri yang bersifat padat karya, dan perlunya perlindungan pekerja terhadap kepastian kerja dan upah yang layak. Penerapan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel dipandang tidak mampu menjamin hak pekerja atas upah yang layak dan meningkatkan kerentanan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Sedangkan kebijakan ketenagakerjaan yang kaku dipandang telah meningkatkan biaya upah jangka panjang dan menyebabkan perusahaan cenderung mengurangi jumlah pekerja sehingga memberikan tekanan upah sektor informal. Tekanan ini diakibatkan oleh makin banyaknya tenaga kerja yang masuk ke sektor informal sebagai akibat menyempitnya peluang kerja di sektor formal yang kian berlandaskan pada knowledge based economy. Kerugian terbesar cenderung diderita pekerja perempuan, baik dalam pemutusan hubungan kerja maupun penurunan upah riil. Ketidakpastian kebijakan ketenagakerjaan, rendahnya kemampuan pemerintah dalam membantu penyelesaian perselisihan perburuhan dan belum melembaganya organisasi buruh yang mampu memperjuangkan hak‐hak mereka secara baik justru memperburuk iklim investasi dan kondisi ketenagakerjaan. Tenaga kerja buruh migran juga belum ditangani secara memadai. Hingga saat ini penegakan hukum dalam rangka menjaga keselamatan dan keamanan kerja di sektor informal ini masih sangat lemah. Permasalahan buruh migran yang bekerja di luar negeri juga masih memerlukan penanganan yang lebih sistematis dan berkelanjutan. Buruh migran yang sebagian besar adalah tenaga kurang terampil dan cenderung bekerja di bidang usaha ilegal, kasar, dan berbahaya seperti kuli bangunan, buruh perkebunan, pembantu rumahtangga atau pekerja hiburan malam masih sering mengalami eksploitasi. Meskipun mereka telah banyak mendatangkan devisa bagi negara, perlindungan terhadap mereka yang menjadi korban pemerasan, penipuan, pelecehan, dan kekerasan seksual dan non‐seksual masih lemah. Buruh migran juga sering menjadi korban perdagangan manusia. Undang‐ undang buruh migran yang dapat menjamin keselamatan para buruh migran masih belum dapat mencegah pemiskinan para buruh tersebut. Banyaknya TKI dan TKW ilegal yang dikirim tanpa dipersiapkan kapasitasnya, sehingga mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Pungutan‐pungutan liar yang sering dilakukan oleh berbagai
71
pihak, baik dari pemerintah maupun non‐pemerintah telah menyebabkan para buruh kehilangan penghasilannya. Sementara Undang‐Undang Perlindungan bagi Tenaga Kerja Perempuan (TKW) masih sarat dengan pengaturan agen‐agen pengirim tenaga kerja sehubungan dengan pengaturan retribusi yang dipungut oleh pemerintah dari pengiriman tenaga kerja tersebut. Pengaturan perlindungan tenaga kerja masih dianggap kurang memberikan perhatian dan perlindungan yang memadai bagi perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga baik di luar maupun didalam negeri. Hal ini disebabkan mereka masih dikategorikan sebagai pekerja informal sehingga pemerintah masih tidak tegas dalam hal membuat peraturan yang mengatur hak‐ hak mereka sebagai pekerja. Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk menjamin hak atas pekerjaan adalah meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap kesempatan kerja dan kesempatan untuk mengembangkan usaha melalui langkah terpadu untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin dengan peningkatan investasi yang padat karya, pengembangan usaha dan kerja diluar pertanian, dan peningkatan akses terhadap permodalan, faktor produksi, informasi, teknologi dan pasar, serta pengembangan lembaga keuangan mikro dan perlindungan bagi koperasi, usaha mikro dan kecil; mengembangkan kelembagaan yang mampu memperjuangkan akses masyarakat miskin terhadap kesempatan kerja, kesempatan mengembangkan usaha dan perlindungan pekerja; meningkatkan kemampuan pekerja; melindungi pekerja dan meningkatkan kerjasama internasional dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan melindungi tenaga kerja. 4.2.2. Analisa Intervensi Prioritas, yaitu analisis yang diperlukan untuk menentukan indikator pendukung yang menjadi fokus intervensi untuk memperbaiki capaian target utama kebijakan di setiap bidang. Indikator yang digunakan adalah Indikator Utama dan Indikator Pendukungnya di setiap bidang dengan metode analisis Keterkaitan antara perkembangan capaian indikator utama dan indikator pendukungnya. Indikator pendukungnya adalah Variabel yang perubahannya secara empiris mempengaruhi perubahan indikator utama. Dengan demikian, indikator pendukung mewakili variabel sasaran dari intervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah untuk mengetahui terlebih dahulu hal mana yang menjadi prioritas bagi Pemerintah dalam hal intervensi yang menghasilkan prioritas utama. Berikut adalah masukan untuk membenahi intervensi prioritas tersebut: 72
a. Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Kemenko Kesra dibantu oleh Kemensos, Kemen PU, , Kementan, Kemendiknas,Bappenas dan Kemenkes sudah memiliki data yang valid dan terpercaya mengenai data kemiskinan, kesehatan, gizi, pendidikan dan pangan yang ada di Indonesia. Database ini harus divalidasi berdasarkan data di desa, kecamatan, kota, kabupaten dan provinsi. Kemudian Pemerintah Pusat akan mengevaluasi, menganalisa dan keluar dengan rencana aksi untuk intervensi di bidang tertentu setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden dan Menteri Keuangan yang memiliki otoritas untuk pendanaan program Pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah. b. Kemudian Pemerintah Pusat berkerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk menjalankan program intervensi tersebut dimana Pemerintah Pusat menyiapkan modul dan membimbing Pemda yang menjalankannya karena otoritas implementasi ada di tingkat Pemda. Dalam hal ini Pemerintah Pusat bisa bekerja sama dengan akademisi, donor atau LSM dalam persiapan modul langkah langkah untuk intervensi yang baku dan bisa dilakukan di seluruh daerah di Indonesia. Akademisi, LSM dan donor juag bisa diajak bekerja sama oleh Pemda dalam menjalankan program intervensi di bidang kesehatan, pendidikan, pangan, prasarana dasar dan lapangan pekerjaan. Dalam hal ini Indonesia sudah memiliki semuanya yang belum ada kesungguhan, keseriusan, kerja keras untuk menjalankan semua yang ada di atas. c. Yang terakhir adalah untuk mengawasi dan mengevaluasi intervensi prioritas tersebut karena memang harus diawasi pelaksanaan dan penggunaan dananya karena yang namanya program internvensi prioritas membutuhkan dana yang tidak sedikit dan melibatkan begitu banyak pihak sperti K/L dan Pemda terkait. Harus ada badan swasta yang mengaudit semua pengeluaran (contoh KAP PWC, E&Y,dll) dan evaluasi efektifitas penjalanan program intervensi tersebut di Indonesia dalam setiap tahunnya. 4.2.3 Analisa Prioritas Wilayah Analisa ini terkait untuk menentukan wilayah yang menjadi lokus dari prioritas intervensi di setiap bidang. Indikator yang digunakan indikator kondisi umum kemiskinan, indikator utama dan indiaktor pendukungnya di setiap bidang dengan metode analisis yang digunakan adalah Posisi wilayah dalam grafik 4 kuadran. Prioritas wilayah menjadi penting karena memang penduduk miskin selama ini berdiam di Pulau Jawa, Sumatera dan ada sebaran tertentu di Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB dan Papua.
73
Dalam hal ini analisa prioritas wilayah tidak hanya untuk mengurangi kemiskinan namun juga dengan usaha untuk membangun daerah, pulau lain sehingga terjadi pemerataan pembangunan di Indonesia Barat dan khususnya Timur. Hampir 100 juta lebih penduduk tinggal di Pulau Jawa dan hal ini tentu saja menimbulkan beban dan halangan Pemerintah untuk mengelola Pulau Jawa. Ketika Pemerintah melihat bahwa perlu sarana produksi, distribusi dan infrastruktur dibangun di Sulawesi, Kalimantan dan Papua maka hal itu harus benar benar dijalankan. Pemda harus mau membuka gengsi mereka dan mau diajari oleh Pemerintah Pusat dalam perencanaan pembangunan, pembangunan itu sendiri dan pengawasan pembangunan tersebut. Ketika Indonesia Timur dibangun dengan sarana pendidikan, kesehatan, pangan dan infrastruktur yang memadai maka penduduk miskin agan tergerak untuk mencari penghidupan yang lebih baik asal diarahkan dan dibina secara baik,serius dan berkesinambungan oleh Pemerintah seperti program transmigrasi di masa Kabinet Orde Baru. Lagi lagi konsep perencanaan wilayah, pembangunan daerah dan pendanaan nya menjadi kunci yang jika disingkapi Pemerintah Pusat secara serius akan menjadi salah satu obat mujarab dalam mengentaskan dan mengurangi kemiskinan di Indonesia. 4.3. Analisa 4 Kluster Program 4.3.1 Program di Kluster 1 (Bantuan Sosial) Saat ini program kluster 1 terdiri dari Jamkesmas, BOS, BSM, Raskin dan PKH. Semua program pada kluster 1 bersifat murni bantuan kepada penduduk miskin yang namanya tertera pada data PPLS 2011 dan bisa dikonfirmasi per alamat tempat tinggal dan per nama penghuni di tempat tinggal tersebut (by name and by address). Data PPLS 2011 ini disiapkan oleh BPS dan dipegang oleh TNP2K dalam persiapan pelaksanaan program di kluster 1 serta pemantauan dan evaluasi nya. Ternyata sejumlah masalah muncul saat pelaksanaan dan perlu menjadi perhatian untuk pembenahan atas program di kluster 1: a. Masalah kordinasi pada saat BPS melakukan pendataan penduduk miskin di seluruh Indonesia ternyata tidak dilakukan koordinasi dengan Pemerintah daerah setempat yang diwakili oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Sehingga data yang disurvei oleh BPS tidak sesuai dengan data penduduk yang dimiliki oleh Pemda setempat. b. Masalah kelembagaan dimana kerja sama dengan seluruh Kementrian dan lembaga terkait di tingkat pusat dan daerah masih tidak efektif. Hal ini terjadi karena setiap K/L juga sibuk dengan program masing‐masing 74
sehingga tidak fokus, adanya ego sektoral dan juga ketidak jelasan kebijakan di tingkat pusat dan daerah yang masih menghambat program pengentasan kemiskinan kluster 1 tersebut. c. Belum adanya modul atau mekanisme pengawasan dan evaluasi yang baku. TNP2K melakukan pengawasan dan evaluasi atas sejumlah program di kluster 1 namun tidak semua program dan tidak semua provinsi atau daerah dilakukan evaluasi karena memang APBN/APBD tidak menganggarkan dana untuk pengawasan dan evaluasi. Hal ini dikategorikan sebagai tidak masuk akal karena bagaimana kita mengetahui apa yang dilakukan berhasil apa tidak jika tidak adanya evaluasi yang berkala. d. Program pencairan dana juga masih bermasalah karena sejumlah daerah masih sangat lama mendapatkan curahan dana untuk program di kluster 1. Hal ini terjadi karena memang dana APBN baru turun di bulan Maret/April setiap tahunnya sehingga otomatis di 3 bulan di awal tahun tidak ada dana yang cair. e. Perlunya program edukasi yang juga menyeluruh kepada penduduk miskin di kluster 1 yang perlu dididik bahwa program‐program ini adalah sementara karena memang Pemerintah ingin agar setiap warga Indonesia termasuk penduduk miskinnya menjadi mandiri dan memiliki aset, kesempatan dan keahlian untuk mencukupi kebutuhannya sendiri dimana Pemerintah adalah mitra yang menyelenggarakan dan menyediakan semua yang diperlukan di atas. 4.3.2 Program di Kluster 2 (PNPM Mandiri) Program PNPM Mandiri sudah berjalan sejak tahun 1997/1998 di masa krisis hingga sekarang. Sejalan dengan berjalannya waktu maka ditemukan daerah yang berhasil menjalankan program PNPM Mandiri baik di perkotaan dan perdesaan. Inti dari program ini adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka memiliki pengetahuan dan keahlian sehingga dapat mencukupi kebutuhan hidupnya baik lewat akses dana bergulir atau lewat pelatihan yang diberikan oleh para fasiliator di sejumlah daerah baik di kota dan desa. Namun sejumlah masalah juga muncul dalam program PNPM Mandiri yang perlu kembali menjadi perhatian Pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah: a. Masalah kuantitas dan kualitas dari fasilitator di PNPM Mandiri yang masih kurang. Hal ini perlu dibenahi agar fasilitator ini menjadi fokus dan berdedikasi untuk membina dan melatih para penduduk miskin di kluster 2 tersebut. Jika jumlah fasilitator kurang maka Pemerintah bisa merekrut sarjana lulus universitas di provinsi masing masing untuk membina dan melatih penduduk miskin di daerahnya masing masing karena mereka ini lah 75
b.
c.
d.
e.
yang mengerti seluk beluknya. Dana untuk pembayaran gaji bisa diambil dari APBD karena memang fasilitator ini berada di bawah Pemda,perlu dilatih terlebih dahulu, memiliki sertifikat baru kemudian membina dan melatih penduduk miskin. Masalah legalitas dan kelembagaan daripada UPK PNPM Mandiri yang masih bisa dibenahi sehingga UPK bisa menerima dana dari LKM atau bank umum sehingga dana tesebut bisa disalurkan kepada penduduk miskin di kluster 1 untuk membuka usaha kecil mikro. Masalah pengawasan dan evaluasi karena begitu besarnya program PNPM Mandiri (dengan 13.100 lokasi di seluruh Indonesia) maka diperlukan juga modul pengawasan dan evaluasi yang baku untuk mengetahui lokasi PNPM Mandiri mana yang berkinerja buruk sehingga memerlukan perhatian dan pembenahan serius dan lokasi mana yang berkirnerja baik sehingga perlu terus didukung terus menerus. Masalah pendidikan dan pembinaan kepada penduduk miskin di kluster 2 dimana Pemerintah harus menyiapkan modul nasional terpadu untuk PNPM Mandiri dimana satu modulnya menyatakan bahwa penduduk miskin di kluster 2 harus bekerja keras, jujur untuk dapat naik kelas ke kluster 3 sehingga dapat mengakses dana perbankan dari KUR. Pemda harus mengapresiasi semua penduduk miskin di kluster 2 yang sudah naik kelas ke kluster 3 dengan memberikan piagam sebagai penghargaan. Mereka saat dididik juga harus tahu bahwa dana bergulir adalah pinjaman Pemerintah dan harus dikembalikan dan bukan hibah sama sekali. Masalah kerja sama dengan pihak swasta atau pihak ke 3 yang masih bisa dikembangkan. BUMN dan perusahaan swasta juga bisa diajak untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia karena BUMN dan perusahaan swasta memiliki dana CSR yang tujuannya diberikan kepada penduduk dimana perusahaan tersebut berada. Sebuah mekanisme dan kebijakan perlu disiapkan Pemerintah untuk mendorong mengajak BUMN dan perusahan swasta untuk turut dalam program pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan dan yang lulus pelatihan bisa bekerja pada BUMN dan perusahaan swasta tersebut. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa tax break atau tax cut bagi BUMN dan perusahaan swasta yang berhasil melatih dan merekrut penduduk miskin untuk bekerja di perusahaannya karena pengangguran dapat dikurangi dan penghasilan dari para penduduk miskin yang menjadi pegawai tersebut menjadi sumber penghasilan untuk konsumsi domestik di daerah masing‐masing. Hal ini perlu menjadi perhatian yang serius dari Pemerintah pusat dan daerah.
76
4.3.3 Program Kluster 3: KUR Bagian ini akan membahas lima jenis permasalahan yang timbul untuk KUR dan solusi yang bisa diberikan. Lima jenis permasalahan tersebut adalah: (i) akses, (ii) Kordinasi dan Kapabilitas, (iii) Fitur Produk KUR, (iv) Linkage dan, (v) Mekanisme M&E untuk KUR itu sendiri. Dari segi akses, maka terlihat bahwa akses informasi dan penyerapan untuk KUR itu masih rendah. Terlihat bahwa KUR masih lebih bisa diserap oleh usaha mikro, nelayan, petani, penduduk miskin perkotaan dan lain lain. Sejauh ini akses informasi untuk KUR masih belum mencapai desa‐desa terpencil dan yang membutuhkan pendanaan untuk berusaha sederhana. KUR saat ini juga diarahkan untuk kluster 3 saja dan bukan kluster 1 dan 2. Maka dari itu untuk menyebarkan KUR lebih luas lagi diperlukan kerja sama atau pemberdayaan dengan LKM yang ada di desa‐desa sehingga LKM tersebut yang akan memberikan pelatihan, akses informasi, penyaluran dan jika perlu pengawasan akan KUR atas setiap debitor KUR yang aktif di lokasi pedesaan. Dalam hal ini kemampuan dan profesionalisme dari staf LKM harus ditingkatkan dan dijaga sehingga akses penyaluran KUR dapat diawasi dengan baik. Maka dari itu Pemerintah perlu memikirkan agar KUR bisa diakses oleh kluster 2 lewat program PNPM Mandiri sehingga dpat diakses oleh penduduk miskin yang lebih banyak lagi di seluruh Indonesia karena pada saat ini PNPM Mandiri memiliki 13.100 lokasi di daerah perdesaan dan perkotaan sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan dana KUR dan LKM lainnya untuk pemberdayaan rakyat miskin. Dari segi kordinasi dan kapabilitas maka, Komite Kebijakan KUR harus bisa menciptakan terobosan dengan cara menciptakan kerja sama dan program yang terarah, efektif dan tepat sasaran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah khususnya kantor dinas terkait yang bertugas berkordinasi dalam hal penyaluran KUR yaitu dinas pertanian, dinas koperasi dan UKM, dinas industri dan perdagangan, dinas kehutanan dan dinas kelautan dan perikanan. Sebuah rencana kerja selama satu tahun yang mengikutsertakan kantor dinas teknis terkait di atas serta target pencapaian yang realistis di seluruh desa, kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Dari segi fitur produk KUR itu sendiri maka perlu penyesuaian dari tingkat suku bunga KUR mikro dari 22% menjadi lebih rendah lagi. Sejauh ini para debitor KUR mikro mengeluhkan tingginya suku bunga tersebut dan dari sejumlah survey juga ditemukan bahwa para pengusaha mikro tidak mampu untuk membayar suku 77
bunga sebesar 22% setahun. Hal lain yang menjadi perhatian adalah bahwa isu kolateral yang masih tetap diminta oleh pihak bank walaupun dalam Rakor Komite Kebijakan KUR tertanggal 3 Oktober 2011dan SOP No.15/2011 tertanggal 5 Oktober 2011 sudah ditetapkan dan diputuskan bahwa bank tidak perlu lagi meminta kolateral sebagai bukti atas pinjaman kepada debitor. Hal ini harus dipertegas lagi oleh Pemerintah lewat Kemenko Perekonomian dan Komite Kebijakan KUR kepada bank‐bank pelaksana penyalur KUR di Indonesia. Untuk program linkage, saat ini bank penyalur KUR bisa bekerja sama dengan sejumlah lembaga atau entitas penyalur kredit seperti: LKM, BPR, Koperasi, Modal Ventura, Bumdes. Dari data dan informasi yang didapat dan berada dalam dokumen ini keberadaan LKM di pedesaan masih sangat bisa diberdayakan dan diperkuat sehingga LKM dapat membantu bukan hanya dalam hal penyaluran namun juga dalam hal pembelajaran, pelatihan dan pengawasan akan kredit yang disalurkan tersebut. Dari mekanisme M&E maka Pemerintah pelu menyiapkan sebuah penelitian komprehensif sejak program KUR diluncurkan untuk mengetahui apakah KUR itu sudah memberikan solusi dan dampak atas penanggulangan kemiskinan bagi para peminjam KUR dan khususnya penduduk miskin di kluster 3 yang ada pada saat ini. Jika belum memberikan dampak penanggulangan kemiskinan maka Pemerintah perlu memikirkan bagaimana langkah selanjutnya untuk lebih membuat program Kur menjadi lebih efektif. Jadi selama ini belum ada penelitian yang dilakukan Pemerintah secara kualitatif di sejumlah daerah yang menyerap KUR apakah sudah memberikan dampak langsung dan tidak langsung atas penanggulangan kemiskinan. 4.3.4 Program Kluster 4 Karena Pemerintah baru saja meluncurkan program di kluster 4 ini maka ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi Pemerintah untuk: a. Menyiapkan kerangka kebijakan dan kelembagaan yang kondusif dan menarik bagi pihak ke 3 seperti BUMN dan pihak swasta dalam persiapan dan penyelengaraan fasilitas di kluster 4 bagi penduduk miskin. Karena yang disediakan adalah sebagian besar di bidang infrastruktur dan pendukungnya (air,listrik,kendaraan yang memerlukan jalan) maka pembenahan kebijakan di bidang infrastruktur di indonesia menjadi perhatian penuh dan khusus. Sejauh ini program pembangunan infrastruktur di Indonesia masih sepi peminat dari asing yang menunjukkan bahwa proyek infrastruktur di Indonesia adalah tidak menarik, beresiko tinggi dan tidak didukung oleh 78
Pemerintah pusat dan daerah. Kenyataan yang pahit namun merupakan kenyataan dimana setiap infrastructure summit setiap tahunnya ramain pengunjung namun sepi peminat serius setelah acara selesai. Pemerintah perlu berpikir bahwa kluster 4 harus bekerja sama dengan pihak ke 3 seperti BUMN dan perusahaan swasta jika ingin berhasil dalam pelaksanaanya ke depan. b. Menyiapkan insentif bagi pihak ke 3 seperti BUMN dan perusahaan swasta yang dapat menyiapkan fasilitas air, jalan, listrik bagi penduduk miskin untuk diberikan tax cut atau tax break karena penduduk miskin tersebut dapat hidup layak, memiliki keahlian, pengetahuan sehingga dapat bekerja dan berusaha yang akhirnya menyumbangkan konsumsi domestik dan efek berantai secara langsung dan tidak langsung lewat pengurangan penggangguran di Indonesia. c. Menyiapkan target setiap tahun pada kluster4 berapa banyak rumah yang akan dibangun untuk penduduk miskin, berapa panjang jalan akan dibangun untuk penduduk miskin, berapa banyak generator listrik dibangun untuk penduduk miskin dan berapa banyak angkutan yang disediakan untuk penduduk miskin. d. Menyiapkan mekanisme pengawasan dan evaluasi (M&E) bagi program kluster 4 di sejumlah daerah yang menjalankan program kulster 4 tersebut di Indonesia. Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia masih perlu pembenahan dan perbaikan serius sehingga angka kemiskinan di Indonesia dapat diturunkan dengan drastis. Dalam hal ini Pemerintah perlu melihat sejumlah negara yang berhasil menurunkan angka kemiskinan yang cukup ekstrem yaitu di Cina. Pemerintah Cina telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebanyak kurang lebih 200 juta jiwa dalam kurun waktu tertentu. Hal ini perlu kita pelajari karena memang penduduk Cina itu adalah penduduk yang rajin bekerja, ulet dan mau bekerja keras dimana Pemerintah Cina juga menjadi mitra yang serius dalam pengadaan pelatihan, aset dan penempatan tenaga kerja di negara tersebut. Sehingga kita mengerti bahwa kemiskinan pasti bisa diturunkan asalkan kita mengetahui apa yang kita perbuat dan kita menjadikan penduduk miskin sebagai mitra kita dan bukan sebagai sekedar penduduk biasa.
79
BAB V REKOMENDASI KAJIAN PETA JALAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
5.1.
Peta Jalan Penanggulangan Kemiskinan Petani
5.1.1. Perspektif dan Kerangka bagi Peta Jalan Membangun Kesejahteraan Petani Peta jalan untuk membangun kesejahteraan petani khususnya, dan rakyat secara keseluruhan dalam konteks ini diletakan dalam sebuah perspekftif dan kerangka yang disebut dengan agrarian transformation (AT). Agrarian Transformation ini dimaknai "Suatu proses perubahan keseluruhan sistem hubungan sosial‐ekonomi masyarakat pedesaan, yang mengacu kepada suatu perubahan struktur masyarakat yang bersifat 'agraris‐tradisional' menjadi suatu struktur masyarakat dimana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif melainkan terintegrasi ke dalam pilar‐pilar ekonomi lainnya secara nasional, lebih produktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat". (J. Harriss, 1982 dalam “Reforma Agrarian dalam Transisi Agraris”, Gunawan Wiradi, 1998). Titik awal proses transformasi adalah mulai berlangsungnya dua proses pokok, yaitu reforma aqraria dan industrialisasi. Demikian menurut pengalaman nyata yang terjadi dalam sejarah. Indonesia, dapat dikatakan belum memasuki masa transisi agraris. Sebab, meskipun proses industrialisasi sudah sejak lama dimulai dalam proses pembangunan bangsa ini, tetapi sesungguhnya reforma agraria belum dilakukan secara tuntas. Merujuk pada pandangan Dianto Bachriadi, dalam perspektif dan kerangka ini penting untuk menempatkan tanah dan aktivitas perekonomian di atasnya sebagai persoalan penting yang menjadi dasar dari ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Artinya tanpa ditata secara baik, struktur penguasaan tanah yang timpang akan menjadi dasar dari sejumlah persoalan krusial di tengah masyarakat seperti yang sekarang ini, yaitu: kemiskinan di pedesaan, aneka penggusuran, dan konflik‐konflik yang berkepanjangan. Pertama, ketimpangan struktur penguasaan tanah akan menyebabkan terjadinya ketimpangan pertumbuhan ekonomi yang bisa dinikmati oleh sesama anggota masyarakat, yang secara perlahan tapi pasti akan menimbulkan proses pemiskinan karena ketiadaan tanah bagi petani sama artinya dengan menyerahkan dirinya ke dalam pelukan ekspoitasi berlebihan atas tenaga kerjanya. Kedua, membiarkan ketimpangan penguasaan tanah terjadi itu sama artinya dengan semakin memperbesar peluang untuk terjadinya proses pemiskinan, 80
serta membuka ruang‐ruang konflik struktural yang semakin lebar. Maksudnya, ketika ketimpangan penguasaan tanah tidak dijadikan agenda penting untuk diselesaikan, bahkan ketimpangan itu malah semakin melebar melalui kebijakan‐ kebijakan yang memfasilitasi proses penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas untuk kegiatan investasi skala besar, maka konflik‐konflik atau sengketa tanah akan terjadi dengan tingkat intensitas dan luasan yang luar biasa. Jadi arah bagi jalan peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya petani miskin adalah merekonstruksi bangunan perekonomian yang lebih didasarkan kepada konsep ekonomi rakyat. Ini berarti bahwa pedesaan merupakan basisnya, yang berarti pula bahwa masalah penguasaan tanah harus ditata kembali. Struktur agaria didominasi oleh usaha tani keluarga yang efisien, teknologi maju dan terutama bekerja dengan tenaga keluarga. Masyarakat pedesaan harus dibangun sebagai basis ekonomi rakyat yang tangguh, yaitu mampu bertahan terhadap goncangan melalui upaya pemberdayaan. Berbagai kelembagaan yang demokratis perlu ditumbuhkan. Melalui demokratisasi, akan terbangun sikap kemandirian, rasa percaya diri, dan kemampuan mengorganisir diri, sehingga rakyat pedesaan mempunyai posisi tawar yang kuat. 5.1.2.
Arahan Kebijakan
Upaya untuk memecahkan masalah struktural dibutuhkan kebijakan yang langsung menyentuh akar permasalahannya. Akar persoalan yang kita hadapi ialah kecil atau tiadanya aset atau akses masyarakat ke sumber‐sumber ekonomi terutama tanah, terbatasnya akses ke sumber sosial serta ke sumber politik. Jadi ketika kita berbicara tentang kemiskinan, mau tidak mau kita harus berbicara mengenai aset dan akses rakyat miskin pada sumber‐sumber kehidupan — yaitu, sumber‐sumber ekonomi dan sumber‐sumber politik. Petani miskin harus punya akses untuk membebaskan dirinya tentu melalui proses pembangunan — dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan, rasa takut. Untuk ini petani harus memiliki aset yang dapat dikelola dan punya akses untuk memberdayakan asetnya. Petani harus memiliki tanah dan punya akses pada modal, teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya. Petani harus memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan kepentingannya. Dan petani harus memiliki akses untuk melahirkan inovasi‐inovasi sosial yang menjadi prasyarat lahirnya perubahan sosial di pedesaan.
81
Arah kebijakan untuk pengurangan kemiskinan petani harus difokuskan pada upaya untuk memenuhi, melindungi dan memajukan hak‐hak petani, yaitu: a. Hak atas tanah. Agar mampu bertani dan mencukupi kebutuhan dan hidup lebih sejahtera, petani harus memiliki tanah sebagai basis produksi keluarganya. Jadi arah kebijakan dalam untuk mempercepat penanggugalangan kemiskinan pada petani merujuk konsensus sosial dan konsensus politik sebagaimana dijelaskan diatas. Hal ini sekaligus memperkuat apa yang telah ditegaskan dalam Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005‐2025 : “... menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip‐prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi ..., perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui ... land reform.” b. Hak atas air. Air seharusnya dimiliki dan dilindungi negara. Pengelolaannya harus melibatkan masyarakat. Harus ada kebijakan yang menjamin ketersediaan air yang aman, terjangkau, dan berkesinambungan bagi seluruh rakyat. c. Hak atas benih. Harus ada upaya sungguh‐sungguh agar petani mampu mengembangkan benih sendiri dan tidak menjadikan petani sebagai konsumen tanpa daya tawar berhadapan dengan perusahaan benih. Dengan kata lain, kebijakan harus lebih diarahkan pada memastikan akses petani terhadap benih baik berharga murah lewat kebijakan pro petani, pengawasan dan penegakan hukum yang adil, serta pemberdayaan petani sebagai penangkar benih. d. Hak atas akses terhadap Pasar. Petani seharusnya memperoleh harga layak untuk panennya, guna memenuhi gizi dan kedaulatan pangannya. Daya tawar petani harus ditingkatkan. Arah kebijakan harus lebih difokuskan pada penguatan peranan dan kemampuan Pemerintah untuk mengontrol sistem pasar, dengan menjamin harga pembelian terendah dan harga eceran tertinggi di tingkat nasional. Selain itu, pemerintah harus menyediakan infrastruktur transportasi, dan memastikan informasi pasar sampai ke petani. e. Hak atas kredit usaha. Kredit lunak bermanfaat sebagai modal usaha tani di pedesaan. Oleh karena itu, arah kebijakan lainnya yang juga vital adalah kebijakan yang memungkinkan petani‐petani miskin memperoleh atau mengakses sumber‐sumber permodalan bagi usaha taninya scara mudah dan cepat dari sisi prosesnya serta biaya dan resiko pengembalian yang meringankan. 5.1.3. Strategi dan Pendekatan Strategi untuk mengurangi kemiskinan pada petani di wilayah pedesaan bertumpu partisipasi aktif petani dan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu harus 82
dikembangkan pendekatan kelompok tani. Pendekatan kelompok merupakan salah satu pilihan konsep yang bisa dikembangkan untuk memperkuat kemandirian petani. Tindakan kolektif kelompok diharapkan bisa lebih memperkuat posisi tawar petani dalam menjalin kerjasama dan mitrausaha dengan institusi lainnya. Selain itu kelompok akan berfungsi sebagai tempat yang efektif untuk proses pembelajaran bersama dan wahana meningkatkan kerjasama. Dimensi pemberdayaan kelompok tani meliputi peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani melalui pelatihan, pengembangan jaringan usaha melalui kerjasama, koordinasi dan komunikasi, serta peningkatan peran pendampingan melalui motivasi, fasilitasi dan bimbingan teknis. Selain itu, upaya‐upaya untuk mengurangi kemiskinan petani juga bertumpu pada pembenahan kerjasama kelembagaan. Yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah pembangunan komitmen bersama yang lebih kuat dan sinergi, baik antar kementrian/lembaga pada pemerintahan pusat maupun antar level pemerintahan pusat dan daerah. Tanpa itu, implementasi kebijakan dan program‐program tidak akan berjalan dengan baik. Alih‐alih menjawab permasalahan kemiskinan pada petani di wilayah pedesaan, yang terjadi malah akan semakin memperdalam dan memperluas kemiskinan pada petani itu sendiri. 5.1.4. Program-Program Strategis Berdasarkan analisa persoalan, arah kebijakan dan strategi diatas, maka rekomendasi program‐program untuk percepatan penanggulangan kemiskinan petani adalah sebagai berikut: A.
Program Pembaruan Agraria
Pengertian Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber‐sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya. Inti dari pembaruan agraria adalah landreform yaitu redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program‐program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. Jadi pembaruan agraria adalah landreform plus. Land reform adalah jalan terbaik bagi Negara berkembang untuk terbaik untuk mengangkat yang dapat meningkatkan status, kekuasaan, dan taraf kesejahteraan kaum miskin pedesaan secara relatif maupun absolut (Lipton 2009). Dalam buku barunya Land Reform in Developing Countries, Property Rights and Property Wrongs, Michael Lipton mendefinisikan land reform sebagai “legislasi yang diniatkan dan benar‐benar diperuntukan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) 83
klaim‐klaim, atau hak‐hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi tersebut” (Lipton, 2009:328). Program strategis pembaruan agraria ini terdiri dari program‐program pokok yang pada dasarnya menjalankan arahan seperti yang telah tertuang dalam TAP MPR No. IX tahun 2001, yaitu: 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang‐ undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang‐undangan yang dapat mengakselerasi pelaksanaan reforma agraria sesuai maksud dan tujuannya. 2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. 3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. 4. Menyelesaikan konflik‐konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip‐prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. 5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik‐konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi. 6. Mengupayakan dengan sungguh‐sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik‐konflik sumber daya agraria yang terjadi. Tahapan-tahapan pelaksanaan program strategis reforma agraria ini adalah sebagai berikut: Tahap 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan Rekonsolidasi perundang‐undangan yang berkaitan dengan agraria dalam (2013‐2014) : rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya melanjutkan peraturan perundang‐undangan yang dapat mengakselerasi program yg sedang pelaksanaan reforma agraria sesuai maksud dan tujuannya. berjalan & langkah2 Diantaranya tentang undang‐undang kehutanan, perkebunan, persiapan menuju sumberdaya air; transformasi 2. Melakukan penyempurnaan pendataan mengenai petani gurem dan buruh tani berdasarkan kewilayahan serta pola migrasinya; 3. Melakukan kajian penilaian kemanfaatan atas berbagai hak 84
penguasaan, pemanfaatan, pengelolaan dan penggunaan sumberdaya agraria terkait dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya para keluarga petani miskin; 4. Penyusunan RUU tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan diredistrribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriteria penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pemberdayaan subjek yang menerima TORA (program ini sebagai kelanjutan dari agenda penyusunan RPP Reforma Agraria sebelumnya yang belum tuntas); 5. Melanjutkan program redistribusi tanah‐tanah terlantar yang telah mendapat payung hukum PP 11/2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah telantar. Tanah‐tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” terdiri dari Hak Guna Usaha 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan 49.030 ha, Hak Pengelolaan 535.682 ha, dan tanah dengan ijin lokasi dan lainnya 4.475.172 ha (Sumber Data: Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN 2009). Tahap Transformasi 1. Legislasi RUU Pembaruan Agraria menjadi UU Pembaruan & Ekspansi (2015‐ Agraria 2020) : 2. Menyusun berbagai perundang‐undangan sebagai acuan mentransformasi & pelaksanaan, diantaranya untuk kelembagaan terkait meningkatkan pengaturan kewenangan, tugas pokok dan fungsi, strategi dan cakupan serta pendekatan serta hal‐hal pendukung operasionalisasi lainnya; perluasan program 3. Mengembangkan kelembagaan yang memiliki kewenangan, tugas pokok dan fungsi: (i) Merumuskan strategi dan tata cara pelaksanaan pembaruan agraria; (ii) Mengkordinasikan departemen‐departemen terkait dan badan‐badan pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan pembaruan agraria; (iii) Melaksanakan penataan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber‐sumber agraria lainnya; dan (iv) Menangani konflik‐konflik agraria, baik warisan masa lalu, maupun konflik‐konflik agraria yang mungkin muncul akibat pelaksanaan pembaruan agraria. 4. Melanjutkan proses redistribusi tanah‐tanah telantar serta proses monitoring dan evaluasinya; 5. Menjalankan rencana yang sudah dicanangkan sebelumnya (periode 2007‐2011), yaitu redistribusi tanah 8,15 juta hektar tanah‐tanah negara yang berada dalam “kawasan hutan 85
negara” yang tergolong hutan produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi; Tahap Keberlanjutan (2021‐2025): pemantapan sistem pengurangan kemiskinan scr terpadu
B.
1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh dan mendalam mengenai perkembangan realisasi dan dampak program‐ program yang dijalankan pada tahap sebelumnya; 2. Menjalankan realisasi perluasan redistribusi berdasarkan objek dan subjek yang sudah terdata dan berdasarkan hasil evaluasi atas perkembangan dan dampaknya; 3. Review dan menyusun berbagai kebijakan untuk proses pemantapan dan keberlanjutan; 4. Menjalankan program pendampingan dan penguatan melalui berbagai program penunjang untuk menciptakan keberlanjutan, pengembangan dan produktivitas petani, khususnya yang terlibat
Program Strategis untuk Peningkatan Sumberdaya Manusia dan Akses Petani untuk Mengembangkan Usaha Tani yang Produktif, Modern dan Efisien
Selain program untuk melakukan redistribusi tanah sebagai basis produksi bagi petani, program‐program pokok lainnya yang juga strategis untuk dijalankan adalah berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas petani itu sendiri. Karena meskipun menguasai atau memiliki alat produksi tapi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, maka tanah tersebut tidak serta merta mengeluarkan petani dari kemiskinan bahkan lebih lanjut lagi mencapai kesejahteraanya. Program‐program tersebut berdasarkan skenario pentahapannya adalah sebagai berikut: Tahap Rekonsolidasi (2013‐2014) : melanjutkan program yg sedang berjalan & langkah2 persiapan menuju transformasi
1. Melanjutkan program‐program pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan akses terhadap informasi dan teknologi melalui strategi 4 kluster yang diperuntukan untuk itu; 2. Melakukan kajian atas berbagai kebijakan dan perjanjian bilateral maupun multilateral yang berdampak pada kehidupan petani. Diantaranya adalah kajian atas AoA, TRIPS dan berbagai kebijakan nasional sebagai bentuk ratifikasi atas perjanjian‐ perjanjian tersebut; 3. Merevitalisasi dan mengembangkan pelayanan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi produksi petani di daerah‐daerah, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan; 4. Melanjutkan dan memperkuat skema dukungan bagi pendidikan atau pelatihan terapan untuk pengembangan usaha pertanian pada rumah tangga petani dan pemuda; 5. Rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi dan jalan desa sehingga 50% infrastruktur yang rusak befungsi kembali scr optimal; 86
Tahap Transformasi & Ekspansi (2015‐ 2020) : mentransformasi & meningkatkan cakupan serta perluasan program
Tahap Keberlanjutan (2021‐2025): pemantapan sistem pengurangan kemiskinan scr terpadu
C.
6. Penguatan kapasitas kelembagaan pemelihara infrastrukutr pertanian berbasis masyarakat; 1. Melakukan revisi atas perundang‐undangan atau menyusun perundang‐undangan yang baru atas dasar hasil kajian pada tahap sebelumnya; 2. Pengembangan media radio‐radio komunitas yg dapat menjadi media komunikasi dan memperkuat akses petani terhadap informasi dan pengetahuan; 3. Kelanjutan pengembangan dan penguatan kelembagaan pendukung produksi dan distribusi petani di tingkat daerah. Setidaknya 50% kelembagaan berfungsi efektif dalam memberikan layanan pendidikan, penyebaran informasi, pelayanan asistensi teknis dan penelitian; sehingga 4. Pengembangan cakupan luasan infrastruktur wilayah‐wilayah kantong kemiskinan pedesaan terlayani infrastruktur irigasi dan jalan desa yang berfungsi optimal; 1. Fasilitasi pengembangan dan memperkuat keterhubungan antara perguruan‐perguruan tinggi di daerah untuk pengembangan dan penerapan teknologi yang tepat guna. Terutama untuk meningkatkan nilai guna dari produksi pertanian sebagai dasar bagi pengembangan industrialsiasi pedesaan yang berbasikan pada usaha pertanian; 2. Pemeliharaan dan pengembangan cakupan luasan dan kualitas infrastruktur wilayah pedesaan; 3. Pengembangan industrialsiasi di wilayah pedesaan untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian;
Program Strategis Peningkatan akses petani kecil pada bantuan atau kredit lunak bagi pengembangan usaha pertaniannya
Dalam menyusun skim kredit untuk petani kecil, lembaga pembuat kebijakan harus mempertimbangkan karakteristik petani kecil seperti masih rendahnya dalam dukungan asset, produktivitas, ketrampilan fisik, pendapatan, pendidikan dan luas penguasaan lahan. Karena keterbatasan tersebut, karakteristik skim kredit yang ditawarkan harus berada dalam batas‐batas kemampuannya seperti penetapan jenis agunan, bentuk kredit, periode kredit, cara pengembalian dan tingkat suku bunga kredit. Jenis agunan. Salah satu penyebab yang menghalangi petani kecil akses ke lembaga kredit formal adalah mereka tidak mempunyai agunan jenis sertifikat tanah, hanya memiliki surat kepemilikan tanah ”girik”. Dengan demikian lembaga kredit agar menghindari penggunaan agunan sertifikat tanah, tetapi apabila terpaksa hendaknya dapat diwakili oleh sertifikat pengurus kelompok tani seperti pada kredit
87
program. Agunan dalam bentuk barang bergerak seperti sepeda, TV dan perhiasan akan lebih mudah diakses petani. Bentuk pemberian kredit. Sembilan puluh persen petani menginginkan pemberian kredit dalam bentu uang tunai karena berdasarkan pengalaman pemberian kredit dalam bentuk sarana produksi sering menimbulkan kerugian, yaitu: (a) sering terjadi pengurangan dalam kuantitas atau kualitas pupuk dan obat‐obatan, (b) keterlambatan dalam penyaluran dikarenakan masalah transportasi, dan (c) menyebabkan ketidaksesuaian antara jenis saprotan yang dikirim dengan kebutuhan tanaman di lapangan, terutama jenis pupuk dan pestisida. Melalui kredit tunai, petani dapat mengelola sendiri dana yang ada dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan di lapangan. Pemberian kredit uang tunai sudah diterapkan dalam program UPKD dan KKP. Periode kredit dan cara pembayaran. Usahatani mempunyai siklus produksi musiman atau memberikan penerimaan semusim sekali. Sesuai dengan karakteristik usaha tersebut, seluruh petani menginginkan kredit jangka pendek (musiman) dan pembayaran dilakukan satu kali setelah padi di panen. Berlainan dengan pedagang, penggilingan padi dan pelaku agribisnis lainnya, usaha mereka dapat memberikan penerimaan tiap hari sehingga lembaga kredit yang menetapkan cara pembayaran bulanan dapat diakses. Tingkat suku bunga. Mayoritas petani menginginkan kredit ringan sesuai dengan Kredit Likuiditas/Lunak Bank Indonesia (KLBI). Kredit program KKP dan UPKD menyediakan kredit dengan suku bunga masing‐masing 18 persen dan 24 persen per tahun. Namun kredit murah sangat terbatas sejak berlakunya Undang‐Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia sebagai implikasi dari Letter of Intent (LOI) antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter International (IMF). Pembiayaan pertanian tidak lagi sepenuhnya tergantung pada KLBI, tetapi lebih banyak mengandalkan kesediaan modal yang dimiliki lembaga keuangan perbankan dan non perbankan di dalam maupun di luar negri dengan pola pengelolaan yang mengarah pada sistem pembiayaan komersial. Oleh karena itu, penting adanya terobosan untuk mereview dan merevisi kebijakan keuangan, perbankan dan perkreditan untuk menyediakan fasiltas tingkat suku bunga yang terjangkau oleh petani kecil. Tahap 1. Intensifikasi kordinasi & kerja sama antara pemerintah pusat‐ Rekonsolidasi daerah dengan lembaga keuangan, BUMN, dan swasta lainnya (2013‐2014) : tentang skema permodalan untuk pengurangan kemiskinan; melanjutkan 2. Adanya kebijakan KUR yang terintegrasi untuk mengakui, program yg sedang menginklusi dan memudahkan petani miskin dlm menakses 88
berjalan & langkah2 dana kredit; persiapan menuju 3. Adanya program pendidikan dan pelatihan literasi keuangan transformasi serta kewirausahaan jasa kemasyarakatan. 4. Adanya program pendidikan dan pelatihan terhadap fasilitator penguatan kemitraan dunia usaha dari lembaga keuangan, BUMN dan swasta. Tahap Transformasi 1. Meningkatknya intensitas koordinasi kelembagaan bidang & Ekspansi (2015‐ perekonomian pemda dengan lembaga keuangan, BUMN dan 2020) : swasta untuk menyesuaikan dengan skema program mentransformasi & transformasi petani miskin; meningkatkan 2. Kemitraan lembaga keuangan, BUMN dan swasta efektif cakupan serta membantu permodalan dan pendampingan 60% kelompok‐ perluasan program kelompok usaha bersama petani ; 3. NPL kredit modal kerja kelompok usaha bersama tsb sebesar 30%‐35%; 4. Bertambahnya fasilitator profesional utk membantu pelatihan, pembinaan & pemberdayaan penduduk miskin utk bekerja & berusaha; Tahap Keberlanjutan (2021‐2025): pemantapan sistem pengurangan kemiskinan
5.2.
1. 70% usaha kelompok tani miskin telah tertata area usahanya scr resmi; 2. Meningkatnya jumlah rekening tabungan petani; 3. Meningkatnya modal usaha kelompok usaha tani; 4. Jumlah LKM dan kualitas LKM untuk program linkage dgn bank umum, BUMN, swasta lainnya dlm permodalan meningkat.
Rekomendasi Peta Jalan Penanggulangan Kemiskinan di Wilayah Pesisir
Pengentasan kemiskinan mulai menjadi kebijakan pembangunan di Indonesia sejak munculnya krisis ekonomi pada 1997‐1998. Hal ini menjadi langkah maju yang signifikan dari pendekatan pembangunan di periode sebelumnya. Dalam rencana pembangunan pemerintah dari tahun 1969‐1994, pengurangan kemiskinan tidak pernah secara eksplisit dinyatakan sebagai tujuan pembangunan. Baru pada 1994 kebijakan pembangunan mulai ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi, stabilitas, dan kesetaraan. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita), kebijakan ini bisa dilihat dengan adanya Instruksi Presiden tentang program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, pemerintah mulai bergulat menghadapi dampak sosial krisis, termasuk peningkatan kemiskinan. Dengan bantuan dari berbagai donor, pemerintah kemudian membentuk program Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang meliputi ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan masyarakat. Program JPS ini menjadi usaha awal penanggulangan kemiskinan dan 89
berbagai program perlindungan sosial yang juga dilaksanakan oleh pemerintah‐ pemerintah selanjutnya pasca‐krisis. Saat ini strategi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dirumuskan melalui pengelompokan program penanggulangan kemiskinan menjadi tiga kelompok (Klaster) berdasarkan tujuan dan sasaran dari program ini. Klaster pertama adalah bantuan sosial, dengan tujuan memberikan bantuan langsung kepada rumah tangga miskin untuk meringankan beban mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar. Klaster kedua adalah pemberdayaan masyarakat, dengan tujuan menyediakan dana sosial bagi masyarakat miskin yang dapat mereka gunakan untuk meningkatkan pelayanan sosial dan ekonomi dasar sesuai dengan prioritas mereka sendiri. Klaster ketiga adalah pemberdayaan usaha mikro, dengan tujuan menyediakan akses kredit untuk usaha mikro tanpa terhalang oleh persyaratan harus memberikan jaminan. Klaster keempat adalah program yang ditujukan sebagai upaya peningkatan dan perluasan program pro‐rakyat bagi kelompok‐kelompok miskin tertentu. Melalui program 4 klaster tersebut diharapkan rumah tangga miskin yang menjadi penerima program klaster 1 akan lulus dan menjadi penerima manfaat dari program klaster 2, dan akhirnya dapat memanfaatkan keuntungan dari program klaster 3 dan 4 untuk membawa mereka keluar dari kemiskinan. Evaluasi efektivitas program‐ program dalam mencapai tujuannya masing‐masing, telah menunjukkan hasil yang beragam. Di antara upaya untuk meningkatkan efektivitas program penanggulangan kemiskinan, pemerintah baru‐baru ini membentuk tim nasional (TNP2K) untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, diketuai oleh Wakil Presiden. Hal ini menunjukkan tingkat komitmen pemerintah dalam mencapai target dalam pengurangan kemiskinan. Ketika berbicara mengenai Pembangunan Sektor Perikanan, maka pelaku utama yang harus diperhatikan dan menjadi prioritas pembangunan adalah masyarakat nelayan, bukannya kalangan industri. Adapun kalangan industri berperan dalam mendukung fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan. Hal ini dikarenakan, nelayan senantiasa menjadi tumbal pembangunan yang disebabkan oleh ketidakberdayaannya dalam keikutsertaan penyusunan pembuatan kebijakan yang akan dilaksanakan di wilayah pesisir dan laut. Kita semua pasti akan sepakat, bahwa faktor‐faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan sangat kompleks, baik ditinjau dari pendekatan struktural maupun kultural. Dengan demikian, diperlukan strategi kebijakan pembangunan yang efektif dan komprehensif. Berkaca pada berbagai program pengentasan kemiskinan nelayan di masa lalu, kegagalan yang terjadi disebabkan oleh memandang sederhana 90
kemiskinan nelayan dan hanya menggunakan satu pendekatan yang partial, tidak terintegrasi dengan pembangunan sektoralnya, disertai dengan project oriented. Strategi pembangunan saat ini yang fokus pada pertumbuhan ekonomi yang propoor melalui penciptaan lapangan kerja sudah sesuai dengan upaya jangka panjang untuk memerangi kemiskinan dan kerentanan terhadap kemiskinan secara efisien dan berkelanjutan. Namun, pengelolaan program pengentasan kemiskinan, database kemiskinan, mekanisme targeting, serta integrasi dan kualitas program masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan uraian hasil analisa tersebut di atas, maka rekomendasi program‐ program untuk percepatan penanggulangan kemiskinan nelayan adalah sebagai berikut: 5.2.1. Sinkronisasi dan pengarusutamaan (mainstreaming) pro-poor dalam semua peraturan perundangan dan kebijakan pembangunan makro, regional, dan sektoral Kelautan merupakan arena multi sektor dan lintas departemen, sehingga sangat wajar bila terjadi konflik kepentingan antar institusi negara dalam mengurusi ”kavlingnya” masing‐masing. Institusi negara yang terlibat dalam mengurusi kelautan diantaranya, yaitu Kementerian Pertahanan, Kepolisian RI, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup serta Kementerian Pekerjaan Umum. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, banyaknya institusi negara yang terlibat di wilayah laut menyebabkan pembangunan kelautan dan perikanan tidak efektif. Hal ini dikarenakan pembangunan kelautan dan perikanan tidak dilakukan secara koordinatif oleh satu institusi negara. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dimana masing‐masing institusi negara mengeluarkan aturan‐aturan atau kebijakan‐kebijakan yang sama untuk mengejar ”setoran”. Beberapa contoh kasus tumpang tindih yang dapat menimbulkan konflik antar kementerian dan lembaga (K/L) antara lain: 1) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Kementerian Perindustrian mengenai pengaturan industri pengolahan ikan; 2) KKP dengan Kementerian Perdagangan mengenai pemasaran ikan; 3) KKP dengan Kementerian Kehutanan mengenai pengelolaan taman nasional laut; 4) KKP dengan Kementerian Perhubungan mengenai perizinan di pelabuhan; 5) KKP 91
dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengenai pengaturan pasir laut. Perbenturan juga terjadi antara UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 9 UU No. 24/1992 disebutkan bahwa kewenangan penataan ruang laut harus diatur dengan Undang‐ undang dengan kewenangannya terbesar ada pada pemerintah pusat. Sedangkan, dalam Pasal 18 ayat (3) butir c Undang‐undang No. 32/2004 disebutkan bahwa daerah berwenang untuk penataan ruang laut. Perubahan dan perbedaan yang ekstrim tersebut akan berakibat fatal. Tidak hanya menimbulkan konflik horizontal antar institusi negara, tetapi juga akan menimbulkan konflik vertikal antara masyarakat kecil dengan penguasa dan atau pengusaha. Lalu, sedikitnya ada 20 undang‐undang yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Agar kelautan menjadi sektor unggulan dalam membangun perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan yang mampu memayungi semua kebijakan institusi negara yang berbeda. Ocean policy sebagai ”payung” dalam sebuah kebijakan nasional yang bersifat publik yang dijabarkan dengan visi ekonomi kelautan (ocean economics/oceanomics), diharapkan mampu bersinergi dengan pembangunan dunia dan mensejahteraan umat manusia, khususnya Bangsa Indonesia. Lebih dari itu, sebagai payung kebijakan nasional, ocean policy mempunyai kemampuan untuk mengeliminasi konflik kelembagaan. Pengarusutamaan pro‐poor perlu dilakukan terhadap berbagai kebijakan pembangunan ekonomi makro, regional, dan sektoral. Sulit rasanya untuk bisa mensejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya jika beberapa kebijakan pembangunan berpotensi menggerus kedaulatan dan memiskinkan rakyat. Beberapa kebijakan yang dimaksud antara lain UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU 45/2009 tentang Perikanan, UU 27/2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil (PWP3K), kebijakan impor ikan, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dsb. Termasuk dalam pengarusutamaan pro‐poor ini adalah upaya pembenahan atau bahkan pencabutan terhadap perda yang hanya mengejar PAD semata. Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi telah memposisikan kepala daerah sebagai “raja‐raja kecil”, sehingga dengan leluasa bisa membuat aturan sendiri‐sendiri yang dapat menghambat jalannya program. Oleh karenanya, penataan terhadap perda‐ perda harus menjadi perhatian. Pungutan retribusi tidak diharamkan tapi harus sewajarnya dan berkeadilan. Dan perlu dicatat, UU No. 45 Tahun 2009 tentang 92
Perikanan menyebutkan bahwa untuk nelayan kecil dan pembudidaya ikan‐kecil tidak dikenakan pungutan perikanan. Tantangannya adalah mungkinkah pembenahan perda yang menunjukan keberpihakannya pada masyarakat nelayan dapat diwujudkan mengingat pemda lebih suka meningkatkan PAD. Tabel 5.2.1. Program Strategis Sinkronisasi dan Pengarusutamaan (mainstreaming) Pro-Poor dalam Peraturan Perundangan dan Kebijakan Pembangunan Tahap Rekonsolidasi (2013‐2015) :
Tahap Transformasi & Ekspansi (2016‐ 2020) :
1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh dan mendalam terhadap perkembangan pelaksanaan dan dampak program‐program pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan yang selama ini dijalankan 2. Melakukan penyusunan cetak biru pembangunan kelautan dan perikanan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan berbasis kekuatan masyarakat pesisir 3. Menyempurnakan dan memperjuangkan pemberlakuan UU Kelautan & Perikanan yang menjadi payung kebijakan berdasarkan cetak biru pembangunan kelautan 4. Melakukan pengkajian ulang dan revisi terhadap berbagai peraturan perundang‐undangan/ kebijakan makro yang berkaitan dengan pembangunan agar memiliki perpektif dan orientasi pemenuhan/ perlindungan hak masyarakat miskin 5. Melakukan pengkajian ulang dan, bila perlu upaya pembatalan, terhadap berbagai peraturan/ kebijakan daerah yang berpotensi melanggar pemenuhan/ perlindungan hak masyarakat miskin 6. Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi semua kebijakan K/L yang terkait dengan program pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan/ masyarakat pesisir (sinkronisasi horisontal) 7. Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi semua kebijakan pusat‐ daerah yang terkait program pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan/ masyarakat pesisir (sinkronisasi vertikal) 8. Sosialisasi cetak biru dan UU Kelautan & Perikanan kepada pemerintah daerah provinsi dan kota/ kabupaten 9. Sosialisasi dan konsultasi publik untuk memastikan setiap kebijakan pusat/ daerah yang dikaji dan direvisi telah mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak‐hak masyarakat miskin, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir 1. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan pembangunan kelautan dan penanggulangan kemiskinan yang telah direvisi untuk melihat dampaknya bagi nelayan miskin dan masyarakat pesisir lainnya 2. Melanjutkan pengkajian ulang dan revisi terhadap berbagai peraturan perundang‐undangan/ kebijakan makro terkait dengan pembangunan agar memiliki perpektif dan orientasi pemenuhan/ perlindungan hak masyarakat miskin 93
Tahap Keberlanjutan (2021‐2025):
3. Melanjutkan pengkajian ulang dan, bila perlu upaya pembatalan, terhadap berbagai peraturan/ kebijakan daerah yang berpotensi melanggar pemenuhan/ perlindungan hak masyarakat miskin 4. Melanjutkan sinkronisasi dan harmonisasi horisontal maupun vertikal semua kebijakan yang terkait dengan program pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan/ masyarakat pesisir 5. Memperluas sosialisasi dan konsultasi publik untuk memastikan setiap kebijakan pusat/ daerah yang dikaji dan direvisi telah mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak‐hak masyarakat miskin, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir dan diterima oleh seluruh pemamngku kepentingan 1. Melanjutkan evaluasi secara menyeluruh dan mendalam mengenai perkembangan realisasi dan dampak kebijakan makro, regional, dan sektoral terkait pembangunan kelautan dan penanggulangan kemiskinan 2. Review dan menyusun berbagai kebijakan komplementer yang diperlukan untuk proses pemantapan, perluasan, dan keberlanjutan; 3. Memperkuat dan melembagakan partisipasi publik pada proses sosialisasi dan konsultasi publik 4. Memperkuat dan memperluas implementasi berbagai kebijakan pembangunan yang sudah pro‐poor
5.2.2. Penguatan koordinasi dan kapasitas kelembagaan dalam mengelola program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan Dengan berlakunya desentralisasi berdasarkan UU 22 dan 25/1999, maka masalah kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan kebijakan penanggulangan kemiskinan menjadi relevan untuk ditingkatkan. Tanggung jawab dan otoritas yang lebih besar terutama pada
pengelolaan anggaran dan belanja berada di tangan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Sebagaimana dilaporkan dalam Bank Dunia (2006), McCulloch (2009), Patunru, McCulloch & von Luebke (2009), pemerintah kota/kabupaten sekarang ini menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan layanan publik, sarana dan prasarana umum, serta mengeluarkan peraturan daerah terkait pembangunan sosial, politik, dan ekonomi. Selain itu, sebuah temuan terbaru dari penelitian lain mengungkapkan adanya hubungan kuat antara kualitas tata kelola pemerintahan dan pengurangan kemiskinan. Menurut
kajian yang dilakukan Blaxall (2000), Eid (2000) dan Gupta (1998), tata kelola pemerintahan yang buruk akan membuat segenap upaya pengurangan kemiskinan menjadi tidak efektif. Buruknya tata kelola akan membuat terbukanya peluang korupsi atau penyalahgunaan dana proyek‐proyek pengentasan kemiskinan oleh penguasa
94
(Woodhouse, 2001). Oleh karena itu, tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) adalah syarat mutlak dan perlu bagi efektifitas penanggulangan kemiskinan. Untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan daerah agar tidak berpengaruh negatif
kepada upaya penanggulangan kemiskinan, maka pedoman yang jelas harus disusun untuk memastikan regulasi yang tepat baik di tingkat nasional dan lokal. Selanjutnya, dalam desain dan implementasi program‐program penanggulangan kemiskinan, koordinasi horisontal antar kementerian/ lembaga maupun koordinasi vertikal antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperkuat. Untuk itu mungkin diperlukan suatu badan/ lembaga, baik baru atau yang sudah ada, yang ditugaskan dengan mandat yang kuat untuk mengkoordinasikan upaya‐upaya penanggulangan kemiskinan baik di tingkat pusat dan daerah. B adan ini akan memiliki kekuatan, antara lain, untuk meninjau dan mencabut peraturan pemerintah pusat dan daerah (perda) yang kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Sementara itu, masyarakat sipil perlu memperkuat kapasitas dan membangun koalisi untuk melawan praktik pemerintahan yang buruk.
Selanjutnya, koalisi masyarakat sipil tersebut harus bermitra dengan badan/ lembaga penanggulangan kemiskinan untuk meningkatkan efektivitas dari semua upaya penanggulangan kemiskinan. Badan/ lembaga penanggulangan kemiskinan juga akan menjadi pusat dari sistem informasi kemiskinan nasional. Institusi ini akan menjadi pusat pertukaran dari semua data yang dikumpulkan yang relevan bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Selain itu, badan/
lembaga ini akan menjadi tempat penyimpanan semua studi/ kajian tentang kemiskinan di Indonesia dan, karenanya, menjadi pusat pembelajaran yang menyediakan pelajaran dari semua program penanggulangan kemiskinan masa lalu, baik dari pemerintah pusat dan daerah. Sama pentingnya dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan upaya pengentasan kemiskinan; di masa depan setiap kebijakan ekonomi yang disusun harus dinilai ex ante untuk mengukur kemungkinan dampaknya bagi masyarakat miskin. Jika hasil dari penilaian ini menunjukkan bahwa kebijakan akan memiliki dampak negatif pada kehidupan orang miskin, maka kebijakan tersebut harus direvisi atau dibatalkan sama sekali. Atau, jika kebijakan tersebut dianggap sebagai suatu keharusan dan harus dipertahankan, maka kebijakan kompensatif yang akan melindungi kelompok miskin dari dampak negatif kebijakan tersebut perlu disusun dan dilembagakan.
Isu krusial lainnya adalah pentingnya partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sekali lagi, prinsip partisipasi masyarakat menemukan relevansinya dalam konteks desentralisasi Indonesia di mana suara, transparansi, dan akuntabilitas telah menjadi semacam "aturan main" dalam praktek demokrasi sehari‐hari. Namun, keberhasilan partisipasi semacam ini tidak akan tercapai tanpa 95
dukungan politik pemerintah dan kapasitas organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam memahami program pengurangan kemiskinan dan mendorong transparansi yang lebih besar. Badan/ lembaga penanggulangan kemiskinan juga bertanggung jawab dalam menyempurnakan mekanisme perancangan, pelaksanaan, dan pemantauan program penanggulangan kemiskinan. Pada kebanyakan program penanggulangan kemiskinan saat ini, hampir tidak ada keterlibatan kelompok miskin dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program. Mereka seringkali hanya diperlakukan seperti penerima pasif. Meskipun masyarakat merupakan bagian dari peserta Musrenbang Desa, tetapi kualitas partisipasi dan kesadaran mereka tentang informasi kegiatan desa masih rendah. Oleh karena itu, badan/ lembaga penanggulangan kemiskinan akan memimpin upaya untuk secara efektif melibatkan masyarakat miskin dalam proses perancangan, pelaksanaan, dan pemantauan program‐program penanggulangan kemiskinan. Untuk pengelolaan sistem perlindungan sosial, pelajaran dari pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa skema‐skema yang dikelola di tingkat lokal mungkin dapat memberikan layanan yang lebih efektif dan efisien, sekalipun sistemnya dikembangkan dan dimiliki oleh pemerintah pusat. Bukti lapangan menunjukkan bahwa partisipasi dalam berbagai program perlindungan sosial sangat tergantung pada peran aktivis lokal atau kader. Para kader memiliki kemampuan untuk mendistribusikan hak‐hak rakyat dalam sebuah program komprehensif. Mereka dapat mengurangi hambatan komunikasi antara pejabat pemerintah dan masyarakat, dan karenanya mengurangi biaya sosialisasi. Mereka juga memiliki pengetahuan yang luas dalam menentukan anggota masyarakat yang dianggap miskin, sehingga bisa meningkatkan penargetan program perlindungan sosial.
Dalam konteks pembangunan kelautan dan perikanan, perlu juga dilakukan pembenahan kelembagaan yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan. Eksistensi dan peran koperasi perikanan (KUD Mina) sebagai lembaga formal harus diaktifkan dan direvitalisasi karena selama ini banyak KUD Mina yang “gulung‐tikar” dan kehilangan peranannya, kalah oleh lembaga‐lembaga non‐formal seperti lembaga patron‐klien. Namun demikian, keberadaan lembaga non‐formal jangan diberangus begitu saja karena hal ini akan menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat nelayan. Dengan kata lain, gabungan eksistensi lembaga non‐formal dengan lembaga formal diharapkan dapat memperkuat kebijakan Pembangunan Perikanan. Selain itu, hal yang harus diperhatikan dalam penguatan peran KUD Mina adalah peningkatan sumberdaya manusia (SDM) pengurus serta peningkatan fasilitas layanan pengadaan sarana dan prasarana produksi perikanan.
96
Tabel 5.2.2. Program Strategis Penguatan koordinasi dan kapasitas kelembagaan dalam mengelola program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan Tahap Rekonsolidasi (2013‐2015) :
Tahap Transformasi & Ekspansi (2016‐ 2020) :
1. Melakukan pengkajian ulang dan penyempurnaan terhadap prosedur dan tupoksi dari unit‐unit kerja pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang terkait dengan pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan 2. Memperkuat kapasitas aparat pelaksana program dari pemerintah di tingkat pusat/ daerah dalam perencanaan, koordinasi pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 3. Memperkuat kapasitas tenaga pendamping (fasilitator, konsultan, mitra usaha, tokoh masyarakat, dan kader) di tingkat pusat/ daerah/ komunitas dalam perencanaan, koordinasi pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 4. Menyusun sistem evaluasi eksternal yang komprehensif bagi upaya‐upaya penanggulangan kemiskinan dan kerentanan baik yang dilakukan pemerintah pusat, daerah, masyarakat, atau pun swasta 5. Membentuk dan memperkuat badan/ lembaga khusus, baik baru atau yang sudah ada, yang ditugaskan dengan mandat yang kuat untuk mengkoordinasikan upaya‐upaya penanggulangan kemiskinan baik di tingkat pusat dan daerah 6. Memperkuat partisipasi dan kerjasama masyarakat sipil dan koalisinya untuk melawan praktik tata kelola pemerintahan yang buruk yang bisa menggagalkan efektifitas upaya penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 7. Memperkuat pelibatan masyarakat, khususnya kelompok miskin, dalam proses perancangan, pelaksanaan, dan pemantauan program‐program penanggulangan kemiskinan, termasuk dalam proses Musrenbang 1. Melanjutkan penguatan kapasitas dan memperluas partisipasi komunitas nelayan dalam aktivitas perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pemantauan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan 2. Memastikan sistem evaluasi eksternal yang komprehensif terintegrasi dalam setiap program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 3. Melanjutkan penyempurnaan dan penegakan regulasi terkait prosedur dan tupoksi dari unit‐unit kerja pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang terkait dengan pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan 4. Melanjutkan dan memperluas cakupan penguatan kapasitas aparat pelaksana program dari pemerintah di tingkat pusat/ daerah dalam perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan 97
Tahap Keberlanjutan (2021‐2025):
kerentanan masyarakat nelayan 5. Melanjutkan dan memperluas cakupan penguatan kapasitas tenaga pendamping (fasilitator, konsultan, mitra usaha, tokoh masyarakat, dan kader) di tingkat pusat/ daerah/ komunitas dalam perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 6. Melanjutkan penguatan dan memastikan efektifitas kinerja badan/ lembaga khusus yang bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan upaya‐upaya penanggulangan kemiskinan baik di tingkat pusat dan daerah 1. Melembagakan penguatan kapasitas dan perluasan partisipasi komunitas nelayan dalam aktivitas perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pemantauan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan 2. Melembagakan pelaksanaan sistem evaluasi eksternal yang komprehensif terintegrasi dalam setiap program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 3. Memastikan keberlanjutan penegakan regulasi terkait prosedur dan tupoksi dari unit‐unit kerja pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang terkait dengan pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan 4. Melembagakan dan memperluas cakupan penguatan kapasitas aparat pelaksana program dari pemerintah di tingkat pusat/ daerah dalam perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 5. Melembagakan dan memperluas cakupan penguatan kapasitas tenaga pendamping (fasilitator, konsultan, mitra usaha, tokoh masyarakat, dan kader) di tingkat pusat/ daerah/ komunitas dalam perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 6. Melanjutkan penguatan dan memastikan efektifitas kinerja badan/ lembaga khusus yang bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan upaya‐upaya penanggulangan kemiskinan baik di tingkat pusat dan daerah
5.2.3. Peningkatan Kualitas Database Perikanan, Kemiskinan, dan Mekanisme Targeting Program Tersedianya basis data (database) yang berkualitas sangat penting bagi pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pembangunan, terutama pembangunan kelautan dan perikanan, serta penanggulangan kemiskinan. Tanpa data yang akurat, mustahil rasanya kebijakan yang bagus dapat dihasilkan. Misalnya untuk data perikanan tangkap, apabila data yang tersedia tidak akurat, maka 98
dikhawatirkan terjadinya overfishing yang justru akan mengukuhkan kemiskinan nelayan. Begitu juga dengan data perikanan budidaya, lemahnya kelayakan data lahan dikhawatirkan akan menciptkan tambak‐tambak idle yang semakin menambah dan melengkapi data kerusakan lahan di sekitar pesisir. Keakuratan data akan mempengaruhi keberhasilan program Pembangunan Perikanan. Tantangannya adalah bagaimana menuntaskan data perikanan daerah di tengah‐tengah kurangnya SDM. Selain itu basis data juga sangat vital bagi proses penargetan program penanggulangan kemiskinan. Pentingnya penargetan (targeting) menjadikannya sebagai aspek yang menonjol dari proses perancangan program karena manfaat potensial dari penargetan yang efektif cukup besar. Penargetan membantu memusatkan pengeluaran yang dialokasikan untuk program pada mereka yang paling membutuhkannya, sehingga dapat meningkatkan efisiensi program. Selain itu, mengingat keterbatasan anggaran dan waktu yang dihadapi pelaksana program, sangat diharapkan bahwa pengeluaran untuk sektor sosial akan tepat sasaran (Sumarto dan Suryahadi, 2001). Secara umum, ada dua jenis mekanisme penargetan, yaitu penargetan administrasi dan penargetan berbasis pasar atau penargetan seleksi mandiri (self-selection targeting). Pada penargetan administrasi, penerima manfaat dipilih oleh pelaksana program. Sedangkan pada penargetan berbasis pasar atau seleksi‐mandiri, penerima manfaat bergantung pada struktur insentif yang melekat dalam program untuk menarik calon penerima manfaat yang potensial. Dua pendekatan yang umum digunakan dalam penargetan administrasi adalah penargetan geografis dan rumah tangga atau penargetan individu. Indonesia mengadopsi kombinasi dari kedua jenis mekanisme penargetan tersebut. Sejauh ini penargetan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum terlalu kuat (Sumarto, 2001). Bukti dari berbagai program yang ditargetkan menunjukkan bahwa kinerja penargetan berbagai program jaring pengaman dan kemiskinan masih rendah. Hal ini berarti bahwa program tersebut hanya sedikit memihak atau bermanfaat bagi kelompok miskin. Kesalahan rendahnya cakupan (yaitu proporsi orang miskin yang tidak termasuk dalam program) maupun kesalahan kebocoran (yaitu proporsi penerima manfaat yang bukan orang miskin) masih cukup tinggi (Sumarto dan Suryahadi, 2001; Bank Dunia, 2007) . Sejumlah pelajaran penting dari pengalaman Indonesia telah dirumuskan oleh Sumarto dan Suryahadi (2001) untuk meningkatkan efektivitas penargetan dan 99
manfaat dari program penanggulangan kemiskinan. Pertama, karena kelemahan penargetan administrasi statis dalam menangkap rumah tangga yang baru miskin atau terkena guncangan, maka sistem informasi real‐time yang dirancang dengan baik dan dapat diakses publik adalah sangat penting untuk mendukung semua upaya pemerintah dan donor dalam melaksanakan program perlindungan sosial yang efektif . Kedua, merancang dan mengimplementasikan program jaring pengaman sosial skala besar pada situasi krisis memerlukan komitmen kelembagaan di tingkat pusat, didukung oleh tujuan yang jelas dan desain yang sederhana. Ketiga, harus ada ruang/ keleluasaan bagi fleksibilitas lokal di negara‐ negara dengan ukuran dan kompleksitas seperti Indonesia. Tabel 5.2.3. Program Strategis Peningkatan Kualitas Database Perikanan, Kemiskinan, dan Mekanisme Targeting Program Tahap Rekonsolidasi (2013‐2015) :
Tahap Transformasi & Ekspansi (2016‐ 2020) :
1. Melakukan perancangan ulang sistem basis data (database) perikanan dan kemiskinan untuk mendukung akurasi penargetan program‐program kemiskinan multidimensi pada masyarakat pesisir 2. Meningkatkan akurasi dan validitas data perikanan dan kemiskinan untuk menjamin pemahaman yang lebih akurat tentang profil kemiskinan multidimensi pada masyarakat pesisir 3. Membangun sistem informasi pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan/ masyarakat pesisir yang integratif dan komprehensif serta bisa diakses publik secara real‐time 4. Membangun pusat layanan informasi dan pembelajaran penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir di setiap kota/kabupaten 5. Melakukan pengkajian ulang dan perbaikan terhadap mekanisme penargetan program‐program penanggulangan kemiskinan 6. Memperkuat kapasitas pengelola di tingkat pusat/ daerah dalam perencanaan, koordinasi pelaksanaan, dan pengawasan sistem informasi penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 7. Memperkuat kapasitas tenaga pendamping dan partisipasi masyarakat dalam penyediaan data dan informasi dalam perencanaan, koordinasi pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 1. Melanjutkan proses integrasi sistem informasi pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan/ masyarakat pesisir tingkat pusat dengan daerah 2. Mengevaluasi dan meningkatkan kualitas dan cakupan layanan pusat informasi dan pembelajaran penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir di setiap kota/kabupaten 100
Tahap Keberlanjutan (2021‐2025):
3. Mengevaluasi dan melanjutkan penyempurnaan mekanisme penargetan program‐program penanggulangan kemiskinan 4. Melanjutkan penguatan kapasitas pengelola di tingkat pusat/ daerah dalam perencanaan, koordinasi pelaksanaan, dan pengawasan sistem informasi penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 5. Melanjutkan upaya penguatan kapasitas tenaga pendamping dan partisipasi masyarakat dalam penyediaan data dan informasi dalam perencanaan, koordinasi pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan masyarakat nelayan 1. Memantapkan pengelolaan sistem informasi pembangunan kelautan/ perikanan dan penanggulangan kemiskinan nelayan/ masyarakat pesisir tingkat pusat dengan daerah 2. Memantapkan kinerja dan cakupan layanan pusat informasi dan pembelajaran penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir di setiap kota/kabupaten 3. Melembagakan sistem evaluasi dan penyempurnaan mekanisme penargetan program‐program penanggulangan kemiskinan 4. Melembagakan penguatan kapasitas tenaga pendamping dan partisipasi masyarakat dalam penyediaan data dan informasi dalam perencanaan, koordinasi pelaksanaan, dan pengawasan program penanggulangan kemiskinan dan kerentanan nelayan
5.2.4. Integrasi dan Peningkatan Mutu Program-program Bantuan Sosial, Pemberdayaan Masyarakat, dan Penguatan Usaha Mikro Perubahan nama, isi, mekanisme penargetan, dan pelayanan berbagai program bantuan sosial (Klaster 1) mengarah ke sebuah upaya integrasi klaster ini menuju pemenuhan Sistem Jaminan Sosial Nasional Indonesia (SJSN). Ada enam program yang saling terkait pada perlindungan konsumsi beras, kesehatan, dan pendidikan bagi rumah tangga miskin. Program‐program tersebut adalah adalah Raskin, Jamkesmas, BKM / BSM, BOS, PKH, dan bagian dari PNPM Generasi (bantuan tunai bersyarat bagi masyarakat). Meskipun secara desain dampak langsung dari masing‐masing program berbeda, dampak keenam program tersebut pada tingkat rumah tangga harus dilihat menggunakan perspektif konsumsi rumah tangga karena beberapa program dapat menggantikan atau memiliki efek spillover kepada yang lainnya. Ketika program‐ program tersebut disatukan ke dalam kerangka pembuatan keputusan dalam rumah tangga, maka keenam program terpisah tersebut kemudian dapat dipadatkan menjadi satu atau dua program baru saja. Misalnya hanya satu skema bantuan tunai bersyarat bagi rumah tangga dengan persyaratan tertentu pada status kesehatan, 101
kepesertaan pendidikan, dan konsumsi pangan; ditambah perluasan cakupan Jamkesmas untuk memenuhi UU SJSN. Mengurangi jumlah skema bantuan sosial akan membawa dampak pada pengurangan biaya administratif atau overhead program, seperti yang ditunjukkan oleh hasil studi Bank Dunia (World Bank, 2006). Antara program Klaster 1 dan Klaster 2, kekhasan dari cakupan harus dimasukkan dan terlihat dalam praktek sehingga tidak terjadi overlap antar program. Misalnya, antara program PNPM Generasi pada Klaster 2 dan program PKH pada Klaster 1. Program PNPM Generasi sebaiknya harus bekerja semata‐mata pada peningkatan sisi pasokan dan bukan sisi permintaan. Oleh karenanya, pemantauan tepat waktu serta evaluasi diperlukan dalam rangka untuk terus meningkatkan panduan teknis dan efektivitas serta efisiensi praktek pelaksanaannya. Demikian juga untuk mewujudkan pengembangan aset dan penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi masyarakat miskin perlu dilakukan perancangan ulang dan integrasi dari berbagai program penanggulangan kemiskinan 4 klaster, khususnya pada Klaster 2, 3, dan 4. Integrasi dan perancangan ulang diperlukan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih (overlap) program sehingga pelaksanaannya bisa lebih efisien dan efektif. Misalkan, antara Klaster 3 dan sub‐rogram PKN Klaster 4 yang sama‐sama menyediakan skema mikro kredit (KUR) dan fasilitas bank rakyat. Klaster 3 tentang pemberdayaan usaha kecil dan mikro perlu dioptimalkan agar bisa mengaktifkan fungsinya sebagai pengungkit usaha yang lebih maksimal terhadap kelompok miskin dan hampir miskin, dan untuk menyediakan insentif bagi nelayan untuk akumulasi aset produktif, dimulai melalui program bantuan aset produktif. Tabel 5.2.4. Program Strategis Integrasi dan Peningkatan Mutu Program-program Bantuan Sosial, Pemberdayaan Masyarakat, dan Penguatan Usaha Mikro Tahap Rekonsolidasi (2013‐2015) :
1. Melanjutkan dengan memperbaiki pelaksanaan dan memperluas cakupan program penanggulangan kemiskinan 4 klaster, khususnya PNPM‐KP dan PKN 2. Menyusun desain konsep pengintegrasian program penanggulangan kemiskinan 4 klaster saat ini menjadi program sistem jaminan dan bantuan sosial, pemenuhan layanan dasar, dan sustainable livelihood 3. Menyusun konsep pembiayaan bagi implementasi program‐ program SJSN dan bantuan sosial, pemenuhan layanan dasar, dan sustainable livelihood 4. Membentuk dan mempersiapkan BPJS Kesehatan yang akan menjadi pengelola program jaminan kesehatan universal 5. Memastikan stabilitas ekonomi makro dan harga serta persediaan pangan 102
Tahap Transformasi & Ekspansi (2016‐ 2020) :
6. Meningkatkan penyediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi nelayan miskin dan masyarakat pesisir 7. Penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan birokrasi, fasilitator, guru, petugas kesehatan/ bidan dan pihak lain yang terlibat dalam pelayanan sosial kepada nelayan kecil 8. Merevitalisasi dan mengembangkan pelayanan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi produksi nelayan kecil di daerah‐daerah, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan; 9. Melanjutkan dan memperkuat skema dukungan bagi pendidikan atau pelatihan terapan untuk pengembangan usaha perikanan alternatif pada rumah tangga nelayan kecil; 10. Rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur usaha perikanan 11. Penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan birokrasi, fasilitator, pengelola koperasi Mina, dan pihak lain yang terlibat dalam pendampingan pemberdayaan nelayan kecil; 12. Meningkatkan dan memperluas cakupan bantuan kredit yang mudah dan murah, pelatihan usaha kecil mandiri dan bantuan integrasi terhadap pasar 13. Menyelenggarakan balai pelatihan kerja (bekerjasama dengan industri), sertifikasi, pendidikan universal bagi nelayan miskin dan masyarakat pesisir 14. Perbaikan infrastruktur kampung, termasuk listrik mudah pakai dan jaringan air bersih 15. Memperkuat dan memperluas cakupan program perlindungan lingkungan dan penanggulangan polusi 16. Melakukan penguatan dan pemberdayaan organisasi / institusi lokal bagi kegiatan perencanaan partisipatif komunitas (aset sosial 1. Mengimplementasikan konsep baru Jaminan Kesehatan dengan perluasan cakupan sebagai cikal bakal menuju Jaminan Kesehatan Universal 2. Mengimplementasikan konsep baru Jaminan Sosial Tenaga Kerja dengan perluasan cakupan sebagai cikal bakal menuju Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang integatif 3. Memperbaiki dan memperluas cakupan program bantuan sosial temporer bersyarat bagi nelayan miskin 4. Memperbaiki dan memperluas cakupan program pelayanan dasar bagi nelayan miskin 5. Pembentukan BPJS Tenaga Kerja yang akan menjadi pengelola Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja 6. Memperbaiki dan memperluas cakupan pelaksanaan bantuan modal dan alat produksi bagi nelayan miskin 7. Penguatan kapasitas nelayan miskin dalam mengelola usaha, penguasaan teknologi, pemasaran, dan pengelolaan keuangan 8. Membangun/ mendorong linkage/kemitraan antara KUB , industri, dan lembaga pembiayaan bank/ non‐bank, dan pengembang kapasitas bisnis 103
Tahap Keberlanjutan (2021‐2025):
5.3.
9. Meningkatkan kapasitas dan cakupan layanan koperasi Mina sebagai lembaga ekonomi kolektif nelayan kecil dan masyarakat pesisir 10. Memperluas cakupan penyediaan infrastruktur sehingga wilayah‐wilayah kantong kemiskinan pesisir bisa saling terhubung untuk memudahkan perniagaan 1. Memantapkan dan memastikan tercapainya Jaminan Sosial Universal bagi seluruh rakyat 2. Memantapkan dan memperluas cakupan dan ketersediaan infrastruktur pelayanan dasar bagi masyarakat pesisir 3. Memantapkan upaya‐upaya pengembangan aset dan usaha masyarakat nelayan miskin (sustainable livelihood) 4. Melembagakan keterhubungan antara perguruan‐perguruan tinggi di daerah untuk pengembangan dan penerapan teknologi yang tepat guna. Terutama untuk meningkatkan nilai guna dari produksi usaha perikanan sebagai dasar bagi pengembangan industrialsiasi perikanan yang berbasikan masyarakat; 5. Pemeliharaan dan pengembangan cakupan luasan dan kualitas infrastruktur ekonomi dan sosial wilayah pesisir; 6. Memantapkan implementasi konsep Minapolitan yang berbasis masyarakat dan berwawasan lingkungan;
Rekomendasi Peta Jalan Penanggulangan Kemiskinan Pekerja Informal di Permukiman Kumuh Perkotaan
5.3.1. Perspektif dan Kerangka bagi Peta Jalan Membangun Kesejahteraan Penduduk Miskin di Perkotaan Peta jalan untuk membangun kesejahteraan bagi penduduk miskin perkotaan yang perekonomiannya mengalami informalisasi dan rakyat secara keseluruhan dalam konteks ini diletakan dalam sebuah perspektif dan kerangka yang disebut dengan transformasi tenaga kerja. Seperti telah disinggung di atas bahwa proses informalisasi tenaga kerja yang mengiringi proses deindustrialisasi pada kota‐kota industri di Indonesia tidak menyurutkan proses migrasi dari desa ke kota. Di satu sisi, dengan makin membaiknya tingkat perekomian nasional terjadi pula pengurangan lahan pertanian di perdesaan sehingga mendorong penduduk desa bermigrasi ke kota‐kota sekitarnya atau menuju pulau‐pulau dimana masih terdapat pabrik‐pabrik yang dapat mempekerjakan mereka. Di sisi lain, para buruh yang sebelumnya telah menetap di kota‐kota industri umumnya adalah tenaga kerja kontrak yang mengalami kerentanan jaminan keberlangsungan kerja sehingga sewaktu‐waktu mereka dapat terlempar bekerja di sektor informal kota. Dampaknya adalah penumpukan jumlah angkatan kerja produktif di kota‐kota,
104
khususnya kota‐kota utama di tiap pulau‐pulau besar, yang hidup di rumah‐rumah sewa pada permukiman‐permukiman kumuh. Apa yang kemudian dimaksud dengan transformasi tenaga kerja di sini adalah modifikasi pekerjaan (job modification). Modifikasi pekerjaan bukan pertama‐tama menyangkut perubahan jenis pekerjaan melainkan pendalaman profesi yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan pengetahuannya yang mendalam atas keterampilan kerjanya. Penduduk miskin di permukiman kumuh perkotaan, termasuk para buruh kontrak atau alih daya (outsourcing), sering diidentikkan dengan tenaga kerja yang mempunyai keterbatasan keterampilan dan produktivitas output yang rendah. Namun di sisi lain, mereka juga mempunyai kejelian dalam melihat peluang‐peluang yang paling kecil sekali pun atas barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat kota secara keseluruhan. Dengan melihat kecenderungan tersebut maka transformasi tenaga kerja bagi penduduk miskin, hampir miskin, dan rentan miskin dalam menanggapi perkembangan perekonomian kota di Indonesia abad 21 menjadi penting. Dengan ditetapkannya MP3KI sebagai mekanisme sandingan untuk mengatasi dampak pembangunan yang timpang maka pemerintah melalui Bappenas telah merancang konstruksi dasar proses transformasi tersebut. Konstruksi dasar tersebut tercakup ke dalam Strategi Pengembangan Penghidupan bagi Penduduk Miskin dan Rentan, selain Strategi Peningkatan Pelayanan Dasar dan Strategi Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial yang Komprehensif. Konstruksi dasar Strategi Pengembangan Kehidupan bagi Penduduk Miskin dan Rentan merupakan salah satu kunci pengurangan kemiskinan yang berkualitas dengan melakukan peningkatan kualifikasi sumber daya manusia dan keberdayaan perekonomian kelompok miskin dan rentan. Dengan jumlah penduduk miskin yang besar dan berada pada usia produktif. Selain didukung oleh peningkatan pelayanan dasar dan pengembangan sistem perlindungan sosial yang komprehensif, pengurangan kemiskinan melalui transformasi tenaga kerja (job modification) pengurangan kemiskinan akan dipacu melalui usaha peningkatan kapabilitas dan produktifitas kelompok miskin dengan cara peningkatan kualifikasi sumber daya manusia penduduk miskin dan rentan yang berfokus di perkotaan. Untuk meningkatkan penghidupan yang berkelanjutan, inisiatif‐inisiatif dalam strategi tersebut bertujuan untuk : (a) Mendukung pengembangan aset, terutama aset sumber daya manusia, peningkatan kapasitas dukungan aparat pemerintah lokal, pendampingan peningkatan keterampilan produksi barang atau jasa, peningkatan kewirausahaan; dan (b) Penciptaan kondisi kelembagaan yang mendukung usaha perekonomian kelompok miskin untuk keluar dari kemiskinannya, seperti penciptaan pasar 105
yang adil, dukungan terhadap usaha mikro dan kebijakan yang mendukung inklusi finansial. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan dengan Pendekatan Peningkatan kapabilitas dan Produktivitas serta Pelembagaan Sistem Pembangunan, termasuk pembangunan lingkungan permukiman layak huni, secara Partisipatif. Dengan memperhatikan 5 Aset Penghidupan Manusia Berbasis Penghidupan Yang Berkelanjutan maka yang menjadi penekanan pada pendekatan di atas adalah pada 3 aset, yakni aset sumber daya manusia, infrastruktur, dan aset finansial/keuangan. Penekanan pada 3 aset tersebut bukan berarti mengabaikan dua aset lainnya melainkan sebagai pintu masuk agar program pengurangan kemiskinan di perkotaan dapat berdampak pada peningkatan dua aset lainnya yakni aset sosial‐ politik dan sumber daya alam. Misalnya, partisipasi pembangunan lingkungan permukiman kumuh menjadi permukiman layak huni melalui program infrastruktur secara langsung berpengaruh pada peningkatan aset sumber daya alam kota. Selain itu, peningkatan kualitas pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan di perkotaan akan mengangkat status sosial mereka yang sebelumnya pemukim ilegal menjadi warga negara. Lalu, jika penduduk miskin di permukiman kumuh perkotaan secara konsisten mengembangkan 3 aset utama sasaran maka dampak bagi atmosfir kehidupan sosial‐politik dimana mereka berada juga dapat membaik. Jadi arah bagi jalan peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya penduduk miskin perkotaan adalah dengan merekonstruksi bangunan perekonomian kota melalui transformasi tenaga kerja lebih didasarkan kepada konsep ekonomi rakyat miskin dan rentan serta tinggal di permukiman‐permukiman kumuh. Masyarakat miskin dan rentan di permukiman kumuh dan bekerja pada sektor informal harus dibangun sebagai basis perekonomian kota yang lebih tangguh, yaitu mampu bertahan terhadap goncangan melalui upaya pemberdayaan. Berbagai kelembagaan yang demokratis perlu ditumbuhkan. Melalui demokratisasi, akan terbangun sikap kemandirian, rasa percaya diri, dan kemampuan mengorganisir diri, sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang kuat di tengah persaingan perekonomian kota yang ketat. 5.3.2. Arahan Kebijakan Upaya untuk memecahkan masalah struktural kemiskinan di perkotaan membutuhkan kebijakan yang langsung menyentuh akar permasalahannya. Akar‐ akar persoalan yang dihadapi oleh penduduk miskin dan rentan di permukiman kumuh perkotaan adalah :
106
a.
Dari segi bantuan sosial, masih adanya banyak kelemahan mulai dari distribusi, pemantauan kepatuhan syarat penerimaan, jangkauan, cakupan program, kualitas pelayanan, dan keterbatasan alokasi anggaran. b. Dari segi partisipasi tenaga kerja masyarakat miskin di permukiman kumuh perkotaan yakni masih terbatasnya modifikasi pekerjaan dan diversifikasi serta pendalaman program pelatihan jenis kewirausahaan di sektor jasa kemasyarakatan, literasi keuangan, literasi tata kelola dan kapitalisasi infrastruktur permukiman kumuh pada masyarakat miskin kota. c. Dari segi jaminan sosial ketenagakerjaan yakni partisipasi jaminan sosial tenaga kerja belum mengatur penduduk miskin di permukiman kumuh perkotaan. d. Dari segi permodalan, banyaknya LKM/ Koperasi yang belum memiliki ijin, belum terinklusi ke dalam sistem perbankan/keuangan, persyaratan lembaga keuangan yang belum taut dan padan (link & match) dengan program kegiatan usaha PK kelompok miskin kota. e. Dari segi infrastruktur lingkungan permukiman, ketiadaan akses pada pemanfaatan / penggunaan lahan kota baik untuk aktivitas hunian maupun usaha. Arah kebijakan untuk pengurangan kemiskinan di perkotaan melalui transformasi tenaga kerja harus difokuskan pada upaya untuk memenuhi, melindungi dan memajukan hak‐hak penduduk miskin sebagai pekerja informal, baik di sektor ekonomi formal maupun informal, yang tinggal di permukiman kumuh perkotaan. Arah kebijakan strategis yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan perkotaan, antara lain penjaminan ruang berusaha bagi masyarakat miskin dalam sektor formal dan informal, penyediaan permukiman yang layak dan sehat, penjaminan pelayanan publik dalam administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan air bersih, pengembangan forum lintas penduduk dan penguatan peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan pembangunan kelurahan. Arah tersebut dapat dirinci dengan memandang aspek‐aspek : a.
Hak atas pekerjaan yang layak dan berkelanjutan. Agar pengangguran dan tingkat kemiskinan di perkotaan dapat menurun, penduduk miskin kota sebagai pekerja informal harus memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak dan berkelanjutan. Oleh karena itu arah kebijakan untuk mempercepat pengurangan kemiskinan di pekerja informal yang tinggal di permukiman kumuh adalah dengan memperkuat transformasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk modifikasi keterampilan profesi pekerjaan. Hal ini sejalan dengan hak‐hak buruh dalam konstitusi yakni : Pasal Pasal 27 (2) dimana ‘tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’; 107
Pasal 28D (2) yaitu ‘setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja’; Hak tersebut diatas kemudian diakomodir dalam UU HAM 1999 pasal 11 dimana ‘setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak’; dan Pasal 38 (1) dimana ‘setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak’; lalu ayat (2) dimana ‘setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan’; yang dilanjutkan dengan ayat (3) yakni ‘setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama’; serta ayat (4) yang berbunyi ‘setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya’. b. Hak atas Tanah Permukiman dan Perumahan. Agar penduduk miskin kota sebagai pekerja informal dapat menjalankan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan serta melakukan reproduksi sosial sekaligus dengan memanfaatkan wilayah lingkungan sekitarnya maka mereka harus dapat mengakses, menggunakan, dan merawat lokasi‐lokasi permukiman dimana mereka bertempat tinggal sekaligus bekerja. Hal ini sesuai dengan kebijakan‐ kebijakan nasional dan internasional yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia yaitu : Pasal 28H UUD 1945, ayat (1) menyebutkan ‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’; Pasal 5 ayat (1) UU No 4 Tahun 1992 menyebutkan ‘Setiap warga negara menpunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman serasi dan teratur’; Pasal 40, UU No 39 Tahun 1999 menyebutkan ‘Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak’; Pasal 11 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 11 Tahun 2005 menyebutkan ‘Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini’.
108
Beberapa ketentuan internasional pun telah menyebutkan bagaiman kewajiban Negara untuk memenuhi hak atas perumahan bagi warga negaranya, beberapa diantaranya adalah : Pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak‐Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: ‘setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan atas dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan’. Deklarasi Vancouver 1976 tentang Permukiman Penduduk menyatakan bahwa ‘tempat tinggal dan pelayanan yang layak adalah hak dasar manusia, sehingga merupakan kewajiban pemerintah untuk memastikan ketersediaan kedua hal tersebut bagi setiap warganya melalui pendampingan langsung, ataupun program berbasis komunitas atau aksi swadaya yang lebih terarah’. Agenda Habitat, di Istambul 1996, turut memastikan komitmen untuk ‘merealisasikan hak dasar atas perumahan yang layak’, sebagaimana tercantum dalam perjanjian internasional. Dalam konteks ini, kewajiban pemerintah adalah memudahkan warganya mendapat tempat tinggal, melindungi dan untuk meningkatkan kualitas rumah serta lingkungannya serta tempat tinggalnya. Kesemua produk hukum tersebut seharusnya memperkuat apa yang telah ditegaskan dalam Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005‐2025 : ‘... menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsipprinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi ..., perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui ... land reform.’ c. Hak atas air. Sama seperti arah kebijakan pengurangan kemiskinan untuk petani, air seharusnya dimiliki dan dilindungi negara. Kecendrungan deteriorisasi air di perkotaan dalam bentuk perembesan air laut, ketersediaan air bersih, dan ketiadaan pengolahan air limbah rumah tangga sederhana berbasis komunitas memperlihatkan tingginya urjensi ketersediaan air bagi penduduk miskin kota sebagai pekerja informal yang tinggal di permukiman kumuh. Pengelolaannya dan pemanfaatan harus melibatkan masyarakat dengan memperhatikan keseimbangan ekologi air. Harus ada kebijakan yang menjamin ketersediaan air yang aman, terjangkau, dan berkesinambungan serta ekologis bagi seluruh rakyat. d. Hak atas akses terhadap pasar dan perlindungan pembentukan pasar. Salah satu ciri pokok kehidupan penduduk miskin perkotaan adalah pola ekonomi subsistennya yang tidak sepenuhnya berorientasi pasar, dalam arti pasar yang 109
e.
ekspansif. Namun demikian bukan berarti penduduk miskin perkotaan menolak pasar karena keberadaan pasar itu sendiri umurnya jauh lebih tua dari kapitalisme. Dari inovasi‐inovasi teknologi yang digunakan oleh PKL dalam berdagang dan bertransaksi seperti moda alat usaha disesuaikan dengan jenis komoditi dan besaran ruang yang dibutuhkan, pemilihan lokasi berusaha, dan teknik pemasaran nampak bahwa penduduk miskin perkotaan yang bekerja di sektor informal mampu membentuk pasar barang dan jasanya sendiri. Hak atas akses kemudahan kredit usaha dan literasi finansial. Kemudahan akses kepada kredit lunak bermanfaat sebagai modal usaha tani bagi para penduduk miskin perkotaan di perkampungan kumuh yang bekerja di sektor informal. Kemudahan kredit tersebut juga harus dilakukan dengan (a) memilah sasaran berdasarkan tipe pekerjaan dari status aktivitas informalnya, bukan hanya status aktivitas informal saja, agar terhindar dari bias kelas sosial dalam pemberian kredit kepada jenis usaha informal yang telah mapan dan sudah cukup besar (lihat tabel klasifikasi aktivitas informal di atas), dan (b) diiringi dengan literasi finansial. Oleh karena itu, arah kebijakan lainnya yang juga vital adalah kebijakan yang memungkinkan penduduk miskin perkotaan di perkampungan kumuh memperoleh atau mengakses sumber‐sumber permodalan bagi usahanya secara mudah dan cepat dari sisi proses dan resiko pengembalian yang meringankan.
5.3.3. Strategi dan Pendekatan Strategi untuk mengurangi kemiskinan pada penduduk miskin pekerja informal di perkampungan kumuh perkotaan bertumpu pada partisipasi aktif mereka bersama dengan kelompok komunitasnya. Oleh karena itu harus dikembangkan pendekatan kelompok usaha berbasis profesi pekerja informal. Pendekatan kelompok merupakan salah satu pilihan konsep yang bisa dikembangkan untuk memperkuat kemandirian para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. Tindakan kolektif kelompok diharapkan bisa lebih memperkuat posisi tawar mereka dalam menjalin kerjasama dan mitra usaha dengan institusi lainnya. Selain itu, kelompok akan berfungsi sebagai tempat yang efektif untuk proses pembelajaran bersama dan wahana meningkatkan kerjasama. Dimensi pemberdayaan kelompok tersebut meliputi peningkatan pengetahuan dan kemampuan para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan melalui pelatihan pendalaman keahlian pekerjaan yang menopang modifikasi pekerjaan, pengembangan jaringan usaha melalui kerjasama, koordinasi dan komunikasi, serta peningkatan peran pendampingan melalui motivasi, fasilitasi dan bimbingan teknis.
110
Selain itu, upaya‐upaya untuk mengurangi kemiskinan para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan juga bertumpu pada pembenahan kerjasama kelembagaan. Yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah pembangunan komitmen bersama yang lebih kuat dan sinergi, baik antar kementrian/lembaga pada pemerintahan pusat maupun antar level pemerintahan pusat dan daerah. Tanpa itu, implementasi kebijakan dan program‐program tidak akan berjalan dengan baik. Alih‐alih menjawab permasalahan kemiskinan pada para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan, yang terjadi malah akan semakin memperdalam dan memperluas kemiskinan pada kelompok sasaran itu sendiri. 5.3.4. Program-Program Strategis Berdasarkan analisa persoalan, arah kebijakan dan strategi diatas, maka rekomendasi program‐program usaha pengembangan kehidupan perkotaan dalam MP3KI secara umum didasarkan pada penyediaan lembaga‐lembaga yang memfasilitasi peningkatan kualifikasi dan kualitas tenaga kerja kelompok miskin dan rentan perkotaan, khususnya tenaga kerja informal miskin di usia produktif pasca sekolah (19‐54 tahun). Strategi pengembangan penghidupan ini berlandaskan pada ketertautan dan kesepadanan (linking and matching) antara kesempatan kerja dengan pencari kerja, baik melalui fasilitasi informasi maupun peningkatan kualifikasi yang bukan hanya sesuai dengan kebutuhan pasar, namun mampu menciptakan pasar tenaga kerjanya sendiri secara berkelompok. Keseluruhan program‐program peningkatan pencaharian para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan akan diimplementasikan melalui sistem referal center tunggal dan terbuka bagi semua orang tanpa harus memiliki KTP setempat. Menggunakan sistem pelayanan langsung datang, para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan akan didata dan diarahkan ke lembaga BLK+ atau Pusat UKM dan fasilitasi literasi finansial. Lembaga tersebut dapat dioperasikan secara langsung oleh pemerintah daerah melalui fasilitasi pemerintah pusat atau kemitraan dengan lembaga pendidikan lokal. Pengendalian kualitas dan sertifikasi akan dilakukan oleh pemerintah pusat bekerja sama dengan perwakilan dari dunia usaha dan organisasi sertifikasi usaha terkait.
111
Gambar Skema Pengembangan Penghidupan Perkotaan MP3KI Program Bantuan Sosial
BLK Plus
Pengembangan Penghidupan
Program Penyediaan
Pusat Pendataan & Pelayanan Kota (Walk In) Plus
Lembaga Kelurahan & Forum Partisipasi
Pusat UKM & Literasi Finansial
Pelatihan & Sertifikasi Tenaga
Pendataan & Formalisasi Usaha Mikro & Kecil
Fasilitasi Informasi &
Fasilitasi Akses Kredit Usaha
Kemitraan Lembaga Pendidikan
Pelatihan Kewirausahaan & Literasi Finansial
Rencana Pengembangan Komunitas Identifikasi pekerja miskin informal di permukiman kumuh
Fasilitasi Penataan Lokasi dan Wilayah Usaha
A. Program Penguatan Kecamatan/Kelurahan Menjadi Unit Walk In Referal Center. Pelaksanaan program ini menjadi salah satu penopang penting bagi pencapaian Strategi Pengembangan Penghidupan Perkotaan MP3KI. Untuk mendorong terciptanya aparat pemerintahan lokal yang responsif dan inovatif maka penguatan kecamatan/kelurahan sebagai unit walk referal center plus tidak hanya terbatas pada fungsi pendataan tetapi juga mendorong tumbuhnya inovasi ekonomi lokal para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. Oleh karena itu agenda strategis pendidikan dan pelatihan para aparat kecamatan/kelurahan adalah Peningkatan Kapasitas Inisiatif & Kapasitas Inovatif Aparat Pemerintahan Tingkat Daerah, khususnya para aparat yang mengurusi seksi perekonomian serta kependudukan. Dimensi sasaran transformasi dari pendidikan dan pelatihan tersebut adalah mentransformasi birokrasi pemerintah daerah yang konservatif dan minim inovasi. 112
Tahapan-tahapan pelaksanaan program penguatan kecamatan/kelurahan menjadi unit walk in referal center adalah sebagai berikut: Tahap Rekonsolidasi 1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan (2013‐2015) : perundang‐undangan yang berkaitan dengan tupoksi unit‐ Pengembangan unit kerja pemerintah daerah bidang perekonomian, Model Walk In kependudukan, dan tenaga kerja agar sesuai dengan arah Referal Center Plus pembangunan walk in referal center plus bagi para pekerja dan Penguatan miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. Kapasitas Aparat 2. Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan di 13 Kecamatan/Kelurahan kelembagaan pemerintah yang menangani program pengurangan kemiskinan di perkotaan agar dapat mengakselerasi pelaksanaan pembangunan walk in referal center plus agar sesuai dengan maksud dan tujuannya. 3. Membuat alternatif‐alternatif model walk in referal plus sesuai dengan kondisi kemiskinan wilayah dan ciri pola migrasi antar dan dalam kota para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan serta berdasarkan hasil sinkronisasi dan hamornisasi tersebut di atas 4. Melakukan penyempurnaan pendataan para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan berdasarkan kewilayahan serta pola migrasinya; 5. Melakukan pembuatan peta struktur kepemilikan dan pengelolaan tanah permukiman kumuh kota yang menopang akses advokasi dan prioritas dalam penataan serta pengaturan lahan tempat usaha / tinggal. Peta ini digunakan untuk mendorong pemanfaatan lahan‐lahan kota yang tidak produktif milik lembaga‐lembaga swasta dan negara (termasuk BUMN Perbankan) berupa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. 6. Rintisan (piloting) lembaga walk in referal center telah beroperasi di 10% kota‐kota utama di tiap koridor perekonomian. Tahap Transformasi 1. Melakukan pendidikan aparat pemda kota yang mendapat & Ekspansi (2016‐ pendidikan pengelolaan walk in referal center plus. 2020) : Penguatan 2. Melakukan pendidikan aparat pemda kota untuk pembuatan sistem referal center program inovasi perekonomian kreatif tingkat lokal. perkotaan 3. Pada pertengahan tahap ekspansi dilakukan pertambahan jumlah aparat pemda kota yang mendapat pendidikan inovasi perekonomian kreatif tingkat lokal. 4. Setelah dilakukan pendidikan tersebut dilakukan uji coba peningkatan status walk in referal center plus pada 10% kota‐ kota utama di tiap koridor perekonomian yang telah mendirikan unit walk in referal. 5. Aparat pemda kota yang telah dididik mampu berinisiatif 113
6. Tahap Keberlanjutan (2021‐2025): Perluasan cakupan pelayanan referal center dan referal center plus perkotaan
1.
2.
3.
4. 5.
mengorganisasi rekan kerja di kecamatan/kelurahan sekitar untuk memaksimalkan Badan Kerjasama Masyarakat Kecamatan/Kelurahan (BKMK) dengan membentuk pokja lintas bidang guna pengembangan perekonomian kreatif tingkat lokal di masyarakat miskin kota. Membentuk dan berjalannya referal center di 75% kota‐kota di luar kota utama koridor perekonomian. Melakukan evaluasi secara menyeluruh dan mendalam mengenai perkembangan realisasi dan dampak program‐ program yang dijalankan terhadap aparat pemda kecamatan/kelurahan; Melakukan evaluasi secara menyeluruh dan mendalam mengenai perkembangan realisasi dan dampak program‐ program yang dijalankan oleh walk in referal center; Mendorong transformasi pengelolaan sebagian fungsi walk in referal center dari aparat kepada masyarakat miskin di permukiman kumuh perkotaan. Review dan menyusun berbagai kebijakan untuk proses pemantapan dan keberlanjutan; Menjalankan program pendampingan dan penguatan melalui berbagai program penunjang untuk menciptakan keberlanjutan, pengembangan dan produktivitas inovasi aparat dalam hal perekonomian kreatif tingkat lokal di masyarakat miskin kota berikut walk in referal center plus‐ nya.
B. Program Transformasi Tenaga Kerja melalui Modifikasi Pekerjaan (Job Modification) Para Pekerja Miskin Informal di Permukiman Kumuh Perkotaan. Pelaksanaan program ini merupakan komponen kunci bagi pencapaian Strategi Pengembangan Penghidupan Perkotaan MP3KI bagi penduduk miskin di permukiman kumuh perkotaan. Transformasi tenaga kerja melalui modifikasi pekerjaan bagi para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan harus didorong untuk menciptakan tenaga kerja yang bukan hanya dapat mengisi kebutuhan pasar tenaga kerja formal di kota tetapi juga membuka dan menciptakan jenis‐jenis pekerjaan baru yang sesuai dengan kemampuan yang telah dikembangkan lewat pelatihan, pendidikan, dan pendampingan. Oleh karena itu agenda strategis transformasi tenaga kerja masyarakat miskin di permukiman kumuh perkotaan akan diarahkan pada dimensi pendalaman ekonomi kreatif perkotaan. Ekonomi kreatif yang tumbuh dari industri kretif. Definisi Industri Kreatif (IK) adalah "...activities which have their origin in individual creativity, skill, and talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property". Bidang‐bidang aktivitas yang 114
termasuk ke dalam konsep tersebut adalah periklanan (advertising), arsitektur (architecture), pasar seni dan barang antik (the arts and antique market), kerajinan tangan (crafts), disain (design), perancang busana (designer fashion), filem (film), perangkat lunak hiburan interaktif (interactive leisure software), musik (music), seni pertunjukan (the performing arts), percetakan dan penerbitan (publishing), piranti lunak (software), televisi dan radio (television and radio) (Roodhouse, S., 2011: 10)19. Di Indonesia, khususnya dalam peraturan perundangan yang berlaku, tidak digunakan istilah Industri Kreatif melainkan Ekonomi Kreatif (EK). Dalam Instruksi Presiden No.6 Tahun 2009, ekonomi kreatif dipahami sebagai "...kegiatan ekonomi berdasarkan kreativitas, ketrampilanm dan bakat individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.” Ekonomi tersebut merupakan kegiatan ekonomi yang dibangun oleh para pekerja kreatif dan pekerja di sektor budaya (Montgomery, L., 2010 : 36)20 Ekonomi Kreatif selalu mengedepankan keahlian individu dan inovasi sebagai unsur produktif dalam proses berkreasi (Bilton, C., 2007:3)21. Organisasi internasional juga telah mengenali potensi jenis ekonomi tersebut misalnya dalam Creative Economy Report 2008 dimana United Nations Conference in Trade and Development (UNCTAD), memandang Industri Kreatif "...can be defined as the cycles of creation, production and distribution of goods and services that use creativity and intellectual capital as primary inputs. They comprise a set of knowledge-based activities thet produce tangible goods and intangible intellectual or artistic services with creative content, economic valu and market objectives” (UNCTAD, 2008 : 3‐4,15).22 Dengan demikian kaitan antara IK dan EK adalah bahwa IK merupakan 'jantung' dari EK (Erfanie, S., 2010:4)23. Namun demikian, bila melihat jenis‐jenis aktivitas ekonomi yang tercakup dalam ekonomi kreatif di atas dapat, timbul kesan bahwa hanya mereka yang berpendidikan tinggi yang mampu untuk menjalankan industri tersebut. Kesan ini 19
Roodhouse, S. The Creative Industries Definitional Discourse, dalam Henry, C., and de Bruin, A (ed), Enterpreneurship and the Creative Economy : Process, Practice and Policy, UK, Edward Elgar Publishing Ltd, 2011, hal.8‐10 20 Montgomery, L. China's Creative Industries : Copyright, Social Network Markets and the Business of Culture in a Digital Age, UK, 2010, hal.36 21 Bilton, C. Management and Creativity : From Creative Industries to Creative Management, Oxford, Blackwell Publishing, 2007, hal.3 22 UNCTAD, Creative Economy Report 2008, Geneva, UNCTAD, 2008, hal.3‐4, 15 23 Erfanie, S., Dinamika Industri Kreatif dalam Perekonomian Nasional : Sebuah Pengantar, dalam Erfanie, S. Dinamika Industri Kreatif dalam Perekonomian Nasional, Jakarta, LIPI Press, 2010, hal.4
115
tidak sepenuhnya tepat apabila melihat lebih jauh lagi potensi kreativitas para penduduk miskin perkotaan yang dalam penghidupannya sehari‐hari sebenarnya juga harus mendasarkan pendapatannya pada kreativitas menemukan ceruk‐ceruk kesempatan yang dapat mereka manfaatkan. Dengan modal dasar pengalaman dan keahlian sehari‐hari dalam melihat kesempatan berusaha itu maka program ini dapat mengembangkan ekonomi kreatif masyarakat miskin sesuai dengan kondisi pendidikan, lingkungan, dan keahlian mereka. Pengalaman, keahlian, dan kondisi itu yang kemudian harus ditingkatkan dalam program transformasi tenaga kerja melalui modifikasi pekerjaan bagi para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. Dengan mengatasi keterterbatasan modifikasi pekerjaan dan diversifikasi serta pendalaman program pelatihan jenis kewirausahaan bagi para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan, dan mengkombinasikannya dengan literasi keuangan, literasi tata kelola dan kapitalisasi infrastruktur permukiman kumuh pada masyarakat miskin kota diharapkan dapat mengangkat mereka dari kemiskinan. Tahapan-tahapan Pelaksanaan Program Transformasi Tenaga Kerja melalui Modifikasi Pekerjaan (Job Modification) Para Pekerja Miskin Informal di Permukiman Kumuh Perkotaan adalah sebagai berikut: Tahap 1. Melakukan pemetaan dan analisa spasial terhadap tipe Rekonsolidasi pekerjaan dan status kerja pada aktivitas informal industri (2013‐2015) : kreatif yang komprehensif di kota‐kota utama koridor Persiapan program perekonomian MP3EI seperti Medan, Palembang, modifikasi pekerjaan Jabodetabek, Bandung, Surabaya, & Makassar. dan langkah‐ 2. Melakukan kajian silang atas studi di atas dengan pemetaan langkah menuju atas pola migrasi sirkuler kelompok miskin kota dalam & antar transformasi kota di kota‐kota utama seperti Medan, Palembang, Jabodetabek, Bandung, Surabaya, & Makassar. Hasilnya yang diharapkan adalah adanya database jenis‐jenis dan perubahan profesi kelompok miskin kota berdasarkan peta di atas. 3. Tetap digulirkannya program pelayanan dasar bantuan sosial dan pelayanan dasar berdasarkan jenis kerentanan yang dihadapi oleh masing‐masing kelompok miskin kota di permukiman kumuh. 4. Mendorong perwujudan Sistem Informasi Nasional untuk mendukung perencanaan program transformasi. 5. Pembuatan model‐model alternatif program industri kreatif dan proyeksi transformasi tenaga kerja di beberapa kawasan permukiman kumuh serta pusat pelayanan, termasuk persiapan fasilitator inovasi dari pemda, swasta, dan organisasi masyarakat sipil. 6. Melanjutkan program‐program pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan akses terhadap informasi dan teknologi melalui strategi 4 kluster yang diperuntukan untuk itu; 116
7. Rehabilitasi, peremajaan permukiman kumuh dan optimalisasi pemanfaatan infrastruktur dasar hingga 50% infrastruktur yang tidak berfungsi dapat kembali digunakan secara optimal dan mampu menopang pencapaian tumbuhnya industri kreatif; 8. Penguatan kapasitas kelembagaan pemelihara infrastruktur permukiman kumuh berbasis kelompok para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan; 9. Rintisan (piloting) pelaksanaan program transformasi tenaga kerja dan industri kreatif pada BLK dan BLK+ di 10% kota‐kota utama di tiap koridor perekonomian; 10. Membuat skema kebijakan yang memberi insentif dan perlindungan keberlanjutan usaha industri kreatif bagi para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. Tahap Transformasi 1. Perluasan cakupan penduduk miskin kota‐kota utama di atas & Ekspansi (2016‐ yang mendapat jaminan pelayanan dasar (pendidikan, 2020) : kesehatan, adm. kependudukan, dan infrastruktur dasar mentransformasi & terpadu). meningkatkan 2. Program bantuan sosial langsung dan pelayanan dasar bagi cakupan serta para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan perluasan program yang mengikuti program transformasi dan membuka usaha kelompok selama 3 tahun berturut‐turut mulai dikurangi . 3. Walk in referal center yang telah berfungsi selama 2 tahun berturut‐turut mulai ditransformasi menjadi pusat pelayanan komunitas bagi kelompok miskin kota yang dikelola oleh para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan secara partisipatif aktif di kota‐kota utama. 4. Perluasan cakupan program transformasi dimana 50% kelompok pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan dilatih literasi keuangan, keterampilan kewirausahaan, tata kelola permukiman tempat tinggal dan lokasi usaha pada BLK dan BLK+ untuk menopang usaha industri kreatif mereka. 5. Melakukan fasilitasi proses formalisasi, sertifikasi, dan pengaitan bentuk kerja sama kelembagaan kelompok pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan dengan pemda, swasta, serta organisasi masyarakat sipil dalam skema PNPM. 6. Dimulainya penerapan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. 7. Pengembangan media radio‐radio komunitas kota yang dapat menjadi media komunikasi dan memperkuat akses pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan terhadap informasi dan pengetahuan; 8. Pengembangan cakupan luasan infrastruktur sehingga wilayah‐wilayah kantong kemiskinan kota yang tersisa terlayani infrastruktur dasar, pelayanan dasar, dan permukiman perumahan yang layak; 9. Pelaksanaan kebijakan yang memberi insentif dan perlindungan keberlanjutan usaha bagi para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan pada 100% kota‐ 117
Tahap Keberlanjutan (2021‐2025): Pemantapan Transformasi tenaga kerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan scr terpadu
kota utama dan 50% kota‐kota lainnya; 10. Pemantauan dan evaluasi program serta penyempurnaan program transformasi. 1. Melakukan ekspansi program transformasi dan industri kreatif ke 50% kota‐kota lainnya, di luar kota‐kota utama seperti Medan, Palembang, Jabodetabek, Bandung, Surabaya, & Makassar; 2. Peningkatan partisipasi pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan dalam perencanaan tata ruang dan penganggaran pembangunan ekonomi lokal yang sesuai dengan karakteristik industri kreatif yang tumbuh di wilayah tersebut; 3. Dihapuskannya program bantuan sosial kepada para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan yang telah mengembangkan usaha kelompoknya selama 5 tahun berturut‐turut. 4. 100% permukiman kumuh telah mendapat jaminan pelayanan dasar yang berkualitas dan terintegrasi. 5. Akselerasi peningkatan hingga 100% usaha industri kreatif para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan yang telah diformalisasi, disertifikasi, dan membentuk kerja sama kelembagaan dengan pemda, swasta, serta organisasi masyarakat sipil dalam skema PNPM di Indonesia terlindungi; 6. Akselerasi peningkatan hingga 100% usaha industri kreatif para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan telah lancar aksesnya pada permodalan; 7. Pencapaian 70% usaha industri kreatif para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan lainnya telah lancar aksesnya pada permodalan; 8. Pengoperasian secara penuh pusat pelayanan komunitas di permukiman kumuh perkotaan yang sesuai dengan karakteristik industri kreatif masing‐masing wilayah; 9. Fasilitasi pengembangan dan memperkuat keterhubungan antara perguruan‐perguruan tinggi di daerah untuk pengembangan dan penerapan teknologi yang tepat guna untuk meningkatkan nilai guna dari industri kreatif yang berbasis kelompok masyarakat sebagai dasar bagi pengembangan perekonomian kreatif permukiman kumuh yang berbasiskan pada knowledge-based economy; 10. Pemeliharaan dan pengembangan cakupan luasan dan kualitas infrastruktur wilayah permukiman kumuh perkotaan yang dikerjakan oleh kelompok‐kelompok usaha para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan.
Mengingat bahwa tahap‐tahap transformasi di atas terkait dengan pelayanan pembangunan dan pengembangan infrastruktur dasar permukiman kumuh maka beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
118
a. Jaminan perlindungan hukum. Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk, diantaranya penyewaan akomodasi (publik dan swasta), perumahan kolektif, kredit, perumahan darurat, pemukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan properti. Meskipun ada beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki tingkat perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara adalah pihak yang harus secara bertanggung jawab, segera mengambil tindakan‐tindakan yang bertujuan mengkonsultasikan jaminan perlindungan hukum terhadap orang‐orang tersebut dan rumah tangga yang saat ini belum memiliki perlindungan, konsultasi secara benar dengan orang‐orang atau kelompok yang terkena. b. Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku 24, fasilitas, dan infrastruktur. Tempat tinggal yang layak harus memiliki fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan nutrisi. Semua penerima manfaat dari hak atas tempat tinggal yang layak harus memiliki akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan publik, air minum yang aman, energi untuk memasak, suhu dan cahaya, alat‐alat untuk menyimpan makanan, pembuangan sampah, saluran air, layanan darurat. c. Keterjangkauan. Biaya pengeluaran seseorang atau rumah tangga yang bertempat tinggal harus pada tingkat tertentu dimana pencapaian dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar lainnya tidak terancam atau terganggu. Tindakan harus diambil oleh Negara Pihak untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan tempat tinggal, secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menyediakan subsidi untuk tempat tinggal bagi mereka yang tidak mampu memiliki tempat tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan prinsip keterjangkauan, penghuni harus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau kenaikan uang sewa. Di masyarakat, dimana bahan‐bahan baku alam merupakan sumber daya utama bahan baku pembuatan rumah, Negara Pihak harus mengambil langkah‐langkah untuk memastikan ketersediaan bahan baku tersebut. 24
Secara internasional telah ada berbagai kesepakatan tentang bahan bangunan khususnya pelarangan asbes, seperti dari WHO, ILO, EU, International Organization for Standarization (ISO), serta Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal. Jika penggunaan asbes tidak dihentikan, dikuatirkan Indonesia akan segera mengalami ledakan asbestosis (tumor paru‐paru) dan mesothelioma, yaitu kanker yang menyerang rongga dada, paru‐paru dan perut yang komplikasi dengan TBC. Asbestos jika masuk ke dalam paru‐paru akan melekat atau menusuk sel paru‐paru, tetap di sana karena tubuh tidak dapat menghancurkannya. Jika asbestos dalam paru‐paru mengendap setelah dua sampai lima tahun kemudian maka akan banyak sel mati dan mengakibatkan tidak dapat bernapas.
119
d. Layak huni. Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat menyediakan ruang yang cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancaman‐ ancaman bagi kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan vektor penyakit. Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk secara menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang disusun oleh WHO yang menggolongkan tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan kondisi‐kondisi penyebab penyakit berdasarkan berbagai analisis epidemiologi; yaitu, tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan kurang sempurna selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan ketidaksehatan. e. Aksesibilitas. Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak atasnya. Kelompok‐kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anak‐anak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita HIV‐ positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana, dan lain‐lain harus diyakinkan mengenai standar prioritas untuk lingkungan tempat tinggal mereka. f. Lokasi. Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan fasilitas‐ fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi‐lokasi yang telah atau atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup sehat para penghuninya. g. Kelayakan budaya. Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang digunakan, dan kebijakan‐ kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat tinggal harus dapat memastikan bahwa dimensi‐dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan, dan bahwa, diantaranya, fasilitas‐fasilitas berteknologi modern, juga telah dilengkapkan dengan semestinya.
C. Program Peningkatan Bantuan Permodalan Bagi Pengembangan Usaha Kelompok Industri Kreatif Para Pekerja Miskin Informal di Permukiman Kumuh Perkotaan Dalam menyusun skim kredit untuk kelompok usaha industri kreatif pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan, lembaga pembuat kebijakan harus 120
mempertimbangkan karakteristik dasar kemiskinan mereka seperti masih rendahnya dukungan aset, produktivitas, ketrampilan fisik, pendapatan, pendidikan, dan luas lokasi lahan tempat inggal maupun usaha. Karena keterbatasan tersebut, karakteristik skim kredit yang ditawarkan harus berada dalam batas‐batas kemampuannya seperti penetapan jenis agunan, bentuk kredit, periode kredit, cara pengembalian dan tingkat suku bunga kredit. Dengan demikian agenda strategis program transformasi peningkatan bantuan permodalan bagi pengembangan usaha kelompok Industri Kreatif para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan akan diarahkan pada pendalaman kualitas kordinasi kelembagaan dan penerima kredit mikro. Namun demikian arah pendalaman kualitas tersebut mempunyai batasan‐batasan yang saat ini harus dilampaui, berupa : a.
Jenis agunan. Salah satu penyebab yang menghalangi akses pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan ke lembaga kredit keuangan formal adalah mereka tidak umumnya merupakan kaum migran yang tidak mempunyai agunan berupa jenis sertifikat tanah karena mereka tinggal dengan menyewa rumah‐rumah kontrakan. Dengan demikian lembaga kredit keuangan perlu mencari bentuk‐bentuk lain agunan kredit misalnya seperti barang bergerak yakni sepeda atau sepeda motor, TV dan perhiasan sehingga lebih memudahkan diakses oleh para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. b. Bentuk pemberian kredit. Sebagian besar usaha kecil di perkotaan umumnya menginginkan pemberian kredit dalam bentuk uang tunai karena berdasarkan pengalaman pemberian kredit dalam bentuk sarana produksi sering menimbulkan kerugian, yaitu: (a) sering terjadi pengurangan dalam kuantitas atau kualitas, (b) keterlambatan dalam penyaluran dikarenakan masalah transportasi dan waktu turunnya anggaran pemerintah, serta (c) menyebabkan ketidaksesuaian antara jenis sarana produksi yang dikirim dengan kebutuhan serta kemudahan kerja di lapangan. Melalui kredit tunai, petani dapat mengelola sendiri dana yang ada dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan di lapangan. Pemberian kredit uang tunai harus mulai diterapkan dalam program PNPM bagi pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. c. Periode kredit dan cara pembayaran. Hampir sama seperti usaha tani yang mempunyai siklus musiman, para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan pun sering berganti‐ganti pekerjaan sesuai dengan musim, atau masuk‐keluar sektor formal ke informal. Sesuai dengan karakteristik aktivitas informal usaha tersebut, para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan menginginkan kredit jangka pendek (musiman) dan pembayaran dilakukan satu kali setelah penghasilannya mencukupi. Hal itu berlainan dengan sektor informal di bidang perdagangan dimana usaha 121
mereka dapat memberikan penerimaan tiap hari sehingga lembaga kredit yang menetapkan cara pembayaran bulanan dapat diakses. d. Tingkat suku bunga. Para pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan membutuhkan kredit ringan sesuai dengan Kredit Likuiditas/Lunak Bank Indonesia (KLBI). Kredit program umumnya masih dirasakan cukup tinggi yaitu dengan suku bunga masing‐masing 18 persen dan 24 persen per tahun. Dan kredit murah sangat terbatas sejak berlakunya Undang‐Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia sebagai implikasi dari Letter of Intent (LOI) antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter International (IMF). Pembiayaan kredit usaha tidak lagi sepenuhnya tergantung pada KLBI, tetapi lebih banyak mengandalkan kesediaan modal yang dimiliki lembaga keuangan perbankan dan non‐perbankan di dalam maupun di luar negri dengan pola pengelolaan yang mengarah pada sistem pembiayaan komersial. Oleh karena itu, penting adanya terobosan untuk mengkaji‐ulang (review) dan merevisi kebijakan keuangan, perbankan dan perkreditan untuk menyediakan fasiltas tingkat suku bunga yang terjangkau dan mekanisme pembayaran yang sederhana oleh pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. Tahapan-tahapan Pelaksanaan Program Kelembagaan & Penerima Kredit Mikro.
Pendalaman
Kualitas
Kordinasi
Tahap 1. Intensifikasi kordinasi & kerja sama antara pemerintah pusat‐ Rekonsolidasi daerah dengan lembaga keuangan, BUMN, dan swasta lainnya (2013‐2014) : tentang skema permodalan untuk pengurangan kemiskinan; melanjutkan 2. Mendorong munculnya kebijakan KUR yang terintegrasi untuk program yg sedang mengakui, menginklusi, dan memudahkan pekerja miskin berjalan & langkah2 informal di permukiman kumuh perkotaan dalam mengakses persiapan menuju dana kredit; transformasi 3. Perancangan kurikulum program pendidikan dan pelatihan literasi keuangan serta kewirausahaan bagi pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan; 4. Dimulainya proses pendidikan dan pelatihan terhadap fasilitator penguatan kemitraan dunia usaha dari lembaga keuangan, BUMN, serta swasta. 5. Membuat peta spasial dan sektoral pemanfaatan permodalan kelompok usaha miskin perkotaan pada kota‐kota utama seperti Medan, Palembang, Jabodetabek, Bandung, Surabaya, & Makassar; Tahap Transformasi 1. Peningkatan intensitas koordinasi kelembagaan bidang & Ekspansi (2015‐ perekonomian pemda dengan lembaga keuangan, BUMN dan 2020) : swasta untuk menyesuaikan dengan skema program mentransformasi & transformasi pekerja miskin informal di permukiman kumuh meningkatkan perkotaan; 122
cakupan serta 2. Kemitraan lembaga keuangan, BUMN, & swasta efektif perluasan program membantu permodalan & pendampingan 60% kelompok‐ kelompok usaha bersama pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan. 3. Angka NPL kredit modal kerja kelompok usaha bersama mencapai sebesar 30%‐35%; 4. Pertambahan fasilitator profesional membantu pelatihan, pembinaan dan pemberdayaan penduduk miskin untuk bekerja dan berusaha; Tahap 1. Pencapaian 100% kelompok usaha bersama para pekerja Keberlanjutan miskin informal di permukiman kumuh perkotaan di kota‐kota (2021‐2025): utama telah tertata area usahanya secara resmi. pemantapan sistem 2. Pencapaian 70% kelompok usaha bersama para pekerja miskin pengurangan informal di permukiman kumuh perkotaan lainnya telah tertata kemiskinan area usahanya scr resmi. 3. Meningkatnya jumlah rekening tabungan pekerja miskin informal di permukiman kumuh perkotaan di Indonesia. 4. Meningkatnya modal usaha kelompok usaha miskin informal di permukiman kumuh perkotaan di Indonesia. 5. Jumlah LKM dan kualitas LKM untuk program linkage dengan bank umum, BUMN, swasta lainnya dalam permodalan meningkat.
123
DAFTAR PUSTAKA
1.
2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15.
16.
17. 18. 19. 20.
21.
Ayip Muflich, Masalah dan Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mendukung Ketahanan Pangan, tanpa tahun, diakses dari pse.litbang.deptan.go.id/ind/.../Pros_AYIP_06.pdf Basri, Faisal. (2009). Deindustrialisasi dalam Tempo, Ed. 30 November‐6 Desember 2009 pp. 102‐103. Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XV, 2 Juli 2012 Berita Resmi Statistik No.75/11/Th. XV, 5 November 2012 Colliers International, Research and Forecast Report : Jakarta Real Estate, 2012,hal.2. Diakses dari : http://www.colliers.com/en‐ GB/Indonesia/~/media/Files/APAC/Indonesia/PDF/ColliersMarketReport1Q20 12.asx Data Strategis BPS 2012 G. Breese (ed). The City in Newly Developing Countries, New Jersey, Prentice‐ Hall, 1969, hal.322‐331 Global Competitiveness Report 2011‐2012, diakses dari http://www3.weforum.org/docs/WEF_GCR_Report_2011‐12.pdf Housing the Poor in Asian Cities, Quick Guide 1, UN HABITAT, 2008 http://nasional.kompas.com/read/2011/07/27/0258241/Segera.Audit.Penggu naan.dan.Penguasaan.Lahan http://www.bantuanhukum.or.id/index.php/id/wilayah‐ kerja/jakarta/advokasi‐kasus‐dan‐kebijakan/338‐politik‐penggusuran‐di‐ jakarta‐laporan‐lbh‐jakarta‐mengenai‐peta‐rencana‐penggusuran‐di‐jakarta‐ tahun‐2008 http://www.jurnas.com/news/35448/UU_Tenaga_Kerja_Hambat_MP3EI/1/Ek onomi/Ekonomi http://www.kompas.com/kompas‐cetak/0512/15/opini/2290496.htm http://www.neraca.co.id/2011/10/12/uu‐ketenagakerjaan‐harus‐direvisi/ Indrasari Tjandraningsih, Kemiskinan Yang Berkelanjutan : Miskin di Desa, Miskin di Kota, Disampaikan dalam acara In Memoriam Prof. Sajogyo, Bogor 26 Mei 2012. Diakses dari http://akatiga.org/index.php/artikeldanopini/58‐ beritaterkini/149‐kemiskinanygberkelanjutan Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati, Suhadmadi. Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia, AKATIGA‐FSPMI‐ FES, Bandung, Desember 2010. KOMPAS, 16 Desember 2005 KOMPAS, 2 September 2009 KOMPAS, 27 Juli 2011 Lea Jellinek, The Wheel of Fortune : The History of a Poor Community of Jakarta, Sydney, London Wellington, Boston: Allen and Unwin, in association with Asian Studies Association of Australia, 1991. Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding March 18, 2003. Di akses dari http://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm 124
22.
23.
24.
25. 26. 27. 28. 29.
30. 31. 32. 33. 34.
35.
M. Soekarni, Agus Syarip H, dan Joko Suryanto, Peta Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia, Jakarta, LIPI, 2009 Mediadata, Profil Perusahaan Property 2012 diakses dari http://mediadata.co.id/MCS‐Indonesia‐Edition/profil‐perusahaan‐properti‐di‐ indonesia‐2012.html Negara, S.D., Carunia, M.F. & L, Adam, The Development of Foreign Direct Investment and Its Impact on Firm's Productivity, Employment and Exports Indonesia. Proceeding International Conference on Foreign Direct Investment in East Asia : Issue, Strategies, and Prospects, Bangkok, September 2010 Suahasil Nazara, Ekonomi Informal di Indonesia : Ukuran, Komposisi, dan Evolusi, Jakarta, ILO, 2010 The Jakarta Post, 25 August 2009 Veronica A. Kumurur, Pembangunan Kota dan Kondisi Kemiskinan Perempuan, PPLH‐SDA Unsrat Press, Manado, 2010 Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik, 2 Januari 2013 Dianto Bachriadi (1999), Sengketa, Konflik, danKetimpanganPenguasaan Tanah di Indonesia: ArgumenPokokuntukPembaruanAgraria (Agrarian Reform) yang Menyeluruh di Indonesia SaatIni, Makalah Dialog Merumuskan Arah dan Strategi Reformasi Agraria, Bogor, 16 Maret 1999, yang diselenggarakan oleh Lab. Antroplogi‐Sosiologi dan Kependudukan IPB, KPA, dan Konphalindo Gunawan Wiradi (1998), Reforma Agraria dalam Perspektif Transisi Agraris, makalah Seminar Agraria FSPI di Bandar Lampung Kurniawan, et al (2010), Petaka Politik Pangan Di Indonesia. Konfigurasi Kebijakan Pangan yang tak Memihak Rakyat, IntransPublising, Malang Rehman Sobhan (1993), Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development, London and New Jersey: Zed Books. Syaiful Bahari (2004), Pertanian dan WTO, Makalah Diskusi Bina Desa Sutoro Eko (2003), Ekonomi Politik Pembaruan Desa, Makalah Seminar Forum VII Pentuan Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Desa di Indonesia di Ngawi Jawa Timur Yulius Slamet (2011), Kemiskinan Petani Pedesaan: Analisis Mengenai Sebab‐ Sebab dan Alternatif Pemecahannya, Makalah Seminar Nasional Laboratorium Sosiologi UNS
125