BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan ruang untuk bermukim menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia. Menurut Sujarto (1995), untuk mengatasi hal tersebut, pembangunan kota baru dianggap sebagai strategi yang paling baik karena sifatnya yang relatif mandiri. Pembangunan kota baru berarti membangun suatu area bermukim berskala besar “baru” yang ditujukan untuk meringankan beban kota induk melalui desain keruangan yang terencana, desentralisasi penduduk, distribusi peluang usaha, dan juga penyediaan infrastruktur yang serba lengkap (Ogilvy, 1968; Golany, 1976; Budiharjo dan Hardjosubodjo, 1993; dan Sujarto, 1995). Di Indonesia, pengembangan kota baru telah banyak dijumpai di beberapa kota besar, salah satunya Megapolitan Jakarta. Di kawasan perkotaan ini, pembangunan kota baru dilakukan secara bervariasi, baik dari segi konsep, tujuan, luas kawasan, dan juga lokasi pengembangan. Sejak tahun 1980-an, pembangunan kota baru di Jakarta mulai banyak didirikan oleh pengembang perumahan swasta, baik di dalam maupun di kawasan pinggiran kota (Firman, 2007). Beberapa kota baru yang telah tumbuh tersebut, antara lain Bumi Serpong Damai (tahun 1989), Sentul City (tahun 1997), Lippo Cikarang (tahun 1990), Kota Harapan Indah (tahun 1990), dan Kota Wisata (tahun 1997). Sebagai pusat bermukim
yang relatif mandiri,
berbagai aktivitas
pengembangan kota baru memicu beragam dampak baik secara internal maupun eksternal. Salah satu dampak eksternal pengembangan kota baru pada aspek keruangan adalah tumbuhnya fenomena “pembonceng gratis” atau yang dikenal dengan istilah free riders. Free riders diartikan Pasour (1981) sebagai pelaku, baik individu maupun kelompok, yang mengambil keuntungan dari penyediaan
3
barang publik (public goods) tanpa membayar atau berkontribusi apa pun. Dalam konteks pengembangan kota baru, fenomena free riders hadir dalam bentuk perumahan-perumahan skala kecil yang menempel di sekitar kota baru, yang dibangun untuk menumpangi barang publik yang disediakan oleh pengembang kota baru (Ganie, 2011). Menjamurnya fenomena free riders tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan kota baru sebagai magnet baru di dalam pelayanan perkotaan. Menurut Ganie (2011), dengan menumpang kelengkapan infrastruktur kota baru, para free riders memperoleh keuntungan yang tinggi tanpa mengeluarkan biaya yang sama besar. Selain itu, dari aspek pengaturan, kehadiran free riders juga disebabkan oleh lemahnya prakarsa pemerintah untuk mengendalikan fenomena ini, di tengah pengembang kota baru yang tidak memiliki kewenangan cukup kuat untuk mengelola perkembangannya (Siregar, 2012). Menurut Khalik (2011), bila kecenderungan ini tidak dikendalikan maka dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pemanfaatan infrastruktur kota baru melebihi ambang batas dan akhirnya rusak. Dengan begitu, ikhtiar menyediakan area bermukim setara „kota‟ yang lebih tertata dan terencana melalui pembangunan kota baru akan semakin sulit diwujudkan. Melihat berbagai kondisi yang demikian, penelitian ini memposisikan diri sebagai suatu kajian mendalam mengenai fenomena free riders di sekitar kota baru untuk menghasilkan tipologi ruangnya. Latar belakang ini tidak terlepas dari perilaku free riders yang berupaya semaksimal mungkin menekan biaya pembangunan melalui strategi pengembangan perumahan skala kecil dengan tipologi ruang tertentu. Adapun objek studi yang diambil adalah wilayah-wilayah tumbuhnya free riders di sekitar kota baru Bumi Serpong Damai (BSD City), dengan beberapa pertimbangan, yaitu: a. BSD City merupakan kota baru pertama yang dibangun oleh pengembang swasta di area Megapolitan Jakarta, yakni pada tahun 1989.
4
b. BSD City dikembangkan sebagai kota baru mandiri di atas tanah seluas 6.000 ha dengan lokasi 25 km dari kota induk Jakarta. Dengan jarak yang terbilang jauh dari kota induknya, maka memperkecil terjadinya „bias‟ tentang faktorfaktor tumbuhnya free riders, kecuali akibat dari dampak pengembangan kota baru itu sendiri. c. BSD City memiliki infrastruktur yang serba lengkap dengan pelayanan setara kota, meliputi unsur wisma, marga, karya, dan suka. Hal ini tentu memperkuat dasar pertimbangan dan motivasi free riders saat mengokupansi lahan-lahan di sekitar kota baru. Apalagi, di dalam tulisannya Ganie (2011) menyebutkan bahwa kawasan di sekitar BSD City telah ditumbuhi banyak pengembang skala kecil yang menumpang kelengkapan fasilitas infrastruktur kota baru. d. BSD City mendapat berbagai pengakuan dari berbagai pihak sebagai kota baru dengan lingkungan yang tertata. Hal ini tentu memperkuat posisi kota baru sebagai kawasan yang semakin berdaya tarik, termasuk bagi pengembangan kawasan di sekitarnya. Ada pun beberapa penghargaan yang pernah diraih pengembang BSD City, yakni Anugerah The Golden Project IPW (Indonesia Property Watch) tahun 2006 sebagai pelopor kota baru dengan konsistensi kesiapan fasilitas pendukung kota dan kualitas hunian; Anugerah Andhika Niswantana tahun 2004 sebagai kota baru diatas 200 ha dengan keunggulan manajemen proyek serta pengadaan fasilitas dan infrastruktur terbaik; dan Properti Indonesia Award tahun 2004 senahai pelopor proyek kota baru mandiri yang dibangun oleh pihak swasta.
1. 2 Rumusan Masalah Tidak terkendalinya perilaku free riders yang mengambil keuntungan dari barang publik tanpa berkontribusi apapun, sangat mungkin menggagalkan ikhtiar pembangunan kota baru sebagai pusat permukiman yang lebih terencana karena rentan menimbulkan masalah perkotaan, seperti kemacetan, banjir, dan pertumbuhan acak. Mereka berupaya semaksimal mungkin menekan biaya
5
pembangunan melalui strategi pengembangan perumahan skala kecil bertipologi ruang tertentu. Penelitian ini berfokus pada kajian mengenai tipologi ruang free riders berdasarkan berbagai fenomena lapangan yang ditemukan. Dengan mengambil lokasi di sekitar kota baru Bumi Serpong Damai (BSD City), penelitian ini mengajukan pertanyaan berupa: Bagaimana tipologi ruang pembonceng gratis (free riders) yang terbentuk di sekitar kota baru BSD City?
1. 3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan tipologi ruang pembonceng gratis (free riders) yang terbentuk di sekitar kota baru Bumi Serpong Damai (BSD City). Hal ini dilakukan melalui kajian mendalam terhadap fenomena tersebut sehingga mampu membentuk pengelompokkan-pengelompokkan free riders berdasarkan observasi lapangan.
1. 4 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan masukan bagi pengelolaan pemanfaatan lahan di wilayah sekitar kota baru. Hal ini sekaligus memberi jawaban atas kegelisahan para pemuka teori (Pasour, 1981; Miceli, 2010; Khalik, 2011; dan Ganie, 2011) yang mengungkapkan bahwa munculnya fenomena free riders beresiko menjadi ancaman bagi terwujudnya ikhtiar kota baru di dalam mengelola perkembangan kota secara lebih terencana. Selain itu, melalui hasil penelitian ini, pemangku kebijakan diharapkan dapat lebih mudah merumuskan strategi pengelolaan perkembangan wilayah di sekitar kota baru sesuai dengan tipe-tipe free riders yang ditemukan.
6
1. 5 Batasan Penelitian Batasan dan lingkup penelitian ini terbagi atas batasan fokus dan juga lokasi. Kedua batasan ini secara rinci dijelaskan sebagai berikut: a. Fokus Penelitian ini berfokus pada pembentukan tipologi ruang free riders yang terjadi di sekitar Kota Baru Bukit Serpong Damai (BSD City). Adapun para free riders yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah perumahan-perumahan skala kecil yang menempel di sekitar kota baru untuk menumpang kelengkapan fasilitas yang ada di dalamnya. b. Lokasi Lokasi yang menjadi area amatan intensif dalam penelitian ini adalah kawasan bagian selatan Bumi Serpong Damai (BSD City), tepatnya di Wilayah Serpong dan sekitarnya. Penetapan area amatan intensif ini ini dilakukan atas pertimbangan meminimalisir bias mengenai motif free riders yang memanfaatkan eksternalitas hanya dari pengembangan BSD City, bukan yang lain, yakni di bagian utara kemungkingan bias dengan pengembangan Alam Sutera sementara baguan timur kemungkinan bias dengan pengembangan Bintaro City. Secara administratif BSD City berada di Kota Tanggerang Selatan, Provinsi Banten, Indonesia. Pada penelitian ini, Kawasan BSD City dan juga Kota Tangerang Selatan menjadi area amatan ekstensif yang secara makro membantu mengungkap fenomena free riders di sekitar kota baru sebagaimana tujuan penelitian.
1. 6 Keaslian Penelitian Menurut tinjauan literatur, belum ditemukan penelitian yang secara khusus berfokus pada perumusan tipologi ruang free riders yang terjadi di sekitar kota baru. Meski Ganie (2011) telah sedikit menunjukkan adanya fenomena free riders di BSD City dan Sentul City, pembahasannya masih sangat umum dan belum sampai pada tahap merumuskan tipologi ruang free riders yang terbentuk.
7
Saat ini, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan free riders, lebih banyak dikaji menurut perspektif ilmu ekonomi dan pemerintahan. Misalnya saja, kajian Pasour (1981) yang membahas fenomena free riders sebagai bentuk kegagalan pasar sehingga membutuhkan intervensi pemerintah. Selain itu, dengan latar belakang yang sama, McNutt (1999) mencoba memberi solusi terhadap permasalahan free riders melalui penyediaan barang kolektif (club goods). Di Indonesia, kajian mengenai free riders salah satunya juga ditemukan dari penelitian Murti (2003) yang berfokus pada bidang pelayanan kesehatan. Pada bagian kesimpulan, penelitian ini mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap permasalahan free riders dengan mengatur penyediaan barang publik dan barang privat. Selain itu, analisis fenomena maksimasi dan free riders pun telah disampaikan Hasanbasri (2012) untuk mengkritik kegagalan implementasi kebijakan pemerintah di bidang kesehatan.
8