BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa mendatang. Masa
remaja merupakan masa tumbuh kembang remaja dalam memaksimalkan segala potensi yang ada pada diri mereka. Terjadinya pernikahan di bawah umur akan berdampak besar pada kehidupan masa depan remaja yang melakukan pernikahan usia dini. Menurut Karim dan Slamet (2013), terjadinya pernikahan di bawah umur adalah tindakan merenggut kebebasan masa remaja untuk memperoleh hakhaknya yaitu hak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi. Pernikahan di bawah umur atau yang sering disebut pernikahan usia dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang memiliki usia di bawah umur menurut ketentuan undang-undang. Batasan usia minimal menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun, sedangkan untuk perempuan adalah 16 tahun. Seperti yang tercantum pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut : Pasal 7 ayat 1 “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Pembatasan umur minimal untuk menikah pada prinsipnya ditujukan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berfikir, jiwa dan fisik yang memadai. Adanya pembatasan umur minimal untuk menikah ini diharapkan juga dapat menghindari kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. Hal ini karena pasangan yang menikah pada usia matang diasumsikan sudah memiliki kesadaran mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan bathin (Karim dan Selamet, 2013). Menurut Mukson (2013), usia pada saat menikah berkaitan erat dengan pola
1
rumah tangga yang akan dijalankan oleh pasangan suami istri. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang belum matang atau belum saatnya dari segi usia dengan mereka yang sudah matang tentu saja berbeda. Kematangan usia secara umum berkaitan dengan kematangan secara mental dan pengalaman. Selain itu kematangan usia biasanya juga berkaitan dengan kematangan ekonomi. Kabupaten Gunungkidul memiliki persentase pernikahan usia dini tertinggi di Provinsi D.I. Yogyakarta. Setiap tahun persentase wanita dengan umur perkawinan pertama ≤ 16 tahun di Kabupaten Gunungkidul selalu lebih tinggi dibanding keempat kabupaten lainnya. Persentase wanita dengan umur perkawinan pertama ≤ 16 tahun di Provinsi D.I. Yogyakarta dari tahun 2009 hingga 2012 dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1. Persentase Wanita dengan Umur Perkawinan Pertama ≤ 16 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2009-2012 Umur Perkawinan Pertama ≤ 16 (%) Kabupaten/Kota
Tahun Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
2012
Kulonprogo
6,60
10,81
7,45
7,91
Bantul
6,85
8,62
4,73
5,81
Gunungkidul
15,4
16,24
11,91
13,66
Sleman
7,49
9,12
6,27
6,54
Yogyakarta
5,17
8,77
5,99
4,58
Sumber : Susenas, 2010-2012 Adanya undang-undang yang mengatur mengenai batasan usia minimal remaja untuk menikah tidak serta merta dapat menghindari terjadinya pernikahan usia dini. Dikatakan seperti itu karena pada kenyataannya masih banyak pasangan yang melakukan pernikahan usia dini. Pernikahan tersebut diperbolehkan karena adanya pasal yang memberikan kesempatan bagi para pasangan di bawah umur untuk melangsungkan pernikahan dengan mengajukan dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :
2
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.” Jumlah dispensasi kawin yang diajukan di Kabupaten Gunungkidul dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Sebagian besar alasan pengajuan dispensasi kawin karena terjadinya kehamilan di luar pernikahan. Berdasarkan data yang didapat dari Pengadilan Agama Wonosari, pada 2008 ada 19 dispensasi kawin yang diajukan. Pada tahun 2009 jumlah pengajuan dispensasi meningkat tajam, yaitu ada 60 dispensasi. Di tahun 2010 ada 120 dispensasi, 2011 ada 145 dispensasi dan 2012 ada 172 dispensasi. Sementara tahun 2013, pengajuan dispensasi kawin di Kabupaten Gunungkidul mencapai 161 pasangan. Data terbaru tahun 2014 pasangan yang mengajukan dispensasi kawin sebanyak 150. Pernikahan dini memiliki banyak dampak baik dari segi pendidikan, kesehatan, psikologis, maupun ekonomi. Remaja yang menikah pada usia muda umumnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan bagi mereka yang masih menjalani proses studi kemudian memutuskan untuk tidak menamatkan pendidikan formalnya. Hal itu karena setelah menikah, perempuan pada umumnya langsung memasuki masa reproduksi yang panjang yaitu hubungan seksual dengan suami, hamil, melahirkan, menyusui secara berulang-ulang, seperti kasus temuan penelitian Koeswinarno dan Fakhrudin di Kota Yogyakarta pada tahun 2012. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa semua respondennya hanya tamatan SD dan SMP. Hal ini karena setelah menikah tidak lagi melanjutkan sekolahnya. Mereka yang menikah di usia dini rawan mengalami pertengkaran rumah tangga berdasar segi psikologi, bahkan pada beberapa kasus berakhir dengan perceraian. Walaupun tidak dipungkiri bahwa menikah diusia matang juga tidak terlepas dari konflik, tetapi mereka dianggap akan lebih mudah menemukan solusi dari setiap permasalahan. Berbeda dengan para pasangan pernikahan usia dini yang tingkat emosionalnya masih tidak stabil (Ahmad, 2011). Seperti temuan kasus perkawinan dibawah umur yang diteliti oleh Muchith A.Karim dan Selamet pada tahun 2012 di Indramayu, sebanyak dua dari tiga responden mengalami
3
perceraian. Penelitian Zaenal Abidin dan Sri Hidayati di Kabupaten Bangkalan, Madura menunjukkan kasus yang sama, dua dari empat pelaku pernikahan usai dini mengalami perceraian. Usia dan kedewasaan memang menjadi hal yang harus diperhatikan bagi para pria dan wanita yang ingin melangsungkan perkawinan. Apabila kita melihat fenomena yang ada, pada orang yang sudah dewasa atau dikatakan telah matang dari segi usia, ketika terjadi perdebatan atau pertengkaran dalam rumah tangganya dipandang lebih dapat mengendalikan emosi. Hal ini karena pada orang dewasa kualitas akal dan mentalnya sudah relatif stabil sehingga dapat mengontrol diri sendiri maupun dengan pasangan dan lingkungan sekitar (Sungkuwala, 2013). Tingkat kelahiran dipengaruhi oleh umur perkawinan pertama, aborsi, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Usia perkawinan pertama seseorang wanita akan mempengaruhi resiko melahirkan. Menurut Landung, dkk (2009), dari segi kesehatan pernikahan usia dini memberi risiko yang lebih besar pada remaja perempuan khususnya pada aspek kesehatan reproduksinya. Risiko ini yang membuat wanita yang menikah di usia dini tergolong dalam kriteria kehamilan empat terlalu. Kehamilan Empat Terlalu (4T) adalah persalinan yang mempunyai jarak kelahiran dengan persalinan sebelumnya kurang dari 24 bulan (Terlalu Dekat); telah melahirkan empat kali atau lebih (Terlalu Banyak): melahirkan pada usia diatas 35 tahun (Terlalu Tua) dan melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun (Terlalu Muda) (Dewi, 2007). Bob Berstein dalam Dewi (2007) mengatakan bahwa risiko kematian bayi atau balita lebih besar pada wanita dengan satu atau lebih risiko kehamilan 4T, yaitu 1,74 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak beresiko. Program Keluarga Berencana (KB) merupakan upaya pengaturan kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, serta mengatur kehamilan melalui promosi perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (BKKBN, 2011). Partisipasi dalam program KB pelaku pernikahan usia dini penting mengingat banyaknya dampak negatif yang mungkin timbul. Tingginya angka pernikahan dini serta kurangnya partisipasi para pasangan muda dalam program KB akan berpotensi menghambat
4
program pemerintah dalam pembangunan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini terjadi apabila pasangan muda tersebut tidak memiliki bekal pengetahuan yang baik dalam persiapan keluarga. Oleh karena itu maka perlu diketahui partisipasi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi pelaku pernikahan usia ini dalam program KB di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.
1.2.
Perumusan Masalah Umur kawin pertama merupakan indikator sosial dan demografi yang
penting. Hal ini karena di Indonesia, perkawinan memiliki hubungan yang kuat dengan fertilitas (BKKBN, 2013). Semakin muda usia wanita saat menikah maka akan semakin panjang juga masa reproduksinya. Hal tersebut yang membuat usia kawin pertama merupakan salah satu indikator dalam studi fertilitas yang dapat berpengaruh besar pada tingkat fertilitas wanita maupun jumlah penduduk di suatu negara. United Nations Population Fund (UNFPA) melaporkan bahwa ASFR perempuan usia 15-19 tahun di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga di antara 11 negara di Asia Tenggara setelah Timor Leste dan Filipina UNFPA (2009) dalam Sambosir (2009). Hal ini menegaskan pentingnya menaruh perhatian khusus terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku KB di kalangan istri yang berusia remaja (15-24 tahun) karena masa reproduksi yang akan mereka tempuh masih panjang dan jika tidak dikendalikan, mereka berpeluang untuk meningkatkan tingkat kelahiran (Sambosir, 2009). Studi kasus mengenai pernikahan dini banyak menunjukkan bahwa pernikahan dini memiliki berbagai dampak negatif baik dari segi pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun psikologi. Penelitian ini berfokus pada dampak pernikahan usia dini dari semakin panjangnya masa reproduksi wanita. Menurut Assimwe, dkk (2013), memahami faktor-faktor kunci yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi di kalangan perempuan menikah usia muda yang berisiko kehamilan yang tidak diinginkan adalah kunci untuk pengembangan program Keluarga Berencana yang efektif.
5
Partisipasi individu atau kelompok sasaran dalam suatu program merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan program tersebut. Partisipasi pasangan muda dalam program Keluarga Berencana (KB) sangat diperlukan untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan akibat pernikahan usia dini. Semakin banyak akseptor KB diharapkan tingkat fertilitas semakin rendah dan taraf kesejahteraan ibu dan anak semakin baik. Selama ini studi mengenai partisipasi KB belum banyak yang berusaha menjelaskan bagaimana partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagaimana partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana (KB) di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul? 2. Faktor-faktor apa yang berhubungan partisipasi KB pelaku pernikahan usia dini di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana (KB) di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul. 2. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat utama dari penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang
partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana (KB) di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi
6
pelaksanaan program KB di tingkat daerah maupun perencanaan program Keluarga Berencana di masa mendatang dalam rangka meningkatkan jumlah akseptor dan kualitas pelayanan KB. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang partisipasi KB.
1.5.
Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
1.5.1.
Pengertian Partisipasi Partisipasi adalah suatu kegiatan atau turut berperan serta dalam suatu
program kegiatan (Purwodarminto, 1984). Menurut Lestari, dkk (2007), partisipasi merupakan proses aktif yang mengkondisikan seseorang untuk turut serta dalam suatu kegiatan yang disebabkan oleh persepsi yang positif. Meskipun demikian, partisipasi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis-ekonomispolitis seseorang yang merupakan latar belakang budaya yang berbeda. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat juga dapat berbeda-beda bentuknya. Menurut
Plumer
dalam
(Slamet,
1994),
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah : a. Pengetahuan dan keahlian Dasar pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seluruh lingkungan dari masyarakat tersebut. Hal ini membuat masyarakat memahami ataupun tidak terhadap tahap-tahap dan bentuk dari partisipasi yang ada. b.
Pekerjaan masyarakat
Biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akan dapat lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk berpartisipasi pada suatu program tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi. c.
Tingkat pendidikan dan buta huruf
7
Faktor ini sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada. d.
Jenis kelamin
Sebagian masyarakat masih menganggap faktor inilah yang dapat mempengaruhi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Terdapat anggapan bahwa laki-laki dan perempuan akan mempunyai persepsi dan pandangan berbeda terhadap suatu pokok permasalahan. e. Kepercayaan terhadap budaya tertentu. Masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, terutama dari segi agama dan budaya akan menentukan strategi partisipasi yang digunakan serta metodologi yang digunakan. Seringkali kepercayaan yang dianut dapat bertentangan dengan konsep-konsep yang ada. f. Faktor-faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal ini dapat dikatakan petaruh (stakeholder), yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini. Petaruh kunci adalah siapa yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program.
1.5.2.
Partisipasi dalam Program Keluarga Berencana Partisipasi KB adalah pasangan usia subur yang sudah berumah tangga
dan mengambil bagian atau ikut serta dalam program Keluarga Berencana (Koentjaraningrat, 1980 dalam Ginting 2003). Sukirno (1991) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana adalah pendidikan, jenis mata pencaharian masyarakat dalam suatu wilayah, komunikasi, transportasi dan instisusional masyarakat, sedangkan Sinai, dkk (2006) mengatakan bahwa :
8
“Several personal characteristics appear to influence correct and consistent contraceptive use. Among them are age, race or ethnicity, religion and income level.” Menurut Dhingra, dkk (2010), pendidikan merupakan hal yang paling mempengaruhi seseorang dalam kesertaan berKB. “Among these different factors, education is considered to exert most profound effect on family planning acceptance and fertility” Program Keluarga Berencana memiliki kesan bahwa wanita sajalah yang menjadi sasaran program ini. Oleh karena itu saat ini BKKBN gencar mengkampanyekan partisipasi pria. Partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana menurut BKKBN (2011) adalah tanggungjawab pria, keterlibatan dan keikutsertaan pria ber-KB dan kesehatan reproduksi serta perilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangan serta keluarganya. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Partisipasi pria secara langsung berupa penggunaan salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan seperti kondom, vasektomi, serta KB tradisional yang melibatkan pria seperti senggama terputus dan dan pantang berkala. Kemudian partisipasi pria secara tidak langsung berupa dukungan kepada isteri dalam ber-KB, sebagai motivator yang dapat memberikan motivasi untuk menjadi peserta KB dan merencanakan jumlah anak bersama dengan isteri.
1.5.3. Pernikahan Pernikahan merupakan langkah awal untuk membentuk sebuah keluarga (Kustini, 2013). Menurut Prabowo (2013), pernikahan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena pernikahan menimbulkan akibat-akibat hukum, bukan hanya kepada suami atau isteri yang bersangkutan, melainkan juga kepada anak-anak dan atau keturunannya, orangtua, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan dan tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku (Agustian, 2013).
9
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa” Perkawinan merupakan indikasi utama dari kemungkinan untuk hamil, oleh karena itu penting dalam mempelajari pola-pola fertilitas. Secara umum terdapat hubungan antara pola perkawinan dengan pola fertilitas, yaitu semakin rendah usia kawin pertama seorang wanita maka berpotensi semakin banyak juga jumlah anak yang dilahirkan (Pujihasvuty, 2011).
1.5.4.
Pernikahan Usia Dini
1.5.4.1. Pengertian Pernikahan Usia Dini Perkawinan atau pernikahan dini adalah akad nikah yang dilangsungkan pada usia di bawah kesesuaian aturan yang berlaku (Mukson, 2013). Kustini (2013) mendefinisikan pernikahan usia dini sebagai suatu pernikahan antara lakilaki dan perempuan yang belum memenuhi syarat sesuai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu bagi laki-laki kurang dari usia 19 tahun dan perempuan belum mencapai usia 16 tahun. Pernikahan ini bisa dilakukan dengan meminta izin dispensasi kawin ke kantor Pengadilan Agama setempat. Dispensasi adalah kelonggaran, pengecualian, memberikan keringanan, memberikan kelonggaran dalam hal khusus dari ketentuan undang-undang (Bahry, 1996). Menurut Idayanti (2014), dispensasi usia perkawinan merupakan pengurangan terhadap standar normatif yang diatur oleh UU mengenai batas minimal usia perkawinan bagi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Jika seorang laki-laki berusia 19 tahun dan seorang perempuan berusia di bawah 16 tahun ingin melangsungkan perkawinan, maka yang bersangkutan harus meminta dispensasi usia perkawinan terlebih dahulu ke pengadilan. 10
1.5.4.2. Faktor Terjadinya Pernikahan Dini Kemiskinan, keinginan menaikan status sosial atau ekonomi, dan kurangnya pendidikan, serta hamil sebelum nikah merupakan merupakan beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan di bawah umur (Jamil dan Ilyas, 2013). Menurut Agustian (2013), pernikahan usia dini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : 1. Faktor ekonomi Perkawinan usia dini terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. Menurut Sriudiyani dan Soebijanto (2011), kemiskinan menjadi salah satu faktor terjadinya perkawinan usia dini karena orang tua tidak mampu membiayai sekolah anaknya sehingga mereka ingin anaknya segera menikah, ingin lepas tanggung jawab, dan berharap setelah anaknya menikah akan mendapat bantuan secara ekonomi. 2. Pendidikan Latar belakang pendidikan yang tidak memadai dapat menjadi alasan mengapa orang tua menikahkan anak gadisnya di usia muda. 3. Faktor orang tua Orang tua khawatir anak perempuannya yang berpacaran sangat lengket dengan laki-laki akan menimbulkan aib sehingga segera mengawinkan anaknya. 4. Media massa Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern semakin permisif terhadap seks. 5. Sosial budaya Faktor budaya dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap individu. Menurut Landung, dkk (2009), keberadaan budaya lokal memberi pengaruh besar terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga masyarakat tidak memberikan pandangan negatif terhadap
11
pasangan yang melangsungkan pernikahan meskipun pada usia yang masih remaja. 6. Pergaulan bebas Banyak remaja yang hamil diluar nikah sehingga untuk menutupi aib maka mereka dinikahkan meskipun usainya masih sangat muda.
1.5.4.3. Dampak Pernikahan Dini Terjadinya pernikahan usia dini berdampak pada beberapa aspek antara lain pendidikan, sosial, ekonomi, psikologi dan kesehatan. Ditinjau dari segi kesehatan, semakin muda usia kawin pertama seorang wanita, maka semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun anak (BKKBN, 2013). Kehamilan usia muda berisiko terhadap kematian ibu karena ketidaksiapan calon ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan bayinya. Kehamilan pada wanita di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan berisiko tinggi. Kehamilan berisiko tinggi adalah kondisi ibu hamil yang mempunyai risiko untuk mengalami komplikasi obstetrik (kandungan) yang secara tidak langsung dapat mengancam jiwanya dan terjadi pada masa kehamilan, persalinan, terutama pada ibu hamil yang berusia kurang 20 tahun atau diatas 35 tahun, jumlah anak yang dimiliki lebih dari 4 orang, jarak kehamilan kurang dari tiga tahun, tinggi badan kurang 145 cm dan berat badan kurang dari 40 kg. Ibu hamil berisiko menjadi salah satu penyebab kematian ibu hamil, bersalin serta bayinya (BKKBN, 2011). Menurut Maryatun (2010), perkawinan usia dini juga dapat berdampak pada rendahnya kualitas keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga, risiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab dan kegagalan perkawinan. Pengalaman beberapa pelaku perkawinan di bawah umur dalam menghadapi rumah tangga bervariasi, misalnya ketika ada masalah yang menimpa mereka baik masalah psikologis dalam rumah tangga, masalah ekonomi, mereka kurang bijaksana dalam dalam menyelesaikannya, seperti istri menjadi sasaran penganiayaan, suami lari dari masalah dan tidak berusaha menyelesaikannya, 12
suami meninggalkan istri tanpa memberitahu ke mana tujuannya, bahkan ada suami yang mengabaikan tanggung jawab sebagai suami sehingga semakin mempersulit kehidupan rumah tangga mereka. Begitu juga bagi orang tua yang anaknya melakukan perkawinan di bawah umur, mulai dari pra nikah sampai setelah pernikahan ada yang semua kebutuhan hidup pernikahan anaknya ditanggung oleh kedua orang tuanya. Bahkan keadaan ini berlanjut bertahun-tahun di mana orang tua harus menanggung beban kehidupan mereka, karena beberapa dari mereka belum mandiri (Muchtar dan Mulyono, 2013).
1.5.5. Program Keluarga Berencana Pemerintah sejak tahun 1970 mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) melalui SK Presiden Nomor 8 tahun 1970 dalam rangka pengendalian jumlah penduduk. Lebih lanjut dijelaskan dalam UU RI Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Pasal 20, bahwa untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga berencana melalui penyelenggaraan program keluarga berencana. Lebih lanjut dijelaskan pada pasal 21 ayat 1 dan 2 yang memuat mengenai tujuan program Keluarga Berencana yaitu sebagai berikut : “(1) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil
keputusan
dan
mewujudkan
hak
reproduksi
secara
bertanggung jawab tentang: a. usia ideal perkawinan; b. usia ideal untuk melahirkan; c. jumlah ideal anak; d. jarak ideal kelahiran anak; dan e. penyuluhan kesehatan reproduksi. (2) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. mengatur kehamilan yang diinginkan;
13
b. menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak; c. meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi; d. meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana; dan e. mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.”
Program Keluarga Berencana (KB) dalam pelaksanaannya tidak bisa dipaksakan karena setiap orang memiliki hak reproduksi. Hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, berapa jumlah anak yang diinginkan dan jarak anak yang dilahirkan serta memilih upaya untuk mewujudkan hak-hak tersebut (pemakaian kontrasepsi) (BKKBN, 2011). Menurut Sediyaningsih, dkk (2013), dalam hal ini pasangan suami isteri berhak menentukan perencanaan keluarga terkait pengaturan kelahiran anak yang disesuaikan dengan kondisi kesehatan suami atau isteri ataupun kondisi ekonomi keluarga. Perencanaan keluarga tidak hanya sekedar anjuran dua anak cukup namun lebih kepada bagaimana bertanggungjawab untuk mensejahterakan anak dan mewujudkan keluarga yang bahagia lahir dan batin. Assimwe, dkk (2013) dalam penelitiannya di Uganda
mencari faktor
kunci yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi di kalangan perempuan menikah muda. Faktor-faktor penentu penggunaan kontrasepsi yang digunakan dalam penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1.
14
Gambar 1.1. Faktor-faktor Penentu Penggunaan Kontrasepsi di Kalangan Perempuan Menikah Muda Freedman (1980, dalam Nabuasa, 1992) menyebutkan bahwa ada dua faktor utama yang menjadi determinan keikutsertaan dalam keluarga berencana, yakni adanya demand dari masyarakat akan pembatasan kelahiran dan penjarangan kelahiran, serta adanya supply kontrasepsi. Teori demand-supply ini telah menjadi dasar penelitian terhadap keputusan dalam keikutsertaan program keluarga berencana. Aspek yang termasuk demand antara lain keinginan mempunyai anak, tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan keluarga, persepsi tentang nilai anak, jumlah anak, umur peserta KB, persepsi terhadap dukungan lembaga/tokoh masyarakat serta keputusan suami istri dalam ber-KB. Aspek yang termasuk supply adalah tersedianya alat kontrasepsi, tersedianya informasi, sikap dan pelayanan yang baik, yaitu pelayanan yang dapat diterima oleh masyarakat.
1.6.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai partisipasi dalam program Keluarga Berencana belum
banyak yang membahas mengenai partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana. Penelitian yang dilakukan oleh Omas Bulan 15
Samosir tahun 2009 berjudul “Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ber-KB Pasangan Usia Subur Muda di Indonesia”. Data yang digunakan dalam studi ini bersumber pada hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007. Unit analisis adalah perempuan berstatus kawin usia 15-24 tahun di seluruh Indonesia yaitu sebesar 4.766 orang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola dan perbedaan sikap, pengetahuan, perilaku dan unmet need KB serta fertility preference (jumlah anak ideal) PUS muda di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari determinan sikap, pengetahuan, perilaku, unmet need KB serta fertility preference (jumlah anak ideal) PUS muda di Indonesia. Hasil penelitian menjelaskan perbedaan dan determinan pengetahuan, sikap dan perilaku KB menunjukkan bahwa persentase perempuan usia 15-24 tahun yang mengetahui alat/cara KB lebih rendah pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga atau lebih, telah menikah enam tahun atau lebih, tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Pralip Kumar Narzary tahun 2009 yang berjudul “Konwledge and Use of Contraception among Currently Married Adolescent in India”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan praktek metode keluarga berencana wanita yang menikah dini atau Currently Married Adolescent Women (CMAW) di India. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur, pendidikan, tempat tinggal, standar hidup dan suami pendidikan memainkan peran penting pada pengetahuan wanita menikah dini tentang semua metode kontrasepsi modern. Sekitar 10 persen dari CMAW saat ini menggunakan alat kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah anak yang dimiliki. Sih Wulan Ardhiana Putri dan Agus Sutanto pada tahun 2012 melakukan penelitian yang berjudul “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Pasangan Usia Muda Terhadap Program Keluarga Berencana di Desa Giripanggang”. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persepsi pasangan usia muda terhadap pelaksanaan program Keluarga Berencana dan bentuk praktek partisipasi
16
pasangan usia muda terhadap pelaksanaan program Keluarga Berencana di Desa Giripanggung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelaksanakan program Keluarga Berencana sangat diterima dengan baik oleh pasangan usia muda di Desa Giripanggung. Pasangan muda di Desa Giripanggang sudah ikut serta dalam pelaksanakan program Keluarga Berencana meskipun terkendala masalah akses, pengetahuan, fasilitas dan pelayanan. John Bosco Asiimwe, Patricia Ndugga dan John Mushomi pada tahun 2013 melakukan penelitian berjudul “Socio-Demographic Factors Associated with Contra- ceptive Use among Young Women in Comparison with Older Women in Uganda”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang terkait dengan penggunaan kontrasepsi di kalangan perempuan menikah dalam dua kelompok usia 15-24 dan 25-34. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor kunci yang terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi modern di kalangan perempuan menikah muda usia 15-24 pada tahun 2006 dan 2011 adalah tempat tinggal dan keinginan memiliki anak, sementara di kalangan perempuan usia 2534, faktor signifikan yang terkait dengan penggunaan kontrasepsi antara lain tingkat pendidikan, kekayaan rumah tangga, serta keinginan memiliki anak. Hery Aryanti tahun 2014 melakukan penelitian berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Kontrasepsi Pada Wanita Kawin Usia Dini di Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur” pada tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan dan antara pengetahuan, informasi oleh petugas lapangan KB dan dukungan suami dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pengguna KB pada wanita kawin usia
dini memiliki pengetahuan baik (66,7%), mendapatkan
informasi dari petugas lapangan KB (71,4%), serta mendapat dukungan suami (100%). Pengetahuan dan informasi dari petugas lapangan KB tidak memiliki hubungan dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. Dukungan suami memiliki
17
hubungan yang signifikan dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini
di
Kecamatan
Aikmel
Kabupaten
Lombok
Timur
18
1 Peneliti (tahun) Omas Bulan Samosir
Tabel 1.2. Penelitian Sebelumnya Tahun
Judul
2009
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ber-KB Pasangan Usia Subur Muda di Indonesia
Lokasi penelitian Indonesia
Tujuan 1.
2.
Metode
Menganalisis pola dan perbedaan sikap, pengetahuan, perilaku dan unmet need KB serta fertility preference (jumlah anak ideal) PUS muda di Indonesia. mempelajari determinan sikap, pengetahuan, perilaku, unmet need KB serta fertility preference (jumlah anak ideal) PUS muda di Indonesia
Analisis deskriptif dan inferensial
Pralip Kumar Narzary
2009
Konwledge and Use of Contraception among Currently Married Adolescent in India
India
1.
mengetahui pengetahuan dan praktek metode keluarga berencana wanita yang menikah dini atau currently Married Adolescent Women (CMAW) di India.
Analisis regresi
Sih Wulan Ardhiana Putri dan Agus Sutanto
2012
Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Pasangan Usia Muda Terhadap Program Keluarga Berencana di Desa Giripanggang
Desa Giripanggung, 1. Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul 2.
Mengetahui persepsi pasangan usia muda terhadap pelaksanaan program Keluarga Berencana Mengetahui bentuk praktek partisipasi pasangan usia muda terhadap pelaksanaan program Keluarga Berencana.
Kualitatif, Wawancara Mendalam
John Bosco Asiimwe
2013
Socio-Demographic Factors Associated
Uganda
1. Mengetahui faktor yang terkait dengan penggunaan kontrasepsi
Analisis statistik
Hasil penelitian Perbedaan dan determinan pengetahuan, sikap dan perilaku KB menunjukkan bahwa persentase perempuan usia 15-24 tahun yang mengetahui alat/cara KB lebih rendah pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah menikah enam (6) tahun atau lebih, tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur, pendidikan, tempat tinggal, standar hidup dan suami pendidikan memainkan peran penting pada pengetahuan wanita menikah dini tentang semua metode kontrasepsi modern. 1. Pelaksanakan program KB sangat diterima dengan baik oleh pasangan usia muda di Desa Giripanggung 2. Pasangan muda sudah ikut serta dalam pelaksanakan program KB meskipun terkendala masalah akses, pengetahuan, fasilitas dan pelayanan. 1. Faktor kunci yang terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi modern
19
Patricia Ndugga John Mushomi
with Contra- ceptive Use among Young Women in Comparison with Older Women in Uganda
di kalangan perempuan menikah dalam dua kelompok usia: 15-24 dan 25-34
Hery Aryanti
2014 (Tesis)
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Kontrasepsi Pada Wanita Kawin Usia Dini di Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur
Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur
1. Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. 2. Mengetahui hubungan antara informasi oleh petugas lapangan KB dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. 3. Mengetahui hubungan antara dukungan suami dengan penggunaan kontrasepsi.
Erina Hertanti
2015 (Skripsi)
Partisipasi Pelaku Pernikahan Usia Dini dalam Program Keluarga Berencana (KB) di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul
Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul
1.
2.
Mengetahui partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana (KB) di Kabupaten Gunungkidul Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program KB di Kecamatan Wonosari dan
deskriptif
di kalangan perempuan menikah muda usia 15-24 2006 dan 2011 adalah tempat tinggal dan keinginan untuk anak-anak, sementara di kalangan perempuan usia 25-34, faktor signifikan yang terkait dengan penggunaan kontrasepsi adalah tingkat pendidikan, kekayaan rumah tangga dan keinginan untuk anak-anak. 1.Pengetahuan tidak memiliki hubungan dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. 2. Informasi dari petugas lapangan KB tidak memiliki hubungan dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur. 3.Dukungan suami memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur
Kuantitatif dan kualitatif, Wawancara terstruktur dan wawancara mendalam
1.Mayoritas wanita pelaku pernikahan usia dini di Kecamatan Wonosari turut berpartisipasi dalam program Keluarga Berencana yaitu sebanyak 73,3 persen sedangkan 26,7 persen sisanya tidak berpartisipasi, namun di Kecamatan Saptosari pelaku pernikahan usia dini yang menjadi akseptor lebih rendah dibanding dengan yang menjadi non-
20
Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.
akseptor, yaitu masing-masing sebesar 46,67 persen dan 53,33 persen. 2. Faktor yang berhubungan dengan partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana di Kecamatan Wonosari adalah tingkat pengetahuan dan persepsi terhadap program KB, sedangkan di Kecamatan Saptosari faktor yang berhubungan adalah tingkat pengetahuan dan akses pelayanan KB.
2
21
1.7. Kerangka Pemikiran Fenomena pernikahan usia dini sudah sejak lama menjadi isu kependudukan. Kemiskinan, budaya, rendahnya tingkat pendidikan, keinginan orangtua dan hamil diluar nikah merupakan beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan usia dini. Pengajuan dispensasi kawin di Kabupaten Gunungkidul beberapa tahun terakhir banyak dilakukan akibat terjadinya kehamilan di luar pernikahan. Hal tersebut diketahui berdasarkan data permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Wonosari yang kebanyakan diajukan karena alasan hamil duluan. Rata-rata mereka merupakan pelajar yang masih duduk di bangku SMP. Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Saptosari merupakan dua kecamatan yang memiliki angka pernikahan usia dini tergolong tinggi di Kabupaten Gunungkidul. Pembatasan usia minimal untuk menikah pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi risiko yang timbul akibat pernikahan di usia dini. Hal ini mengingat bahwa pernikahan usia dini memiliki banyak risiko baik dari segi kesehatan, psikologis, sosial maupun ekonomi. Dari segi kesehatan, hamil di usia muda merupakan kehamilan beresiko tinggi. Kehamilan pada wanita yang menikah di usia dini merupakan kehamilan yang berisiko, yaitu masuk kategori “terlalu muda” yang dapat meningkatkan risiko kematian dan risiko kesehatan lainnya sangat tinggi bagi ibu dan bayinya. Wanita yang menikah diusia muda rentan terhadap penyakit kanker mulut rahim atau yang dikenal dengan istilah kanker serviks. Kanker serviks ini dapat disebabkan oleh hubungan seksual yang dilakukan sebelum usia 20 tahun. Selain itu kehamilan pada wanita yang menikah usia dini juga akan mengakibatkan semakin panjangnya masa reproduksi. Semakin muda usia seseorang saat menikah maka semakin panjang juga masa reproduksinya, artinya seorang wanita yang menikah di usia dini memiliki peluang lebih besar melahirkan anak dalam jumlah lebih banyak pula. Selain itu juga apabila pasangan muda ini tidak memiliki pengetahuan mengenai kehamilan berisiko tinggi dan perencanaan keluarga yang baik maka dapat terjadi kehamilan dengan jarak “terlalu dekat” atau dengan jumlah anak “terlalu banyak”.
22
Terjadinya pernikahan usia dini akan memperpanjang masa reproduksi wanita. Masa reproduksi yang panjang ini membuat wanita usia subur tersebut berpotensi melahirkan anak lebih banyak. Partisipasi pasangan muda dalam program Keluarga Berencana (KB) sangat diperlukan untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Hal ini karena partisipasi dalam suatu program sangat penting dalam mencapai keberhasilan program. Semakin banyak akseptor KB diharapkan tingkat fertilitas semakin rendah dan taraf kesejahteraan ibu dan anak semakin baik. Partisipasi dalam program Keluarga Berencana dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor jumlah anak yang diinginkan, tingkat pengetahuan, tingkat pendapatan, budaya, akses pelayanan KB dan persepsi terhadap program KB merupakan beberapa faktor yang dianggap memiliki hubungan dengan partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana. Bagan kerangka pemikiran penelitian partisipasi pelaku pernikahan usia dini dalam program Keluarga Berencana (KB) dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2. Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian Partisipasi Pelaku Pernikahan Usia Dini dalam Program Keluarga Berencana di Kabupaten Gunungkidul
23
1.8.
Batasan Istilah Batasan istilah dibuat untuk menghindari adanya bermacam-macam arti/tafsir
ketika penelitian ini dilakukan. Batasan operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Akseptor KB adalah pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan salah
satu alat atau obat kontrasepsi. 2. Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas 3. Partisipasi KB adalah keikutsertaan atau peran serta pasangan usia subur dalam program Keluarga Berencana, yaitu menggunakan salah satu alat kontrasepsi modern. 4. Jumlah anak yang diinginkan adalah banyaknya anak yang diinginkan. Jumlah anak yang diinginkan diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu jumlah anak ≤ 2 dan jumlah anak > 2. 5. Tingkat Pengetahuan adalah pengetahuan yang dimiliki responden yang ditunjukkan dengan mengetahui (salah satu atau lebih) jenis alat kontrasepsi, waktu penggunaan atau pemasangannya, keuntungan dan efek samping. Tingkat pengetahuan dalam penelitian ini diklasifikasikan dalam dua kelas, yaitu tinggi dan rendah 6. Tingkat Pendapatan adalah pendapatan yang diperoleh suami-isteri pada setiap bulan dalam bentuk uang. Tingkat pendapatan dalam penelitian ini diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu tinggi dan rendah menggunakan rumus Sturges. 7. Akses Pelayanan KB adalah keterjangkauan seseorang terhadap pelayanan kontrasepsi yang mencakup aspek dana dan jarak. Akses pelayanan KB
24
dalam penelitian ini diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu sullit mengakses dan mudah mengakses. 8. Persepsi terhadap Program Keluarga Berencana adalah proses penerimaan stimulus dari luar diri seseorang dan sikap batin yang mengarahkan seseorang mampu menentukan berguna atau tidak baginya pelaksanaan program Keluarga Berencana. Persepsi terhadap Program Keluarga Berencana diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu pemakaian KB penting dan pemakaian KB tidak penting.
25