BAB I PENDAHULUAN
Bab I menjelaskan latar belakang ketertarikan penulis terhadap peran organisasi regional African Union dalam menangani konflik etnis di Burundi. Konflik yang terjadi di Burundi antara etnis Hutu dan Tutsi menyita perhatian masyarakat internasional. Momentum ini merupakan titik penting bagi African Union untuk menunjukkan peran optimal dalam menjaga stabilitas regional. Keefektifan peran organisasi regional dibanding organisasi internasional sedikit disinggung dalam tesis ini untuk mempertajam kepemilihan penanganan konflik oleh organisasi regional. Tulisan ini dilengkapi dengan konseptualisasi tentang strategi operasi perdamaian dalam kerangka keamanan regional. Fokusnya adalah pada keberhasilan pasukan operasi perdamaian African Mission in Burundi menyelesaikan konflik.
A.
Latar Belakang Peran organisasi regional sangat penting dalam penanganan konflik
kawasan. Hal tersebut ditujukan untuk mencapai stabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Dalam menjalankan perannya, organisasi regional menjunjung tinggi semangat
regionalisme.
Regionalisme
dalam
agenda
internasional
telah
menghasilkan reaksi gabungan antara kaum positif dan pesimis, keduanya berpendapat bahwa regionalisme semakin penting dengan karakteristik permanen pasca Perang Dunia II1. Fokus organisasi regional selama ini adalah pada letak geografis negara anggotanya. Hal tersebut sebagai sebuah landasan utama pembentukan organisasi regional, yaitu dengan letak negara-negara yang saling berdekatan dalam sebuah kawasan dapat mengoptimalkan efisiensi dan keefektifan kerjasama regional. Begitu juga dalam hal penanganan konflik, letak geografis dalam sebuah kawasan 1
Louise Fawcett, Andrew Hurrell. Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order. New York: Oxford University Press.1995
1
merupakan modal penting bagi organisasi regional untuk segera melakukan tindakan pencegahan agar konflik tidak meluas. Seperti ungkapan Stefan Wolff yang menyatakan pentingnya strategi organisasi regional untuk menangani konflik. “Among the strategies aimed at preventing, managing, and settling internal conflicts in divided societies, territorial approaches have traditionally been associated in particular with self-determination conflicts, or more precisely with conflicts in which territorially concentrated identity groups (whose identity is, in part, derived from association with this territory, or homeland, in which they reside demand to exercise their right to self-determination”.2 Fokusnya jelas, yaitu peran organisasi regional dalam mencegah, mengelola, hingga menyelesaikan koflik internal dalam sebuah kawasan. Organisasi regional merupakan sebuah segmen dunia yang saling terikat oleh tujuan yang sama berdasarkan latar belakang geografis, sosial, ekonomi, politik, dalam mengolah struktur formal sebagai perjanjian antar pemerintahan di sebuah kawasan3. Kemudian, organisasi regional membentuk konsep regionalisme. Regionalisme menurut Joseph Nye merupakan formasi pengelompokkan negara berdasarkan letak geografis satu wilayah4. Negara-negara dalam satu kawasan tersebut merasa lebih diuntungkan dengan faktor letak geografis. Di kawasan yang rawan konflik seperti Afrika, peran organisasi regional seperti Organization of African Unity (OAU) atau yang sekarang disebut dengan African Union (AU) sangat penting. AU dibentuk oleh negara-negara di Afrika sejak 25 Mei 1963 di Addis Ababa, Ethiopia dan terbukti efektif dalam penanganan konflik5. Sejak tahun 1981, OAU berfokus pada dekolonisasi, yaitu menjamin kemerdekaan negara di Afrika yang masih menjadi koloni negara lain. Fokus AU yang lain adalah pembebesan diri dari pemerintahan rejim apartheid seperti yang terjadi di Afrika Selatan
2
Wolff.Organsasi Internasional.pdf diakses pada 10 Juni 2014 Leroy A Bernett. International Organizations. New Jersey: Prentice Hall. 1983. p. 350 4 Joseph Nye. International Regionalism. Boston: Little Brown and Co. 1968 5 Rachel Murray. Human Rights in Africa from OAU to the African Union. New York: Cambridge University Press. 2004. Nb:African Union (AU) tadinya bernama Organization of African Unity (OAU); berubah menjadi AU dari OAU pada Juli 2002 3
2
dan melindungi negara yang baru merdeka6. AU menekankan prinsip kebijakan non intervensi urusan dalam negeri terhadap negara anggotanya dalam menangani konflik> AU serius dalam mencapai persamaan kedaulatan negara, perlawanan terhadap neokolonialisme, dan penyelesaian konflik secara damai. Pada awal pembentukannya AU
beranggotakan 53 negara-negara yang sudah merdeka di benua Afrika. Dengan berpegang teguh pada prinsip non intervention, organisasi regional ini berpotensi besar dalam menyelesaikan konflik regional7. Setelah menjadi African Union (AU), tujuan utamanya tidak hanya pada perlindungan warga negara atas politik apartheid dan dekolonisasi, namun juga pada peningkatan keamanan dan stabilitas regional di kawasan Afrika. Buktinya, sejauh ini African Union dinilai efektif dalam menangani konflik di Burundi, Sudan, Somalia dan Komoro8. Peristiwa pembunuhan massal antar etnis Hutu dan Tutsi yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 merupakan pengalaman buruk bagi kawasan Afrika. Hal ini menjadi pelajaran penting, hingga akhirnya masyarakat internasional mendesak agar konflik etnis yang serupa di Burundi segera diselesaikan. Konflik yang terjadi tahun 1996 menjadi momentum bagi African Union untuk melaksanakan perannya sebagai organisasi regional Afrika. Konflik disertai kekerasan yang sudah pernah terjadi di Rwanda kemudian terulang kembali di Burundi, mengharapkan sebuah penanganan serius agar korban sipil tidak terus bertambah. Salah satunya adalah menerapkan cara penanganan konflik untuk genocide. Menurut seorang pengacara Yahudi, Raphael Lemkin (1900-1959) mendeskripsikan kebijakan Nazi sebagai sebuah pembunuhan sistematis, termasuk pembunuhan terhadap bangsa Yahudi yang tinggal di Eropa. Dia menemukan kata "genocide" dengan menggabungkan geno-, dari bahasa Yunani yang berarti ras atau suku, dengan kata -cide, yang diambil dari huruf Latin yang 6
AU tadinya bernama OAU yang pada awalnya dianggap tidak memperhatikan hak asasi manusia, merupakan salah satu elemen penting dalam ideologi imperialisme, I. G. Shivji, The Concept of Human Rights in Africa.London: CODESRIA Book Series. 1989. 7 Rodrigo Tavares. Regional Security: The Capacity of International Organizations. London: Routledge. 2010.pp: 21-34 8 African Union (2000) Constitutive Act of the African Union, Lomé, 11 July 2000: 3-f
3
artinya membunuh. Dengan kata lain, "sebuah rencana dengan berbagai cara untuk membunuh atau merusak fondasi penting kehidupan dalam sebuah negara, tujuannya adalah memusnahkan kelompok tersebut." Tahun 1945, Pertemuan Dewan Militer Internasional yang diadakan di Nuremberg, Jerman; mendakwa para pemimpin penganut Nazi dengan tuntutan "kejahatan terhadap kemanusiaan." Kata “genocide” termasuk di dalam dakwaan, tapi sebagai istilah deskripsi bukan dalam kerangka hukum9. Menurut laporan Amnesti
Internasional 1996 tercatat 200.000-300.000
pembunuhan terhadap warga etnis Hutu. Tahun 1972 dan 4.050 warga etnis Tutsi yang dibunuh di sekitar distrik Giheta. Para warga etnis Hutu maupun Tutsi banyak melakukan migrasi ke negara sekitar Burundi seperti Rwanda dan Uganda ketika mereka merasa tidak aman10. Penyebaran etnis Hutu dan Tutsi di beberapa negara kawasan Afrika Timur menjadi sebuah landasan utama harus tercapainya perdamaian di kawasan Afrika. Hal ini yang kemudian mempengaruhi stabilitas keamanan di kawasan Afrika. Konflik Burundi bisa dikatakan sebagai konflik etnis pertama yang ditangani oleh African Union, mengingat bahwa konflik etnis serupa yang terjadi di Rwanda tahun 1994 ditangani oleh PBB11. Ditambah lagi, sorotan masyarakat internasional terhadap kemampuan African Union dalam menangani konflik etnis, mengingat dana yang digelontorkan untuk menangani konflik etnis di Burundi tidak sedikit12. Jika konfik etnis di Burundi tidak dapat ditangani dengan baik oleh African Union, ada ketakutan konflik etnis serupa di Rwanda akan kembali terjadi yang memakan lebih dari 800.000 jiwa13. Oleh karena itu, penyelesaian konflik 9
United States Holocaust Encyclopedia http://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10007043 diakses 4 Desember 2014 10 South Africa’s Peacekeeping Role in Burundi: Challenges and Opportunities for Future Peace Missions Occasional Paper Series: Volume 2, Number 2, 2007.pdf diakses 4 Desember 2014 11 The Rwandan Genocide - Facts & Summary - HISTORY.com.htm diakses pada 5 Maret 2015 12 Murray, Rachel. Human Rights in Africa from OAU to the African Union. New York: Cambridge University Press. 2004 13 Freedom House in Burundi http://www.freedomhouse.org/report/freedom‐world/2012/burundi#.U69004aOxnk diakses 29 Juni 2014
4
dengan cara damai dan berpegang teguh pada prinsip non intervensi membuat African Union lebih dipilih. Meskipun, ada banyak faktor yang mempengaruhi eskalasi konflik etnis di Burundi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan permasalahan: Bagaimana strategi yang dilakukan pasukan perdamaian African Mission in Burundi (AMIB)? Penulis ingin menganalisa bagaimana strategi pasukan operasi perdamaian African Mission in Burundi (AMIB), sebuah pasukan perdamaian bentukan organisasi regional African Union yang menangani konflik etnis di Burundi.
C.
Tinjauan Pustaka
Dalam tulisan Ebrima Sarr disebutkan bahwa penyelesaian konflik di Burundi oleh organisasi regional (AU) dinilai berhasil. Tulisan tersebut menjelaskan bagaimana strategi diplomasi oleh organisasi regional African Union di Libya dinilai berhasil. AU berniat baik menyelesaikan konflik di Libya, dengan cara diplomasi, bukan dengan perang14. Dewan Perdamaian dan Keamanan African Union melakukan tugasnya untuk menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas di Libya dengan cara diplomasi termasuk mediasi antara Gadhafi dan kelompok pemberontak National Transition Council (NTC) yang dipimpin oleh Abdel Jalil. Tulisan ini juga menampilkan bukti keefektifan peran African Union dalam penugasan operasi perdamaian oleh African Mission in Burundi (AMIB)15. Penanganan konflik oleh African Union dengan cara diplomasi nonintervensi terbukti lebih diminati. Langkah ini didukung oleh penguasaan medan 14 15
Ebrima Sarr.African Union Diplomatic Intervention in Libya During The Arab Spring. 2012 Ibid
5
para anggota pasukan perdamaian yang berasal dari berbagai negara di kawasan Afrika. Upaya penugasan operasi perdamaian di Libya dengan metode preventive diplomacy kemudian diambil alih oleh pasukan perdamaian PBB melalui resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1973 melalui penetapan Responsibilty to Protect (R to P) yang dipimpin oleh Perancis dan Britania, Amerika dan NATO16. African Union dalam resolusi konflik Libya menerapkan strategi diplomasi kawasan dengan cara membentuk sebuah panel yang terdiri dari lima kepala negara dan merancang peta perdamaian untuk mencari solusi krisis. Para kepala negara juga diminta untuk berkoordinasi dengan rekan internal seperti PBB, Uni Eropa, Liga Arab, dan OKI. AU membuktikan bahwa strategi preventive diplomacy dan military deployment dengan operasi perdamaian efektif dalam menangani konflik di negara-negara Afrika17. Dalam tulisan Saptoto Adi, AU terbukti efektif dalam mediasi konflik agama di Sudan Selatan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Sudan Utara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. IGAD berhasil menjadi fasilitator dengan menghasilkan kesepakatan damai yang mensyaratkan masa transisi selama 6 tahun di Sudan Selatan dan diakhiri dengan penyelenggaraan referendum di daerah Selatan18. Langkah ini dinilai sebagai keefektifan IGAD dalam melakukan mediasi konflik agama. IGAD yang dibentuk atas inisiasi negara yang tergabung dalam African Union dinilai berhasil menangani konflik regional. Kesepakatan damai tidak akan tercapai tanpa adanya kerjasama dari negara-negara di sekitar wilayah Sudan dan berniat baik untuk memelihara stabilitas keamanan regional. Negara sekitar Sudan yang berperan penting dalam proses perdamaian tersebut antara lain Kenya, Uganda, Ethiopia, Eritrea-sebagai mediator. Sedangkan Amerika, Inggris, Italia, Norwegia bertidak sebagai negara pemantau19.
16
Ibid Ibid 18 Saptoto Adi. Peran Inter Govermental Authority for Development (IGAD). 2011 19 Ibid 17
6
Kedua tulisan tersebut menunjukkan peran organisasi regional African Union dinilai efektif dalam upaya penanganan konflik di kawasan Afrika, terutama isu etnis dan agama. Pencapaian mandat dengan penandatanganan kesepakatan damai menjadi tolak ukur utama keberhasilan operasi perdamaian. Indikator keberhasilan operasi perdamaian yang tergantung pada pencapaian mandat membuat entitas pasukan perdamaian berperan sebagai instrumen politik yang berfokus pada peniadaan perang dan mencapai kesepakatan damai. Dalam menghadapi perang di lingkup kawasan, komunitas regional lebih diminati karena menjunjung prinsip non-intervensi. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga prinsip netralitas para pasukan perdamaian yang berasal dari negara di sekitar wilayah konflik. Di sisi lain, indikator keberhasilan operasi perdamaian atas pencapaian mandat menyisakan masalah utama di Burundi, yang kemudian menjadi akar konflik. Tidak semua pihak di Burundi setuju untuk mengikuti proses perdamaian. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat operasi perdamaian di Burundi berlangsung lama. Pasukan perdamaian hanya mampu bertindak sesuai mandat dan tenggat waktu yang diberikan, meski sustainable peace belum bisa dicapai. Sedangkan, akar konflik masih terus menjadi ancaman laten di negara tersebut. Oleh sebab itu, dibutuhkan aktor dalam cakupan kawasan yang menerapkan strategi demi mencapai stabilitas keamanan regional di Burundi. Dengan begitu, perdamaian berkesinambungan atau sustainable peace dapat segera terwujud di kawasan Afrika.
D.
Kerangka Konseptual
Konsep membantu penulis dalam menganalisa penyelesaian konflik oleh African Union di Burundi. Penulis menggunakan konsep regional security atau konsep keamanan regional sebagai dasar analisa keberhasilan/ kegagalan operasi perdamaian di Burundi.
7
D. 1. Kemanan Regional / Regional Security Keamanan dalam lingkup regional sangat penting dalam upaya pencegahan konflik. Niklas Swanström menyebutkan bahwa keamanan regional diartikan sebagai pendekatan keamanan, yang menegaskan arti sudut pandang kawasan yang terdiri dari berbagai negara, bukan satu negara. Ancaman keamanan dalam sebuah kawasan menegaskan pentingnya pencegahan konflik 20. Organisasi regional perlu beralih dari satu fokus ancaman militer, menjadi tahapan yang melibatkan pencegahan konflik sosial, lingkungan, dan ekonomi. Upaya tersebut berpengaruh besar terhadap stabilitas kawasan yang menjadi kesepakatan bersama. Fokus organisasi regional meluas ke tingkat dalam negeri yaitu pada penekanan individu, sub-nasional dan cakupan regional. Dengan terwujudnya keamanan di tingkat domestik, diharapkan dapat mendorong tercapainya stabilitas perdamaian di tingkat kawasan. Dalam upaya menciptakan keamanan kawasan, organisasi regional semakin menyadari pentingnya perhitungan biaya untuk menangani konflik dan cepat lambatnya tindakan untuk menangani konflik. Organisasi regional dinilai lebih berhasil daripada organisasi internasional dalam mengimplementasikan upaya pencegahan konflik21. Hal ini merupakan dasar kepercayaan dan integrasi kepada organisasi regional, yaitu mengurangi ketakutan adanya intevensi asing terhadap urusan internal pemerintahan. Jika dibandingkan dengan peran organisasi internasional, African Union lebih cepat dalam melakukan upaya pencegahan konflik dengan metode preventive deiplomacy. Metode ini menekankan kerjasama negara di sekitar kawasan konflik untuk mencegah konflik semakin meluas. Mengatasi konflik kawasan tidak semudah yang dibayangkan, ada banyak faktor yang perlu diperhatikan demi terwujudnya stabilitas keamanan regional. 20
Niklas Swanström. Regional Cooperation and Conflict Prevention http://www.silkroadstudies.org/new/docs/beijing/CPinNEA_ch4.pdf diakses 1 Juni 2014 21 Ibid
8
Dalam buku Regional Security Cooperation In The Early 21st Century menjelaskan ada empat hal penting dalam konsep keamanan regional, antara lain politik aliansi, keamanan kolektif, rejim keamanan, dan keamanan komunitas22. Aliansi adalah salah satu konsep paling tua dalam kerjasama internasional dengan menekankan pada kesamaan antar negara, diantaranya kesamaan kepentingan dalam kawasan. Politik aliansi dirancang untuk pertahanan dan menyerang (militer) terhadap ancaman eksternal dan internal. Dalam konteks pertahanan, aliansi bisa berubah menjadi kompetisi senjata. Aliansi yang memiliki musuh internal bisa bertindak layaknya pihak eksternal. Aliansi mengurangi perang antara negara anggota dengan meningkatkan kepercayaan diri, menekankan resolusi, menghindari pertikaian, dan memicu kerjasama di bidang non-militer. Konsep yang berikutnya adalah keamanan kolektif yang muncul pada abad 20 sebagai respon terhadap aliansi dan keseimbangan kekuatan politik. Kerangka ini sudah dipergunakan sejak PBB masih menjadi Liga Bangsa Bangsa. Keamanan kolektif bertujuan untuk mencegah perang atau ancaman perdamaian internasional. Jika ada konsensus, maka pendekatan keamanan kolektif akan bekerja dengan baik, namun akan gagal jika menghadapi bahaya lebih besar, termasuk ketika kekuatan besar terlibat dalam konflik. Rejim keamanan dan keamanan komunitas menjadi konsep terakhir dalam keamanan regional. Kedua konsep ini berhubungan dengan perilaku negaranegara dalam kawasan, misalnya menghormati peraturan perdagangan dan perhubungan
dalam
dimensi
hubungan
internasional.
Rejim
keamanan
mendefinisikan norma yang dianut negara, yang merupakan cara untuk implementasi, mendukung, dan verifikasi norma tersebut. Rejim ini juga berkaitan dengan kebijakan masing-masing negara tanpa menggunakan kekuatan militer dalam menangani konflik regional dan menghormati batas wilayah yang telah ditetapkan. Bukti nyata dalam konsep ini adalah pengaturan jenis senjata yang digunakan dalam perang atau pergerakan dan transparansi kegiatan militer. 22
Alyson J. K. Bailes and Andrew Cottey. Regional Security Cooperation In The Early 21st Century http://www.sipri.org/yearbook/2006/files/SIPRIYB0604.pdf diakses 11 Juni 2014
9
Sedangkan, keamanan komunitas terbentuk dari kelompok negara yang memberi jaminan bahwa negara anggota dalam komunitas tidak akan bertikai secara fisik, tapi menyelesaikan pertikaian dengan cara damai. Keamanan komunitas merupakan interaksi paling komprehensif dibandingkan dengan model lain, dimulai dengan mengurangi resiko konflik dalam sebuah kelompok. Konsep ini mengembangkan kekuatan yang lebih besar selain sebagai upaya pencegahan demi menjaga dan meningkatkan kerjasama antara negara anggota dalam sebuah kawasan. D. 2. Operasi Perdamaian Peace Operation atau operasi perdamaian pada dasarnya adalah semua kegiatan pasukan perdamaian sejak tahapan konflik hingga pasca konflik. Menurut Ketua Staf Koordinasi Pasukan Gabungan Amerika Serikat, operasi perdamaian terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya peacekeeping operation (PKO), peace building post-conflict actions, peacemaking processes, conflict prevention, and military peace enforcement operations (PEO). Secara praktis, kesemua tahapan operasi perdamaian tersebut menekankan pentingnya stuktur mandat dari pimpinan. Sedangkan menurut buku United Nations Peacekeeping Operation: Principles and Guidelines, dijelaskan bahwa operasi perdamaian dibagi dalam beberapa kegiatan, yaitu peacemaking, peacekeeping, military peace enforcement operations,dan peace building post-conflict actions. Peacemaking biasanya melibatkan kegiatan diplomatik, salah satu contohnya adalah membawa pihak yang bertikai ke meja perundingan. Sekretaris Jenderal PBB meminta Dewan Keamanan PBB atau Majelis Umum menyediakan “venue” untuk memfasilitasi resolusi konflik. Upaya ini bisa dilakukan oleh kelompok NGO, individu, pemerintah atau sekelompok negara, organisasi regional maupun internasional23. Peacekeeping lebih rentan terhadap serangan secara teknis. Tujuannya, membantu mengimplementasi perjanjian damai yang telah disepakati. 23
UN Peacekeeping Principles and Guidelines http://pbpu.unlb.org/pbps/library/capstone_doctrine_eng.pdf diakses 11 Juni 2014
10
Peacekeeping biasanya dilaksanakan melalui pengawasan gencatan senjata dan pemisahan kekuatan dalam perang domestik, bekerja sama dengan berbagai elemen
dan
bekerja
berkesinambungan.
sama
Military
membantu peace
tercapainya
enforcement
perdamaian
operations
yang
melibatkan
kewenangan berupa cakupan koersif kekuatan militer. Contohnya, kewenangan untuk mencapai perdamaian internasional dan keamanan yang dinilai oleh Dewan Keamanan PBB banyak terjadi serangan dan ancaman terhadap perdamaian. Organisasi regional berada di bawah kemenangan PBB dalam melakukan operasi perdamaian. Peace building post-conflict actions (bina damai) melibatkan serangkaian target untuk mengurangi resiko pecahnya konflik atau konflik berulang. Upaya tersebut dilakukan dengan penguatan kapasitas nasional di semua tingkat manajemen konflik untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan. Langkah ini efektif dalam penyelesaian konflik di tingkat dasar, yaitu menuntaskan penyebab kekerasan struktural untuk mencapai hasil yang komprehensif24. Semua tahapan tersebut termasuk dalam penugasan pasukan operasi perdamaian. Dalam penugasan pasukan perdamaian diperlukan penilaian keberhasilan operasi perdamaian agar bisa menjadi pembelajaran penting di masa depan. Menurut Paul Diehl, sebuah operasi perdamaian bisa dikatakan berhasil jika negara tersebut atau host states dan pihak ketiga mendukung pelaksanaan operasi perdamaian. Diberlakukannya sebuah operasi perdamaian tentu saja harus disetujui dan mendapat dukungan penuh. Kedua, pasukan operasi perdamaian tidak diperkenankan bersenjata berat dan tidak boleh menyerang kecuali untuk pertahanan. Ketiga, pasukan operasi perdamaian harus mengutamakan dan melaksanakan prinsip netralitas terutama pada penanganan konfik interstate dibanding intrastate. Konteks geografis sangat penting dalam penugasan operasi
24
Ibid
11
perdamaian, agar mudah mendeteksi kekerasan dan memisahkan para kombatan dari sipil25. Sedangkan, Duane Bratt menggunakan tiga indikator untuk mengukur keberhasilan sebuah operasi perdamaian. Pertama, apakah operasi perdamaian memenuhi mandatnya. Kedua, apakah operasi perdamaian memfasilitasi resolusi konflik, tujuannya agar konflik tidak terulang. Ketiga, apakah operasi perdamaian mengandung konflik di dalamnya26. Dalam sebuah operasi perdamaian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan operasi perdamaian. Sehingga, pasukan operasi perdamaian AMIB yang dibentuk oleh African Union mempertimbangkan segala hal demi tercapai perdamaian dan pencegahan konflik berulang di Burundi. D.3. Strategi Penugasan pasukan perdamaian harus dilakukan dengan strategi yang tepat agar perdamaian bisa segera tercapai. Strategi menjadi sebuah pertimbangan penting bagi AMIB dalam menjalankan tugas, di samping perhitungan dana, waktu, maupun desakan internasional atas pencapaian perdamaian di Burundi. Kata strategi berasal dari bahasa Yunani strategia, yang berarti keseluruhan. Dalam dunia militer, strategi berarti menggerakkan pasukan ke dalam posisi sebelum ditempati lawan. Dalam hal ini, strategi berarti penugasan pasukan bersenjata27. Strategi bisa berarti seni memimpin, seni memproyeksikan dan mengarahkan pergerakan militer dan operasi; strategi adalah tanggung jawab utama seorang pemimpin28. Strategi berhubungan dengan teori dan praktek penggunaan kekuatan militer atau pemberlakuan ancaman penggunaan kekuatan militer untuk tujuan politik; ini adalah jembatan penggunaan kekuatan mliiter 25
Diehl, PF & Druckman, D. Evaluating Peace Operations. Vol.1.Boulder Co.: Lynne Rienner. 2010
26
Duane Bratt. Assessing the Success of UN Peacekeeping Operations”. International Peacekeeping Winter. 1996 27 28
Fred Nickols. Strategy: Definitions and Meanings Papers. 24 Mei 2012 diakses 24 maret 2015 Oxford English Dictionary
12
dengan akhir tujuan politik29. Strategi bisa dilakukan melalui ancaman yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Jika penekanan dalam bentuk serangan militer diperlukan, maka strategi koersif adalah yang paling tepat. Strategi ini dilaksanakan dengan memberikan penawaran untuk membuat pihak
bersengketa
melakukan
perintah
dengan
cara
mengancam
atau
melukainya30. Strategi ini melibatkan negosiasi (dalam bentuk ancaman maupun penghargaan) dan serangan jika dibutuhkan. Strategi ini dilakukan sesuai kebutuhannya, yaitu dengan tujuan untuk mempertahankan atau mengubah keadaan. Berikut ini adalah bagan tujuan dari penggunaan strategi koersif31;
Potential/Limited Actual
Maintain
Change
Deterrence
Compellence
Defense
Offense
Deterrence dalam status mempertahankan keadaan dilakukan dengan membujuk lawan, bukan memulai aksi serangan, kita yang mulai memberikan penawaran dan menjelaskan konsekuensi dari aksi yang dilakukan oleh lawan; kemudian tunggu. Keberhasilannya adalah ketika tidak ada pihak lawan yang harus ditangkap. Compellence dilakukan dengan mengajak lawan untuk mengubah perilaku, kita mulai melakukan tindakan dan terus melakukannya hingga pihak lawan menyerah. Dalam perlakuan ini ada tiga kategori penghargaan, yaitu membujuk lawan untuk menghentikan tujuan jangka pendeknya, menghentikan pergerakannya (pergi dari medan konflik), mengubah kebijakannya. Keberhasilannya ditentukan dengan cara melihat perubahan perilaku lawan32. Lawan akan dengan sukarela mengikuti apa yang diperintahkan dengan penerapan strategi ini. Oleh karena itu, strategi ini efektif digunakan dalam penyelesaian konflik. Perhitungan waktu dan dana dalam strategi ini juga merupakan pertimbangan penting. 29 Professor Branislav L. Slantchev. National Security Strategy: The Diplomacy of Strategic Coercion Paper. coercive-diplomacy.pdf diakses 24 Maret 2015 Ibid 31 Ibid 32 Ibid 30
13
E.
Argumen Utama
Strategi operasi perdamaian merupakan fokus utama kajian tulisan ini. Jika strategi koersif dalam konsep politik aliansi yang diterapkan oleh AU dapat membawa semua pihak mengikuti proses perdamaian, maka akar konflik Burundi dapat diselesaikan dengan baik dan tercapai perdamaian berkesinambungan atau sustainable peace. Kekuatan operasi perdamaian African Mission in Burundi (AMIB) terletak pada kepercayaan negara Burundi pada pasukan AMIB yang tidak akan melakukan intervensi terhadap kebijakan politik dalam negeri Burundi dan perasaan serumpun dari negara-negara di Afrika dan kekuatan dari pasukan perdamaian dari sekitar negara Afrika. Jika peran organisasi regional dalam menangani konflik di Burundi dapat dioptimalkan, maka bukan tidak mungkin penanganan konflik oleh organisasi regional lain mengadopsi strategi African Union.
F.
Jangkauan Penelitian
Jangkauan penelitian ini akan dibatasi sejak tahun 1996 hingga 2005, yaitu ketika puncak konflik etnis terjadi di Burundi hingga masa akhir penugasan pasukan perdamaian PBB yang disebut dengan United Nations In Burundi (ONUB). Penulis melihat periode tersebut adalah tahapan penting bagaimana sebuah operasi perdamaian oleh organisasi regional menerapkan prinsip dasar non-intervensi namun tetap harus menjalankan perannya secara optimal. Penulis melengkapi thesis ini dengan data pendukung tahapan konflik di luar jangkauan penelitian sebagai bahan pelengkap. Hal ini penting dilakukan karena dalam penelitian ini perlu dipaparkan bagaimana awal konflik terjadi dan apa saja yang mempengaruhi eskalasi konflik. Nantinya, tahapan tersebut dapat digunakan untuk menarik kesimpulan tentang keefektifan peran operasi
14
perdamaian yang dibentuk oleh organisasi regional dalam menerapkan prinsip dasar non intervention.
G.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi pasukan operasi perdamaian African Mission in Burundi (AMIB). Penanganan konflik etnis di Burundi memuktikan keefektifan dan keberhasilan operasi perdamaian meskipun di ada banyak rintangan yang harus dihadapi. Pencapaian mandat merupakan indikator utama keberhasilan operasi perdamaian, namun tulisan ini ingin melihat sisi lain operasi perdamaian dalam hubungannya dengan pencapaian sustainable peace. Penulis berharap penelitian ini tidak hanya merupakan laporan semata, namun diharapkan juga mampu menjadi pembelajaran penting dalam kajian peran organisasi regional menerapkan prinsip non intervention untuk mencapai perdamaian kawasan Afrika yang nantinya bisa diaplikasikan ke organisasi regional lain.
H.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Peneliti kualitatif lebih berupaya melakukan pemahaman, yaitu dengan memahami bagaimana sudut pandang orang dan pengalaman mereka. Penelitian kualitatif
15
berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya33. Penelitian ini menekankan proses, peristiwa dan otentisitas. Penelitian ini juga menyajikan data dari penelitian sebelumnya mengenai peran organisasi regional dalam penanangana konflik di Afrika sebagai pembanding bagaimana penerapan strategi yang dilakukan oleh African Union menangani konflik di negara-negara di Afrika. Metode
penelitian
mempunyai
asumsi
paradigmatik
yaitu
dengan
menyajikan teori kemudian penulis menginterpretasikan melalui data yang diperoleh. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library research), wawancara, mencari data sekunder dari buku, jurnal, majalah, dan sumber internet. Kegiatan tersebut penting dilakukan untuk penguatan teori yang nantinya akan digunakan sebagai dasar analisa.
I.
Sistematika Penulisan
Bab I berisi pendahuluan mengenai penjelasan singkat tentang latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Cakupan penelitian dari tahun 1996 hingga 2005 lengkap dengan argumen utama berdasarkan kesimpulan sementara disajikan dalam Bab I. Bab II lebih menjelaskan proses konflik etnis di Burundi serta berbagai aktor yang terlibat di dalamnya. Sejarah dan peta konflik di Burundi penting
33
Sharan B Merriam. Qualitative Research: A Guide to Design and Implementation. pdf
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved =0CC0QFjAC&url=https%3A%2F%2Fwww.aea267.k12.ia.us%2F%3FACT%3D26%26fid%3D5 %26d%3D1527%26f%3Dqualitative_research.pdf&ei=xqNRVPP2BZaF8gXk3ICoBA&usg=AFQ jCNFDLpjTh6leh5qyuLlAAP7MRGB2ZA&sig2=nQNypMZbTjft3QHCdF9MrQ&bvm=bv.7859 7519,d.dGc diakses 11 Juni 2014
16
untuk mengetahui seberapa besar dampak hingga upaya diplomasi yang diperlukan dalam menangani konflik etnis di Burundi. Bab III berisi tentang peran African Union dalam penyelesaian konflik di Burundi. Bab ini merupakan bagian penting yang menampilkan mekanisme operasi perdamaian oleh African Union, yang terdiri dari penjelasan instrumen pasukan perdamaian dan penugasan pasukan African Mission in Burundi (AMIB). Strategi dan tantangan pasukan perdamaian dalam menangani konflik di Burundi disajikan sesuai data kemudian dianalisa. Strategi yang diterapkan oleh AMIB adalah fokus utama dalam penelitian ini yang nantinya disimpulkan di Bab IV. Akhirnya, kesimpulan penulis tentang penyelesaian konflik etnis di Burundi dengan analisa indikator keberhasilan operasi perdamaian ditulis di BAB IV. Strategi African Mission in Burundi (AMIB) dianalisa berdasarkan sesuai kerangka konsep yang disajikan dalam bab sebelumnya.
17