BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penggerek batang padi sampai saat ini masih merupakan kendala utama peningkatan produksi padi di Indonesia. Pada tahun 2006, luas daerah yang terserang penggerek batang padi mencapai 112 950 ha atau 21.75% dari total luas serangan OPT seluas 519 200 ha (DIRJENTAN PANGAN 2007). Untuk mengatasi masalah hama penggerek batang padi ini, beberapa teknik pengendalian telah diterapkan antara lain penangkapan ngengat dengan lampu perangkap (Rauf et al. 1992), pengumpulan kelompok telur, penggunaan karbofuran (Oka 1992), teknik pengendalian secara kultur teknis yaitu dengan mengatur waktu tanam dan pola tanam (Hendarsih 1994), dan teknik penangkapan massal dengan menggunakan feromon seks (Hendarsih & Beevor 2001), tetapi hasilnya masih belum memuaskan. Varietas tahan hama sebagai salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan salah satu teknik pengendalian yang murah, mudah diterapkan, dan tidak mencemari lingkungan. Namun sampai saat ini belum ada varietas padi yang mempunyai ketahanan pada tingkat yang memadai untuk penggerek batang padi (Rao & Padhi 1988). Upaya untuk mendapatkan varietas padi tahan hama penggerek batang padi telah lama dilakukan dengan metode pemuliaan secara konvensional dengan memanfaatkan pemahaman mekanisme ketahanan genetik tanaman terhadap serangga hama. Mekanisme tersebut adalah mekanisme ketahanan genetik nonpreference atau antixenosis, baik antixenosis kimiawi maupun antixenosis morfologi. Tiga puluh tahun yang lalu Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) telah menyeleksi lebih dari 30 000 varietas padi untuk ketahanan terhadap penggerek batang padi. Tetapi, varietas padi yang ada tidak memberikan tingkat ketahanan terhadap hama yang cukup, terutama untuk penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) (Wu et al. 1997). Bandong dan Litsinger (2005) melaporkan dengan metode pemuliaan secara konvensional ini telah teridentifikasi galur-galur padi yang mempunyai
2 ketahanan kimiawi dari tingkat ketahanan toleran sampai moderat, tetapi tidak ada yang mempunyai ketahanan kimiawi pada tingkat ketahanan yang tinggi. Ketahanan morfologi untuk penggerek batang padi telah lama diketahui, tetapi tidak ada varietas yang dilepas berdasarkan sifat ketahanan morfologi ini dikembangkan. Upaya lain dengan metode pemuliaan secara konvensional dengan memanfaatkan zat antibiosis sangat sulit dilakukan karena di alam sumber gen ketahanan untuk penggerek batang padi belum ditemukan pada padi atau kerabat liarnya (Rao & Padhi 1988). Rekayasa genetika tanaman merupakan alternatif yang diharapkan dapat membantu menjawab tantangan ini. Dengan rekayasa genetika, gen tahan untuk penggerek batang padi yang berasal dari spesies lain dapat diintroduksikan pada tanaman padi dengan menggunakan teknologi transfer gen. Teknik transformasi genetika yang bertujuan untuk ketahanan terhadap hama telah dikembangkan pada varietas padi Indonesia. Salah satu gen ketahanan yang telah berhasil disisipkan ke varietas Rojolele (Javanica) adalah gen cryIAb yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis penyandi sumber ketahanan terhadap hama dari ordo lepidoptera melalui teknik penembakan (Slamet-Loedin et al. 1998). Berdasarkan pengujian sampai dengan generasi kelima, terbukti bahwa gen cryIAb tetap diwariskan pada setiap generasinya dan ditemukan beberapa galur potensial tahan penggerek batang padi (Satoto 2003). Sementara itu dari hasil pengujian di lapangan terbatas pada musim tanam tahun 2003 dan 2004 telah diperoleh 5 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung gen cryIAb tahan penggerek batang padi kuning S. incertulas. Introduksi gen cry yang menyandikan ketahanan terhadap hama penting tanaman padi juga telah berhasil dilakukan pada berbagai varietas tanaman padi baik sebagai gen tunggal maupun sebagai gen ganda, sehingga tanaman padi mempunyai kemampuan internal untuk mengendalikan serangga sasaran. Gen cryIAb atau cryIAc yang diekspresikan pada padi misalnya, sangat efektif dalam mengendalikan serangan larva penggerek batang padi kuning S. incertulas (Ghareyazie et al. 1997; Nayak et al. 1997; Alam et al. 1998). Gen cryIB dibawah kontrol promoter ubiquitin dari jagung dilaporkan sangat efektif mengendalikan
3 penggerek batang padi kuning S. incertulas dan bergaris Chilo suppressalis (Walker) (Lepidoptera: (Pyralidae) (Breitler et al. 2000). Namun seperti halnya hasil pemuliaan konvensional, ketahanan tanaman transgenik
dapat
dipatahkan.
Berbagai
strategi
dikembangkan
untuk
memperlambat laju pematahan ketahanan oleh serangga. Cohen (2000) menyarankan untuk hanya menanam tanaman transgenik yang mengandung “high dose” toxin, menanam tanaman non transgenik diantara tanaman transgenik (refugia), atau menanam tanaman yang mengandung lebih dari satu gen ketahanan yang mempunyai “binding site” yang berbeda di dalam pencernaan larva serangga. Alcantra et al. (2000) melaporkan beberapa toxin cry mempunyai “binding site” yang berbeda di dalam pencernaan larva dua spesies penggerek batang padi, C. suppressalis dan S. incertulas. Selanjutnya mereka menyarankan untuk mengkombinasikan penggunaan toxin cry yang berbeda binding site ini untuk memperoleh tanaman transgenik yang memiliki ketahanan yang lama. Misalnya kombinasi gen cryIAb atau cryIAc dengan gen cryIC, cry2A, atau cry9c. Penemuan ini sangat menguntungkan dalam mengembangkan strategi untuk memperlambat laju pematahan ketahanan oleh serangga, karena kemungkinan mutasi dua receptor yang berbeda pada serangga lebih kecil. Untuk mendapatkan padi tahan penggerek batang padi yang memiliki ketahanan yang panjang (tidak mudah patah), dua pendekatan telah dilakukan oleh Kelompok Penelitian Padi, Puslit Bioteknologi LIPI yaitu (a) transformasi dua gen cry (cryIB-cryIAa) yang mempunyai binding site berbeda dalam sistem pencernaan larva serangga, dan (b) transformasi gen cryIB dibawah kendali promoter terinduksi pelukaan yaitu promoter dari gen maize proteinase inhibitor (mpi). Dari hasil penelitian pada tahun 2003 dan 2004 pada generasi pertama dan kedua, telah diperoleh 2 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa) dan 4 galur padi transgenik cv. Rojolele mengandung gen mpi::cryIB potensial tahan penggerek batang padi kuning S. incertulas yang bersegregasi mengikuti hukum Mendel (3:1) (Rahmawati 2004). Untuk mengurangi kecemasan publik terhadap produk transgenik, pendekatan yang telah dilakukan adalah mengkonstruksi vektor ekspresi gen yang
4 dapat mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik, meskipun antibiotik yang digunakan masuk dalam kategori aman (Rachmat 2006). Dengan didapatkannya padi transgenik tahan penggerek batang padi, bukan berarti langsung padi tersebut dapat dilepas ke pasar.
Sebelum suatu
produk rekayasa genetika dilepas maka sebelumnya, sesuai kesepakatan pada protokol keamanan hayati global (Protocol Cartagena) perlu dilakukan analisis resiko untuk keamanan lingkungan dan keamanan pangan.
Di Indonesia hal
tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005 (Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik) dan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tahun 1999 (Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura) (Tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik). Untuk itu ditingkat Nasional dibentuk Komisi Keamanan Hayati dan Pangan (KKHP) yang secara teknis dibantu oleh Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHP). Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh produk transgenik terhadap keamanan lingkungan dan kesehatan manusia. Aspek yang perlu dipelajari dari pengujian keamanan lingkungan diantaranya adalah menganalisis pengaruh padi transgenik terhadap serangga nontarget. Perumusan Masalah Penggerek batang padi sampai saat ini masih merupakan kendala utama peningkatan produksi padi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah hama penggerek batang padi ini, beberapa teknik pengendalian telah diterapkan antara lain pengendalian secara fisik, mekanis, kimiawi, kultur teknis yaitu dengan mengatur waktu tanam dan pola tanam, serta teknik penangkapan massal dengan menggunakan feromon seks, tetapi hasilnya masih belum memuaskan. Penggunaan varietas tahan hama adalah salah satu teknik pengendalian yang murah, mudah diterapkan, dan tidak mencemari lingkungan. Namun sampai saat ini belum ada varietas padi yang mempunyai ketahanan pada tingkat yang memadai untuk penggerek batang padi.
5 Upaya untuk mendapatkan varietas padi tahan hama penggerek batang padi telah lama dilakukan dengan metode pemuliaan secara konvensional dengan memanfaatkan pemahaman mekanisme ketahanan genetik tanaman terhadap serangga hama. Mekanisme tersebut adalah mekanisme ketahanan genetik nonpreference atau antixenosis, baik antixenosis kimiawi maupun antixenosis morfologi. Dengan cara ini telah teridentifikasi galur-galur padi yang mempunyai ketahanan kimiawi dari tingkat ketahanan toleran sampai moderat, tetapi tidak ada yang mempunyai ketahanan kimiawi pada tingkat ketahanan yang tinggi. Ketahanan morfologi untuk penggerek batang padi telah lama diketahui, tetapi tidak ada varietas yang dilepas berdasarkan sifat ketahanan morfologi ini dikembangkan. Upaya lain dengan memanfaatkan zat antibiosis sangat sulit dilakukan karena di alam sumber gen ketahanan untuk penggerek batang padi belum ditemukan pada padi atau kerabat liarnya. Alternatif lain untuk mendapatkan varietas padi tahan hama penggerek batang padi adalah dengan dilakukannya introduksi gen tahan penggerek batang padi yang berasal dari spesies lain menggunakan teknologi transfer gen melalui rekayasa genetika. Teknologi DNA rekombinan merupakan upaya untuk dapat melakukan transfer gen antar spesies. Gen ketahanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gen yang dapat memfasilitasi produksi bahan pestisida alami yaitu gen cry yang berasal dari bakteri B. thuringiensis. Gen-gen cry yang telah berhasil disisipkan pada tanaman padi harus dibuktikan efektif dalam mengendalikan hama sasaran dan tidak menimbulkan pengaruh negatif pada musuh-musuh alami. Sebelum dilepas, tanaman hasil rekayasa genetika harus aman lingkungan dan aman menurut analisis risiko yang ditetapkan masing-masing negara. Untuk itu perlu dilakukan pengujian keefektifan padi transgenik yang dihasilkan terhadap hama sasaran yaitu hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dan pengaruhnya terhadap serangga nontarget termasuk musuh alami, baik pada tahap in vitro, in planta, maupun lapangan terbatas.
6 Hipotesis Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah: 1. Tidak ada perbedaan keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas. 2. Tidak ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator Verania lineata Th (Coleoptera: Coccinellidae) pada padi Rojolele transgenik. 3. Tidak ada perbedaan populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik. Hipotesis satu (H1) dalam penelitian ini adalah: 1. Ada perbedaan keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas. 2. Ada perbedaan perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik. 3. Ada perbedaan populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas. 2. Mempelajari perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik. 3. Mempelajari populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dan pengaruhnya terhadap serangga nontarget termasuk musuh alami. Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat diperoleh cara pengendalian
7 hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dan begitu pula dapat diperoleh informasi mengenai pengaruh tanaman transgenik terhadap lingkungan hidup termasuk organisme bukan sasaran. Ruang Lingkup Penelitian Penggerek Batang Padi Varietas Unggul Tahan Penggerek Batang Padi
Perakitan Varietas Secara Konvensional
Perakitan Varietas dengan Rekayasa Genetika
Faktor Pembatas: Gen ketahanan terhadap penggerek batang pada tanaman padi maupun kerabat liarnya belum ditemukan
Transformasi: Gen cryIAb
Keefektifan Terhadap Hama Sasaran
Transformasi: - Fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa) - Gen mpi::cryIB
Keamanan Lingkungan
1
Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi tahap in vitro
4
Perkembangan pradewasa dan kemampuan hidup predator V. lineata pada padi Rojolele transgenik di laboratorium
2
Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi tahap in planta
5
Populasi serangga nontarget pada pertanaman padi Rojolele transgenik di lapangan terbatas
3
Keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi tahap lapangan terbatas
Keterangan: 1, 2, 3, 4, dan 5: yang dikerjakan dalam penelitian ini
Keamanan Pangan
8 Pengendalian Hama Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah teknik pengendalian yang dianjurkan untuk mengatasi masalah hama di lahan pertanian. Dalam penerapannya di lapangan, PHT tidak tergantung hanya pada satu jenis teknik pengendalian hama, tetapi semua teknik pengendalian harus dimanfaatkan dan dipadukan agar dapat menekan populasi hama berada di bawah Ambang Ekonomi. Teknik-teknik pengendalian hama tersebut termasuk pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik, pengendalian secara budidaya tanaman, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi, penggunaan varietas tanaman tahan hama, dan teknik-teknik pengendalian hama lainnya, termasuk peraturan (Untung 2006). Pengendalian fisik merupakan usaha mengubah faktor lingkungan fisik sehingga dapat menimbulkan mortalitas dan mengurangi populasi hama. Mortalitas hama disebabkan karena faktor fisik seperti suhu, kelembaban, dan suara diluar batas toleransi serangga hama sasaran. Pengendalian mekanik bertujuan mematikan atau memindahkan hama secara langsung baik dengan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Cara pengendalian fisik dan mekanik ini tidak menimbulkan pengaruh negatif pada lingkungan. Pengendalian hama secara budidaya atau bercocok tanam bertujuan mengelola lingkungan budidaya tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan perkembangan hama serta dapat mengurangi laju peningkatan populasi hama dan kerusakan tanaman. Teknik pengendalian ini tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan dan relatif mudah dikerjakan oleh petani baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Pengendalian hayati pada dasarnya merupakan pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama. Sesuai dengan konsepsi dasar PHT, pengendalian hayati memegang peranan yang menentukan karena semua teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah ambang ekonomi. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping terhadap lingkungan terutama
9 terhadap serangga atau organisma bukan sasaran, karena musuh alami biasanya adalah khas inang. Pengendalian kimiawi adalah teknik pengendalian hama dengan menggunakan bahan kimiawi seperti insektisida. Pengendalian kimiawi tidak aman bagi lingkungan karena memiliki dampak samping terhadap lingkungan seperti hama menjadi resisten, resurjensi atau ledakan hama sekunder, pengaruh negatif terhadap organisma nontarget, dan residu pestisida (Metcalf 1982; Sutanto 2002). Tanaman tahan hama merupakan teknik pengendalian yang efektif, murah, dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Landasan yang digunakan dalam pengendalian ini adalah pemahaman tentang sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman yaitu ketahanan ekologi dan ketahanan genetik (Kogan 1982). Ketahanan ekologi merupakan sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya oleh faktor lingkungan yang memungkinkan munculnya penampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Karena sifatnya yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama tertentu. Ketahanan genetik merupakan sifat ketahanan tanaman yang dikendalikan oleh faktor genetik. Menurut Painter (1951) dalam Untung (2006) terdapat 3 mekanisme ketahanan genetik tanaman terhadap serangga hama yaitu (1) ketidaksukaan atau nonpreference, (2) antibiosis, dan (3) toleran. Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu serangga menjauhi atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur. Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti menolak tamu. Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau antixenosis kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologi. Antixenosis kimiawi terjadi karena tanaman mengandung allelokimia yang menolak kehadiran serangga pada tanaman. Antixenosis morfologi, ketahanan tanaman disini terbawa
10 oleh adanya sifat-sifat struktur atau morfologi tanaman yang dapat menghalangi terjadinya proses makan dan peletakan telur yang normal. Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan, bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu terjadinya kematian serangga. Mekanisme antibiosis sampai saat ini merupakan mekanisme ketahanan tanaman yang paling penting dan banyak dicari dan dimanfaatkan oleh ahli pemulia tanaman sebagai sumber gen untuk digunakan guna memperoleh varietas baru yang tahan hama. Banyak contoh zat antibiosis yang dijumpai pada tanaman yang telah dimanfaatkan untuk mendapatkan varietas tahan hama seperti: (a) kandungan gosipol pada kapas untuk memperoleh ketahanan kapas terhadap hama H. armigera, (b) kandungan asparagin pada padi untuk ketahanan padi terhadap hama wereng coklat padi, (c) kandungan 2,4-hydroxy-7-methoxy-2H-1,4benzoxazin-3(4H)-one (DIMBOA) pada jagung untuk memperoleh ketahanan terhadap penggerek batang jagung Ostrinia. Mekanisme ketahanan toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu tumbuh lebih cepat sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka. Dilihat dari tekanan seleksi yang diakibatkan, mekanisme toleran lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan dua mekanisme yang lain. Mekanisme toleran lebih lunak dibandingkan dengan antibiosis dan antixenosis sehingga perkembangan populasi hama tahan yang mampu mematahkan sifat toleran berjalan lebih lambat. Antibiosis memberikan tekanan seleksi yang lebih keras sehingga memacu serangga hama untuk mengembangkan populasi tahan yang mampu mematahkan varietas atau tanaman yang sebelumnya tahan. Menurut Kogan (1982) mekanisme antixenosis mempengaruhi perilaku serangga dalam pemilihan inang dan antibiosis mempengaruhi fisiologi serangga seperti
11 mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan larva, serta mengurangi lama hidup dan fekunditas serangga dewasa. Sementara mekanisme toleran tidak jelas pengaruhnya terhadap serangga. Penggunaan varietas tahan terbukti mampu mengurangi tingkat serangan hama sehingga hasil panen dapat meningkat. Sebagian besar varietas tahan hama yang digunakan di Indonesia saat ini masih merupakan hasil teknologi pemuliaan tanaman secara konvensional. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi akhir-akhir ini, penerapan bioteknologi modern dalam bidang pertanian dapat menghasilkan varietas tahan hama hasil rekayasa genetika (tanaman transgenik). Tanaman
transgenik
dan
tanaman
bukan
transgenik
mempunyai
mekanisme ketahanan intrinsik dan ketahanan ekstrinsik (Pilcher et al. 2005). Sumber ketahanan intrinsik pada tanaman bukan transgenik pada umumnya berasal dari karakteristik biokimia dan karakteristik biofisik suatu tanaman yang mempengaruhi perilaku atau metabolisme serangga (Kogan 1982). Sumber ketahanan ekstrinsik adalah musuh alami (Pilcher et al. 2005). Sumber ketahanan intrinsik pada tanaman transgenik, contohnya padi transgenik Bt, adalah protoxin yang berasal dari gen cryIAb, fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa), dan gen mpi::cryIB yang mempengaruhi fisiologi serangga. Dengan demikian mekanisme ketahanan tanaman transgenik ini termasuk mekanisme ketahanan antibiosis. Menurut Panda dan Khush (1995) pengaruh antibiosis mengakibatkan berkurangnya ukuran atau berat serangga, mengurangi proses metabolisme, meningkatkan kegelisahan, kematian larva dan pradewasa. Secara tidak langsung antibiosis mengakibatkan meningkatnya eksposur serangga terhadap musuh alaminya. Mekanisme ketahanan intrinsik (contohnya Bt toxin pada padi) dan ekstrinsik yaitu musuh alami mempengaruhi sistem tropik dan kompatibilitasnya tergantung pada apakah pertahanan intrinsik mempunyai pengaruh positif atau negatif pada tiap tingkat tropik. Di alam, pengaruh ini dapat berupa pengaruh langsung atau tidak langsung tergantung pada interaksi antara tanaman, herbivor yang dipengaruhinya, dan musuh alami yang berasosiasi (Pilcher et al. 2005).
12 Tanaman padi transgenik Bt mempunyai pertahanan intrinsik untuk melawan hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dan mempunyai pengaruh negatif langsung yaitu toksik terhadap herbivor ini. Seberapa besar toksiknya Bt toxin pada padi transgenik terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat diketahui melalui pengujian keefektifan pada tahap in vitro, in planta, dan lapangan terbatas. Musuh alami seperti parasitoid dan predator sebagai sumber ketahanan ekstrinsik, adalah regulator populasi serangga hama. Kemampuan hidup musuh alami tergantung pada suplai serangga inang, artinya berkurangnya jumlah inang karena makan pada tanaman transgenik akan mempengaruhi kerapatan populasi musuh alami sebagai pengendali hama (O’Callaghan et al. 2005). Menurut Losey et al. (2004) tanaman transgenik mempengaruhi musuh alami melalui tiga cara yaitu: (1) langsung makan pada jaringan tanaman transgenik seperti pollen, akar; (2) makan pada inang yang makan pada tanaman transgenik; dan (3) melalui pengurangan populasi inang. Cara pertama menurut Losey et al. (2004) digunakan dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh tanaman transgenik terhadap musuh alami yang langsung makan pada jaringan tanaman transgenik. Serangga model yang digunakan adalah kumbang V. lineata (Coleoptera: Coccinellidae). Kumbang ini digunakan karena jumlah spesiesnya yang besar dan distribusinya yang kosmopolitan (Ferry et al. 2007). Selain itu, kumbang dewasa dan larva V. lineata (Coleoptera: Coccinellidae) makan pollen, berbagai serangga kecil, tungau, nektar bunga, dan embun madu (Kalshoven 1981). Pollen tanaman dan nektar dari bunga digunakan sebagai makanan alternatif, sehingga walaupun makanan utamanya jarang, kumbang ini masih dapat bertahan hidup. Di dalam pertanian, kumbang Coleoptera: Coccinellidae ini penting karena sebagai spesies indikator kunci yang digunakan untuk memonitor perubahan ekologi atau lingkungan, termasuk biodiversitas (Ferry et al. 2007). Untuk melihat pengaruh tanaman transgenik melalui pengurangan populasi inang, dilakukan pengujian pada lapangan terbatas. Pada pengujian ini variabel yang diamatinya tidak hanya musuh alami, namun juga semua herbivor yang ada di lapangan, karena menurut Pilcher et al. (2005) pengurangan populasi inang
13 sampai jumlah yang minimal (bahkan sampai nol) dapat merubah secara drastis interaksi multitropik yang ada di lapangan. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1 dan 1.2.
14 Kerangka Pemikiran PENGENDALIAN HAMA TERPADU
Peraturan
Fisik
Mekanik
Varietas Tahan Hama
Budidaya Tanaman
Perakitan Varietas Secara Konvensional
Sumber Ketahanan Ekstrinsik
Ketahanan Ekologi
Ketahanan Genetik
Non Preference/ Antixenosis
Toleran
Antixenosis Morfologi
Implikasi: - Tekanan seleksi keras, memacu populasi tahan - Mempengaruhi perilaku serangga dalam pemilihan inang
Kimiawi
Perakitan Varietas dengan Rekayasa Genetika
Sumber Ketahanan Intrinsik
Antixenosis Kimia
Hayati
Implikasi: - Tekanan seleksi lemah, populasi tahan lambat - Tidak jelas pengaruhnya terhadap serangga
Musuh Alami
Antibiosis
Implikasi: - Mempengaruhi fisiologi serangga
Sumber Ketahanan Intrinsik
Protoxin: - Gen cryIAb - Fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa) - Gen mpi::cryIB
Implikasi: - Mempengaruhi tingkat tropik
Implikasi: - Tekanan seleksi keras, memacu populasi tahan - Mempengaruhi fisiologi serangga
Gambar 1.1 Diagram latar belakang kerangka pemikiran penelitian
15 Varietas Tahan Penggerek Batang Padi
Perakitan Varietas Secara Konvensional
Gen ketahanan PB: Belum ditemukan
Perakitan Varietas dengan Rekayasa Genetika
Sumber Ketahanan Ekstrinsik
Musuh Alami
Pembanding: - Wild type (Rojolele) - Cilosari - Ciherang
Protoxin: - Gen cryIAb - Fusi dua gen cry (cryIB-cryIAa) - Gen mpi::cryIB
Implikasi: - Mempengaruhi fisiologi serangga
Tropik ke-2: Herbivor target
Keefektifan - In vitro - In planta - Lapangan terbatas
- Fisiologi
Sumber Ketahanan Intrinsik
Tropik ke-2: Herbivor nontarget
Pengaruh terhadap semua herbivor di lapangan terbatas
Implikasi: - Mempengaruhi tingkat tropik
Tropik ke-3: Musuh alami
- Pengaruh terhadap V. lineata di laboratorium. - Pengaruh terhadap nontarget di lapangan terbatas
Populasi
- Populasi
- Fisiologi - Populasi
Gambar 1.2 Diagram kerangka pemikiran penelitian
16 Daftar Pustaka Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Science 135:25-30. Alcantra EP, R Aguda R, DH Dean, MB Cohen. 2000. Investigation of Bacillus thuringiensis δ-endotoxin binding to midgut receptors of rice stem borer. International Rice Genetics Symposium. IRRI. 221 p. Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Inter Jour Pest Manag 51(1):37-43. Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell Reports 19:1195-1202. Cohen MB. 2000. Bt rice: practical steps to sustainable use. International Rice Research Notes 25(2):4-10. [DIRJENTAN PANGAN] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.2007. Informasi Perkembangan Serangan OPT Padi Tahun 2006, Tahun 2005 dan Rerata 5 Tahun (2000-2004). Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman. Ferry N, EA Mulligan, MEN Majerus, AMR Gatehouse. 2007. Bitrophic and tritrophic effects of Bt Cry3A transgenic potato on beneficial, non target, beetles. Transgenic Res 16:795-812. Ghareyazie et al. 1997. Enhanced resistance to two stem borer in an aromatic rice containing a synthetic cryIA(b) gene. Moleculer Breeding 3:401-414. Hendarsih S. 1994. Perbandingan efektifitas pengendalian dengan cara kultur teknis, mekanis, dan kimiawi pada penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Wlk. Di dalam Baehaki SE, Sastrosiswojo, Hendarsih S, Tatang S, editor. Prosiding Simposium Penerapan PHT; Sukamandi, 3-4 September 1992. hlm 50-54. Hendarsih S, PS Beevor. 2001. Komposisi senyawa seks feromon sebagai atraktan pada perangkap untuk penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas (Walker)) (Lepidoptera: Pyralidae). Di dalam: Baehaki SE, E Santosa, Hendarsih S, T Suryana, N Widiarta, Sukirno, editor. Pengendalian Hayati Serangga. Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga; Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Sukamandi: Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung. hlm 224-226.
17 Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de cultuurgeweassen in Indonesia. Kogan M. 1982. Plant resistance in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley & Sons. pp 93-134. Losey JE, JJ Obrycki, RA Hufbauer. 2004. Biosafety considerations for transgenic insecticidal plants: non-target predators and parasitoids. Encyclopedia of Plant and Crop Science. New York: Marcel Dekker, Inc. pp 156-159. Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. In: Metcalf RL, WH Luckmann, editor. Introduction to Insect Pest Management. Second Edition. New York: John Wiley & Sons. pp 217-277. Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plants expressing CryIAc δendotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer (Scirpophaga incertulas). Proc Natl Acad Sci USA 94:2111-2116. O’Callaghan M, TR Glare, EPJ Burgess, LA Malone. 2005. Effects of plants genetically modified for insect resistance on nontarget organisms. Annu Rev Entomol 50:271-292. Oka IN. 1992. Program nasional pelatihan dan pengembangan pengendalian hama sebagai salah satu usaha mengembangkan tenaga manusia dalam menuju pertanian tangguh. Makalah Kongres PEI IV; Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. Panda N, GS Khush. 1995. Host Plant Resistance to Insects. CAB International Intl Rice Res Inst. Philippines: Los Banos. 431 p. Pilcher CD, ME Rice, JJ Obrycki. 2005. Impact of transgenic Bacillus thuringiensis corn and crop phenology on five nontarget arthropods. Environ Entomol 34(5):1302-1316. Rachmat A. 2006. Konstruksi vektor ekspresi gen untuk mengeliminasi gen penyeleksi antibiotik pada tanaman padi (Oryza sativa L.) transgenik [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahmawati S. 2004. Introduksi dua gen cry dengan “binding site” berbeda dan penggunaan promoter terinduksi pelukaan pada padi (Oryza sativa L) untuk memperlama ketahanan [laporan riset unggulan terpadu bidang pertanian dan pangan]. Bogor: Kementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 50 hlm.
18 Rao PSP, G Padhi. 1988. Improved sources of plant resistance to yellow stem borer (YSB) Scirpophaga incertulas Walker in rice. Intl Rice Res Newsl 13:5. Rauf A, IW Winasa, R Anwar, A Tarigan, J Lestari. 1992. Kajian beberapa teknik pengendalian penggerek padi putih, Scirpophaga innotata (Wlk)(Lepidoptera: Pyralidae). Seminar Hasil Penelitian Pendukung PHT; Cisarua, 7-8 September 1992. Bogor: Kerjasama Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu – Bappenas dengan Fakultas Pertanian – Institut Pertanian Bogor. 17 hlm. Satoto. 2003. Kestabilan, pola pewarisan, dan keefektifan gen gna dan cry1Ab terhadap wereng batang coklat dan penggerek batang kuning pada padi rojolele transgenik [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Slamet-Loedin IH et al. 1998. Production of fertile transgenic aromatic Indonesian javanica rice co-expressing the snowdrop lectin and cryIAb anti-insect proteins. Proceedings of the 4th Asia Pacific Conference on Agricultural Biotechnology. pp 206-208. Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 218 hal. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 348 hal. Wu C, Y Fan, C Zhang, N Oliva, SK Datta. 1997. Transgenic fertile japonica rice plants expressing a modified cryIA(b) gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Reports 17:129-132.