1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
1.1.1. Kondisi Kebencanaan Kota Yogyakarta dan Perencanaan Partisipatif Dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Tingkat Kampung A. Kondisi Kebencanaan Kota Yogyakarta Tanggal 27 Mei 2006 jam 05.54 WIB menjadi momento yang tidak akan pernah dilupakan oleh penduduk di Propinsi Yogyakarta dan sebagian wilayah di Propinsi Jawa Tengah. Gempa bumi tektonik berpusat di Bantul, Propinsi DIY dengan guncangan 5,9 Skala Richter telah mengakibatkan kerusakan hebat di kedua wilayah propinsi ini, menyebabkan korban sebanyak 5.671 jiwa dan meluluh-lantakkan 145.929 bangunan permukiman, dan berdampak langsung terhadap penurunan kualitas hidup 1.2 juta jiwa penduduk (sumber: Atlas Kawasan Gempa Bumi Edisi 27 Juni 2006).
Sumber: BMG, 4 Juni 2006
Gambar 1.1. Gempa Tektonik 27 Mei 2006 di Propinsi DIY & sekitarnya
1
2
Pertemuan lempeng Indo-Australia - Eurasia adalah penyebab utama terjadinya gempa tektonik pada kawasan ini. Sejarah mencatat bahwa kejadian bencana gempa bumi terjadi dari waktu ke waktu, sejak gempa tektonik besar pada tahun 1867, yang menelan korban jiwa mencapai 350 orang. Awal Mei 2006, Gunung Merapi aktif kembali dengan status awas ditandai dengan guguran lava pijar ke arah barat-daya kemudian bergeser ke arah selatan dan tenggara. Tanggal 6 Juni 2006 geger boyo, yakni dinding lereng bagian selatan (arah Yogyakarta) telah runtuh dan 14 Juni 2006 terjadi guguran lava pijar yang disertai awan panas sejauh 6-7 km ke arah selatan dan mengancam sekitar 70.000 jiwa. Disamping banjir akibat curah hujan yang tinggi, erupsi gunung Merapi yang membawa material dari perut bumi juga menjadi potensi ancaman banjir lahar dingin di sepanjang sungai yang berhulu di gunung tersebut. Dan akibat sampingan lainnya adalah kemungkinan terjadinya longsor di sepanjang daerah aliran sungainya. Kota Yogyakarta sebagai pusat pendidikan, pariwisata dan perdagangan jasa menjadi tempat yang penuh daya tarik bagi pelajar, dunia usaha, dan wisatawan untuk menetap di wilayah ini. Kepentingan yang beragam dari kondisi sosial dan budaya masyarakat yang berbeda tersebut bisa menjadi potensi ancaman bencana sosial. Pertambahan penduduk yang tinggi juga mengakibatkan tingginya kepadatan permukiman, secara langsung akan meningkatkan potensi kebakaran terutama di wilayah padat dan slum area. Hal yang sama juga berlaku untuk aspek kesehatan yang meningkatkan potensi menjadi daerah Kejadian Luar
3
Biasa (KLB) atau wabah penyakit tertentu akibat rendahnya higinitas dan fasilitas yang ada. Penanganan bencana alam terutama pada masa tanggap darurat selama ini mendapat hambatan secara birokrasi berkaitan dengan struktur kelembagaan. Proses penurunan bantuan memakan waktu yang relatif lama untuk sampai kepada korban, sehingga sering meningkatkan jumlah korban. Sistem birokrasi ini menimbulkan banyak keluhan karena memperlambat penanganan bantuan, sehingga bantuan sering dilakukan langsung ke lokasi-lokasi bencana dengan koordinasi bersama kecamatan dan kelurahan/desa, dan melakukan identifikasi kebutuhan dan pelayanan dasar yang diperlukan. Langkah ini dirasa lebih cepat dan lebih mengena sasaran. Pemerintah Indonesia menyikapi kondisi kritis ini dengan lahirnya Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mengatur sistem penanggulangan bencana yang pada intinya meliputi aspek-aspek hukum dan peraturan perundang-undangan, kelembagaan, perencanaan, pendananaan, penyelenggaraan, pengelolaan sumberdaya dan pendanaan, serta desenstralisasi. Berkaitan dengan desentralisasi atau otonomi daerah, upaya penanganan bencana merupakan Urusan wajib Daerah sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Nomor Tahun 2004. Urusan penanggulangan bencana penangananannya dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2007). Ketidaksiapan dan ketidaktanggapan pemerintah dan membuat masyarakat merasakan pentingnya suatu penanggulangan bencana yang bersifat komprehensif
4
dan integratif. Penanggulangan bencana mencakup kegiatan sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi bencana, dirancang untuk memberikan kerangka kerja bagi orang-perorangan atau masyarakat yang berisiko terkena bencana untuk menghindari, mengendalikan dan mengurangi risiko, dan juga menanggulangi maupun memulihkan diri dari dampak bencana. Paradigma yang dipakai adalah penanggulangan bencana yang lebih ke manajemen risiko, yang memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai hak asasi rakyat dan sebagai tanggung jawab pemerintah sebagai urusan bersama dengan masyarakat. Pada setiap kejadian bencana hampir dapat dipastikan bahwa korban bencana adalah masyarakat pada lapisan bawah, yaitu masyarakat dengan sumberdaya yang sangat minim. Kelompok masyarakat ini merupakan tanggung jawab terbesar dari pemerintah untuk kelanjutan kehidupan dan penghidupannya paska bencana. Rendahnya tingkat pendidikan, minimnya akses informasi dan sumberdaya menyebabkan masyarakat menjadi lemah dan tidak mampu menolong diri sendiri pada keadaan dimana mereka tidak dapat mengharapkan pertolongan dari pihak manapun. Respon NGO/LSM/Lembaga Kemanusiaan pada setiap kejadian bencana adalah membantu pemerintah untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan semua hak-hak dasarnya. Bantuan ini dapat berdurasi jangka pendek (pada masa darurat), jangka menengah untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi ataupun menjadi program berjangka panjang (biasanya berupa program yang bersifat penguatan dan pembangunan kapasitas kepada pihak eksekutif dan legislatif, ataupun langsung kepada masyarakat).
5
Masyarakat yang selama ini lebih menjadi obyek perencanaan sudah waktunya menjadi subyek perencanaan dan implementasi pembangunan. Ketika terjadi bencana, masyarakat selalu menjadi korban, sementara pemerintah yang seharusnya menjadi penanggungjawab selalu lamban dalam penanggulangannya karena faktor sistem, mekanisme dan operasional yang tidak menunjukkan perbaikan ke arah yang berpihak kepada masyarakat. Rencana aksi PB bukan hanya sebuah perencanaan di tingkat birokrasi, tapi justru adanya sebuah manajemen bencana di tingkat akar rumput agar masyarakat menjadi lebih mandiri dalam menanggulangi risiko sesuai dengan karakter wilayahnya. Masyarakat harus berdaya dan tidak bergantung pada pengelolaan pemerintah. Penanggulangan bencana tidak cukup hanya dengan mengembalikan keadaan normal saja, namun lebih jauh diharapkan dapat menghasilkan keadaan dan kondisi yang lebih baik daripada sebelumnya. Dalam hal ini masyarakat memiliki pengalaman yang bernilai sebagai bagian dari upaya tersebut. Untuk itulah perlu adanya sebuah manajemen bencana yang berbasis kepada komunitas dimana masyarakat menjadi subyek dengan kemampuan dan pemahaman kebencanaan di wilayah mereka. Dengan pengelolaan yang baik dan tepat potensi masyarakat diolah menjadi kekuatan untuk mengurangi kerawanan dan kerentanan yang ada. Rencana yang dimulai, berakar dan tumbuh dari masyarakat dapat lebih menjamin akan pemenuhan kebutuhan mereka sehingga hasil yang dinikmatipun bisa lebih optimal.
6
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan kondisi alam, fisik dan kondisi sosial budaya maka bencana alam, bencana sosial dan bencana kegagalan teknologi menjadi bagian hidup dari masyarakat Kampung Jogoyudan. Bencana mengakibatkan hilangnya kehidupan dan terancamnya aset-aset yang dapat menunjang kehidupan itu sendiri. Aset-aset yang terancam dan bahkan hilang milik negara/pemerintah dan milik rakyat baik secara perorangan maupun kelompok harus mendapat perhatian. Permasalahan menjadi bola salju ketika pada masa pemulihan (fisik maupun non-fisik) menjadi kendala karena kapasitas pemerintah dan penduduk tidak dapat dioptimalkan. Disinilah sebuah manajemen bencana menjadi sangat penting, karena pada dasarnya kebutuhan akan rasa aman, terlindungi dari segala bentuk ancaman (bencana) adalah hak setiap warga negara. Berdasarkan kejadian dan pengalaman bencana inilah, maka partisipasi mayarakat terus diarusutamakan dalam setiap kegiatan perencanaan. Sebuah manajemen bencana partisipatif yang disusun pada level akar rumput bukan hal yang mudah, apalagi masyarakatnya memiliki tingkat heterogenitas dan kompleksitas yang relatif tinggi, seperti halnya di Kampung Jogoyudan yang termasuk wilayah perkotaan. Perencanaan yang selama ini berlaku top down dirasakan mulai tidak aktual dengan kondisi setempat. Sebuah peningkatan kapasitas yang berujung pada pemberdayaan masyarakat mulai dirasakan penting, dan kegiatan ini dapat diasumsikan sebagai salah satu jenis kegiatan tersebut. Beranjak dari kondisi inilah maka penelitian merumuskan masalah yang muncul yaitu:
7
Bagaimana proses peran serta masyarakat berjalan;
Bagaimana tingkat dan apa bentuk peran serta masyarakat dalam perencanaan RAK PRB ini?
Pembelajaran apa yang dapat diambil untuk penyempurnaan peran serta masyarakat dalam perencanaan dan replikasinya.
1.3.
Tujuan Penelitian
Pada intinya penelitian ini adalah evaluasi terhadap manajemen bencana di tingkat kampung, dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mendiskripsikan dan mengkaji tingkat dan bentuk peran serta masyarakat dalam penyusunan perencanaan partisipatif rencana aksi penanggulangan bencana pada level akar rumput. 2. Menunjukkan pengaruh dan dampak serta proses pemberdayaan masyarakat setempat dalam menentukan dan menjadi subyek perencanaan bagi lingkungan dan kehidupan mereka sendiri. 3. Mengambil pembelajaran dari proses penyusunan rencana aksi penanggulangan bencana pada level kampung, sehingga dapat menyusun rekomendasi
dan alternatif proses dalam kegiatan
replikasinya.
1.4.
Lingkup dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang akan dilakukan terbatas pada satuan komunitas kampung di bantaran Sungai Code, yaitu di Kampung Jogoyudan, di wilayah
8
Rukun Warga/RW 08 yang meliputi tiga Rukun Tetangga/RT yaitu RT 32, RT 33 dan RT 34, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Lingkup waktu penelitian adalah tahun 2008, dimana saat ini begitu banyak program pengurangan risiko bencana dilaksanakan dan diimplementasikan. Jadi penelitian ini dapat dikategorikan penelitian yang sangat aktual. Lokasi penelitian lokasi ini didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a. secara ekonomi dan lingkungan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi; b. secara fisik-geografis, lokasi berada pada wilayah dengan ancaman bencana yang cukup beragam. Kampung Jogoyudan terletak di wilayah Kota Yogyakarta dengan jenis ancaman bencana: gempa bumi (gempa tektonik); banjir; tanah longsor; kebakaran; epidemi, wabah penyakit dan Kejadian Luar Biasa; konflik Sosial; terbatasnya pemahaman dan paradigma kebencanaan; dan terbatasnya akses terhadap informasi kebencanaan c. lokasi atau kampung tersebut belum pernah menerima atau mendapatkan program pelatihan pengurangan risiko bencana; d. sudah terbentuk kelompok kerja (pokja), sehingga tidak harus memulai dari kondisi nol, dimana dalam hal ini tentu saja banyak membantu dalam hal pembentukan kondisi yang kondusif; suasana kekeluargaan; penyelarasan kinerja pokja; penjadwalan kegiatan dan; efisiensi waktu;
9
e. atensi dan respon dari komunitas sangat positif sehingga menambah optimisme dalam proses implementasinya. Sementara itu disadari pula bahwa lokasi ini disamping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan, yaitu: 1. Kampung Jogoyudan bukan merupakan wilayah dengan tingkat kerusakan yang tinggi, sehingga secara umum dianggap tidak mewakili wilayah korban bencana. 2. Kampung ini bukan satu-satunya kampung yang ada di wilayah bantaran Code, sehingga pemilihan dirasa kurang obyektif.
1.5.
Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini akan mengikuti sistematika seperti sebagai berikut:
Bab I
PENDAHULUAN Dalam bab ini dibahas tentang latar belakang penelitian, perumusan
masalah, maksud dan tujuan penelitian, tujuan penelitian, kerangka penelitian dan sistematika pembahasan dalam penelitian ini.
Bab II
TINJAUAN LITERATUR Tinjauan literatur akan dibahas dalam bab ini yang meliputi tentang dasar
hukum, dan teori perencanaan berbasis masyarakat juga akan disajikan yaitu dengan pendekatan PRA, serta tinjauan sosial-antropologis yang berkaitan dengan
10
pola hidup dan peningkatan peran serta masyarakat. Teori-teori dasar tentang kebencanaan dan penyusunan rencana aksi penanggulangan bencana, metode dan asumsi yang digunakan dalam progam fasilitasi penyusunan rencana aksi dari NGO atau lembaga kemanusiaan yang bekerja di wilayah penelitian.
Bab III
METODE PENELITIAN
Pada bab tiga ini akan membahas metodologi yang akan digunakan dalam penelitian. Juga akan dijelaskan mengenai pendekatan ataupun paradigma yang akan dipakai, dan juga langkah-langkah operasional baik itu berkaitan dengan data, dan cara maupun analisis sebagai tahapan selanjutnya dalam penelitian. Semua hal yang berkaitan dengan metode penelitian akan dibahas dalam bab ini untuk mendapatkan hasil akhir penelitian.
Bab IV
GAMBARAN WILAYAH STUDI
Pada bab ini wilayah studi akan digambarkan secara lebih rinci. Selain data umum dari Kota Yogyakarta, bab ini juga akan memberikan gambaran tentang profil kebencanaan yang lebih lengkap pada wilayah penelitian.
Bab V PROGRAM PENYUSUNAN RENCANA AKSI KAMPUNG PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) Penjelasan tentang program yang menjadi inti penelitian ada pada bab ini. Apa saja kegiatan program, kapan dilaksanakan, siapa saja yang terlibat dan bagaimana program dilaksanakan dijabarkan secara detail.
11
Bab VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi penjabaran bagaimana program dilaksanakan dan menggambarkan dokumentasi apa saja yang muncul dalam proses. Tahap selanjutnya adalah analisis
peran serta masyarakat dalam setiap tahapannya,
dengan mengkaji bentuk peran serta, tingkat peran serta, hambatan atau konflik yang muncul selama proses dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Bab VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi yang diperoleh berdasarkan analisa yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.