BAB I PENDAHULUAN 1. 1.
Latar Belakang Reformasi Cina yang dimulai pada tahun 1978 telah membuat pertumbuhan
investasi, konsumsi, dan standar hidup di Cina mengalami peningkatan yang signifikan. Perekonomian Cina mulai terbuka dengan diberlakukannya zona ekonomi khusus. Awal penggunaan zona ekonomi khusus Cina adalah ketika Taiwan membuka Kaohsiung Export Processing Zone pada tahun 1966. Zona tersebut berhasil mendatangkan 82% investasi asing dan sisanya yaitu 18% berupa investasi lokal. Namun secara keseluruhan Cina mulai membuka pengembangan zona ekonomi khusus adalah pada tahun 1980. Zona ekonomi khusus ini diperuntukkan bagi masuknya investasi asing ke Cina terutama untuk bidang ekspor. Kesuksesan Cina dalam mengolah perekonomiannya semenjak reformasi tersebut membawa negara ini menjadi salah satu negara yang berpengaruh dalam perekonomian dan perpolitikan di dunia internasional. Perkembangan perekonomian yang pesat membutuhkan faktor penopang yang kuat. Salah satu faktor tersebut adalah pasokan energi. Ketika Cina sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan energi domestik, negara tersebut harus mengimpor dari luar negeri. Tren peningkatan kebutuhan energi Cina membuat negara yang dulunya sebagai pengekspor bertransformasi menjadi negara pengimpor minyak bumi semenjak masa pemerintahan Jiang Zemin di tahun 1993.1 Pemerintah Cina terus berupaya memaksimalkan perusahaan minyak negara (China’s national oil companies – NOCs) yang terdiri dari tiga perusahaan besar, yakni: China National Petroleum Corporation (CNPC), China Petroleum and Chemical Corporation (Sinopec), dan China National Offshore Oil Company (CNOOC) untuk menggali kekayaan energi domestiknya. Namun, kebutuhan
Zhang Zian, China’s Energy Security: Prospect, Challenges, and Opportunities, U.S., Brookings Institute, 2011, p.3 1
1
energi Cina tidak dapat dipenuhi secara mandiri. Akhirnya, Cina-pun mengimpor kebutuhan energinya dari Arab Saudi, Angola, Rusia, Oman, Iran, Irak, Venezuela, Uni Emirat Arab dan Khazakstan. Pada tahun 2011, impor minyak Cina mencapai 50% dari total konsumsi nasional.2 Kawasan terbesar pengekspor minyak ke Cina adalah Timur Tengah, dengan persentase sebesar 52%. Saat ini Cina telah menjadi negara pengimpor energi terbesar di dunia3 dan diperkirakan 75% konsumsi energi Cina dipenuhi dengan cara impor pada tahun 2025.4 Energi yang diimpor tersebut lalu disuplai melalui jalur darat melalui Khazakstan, Rusia, dan Myanmar dan melalui jalur laut melalui Samudera Hindia. Cina kemudian menerapkan politik luar negeri yang proaktif untuk dapat menjaga kelancaran pasokan energinya. Pemerintah Cina sadar jika negaranya ingin mempertahankan suplai impor energinya, mereka harus menjaga hubungan baik dengan negara-negara pengekspor dan negara-negara yang dilalui proses distribusi energi tersebut. Zheng Bijian, ketua Forum Reformasi Cina, dalam pidatonya pada acara the 16th National Congress of the Communist Party of China and China’s Peaceful Rise – A New Path, memperkenalkan konsep peaceful rise ( 和平崛起 – heping jueqi).5 Bijian menyatakan konsep peaceful rise yang dimaksud adalah upaya Cina untuk mengikuti tatanan dunia yang telah ada dengan dukungan terhadap interdependensi (baca: perekonomian yang kooperatif) dan kerjasama keamanan. Upaya ini, dapat dikatakan, dilakukan untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara yang terlibat dan terlalui oleh kegiatan impor energi Cina. Pengimplementasian konsep peaceful development (和平发展 – heping fazhan)6 dikembangkan lagi oleh pemerintah Cina menjadi berbagai kebijakan
2
Zhang Zian, p.3
diakses pada Oktober 2015 4 Hongtu Zao, China’s Keamanan energi Policy and Its International Implication, China Institute of Contemporary International Relations, 2007, , diakses pada Oktober 2015 5 John L. Thornton, The Brookings Institution, China’s Peaceful Rise: Speeches of Zheng Bijian 1997-2004, 2005,, diakses pada Oktober 2015 6 Istilah peaceful development diperkenalkan kepada publik oleh Presiden Hu Jintao sebagai pengganti istilah peaceful rise 3
2
politik luar negeri turunan, seperti Jalur Sutra Abad 21 dan String of Pearl (珍珠串 – Zenchu Chuan). Cina akan bekerjasama dengan pihak manapun untuk mewujudkan Jalur Sutra Abad 21.7 Jalur Sutra Abad 21 ini terdiri dari dua konsep, yaitu Jalur Sutra darat dan maritim. Jalur Sutra darat menghubungkan Cina dengan Eropa melalui Asia Tengah dan Jalur Sutra maritim yang menghubungkan Cina dengan Eropa melalui Afrika Timur, Asia Selatan (Samudra Hindia), dan Asia Tenggara.8 String of Pearls adalah satu strategi Cina untuk mengamankan suplai energinya. Konsep String of Pearl ini merupakan upaya geopolitik yang diterapkan Cina dalam menempatkan jaringan militer dan infrastruktur kemaritiman di kawasan Afrika Timur, Samudra Hindia, dan Asia Tenggara yang terlintasi oleh proses distribusi energi ke Cina. Dalam China’s Energy Policy 20129, pemerintah Cina mengajak negara lain untuk: (1) memperkuat komunikasi dan hubungan antarnegara eksportir, importir, dan negara transit energi dunia, (2) mengupayakan kerjasama yang efektif di sektor energi dengan dasar pengembangan dan keuntungan bersama, dan (3) bekerja bersama-sama dalam menjaga “keamanan” energi dan menjaga keselamatan rute distribusi energi, serta menghindari konflik geopolitis yang mempengaruhi rantai suplai energi dunia. Sebagaimana yang terdapat dalam konklusi China’s Energy Policy 2012: “Energy security is a global issue. Few countries can secure their energy supply without international cooperation. The achievements China has made in energy development are inseparable from its friendly cooperation with other countries. Its future development in the energy sector will need more understanding and support from the international community. China, with a population of more than one billion, is exploring and practicing a new way in the history of energy development to ensure its sustainable energy development. China did
7
Presiden Xi Jinping Promosikan Lagi Jalur Sutera Abad 21, Kompas, , diakses pada Oktober 2015 8 , diakses pada Oktober 2015 9 , diakses pada Oktober 2015
3
not, does not and will not pose any threat to the world's energy security.”10 Isi dari China’s Energy Policy 2012 tersebut jelas menunjukan bahwa posisi Cina sebagai negara pengimpor energi terbesar menjadi rentan keberadaannya dan menjadi salah satu kepentingan nasional negara tersebut. 1. 2.
Rumusan Masalah Pentingnya pasokan energi terhadap keberlangsungan pertumbuhan
perekonomian Cina, membuat negara tersebut berupaya mengamankan kelancaran pasokan energinya. Upaya pengamanan ini diimplementasikan pemerintah Cina melalui kebijakan politik luar negerinya. Berdasarkan uraian diatas, pertanyaan penelitian yang muncul adalah: Bagaimana upaya politik luar negeri Cina dalam menjamin keamanan energinya? 1. 3.
Tinjauan Literatur Studi ini akan merujuk pada beberapa sumber referensi, yang bertujuan
untuk menguatkan hasil penelitian. Sumber referensi pertama adalah tulisan Jenny Lin yang berjudul China’s Energy Security Dilemma. Lin berpendapat bahwa rentannya pasokan energi Cina diakibatkan oleh kebijakan pembangunan inwardlooking “wealth for county first”.11 Konsep “wealth for country first” didasari oleh kepentingan Cina untuk dapat self-sufficient dalam memenuhi seluruh kebutuhan domestiknya. Konsep ini diterapkan oleh pemeritah Cina selama kurang lebih 30 tahun sampai akhirnya bertransformasi semenjak menjadi negara pengimpor energi. Transformasi dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor energi di tahun 1993 membuat Cina meramu kembali kebijakan pembangunaannya. Untuk mengamankan suplai energinya, Cina perlu memperhatikan pengamanan rute
10 11
China’s Energy Policy 2012, p.24 Jenny Lin, China’s Energy Security Dilemma, Project 2049 Institute, p.1
4
distribusi, mendiversifikasi kebutuhan energinya, meningkatkan kapasitas kilang dan penyulingan petroleumnya, dan mengelola hubungan luar negerinya.12 Erica S. Downs, dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul China’s Quest for Energy Security menjelaskan aktivitas yang dilakukan Cina untuk memenuhi kebutuhan energinya, mulai dari investasi eksplorasi minyak baik dalam negeri maupun luar negeri dalam upaya mendiversifikasi pasokan energinya, pembangunan pipa-pipa distribusi minyak di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Tenggara, pembangunan kilang dan pabrik penyulingan minyak untuk mengurangi ketergantungan Cina jika pasokan energinya terinterupsi, pengembangan industri gas alam, dan membuka pintu selebar-lebarnya kepada minyak.13 Pada tulisannya, Strecker Downs berpendapat bahwa aktvitas pengamanan suplai energi Cina merupakan respon negara tersebut atas kemungkinan ancaman eksploitasi oleh “foreign powers”, dimana Amerika Serikat merupakan ancaman yang nyata terhadap keamanan pasokan energi Cina. Penulis akan menggunakan tulisan Strecker Downs sebagai bagian dari kebutuhan penelitian atas uraian upaya Cina dalam mengamankan pasokan energinya. Erica S. Downs, dalam tulisannya yang berjudul Energy Security Series: China memandang bahwa Cina mengalami perubahan perilaku politik luar negeri akibat adanya kebutuhan untuk mengamankan suplai energi. Ia menjelaskan bagaimana Cina mengkonsepsikan keamanan energi14 dan imbas peningkatan kebutuhan energi terhadap kebijakan domestik dan luar negeri15. Kesimpulannya, Cina melakukan tindakan-tindakan taktis untuk memenuhi kebutuhan keamanan energinya. Salah satunya adalah dengan mendirikan Energy Leading Group pada tahun 2005. Tulisan Erica Downs ini akan dipergunakan sebagai acuan untuk menjelaskan bagaimana Cina mengkonsepsikan kebutuhan energi sebagai salah satu bentuk keamanan nasional.
12
Jenny Lin, p.2 Erica Downs, China’s Quest for Energy Security, U.S., RAND, 2000, pp.11-42 14 Erica Downs, Energy Security Series: China, The Brooking Institute, 2005, pp.13-16 15 Erica Downs, Energy Security Series, pp.25-48 13
5
Xiaoxiong Yi, dalam tulisannya yang berjudul Chinese Foreign Policy in Transition: Understanding China’s “Peaceful Development” ini memberikan pandangan yang komprehensif mengenai konsep peaceful development. Ia menyebutkan bahwa terdapat tujuh inisiasi kebijakan politik luar negeri sebagai implementasi dari peaceful development, yaitu: image building, kerjasama regional, kerjasama
multilateral,
soft
power,
diplomasi
energi,
reunifikasi,
dan
nasionalisme.16 Kesimpulan dari tulisan Yi ini, sebagai negara new emerging power, Cina melontarkan retorika peaceful development untuk menjadi bagian dari sistem dunia yang telah ada tanpa mengkorting kepentingan keamanan energinya. Guy C. K. Leung, Raymond Li, dan Maximilian Kuhn dalam tulisannya yang berjudul China;s New Energy Security: A Swing of the Pendulum menyatakan bahwa para pemimpin Cina telah berlebihan dalam mengestimasikan ancaman keamanan energi yang datang dari luar negeri. Sedangkan aspek internal keamanan energi negara ini tidak terlalu diindahkan. Guy C. K. Leung dkk berpendapat bahwa keamanan energi bersifat subjektif sesuai dengan persepsi tiap-tiap negara. Untuk menentukan keamanan energi suatu negara, peneliti perlu memprioritaskan dan mengkontekstualisasikan keamanan energi negara yang akan dianalisis. Mereka berpendapat bahwa keamanan energi bagi Cina adalah untuk memastikan tercukupinya kebutuhan nasional dan suplai yang reliabel pada harga yang dapat dijangkau tanpa mengesampingkan nilai-nilai dan tujuan nasional. Mereka juga mengkritik politik luar negeri Cina dalam merespon ancaman atas keamanan energinya. Pemerintah terlalu berfokus pada faktor eksternal padahal ancamannya tidaklah senyata yang dibayangkan. Mereka juga berpendapat bahwa pemerintah Cina perlu lebih memparhatikan ancaman yang berasal dari dalam negerinya sendiri; seperti institusi yang belum memadai dan faktor alam yang menginterupsi produksi energi negara tersebut.17 Tulisan ini akan penulis pergunakan sebagai salah satu landasan dalam menjawab keaktifan Cina dalam upaya pengamanan 16 Xiaoxiong Yi, Chinese Foreign Policy in Transition: Understanding China’s “Peaceful Development”, 2009, pp.84-108 17 Guy C. K. Leung dan Raymond Li, China’s New Energy Security: A Swing of the Pendulum, dalam Walter Leah Filho dan Flasios Voudouris Eds, Global Energy Policy and Security, U.K., Springer, 2013, pp.202-205
6
suplai energi di luar negeri dan salah satu pertimbangan dalam membahas aspek ancaman yang datang dari dalam negeri. Seperti halnya literatur-literatur diatas, penelitian yang dilakukan penulis juga membahas mengenai keamanan energi. Fokus kajian penelitian ini ditekankan pada upaya politik dan non-politik Cina dalam menjaga keamanan energinya. 1. 4.
Kerangka Konseptual Pada bagian ini, penulis membangun konsep-konsep utama yang akan
digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pengaturan konsep-konsep sebagai kerangka konseptual menjadi penting, karena menjadi dasar dimana bagian analisis akan dikembangkan. Adapun kontribusi konsep untuk mendapatkan asumsi yang mumpuni selama proses penelitian ini adalah dengan menggunakan model politik luar negeri dan konsep keamanan energi. Politik Luar Negeri Tiap negara memiliki perbedaan tujuan kebijakan luar negerinya. Negara mengeluarkan kebijakan untuk memenuhi dan mencapai kepentingan pribadi maupun kolektifnya. Pada umumnya kebijakan luar negeri suatu negara dilakukan agar dapat mempengaruhi negara lain, menjaga keamanan nasional, memiliki prestise, serta keuntungan untuk negaranya. Secara umum, tidak ada satu pengertian tunggal dan tepat dalam perumusan definisi politik luar negeri.18 Hugh Gibson dalam bukunya, The Road to Foreign Policy, mendefinisikan politik luar negeri sebagai rencana komprehensif yang dibuat dengan baik, didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman, untuk menjalankan bisnis pemerintahan dengan negara lain.19 Adapun Felix Gross dalam Foreign Policy Analysis menyebutkan bahwa politik luar negeri dalam aspek yang dinamis merupakan sebuah sistem tindakan suatu pemerintahan terhadap pemerintahan lain atau suatu negara terhadap negara lain.20 Berdasarkan definisi-definisi diatas, politik 18 A. E. Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung, Nuansa, 2011, p.13 19 S. L. Roy, Diplomasi, Jakarta, Rajawali Press, 1984, p.31 20 S. L. Roy, p.33
7
luar negeri secara ringkas dapat diartikan sebagai wacana suatu negara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan guna merespon kondisi internasional maupun tindakan negara lain untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Menurut Rosenau tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa lalu dan sebagai aspirasi untuk masa yang akan datang.21 Holsti membagi tujuannya menjadi tiga kriteria utama22, sebagai berikut: 1. Nilai, yang diletakkan pada tujuan negara, sebagai faktor utama mendorong pembuat kebijakan, hal itu dilakukan berdasarkan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan. 2. Unsur waktu, jangka waktu untuk mencapai tujuan. 3. Tujuan tuntutan, negara tujuan akan dibebankan dari negara yang mengeluarkan kebijakan luar negeri. Menurut Holsti, dua tujuan yang lebih dominan dalam negara adalah, tujuan jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan jangka menengah adalah meningkatkan prestise negara dalam sistem , indikator ini dinilai berdasarkan industri, teknologi, bantuan dana, dan militer. Sedangkan
Tujuan jangka
panjang adalah rencana, impian dan pandangan mengenai organisasi politik atau ideologi terakhir dalam sistem internasional, ideologi tersebut merupakan aturan yang mengatur tindakan negara dalam sistem internasional. Bagi Rosenau tujuan jangka panjang adalah untuk perdamiaan, kekuasaan dan keamanan.23 Keamanan Energi
21 James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and Theory, New York, the Free Press, 1969, p.167 22 K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, New Jersey, Prectince Hall, 1983, p.145 23 James N. Rosenau, p.167
8
Konsep keamanan energi mulai muncul dan mendapat perhatian serius semenjak terjadinya peristiwa oil shock24 pada tahun 1970-an. Kini, konsep ini telah diterima menjadi salah satu konsep keamanan yang bukan hanya berfungsi sebagai ilmu yang hanya khusus mempelajari isu energi sebagai sumber daya alam (resources issues) saja, namun juga dibahas dalam berbagai wacana pengambilan kebijakan pemerintah, politik luar negeri, maupun masyarakat di seluruh dunia. Isu energi masuk ke dalam cakupan studi keamanan (security studies) melalui proses yang disebut dengan sekuritisasi/pengamanan atas suatu isu (issue securitization): proses pengidentifikasian isu tertentu, politik maupun non-politik, yang bertujuan untuk menjadikan isu tersebut sebagai agenda atau program keamanan. Meski demikian, belum ditemukan satu konsep tunggal yang disepakati bersama, karena para ahli dan pengamat memiliki pemahaman dan perbedaan pendefinisian keamanan energi itu sendiri, sejalan dengan penekanan dimensi yang berbeda juga. International Energy Agency mendeskripsikan keamanan energi sebagai ‘the uninterupted physical availability at a price which is affordable, while respecting environment concern. It also has many aspects: “long-term energy security lis mainly linked to timely investments to supply energy in line with economic developments and environmental needs. On the other hand, “short-term” energy security is the ability of the energy system to react promptly to sudden changes in supply and demand’25 Pendekatan dalam keamanan energi berfokus pada dua aspek, yaitu aspek domestik/internal (berorientasi demand) dan internasional/eksternal (berorientasi supply). Pada aspek domestik, keamanan energi tidak hanya berkaitan dengan mengamankan akses primernya saja, namun juga aspek keamanan sekunder, antara lain adalah: market reform untuk meningkatkan efisiensi energi, mitigasi hambatanhambatan transportasi energi, mencegah menggelembungnya permintaan,
24
Dipicu oleh embargo minyak yang dilakukan oleh Timur Tengah terhadap negara-negara Barat. Embargo ini dilakukan sebagai respon dari dukungan Amerika dan negara-negara Barat terhadap Israel dalam perang Yom Kipur antara Irsael dengan Mesir. Harga minyak saat itu meningkat dari yang sebelumnya $ 3 per barel menjadil $ 12 per barel. Baca lebih lanjut di: , diakses pada 2 Mei 2016 25 Sureyya Yigit, Energy Security, Shanghai Cooperation Organisation, and Central Asia, Ankara, ORSAM, 2012, p.12
9
pengamanan pembangkit listrik dan jalur suplai energi dari serangan teroris, dan konservasi energi.26 Pada aspek internasional, yang dijadikan pertimbangan atas keamanan energi adalah interupsi terhadap suplai, baik fisik ataupun non-fisik. Ketika suatu negara menggantungkan kebutuhan energinya dengan cara impor, maka negara tersebut menjadi semakin rentan terhadap kemungkinan sanksi atas pelanggaran dan cenderung terlibat dalam kompetisi politis dan militer dengan negara pengimpor energi lainnya. Peran dari perusahaan energi multinasional juga berkaitan dengan negara asal perusahaan tersebut. Kaitannya adalah dengan kepentingan perusahaan yang menyesuaikan dengan kepentingan negara asal perusahaan tersebut. Menurut Michael T. Klare, negara konsumen yang sangat bergantung pada impor energi perlu memahami konsep keamanan energi dalam dua hal.27 Pertama, bagaimana cara mendapatkan persediaan energi yang cukup (sufficient supplies) dan kedua, bagaimana tetap menjaga keamanan pengiriman energi tersebut tanpa halangan (unhindered delivery) dari negara produsen. Bernard D. Cole mengajukan tiga elemen utama dalam konsep keamanan energi28, yaitu: ketersediaan energi (energy availability), keterjangkauan terhadap hasil energi (energy affordability), dan kemampuan militer (military capability) untuk menyelamatkan persediaan energi yang diinginkan. Asia Pacific Energy Research Centre (APERC) menawarkan beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami keamanan energi, antara lain adalah energy resource availability, accesibility barriers, environmental ecceptability, dan investment cost affordability.29 Namun, penulis
Xu Yi-Chong, China’s Energy Security, Australian Journal of International Affairs, Vol: 60, No: 2, 2006, p.266 27 Michael T. Klare, Energy Security, dalam Paul D. Williams (ed.), Security Studies: an Introduction, U.S., Routledge, 2008, p.484 28 Bernard D. Cole, Sea Lines and Pipeline: Energy Security in Asia, U.K., Praeger Security International, 2008, p.159 29 Asia Pacific Energy Research Center, A Quest for Energy Security in the 21st Century: Resources and Constraints, APERC, Tokyo, 2007, pp.1-2 26
10
memilah kembali konsep yang berkaitan dengan penelitian ini. Variabel yang digunakan adalah: 1.
Energy resource availability Meliputi sumber daya energi konvensional, non-konvensional, dan terbarukan. Dalam tulisan ini, indikator ketersediaan
dibatasi pada
ketersediaan sumber daya energi minyak saja. Indikator ini mengacu pada jumlah pasokan sumber energi minyak dari sumber cadangan yang dikenal. Mengingat status Cina sebagai net oil importer, sumber cadangan yang dimaksud adalah sumber minyak di luar negeri yang berasal kawasankawasan penghasil minyak dunia seperti Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tengah. Ketersediaan sumber daya minyak juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti infrastruktur penambangan dan pengilangan minyak, serta infrastruktur transportasi minyak dari wilayah sumber ke Cina. 2.
Accessibility barriers Selain ketersediaan sumber daya energi, kemampuan untuk mengakses sumber daya
merupakan
salah
satu
tantangan
utama
untuk
mengamankan pasokan energi untuk memenuhi pertumbuhan permintaan di
masa
mendatang.
Indikator
accessibility
digunakan
menggambarkan hambatan yang ada dalam upaya pengadaan
untuk sumber
energi, termasuk hambatan untuk mengeksploitasi dan mengembangkan sumber daya yang tersedia. Hambatan akses pasokan energi meliputi faktor ekonomi, faktor politik, dan teknologi.30 Dalam kasus Cina, hambatan aksesibilitas sumber daya minyak meliputi hambatan yang dapat bersumber dari geopolitik, kendala keuangan dan manusia, rezim fiskal, dan kebutuhan akan infrastruktur utama dan penyebaran teknologi yang memadai. Kesulitan dalam mengakses sumber daya memiliki baik
30
Asia Pacific Energy Research Center, p.17
11
dimensi politik maupun fisik, yang menggambarkan kemungkinan tumpang tindih antara variabel availibility dan accessibility.31 International Energy Agency (IEA) menyatakan bahwa keamanan energi dapat ditingkatkan dengan cara32: 1. Melakukan diversifikasi produksi dan suplai. 2. Mempersiapkan tindakan kolektif untuk merespon kemungkinan kendala pada aspek energi. 3. Mengekspansi kerjasama internasional dengan para pelaku di pasar energi global. Secara spesifik, Xiaojie Xu menjelaskan ada dua implikasi keamanan energi dalam konteks yang dihadapi Cina.33 Pertama, pemerintah memberikan perhatian besar terhadap keamanan energi dengan mengadakan sejumlah studi strategis mengenai permasalahan energi. Keamanan energi juga diletakkan pada prioritas kepentingan nasional dan dimensi utama pengambilan keputusan oleh para elit politik pembuat kebijakan. Kedua, perusahaan nasional Cina yang bergerak di bidang energi, yaitu CNPC, Sinopec, dan CNOOC memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan keamanan energi dalam negeri. Perusahaanperusahaan tersebut harus berjuang keras untuk menyediakan energi yang mencukupi, baik melalui pemaksimalan eksplorasi sumber-sumber energi dalam negeri maupun menjalin bisnis dengan negara lain. Berbagai upaya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap kawasan-kawasan penghasil minyak turut mendukung aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut dan menjadi faktor penting dalam menjamin keamanan energi Cina. Selain itu, salah satu cara yang dilakukan Cina untuk mengamankan suplai energinya adalah dengan cara diplomasi energi. Joseph Y. S. Cheng menyebutkan
31
B. Qureshi dan H. Sonnsjo, Securitizing Energy: an Integrated Approach towards a Secure Energy Sistem, Gothenburg, School of Business, Economics, and Law of University of Gothenburg, 2011, p.4 32 Sureyya Yigit, p.12 33 Xiaojie Xu, Chinese NOCs’ Overseas Strategies: Background, Comparison and Remarks, U.S., the James A. Barker Institute for Public Policy, 2007, p.2
12
bahwa diplomasi energi berguna untuk mendiversifikasi dan mengamankan suplai energi.34 Cina pun sadar bahwa strategi going out beserta investasi pada industri hulu di bidang energi dapat dianggap sebagai ancaman bagi negara lain. Maka dari itu, Cina perlu menjaga hubungan baiknya dengan negara lain yang terlibat dalam proses suplai energi ke Cina dan juga negara yang terancam oleh strategi going out yang diterapkan Cina melalui NOCs-nya. Nampak jelas, Cina berupaya keras menjaga hubungan baik tersebut dengan cara lebih kooperatif dengan bentukbentuk manuver politis berazaskan konsep peaceful development dalam pergaulan internasionalnya saat ini. Konsep diplomasi merupakan konsep pendukung dalam penelitian ini. Diplomasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menjaga hubungan baik antarpemerintah atau negara.35 Louise Diamond dan John McDonald menyatakan bahwa terdapat 8 aspek yang terdapat dalam multi-track diplomasi. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah: pemerintah, aktor profesional, bisnis, individu, pendidikan, aktivisme, kepercayaan, pendanaan/aid.36 Diplomasi yang dilakukan oleh birokrat (pemerintah) bertujuan untuk mendorong kepercayaan, percaya diri, dan pemahaman antar negara. Trek 1 ini, selain dilakukan untuk menjaga hubungan baik, digunakan pula dalam upaya negosiasi, mediasi, intervensi ketika krisis, dan meresolusikan konflik. Pemerintah sebagai pemegang kekuatan utamanya berperan untuk mewakili kepentingan nasional negara tersebut. Trek 2 adalah diplomasi melalui aktor profesional. Diplomasi ini pada umunya ditujukan untuk membantu percepatan resolusi konflik untuk mewujudkan perdamaian. Aktor profesional yang dimaksud bukan merupakan dari birokrat namun memiliki keahlian untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Trek 3 adalah diplomasi melalui bisnis. Perdagangan menjadi alat utama bagi pelaku bisnis untuk membanguna hubungan dengan aktor lain. Trek 4
34 Joseph Y. S. Cheng, China’s Energy Security and Energy Diplomacy, Cina, City University of Hong Kong, p.16 35 , diakses pada 24 Februari 2016 36 Louise Diamond dan Joh McDonald, Multi-track Diplomacy: A Systemic Approach to Peace, U.S., Kumarian Press, 1996, p .15
13
adalah diplomasi melalui aktor individu. Trek ini kecenderungannnya berangkat dari tindakan-tindakan akar rumput yang pendekatannya adalah antarpersonal antara satu individu dari suatu negara dengan individu dari negara lain. Trek 5 adalah diplomasi dengan memanfaatkan media pendidikan. Diplomasi yang dilakukan antara lain seperti pengiriman tenaga ahli/ilmuwan ke negara tujuan, program pertukaran pelajar, beasiswa, dll. Trek 6 adalah diplomasi via aktivisme. Trek ini juga banyak berasal dari tindakan akar rumput yang berupaya untuk menunjukan eksistensi, mengubah perilaku, kebijakan dan bahkan struktur institusi yang ada. Aktivisme dinaungi oleh suatu wadah berupa organisasi yang dalam hal ini menjadi terinternasionalisasi sehingga terjadi hubungan antarnegara antara aktornya. Trek 7 adalah melalui media kepercayaan. Dalam hal pembentukan perdamaian (baca: keamanan), tidak jarang aktor agama turut dilibatkan. Ajaran agama yang sebagian besar menjunjung tinggi kedamaian dan melarang terjadinya konflik menjadi dasar pertimbangannya. Trek 8 adalah dengan pendekatan pendanaan/aid. Trek terakhir ini mengandalkan bantuan luar negeri sebagai bagian dari diplomasi menyeluruh. Kekhawatiran terhadap gangguan dan ketidakamanan energi (energy insecurity) membuat konsep ini menjadi bagian penting dari isu keamanan nasional negara (national security). Eratnya hubungan antara energi, keamanan nasional dan kekuatan negara membuat isu mengenai keamanan energi menjadi krusial. Ketiga elemen ini harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan keamanan negara. Oleh karena itu, arti dan nilai penting energi untuk negara dilihat dalam perspektif kekuatan nasional, karena energi sangat mempengaruhi stabilitas negara itu sendiri. Oleh karena itu, tantangan penting bagi seorang pemimpin negara pada masa kini adalah berusaha tetap menjaga keamanan energi di negara yang dipimpinnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Kevin Rosner: ‘national security leaders now recognize that energy security in all its manifestations, from domestic imperative of the protection of critical energy infrastructure to the integrity of global energy supply chains, to the use of scarce resources for exacting political and economic leverage by producer countries over consuming ones, entails issues far
14
a field of energy as a narrow resource issue. Energy security has become a defining security challenge of the 21st century.’37 Pentingnya energi bagi keamanan negara tidak dapat disangkal lagi. Hal ini mengingat isu-isu keamanan domestik maupun internasional belakangan ini sering muncul dari masalah keamanan energi, seperti ancaman kelangkaan energi, harga yang tinggi, resiko blokade jalur perdagangan energi dunia, risiko embargo negara produsen energi, risiko ancaman terhadap pipa atau fasillitas lain, dan sejenisnya. Segala bentuk risiko dan ancaman yang terkait dengan energi merupakan ancaman bagi situasi keamanan nasional seperti ditegaskan oleh Joseph J. Romm berikut ini: ‘no single issue demonstrates the interconnectedness of the new security discussions better than energy. Energy security [has been] like many of the other elements of an expanded denifition national security…new national security threats are interconnected – the idea of national security is expanded to include energy security...’38 Karena pentingnya keamanan energi terhadap keamanan suatu negara, maka upaya pengamanannya tertuang dalam kepentingan nasional negara tersebut. Seperti halnya Cina, semenjak menjadi negara pengimpor minyak, Cina jelas-jelas memasukan pengamanan suplai energi sebagai agenda dalam kepentingan nasionalnya. Seperti yang dijelaskan surat kabar the Economist di tahun 2007, peningkatan belanja militer dan reorientasi politik luar negeri Cina dimaksudkan untuk mengamankan akses terhadap sumber daya energi dan mineral. 39 Upaya tersebut tertuang dalam politik luar negeri yang Cina jalani dalam pergaulan di dunia internasional, terutama yang berkaitan dengan upaya politis ataupun nonpolitis dalam mengamankan rantai suplai energinya. Penelitian
ini
akan
menjabarkan
upaya
dilakukan
Cina
dalam
mengamankan kebutuhan energinya dengan menggunakan konsep yang ditawarkan 37
Kevin Rosner, Closing the Gap Between Energy and National Security Policy, Journal of Energy Security, 2010, , diakses pada November 2015 38 Joseph J. Romm, 1993, Defining National Security: the Nonmilitary Aspects, U.S., Council of Foreign Relations, pp.37-38 39 Sascha Muller-Kraenner, China’s and India’s Emerging Energy Foreign Policy, Bonn, German Development Institute, 2008, p.6
15
Xu Yi-Chong sebagai konsep utama dalam menjabarkan ancaman-ancaman terhadap keamanan energi Cina. Yi-Chong berpendapat bahwa keamanan energi dapat dijelaskan dengan menilik aspek domestik (berkaitan dengan permintaan) dan aspek internasional (berkaitan dengan suplai). Sedangkan konsep keamanan energi yang digunakan untuk mendukung konsep utama antara lain adalah: 1. ketersediaan energi (konsep yang ditawarkan oleh Michael T. Klare dan Bernard D. Cole), 2. hambatan-hambatan suplai energi (konsep yang ditawarkan oleh Bernard D. Cole dan Asia Pacific Energy Research Centre), 3. kemampuan militer dalam upaya pengamanan suplai energi (Bernard D. Cole), dan 4. upaya peningkatan keamanan energi (IEA), serta 5. multi-track diplomacy (Louise Diamond dan John McDonald). Berikut
merupakan
diagram
rangkuman
kerangka
analisis
yang
dipergunakan dalam penelitian ini: Faktor internal Ancaman terhadap keamanan energi: 1. Konsumsi energi 2. Ketersediaan energi
Upaya pengamanan energi Cina:
Keamanan energi Cina
1. Diversifikasi suplai. 2. Mempersiapkan tindakan kolektif untuk merespon kemungkinan kendala pada aspek energi. 3. Ekspansi kerjasama internasional dengan para pelaku di pasar energi global.
Faktor eksternal
4. Upaya pengamanan suplai energi dengan menggunakan kekuatan militer.
Ancaman terhadap keamanan energi:
5. Diplomasi energi
(Xu Yi-Chong)
(International Energy Agency)
(Bernard D. Cole, Sascha Muller-Kraenner)
(Sascha Muller-Kraenner, Joseph Y. S. Cheng)
1. Ketersediaan energi 2. Acessibility barrier (Michael T. Clare, Bernard D. Cole, dan Asia Pacific Energy Research Centre)
16
1. 5.
Hipotesis Argumen utama penulis dalam penelitian ini adalah Cina menggunakan
konsep diplomasi energi untuk menjaga keamanan energinya. Upaya Cina untuk menjaga keamanan energinya dilakukan dengan dua cara, yaitu politik dan nonpolitik. Upaya non-politik yang dilakukan adalah melalui NOCs dan kekuatan militer Cina; sejalan dengan konsep keamanan enegri yang diajukan International Energy Agency dan Bernard D. Cole. Sedangkan upaya politik yang dilakukan adalah melalui diplomasi energi pemerintah Cina. Negara tersebut sadar bahwa kebijakan outward-looking yang diterapkan menjadi ancaman bagi negara-negara yang terlibat proses suplai energi dan negara lain yang membutuhkan suplai energi. Keterancaman negara lain tersebutlah yang menjadi ancaman bagi suplai energi ke Cina. Yang menjadi taruhannya adalah pertumbuhan perekonomian Cina, jika negara lain memutuskan untuk menghentikan kerjasama energinya dengan negara tersebut. Seperti yang dijelaskan Sascha Muller-Kraenner dan Joseph Y. S. Cheng, diplomasi energi menjadi upaya politik yang dilakukan Cina untuk dapat mendiversifikasi suplai dan mengamankan hubungan dengan negara yang terlibat dalam proses suplai energi dan negara yang terancam oleh dinamika kebutuhan energi Cina. Maka dari itu, penerapan diplomasi energi yang dilakukan Cina adalah berupaya kooperatif dengan pergaulan internasional. Strategi investasi di negaranegara pensuplai energi, keikutsertaan dalam forum-forum multilateral, regional, dan internasional, dan pengintensifikasian hubungan bilateral dengan negaranegara lain menjadi bukti nyata diplomasi energi yang dilakukan Cina. Kebutuhan energi membuat Cina berusaha menjaga keamanan energinya, upaya tersebut kemudian membentuk pola politik luar negeri yang diterapkan Cina. 1. 6.
Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian difokuskan pada aktivitas yang Cina lakukan untuk
mengamankan pasokan energinya. Pengumpulan data penelitian ini dibatasi mulai
17
dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2013, semenjak Cina menjadi pengimpor energi pada masa kepemimpinan Jiang Zemin sampai dengan masa kepemimpinan Hu Jintao berakhir. 1. 7.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab. Bab I
sebagai pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, kerangka dasar pemikiran, tinjauan pustaka, hipotesis, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II memuat profil sektor energi Cina. Pada Bab III, penulis akan menjelaskan faktor internal (demand) dan eksternal (supply) yang menjadi variabel ancaman terhadap keamanan energi Cina. Pada Bab IV, penulis akan menguraikan upaya-upaya apa saja yang dilakukan Cina dalam menjaga keamanan energinya. Terakhir, rangkuman keseluruhan isi penelitian ini diletakkan pada Bab V.
18