BAB I
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Bagi manusia, pengalaman senantiasa menjadi titik berangkat dalam mencari makna hidup. Seperti diungkapkan oleh Johanes Robini bahwa sejarah manusia merupakan pergulatan untuk mencari makna hidup.1 Bagi orang beriman, pengalaman hidup juga menjadi pijakan dalam rangka menghayati imannya. Hidup manusia tentu tidak melulu berisi pengalaman yang menyenangkan, tetapi juga berbagai pengalaman yang menyedihkan, bahkan bermacam-macam penderitaan yang dialami. Dengan demikian, pencarian makna hidup dan penghayatan iman manusia menghadapi tantangan dengan adanya berbagai pengalaman hidup, khususnya pengalaman penderitaan. Melalui pengalaman tersebut, manusia mencoba bertanya dan mencari jawab, sampai akhirnya menemukan makna hidup. Manusia juga mencoba merefleksikan imannya dari pengalaman. Fides quaerens intellectum – iman mencari pengertian. Pengalaman penderitaan tidak hanya menyentuh rasio, tetapi juga iman seseorang. Berarti penderitaan menyentuh seluruh diri manusia.2 Penderitaan menjadi pengalaman religius yang menyebabkan manusia bertanya dan berusaha mencari sistem penjelasan,3 karena manusia tidak puas dengan hanya pasrah pada keadaan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa ada orangorang yang tidak berusaha mencari jawab. Namun bagi orang beriman, pengalaman penderitaan paling tidak menjadi sesuatu yang harus dipergumulkan, apalagi kalau penderitaan terjadi di sekitarnya.4 Trisno Susanto menegaskan bahwa pengalaman religius perlu dibahasakan, atau hanya akan menjadi peristiwa sesaat sebelum akhirnya lenyap dalam kesunyian.5 Bagi orang beriman, pengalaman penderitaan ini bisa membawanya pada segudang pertanyaan tentang Tuhan. Bahkan tidak jarang membawa orang pada penolakan terhadap Tuhan yang selama ini diimaninya. Masalah penderitaan menjadi persoalan yang terjadi di segala penjuru bumi, dan telah menjadi pokok pergumulan teologi maupun filsafat sejak lama. Sampai sekarang pun, masalah 1
Johanes Robini lahir di Pontianak. Dia menempuh studi S1 di STF Driyarkara dan Bakaloreat Teologi di Fakultas Teologi Wedhabakti Yogyakarta. Sempat mengambil S2 (Licensiat) di tempat yang sama. (Lih. Johanes Robini M, Penderitaan dan Problem Ketuhanan [Yogyakarta:1998], hlm. 13). 2 Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: 2006), hlm. 7. 3 Hal ini tidak hanya terjadi pada masyrakat yang sudah maju, tetapi juga dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun, yang umumnya penjelasan diungkapkan melalui mitos yang diceritakan turun-temurun (Lih. Paul B Kleden, Sda. hlm 9). 4 Emanuel Gerrit-Singgih, “Allah dan Penderitaan di Dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia” dalam Zakaria J Ngelow, Teologi Bencana (Makassar: 2006), hlm. 259 5 Trisno Susanto, “Adventus dan Tuhan yang Tak (Pernah) Selesai”, dalam Harian Kompas edisi Rabu, 28 Nov 2007, hlm. 37.
8
ini tetap menjadi bahasan yang aktual. Masalah penderitaan ini pula yang akhir-akhir ini menjadi pergumulan dan gencar dibicarakan di Indonesia. Mulai dari persoalan krisis multidimensional, konflik, kriminalitas, kemiskinan, hingga peristiwa bencana alam yang datang silih berganti. Berkaitan dengan hal itu, telah banyak diskusi atau pembahasan tentang penderitaan yang terjadi di bangsa ini. Mau tidak mau, persoalan penderitaan juga menuntut agama (termasuk kekristenan) untuk memberikan tanggapan dan menjadi tantangan bagi gereja yang memiliki tugas untuk memelihara iman umat Tuhan. Persoalan penderitaan dalam berbagai wujudnya tentu terkait dengan konteks tertentu, sehingga menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Hal inilah yang melatarbelakangi penyusun untuk mengangkat masalah penderitaan ke dalam sebuah skripsi pada disiplin ilmu teologi.
FOKUS PERMASALAHAN Berbicara tentang penderitaan berarti berbicara tentang masalah yang cakupannya sangat luas. Penderitaan ada dan terjadi dalam berbagai bentuk dan dalam konteks yang berbeda-beda. Penderitaan adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya keburukan (malum, evil) di dunia. Dalam hal ini penyusun mengikuti pembagian yang diungkapkan oleh Kleden, berkaitan dengan masalah penderitaan. Kleden menyebutkan bahwa dalam sejarah filsafat sejak zaman pertengahan, orang membagi malum dalam tiga golongan: 6 a. Keburukan Fisik (malum physicum), yaitu kenyataan negatif yang ditimpakan alam kepada manusia, misalnya penyakit dan bencana alam. b. Keburukan Moral (malum morale), yaitu keburukan yang ditimpakan manusia atas manusia, misalnya perang dan kekerasan. c. Keburukan Metafisik (malum metaphysicum), yaitu keburukan yang melampaui penjelasan fisis dan moral. Berhubungan dengan kenyataan bahwa manusia itu bisa keliru, fana. Setiap manifestasi dari keburukan tersebut mengarah pada penderitaan. Crenshaw mengatakan, “Each manifestation of evil achieves its sharpest focus in suffering”.7 Dari ketiga macam malum di atas, penyusun akan memfokuskan perhatian pada keburukan fisik, khususnya yang disebabkan karena bencana alam yaitu gempa bumi. Peristiwa gempa bumi yang akan menjadi sorotan adalah gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Melalui pengalaman penderitaan akibat gempa bumi inilah akan digali bagaimana pemaknaan 6
Paul Budi Kleden, Membongkar Derita, hlm. 18. Bdk. dengan tulisan Crenshaw yang membuat pembagian yang sama, yaitu natural evil, moral evil dan, relogiuos evil (James Crenshaw, Defending God [New York: 2005], hlm 15). 7 James Crenshaw, Sda. hlm 15.
9
dan penghayatan iman para korban. Secara khusus, warga yang akan menjadi sasaran penelitian adalah warga jemaat GKJ Patalan. Dipilih GKJ Patalan karena gereja ini terletak di wilayah terparah akibat gempa bumi tersebut, yaitu meliputi wilayah Patalan (induk), pepanthan Pundong dan pepanthan Imogiri. Peristiwa gempa bumi 27 Mei 2006 merupakan salah satu pengalaman penderitaan yang memiliki konteks khusus, baik waktu maupun tempatnya. Berkaitan dengan waktu, gempa tersebut terjadi di zaman modern seperti sekarang, di mana ilmu pengetahuan telah berkembang pesat, dan sangat mungkin mempengaruhi pola pikir masyarakat. Berkaitan dengan tempat, Yogyakarta (dan beberapa daerah di sekitarnya) merupakan wilayah yang memiliki pengaruh budaya yang kuat, yaitu budaya Jawa. Konteks inilah yang tidak bisa dilepaskan jika hendak menggali lebih dalam persoalan tersebut. Fenomena bencana alam (dalam hal ini gempa bumi) menjadi tantangan tersendiri bagi manusia untuk menanggapinya. Barangkali sudah banyak penjelasan tentang gempa bumi tersebut dari sisi ilmu pengetahuan (geologi). Namun itu semua belum cukup memuaskan bagi manusia yang berhadapan dengan situasi bencana, terlebih mereka yang menjadi korban. Penjelasan ilmiah tidak cukup menjawab pergumulan mereka, khususnya pergumulan iman. Manusia membutuhkan penjelasan lebih. Di berbagai kalangan masyarakat, fenomena gempa bumi tidak hanya dimengerti sebagai fenomena alam semata, namun juga mengandung muatanmuatan lain, misalnya dikaitkan dengan aspek ilahi atau magis. Hal ini tentu terkait erat dengan budaya setempat. Bencana alam bukan hanya menyebabkan krisis fisik tetapi juga krisis teologi.8 Bencana alam ditanggapi dalam berbagai cara. Ngelow mengatakan bahwa bisanya bencana alam ditanggapi secara fatalistik. Entah mengkambing-hitamkan korban bencana atau menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak kenal belas kasihan. Ada pula pandangan sufistik yang mengatakan bahwa bencana adalah misteri ilahi.9 Dikaitkan dengan masalah iman, pengalaman penderitaan itu juga membawa manusia sampai kepada pertanyaan tentang Tuhan. Apakah penderitaan ini datang dari Tuhan? Apakah Tuhan mengizinkan penderitaan terjadi? Atau apakah Tuhan tidak menghendakinya? Lalu, di manakah Tuhan ketika penderitaan begitu berat dirasakan oleh manusia, bahkan oleh mereka yang tidak berdosa? Iman yang menghayati Tuhan sebagai sosok yang maha-pengasih dan mahakuasa mengalami tantangan dengan adanya kenyataan bahwa di dunia ini terjadi berbagai keburukan dan penderitaan. Persoalan ini kemudian dikenal dengan istilah “theodicy.”10 Maka fokus persoalannya adalah pada bagaimana penghayatan iman warga GKJ Patalan, di tengah 8
Bernard Adeney-Risakotta, ”Pengantar” dalam Zakaria J Ngelow, Teologi Bencana (Makassar: 2006), hlm. 26. Zakaria J. Ngelow, “Bianglala di Atas Tsunami” dalam Zakaria J Ngelow, Sda. hlm. 201. 10 Istilah “theodicy” biasa diterjemahkan dengan teodice, teodisea dan teodise. Penyusun memilih terjemahan yang ketiga, ‘teodise.’ 9
10
penderitaan akibat gempa bumi Yogyakarta. Penghayatan iman itu digali dari pandangan mereka tentang fenomena gempa bumi dan tentang masalah penderitaan itu sendiri.
TUJUAN PENULISAN Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menggali persoalan teodise atas penderitaan akibat peristiwa gempa bumi Yogyakarta. Untuk menggali persoalan tersebut, terlebih dahulu menggali pemahaman warga tentang peristiwa gempa bumi itu sendiri, dan juga menggali pemahaman/ penghayatan masyarakat tentang pengalaman penderitaan yang mereka alami. Pembahasan ini diharapkan berguna untuk perkembangan ilmu yang berkaitan dengan masalah penderitaan. Setelah menggali persoalan teodise tersebut, kemudian akan dibangun sebuah teologi bencana (refleksi teologis) yang berangkat dari konteks pengalaman gempa bumi 27 Mei 2006. Pembahasan dan refleksi ini juga bisa menjadi sumbangan bagi gereja-gereja di Indonesia, yang senantiasa menghadapi situasi penderitaan dalam berbagai bentuk, khususnya pengalaman bencana alam. Dengan demikian gereja mampu berteologi secara aktual dan kontekstual, berangkat dari pengalaman yang terjadi di sekitarnya.
JUDUL “PERSOALAN TEODISE DI GKJ PATALAN AKIBAT PERISTIWA GEMPA BUMI YOGYAKARTA” Yang dimaksud dengan teodise adalah persoalan yang berkaitan dengan refleksi iman warga atas penderitaan akibat bencana gempa bumi, khususnya penghayatan mereka tentang Tuhan. Secara khusus refleksi itu digali dari pengalaman warga jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Patalan, akibat peristiwa gempa bumi tektonik yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006.11 KAJIAN TEORI : PERSOALAN TEODISE Masalah Penderitaan Di dunia ini manusia menghadapi pengalaman penderitaan yang begitu melimpah. Bagi orang beriman yang menghayati Tuhan, persoalan melimpahnya penderitaan menjadi pergumulan yang tak mudah dipecahkan serta diatasi. Bahkan pengalaman penderitaan menjadi tantangan tersendiri bagi orang beriman, terlebih jika penderitaan itu menimpa orang-orang yang
11
Ada dua tipe gempa bumi, yaitu tektonik dan vulkanik. Gempa tektonik disebabkan karena adanya gesekan antara lempeng/kerak bumi, sedangkan gempa vulkanis disebabkan karena pergeseran batuan yang diakibatkan gerakan magma ke permukaan gunung berapi (http//www.wikipedia.or.id/gempa bumi).
11
tidak bersalah.12 Kenyataan jahat (evil) dan penderitaan menjadi masalah keadilan Allah karena sifat-sifat utama Allah, yakni mahakasih, mahakuasa dan mahatahu, dianggap tidak sesuai dengan kenyataan adanya keburukan dan penderitaan di dunia. Pada perkembangannya, pertanyaannya juga menyangkut eksistensi Allah sendiri. Persoalan ini kemudian dikenal dengan istilah “teodise”. Dalam teodise, hakikat Allah dipersoalkan.13 Menurut kamus filsafat, teodise berarti ilmu yang berupaya membenarkan cara Allah bagi manusia; Usaha mempertahankan kebaikan dan keadilan Allah dalam membiarkan kejahatan moral dan alamiah maupun penderitaan manusia; Usaha membuat kemahakuasaan dan kemaharahiman Allah cocok dengan eksistensi kejahatan.14 Tema yang dibicarakan dalam teodise adalah penghadapan Allah pada pengalaman adanya malum (diterjemahkan ‘keburukan’). Malum menyebabkan orang mengalami penderitaan.15 Meskipun masalah teodise telah menjadi pembahasan dan perdebatan panjang baik di dunia filsafat maupun teologi, istilah “theodicy” sendiri pertama kali muncul dalam tulisan seorang filsuf Jerman bernama Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), dan kemudian menjadi istilah yang populer di dunia ilmu filsafat ketuhanan dan telah menjadi pergumulan penting di antara para teolog16. Kata theodicy berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu theos (yang berarti ‘Allah’) dan dikhe (yang berarti ‘keadilan’). Teodise secara singkat berarti pembenaran akan keadilan Allah, khususnya berkaitan dengan masalah penderitaan manusia. Franz MagnisSuseno menjabarkan teodise demikian: “Yang dimaksud adalah bahwa adanya kejahatan dan penderitaan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik, sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan.”17 Tema ini pula yang banyak dihubungkan dengan kitab Perjanjian Lama (PL) yang memuat berbagai kisah yang mencerminkan teodise.18 Tujuan teodise adalah menegaskan eksistensi Allah dan mendamaikan sifat-sifat mahakuasa dan mahakasih-Nya dengan adanya keburukan (malum), yaitu kenyataan jahat dan penderitaan di dunia; bahwa adanya keburukan di dunia tidak bertentangan dengan eksistensi Tuhan. Karena pengertian ini, dalam sejarahnya teodise pernah dipakai sebagai pengganti ungkapan theologis naturalis, yaitu pandangan teologis yang mengatakan bahwa
12
Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: 2006), hlm. 216-217. Zakaria J. Ngelow, “Bianglala di Atas Tsunami” dalam Zakaria J Ngelow, Teologi Bencana (Makassar: 2006), hlm. 201. 14 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: 1996), hlm. 1089. 15 Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: 2006), hlm. 17. 16 Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: 2006), hlm. 205. 17 Franz Magnis-Suseno, Sda. hlm. 216. 18 Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna, (Jakarta:1999), hlm. 145-162. 13
12
manusia sanggup membuktikan Allah dari permenungannya tentang alam dengan memakai rasio alamiahnya, tanpa bantuan wahyu ilahi.19 Sebenarnya persoalan teodise ini sudah muncul jauh sebelum dipakai oleh Leibniz. Kajian filsafat terhadap masalah ini sudah ada sejak zaman Yunani kuno, sedangkan pembahasan teologisnya dimulai oleh Bapa-Bapa Gereja dan terus berkembang hingga hari ini. Ungkapan klasik yang sering dipakai untuk menjelaskan masalah teodise adalah rumusan dari Epikuros (300 SM), yaitu: “Atau Allah mau mengatasi malum (keburukan) tetapi Dia tidak dapat melakukannya, atau Dia dapat tetapi tidak mau melakukannya, atau Dia tidak dapat dan juga tidak mau melakukannya. Apabila Dia mau tetapi tidak dapat, maka Dia lemah, sesuatu yang tidak cocok untuk Allah. Kalau Dia dapat tetapi tidak mau, maka Dia jahat, dan inipun seharusnya asing dari Allah. Kalau Dia tidak mau dan tidak dapat, maka Dia sekaligus jahat dan lemah, dan karena itu juga bukan Allah. Tetapi kalau Dia dapat dan mau, dari mana asal malum (keburukan) dan mengapa Dia tidak meniadakannya?”20
Filsafat Ketuhanan dan teologi agama-agama Abrahamistik sudah sangat lama bergumul dengan masalah penderitaan. Namun, pertanyaan teodise tidak muncul dalam lingkungan semua agama, karena tidak semua agama memiliki pandangan yang sejalan tentang penderitaan maupun eksistensi Tuhan. Masalah teodise hanya muncul apabila Tuhan dipahami secara personal dan dialogal, serta apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
21
Sebagaimana Kleden mencatat bahwa ada tiga syarat bagi teodise. Pertama,
adanya pandangan tentang Allah yang mahabaik, mahakuasa dan mahaesa; Kedua, pemahaman tentang nilai tinggi manusia di hadapan Allah; Ketiga, keyakinan bahwa rasio manusia dapat dipakai untuk mempertimbangkan tindakan Allah dan menilai sikap manusia. Manusia tidak dilarang berpikir mengenai penderitaannya dan merangkaikannya dengan imannya kepada Allah.22 Kerangka Teodise Klasik Pembahasan tentang masalah penderitaan telah berlangsung lama. Kleden mencatat setidaknya ada tiga kerangka pemikiran tentang penderitaan, yaitu: penderitaan dalam kerangka pemikiran tentang keharmonisan; penderitaan dalam kerangka teori privatio boni dan penderitaan dalam kerangka teori dosa asal.
19
Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: 2006), hlm. 15. Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 16. 21 Misalnya dalam pandangan dualistik, penderitaan dijelaskan dengan prinsip asali yang negatif. Dalam pantheisme, penderitaan individual seakan-akan tenggelam dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinus. (Lih. Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan [Yogyakarta: 2006], hlm. 222). 22 Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: 2006), hlm. 86. 20
13
Kerangka pemikiran tentang keharmonisan dilihat dalam pemahaman dasar dunia yang monistis (bukan dualistis) dan monotheisme (bukan politheisme). Ada beberapa tokoh yang mewakili kerangka pemikiran ini. Yang pertama adalah Agustinus23 yang berpendapat bahwa dunia ini dikendalikan oleh Logos yang merencanakan dunia harmonis. Dunia harus dilihat dalam keseluruhannya, di mana segala sesuatunya saling memengaruhi. Dunia kita adalah dunia yang teratur, yang dikuasai oleh Logos (yang bersifat ilahi) yang merencanakan dan menyelenggarakan segala sesuatu. Di dalam dunia ini, kebaikan dan keburukan saling mempengaruhi dan terangkai dalam keharmonisan. Jika dilihat secara terpisah, keburukan itu seperti warna cat hitam dalam sebuah lukisan. Namun secara keseluruhan, terangkai dengan warna-warna lain, lukisan yang terbentuk adalah gambar yang indah. Untuk itu, dosa dan penderitaan justru memperindah kehidupan. Nampaknya pemikiran Agustinus ini terkonsentrasi pada keburukan moral dan metafisik, dan tidak terlalu berbicara banyak tentang keburukan fisik/ bencana alam.24 Tokoh yang kedua adalah Gottfried Wilhelm Leibniz.25 Ia berpendapat bahwa sejak awal Allah telah memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik dari segala dunia yang mungkin diciptakan.26 Dengan kata lain, harmoni ini telah ditetapkan sejak awal. Hal-hal yang diciptakan itu disertai dengan konsekuensi yang melekat padanya. Di situlah penderitaan berasal. Penderitaan tidak terelakkan sebagai konsekuensi dari berbagai kebaikan di dunia ini. Allah tidak menciptakan keburukan/ penderitaan, tetapi membiarkan/ mengizinkannya terjadi. Di sini ada suatu Nomos atau hukum keteraturan yang padanya Allah sendiri ‘patuh.’27 Pendapat Leibniz ini ada bahayanya, antara lain melumpuhkan daya juang manusia untuk mengubah keadaan buruk, karena dunia ini sudah merupakan dunia terbaik. Tokoh yang ketiga adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel28, yang berpendapat bahwa sejarah dunia ini adalah sejarah perwujudan Roh yang Absolut melalui dialektika tesis-antitesissintesis. Penderitaan dilihat sebagai antitesis, negativitas yang memungkinkan sebuah perubahan 23
Agustinus dari Hippo adalah seorang pemikir Kristen abad ke-4. Pada masa hidupnya, filsafat Stoa dan Neoplatonisme merupakan aliran yang dominan dan berpengaruh (Lih. Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: 2006), hlm. 90). 24 Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 94. 25 Lebniz lahir di Leipzig pada tahun 1646. Ia memperoleh gelar doktor pada usia 20 tahun, di Universitas Altdorf, Jerman. Gagasan dasar filsafat Leibniz adalah ajaran tentang monade, yaitu satuan terkecil yang otonom, yang ada sebagai substansi. Setiap monade lengkap dalam dan mencukupi dirinya sendiri. Segala seseuatu yang terjadi dengan dan di dalam monade lahir dari monade itu sendiri dan dari hakikatnya sejak ciptaan. Hubungan antarmonade ditetapkan sejak awal oleh Pencipta (Lih. Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 99-100). 26 Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 101. 27 Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 103. 28 Hegel lahir di Stuttgart. Setelah sempat menjadi guru privat di Frankfurt dan rektor SMA di Nurnberg, ia menjadi filsfuf kekaisaran Prusia di Berlin. Kunci filsafat Hegel adalah dialektika yang dijabarkan dalam tesis-antitesissintesis (Lih. Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 108-109).
14
sejarah ke arah kebaikan. Kleden mengatakan bahwa pernyataan Hegel ini bersifat teleologis.29 Demi tujuan mulia, pengalaman penderitaan korban diremehkan. Tokoh berikutnya adalah Pierre Teilhard de Chardin.30 Ia melihat seluruh kenyataan sebagai sebuah proses dalam tahap perkembangan, bukan sesuatu yang statis. Sejarah dunia adalah sejarah Allah. Penderitaan adalah efek samping dari evolusi dunia menuju keharmonisan. Dalam kerangka pemikiran tentang privatio boni, malum (keburukan) dipahami sebagai kekurangan dari kebaikan. Malum tidak berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan kekurangan dari bonum (kebaikan). Tokoh yang memakai kerangka pemikiran ini adalah Agustinus dan Meister Eckhart. Agustinus berpendapat bahwa segala sesuatu adalah baik/ bersifat positif.31 Penderitaan bukanlah sesuatu yang bersifat positif, maka ia tidak ada pada dirinya sendiri. Keburukan hanya dialami karena dan sejauh ada sesuatu yang positif, yang dikehendaki. Sedangkan Meister Eckhart32 berangkat dari pemikirannya tentang Allah sebagai pengada yang sempurna. Maka keburukan di dunia ciptaan dipandang sebagai akibat pemisahan jiwa manusia dari Pencipta. Namun karena ciptaan adalah sebuah bentuk partisipasi dalam ‘ada yang ilahi’, maka ada dorongan untuk kembali kepada ‘ada yang ilahi’ itu. Dalam kerangka pemikiran tentang dosa asal, penderitaan di dunia ini dipahami sebagai akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Tokohnya yang terkenal adalah Agustinus. Ia menggambarkan Firdaus sebagai keadaan ciptaan yang sempurna, di mana semua makhluk adalah baik dan memperoleh kebahagiaannya.33 Manusia diciptakan sebagai makhluk yang bebas dan sadar. Kejadian di mana Adam menyalahgunakan kebebasan dan kesadarannya merusakkan seluruh kehendak bebas manusia. Kejatuhan Adam adalah kejatuhan total manusia. Kebebasan manusia telah rusak, dan manusia berada dalam kondisi yang tidak dapat tidak melakukan dosa (non posse non peccare).34 Kehendak bebas itulah yang akhirnya mendatangkan keburukan di dunia. Selain itu, karena manusia adalah ciptaan yang dijadikan sesuai dengan citra Allah dan sebagai puncak ciptaan, maka kehancurannya akan berakibat pada seluruh ciptaan.35
29
Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: 2006), hlm. 119. Chardin lahir tahun 1881. ia masuk Serikat Yesuit pada usia 18 tahun. Pada tahun 1911 ia ditahbiskan menjadi imam. Di Paris ia melanjutkan studinya di bidang Paleontologi, namun harus terhenti karena ia harus menjalani masa dinas militer selama Perang Dunia I, hingga akhirnya ia menjadi profesor di bidang geologi di Paris. Pemikiran Chardin adalah usaha untuk menjembatani dunia ilmu pengetahuan dan iman, yaitu dengan mendamaikan prinsip penciptaan dan perkembangan atau evolusi (Lih. Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 122-123). 31 Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 149. 32 Eckhart adalah seorang rahib Dominikan dari Jerman. Ia pernah menjadi profesor teologi di Paris dan di koln (Lih. Paul Budi Kleden, Sda. hlm. 155). 33 Paul Budi Kleden, Sda. hlm 174. 34 Paul Budi Kleden, Sda. hlm 175. 35 Paul Budi Kleden, Sda. hlm 177. 30
15
Immanuel Kant menilai bahwa di dalam teodise klasik ini, rasio manusia dipakai melebihi kesanggupannya untuk menilai dan mengadili Allah. Selain itu teodise klasik terlalu mereduksi manusia pada rasio dan kurang memperhatikan aspek perasaan dan praksis manusia dalam menghadapi penderitaan.36 Dengan demikian teodise – yang disebutkan Kant sebagai teodise doktrinal – tersebut gagal. Meskipun demikian, ketiga kerangka pemikiran tentang teodise klasik di atas telah membawa pengaruh besar pada perjalanan panjang penyelesaian masalah penderitaan, yang telah dilakukan baik oleh filsafat maupun teologi. Berbagai usaha untuk memecahkan teka-teki teodise tersebut akhirnya menghasilkan beberapa jawaban :37 1. Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa orang yang bersangkutan. 2. Penderitaan akan lebih daripada diimbangi oleh ganjaran di surga. 3. Melalui penderitaan, Allah mencobai mutu manusia. Hanya manusia yang bertahan dalam penderitaan yang pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga. 4. Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral. 5. Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya. 6. Manusia tidak seimbang dengan Allah. Ia tinggal menerima saja segala yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tidak perlu bertanya, apalagi berprotes. Teodise di dalam Alkitab Persoalan tentang keadilan Tuhan juga muncul di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Salah satu kitab yang memuat persoalan ini adalah kitab Ayub, di mana kesalehan Ayub dinilai berlawanan dengan malapetaka dan penderitaan yang dialaminya. Namun apakah Alkitab sendiri memberikan jawaban yang jelas terhadap masalah penderitaan? Yewangoe menegaskan bahwa pada umumnya para ahli dan penafsir sepakat bahwa Alkitab tidak memberikan jawaban yang jelas, serta tidak mengandung penjelasan sistematis tentang masalah malapetaka.38 Penjelasan yang dipakai untuk memperlihatkan asal-usul keburukan biasanya adalah teori tentang kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, atau bahkan setanlah yang menjadi penyebabnya.39 METODE PENULISAN
36
Paul Budi Kleden, Sda, hlm. 219. Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: 2006), hlm. 223. 38 Andreas A Yewangoe, “Membangun Teologi Bencana”, dalam Zakaria J. Ngelow, Teologi Bencana (Makassar: 2006), hlm. 229. 39 Andreas A Yewangoe, Sda. Hlm 232. 37
16
Dalam penyusunan skripsi ini penyusun akan mengumpulkan data dari sumber literatur dan penelitian lapangan, yaitu dalam upaya menggali teodise warga atas peristiwa gempa bumi tersebut. Adapun metode penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan termasuk penelitian kualitatif.40 Penelitian kualitatif dipilih karena merupakan model penelitian yang cocok untuk diterapkan dalam rangka menggali persoalan sosial dan humaniora, termasuk teodise. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri.41 Tidak seperti penelitian kuantitatif yang secara ketat diukur dari segi jumlah, frekuensi dan intensitas, penelitian kualitatif menekankan proses pencarian makna atas pengalaman sosial42. Moleong memaparkannya dengan lebih lugas dengan mengatakan bahwa penelitian kualitatif inilah yang berminat pada bagaimana orang memahami hidup, pengalaman dan struktur dunianya.43 Dengan demikian, penelitian kualitatif ini sesuai digunakan untuk menggali persoalan teodise. Dalam penelitian kualitatif untuk menggali persoalan teodise tersebut, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan fenomenologi, yaitu pendekatan yang berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu, serta memberi tekanan pada pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia yang dikembangkan dari peristiwa tertentu.44 Endraswara mengatakan bahwa dalam pendekatan fenomenologis ini, realitas dipandang lebih penting daripada teori-teori tertentu.45 Dalam penelitian Fenomenologi, pengalaman manusia – yang dipengaruhi oleh gambaran, teori, ide, nilai, dan sikap yang berasal dari masyarakat – diperiksa melalui penjelasan terperinci dari orang yang diselidiki.46 2. Populasi dan Sampel Yang akan menjadi populasi dari penelitian tentang persoalan teodise ini adalah sejumlah warga dewasa GKJ Patalan, Bantul. Dipilih warga dewasa karena menurut tingkat perkembangan iman, orang dewasalah yang telah mencapai tahap refleksi individu. Menurut 40
Pemilihan ini didasarkan atas pembagian penelitian menurut metode analisisnya, yaitu kuantitatif dan kualitatif. (Lih. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama [Bandung: 2003], hlm. 9). 41 Imam Suprayogo dan Tobroni, Sda. 42 Andreas Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: 2004), hlm. 62. 43 Andreas Subagyo, Sda. hlm. 63. 44 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: 1989), hlm. 10. 45 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: 2003), hlm 42. Bandingkan dengan pendapat Suprayogo yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, fungsi teori sebagai perspektif/ pangkal tolak dan sudut pandang untuk memahami alam pikiran subyek yang diteliti dan untuk menafsirkan dan memaknai fenomena dalam rangka membangun konsep (Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: 2003), hlm. 129). 46 Andreas Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif, (Bandung: 2004), hlm. 110.
17
Fowler, pada masa dewasa (adulthood), orang mulai bisa mencapai tahap individuatif-reflektif47 dan konjungtif.48 Pada tahap-tahap itulah refleksi iman berkaitan dengan teodise juga mungkin dilakukan. Sampel penelitian ini adalah sejumlah warga dewasa GKJ Patalan, baik yang ada di wilayah Gereja Induk Patalan maupun di Pepanthan Pundong dan Pepanthan Imogiri. Sampel akan dipilih secara acak (random sampling) dengan perhitungan bahwa sampel tersebut mewakili populasi (representatif). 3. Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara dan angket/kuisioner. Penyusun memilih cara wawancara karena salah satu sifat wawancara adalah untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subyek yang diteliti.49 Dengan wawancara ini diharapkan dapat diperoleh penjelasan dari responden yang mewakili penghayatan atas pengalamannya. Jenis wawancara yang akan diterapkan adalah wawancara terstruktur, di mana masalah dan pertanyaan yang akan diajukan telah ditetapkan sebelumnya.50 Sedangkan angket dilakukan untuk mempermudah efisiensi waktu pengumpulan data. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I.
PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, fokus permasalahan, tujuan penulisan, judul skripsi, kajian teori dan metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II.
PEMAHAMAN TEODISE WARGA GKJ PATALAN PASCA GEMPA BUMI 27 MEI 2006 Bab ini berisi pemaparan data hasil penelitian tentang persoalan teodise di GKJ Patalan akibat gempa bumi Yogyakarta.
47
Tahap ini terjadi pada usia sekitar 18-35 tahun. Orang mulai mempertanggungjawabkan iman yang masuk akal/logis, merenungkan peristiwa hidup secara kritis (Lih. Shelton Charles, Spiritualitas Kaum Muda [Yogyakarta: 1987], hlm 60). Pada tahap ini orang juga mulai mengajukan pertanyaan kritis tentang keseluruhan nilai, pandangan hidup, keyakinan, dan komitmen. Selain itu mulai menyusun gambaran tentang Allah yang dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi dan rasional (Lih. Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W Fowler [Yogyakarta: 1995], hlm 160). 48 Tahap ini terjadi mulai usia 35 tahun. Orang menguraikan lagi susunan iman, kemudian menyusun kembali sistem iman yang lebih bermakna (Lih. Shelton Charles, Spiritualitas Kaum Muda, hlm. 61). Pada tahap ini kepercayaan religius memperhitungkan segala pertentangan dan paradoks, di mana gambaran tentang Allah tidak bisa dirumuskan secara jelas dan pasti (Lih. Agus Cremers, Sda. hlm. 210). 49 Andreas Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif, (Bandung: 2004), hlm. 172. 50 Bdk. S Nasution, Metode Research (Jakarta: 2004), hlm. 117.
18
BAB III. ANALISA MENGENAI PEMAHAMAN TEODISE WARGA GKJ PATALAN PASCA GEMPA BUMI 27 MEI 2006 Bab ini berisi tentang analisa hasil penelitian tentang persoalan teodise di GKJ Patalan. Analisa khususnya akan membahas masalah teodise yang muncul dalam pergumulan iman warga GKJ Patalan. BAB IV. TINJAUAN TEOLOGIS TENTANG PEMAHAMAN TEODISE WARGA GKJ PATALAN PASCA GEMPA BUMI 27 MEI 2006 Bab ini berisi refleksi teologis atas masalah teodise yang digali dari penelitian. Refleksi yang muncul dari hasil penelitian akan ditanggapi, kemudian penyusun akan merumuskan sebuah bangunan teologi bencana BAB V.
PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari penulisan skripsi, beserta sumbangan pemikiran yang mungkin diajukan.
19