BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pembangunan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pembangunan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, akhirnya terjadi dinamika atau perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan di suatu daerah. Ruang terbangun akan mendominasi dan mendesak ruang-ruang alami untuk berubah fungsi (Reza, 2012). Hal tersebut umumnya sering terjadi di daerah perkotaan, salah satunya adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta (DI Yogyakarta) merupakan salah satu provinsi yang mengalami pembangunan pesat dan peningkatan penduduk dari tahun ke tahun (Badan Pusat Statistik, 2012). Hal tersebut dipicu oleh potensi pariwisata dan pendidikan yang dimiliki oleh DI Yogyakarta. Pertambahan jumlah penduduk berdampak pada tingginya kebutuhan hidup penduduk, utamanya kebutuhan akan tempat tinggal dan gaya hidup. Pembangunan yang pesat di DI Yogyakarta mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan di kota ini. Perubahan tersebut salah satunya ditandai dengan adanya alih fungsi vegetasi menjadi area terbangun. Perubahan penutup lahan yang terjadi di DI Yogyakarta perlu diekstraksi dan dianalisis untuk mengetahui arah pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Hal tersebut berguna untuk mengawasi apakah pembangunan yang diselenggarakan telah sesuai dengan perencanaan tata ruang yang disusun oleh Pemerintah setempat. Proyeksi penataan ruang di DI Yogyakarta telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DI Yogyakarta No. 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DI Yogyakarta Tahun 2009-2029. Salah satu tujuannya adalah terselenggara pengaturan pemanfaatan ruang Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya di DI Yogyakarta. Kegiatan ekstraksi informasi perubahan penutup lahan di DI Yogyakarta dapat dilakukan sebagai evaluasi sederhana untuk memastikan apakah rencana tata ruang tersebut sudah terlaksana dengan sebaik-baiknya.
1
2
Salah satu cara untuk melakukan ekstraksi informasi perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan adalah dengan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk membandingkan atau menyelisihkan hasil klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan citra satelit multitemporal suatu wilayah, sehingga dapat diketahui nilai kuantitatif luasan yang berubah dan bentuk perubahan spasial yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan penelitian khusus tentang analisis perubahan spasial penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai dan bentuk perubahan spasial penutup lahan di DI Yogyakarta dari tahun 2002 hingga 2015. Periode waktu dari 2002 hingga 2015 dipilih karena mengakomodasi waktu sebelum dan sesudah keberadaan RTRW di Provinsi DI Yogyakarta, sehingga terdapat indikasi perubahan penutup lahan yang signifikan pada periode tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 saat belum adanya RTRW dan Citra Landsat tahun 2015 untuk melihat kondisi beberapa tahun setelah RTRW diterapkan, sehingga dapat diketahui kondisi penggunaan lahan dan penutup lahan dan kesesuaiannya dengan RTRW yang diterapkan. Analisis yang ingin dicapai meliputi nilai prosentase perubahan dan perubahan spasial masing-masing kelas penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta. Informasi perubahan spasial penggunaan lahan dan penutup lahan di suatu daerah adalah informasi yang penting sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kontrol pembangunan di DI Yogyakarta. Melalui data ini, Pemerintah DI Yogyakarta akan mempertimbangkan kondisi penggunaan lahan dan penutup lahan terkini serta dapat memperkirakan kondisi yang akan datang, sehingga Pemerintah DI Yogyakarta dapat melakukan pengambilan keputusan dan penerapan kebijakan yang lebih tepat menyangkut penataan ruang dan wilayah DI Yogyakarta.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan penutup lahan di DI Yogyakarta dalam kurun waktu 2002 sampai 2015, sehingga perlu dilakukan penelitian khusus terhadap nilai dan bentuk perubahan spasial penutup lahan yang terjadi di DI Yogyakarta selama kurun waktu tersebut untuk melihat kesesuaian
3
dinamika perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan yang terjadi di DI Yogyakarta dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang disusun oleh Pemerintah Daerah.
Pertanyaan Penelitian Dari identifikasi masalah yang telah dibahas di atas, dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa prosentase perubahan setiap kelas penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta dari tahun 2002 hingga 2015 ? 2. Bagaimana bentuk perubahan spasial kelas penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta dari tahun 2002 hingga 2015, untuk dilihat kesesuaiannya dengan RTRW Kabupaten dan Provinsi DI Yogyakarta ?
Cakupan Penelitian Cakupan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada: 1. Identifikasi perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan menggunakan citra Landsat yang memiliki resolusi spasial rendah, yaitu sebesar 30 m x 30 m, 2. Lokasi penelitian meliputi DI Yogyakarta yang terletak pada 109˚58’17,84” BT ; 7˚30’14,63” LS hingga 110˚43’33,40”BT ;8˚12’42,54” LS yang terliput dalam perekaman citra Landsat 7 ETM+ dan citra Landsat 8 path 120, row 65 dan path 119, row 66, 3. Perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan yang diteliti dalam jangka waktu 13 tahun dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 dan citra Landsat 8 tahun 2015, 4. Perangkat lunak yang digunakan adalah ENVI versi 5.1. Metode yang digunakan untuk melakukan klasifikasi digital adalah klasifikasi terkontrol dengan algoritma maximum likelihood, 5. Kelas penggunaan lahan dan penutup lahan yang diteliti adalah kelas vegetasi, vegetasi pertanian, permukiman, perairan, dan lahan kosong, 6. Perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan yang diamati adalah bentuk perubahan spasial untuk setiap kelas penutup lahan pada skala 1: 250.000.
4
Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Untuk menghitung prosentase perubahan setiap kelas penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta dari tahun 2002 hingga 2015, 2. Untuk mengetahui bentuk perubahan spasial kelas penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta dari tahun 2002 hingga 2015, untuk dilihat kesesuaiannya dengan RTRW Kabupaten dan Provinsi DI Yogyakarta.
Manfaat Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah menghasilkan analisis perubahan spasial penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan pembangunan untuk kepentingan pekerjaan penataan ruang dan wilayah di DI Yogyakarta.
Tinjauan Pustaka Reza (2012) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Perubahan Penutup Lahan Dengan Pemanfaatan Citra Landsat Di Kabupaten Bantul Tahun 2001, 2004, dan 2012. Metode penelitian menggunakan cara interpretasi dan survey dengan mengambil sampel penutup lahan di daerah penelitian. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis dari klasifikasi unsupervised. Metode klasifikasi penutup lahan menggunakan klasifikasi Malingreau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan penutup lahan dengan prosentase tertinggi pada kelas daerah pertanian, sedangkan perubahan penutup lahan yang terendah terjadi pada kelas daerah non pertanian. Rasyidin (2016) melakukan penelitian tentang evaluasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan citra WorldView-2 hasil rekaman tahun 2013 yang meliputi sebagian Kota Yogyakarta yang terdiri atas 14 Kecamatan. Metode yang dipakai pada penelitian ini yaitu interpretasi secara visual dan digitasi on-screen, sedangkan proses rektifikasi citra juga diperlukan agar citra WorldView-2 memiliki koordinat yang benar. Parameter yang akan dievaluasi meliputi kelas budaya, kesehatan, kuburan, pariwisata, pendidikan, perdagangan dan jasa, perkantoran, perumahan, rekreasi dan olahraga, Ruang Terbuka
5
Hijau (RTH), sarana transportasi dan industri mikro kecil dan menengah. Hasil dari uji ketelitian klasifikasi menggunakan matrik konfusi. Analisis hasil evaluasi RTRW yang direncanakan terhadap citra diperoleh membuktikan adanya perubahan penggunaan lahan yaitu pada kelas pariwisata, perdagangan dan jasa, perkantoran, perumahan, Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta industri mikro kecil dan menengah. Sedangkan untuk kelas yang sesuai meliputi kelas budaya, kesehatan, kuburan, pendidikan, rekreasi dan olahraga, serta sarana transportasi. Astuti (2011) melakukan penelitian mengenai evaluasi perubahan bentuk penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah di Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk dan luas perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Kasihan dan untuk mengevaluasi perubahan bentuk penggunaan lahan tahun 1999-2009 dengan kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kecamatan Kasihan tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini berupa grid-grid unit perubahan penggunaan lahan, yang untuk keperluan analisis dibagi menjadi 130 grid. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel acak (random sampling). Jumlah titik sampel dalam penelitian ini di tentukan sebanyak 40 grid. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan dokumentasi. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik overlay atau tumpang susun (software Arc View 3.3), analisis deskriptif dan uji ketelitian pemetaan. Hasil dari penelitian ini adalah kesesuaian penggunaan lahan Kecamatan Kasihan tahun 2009 terhadap RTRW seluas 1513,94 Ha atau 46,76 % dari keseluruhan luas Kecamatan Kasihan. Total luas penyimpangan penggunaan lahan Kecamatan Kasihan terhadap RTRW seluas 1724,06 Ha atau 53,24 % dari luas Kecamatan Kasihan. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan tingkat tinggi yaitu penyimpangan > 50 % dari luas wilayah. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut maka dalam penelitian ini penulis bermaksud menganalisis perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan yang terjadi di DI Yogyakarta dari tahun 2002 hingga 2015. Dalam penelitian ini perubahan yang ingin dianalisis adalah perubahan spasial dari kelas-kelas penggunaan lahan dan tutupan lahan. Analisis perubahan tersebut dilakukan dengan bantuan citra satelit multitemporal resolusi rendah pada tiga tahun yang berbeda yaitu 2002, 2013, dan
6
2015. Adapun metode yang digunakan juga relatif berbeda yaitu klasifikasi terkontrol dengan algoritma maximum likelihood. Perubahan diidentifikasi dengan metode image differencing, sedangkan hasil perubahan kelas penggunaan lahan dan penutup lahan akan disajikan dalam bentuk peta perubahan dari tahun 2002 hingga 2015 skala 1:250.000.
Landasan Teori 1.8.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefinisikan sebagai pengukuran dan akuisisi informasi mengenai karakteristik atau fenomena, objek, atau material tertentu melalui suatu alat perekaman yang tidak terhubung secara fisik dengan fitur yang diamati (Khorram dkk, 2012). Dalam konteks lingkungan, penginderaan jauh secara khusus didefinisikan sebagai teknologi untuk merekam energi elektromagnetik yang dipancarkan dari luasan atau objek di permukaan (atau di dalam) bumi, lautan, atau atmosfer. Radiasi elektromagnetik merupakan semua energi yang berpindah dengan kecepatan cahaya melalui pola gelombang harmonik. Gelombang tampak hanyalah salah satu diantaranya, contoh lainnya yaitu gelombang radio, infra merah, dan sinar gamma (Khorram dkk, 2012). Mereka semua tersusun menjadi spektrum elektromagnetik, seperti yang diilustrasikan pada Gambar I.1.
Gambar I.1. Spektrum gelombang elektromagnetik (Khorram dkk ,2012)
7
Seperti yang diilustrasikan pada Gambar I.1, perbedaan radiasi elektromagnetik akan menyebabkan variasi pada panjang gelombang dan frekuensi. Ketika radiasi elektromagnetik mengalami kontak dengan suatu objek, dapat terjadi interaksi berupa penyerapan, pemantulan, hamburan, atau emisi radiasi elektromagnetik yang berasal dari objek. Penginderaan jauh utamanya didasarkan pada deteksi dan perekaman pantulan atau emisi radiasi elektromagnetik. Penginderaan jauh dapat digunakan untuk membedakan antara satu objek dengan yang lainnya, sebab setiap objek memiliki karakteristik emisi dan/atau pantulan yang secara kolektif disebut sebagai spectral signature (Khorram dkk, 2012).
1.8.2. Satelit Landsat Satelit Landsat adalah satelit pengamat bumi milik Amerika Serikat yang diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration). Citra Landsat banyak digunakan untuk aplikasi bidang pertanian, kehutanan, oseanografi, pemetaan, sumber daya alam, dan penelitian perubahan iklim (USGS, 2015).
1.8.2.1 Satelit Landsat 7 ETM+. Satelit Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada 15 April 1999. Satelit ini membawa sebuah sensor yang ditingkatkan yaitu Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Sensor tersebut dikembangkan dengan kemampuan spektral dan spasial yang mendekati identik dengan sensor Thematic Mapper. Satelit Landsat 7 ETM+ memiliki sebuah kanal pankromatik pada resolusi 15 meter dan kanal termal dengan resolusi yang lebih tajam 60 meter. Sejak Bulan Mei 2003, Satelit Landsat 7 ETM+ tidak lagi dapat berfungsi dengan baik karena terjadi kerusakan pada bagian Scan Line Corrector, sehingga kehilangan data sebesar 24% sepanjang sisi-sisi luar dari masing-masing citra. Karakteristik kanal/band citra satelit Landsat 7 ETM+ dapat dilihat pada Tabel I.1. Sensor ETM+ kanal 6 diakuisisi pada resolusi 60 meter, namun di sampling ulang pada resolusi 30 meter untuk menyesuaikan dengan kanal multispektral (USGS, 2015).
8
Tabel I.1 Karakteristik band citra satelit Landsat 7 ETM+. (USGS, 2015) Panjang Gelombang
Resolusi
(Mikrometer)
(Meter)
Band 1
0,45-0,52
30
2
Band 2
0,52-0,60
30
3
Band 3
0,63-0,69
30
4
Band 4
0,77-0,90
30
5
Band 5
1,55-1,75
30
6
Band 6
10,40-12,50
60 * (30)
7
Band 7
2,09-2,35
30
8
Band 8
,52-,90
15
No.
Band
1
1.8.2.2 Satelit Landsat 8 ETM. Satelit Landsat 8 diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013. Satelit Landsat 8 melakukan perekaman permukaan bumi setiap 16 hari dengan offset delapan hari dibandingkan dengan Satelit Landsat 7. Satelit Landsat 8 membawa dua instrumen yaitu sensor Operational Land Imager (OLI) dan sensor Thermal Infrared. Sensor OLI membawa kanal-kanal yang sama seperti Landsat 7, namun dengan tambahan tiga band baru, yaitu kanal biru untuk studi aerosol/pesisir, gelombang inframerah pendek untuk deteksi awan, dan Quality Assesment Band. Sensor Thermal Infrared menyediakan dua sensor termal. Kedua sensor memberikan kemampuan Signal-to-noise (SNR) radiometrik yang lebih baik dan memiliki resolusi radiometrik 16 bit. Sensor Thermal Infrared melakukan akuisisi data pada resolusi 100 meter, namun di sampling ulang (resample) pada resolusi 30 meter untuk menyesuaikan dengan kanal multispektral dari sensor OLI (USGS, 2015). Karakteristik kanal/band citra satelit Landsat 8 dapat dilihat pada Tabel I.2.
9
Tabel I.2. Karakteristik band citra Landsat 8 (USGS, 2015) No.
Band
Panjang Gelombang
Resolusi
(Mikrometer)
(Meter)
1
Band 1
0,43-0,45
30
2
Band 2
0,45-0,51
30
3
Band 3
0,53-0,59
30
4
Band 4
0,64-0,67
30
5
Band 5
0,85-0,88
30
6
Band 6
1,57-1,65
30
7
Band 7
2,11-2,29
30
8
Band 8
0,50-0,68
15
9
Band 9
1,36-1,38
30
10
Band 10
10,60-11,19
100 * (30)
11
Band 11
11,50-12,51
100 * (30)
1.8.3. Koreksi Citra Koreksi citra merupakan kegiatan pra-pengolahan citra yang dilakukan untuk mempersiapkan kondisi input data sebaik mungkin sebelum masuk ke tahap pemrosesan citra yang sebenarnya. Pada dasarnya operasi ini memiliki dua tujuan yaitu meminimalisir distorsi dan atau kesalahan pada citra yang dapat mengakibatkan menghalangi keberhasilan klasifikasi dan untuk mengekstraksi atau meningkatkan informasi yang penting dari gambar sehingga nantinya dapat mempermudah proses klasifikasi (Khorram dkk, 2012). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap data citra satelit, seperti kondisi sensor, kondisi medan, dan kondisi atmosfer, sehingga diperlukan koreksi sebelum pengolahan citra untuk memperoleh informasi yang berkualitas. Pembagian kualitas citra Landsat dibagi menjadi beberapa tipe seperti yang ditampilkan pada Tabel I.3.
10
Tabel I.3. Pembagian Kualitas Citra Landsat (USGS, 2015) No 1
Level Level 0
Keterangan Data citra masih dalam format aslinya, berupa data mentah (raw data) yang belum terkoreksi radiometrik dan geometrik.
2
Level 1
Kesalahan radiometrik pada citra sudah dikoreksi, sedangkan
Radiometrik
kesalahan geometriknya masih sama seperti pada level 0.
(L1R) 3
Level 1
Data citra L1R yang sudah dikoreksi geometrik sistematik.
Sistematik (L1G) 4
Level 1 GT
Produk L1R yang sudah mengalami koreksi geometrik dan koreksi terain sesuai dengan proyeksi peta berdasarkan datum tertentu. Level ini menggunakan faktor ephemeris wahana untuk mengkoreksi serta mengontrol data ketinggian untuk mengkoreksi kesalahan paralak
5
Level 1 Terain
Produk L1R yang koreksi geometriknya menggunakan GCP (Ground Control Point) atau memiliki informasi posisi untuk transformasi citra sesuai dengan proyeksi referensi datum tertentu. Data menggunakan Digital Elevation Model (DEM), sehingga sudah mengalami koreksi terain untuk mengurangi efek relief displacement.
Citra penginderaan jauh yang telah diunduh perlu dikoreksi sebelum diproses lebih lanjut agar citra dapat memberikan hasil yang akurat dan interpretasi citra tersebut berkualitas.
I.8.3.1 Koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual citra (Kartini, 1999). Salah satu koreksi radiometrik adalah penyesuaian histogram (histogram adjustment). Metode ini mengasumsikan bahwa dalam proses penyimpanan nilai pantulan objek dalam wujud respon spektral akan memberikan nilai 0 (null value) pada respon/pantulan yang paling lemah. Apabila nilai ini ternyata lebih dari 0 maka nilai tersebut dihitung sebagai offset, dan koreksi
11
dilakukan dengan mengurangi seluruh nilai pada saluran tersebut dengan nilai offsetnya. Besarnya offset dipandang sebagai pengaruh gangguan atmosfer. Sensor digital merekam intensitas radiasi elektromagnetik dari setiap objek yang tampak di muka bumi sebagai angka digital (Digital Number/DN) untuk setiap nilai spektral band. Kisaran DN pada setiap sensor tegantung pada resolusi radiometrik. Landsat 7 ETM+ memiliki resolusi radiometrik 8 bit sehingga memiliki rentang DN 0-255 sedangkan Landsat 8 memiliki resolusi radiometrik 16 bit sehingga memiliki rentang 0-65535 (USGS, 2015). Kegiatan berikutnya adalah melakukan konversi nilai digital menjadi nilai reflektan. Hal tersebut perlu dilakukan karena reflektan merupakan nilai pantulan objek
yang
sebenarnya,
sehingga
kegiatan
klasifikasi
dilakukan
untuk
mengelompokkan nilai pantulan objek pada citra Landsat 7 (National Aeronautics and Space Administration, 2011) dan Landsat 8 (Department of the Interior U.S. Geological Survey , 2015). Konversi DN untuk citra Landsat 7 ETM+ dilakukan dengan menggunakan menu Landsat Calibration pada software ENVI 5.1. Koreksi diawali dengan konversi DN menjadi nilai radian kemudian nilai radian dikonversi menjadi nilai reflektan. Pada tahap ini, diperlukan parameter berupa sudut elevasi matahari dan waktu perekaman citra yang diperoleh dari metadata citra. Proses konversi DN menjadi radian memiliki ketentuan seperti Persamaan I.1 (The Yale Center for Earth Observation, 2010): 𝐿𝑀𝐴𝑋 −𝐿𝑀𝐼𝑁
𝜆 𝜆 𝐿𝜆 = 𝑄𝐶𝐴𝐿𝑀𝐴𝑋−𝑄𝐶𝐴𝐿𝑀𝐼𝑁 × (𝑄𝐶𝐴𝐿 − 𝑄𝐶𝐴𝐿𝑀𝐼𝑁) + 𝐿𝑀𝐼𝑁𝜆 ..........................(I.1)
Keterangan: 𝐿𝜆
: nilai radian,
𝑄𝐶𝐴𝐿
: digital number,
𝐿𝑀𝐼𝑁𝜆
: skala spektral radian untuk QCALMIN,
𝐿𝑀𝐴𝑋𝜆
: skala spektral radian untuk QCALMAX,
𝑄𝐶𝐴𝐿𝑀𝐼𝑁 : nilai piksel minimum, 𝑄𝐶𝐴𝐿𝑀𝐴𝑋 : nilai piksel maksimum.
12
Setelah melakukan konversi DN menjadi nilai radian, selanjutnya dilakukan konversi nilai radian menjadi nilai reflektan. Ketentuannya terdapat pada Persamaan I.2 (The Yale Center for Earth Observation, 2010): 𝜋×𝐿𝜆 ×𝑑2
𝜌𝜆 = 𝐸𝑆𝑈𝑁
𝜆 ×cos 𝜃𝑠
............................................................................................(I.2)
Keterangan: 𝜌𝜆
: nilai reflektan,
𝐿𝜆
: spektral radian,
𝑑2
: jarak antara bumi-matahari pada unit astronomi,
𝐸𝑆𝑈𝑁𝜆
: mean solar exoatmospheric Irradiance,
𝜃
: sudut zenith matahari dalam derajat. Konversi DN ke nilai reflektan untuk citra Landsat 8 menggunakan rumus yang
ditulis pada menu Band Math di software ENVI 5.1. Rumus yang diinputkan mengikuti Persamaan I.3 (The Yale Center for Earth Observation, 2010): 𝜌′𝜆 = 𝑀𝜌 𝑄𝑐𝑎𝑙 + 𝐴𝜌 ......................................................................................(I.3) Keterangan: 𝜌′𝜆
: TOA reflektan tanpa koreksi sudut matahari,
𝑀𝜌
: Faktor skala pengali reflektan untuk masing-masing band, diperoleh dari
metadata (REFLECTANCE_MULT_BAND_X dimana x adalah nomor band), 𝐴𝜌
: Faktor skala penambah untuk masing-masing band, diperoleh dari metadata
(REFLECTANCE_ADD BAND_X dimana x adalah nomor band), 𝑄𝑐𝑎𝑙 : Digital number. Catatan bahwa 𝜌′𝜆 merupakan TOA reflektan tanpa koreksi sudut matahari. Koreksi sudut matahari dapat diperoleh dari metadata atau dengan perhitungan sendiri. Apabila nilai koreksi sudut matahari telah ditentukan, konversi menjadi TOA reflektan yang sebenarnya menjadi Persamaan I.4 (The Yale Center for Earth Observation, 2010): 𝜌′
𝜌𝜆 = sin(𝜆𝜃).......................................................................................................(I.4) Keterangan: 𝜌𝜆
: TOA dengan koreksi sudut matahari,
𝜃
: sudut matahari.
13
Konversi kembali dari reflektan menjadi DN melalui persamaan I.5 (The Yale Center for Earth Observation, 2010): 𝑄𝑐𝑎𝑙 =
𝜌𝜆 .sin(𝜃)−𝐴𝜌 𝑀𝜌
..........................................................................................(I.5)
I.8.3.2 Koreksi geometrik. Data penginderaan jauh dapat memiliki dua tipe distorsi geometrik, yaitu yang bersifat sistematik dan non-sistematik. Distorsi geometrik sistematik disebabkan oleh pergerakan wahana, distorsi panoramik, variasi kecepatan wahana, dan kelengkungan bumi. Distorsi geometrik non-sistematik disebabkan oleh malfungsi sensor atau variasi ketinggian satelit (Khorram dkk, 2012). Terdapat dua teknik yang dapat digunakan untuk mengoreksi berbagai tipe distorsi geometrik yang ada pada citra digital. Teknik yang pertama adalah dengan memodelkan besaran sumber distorsi dan menggunakan model tersebut untuk menghasilkan persamaan untuk mengoreksi distorsi. Teknik ini efektif ketika tipe distorsi yang terdapat pada citra diketahui secara spesifik, contohnya disebabkan oleh rotasi bumi. Teknik koreksi yang kedua adalah membentuk hubungan matematis antara koordinat objek di piksel citra dengan koordinat objek tersebut di permukaan referensi atau acuan. Hubungan matematis tersebut dapat digunakan untuk mengoreksi geometri citra terlepas dari pengetahuan user akan sumber dan tipe distorsi (Richards, 2006). Tahapan yang perlu dilakukan untuk menghasilkan citra yang terkoreksi geometrik adalah: 1. Transformasi Koordinat Koreksi geometrik menggunakan transformasi 2D dengan persamaan polinomial orde satu. Transformasi ini dipilih karena perekaman citra dilakukan dari jarak yang sangat jauh (705 km di atas permukaan bumi) sehingga perbandingan fokus sensor satelit dengan jarak orbit satelit dari bumi sangat besar. Akibat dari geometri perekaman tersebut adalah citra dapat diasumsikan datar, tidak memiliki distorsi yang signifikan. Transformasi polinomial orde satu dapat dilihat pada Persamaan I.6 dan I.7 berikut: 𝑋𝑐𝑖𝑡𝑟𝑎 = 𝑎0 + 𝑎1 ∙ 𝑋𝑝𝑒𝑡𝑎 + 𝑎2 ∙ 𝑌𝑝𝑒𝑡𝑎 ......................................................(I.6)
14
𝑌𝑐𝑖𝑡𝑟𝑎 = 𝑏0 + 𝑏1 ∙ 𝑋𝑝𝑒𝑡𝑎 + 𝑏2 ∙ 𝑌𝑝𝑒𝑡𝑎 .......................................................(I.7) Keterangan: 𝑋𝑝𝑒𝑡𝑎 , 𝑌𝑝𝑒𝑡𝑎
: posisi objek pada koordinat peta
𝑋𝑐𝑖𝑡𝑟𝑎 , 𝑌𝑐𝑖𝑡𝑟𝑎
: posisi objek pada koordinat citra
𝑎0 , 𝑎1 , 𝑎2 , 𝑏0 , 𝑏1 , 𝑏2
: parameter transformasi
2. Resampling Resampling merupakan proses penentuan kembali nilai piksel sehubungan dengan koordinat baru setelah transformasi koordinat. Ada tiga metode dalam melakukan resampling, yaitu nearest neighbor, bilinear, dan cubic convolution. Dalam penelitian ini digunakan metode interpolasi nearest neighbor, yaitu nilai keabuan piksel terbaru ditentukan berdasarkan nilai piksel tetangga yang paling dekat. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan tidak menyebabkan perubahan nilai piksel selama proses resampling.
Pengecekan ketepatan posisi GCP perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasinya. Pengecekan akurasi ini dilakukan dengan menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) dari titik-titik kontrol yang dipilih. Nilai RMSE diusahakan kecil dan tidak lebih dari satu piksel. Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin teliti posisi GCP yang telah ditentukan. Perhitungan RMSE dilakukan dengan melibatkan Persamaan I.8 berikut: 𝑅𝑀𝑆𝐸 = √(𝑥 ′ − 𝑥)2 + (𝑦 ′ − 𝑦)2 .................................................................(I.8) Keterangan: 𝑥 ′ , 𝑦 ′ : nilai piksel yang dianggap benar dari citra acuan (base image) 𝑥, 𝑦 : nilai piksel prediksi yang dihasilkan pada citra Banyak aplikasi pengolahan citra digital yang membutuhkan dua atau lebih liputan dari area yang sama yang diakuisisi pada waktu yang berbeda untuk diproses secara bersamaan. Salah satunya dalam melakukan deteksi perubahan, yang melibatkan perbandingan citra satu dengan yang lain pada tingkat piksel. Demi menjaga kualitas geometrik citra maka toleransi total RMSE agar koreksi geometrik dapat diterima adalah bernilai < 1 piksel citra (Chang, 2006).
15
Dua citra dapat diregistrasikan satu sama lain dengan meregistrasikan masingmasing citra terhadap koordinat peta, atau alternatif lain dengan meregistrasikan satu citra ke citra yang lain yang dijadikan citra acuan dengan alasan tertentu, misalnya karena citra sudah teregistrasi ke koordinat peta. Alternatif tersebut dinamakan registrasi citra ke citra (Richards, 2006).
1.8.4. Skema Klasifikasi Penutup Lahan Menurut SNI 7645-2010 Klasifikasi Penutup Lahan, Penutup lahan merupakan tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati dan merupakan suatu hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada penutup lahan tersebut. Penutup lahan berkaitan dengan kenampakan objek-objek di permukaan bumi. Informasi mengenai penutup lahan umumnya mudah diamati pada data penginderaan jauh. Tabel I.4 menunjukkan kutipan sebagian kelas-kelas SNI 7645-2010 Klasifikasi Penutup Lahan skala 1:250.000.
Tabel I.4. SNI 7645-2010 Klasifikasi Penutup Lahan skala 1:250.000 No. Level
Kelas Penutup Lahan
1
1
Daerah bervegetasi
1.1
2
Daerah pertanian
1.2
2
Daerah bukan pertanian
2
1
Daerah tak bervegetasi
2.1
2
Lahan terbuka
2.2
2
Permukiman dan lahan bukan pertanian yang berkaitan
2.3
2
Perairan
Klasifikasi merupakan kegiatan mengumpulkan objek-objek dalam kategori tertentu. Skema klasifikasi dalam penelitian ini bertujuan untuk memilih kategori penutup lahan yang digunakan untuk mengelompokkan nilai-nilai piksel dalam citra. Skema klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini mengikuti kelas-kelas SNI 76452010 Klasifikasi Penutup Lahan skala 1:250.000, yang disesuaikan dengan kondisi
16
citra beserta kenampakan wilayah yang dikaji. Skema klasifikasi disajikan pada Tabel I.5. Tabel I.5 Pemilihan Skema Klasifikasi No
Kelas Penutup Lahan
1.
Vegetasi
2.
Vegetasi pertanian
3.
Permukiman
4.
Perairan
5.
Lahan kosong
1.8.5. Klasifikasi Digital Klasifikasi
objek
bertujuan
untuk
memaknai
lingkungan
dengan
mengelompokkan berbagai macam fenomena menjadi beberapa jenis kelas umum yang merepresentasikan keadaan lingkungan tersebut. Terdapat berbagai macam cara yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan kenampakan permukaan bumi yang disajikan oleh citra satelit, salah satunya adalah melalui prinsip pengenalan pola (Pattern Recognition Principles) (Tso dan Mather, 2009). Prinsip pengenalan pola yang cukup dasar dalam klasifikasi data penginderaan jauh adalah metode klasifikasi terkontrol. Pendekatan klasifikasi terkontrol membutuhkan peran pengguna untuk memilih training data yang representatif untuk setiap kelas. Hasil klasifikasi sangat bergantung pada seberapa baik pengguna mampu memodelkan distribusi kelas yang ditargetkan. Pengalaman pengguna akan sangat berguna dalam mengidentifikasi dan melokalisir training area. Idealnya, training area ditempatkan pada daerah yang homogen dimana penutup lahan ditemukan (Townshend, 1981 dalam Tso dan Mather, 2009). Klasifikasi terkontrol dapat diaplikasikan dengan tiga cara berikut: 1. Menentukan jumlah dan asal dari informasi kelas, serta mengumpulkan training data yang cukup dan representatif untuk setiap kelas, 2. Mengestimasikan parameter statistik yang dibutuhkan oleh training data, 3. Menggunakan sebuah aturan klasifikasi yang sesuai.
17
Meskipun pemilihan training data membutuhkan usaha yang ekstra, pendekatan klasifikasi terkontrol lebih disukai oleh peneliti karena secara umum memberikan definisi kelas yang lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan tidak terkontrol. Tiga metode pengelompok statistik yang umum digunakan yaitu parallelepiped method, minimum distance classifier, dan maximum likelihood algorithm (Tso dan Mather, 2009). Metode pengelompok statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah maximum likelihood algorithm.
I.8.5.1. Maximum likelihood classifier. Metode ini diimplementasikan dengan menghitung probabilitas suatu nilai piksel terhadap setiap kelas yang telah didefinisikan. Piksel kemudian akan dimasukkan pada kelas dimana nilai probabilitas piksel tersebut paling tinggi. Maximum likelihood classifier mendasarkan perhitungannya pada Bayesian probability formula yang dijabarkan pada Persamaan I.9. 𝑃(𝑥, 𝑤) = 𝑃(𝑤|𝑥)𝑃(𝑥) = 𝑃(𝑥|𝑤)𝑃(𝑤) .................................................. (I.9) Dimana x dan w umumnya disebut kejadian. 𝑃(𝑥, 𝑤) adalah probabilitas dari koeksistensi (atau perpotongan) dari kejadian x dan w, 𝑃(𝑥) dan 𝑃(𝑤) adalah probabilitas awal dari kejadian x dan w, sedangkan 𝑃(𝑤|𝑥) adalah probabilitas kondisional dari kejadian x yang diperoleh dari kejadian w. Maximum likelihood classifier mengasumsikan bahwa informasi probabilitas awal kelas 𝑃(𝑤) terdistribusi secara seragam. Apabila probabilitas awal kelas 𝑃(𝑤) dapat dimodelkan secara tepat, maka akurasi hasil klasifikasi akan meningkat.
1.8.6. Uji Ketelitian Klasifikasi Uji ketelitian klasifikasi dimaksudkan untuk memperoleh nilai kedekatan hasil klasifikasi dengan data ukuran sebenarnya. Uji ini penting agar dapat diketahui tingkat kepercayaan terhadap pemakaian hasil klasifikasi untuk analisis dan keperluan berikutnya. Salah satu cara untuk menilai akurasi hasil klasifikasi adalah dengan menyiapkan matriks konfusi. Matriks konfusi menyajikan hubungan antara referensi data yang diketahui (ground truth) dengan hasil klasifikasi yang telah dilakukan. Di dalam matriks konfusi, hasil klasifikasi didefinisikan dalam baris dan verifikasi
18
(ground truth) didefinisikan sebagai kolom untuk setiap titik sampel. Ilustrasi matriks konfusi ditunjukkan pada Tabel I.6.
Hasil Klasifikasi
Tabel I.6. Ilustrasi matriks konfusi (Lillesand, 2004) Referensi Hutan
Air
Permukiman
Jumlah
Hutan
28
14
15
57
Air
1
15
5
21
Permukiman
1
1
20
22
Jumlah
30
30
40
100
Producer’s accuracy
User’s accuracy
Hutan = 28/30 = 93 %
Hutan = 28/57 = 49 %
Air = 15/30 = 50 %
Air = 15/21 = 71%
Permukiman = 20/40 = 50 %
Permukiman = 20/22 = 91 %
Omisi
Komisi
Hutan = 2/30 = 7 %
Hutan = 29/57 = 51 %
Air = 15/30 = 50 %
Air = 6/21 = 29 %
Permukiman = 20/40 = 50%
Permukiman = 2/22 = 9 %
Beberapa karakteristik kemampuan klasifikasi ditunjukkan oleh matriks konfusi. Salah satunya adalah karakteristik dari omisi dan komisi. Elemen diagonal dalam matriks konfusi mengindikasikan jumlah sampel hasil klasifikasi yang sesuai dengan data verifikasi. Elemen di luar diagonal untuk setiap baris menunjukkan jumlah sample yang salah diklasifikasikan oleh classifier, kesalahan klasifikasi ini disebut kesalahan komisi. Elemen di luar diagonal untuk setiap kolom menunjukkan jumlah sample yang diomisikan oleh classifier, kesalahan klasifikasi ini disebut kesalahan omisi. Perhitungan keseluruhan akurasi klasifikasi atau biasa disebut overall accuracy dilakukan dengan membandingkan jumlah elemen diagonal utama (piksel yang terklasifikasi dengan benar) dalam matriks konfusi dengan jumlah sampel keseluruhan, melibatkan Persamaan (I.10):
19
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑎𝑙𝑙𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑒𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑑𝑖𝑎𝑔𝑜𝑛𝑎𝑙𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
.................................... (I.10)
Nilai overall accuracy minimal untuk memenuhi syarat batas penentuan hasil klasifikasi diterima atau tidak adalah ≥ 85% (Short dan Nicholas, 1982). Melalui pengujian dengan matriks konfusi, dapat dilihat juga deskripsi lain untuk menentukan akurasi kategori individual. Pertama adalah perbandingan antara hasil klasifikasi yang benar dengan elemen total dalam 1 baris, yang kemudian disebut user’s accuracy. Kedua adalah perbandingan antara hasil klasifikasi yang benar dengan elemen total dalam satu kolom, yang disebut producer’s accuracy (Lillesand, 2004).
1.8.7. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Penutup Lahan Perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan di suatu daerah dapat diketahui dengan metode deteksi perubahan (change detection). Metode ini melibatkan data multi temporal area yang ingin dikaji perubahan penggunaan lahan dan penutup lahannya. Metode deteksi perubahan memberikan informasi dan kuantifikasi obyek atau fenomena yang mengalami perubahan di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Zubair (2006) mengungkapkan empat aspek perubahan yang perlu dipantau menggunakan metode deteksi perubahan, yaitu : 1.
Mendeteksi perubahan apa yang telah terjadi di wilayah tersebut,
2.
Mengidentifikasi sifat perubahan yang terjadi,
3.
Mengukur luas daerah yang mengalami perubahan,
4.
Menilai pola spasial perubahannya.
Penelitian ini membahas aspek poin ke 1, 2, dan 3 dari perubahan penutup lahan yang terjadi di DI Yogyakarta. Berdasarkan hasil klasifikasi citra multi temporal kemudian dilakukan analisis perubahan penutup lahan lahan dengan cara melakukan teknik pengurangan (Image differencing). Dengan cara ini, luas perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan di DI Yogyakarta dapat diketahui. Teknik Image differencing melibatkan Persamaan I.11 berikut (Tso dan Mather, 2009):
20
𝐵𝑉𝑏𝑎𝑟𝑢 = 𝐵𝑉𝑡1 − 𝐵𝑉𝑡2 ................................................................................ (I.11) Keterangan: 𝐵𝑉 : Nilai keabuan 𝑡1 : waktu perekaman 1 𝑡2 : waktu perekaman 2
Hipotesis Hipotesis awal dari penelitian ini adalah terjadi bentuk perubahan spasial yang menyebar disertai pertambahan luas untuk kelas permukiman, utamanya di ibukota kabupaten dan kecamatan yang ada di Provinsi Yogyakarta. Hal tersebut didasarkan pada perkembangan RTRW yang kebijakannya diarahkan pada desentralisasi sebagian fungsi Kota Yogyakarta ke ibukota Kabupaten dan ibukota kecamatan di daerah, serta pengintegrasian fungsi setiap kota dalam perkotaan di daerah. Selain itu, RTRW mengangkat kebijakan yang bermaksud mengembangkan kawasan peruntukan permukiman pedesaan menjadi kesatuan tempat tinggal, tempat kerja, dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi penduduknya, sedangkan kawasan peruntukan permukiman perkotaan berencana dikembangkan dengan strategi mengintensifkan lahan permukiman dengan pengembangan ke atas dan ke samping demi memberikan tempat bermukim dan lingkungan kehidupan yang layak (Pemerintah Provinsi DIY, 2010). Kelas vegetasi pertanian diindikasi tidak berubah karena adanya kebijakan dalam RTRW yang bermaksud mempertahankan luasan kawasan pertanian lahan basah dan kering. Bagi kelas vegetasi, diprediksi daerah di kawasan sempadan, tidak mengalami perubahan, karena RTRW mengatur dan memantapkan kembali fungsi lindung kawasan sempadan, cagar alam, dan kawasan taman hutan raya di beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman (Pemerintah Provinsi DIY, 2010).