BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Identifikasi kualitas suatu produk pangan dapat dilakukan, salah satunya, dengan mencium aromanya. Produk – produk seperti kopi, teh, produk peternakan, daging, dapat diketahui kualitasnya melalui aroma. Pada industri makanan, secara tradisional, pemantauan produk dalam rangka kendali mutu (quality control) dari suatu proses produksi ditunjukkan melalui pengukuran kimia fisika seperti pH, warna, konsentrasi bahan kimia atau biomolekul yang pada umumnya ditentukan oleh spektroskopi (contohnya FTIR, NIR, UV-Vis,dsb) dan ini berarti masih kurang memperhatikan uji aroma sebagai indikator kualitas dan kenyamanan suatu produk. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya instrumen penilaian aroma yang mudah digunakan dan dapat dipercaya (reliable) (Ampuero dan Bosset, 2003). Salah satu produk pangan yang sangat ditentukan kualitasnya dari aroma adalah kopi. Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia, terdiri dari kopi jenis arabika (coffea arabica) dan robusta (coffea canephora var. robusta). Beberapa wilayah di Indonesia menghasilkan kopi jenis Arabika spesial (specialty coffee) dengan aroma dan rasa yang khas sesuai kondisi geografis. Kopi robusta merupakan jenis kopi yang banyak diproduksi oleh perkebunan rakyat dan biasa digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Aroma dan cita rasa minuman kopi berkembang selama proses roasting. Roasting merupakan sebuah proses yang bergantung pada suhu dan waktu, biji kopi mengalami sederetan reaksi yang membawa kepada beberapa perubahan komposisi kimia (Clarke dan Vitzthum, 2001). Penentuan derajat roasting biasa dilakukan dengan pengukuran warna dan berat biji yang hilang (weight loss) selama proses roasting. Namun ternyata warna dan berat yang hilang saja tidak cukup untuk penilaian kriteria derajat roasting. Suhu roasting juga harus dipertimbangkan (Franca, et.al., 2009). Derajat roasting light akan memberikan aroma dan citarasa asli dari biji kopi,
1
2
yang terbentuk dari kondisi tanah dan cuaca tempat ia tumbuh. Semakin gelap derajat roasting, citarasa asli pada biji kopi makin tertutupi oleh citarasa dan aroma yang terbentuk pada proses roasting, sehingga profil aroma sulphuruous/ roasty, earthy, dan smoky pun makin meningkat. Bagi produsen kopi, ketersediaan teknik analisa dan kendali mutu merupakan hal yang sangat penting (Pardo, et.al., 2000). Uji aroma termasuk bagian dalam proses kendali mutu yang mempunyai peran penting dalam hal penentuan harga, peraturan keamanan pangan, mengurangi kerugian, dan keberlangsungan industri kopi (Anonim, 2011). Oleh karena itu, teknik dan metode kendali mutu produk kopi merupakan masalah krusial dan penelitian pada bidang ini terus berkembang. Uji aroma menjadi salah satu bagian penting dari proses kendali mutu, sedangkan pengembangan teknologi uji aroma di Indonesia masih sangat kurang. Selama ini, instrumen yang biasa digunakan untuk mengetahui komponenkomponen pembentuk aroma pada kopi antara lain Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS), High Peerformance Liquid Chromatrography (HPLC), dan
Liquid
Chromatography-Mass
Spectrometry
(LC-MS).
Kemudian
berkembang metode lain dalam pengujian kopi, seperti untuk membedakan kopi sangrai, jagung sangrai dan sekam kopi dengan menggunakan Diffuse Reflectance Fourier Transform Infrared Spectroscopy (DRIFTS) (Reis, et.al. 2012). Selain itu digunakan juga Near Infrared Spectroscopy untuk kendali keaslian berbagai kopi sangrai (Sarraguca, et.al., 2013), High Sensitifity Proton Transfer Reaction-Mass Spectroscopy (HS-PTR-MS) untuk membedakan berbagai kopi khusus (specialty coffee serta penggunaan tenaga terlatih/panelis. Instrumen-instrumen tersebut relatif mahal dan tidak mudah dioperasikan. Selain itu, penggunaan tenaga terlatih juga menjadi tidak efektif jika tenaga terlatih ini mengalami gangguan pada indera penciumannya, karena sakit misalnya. Kekurangan lainnya, seperti sulitnya melatih tenaga terlatih secara efektif untuk membatasi subyektifitas respon manusia terhadap bau serta variabilitas antara masing-masing individu (Ongo, et.al., 2012). Electronic nose menjadi salah satu solusi alternatif untuk sebuah instrumen uji aroma yang mudah digunakan, serba guna, dan relatif lebih murah.
3
Electronic nose (e-nose) merupakan teknologi yang pengembangan dan aplikasinya masih sangat luas saat ini. Termasuk di bidang pangan, beberapa diantaranya yaitu: pengujian komposisi dan sifat Kopi Luwak Indonesia dengan kopi luwak Ethiopia (Marcone,2004), uji kualitas teh hijau (Yu, et.al, 2007), uji perubahan kualitas daging pada topping pizza (Vastergaard, et.al., 2007), aplikasi electronic nose untuk klasifikasi keju Pecorino berdasarkan waktu pematangan dan teknik produksi( Cevoli, et.al., 2011), monitoring kebocoran pengepakan filet daging sapi berdasarkan suhu penyimpanan (Papadopoulou, et.al., 2013), evaluasi aroma teh Cina dikaitkan dengan sifat-sifat sensoris dan klasifikasi berdasarkan tingkat kualitasnya (Qin, et.al., 2013), prediksi tingkat kesegaran buah persik (peach) (Guohua, et.al., 2012), dan menentukan perbedaan aroma kopi luwak Filipina dengan kopi biasa (Ongo, et.al., 2012). Penelitian ini akan fokus pada diskriminasi aroma kopi robusta Indonesia dari dua asal daerah yang berbeda, diproses dengan metode pengolahan basah (wet process) dan pengolahan kering (dry process), serta suhu roasting yang divariasi,
dengan menggunakan
electronic nose. Penentuan derajat roasting
dilakukan dengan uji warna. Hasil diskriminasi aroma dengan e-nose kemudian dikorelasikan dengan hasil analisa GCMS, sehingga dapat diperoleh suatu instrumen uji aroma yang cepat dan akurat. I.2. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah yang dirinci pada penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana pengaruh variasi suhu roasting dan metode pengolahan pascapanen terhadap aroma kopi.
2.
Bagaimana diskriminasi aroma kopi robusta variasi suhu roasting menggunakan e-nose dengan menerapkan teknik prapemrosesan dan ekstraksi ciri sinyal respon e-nose sehingga menghasilkan varian yang jelas pada plot PCA.
3.
Bagaimana korelasi analisa GCMS dengan hasil diskriminasi aroma kopi robusta menggunakan e-nose.
4
4.
Bagaimana analisa sensor-sensor pada e-nose yang memberikan kontribusi terbesar terhadap diskriminasi aroma kopi robusta.
I.3. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui pengaruh suhu roasting, jenis biji kopi, dan metode pengolahan pascapanen terhadap aroma kopi
2.
Melakukan diskriminasi aroma kopi robusta variasi suhu roasting menggunakan e-nose dengan menerapkan teknik prapemrosesan dan ekstraksi ciri sinyal respon e-nose sehingga menghasilkan varian yang jelas pada plot PCA
3.
Mengorelasikan hasil analisa GCMS dengan hasil diskriminasi aroma kopi robusta menggunakan e-nose.
4.
Melakukan analisa, sensor apa saja pada e-nose yang yang memberikan kontribusi terbesar terhadap diskriminasi aroma kopi robusta.
I.4. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1.
Pengembangan ilmu pengetahuan mengenai instrumen analisa bahan pangan, khususnya kopi.
2.
Dapat diperoleh instrumen untuk identifikasi cepat (rapid identification) aroma kopi.
I.5. BATASAN MASALAH 1.
Identifikasi aroma kopi dengan menggunakan e-nose pada penelitian ini difokuskan pada metode penanganan sampel dan pengolahan data sinyal keluaran. Tidak dilakukan optimasi dari segi perangkat keras.
2.
Tidak diteliti secara detail komposisi senyawa yang ada pada kopi robusta. Hasil uji dengan GCMS digunakan untuk mengetahui senyawa aromatik
5
pada kopi secara keseluruhan kemudian dikorelasikan dengan hasil pengujian menggunakan electronic nose. I.6. KEBAHARUAN Berdasarkan hasil kajian ulang terhadap beberapa makalah terkait electronic nose untuk uji aroma kopi, penelitian ini mengandung kebaruan dalam hal jenis sampel dan instrumen yang digunakan. Penelitian – penelitian sejenis telah dilakukan dengan jenis kopi arabika, kopi arabika khusus (specialty coffee), kopi Luwak dan kopi campuran, serta kopi yang sudah diseduh menjadi Espresso. Sedangkan pada penelitian ini akan diteliti kopi sangria (roasted coffee) jenis robusta Indonesia, yang banyak digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Instrumen
electronic
nose
yg
digunakan
merupakan
instrumen
yang
dikembangkan oleh jurusan Fisika, UGM, dengan delapan larik sensor gas berbasis sensor oksida logam (Metal Oxide Sensor, MOS) produksi Figaro.