BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi pemasaran berbagai produk
minuman kemasan. Menurut Triyono, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) dalam Gustiawati (2013), alasan perusahaan-perusahaan tersebut tertarik untuk berjualan minuman ringan di Indonesia karena melihat pangsa pasar minuman sangat bagus dengan populasi penduduk yang banyak sehingga dari segi konsumsi pun besar, selain itu juga daya beli dan pola hidup masyarakat yang meningkat juga menjadi dasar perusahaan-perusahaan tersebut memilih Indonesia. Mereka tergiur untuk menikmati gurihnya kue industri makanan dan minuman yang nilainya lebih dari Rp 700 triliun (Triyono dalam Ria, 2013). Dari nilai tersebut rupanya separuh lebih dimiliki oleh industri minuman ringan. Minuman ringan adalah minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan atau bahan tambahan lainnya baik alami atau sintetis yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi (Cahyadi, 2008). Seluruh jenis minuman kemasan non alkohol yang ditemui di lokasi perbelanjaan dapat diketegorikan sebagai minuman ringan, termasuk minuman berkarbonasi. Di kelas ini, pertarungan sengit terjadi untuk memperebutkan Rp 500 triliun (Palupi, 2009). Wajar saja jika berbagai brand terus bermunculan untuk berlomba-lomba merebut pasar. Kemunculan sekian banyak brand tersebut tentu membuat persaingan menjadi semakin meluas, tak hanya persaingan dalam satu kategori minuman saja. Minuman isotonik tak hanya bersaing dengan minuman isotonik lainnya, minuman bersoda tak hanya bersaing dengan minuman bersoda lainnya. Tidak menutup kemungkinan minuman isotonik bersaing dengan minuman bersoda, atau bahkan bersaing dengan susu cair siap minum. Seorang konsumen yang haus setelah berolahraga bisa saja
1
meletakkan pilihannya pada susu cair siap minum meskipun sewajarnya dia memilih minuman isotonik untuk menggantikan cairan tubuhnya yang hilang. Oleh karena itu, harus ada kekuatan tersendiri untuk berlomba-lomba ”menunjukkan diri” agar dapat menjadi pilihan konsumen. Kekuatan brand-lah yang menjadi senjata untuk dapat memenangkan persaingan tersebut karena meskipun kualitas produk memiliki nilai tambah, kekuatan brand yang berada di tataran mindset konsumen memiliki porsi lebih besar. Brand sebagai kosmetik mampu memainkan pemikiran konsumen dan membuat sebuah produk lebih unggul dari produk lain sehingga perusahaan pemilik brand haruslah jeli dalam mengelola brandnya. Berbagai strategi pun diterapkan untuk memastikan brand mereka tetap eksis dan menjadi pilihan konsumen. Strategi tersebut dapat berupa spesialisasi yang hanya memegang kendali penuh atas satu produk seperti yang dilakukan oleh Pocari Sweat. Pocari Sweat mengukuhkan dirinya sebagai minuman isotonik, dan tetap konsisten dengan asosiasi tersebut. Tidak ada brand ataupun produk lain yang diciptakan untuk memperluas pasar. Konsumen pun hanya mengenal Pocari Sweat sebagai minuman isotonik. strategi lain yang menjadi pilihan adalah diversifikasi, sebuah strategi memperluas portfolio untuk memperluas pasar. Keller (1998) memberikan istilah brand extension untuk strategi diversifikasi ini dan membaginya menjadi dua kategori yaitu line extension dan category extension. Line extension berlaku ketika perusahaan yang melakukan diversifikasi hanya dalam tataran sort, dengan memperbanyak variasi rasa produk seperti Freshtea yang menciptakan Freshtea Green, Freshtea Markisa, Freshtea Jasmine dan berbagai rasa lainnya. Sementara category extension berlaku ketika terdapat produk baru dalam satu brand induk. Strategi ini dilakukan oleh Lifebuoy. Lifebuoy yang sebelumnya hanya memiliki produk sabun mandi, kini memperluas pasar dengan menciptakan sampo Lifebuoy. Secara ekstrim ABC juga telah sukses melakukan ekstensi yang pada awalnya produk ABC hanyalah batu baterai kini menciptakan kecap ABC, sirup ABC, mie instan dan berbagai produk lainnya. Ekstensi yang dilakukan ABC dikatakan ekstrim dan sukses karena ABC
2
mengekstensi brandnya melalui produk baru yang jauh berseberangan dengan kategori batu baterai, padahal secara teori akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin ekstensi dapat berhasil jika produk baru yang diciptakan memiliki portofolio yang terlalu jauh dari produk awal (Trump dalam Sexton, 2009). Strategi brand extension tersebut tak selamanya berhasil. Kegagalan dalam menjalankan strategi ini pernah dialami oleh Harley Davidson yang berusaha mengekstensi brandnya dengan menciptakan produk rokok. Sama halnya dengan yang dihadapi Aqua saat meluncurkan Aqua Splash of Fruit. Air mineral dengan rasa buah ini didaulat untuk mengekstensi Aqua. Pada awal peluncurannya Aqua Splash of Fruit mendapat sambutan positif, tetapi semakin lama produk ini tidak dapat bertahan dan kemudian hilang dari pasar. Konsumen yang selama ini sudah terasosiasi sangat kuat dengan Aqua sebagai air mineral tanpa rasa yang dapat diminum setiap saat sebagai pengganti air putih tidak dapat menerima jika Aqua berubah, tidak seperti yang mereka pikirkan selama ini. Setelah berhasil bersaing dengan Pocari Sweat sebagai first mover dalam kategori minuman istonik dan menguasai hampir sebagian pasar minuman isotonik dengan rata-rata top brand index mencapai 40%, Mizone melakukan gebrakan dengan mengambil strategi brand extension. Alih-alih mencoba merebut pasar Pocari Sweat yang selalu menjadi kampiun karena mutlak menguasai separuh pasar untuk kategori minuman isotonik, Mizone lebih memilih untuk mengambil resiko dengan taruhan nama besar brand Mizone demi memperluas pasar mereka. Pada tahun 2014 Mizone menghadirkan Mizone Fres’in. Berbeda dengan Mizone sebagai minuman isotonik, Mizone Fres’in bukanlah minuman isotonik. Produk tersebut dijanjikan mampu memberikan kesegaran berbeda. Di awal kehadirannya, Mizone Fres’in hadir dalam 2 varian yaitu Juicy Strawberry dan Crispy Apple. Terobosan yang dilakukan oleh Mizone tersebut cukup mencengangkan karena selama ini upaya branding yang dilakukan adalah membangun mindset konsumen bahwa Mizone adalah minuman isotonik yang mampu mengembalikan
3
pikiran dan semangat konsumen dalam menjalani aktifitas menjadi 100%. Kini konsumen telah terasosiasi dengan brand Mizone sebagai minuman isotonik, terbukti dari hasil top brand award yang senantiasa mencantumkan brand Mizone sebagai top brand untuk kategori minuman isotonik di bawah Pocari Sweat selama lima tahun terakhir. Sesungguhnya brand extension sangat menarik dan efektif untuk menjauhkan perusahaan dari ancaman kegagalan produk karena brand extension menyediakan cara untuk mengambil keuntungan dari ketenaran nama brand induk untuk meminimalisir resiko dalam memasuki pasar baru, brand extension juga menekan biaya promosi (Morein dalam Keller & Aaker, 1990), namun strategi ini sangat beresiko. Jika tidak berhati-hati maka dapat merusak nama besar brand induk. Hasil dari penerapan strategi ini juga sulit diprediksi karena menyangkut asosiasi dalam benak konsumen yang sudah melekat sebelumnya. Ancaman resiko yang membayangi brand pendahulu juga membayangi Mizone. Bisa saja Mizone akan bernasib sama seperti yang pernah dialami oleh Aqua. Asosiasi minuman isotonik yang sangat kuat melekat dengan Mizone membuat Mizone tidak mampu mempopulerkan Mizone Fres’in. Konsumen Mizone sudah memiliki pengalaman dan sudah sangat terbiasa dengan Mizone sebagai minuman isotonik sehingga tidak dapat menerima jika harus dihadapkan pada Mizone yang bukan minuman isotonik. Mengingat pengalaman dan kebiasaan sangat berpengaruh pada bagaimana seseorang memilih, menginterpretasikan atau menahan pesan (Ruben, 1992:135) dan sangat sulit untuk mengubah kebiasaan itu. Padahal Mizone sudah menjadi brand yang ‘mapan’ dan untuk mencapainya bukanlah hal yang mudah. Mizone juga telah mengeluarkanRp 250 miliar di tahun 2011 (Sumaryati, 2011) untuk melakukan belanja iklan dalam rangka menguatkan brandnya. Atau bisa saja Mizone Fres’in sangat populer, tetapi mengambil ceruk Mizone karena konsumen menganggap tidak ada perbedaan diantara keduanya sehingga terjadi kanibalisasi.
4
B.
Rumusan Permasalahan Penelitian ini bertujuan untuk melihat sikap konsumen terhadap kehadiran
Mizone Fres’in sebagai brand extension Mizone. Sikap konsumen sangatlah penting dalam mengelola sebuah brand karena sikap konsumen merupakan penentu akhir kesuksesan brand tersebut. Segala upaya yang dilakukan untuk membentuk, mengelola maupun memasarkan sebuah brand akan menjadi sia-sia jika konsumen menolak kehadiran brand tersebut. Dengan demikian, berdasar latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, rumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Bagaimana sikap konsumen terhadap kehadiran Mizone Fres’in sebagai brand extension Mizone?”
C.
Tujuan Hadirnya Mizone Fres’in dalam industri minuman di Indonesia sangatlah
menarik untuk disimak. Hal ini dikarenakan konsumen telah terbiasa dengan asosiasi minuman isotonik. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Mengetahui sikap konsumen terhadap kehadiran Mizone Fres’in sebagai brand extension dari Mizone. 2. Mengetahui peluang Mizone Fres’in untuk dapat berkembang di industri minuman Indonesia. 3. Memperkaya khasanah kajian tentang manajemen brand, khususnya fenomena ekstensi brand.
D.
Manfaat Melalui penelitian ini dapat diperoleh beberapa manfaat: 1. Setelah mengetahui sikap konsumen terhadap kehadiran Mizone Fres’in (non isotonik) sebagai brand extension dari Mizone yang selama ini telah dikenal sebagai minuman isotonik, Mizone dapat menilai dan mengevaluasi keberhasilan terobosan yang sedang dilakukan.
5
2. Dapat digunakan sebagai early warning untuk merumuskan strategi baru jika sikap konsumen menunjukkan adanya penolakan terhadap Mizone Fres’in dan membahayakan brand induk.
E.
Objek Penelitian Penelitian ini berada di ranah audiens dan berusaha meneliti sikap konsumen
terhadap kehadiran Mizone Fres’in (non isotonik) sebagai brand extension dari Mizone yang terasosiasi dengan kuat sebagai minuman isotonik. Peneliti mencoba melihat sikap konsumen setelah mendapat paparan produk baru dengan spesifikasi berbeda dalam brand yang sama. Konsumen diharapkan dapat memberikan reaksi positif atas kehadiran Mizone Fres’in dalam industri minuman di Indonesia sebagaimana reaksi yang diberikan kepada Mizone Isotonik. Sikap tersebut cukup sulit ditebak karena selama ini konsumen sudah terbiasa dengan Mizone sebagai minuman isotonik. Tidak menutup kemungkinan konsumen menganggap Mizone tidak konsisten dan kemudian menolak Mizone Fres’in sehingga upaya ekstensi menjadi gagal.
F.
Kerangka Teori
1.
Brand extension Brand merupakan aset vital dalam sebuah bisnis, tak heran jika berbagai
brand besar yang sudah terkenal saling berinovasi untuk mengelola brand mereka demi memastikan agar brand mereka tetap berada di puncak kejayaan. Lars-Haue (2004) menjelaskan urgensi brand dalam menarik konsumen melalui sebuah bagan. Lars menjeaskan bahwa tidak hanya dibutuhkan produk saja untuk membentuk nilai yang kuat. Dibutuhkan adanya pengelolaan brand dengan segala atributnya agar mampu meningkatkan konsumsi dan meraih konsumen lebih banyak. Semakin pengelolaan brand tersebut baik, maka akan semakin tinggi nilai brand mereka dan semakin tinggi pula tingkat partisipasi konsumen dalam mengonsumsi sebuah
6
produk. Jika ingin mendapatkan hasil tertinggi, maka produsen harus menanamkan nilai-nilai tertentu dalam brand mereka sehingga nilai tersebut menjadi sebuah keyakinan di dalam diri konsumen. Dengan demikian hal tersebut akan lebih kuat mengikat loyalitas konsumen.
Gambar 1.1 Values of The Brand. Sumber: Pedersen, Lars-Haue. (2004, Oktober). Why is Branding so Important? FIBA Assist Magazine. Hlm 47. Dalam topik manajemen brand, terdapat konsep brand extension yang harus dipahami oleh pembelajar maupun praktisi. Brand extension adalah sebuah cara untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis dengan menggunakan kemapanan sebuah brand terkenal untuk meluncurkan produk baru dalam kategori berbeda, strategi ini digunakan ketika sebuah perusahaan sudah merasa yakin dengan kekuatan brand miliknya untuk memperkenalkan produk baru (Keller, 1998). Brand pendahulu yang menciptakan brand baru disebut parent brand. Sementara brand ciptaannya disebut sub brand. Konsep ini sangat sering digunakan oleh brand-brand terkenal untuk memperluas koverasi pemasaran. Donald Trump dalam Sexton (2009:153) juga menyatakan hal senada: ”Brand extension are one means for growing your business, using your carefully built brand equity to move into new product or service areas”. Trump menambahkan bahwa
7
untuk melakukan ekstensi pada sebuah brand, seorang praktisi harus menemukan atribut yang terasosiasi dengan brand induk. Jika tidak, maka ekstensi pada brand tidak akan berhasil. Meski demikian, brand yang menjadi ekstensi tidak harus selalu memiliki konsumen yang selalu sama dengan brand induk. Penerapan salah satu strategi dalam mengelola brand ini juga sering terjadi di Indonesia. Sebut saja Lifebuoy, brand yang cukup terkenal dengan produk sabun mandi batang ini mengekstensi brandnya dengan menciptakan sampo. Faber Castell yang sudah mantap dengan produk pensil juga melakukan hal yang serupa dengan menciptakan penghapus, penggaris dan alat tulis lainnya. Dewasa ini penerapan brand extension sangat gencar dilakukan oleh brand papan atas di kategori alat elektronik seperti Acer dan Lenovo. Kedua brand tersebut sudah sangat terkenal dengan produk laptop dan netbook, tetapi mereka tak cukup puas hanya menjadi kampiun di satu kategori, saat ini keduanya melakukan ekstensi dengan menciptakan smartphone. Konsep brand extension berbeda dengan brand augmentation. Brand extension adalah penciptaan sebuah produk baru dalam satu brand induk, sehingga dapat ditemukan produk yang berbeda kategori, wujud maupun manfaatnya. Sementara brand augmentation adalah upaya untuk memberikan dorongan kepada brand agar terhindar dari titik tertinggi kematangan melalui kemasan, baru, promosi, maupun asosiasi baru (Cheverton, 2004). Dengan demikian upaya augmentasi dilakukan pada produk yang sama, perodusen hanya menginovasi dan memberikan ”formula” khusus kepada produk tersebut. Seperti Coca-Cola yang aktif meremajakan produknya melalui iklan-iklan baru dan kemasan ukuran baru sehingga Coca-Cola terhindar dari titik tertinggi kematangan produk yang kapan saja dapat menemui fase penurunan (decline). Hal serupa juga dilakukan oleh Pepsodent yang senantiasa gencar melucurkan kampanye sosial bersama Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
8
Brand extension juga berbeda tipis dengan product extension. Product extension adalah strategi menempatkan nama brand yang sudah mapan pada produk baru yang ada di kategori yang sama (Hirsh, 2004). Seperti contoh Susu Ultra yang mengekstensi produknya melalui Ultra Low Fat untuk menjangkau konsumen yang ingin menjauhi gula untuk menjaga bentuk tubuhnya. Brand extension bukanlah produk yang membentuk sebuah brand. Penghapus Faber Castell tidak membentuk brand baru, tetapi memiliki soul yang sama dengan pensil Faber Castell, hanya produk dan manfaat produk yang berbeda. Meskipun demikian, perusahaan Faber Castell harus benar-benar jeli dalam menyampaikan produk baru mereka karena konsumen yang sudah terbiasa dan terasosiasi kuat dengan pensil Faber Castell tidak akan mudah menerima pesan baru yang dibawa oleh penghapus Faber Castell. Kendati demikian, asosiasi yang terlalu kuat hendaknya dihindari karena akan menjadi bumerang bagi brand itu sendiri. Asosiasi yang terlalu kuat akan membentuk pemikiran statis sehingga konsumen tidak bisa menerima kehadiran produk baru. Seperti yang pernah terjadi dengan Aqua. Aqua selama ini hanya memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK), atau biasa disebut air mineral dan konsumen telah terasosiasi dengan kuat bahwa Aqua adalah brand air mineral tanpa rasa yang dapat diminum setiap saat sebagai pengganti air putih. Kemudian Aqua menciptakan Aqua Splash of Fruit, sebuah air mineral dengan rasa buah yang dikemas dalam kemasan botol 330 ml. Sebenarnya kehadiran Aqua Splash of Fruit cukup menarik karena di masanya, kehadiran minuman dengan rasa masih belum se-variatif sekarang. Terlebih didukung botol yang handly, tidak terlalu besar sehingga sangat mudah dibawa kemanapun. Produk ini pun cukup booming ketika pertama dipasarkan, tetapi semakin lama Aqua Splash of Fruit tidak mampu bertahan dan menghilang dari pasar minuman meskipun Aqua telah melakukan promosi yang cukup gencar. Secara ekstrim dapat dikatakan Aqua Splash of Fruit adalah produk gagal.
9
Fenomena kegagalan Aqua tersebut dapat dipahami karena asosiasi air mineral tanpa rasa, sangat bahkan terlalu kuat melekat dalam ”diri” Aqua. Konsumen tidak dapat menerima keberadaan Aqua Splash of Fruit karena tidak seharusnya Aqua memiliki rasa. Jika ada air minum dengan rasa, maka air minum itu bukan Aqua. Respon positif yang sempat diberikan oleh konsumen di awal kehadiran Aqua Splash of Fruit hanyalah euforia sesaat ketika mengetahui adanya sesuatu yang baru dan kemudian mundur teratur setelah mengetahui sesuatu yang baru tersebut adalah sesuatu yang tidak semestinya. Keller (1998) memetakan keuntungan besar yang dapat diperoleh dari penerapan strategi brand extension yaitu strategi ekstensi dapat memfasilitasi penerimaan konsumen terhadap produk baru. Produk yang baru saja lahir membutuhkan dorongan kuat agar tetap bertahan di pasar. Diperlukan usaha lebih untuk memperkenalkan produk tersebut kepada konsumen. Upaya tersebut akan menjadi sangat sulit bagi pendatang baru karena pasar industri minuman sudah dipenuhi oleh berbagai perusahaan ternama yang sudah sangat berpengalaman. Adanya strategi ekstensi ini dapat memberi kekuatan kepada produk baru agar mudah mendapat tempat di hati konsumen. Kekuatan ini berasal dari ketenaran parent brand yang disalurkan kepada sub-brand, layaknya seorang presiden yang mengangkat ketenaran putranya agar bisa menduduki posisi vital dalam pemerintahan. Kekuatan parent brand dalam mengawal sub-brand akan meminimalisir kemungkinan salah terima oleh konsumen karena konsumen sudah sangat mengenal brand induknya. Dengan demikian tidak perlu upaya yang sulit dengan pertaruhan biaya besar untuk membentuk kesan dan memperkenalkan produk baru itu. Pola distribusi produk baru tersebut pun akan dengan sangat mudah dalam menjajaki pasar. Seorang anak presiden tidak perlu melakukan branding atas dirinya, karena segala kesan tentangnya sudah terlebih dahulu dibentuk oleh orangtuanya. Otomatis dia akan dihormati oleh masyarakat sebagaimana masyarakat menghormati ayahnya. Akses untuk menduduki posisi vital dalam pemerintahan juga bukan menjadi hal
10
yang sulit baginya karena pada dasarnya posisi itu sudah disediakan oleh orangtuanya. Keuntungan tersebut tak hanya dirasakan oleh ’si anak’. Parent brand juga memperoleh timbal balik atas kelahiran anaknya. Kehadiran sub-brand akan semakin memperjelas posisi parent brand melalui kejelasan posisi dan image-nya. Silverqueen melalui beberapa ekstensinya yang juga memiliki core coklat akan semakin memperjelas posisi dan image Silverqueen sebagai perusahaan coklat. Tak hanya itu, hadirnya sub-brand akan membawa konsumen baru bagi parent brand dan semakin memperluas pasar sehingga semakin menguatkan brand mereka dan menghindarkan parent brand dari siklus kemunduran. Seorang anak presiden yang sukses di pemerintahan akan mengharumkan nama orangtuanya dan semakin mempertegas keberhasilan presiden baik sebagai pemimpin negara karena telah melahirkan generasi yang mampu membawa negara ke arah yang lebih baik, maupun sebagai orangtua yang telah berhasil mendidik anaknya. Pada dasarnya strategi dijalankan untuk memperoleh keuntungan tertentu, tetapi tetap akan ada kerugian yang membayangi strategi tersebut. Salah langkah sedikit saja dapat membawa kerugian besar. Bahkan sebuah brand besar dapat salah langkah dalam menerapkan strategi dalam mengelola brandnya. Sub-brand yang ’goyah’ dapat membingungkan konsumen, membuat konsumen tidak dapat memetakan posisi parent brand. Semakin lama kegoyahan itu akan berubah menjadi kegagalan. Kegagalan tersebut sangat berbahaya karena dapat mengaburkan posisi parent brand. Image yang telah dibangun selama ini oleh parent brand juga dapat rusak. Sebagai contoh, seorang konsumen kecewa dengan smartphone yang diciptakan oleh Acer. Bisa saja kekecewaan itu akan merusak kepercayaan konsumen terhadap laptop Acer, padahal selama ini produk laptop yang dimiliki oleh Acer digadang sebagai produk yang baik. Tidak menutup kemungkinan pula sub-brand sukses di pasar, tetapi tetap membahayakan parent brand karena pangsa pasar parent brand turut dirambah oleh
11
sub brand. Kondisi ini disebut sebagai brand cannibalism. Atau sub-brand sukses di pasar, tetapi menjatuhkan parent brand. Hal ini bisa disebabkan adanya pemujaan berlebihan terhadap sub-brand dianggap jauh lebih memberikan kepuasan dan manfaat jika dibandingkan dengan parent brand. Strategi ekstensi ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi dapat memberikan keuntungan yang begitu besar, tetapi di sisi lain juga dapat menjatuhkan hingga sejatuh-jatuhnya.
2.
Sikap (attitude) Sikap merupakan ungkapan perasaan tentang suka atau tidak suka terhadap
suatu objek. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Schiffman and Kanuk (1994: 240), ”attitudes are an expression of inner feelings that reflect whether a person is favorably or unfavorably predisposed to some object (e.g., a brand, a service)”. Sikap yang dimiliki oleh seorang individu sangatlah mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh individu tersebut. Idealnya jika seorang individu bersikap menolak sebuah objek maka dia akan menjauhi objek tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika seorang individu menyukai sebuah objek maka dia akan berupaya untuk senantiasa dekat dengan objek tersebut. Sikap merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka, dengan kata lain sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek (Efendi dan Makhfudli, 2009: 103). Konsep sikap berbeda dengan konsep respon, seperti yang dikatakan oleh Eilers (1995) bahwa respon diungkapkan melalui persepsi, sikap dan perilaku. Jadi sikap adalah salah satu cara untuk merespon suatu objek. Sikap konsumen menduduki posisi vital dalam pengelolaan brand karena bagaimana konsumen bersikap akan menentukan bagaimana sebuah brand akan hidup. Akan menjadi sia-sia seluruh upaya yang dilakukan perusahaan dengan
12
taruhan uang yang tidak sedikit dalam membentuk, membangun dan mengelola brand mereka jika pada akhirnya konsumen bersikap menolak. Solomon (2011: 283) memperkenalkan tricomponent model atau model sikap ABC (ABC model of attitudes) untuk mengetahui sikap seseorang. Dalam model sikap ABC tersebut, sikap memiliki tiga komponen yaitu: a.
Affect (Afektif) Afektif menggambarkan perasaan atau emosi seseorang terhadap suatu objek sikap. Perasaan tersebut merujuk pada penilaian apakah objek tersebut baik atau buruk. Perasaan terebut juga menggambarkan preferensi seseorang terhadap suatu objek. Bagaimana suatu objek disukai atau tidak disukai. Perasaan yang diberikan individu terhadap objek sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh individu tersebut. Seperti contoh, seorang wanita lahir di lingkungan keluarga pelukis. Dia memiliki perasaan suka terhadap sebuah lukisan abstrak. Berarti dia memberikan perasaan positifnya kepada lukisan abstrak tersebut sebagai objek sikap. Penilaian itu sangat dipengaruhi oleh nilai dalam pribadinya yang sudah terbiasa bersinggungan dengan lukisan abstrak. Dalam konteks sikap konsumen, komponen afektif melihat bagaimana konsumen memberikan perasaan dan penilaiannya kepada suatu brand. Jika ingin melihat perasaan atau emosi konsumen terhadap Kapal Api, maka variabel yang disajikan bukanlah variabel atribut seperti warna, dan kemasan, tetapi apakah Kapal Api memuaskan atau mengecewakan, apakah memberikan kebanggaan prestis ketika mengonsumsinya atau memalukan. Sama halnya dengan melihat perasaan konsumen terhadap suatu produk smartphone Sony Xperia Z. Instrumen yang disajikan langsung merujuk kepada keseluruhan produk tersebut, apakah produk tersebut canggih atau kuno, mewah atau sederhana, baik atau buruk.
b. Behavioral atau Konatif
13
Komponen konatif adalah komponen sikap yang membawa individu untuk bertindak atau kecenderungan seseorang untuk bertindak. Seperti contoh yang diberikan dalam poin afektif, seorang wanita pecinta lukisan abstrak jika dia berada di sebuah penjualan lukisan abstrak maka dia akan bereaksi dan berpotensi untuk melakukan sesuatu. Bisa jadi wanita tersebut hanya memuji atau bereaksi lebih aktif dengan ingin memiliki dan berusaha membeli salah satu lukisan tersebut. Komponen konatif dalam riset konsumen ini mengungkapkan kecenderungan konsumen dalam melakukan pembelian, apakah konsumen tersebut akan melakukan pembelian atau tidak. Di sinilah keberhasilan perusahaan dalam menyampaikan pesan kepada konsumen berada di posisi satu langkah sebelum finish. Jika komponen ini mengarah ke arah positif maka upaya untuk membangun atau mengelola merek akan mendapatkan titik terang. Jika sikap positif ini kemudian membentuk perilaku membeli, maka perusahaan dapat dikatakan sukses menyampaikan pesannya kepada konsumen. c.
Cognitive (Kognitif) Sikap tidak hanya dinilai dari perasaan dan kecenderungan bertindak, tetapi juga pengetahuan individu tentang objek sikap. Komponen kognitif melibatkan pengetahuan dan persepsi individu terhadap suatu objek sikap. Komponen ini menjelaskan seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki oleh individu, sebagai modal individu tersebut untuk bertindak. Pengetahuan yang dimiliki oleh individu tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti informasi yang beredar di masyarakat, media, edukasi yang berasal dari lingkungan keluarga, buku bacaan, maupun pengalaman pribadi dengan objek sikap tersebut. Seorang wanita pecinta lukisan abstrak yang lahir dari keluarga pelukis akan memiliki banyak pengetahuan baik dari keluarganya, pengalaman pribadi, maupun dari upaya wanita tersebut mencari literatur sehubungan dengan lukisan abstrak kegemarannya. Dari modal pengetahuan tersebut, wanita itu memiliki
14
kepercayaan bahwa lukisan abstrak adalah karya yang memiliki nilai seni tinggi dan dia akan berpikir rasional serta selektif dalam memilih lukisan terbaik untuk dijadikan sebagai koleksi. Dari model sikap ABC Solomon tersebut dapat dilihat kompleksitas proses yang terjadi pada diri manusia sebelum pada akhirnya manusia tersebut memutuskan untuk memberikan suatu sikap dalam merespon objek. Meskipun di dalamnya terdapat tiga komponen yang berbeda, hendaknya tetap menjadikan komponen tersebut menjadi satu kesatuan karena ketiga elemen tersebut saling berhubungan. Seorang konsumen tidak melakukan pembelian jika dia tidak menyukai dan tidak memiliki pengetahuan apapun tentang produk yang akan dibeli. Pembelian juga tidak akan terjadi jika dia memiliki pengetahuan, tetapi tidak menyukai produk tersebut. Kendati saling berhubungan, tidak dapat dilihat komponen mana yang akan muncul pertama karena ketiganya berpotensi untuk muncul di awal proses ini. Akan ada kesempatan dimana komponen konatif akan muncul pertama ketika seorang konsumen ingin membeli sebuah kamera DSLR, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk memilih produk mana yang akan dipilih. Kemudian dia mencari pengetahuan tentang beberapa brand kamera DSLR (terjadi proses kognitif) yang membawa afektif nya menyukai salah satu diantara beberapa brand tersebut dan akhirnya terjadilah pembelian. Akan ada pula proses kognitif muncul pertama kali, saat seorang konsumen terpapar iklan maupun edukasi lainnya dari media kemudian menyukai produk tersebut dan akhirnya memutuskan untuk membeli. Dapat dikatakan bahwa, momen kemunculan komponen tersebut dapat berbeda tergantung pada situasi. Untuk menjelaskan situasi yang berbeda ini, Solomon membaginya ke dalam tiga kategori yang disebut hirarki efek (hierarchies of effects).
15
Standard Learning Hierarchy Cognition
Affect
Behavior
Attitude Based on cognitive information processing
Affect
Attitude Based on behavioral learning processes
Low-Involvement Hierarchy Cognition
Behavior
Experimental Hierarchy
Affect
Cognition
Behavior
Attitude Based on hedonic consumption
Gambar 1.2 – Hierarchies of Effects Sumber: Solomon (2011: 283) Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa sikap seorang individu terjadi melalui sebuah proses evaluasi yang berjalan terus menerus, namun proses tersebut tidak selalu melalui fase yang sama. Ada kalanya komponen afektif memulai terjadinya proses pembentukan sikap diikuti oleh konatif yang akhirnya membentuk komponen kognitif. Seperti ketika seorang konsumen pergi ke pusat perbelanjaan, kemudian dia menemukan sepatu cantik dari sebuah brand yang belum pernah didengar sebelumnya. Konsumen tersebut merasa suka (afektif) dan ingin membeli (konatif). Sayangnya diantara rasa ingin membelinya itu terselip keingintahuan tentang kualitas sepatu, kemudian dia mencari tahu dan akhirnya mengambil keputusan untuk membeli karena berdasar informasi yang didapat kualitas sepatu itu baik. Sikap yang muncul dari proses ini dilatarbelakangi oleh pola konsumsi yang cenderung hedonis.
16
Ada kalanya kognisi mengawali proses diikuti konatif seperti ketika seorang konsumen mendapat informasi dari berbagai sumber bahwa sebuah brand laptop mengeluarkan produk terbaru dilengkapi spesifikasi menarik. Tertarik dengan berita yang diperoleh, dia ingin membeli, namun ketika sampai di tempat penjualan ternyata tidak menyukai warna asli laptop tersebut karena berbeda dengan yang tergambar di brosur. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari produk lain. Ada kalanya pula kognisi diikuti afektif baru kemudian konatif. Proses ini terjadi ketika seorang konsumen telah terpapar iklan produk secara terus menerus yang membuat dia memiliki pengetahuan cukup tentang produk tersebut. Akhirnya dia suka dan kemudian memutuskan untuk membeli. Tak menututp kemungkinan ketiga fase ini terjadi secara bersamaan dalam proses panjang. Misalnya, seorang konsumen melihat kemasan produk makanan yang sangat jelek sehingga di matanya produk tersebut tidak layak konsumsi (afektif) sehingga dia sama sekali tidak berminat untuk membeli (konatif). Selang beberapa hari kemudian, perusahaan makanan tersebut gencar mengiklankan produknya (kognitif). Dalam iklan itu, produk digambarkan sebagai makanan ringan enak penuh gizi sehingga menggoyahkan keyakinan konsumen tersebut (konatif). Sedikit tertarik, konsumen itu mencoba mencari tahu lebih dalam tentang seluk beluk makanan ringan itu (kognitif), akhirnya dia ingin membeli (konatif) dan terjadilah proses pembelian (sikap).
3.
Industri minuman Ringan di Indonesia Sektor industri minuman ringan terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Dalam situs resmi milik Agro Kementrian Perindustrian dijelaskan bahwa nilai ekspor industri ini terus meroket bahkan mencapai 100% pada tahun 2012. Seperti yang terlihat dalam diagram berikut:
17
Tabel 1.1 Nilai Ekspor Industri Minuman Indonesia Pertumbuhan industri minuman ringan ini terus melonjak. Lonjakan yang hampir selalu menunjukkan angka dua digit. Berikut pertumbuhan industri minuman ringan di Indonesia hingga tahun 2009: Tabel 1.2 Pertumbuhan Industri Minuman Ringan di Indonesia Tahun
Omset (Rp triliun)
Pertumbuhan (%)
2005
248.87
20.1
2006
326.07
31
2007
383.01
17.5
2008
440
14.9
2009
493
12
Sumber: Palupi, Dyah Hasto. (2009, Februari 19). Pertarungan Elegan Merebut 500 T. Swa, 04/XXV. Hlm 30. Lonjakan pertumbuhan tak hanya berhenti hingga tahun 2009, Kemenperin mencatat terjadi lonjakan sebesar 8% di tahun 2012 dan 11% di tahun 2013. Tak heran jika laju pertumbuhan industri ini sangat cepat karena konsumsi minuman RTD di Indonesia tergolong besar dan terus meningkat setiap tahunnya, dari 13 miliar liter pada tahun 2005 hingga 17,4 miliar liter pada tahun 2008 (Annisa, 2010). Menurut Anastasia Sutadji dalam Mardiani (2014), minuman kemasan ready to drink adalah pasar terbesar kedua dalam minuman setelah air mineral. Adanya pergeseran gaya hidup konsumen yang ingin serba cepat dan praktis memberikan peluang besar bagi
18
perkembangan industri minuman ringan, terutama untuk kategori minuman ringan ready to drink (RTD). Istilah ready to drink digunakan untuk membedakan dengan minuman kemasan lain yang cara penggunaannya harus diolah terlebih dahulu seperti sirup atau minuman berbentuk bubuk. Besarnya angka konsumsi ini bukan serta merta hanya kebetulan saja. Penelitian terdahulu oleh Alamsyah (2011) yang mengukur keterlibatan konsumen ke dalam minuman ringan menunjukkan hasil yang mencengangkan. Rata-rata responden meletakkan minuman ringan dalam penilaian antara penting dan sangat penting. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukan pembelian minuman ringan oleh reponden bukan sekedar aktifitas yang didasarkan pada rutinitas tanpa pertimbangan, melainkan ada tujuan-tujuan tertentu pada setiap aktifitas konsumsi minuman ringan seperti menghilangkan dahaga, mencuci mulut, menambah keakraban, mengganti cairan tubuh, menahan lapar, dan menjaga kesehatan. Alamsyah juga mendapati implikasi minuman ringan adalah produk dengan keterlibatan tinggi yang artinya konsumen melakukan pengumpulan informasi dan pembandingan alternatif sebelum melakukan pembelian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permintaan dan konsumsi minuman ringan sangat tinggi, meski demikian konsumen mampu bersikap selektif dalam memilih. Tingginya permintaan dan nilai yang menjanjikan ini menjadi cambuk tersendiri bagi perusahaan dalam mengelola brandnya dan menciptakan inovasi terkini untuk bertarung memenangkan hati konsumen. Salah satu hasil nyata inovasi perusahaan produsen minuman ringan yang dapat segera dilihat dengan mata telanjang yaitu hadirnya beragam jenis dan brand minuman. Dari seluruh kategori minuman ready to drink, terdapat tiga kategori minuman yang paling laris di pasar Indonesia. Ketiga kategori minuman tersebut adalah jenis air mineral dalam kemasan, minuman jus dan minuman isotonik. Ketiga minuman tersebut persentase pertumbuhannya mencapai mencapai 2 digit, sedang
19
jenis minuman lain persentase kenaikannya masih pada kisaran 1 digit yaitu antara 1%-8% (Triyono, 2013).
G.
Kerangka Konsep Penelitian ini berada di ranah audiens dan berusaha meneliti sikap konsumen
terhadap kehadiran Mizone Fres’in (non isotonik) sebagai brand extension dari Mizone yang terasosiasi dengan kuat sebagai minuman isotonik. Peneliti mencoba melihat sikap konsumen setelah mendapat paparan produk baru dengan spesifikasi berbeda dalam brand yang sama. Dalam penelitian ini peneliti memilih mahasiswa dan first jober dengan rentang usia 19-24 tahun sebagai subjek penelitian (responden). Pemilihan tersebut berdasar pasar Mizone yang menembak segmen generasi muda yang aktif dan dinamis. Melalui berbagai iklannya, Mizone merepresentasikan generasi muda aktif dan dinamis tersebut dengan mahasiswa dan first jober. Persaingan yang begitu ketat dengan tawaran omset bernilai triliunan rupiah membuat setiap perusahaan yang bergerak di industri minuman berupaya sekeras mungkin untuk memenangkan pasar. Berbagai strategi pun dijalankan. Demikian halnya dengan Mizone yang memilih menerapkan strategi brand extension. Penerapan strategi ini dapat mendatangkan keuntungan besar karena dengan strategi ekstensi ini dapat memberi kekuatan kepada produk baru agar mudah mendapat tempat di hati konsumen. Brand extension juga dapat meminimalisir biaya pemasaran dan mempermudah pendistribusian produk baru. Keuntungan tersebut bersifat timbal balik karena parent brand juga dapat merasakan keuntungan tersbeut. Dalam timbal baliknya, kehadiran sub-brand akan semakin memperjelas posisi parent brand melalui kejelasan posisi dan image-nya. Sub-brand juga akan membawa konsumen baru bagi parent brand dan semakin memperluas pasar sehingga semakin menguatkan brand mereka dan menghindarkan parent brand dari siklus kemunduran.
20
Di balik keuntungan besar tersebut, terdapat beberapa resiko yang sangat membahayakan jika perusahaan tidak memiliki konsep yang matang dan tidak berhati-hati dalam menjalankan strategi ini. Tanpa kehati-hatian dan perencanaan yang matang, bisa jadi sub-brand yang dikenalkan kepada masyarakat tidak memiliki pijakan kuat dan kemudian menjadi goyah. Sub-brand yang ’goyah’ dapat membingungkan konsumen, membuat konsumen tidak dapat memetakan posisi parent brand. Semakin lama kegoyahan itu akan berubah menjadi kegagalan dan mengaburkan posisi parent brand. Image yang telah dibangun selama ini oleh parent brand juga dapat rusak. Tidak menutup kemungkinan pula sub-brand sukses di pasar, tetapi tetap membahayakan parent brand karena pangsa pasar parent brand turut dirambah oleh sub brand dan terjadilah brand cannibalism. Terdapat kemungkinan pula adanya pemujaan berlebihan atas sub-brand sehingga parent-brand tidak dapat berkembang. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep model sikap ABC Solomon (Solomon’s ABC model of attitudes) dengan pola standard learning hierarchy sebagai dasar untuk memetakan fenomena penerimaan konsumen terhadap strategi brand extension yang dilakukan oleh Mizone ini. Sikap konsumen yang sudah terbentuk ketika Mizone hanya menghadirkan Mizone isotonik dikejutkan dengan adanya Mizone Fres’in yang berbeda dengan Mizone Isotonik yang selama ini dikenal masyarakat. Kehadiran Mizone Fres’in yang berbeda dengan Mizone sebelumnya membuat pengetahuan tentang brand Mizone tersebut bergeser. Dengan adanya pergeseran tersebut belum dapat diketahui bagaimana komponen afektif konsumen, otomatis tidak dapat diketahui pula konatif maupun sikap akhir (intention to buy) konsumen. Adapun Kerangka konsep ini diilustrasikan dengan gambar sebagai berikut:
21
SIKAP x Cognition Pengetahuan konsumen tentang objek sikap. Objek sikap dalam konsep ini adalah Mizone Fres’in. x Affect Perasaan atau emosi konsumen (rasa suka/tidak suka) terhadap objek sikap. x Behavior Keinginan untuk melakukan pembelian. Gambar 1.3 Kerangka Konsep Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini terdapat satu jenis variabel yaitu variabel sikap konsumen dalam mengahadapi fenomena kehadiran Mizone Fres’in. Untuk mengetahui variabel dari kerangka konsep di atas akan dijelaskan dalam tabel operasionalisasi konsep berikut:
22
(Attitude)
Sikap
Konsep
(behavioral)
Konatif
Afektif (affect)
Perilaku (doing)
dalam
melakukan
konsumen
dalam
melakukan
23
pengulangan pembelian Mizone Fres’in.
x Perilaku
keputusan pembelian Mizone Fres’in.
konsumen
x Perasaan konsumen tentang Mizone Fres’in
(feeling)
x Perilaku
x Perasaan konsumen tentang Mizone.
antara Mizone dan Mizone Fres’in
x Pengetahuan konsumen tentang perbedaan
x Pengetahuan konsumen tentang Mizone Fres’in
x Pengetahuan konsumen tentang Mizone
Indikator
Perasaan
(knowing)
Pengetahuan
Kognitif (cognition)
Dimensi
Variabel
Operasionalisasi Konsep
Tabel 1.3
Interval
Interval
Interval
Skala
H.
Definisi Operasional Definisi perasional adalah pembedahan konsep dan pemberian makna kepada
variabel-variabel tertentu agar bisa diukur dengan rumus statistik. Cara membuat suatu variabel dapat diukur atau cara mengukur variabel ini di satu sisi menjelaskan cara dan ukuran variabel yang diteliti (Prajarto, 2010: 86). Penelitian ini hanya menggunakan konsep sikap konsumen yang diturunkan ke dalam tiga variabel berdasar komponen sikap Solomon: a. Variabel Kognitif Variabel ini menjelaskan pengetahuan konsumen tentang produk ekstensi sebagai komoditi dari brand extension. Dimensi dalam variabel ini adalah pengetahuan (knowing). Indikator dari dimensi ini adalah: -
Pengetahuan konsumen tentang Mizone
-
Pengetahuan konsumen tentang Mizone Fres’in
-
Pengetahuan konsumen perbedaan antara Mizone dan Mizone Fres’in
b. Variabel Afektif Variabel ini menggambarkan perasaan atau emosi seseorang terhadap suatu objek sikap (produk ekstensi). Dimensi dalam variabel ini adalah perasaan (feeling). Indikator dari dimensi ini adalah: -
Perasaan konsumen tentang Mizone.
-
Perasaan konsumen tentang Mizone Fres’in
-
tentang perbedaan antara Mizone dan Mizone Fres’in
c. Variabel Konatif Variabel ini menjelaskan kecenderungan individu melakukan tindakan kepada produk ekstensi. Dimensi dalam variabel ini adalah perilaku (doing). Indikator dari dimensi ini adalah: -
Perilaku konsumen dalam melakukan keputusan pembelian Mizone Fres’in.
24
-
Perilaku konsumen dalam melakukan pengulangan pembelian Mizone Fres’in
I. 1.
Metodologi Penelitian Jenis Penelitian Penelitian ini mencoba untuk mengetahui respon konsumen terhadap
kehadiran Mizone Fres’in. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang mampu menjeneralisasi
gambaran
tentang
respon
tersebut
dibutuhkan
penelitian
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis deskriptif. Metode
deskriptif
adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang (Sudjana dan Ibrahim, 1989:65). Sementara metode survei adalah metode tepat yang dianggap mampu menjawab pertanyaan dalam penelitian ini karena survei mampu membaca fenomena sosial secara umum. Penelitian survei adalah bentuk pengumpulan data menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada sekelompok orang, respon dari sekelompok orang tersebut memungkinkan peneliti untuk mengambil kesimpulan mengenai keseluruhan kategori orang-orang yang diwakili responden (Turner&West, 2008: 79). Penggunaan metode survei deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sikap konsumen dalam menanggapi fenomena deversifikasi brand yang dilakukan oleh Mizone melalui strategi brand extension dengan menghadirkan Mizone Fres’in. 2.
Lokasi Penelitian Responden dalam penelitian ini adalah pemuda aktif dan dinamis seperti
target konsumen yang dimiliki oleh Mizone. Hal ini dikarenakan target konsumen Mizone Fres’in sama dengan target konsumen Mizone. Pemuda aktif dan dinamis ini diwakili oleh pelajar SMA, mahasiswa atau first jobber dengan usia 18-27 tahun yang sudah pernah mengonsumsi Mizone dan Mizone Fres’in sehingga mampu merasakan perbedaan di antara keduanya.
25
Lokasi penelitian berada di Jakarta untuk mengakomodir responden dengan status first jobber dan Yogyakarta untuk mengakomodir responden SMA dan mahasiswa. Jakarta dan Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian
karena
berdasarkan data statistik provinsi dalam sensus penduduk tahun 2010, kedua kota tersebut dianggap sesuai dan mampu mewakili keadaan konsumen yang sesungguhnya. Hal
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Pekerja Perkotaan 4.650.780 10.991.489 6.819.727 1.095.296 7.995.440 2.851.276 1.195.640 Penduduk Bersekolah 249.786 2.810.229 2.838.226 319.625 4.271.112 707.043 430.038 Angka Partisipasi Sekolah (APS) 16-18 th 70,36% 45,08% 51,02% 75,96% 52,80% 51,39% 63,31% Angka Partisipasi Sekolah (APS) 19-24 th 20,34% 9,29% 10,45% 47,07% 11,59% 11,05% 10,75% Tabel 1.4 Data statistik provinsi di Jawa dan Bali. Diolah dari sumber www.bps.go.id Jakarta memiliki angka partisipasi kerja yang tinggi, masuk dalam 5 besar provinsi dengan angka pekerja tertinggi di Indonesia (www.bps.go.id). Kendati angka partisiasi kerja tersebut tidak lebih tinggi dari Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, namun Jakarta tetap terhitung lebih tinggi lantaran dari perhitungan yang dilakukan yang dilakukan BPS diakumulasi dari seluruh wilayah di provinsi tersebut. Jakarta juga merupakan kota metropolitan, pusat pemerintahan dan pusat industri yang sudah tentu banyak sekali lapangan kerja tersedia. Terlebih lagi, Jakarta masuk dalam kategori 10 provinsi terkaya di Indonesia diatas Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah (www.tataruangindonesia.com). Tak jarang para pencari kerja terutama first jobber menjadikan Jakarta sebagai kiblat harapan dalam mencari kerja.
26
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Jakarta yang tinggi membuktikan bahwa rakyat Jakarta memiliki tingkat pendidikan yang baik. Hal tersebut turut mengindikasikan adanya kecenderungan pekerja di Jakarta bukanlah pekerja kasar. Dalam menyeleksi calon pekerja pun, industri di Jakarta akan melakukan seleksi dengan ketat sehingga kualitas calon pekerja mereka tetap terjaga. Tak seperti Jawa Barat yang meskipun memiliki angka pekerja tinggi, namun APS Jawa Barat sangat rendah sehingga orientasi pekerjaan bagi masyarakat Jawa Barat mayoritas adalah pekerja kasar atau pegawai tingkat rendah. Dengan demikian Jakarta adalah lokasi yang paling tepat untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian yang mampu mengakomodir responden dari kalangan first jobber. Sementara
itu,
Yogyakarta
dipilih
sebagai
lokasi
penelitian untuk
mengakomodir responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Secara statistik jumlah pelajar di Yogyakarta tidak sebanyak di Jawa Barat, Jawa Timur atau Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan luas daerah dan jumlah penduduk yang memang berbeda jauh dan juga dalam sensus yang dilakukan oleh BPS memasukkan pelajar TK, SD dan SMP dalam hitungannya, namun sebagai kota pelajar dan kota pendidikan Yogyakarta memiliki persentase APS tertinggi tak hanya se Jawa, tetapi juga se Indonesia. Angka 75,9% untuk APS 16-18 tahun dan 47% untuk APS 16-18 tahun membuktikan bahwa mayoritas penduduk Yogyakarta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di taraf SMA dan perguruan tinggi. Adapun partisipasi pelajar Yogyakarta saja, tetapi juga diminati oleh seluruh pelajar lulusan SMA dari seluruh daerah di Indonesia. Dengan demikian Yogyakarta adalah lokasi yang paling tepat untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian yang mampu mengakomodir responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
3.
Populasi dan Sampel Populasi adalah kumpulan dari keseluruhan pengukuran, objek atau individu
yang sedang dikaji (Harinaldi, 2005:2). Populasi dalam penelitian ini adalah target
27
pasar Mizone yaitu pemuda rentang usia 18-27 tahun yang menyasar pada pelajar, mahasiswa dan first jober dengan yang tinggal baik sementara ataupun menetap permanen di DI Yogyakarta atau di DKI Jakarta ketika penelitian dilakukan. Adapun jumlah penduduk masih sekolah (pelajar) di DI Yogyakarta berjumlah 319.625 jiwa (www.bps.go.id) dan jumlah pekerja di DKI Jakarta berjumlah 4.650.780 jiwa. Berikut data sensus jumlah pekerja di Jakarta berdasar laporan BPS. Tabel 1.5 Data Jumlah Pekerja DKI Jakarta tahun 2013 Tahun 2013
Pria
Wanita
Jumlah
Pekerja
2.898.980
1.751.800
4.650.780
Sumber: http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2013_05_06_16_04_08 Dengan demikian populasi berjumlah 4.970.405 jiwa. Sampel adalah himpunan dari populasi (Harinaldi, 2005:2), sehingga tidak bersifat menyeluruh dan mengambil beberapa perwakilan yang diharapkan mampu mewakili populasi. Dalam penelitian ini, sampel ditentukan menggunakan rumus Slovin. Rumus ini digunakan untuk menentukan pengukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya (Kriyantono,2007:160): N n= 1 + N (e)2 4.970.405 n= 1 + 4.970.405 (0,1)2 4.970.405 n= 49.705,05 n = 99,998 100
n = Ukuran Sampel
28
N = Ukuran Populasi e = Persentase batas kesalahan. Dalam penelitian ini batas kesalahan adalah 10%. Angka 99,998 akan dibulatkan menjadi 100, sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan 100 orang pemuda usia 18-27 tahun yang sudah pernah mengonsumsi minuman isotonik, pernah mengonsumsi Mizone dan Mizone Fres’in, berstatus pelajar atau mahasiswa yang tinggal di DI Yogyakarta serta first jober yang tinggal di DKI Jakarta.
5.
Metode dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menentukan subjek penelitian dengan metode nonprobability sampling, sebuah metode yang tidak memilih sampel secara acak. Semua anggota populasi belum tentu memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel, disebabkan pertimbangan-pertimbangan tertentu oleh peneliti (Kriyantono, 2007:160). Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria
tertentu
yang
dibuat
peneliti
beerdasar
tujuan
penelitian
(Kriyantono,2007:160). Pemilihan ini dikarenakan tidak semua populasi dapat bersifat representatif untuk mencapai tujuan penelitian. Demikian pula dengan penelitian ini, peneliti memberikan kriteria tertentu untuk menentukan sampel. Kriteria tersebut adalah: mahasiswa atau first jober, sudah pernah mengonsumsi minuman isotonik, pernah mengonsumsi Mizone dan Mizone Fres’in. Kriteria ini menjadi pegangan peneliti karena peneliti ingin meneliti sikap konsumen dalam menanggapi fenomena brand extension untuk brand yang sudah bertahun-tahun menjadi top brand. Sampel yang acuh atau tidak memiliki pengetahuan dan tidak pernah mengonsumsi produk yang menjadi komoditi misi ekstensi ini tidak dapat dijadikan sampel karena tanpa adanya pengetahuan atau pengalaman, proses penyikapan tidak dapat berjalan.
29
5.
Teknik Pengumpulan Data Untuk
pengumpulan
data
baik
primer
maupun
sekunder,
peneliti
menggunakan dua teknik pengumpulan data: a. Data primer, adalah data utama dalam penelitian yang diperoleh langsung dari subjek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada 100 sampel penelitian yang telah ditetapkan berdasar beberapa kriteria kepada mahasiswa atau first jober rentang usia 18-27 tahun di Yogyakarta dan di Jakarta. b. Data sekunder, data penunjang penelitian yang didapatkan dari literatur, seperti buku, jurnal, makalah, artikel, dan sebagainya. 6.
Uji Validitas dan Reliabilitas Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mempu
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesoner tersebut (Ghazali, 2006:45). Uji validitas akan dilakukan dengan mengujicoba kuesioner pada 30 orang menggunakan Pearson Correlation. Dengan jumlah minimal 30 orang, distribusi skor akan lebih mendekati kurva normal (Umar, 2002:110) Reliabilitas adalah alat untuk mengukur kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk, kuesioner ini dikatakan reliabel jika jawaban sampel terhadap pertanyaan adalah konsisten dari waktu ke waktu (Ghazali, 2006:45). Pengujian kuesioner menggunakan teknik Alpha Cronbach.
Zulganef (2006)
menyatakan bahwa suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel jika koefisien Alpha Cronbach lebih besar atau sama dengan 0,70. Mengacu pada pertanyaan tersebut, penelitian ini juga menempatkan nilai batas Cronbach Alpha 0.7 untuk menyatakan reliabilitas kuesioner penelitian.
7.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang akan digunakan adalah analisis deskriptif.
Penggunaan teknik tersebut didasarkan pada alasan dalam penelitian ini hanya
30
menggunakan satu jenis variabel yaitu variabel sikap konsumen dalam menghadapi fenomena kehadiran Mizone Fres’in sehingga analisis dengan statistik deskriptif adalah teknik analisis data yang tepat untuk mendapatkan hasil penelitian yang tepat. 8.
Timeline Penelitian Tabel 1.6 Timeline Penelitian Tanggal
Kegiatan
1-8 September
Penyebaran Uji Kuesioner
9-15 September 2014
Uji Validitas & Uji Reliabilitas
15 September-8 Oktober 2014
Penyebaran Kuesioner
8-25 Oktober 2014
Pengolahan Data
26 Oktober-9 November 2014
Analisis Data
31