BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Menurut Etika Jurnalistik Barat yang sudah disarikan lebih dari seratus
tahun lalu oleh seorang editor dari penerbit Times di London, tugas penting Jurnalistik adalah menyebarkan informasi yang paling tepat dan benar bagi masyarakat (Malik, 1993: 51). Seringkali kita justru menemukan praktek yang berbeda, karena adanya kepentingan dari berbagai pihak seperti pemerintah, pemilik media, maupun orientasi perusahaan media itu sendiri. Akhirnya pers menjadi tidak mudah dipercayai, oleh karena ketiadaan kebenaran maupun ketepatan sebuah berita. Hal ini kerap kali kita temukan ketika peran pers sebagai penyebar informasi akan berbagai peristiwa, khususnya yang berhubungan dengan perempuan. Dikarenakan sistem masyarakat yang cenderung partriarkis, menyebabkan terjadinya bias gender atau kekerasan berbasis gender, yang tidak hanya terjadi dalam kondisi tatap muka, namun juga berupa tulisan, gambar, foto, yang terpublikasikan dalam media massa. Pada saat itulah, media massa ditantang. Apakah media massa akan memenuhi tugas dan peran mereka sebagai alat perjuangan bagi masyarakat tanpa memandang perbedaan, atau sebaliknya menjadi bagian dari pencipta kekerasan tersebut. Faktanya, sebagian besar media nyatanya tidak mampu menjaga citra media massa sebagai alat perjuangan, kontrol, atau memenuhi 9 elemen Jurnalisme yang diungkapkan oleh Bill Kovach dan Tom Ressential. Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media terhadap permasalahan perempuan, terlebih dulu harus
1
diketahui pengertian gender dan perbedaan antara seks dan gender. Banyak yang keliru ketika mengartikan seks dan gender. Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung jawab, baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya, keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke tempat dan adat yang lain, dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial. Manusia memiliki kemampuan untuk mengklarifikasikan lingkungannya melalui simbol yang diciptakan dan dibakukan lewat tradisi serta sistem budayanya. Proses simbolisasi ini terkait dengan sistem tentang yang kita lihat sekarang sebagai “pekerjaan laki-laki” dapat kita lihat juga dikerjakan oleh perempuan dalam sistem budaya lain. Hal dikarenakan kita hidup dalam dominasi sistem budaya yang patriarkhi. Dengan demikian, gender antara berbagai macam masyarakat dapat berbeda. Perbedaan gender (gender differences) sebenarnya tidak masalah ketika tidak menimbulkan ketidakadilan (gender inequality). Menurut Mansour Faqih, gender merupakan atribut yang dilekatkan secara sosial maupun kultural, baik pada laki-laki maupun perempuan. Gender bukan merupakan kodrat, tetapi merupakan konstruksi sosial, budaya, agama, dan ideology tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu sehingga gender sangat tergantung pada nilai-nilai masyarakat dan berubah menurut situasi dan kondisi.1 Gender sebagai suatu konstruksi sosial, yang melahirkan suatu perbedaan, lahir melalui proses yang panjang. Prosesproses penguatan perbedaan gender tersebut, termasuk di dalamnya proses sosialisasi, kebudayaan, keagamaan, dan kekuasaan negara. Proses ini terjadi akibat bias gender sehingga gender di suatu yang esensial, bersifat nature. Selanjutnya, gender mewariskan konsep pemikiran tentang wacana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak yang diwariskan dari 2
generasi ke generasi untuk pembenaran terhadap pembedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan hanya karena perbedaan kelaminnya. Bias gender yang terjadi dalam media massa memperlihatkan adanya ideologiideologi tertentu, yang akhirnya mendasari sebuah media dalam proses peliputan dan pemberitaannya. Seperti yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci, yang melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan tersendiri. “Media sebenarnya dapat memilih untuk berada di posisi memperjuangkan kesetaraan perempuan atau tidak. Media dapat menjadi instrumen membangun kultur dan ideologi dominan bagi kelas dominan atau memposisikan diri menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.” (Sobur, 2006: 30). Selain itu, di jaman emansipasi ini, media di Indonesia telah menyajikan kasus-kasus keberhasilan para perempuan, baik itu sebagai atlet atau bussinesswoman yang sukses. Nyatanya, di balik itu, media justru menyajikan keberhasilan yang (tampak) semu. Emansipasi yang dirilis media merupakan peran dari kekuasaan dalam menginterpretasikan kepentingan penguasa yang tidak lain lagi adalah budaya paternalistik dengan sifat partriarki (Lan, 2002: 24). Maka, di balik kesuksesan perempuan yang disajikan melalui media, terdapat kepentingan laki-laki yang terpenuhi, sehingga menampilkan para perempuan yang tidak mandiri secara total. Meski dalam sebuah pemberitaan, menyajikan perempuan yang berhasil, namun keberhasilan tersebut tampak sangat semu karena menampilkan peran laki-laki di balik keberhasilan tersebut. Hal ini terlihat dalam sebuah cuplikan berita di Surat Kabar Harian KOMPAS, dengan judul, Li Na, Sejarah Baru Tenis China (7 Juni 2011).
3
”Setiap hari saya siap melakukan apa saja untuknya. Tak peduli sebagai pelatih, lawan latih tanding, atau pemungut bola. Apa pun agar dia fokus dengan kariernya,” ujar Jiang. Li gembira dengan kehadiran Mortensen yang mengurangi beban sang suami. ”Dia tak punya waktu mengurus dirinya sendiri. Segalanya untuk saya. Kelak jika pensiun, saya akan menjadi istri yang mengurus suami. Itu balasan saya atas jasanya,” ujar Li yang kini berperingkat 4 WTA. Di balik kemenangan perempuan, ia selalu menyertakan laki-laki di dalamnya, dan media tentunya memiliki pilihan untuk mengutip dari sekian banyak pernyataan yang diungkap oleh Li Na. Pilihan pernyataan Li Na yang dipublikasikan inilah yang akan memperlihatkan bagaimana media memperlihatkan sosok perempuan yang ‘seolah-olah’ mandiri, namun juga semu. Li Na juga mengatakan bahwa kelak jika pensiun, ia akan menjadi istri yang merawat suami. Hal ini seolah-olah menyatakan bahwa selama ini ia tidak merawat suami, konsep merawat suami yang diakui adalah memberikan seluruh hidupnya secara penuh hanya untuk suami dan tidak boleh mengurus hal lain. Ini memperlihatkan perempuan yang didikte oleh kekuasaan di luar diri mereka sehingga menyiksa diri untuk berbuat dan berpikir demikian (baca. mengurus suami) (Lan, 2002: 206). Dalam mitos tersebut perempuan “dipaksa” berdiri dengan dua kaki yang berpijak pada dua dunia yang berbeda, yaitu publik dan domestik. Sementara kaum laki-laki meninggalkan kaum perempuan dalam kerumitan dua dunia yang berbeda (Lan, 2002: 205). Demikian pula yang diungkapkan oleh Sihite dalam bukunya Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, 4
Sejak dini anak perempuan disosialisasikan bertindah lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif, bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. Karakteristik tersebut terinternalisasi begitu kuat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted dan membawa implikasi luas yang mencerminkan posisi perempuan yang lebih subordinat sedangkan laki-laki lebih superior (Sihite, 2007: 230-231). Hal ini dinyatakan pula dalam Skripsi mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Scolastika Maria Meidiana Christavi Adiari Putri (2011), yang menganalisis, Perempuan posisinya di bawah laki-laki. Sama seperti kasus-kasus kekerasan terhadap istri yang ada pada artikel di Surat Kabar Harian Jogja yang permasalahnnya adalah kekerasan yang menimpa perempuan baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi (Putri, 2011: 104). Demikian pula dalam Yustina Anggara S.N (2010) dalam skripsinya, menyatakan bahwa, Masih ditemukan beberapa berita yang tidak menerapkan asas praduga tak bersalah, mencampuradukan fakta dan opini, identitas korban tidak sepenuhnya disamarkan, bahkan masih terdapat berita yang menuliskan privasi narasumber yang sepenuhnya tidak berkaitan dengan kepentingan publik ataupun berita yang dimuat (Anggara, 2010, 104).
5
Berdasarkan hasil penelitian, masih banyak terdapat judul-judul berita yang mengarah ke sarkasme dan menghakimi. Hal itu tampak pada kategorisasi asas praduga tak bersalah pada judul berita (Anggara, 2010, 105). Bertolak dari analisis di atas, maka penelitian kali ini, akan melihat sejauh mana bias gender terjadi dalam pemberitaan terkait atlet-atlet perempuan, yang mana selama ini olahraga lebih banyak digeluti oleh kaum laki-laki. Analisis ini akan mengambil objek penelitian yakni media online XinHua.net—media online terbesar yang ada di China. Mengapa memilih objek penelitian media di China? Negara Asia menjadi Negara dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan paling tinggi. Yayori Matzui dalam bukunya Perempuan Asia (2002), menyatakan bahwa selama tahun 90-an, di tengah pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran Asia, justru perempuan Asia mengalami penderitaan yang paling besar karena feminisasi kemiskinan dan meningkatnya kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia serta kehancuran lingkungan yang tak pernah terjadi sebelumnya (Matzui, 2002: vii). Pertumbuhan ekonomi tersebut menyebabkan keraguan dan melahirkan kecurigaan yang sangat besar. Bagaimana tidak? Nyatanya, semakin pertumbuhan ekonomi meningkat, perempuan justru semakin merasakan kekerasan yang nyata dan kejam. Hal ini dikarenakan, perempuan itu sendiri menjadi objek dari pertumbuhan ekonomi tersebut, dalam arti munculnya wisata seks yang memberikan penghasilan besar, contohnya Jepang meraih keuntungan sebesar lebih dari 4 triliun yen setiap tahunnya, setara dengan jumlah anggaran pertahanan nasional Jepang (Matzui, 2002: 11). Selain itu, China, Arab dan Negara di Asia Tengah memiliki rasio jumlah laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, sementara di Amerika, Eropa dan Rusia justru jumlah perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini menyebabkan pula bias gender yang lebih banyak terjadi di Negara-negara Asia dibandingkan dengan Negara di Eropa maupun Amerika. Disini dapat dijelaskan pula bahwa rasio jenis kelamin yang timpang bisa menyulut munculnya masyarakat yang didominasi 6
para lajang yang didorong oleh persaingan agresif untuk mencari pasangan, adu kekuatan berupa perang atau munculnya wisata seks. Alam menyediakan suatu standar biologis perbandingan jenis kelamin yang kaku sebanyak 104-106 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Setiap perbedaan signifikan dari kisaran yang sempit hanya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang abnormal. Di India dan Vietnam rasio perbandingan perempuan dan laki-laki angkanya adalah sekitar 112 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan. Di China hampir 120 anak laki-laki untuk 100 anak perempuan dan di beberapa tempat bahkan ada yang lebih tinggi dari 130 anak laki-laki. Dan kecenderungan ini makin menyebar. Di daerah Kaukasus Selatan seperti Azerbaijan, Georgia dan Armenia, rasio kelahirannya lebih dari 115 anak laki-laki untuk 100 anak perempuan dan tetap seperti demikian hingga ke barat, Serbia dan Bosnia. Pakar populasi dari Prancis Christophe Guilmoto menyebutnya dengan istilah 'maskulinisasi demografis yang mengkhawatirkan'. Konsekuensi fenomena ini di negara-negara seperti India dan China sebagai akibat dari aborsi masih belum jelas. Secara historis, masyarakat di mana laki-laki yang melebihi jumlah wanita bukanlah tempat tinggal yang menyenangkan. Mereka sering kali tidak stabil dan melakukan kekerasan. Badan-badan PBB telah mengeluarkan peringatan serupa mengenai hubungan antara kelangkaan perempuan, peningkatan perdagangan seks dan perpindahan pernikahan. Sementara itu, beberapa solusi telah ditawarkan. Aborsi adalah ilegal di China dan India, namun para pejabat mengatakan bahwa hukum sangat sulit ditegakkan. Seperti yang tersaji dalam laporan Chinese Woman’s Right : Caught Between Tradition and State di Konferensi tentang Perempuan di Dunia di Beijing oleh Hak Asasi China, sebuah organisasi hak asasi AS, terjadinya wabah perdagangan perempuan untuk perkawinan dan seks di China, di mana sejumlah wanita China dijual ke Thailand dan Taiwan (Matzui, 2002: 15).
7
Dari rentetan kasus kekerasan terhadap perempuan di China, muncullah berbagai pertanyaan. Bagaimanakah peran media China selama ini? Bagaimana media China berjuang untuk mempertahankan hak-hak Asasi rakyat China? Akankah media China menanggapi bahwa abad-21 merupakan abad Asia Baru bagi perempuan? Meskipun kasus-kasus yang dipaparkan di atas, merupakan kasus kekerasan dalam hal perdagangan maupun pemerkosaan, namun setidaknya dapat dijadikan cerminan akan kekerasan yang terjadi di China. Setidaknya kasus-kasus tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian bias gender dalam pemberitaan atlet perempuan, yang dikhawatirkan juga mengalami kekerasan secara tidak disadari. Penelitian dengan memilih media online XinHua.net juga memiliki beberapa alasan tertentu. XinHua.net dinobatkan sebagai media online China yang paling berpengaruh, sehingga mendapatkan penghargaan atau domain CN. “Sepuluh Besar Domain Nama CN yang Paling Komersial” ( 十 大 最 有 商 业 价 值 CN 域 名 ), merupakan penyebar informasi nomor satu dan paling populer (menurut Survei Internet China).1 Maka dari itu, peran XinHua sangatlah penting, sebagai media online dengan pengakses dari 200 negara dan wilayah di seluruh negara, serta termasuk dalam 100 rangking media online di seluruh negara. Dengan demikian, XinHua.net tentu dituntut untuk menyebarkan informasi yang akurat dan objektif bagi pengaksesnya. Media online (online media) adalah media massa yang tersaji secara online di situs web (website) internet. Media online adalah media massa ”generasi ketiga” setelah media cetak (printed media) –koran, tabloid, majalah, buku– dan media elektronik (electronic media) –radio, televisi, dan film/video. Media Online merupakan produk jurnalistik online. Jurnalistik online –disebut juga cyber journalisme– didefinisikan sebagai “pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet” (wikipedia). Secara teknis atau ”fisik”, media 1
关于新华网/Guānyú wǎng. 2012. Diakses tanggal 4 Maret 2012. http://www.xinhuanet.com/aboutus/xhwjj.htm
8
online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Termasuk kategori media online adalah portal, website (situs web, termasuk blog), radio online, TV online, dan email. Media online memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri, diantaranya adalah: 1. Tersedia informasi tanpa batas, tanpa sensor, tanpa terkait dengan kepentingan pemilik/penguasa media. Keunggulan ini yang paling utama dan mutlak beda dengan media mainstream. Karena kita tahu bahwa media cetak dan elekronik dikuasai oleh pemerintah dan atau pengusaha. Yang dengannya kita bisa tebak suara harian A dan televisi X atas suatu issue nasional, dengan mencari tau siapa pemilik media tsb. Sebaliknya Kompasiana menyuguhkan suara hati secara bebas merdeka. Maka banyak konsumen berita mencari informasi di public blog karena tidak puas dengan informasi “saringan” media massa. 2. Menjadi sekolah menulis di ruang publik dimana publik berkuasa atas nilai estetika karya tulis. Keunggulan ini juga penting dan mutlak beda. Karena kita tahu bahwa dalam media mainstream berlaku hukum estetika yang dimonopoli oleh sidang redaksi. Kreatifitas baru dan revolusioner hanya bisa menggelinding dengan gagahnya di public blog. 3. Berlaku hukum estetika dari publik untuk publik. Dalam kaitan ini saya sekaligus memaklumi ketika muncul gempar wacana “fiksi sampah” dan “guru bahasa”. Kedua penulisnya sama-sama terkungkung oleh paradigma lama bahwa estetika adalah otoritas guru, dosen, dan sidang redaksi. Generasi muda tentu menolak belenggu semacam itu. Karena di public blog sang penguasa adalah publik itu sendiri. Melahirkan penulis penulis brilliant yang langsung beriteraksi dengan pembaca tanpa batas. Keunggulan ini terbukti dengan lahirnya penulis penulis hebat yang tidak tersentuh jaring jaring wilayah kekuasaan media mainstream. Sekaligus melumpuhkan kapitalisme atas semua karya tulis.
9
Rentang waktu yang dipakai sebagai bahan analisis yakni selama bulan Desember 2011 hingga Maret 2012 di mana selama rentang waktu tersebut terdapat beberapa kejadian penting untuk perkembangan Tim sepak bola perempuan di China. Kejadian tersebut yakni pertandingan penting sepak bola 4 negara, pertandingan Algarve, sekaligus pemilihan pelatih untuk Tim sepak bola perempuan tersebut. Masa-masa Pekan Olahraga merupakan masa-masa di mana secara “konstruksi” media akan banyak dikonsumsi oleh kaum laki-laki, karena laki-laki dikonstruksikan memiliki ketertarikan besar di bidang olahraga dan perempuan di bidang rumah tangga (misalnya). Saat itulah, media menjadi alat propaganda yang sangat efektif untuk menampilkan para perempuan yang juga mampu tampil di publik sebagai olahragawan, terutama dalam hal olahraga sepak bola, yang didominasi oleh laki-laki. Heny Susilowati dalam Skripsi nya yang berjudul Karakteristik Penonton Pada Setiap Jenis Acara TV, sebuah studi kasus pada kelompok perokok di Jakarta, menyatakan bahwa, jenis acara olahraga menjadi acara kesukaan, setelah yang pertama adalah berita. …..Jenis acara kedua yang disukai adalah acara olahraga. Sebanyak 34,23% dari 3079 responden mengaku suka menonton jenis acara. Tingginya persentase responden yang menyukai acara olahraga masuk akal, mengingat sebagian besar responden adalah kaum pria (Susilowati, 2003: 6) Dalam penelitian ini, disebutkan persentase penggemar acara olahraga adalah pria sebesar 91,04% dan perempuan 8,96% (Susilowati, 2003: 13). Maka, melalui analisis ini, akan dilihat sejauh mana XinHua.net memetakan perjuangan para perempuan. Apakah menyebabkan kebiasan? Apakah menampilkan sisi emansipasi yang sebenarnya semu?
10
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah: 1. Seberapa besar atensi media online XinHuanet pada tim sepakbola perempuan di China? 2. Apakah berita atau tulisan yang dimuat dalam media online XinHuanet tentang tim sepakbola perempuan di China selama Januari 2011 – Maret 2012 yang cenderung bias gender atau tidak? 3. Apakah berita atau tulisan yang dimuat dalam media online XinHuanet tentang tim sepakbola perempuan di China selama Januari 2011 – Maret 2012 berpengaruh terhadap pembetukan persepsi yang bias gender maupun yang berperspektif gender dalam masyarakat. C. Tujuan 1. Mengetahui representasi objektif bias gender dalam pemberitaan tim sepakbola perempuan China dalam XinHua.Net, selama Desember 2011Maret 2012 dalam analisis isi. 2. Mengidentifikasi tingkat atensi media online XinHuanet pada perempuan. 3. Mengidentifikasi berita atau tulisan tentang tim sepakbola perempuan di China selama Januari 2011 – Maret 2012 yang dimuat dalam media online XinHuanet, yang cenderung bias gender maupun yang berperspektif gender. 4. Melihat pengaruh tulisan atau berita tentang tim sepakbola perempuan di China terhadap pembentukan persepsi masyarakat yang bias gender maupun yang berperspektif gender.
11
D. Manfaat Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka konstribusi yang dapat diberikan dari penelitian ini mencakup dua hal, yaitu: 1. Terciptanya iklim sosial budaya yang lebih mendukung upaya mempertinggi harkat dan martabat perempuan. 2. Terciptanya iklim sosial budaya yang lebih mendukung upaya pembatan perencanaan pembangunan yang berwawasan gender. 3. Manfaat praktis, untuk mengevaluasi sejauh mana bias gender yang terjadi dalam pemberitaan XinHuanet 4. Manfaat akademis, untuk menambah pembendaharaan pengetahuan di ranah Ilmu Komunikasi terutama yang berkaitan dengan studi gender dengan menggunakan metode analisis isi. E. Kerangka teori E.1 Gender Gender menurut Scott (1989) adalah suatu elemen pembentuk hubungan sosial berdasar perbedaan-perbedaan yang disadari terkait perbedaan jenis seks, dapat juga dinyatakan sebagai tanda dari hubungan kekuasaan (Wieringa, 2010: 65). Sementara itu, menurut Eriyanto, paradigma Kritis erat hubungannya dengan elemen kekuasaaan dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks maupun percakapan tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral melainkan sebuah bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan di sini seperti kekuasaan di tengah masyarakat yang erat kaitanya dengan kekuasaan lakilaki dalam wacana mengenai seksisme (Eriyanto, 2006: 11). Perspektif kritis melihat bahasa telah menjadi pertarungan kekuasaan, di mana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Eriyanto dalam buku nya (2006) mengutip dari Fairclough dan Wodak, melihat bahwa perspektif kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing (Eriyanto, 2006: 7-8).
12
Pengajuan bahasa dalam berbagai versi inilah yang dapat kita lihat dalam media massa saat ini, yang biasanya disebut sebagai ideologi. Di mana Praktik wacana kritis akan menampilkan efek ideologi yang memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antar kelas sosial, seperti laki-laki dan wanita (Eriyanto, 2006: 7). Bahasa jurnalistik bukan lagi hanya sebatas pernyataan-pernyataan, namun merupakan ideologi yang berasal dari perspektif, orientasi problem dan sebagainya (Siregar, dkk, 2000: 239). Bentuk kritis penyelidikan feminis muncul pada 1970-an bahkan melangkah lebih jauh dengan memeriksa cara-cara di mana representasi media mendukung kepentingan dua sistem yakni patriarki dan kapitalisme (Carter, dkk, 2004: 2). Engels dalam buku An Introductory Guide to Culture Theory and Popular Culture, mengklaim bahwa kelas penguasa dalam setiap kurun waktu, menguasai kekuatan material sekaligus kekuatan intelektual. Maksud dari kekuatan intelektual ialah penguasaan atau dominasi akan ide yang berlaku di tengah masyarakat (Storey, 1993: 99). Demikian halnya dalam kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ideologi masyarakat yang mana dikuasai oleh kaum partriarki menyebabkan perempuan terpuruk, sehingga perjuangan ideologis ini hampir tidak terelakkan. Selama periode transformasi sosial menjadi kronis: Marx menunjukkan, bentuk ideologi akan superstruktur (institusi seperti politik, hukum, pendidikan, budaya, dan sebagainya) membuat pria dan wanita menjadi sadar akan konflik dan berjuang untuk menyelesaikannya (Storey, 1993: 99). Kekuasaan partriarki tersebut lah yang menyebabkan pola sosialisasi antara perempuan dan laki-laki dilakukan secara berbeda oleh lembaga keluarga, masyarakat, dan pendidikan, sehingga menyebabkan terjadi nya ketimpangan peran antar keduanya. Perempuan seringkali diasuh menjadi feminin, seperti lembut, penurut, di mana sifat tersebut menunjukkan sisi lemah seseorang. Sementara itu,
13
laki-laki diasuh menjadi maskulin, seperti kuat, agresif, berani, yang tentunya menunjukkan sisi kuat seseorang. Joanne Holmes dalam bukunya Feminitas, Femininisme, dan Budaya Populer, menyatakan bahwa saat ini peran gender maskulin dan feminin yang diyakini terbentuk secara budaya telah diperdebatkan, sebab perbedaan gender antara lakilaki dan perempuan tampak sebagai bagian dari sifat biologis ‘alamiah’ dari keduanya dan bukan sebuah konstruksi (Joanne Holmes, 2010: 14) Hal yang senada diungkapkan oleh dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan, konsep ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’ bukanlah merujuk pada biologis secara seks namun dari konstruksi budaya yang tidak stabil (Wieringa, 2010: 64). Sehingga, masyarakat menganggap pola asuh yang berbeda antar laki-laki dan perempuan, merupakan hal yang wajar, sifat-sifat yang disosialisasikan pada kedua pribadi tersebut, dianggap sesuai dengan jenis kelamin masing-masing. Padahal jenis kelamin berbicara tentang vagina dan payudara untuk perempuan; penis, kalkun, dan kumis untuk laki-laki. Sifat, peran, dan posisi yang maskulin dan feminine, merupakan sebuah konstruksi yang kita sebut sebagai gender. Demikian pula dengan Aristoteles, yang menyimpulkan perempuan dengan landasan yang sangat ilmiah dan tampak benar. Menurut Aristoteles, badan manusia dipimpin oleh jiwa, dan untuk bagian emosi kita dipimpin oleh akal (pikiran), bagian yang memiliki rasio (Arivia, 2003: 6). Perempuan dan budak adalah dua kelas manusia yang berada di luar aktivitas rasio. Budak hanya alat, demikian pula dengan perempuan, bersifat fungsional—istri dari laki-laki yang digunakan untuk mempunyai anak (Arivia, 2003: 7). Diskriminasi yang dilakukan Aristoteles terhadap perempuan semakin terlihat, ketika ia mengganggap bahwa perempuan hanya mensuplai “materi” melalui cairan menstruasinya dan laki-laki dibanggakan karena telah mensuplai “bentuk” atau “jiwa” melalui sperma. Sehingga ia menyimpulkan bahwa laki-laki hendaknya lebih berkuasa, karena mampu menciptakan kehidupan (Arivia, 2003: 7).
14
Dari sejumlah pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori gender sangat erat kaitannya dengan paradigma kritis. Hal ini jelas karena paradigma kritis membongkar sejumlah tindak kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat, sementara itu, kekuasaan banyak terjadi dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan. Adrienne Rich (1976) menegaskan kembali bahwa patriarki merupakan bagian dari analisis kritis yang menekankan pada pengalaman khas kaum perempuan (Clough, 1994: 35). Kate Millet pun berkeinginan membuat literatur terkait paradigma kritis sebagai analisis akan patriarki (Clough, 1994: 13). Terjadinya kecenderungan bias gender di masyarakat, termasuk dalam kehidupan pers, bukanlah fenomena revolusioner yang berlangsung seketika, melainkan melalui mekanisme sosialisasi dan penanaman nilai yang sangat panjang pada masyarakat global, yang kemudian nilai tersebut disebut sebagai ideologi, yang oleh Littlejohn (1998:228-229) dikatakan sebagai sekumpulan pemikian yang membentuk struktur realita suatu kelompok, sebuah sistem perwakilan atau sebuah kode dari pengertian pengertian yang mengatur bagaimana individu individu dan kelompok kelompok memandang dunia. Sedangkan Karl Marx (1918-1883) dan Frederich Engels (18201895) sebagaimana ditulis oleh Sunarto (2000:32) memandang bahwa ideology merupakan fabrikasi (pemalsuan) yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri mereka sendiri, sehingga konsep ideology itu menjadi sangat subyektif dan keberadaannya hanya untuk membenarkan kelas penguasa di masyarakat. Ideologi hadir dalam struktur sosial itu sendiri dan muncul dari praktek praktek aktual yang dilaksanakan oleh institusi didalam masyarakat. Dengan sendirinya, ideologi sebenarnya membentuk kesadaran individu dan menciptakan pemahaman subyektif orang tersebut tentang pengalaman. Dalam model ini, suprastruktur (organisasi sosial) menciptakan ideologi yang pada gilirannya mempengaruhi pemikiran pemikiran individu tentang realita. Salah satu wujud dari ideologi yang tercipta oleh suprastruktur tersebut adalah ideologi patriarki yang
15
melegitimasi dan mempertahankan relasi asimetris (tidak sepadan) antara laki laki dan perempuan. Fenomena relasi antara laki laki dan perempuan adalah salah satu contoh dari pola kehidupan yang irasional yang bersifat mekanis dan represif. Dikatakan demikian karena dalam hubungan tersebut terjadi sifat asimetris, di mana kaum laki laki memiliki posisi yang lebih dominant dibandingkan dengan perempuan, yakni laki laki lebih bebas untuk memilih peran peran sosial tertentu di masyarakat, sementara perempuan lebih ditentukan posisinya oleh laki laki. Biasanya posisi peran sosial antara laki laki dan perempuan dibedakan atas peran social disektor publik dan peran sosial disektor domestik, maka jika demikian, peran sosial laki laki biasanya lebih dominan disektor public yang bersifat produktif dimana hasil dari aktifitas disektor ini selalu dihargai dengan sejumlah material tertentu biasanya finansial, sedangkan perempuan pada umumnya ditempatkan pada peran social disektor domestik dengan fungsi fungsi reproduksinya, yang dalam kenyataan tidak pernah dihargai dengan sejumlah material tertentu, karena seolah olah peran sosial domestic ini merupakan peran yang memang seharusnya dilakukan oleh perempuan. Jadi sebenarnya, ketidakadilan dalam relasi yang demikian itu terletak pada perbedaan bentuk penghargaan yang diberikan masyarakat terhadap peran peran sosial tersebut. Salah satu suprastruktur yang memiliki kontribusi dalam menciptakan ideologi patriarki adalah media massa, dimana lembaga media massa ini memiliki kekuatan untuk menyebarkan pesan pesan, mempengaruhi, bahkan mencerminkan budaya masyarakat, dan mereka menyediakan informasi seca ra bersamaan pada sejumlah besar audiens yang heterogen yang telah menjadikan media sebagai bagian dari kekuatan instutusional mereka sendiri. Mengkaji tentang isi media, Gans dan Gitlin dalam Shoemaker (1996:6-7) mengelompokkan pendekatan teoritis sebagai berikut :
16
1. Isi media merefleksikan realitas sosial dengan sedikit atau tanpa distorsi. 2. Isi media dipangaruhi oleh sosialisasi dan sikap para pekerja media, seperti faktor
psikologis,
profesionalitas,
personalitas,
sikap
politik
dan
kemahirannya. 3. Isi media dipengaruhi oleh rutinitas media, pendekatan rutinitas organisasi menjelaskan bahwa isi media itu dipengaruhi oleh cara cara dimana para pekerja media dalam organisasi itu bekerja. 4. Isi media dipengaruhi oleh institusi dan kekuatan kekuatan lain seperti kekuatan ekonomi, budaya dan kemauan audiens. 5. Isi media dipengaruhi oleh fungsi posisi ideologi dan kekuatan status quo. Hegemoni adalah pendekatan teoritis yang menjelaskan bahwa isi media itu dipengaruhi oleh ideologi yang tumbuh penuh kekuatan dalam suatu masyarakat. Posisi Bias Gender dalam Konspirasi di Dunia Sistem Kapitalisme sejatinya telah menghancurkan kehidupan manusia, termasuk kaum hawa (perempuan). Dalam kungkungan sistem Kapitalisme saat ini kaum perempuan dalam posisi serba salah. Di satu sisi mereka memikul amanah mulia menjadi benteng keluarga; menjaga anak-anak dari lingkungan yang merusak sekaligus mengurus rumah-tangga. Di sisi lain mereka pun harus ikut bertanggung jawab ‘menyelamatkan’ kondisi ekonomi keluarga dengan cara ikut bekerja mencari nafkah tambahan, atau bahkan harus ‘menggantikan’ posisi sang suami yang — karena imbas krisis ekonomi— terpaksa dirumahkan oleh perusahaan tempatnya semula bekerja. Akibat himpitan ekonomi tidak sedikit perempuan lebih rela meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi TKW, misalnya, meskipun nyawa taruhannya.
17
Ribuan kasus kekerasan terhadap mereka terjadi. Mereka disiksa oleh majikan hingga pulang dalam keadaan cacat badan, bahkan di antaranya ada yang akhirnya menemui ajal di negeri orang. Kapitalisme pula yang telah menorehkan kisah pilu bagi para ibu, yang harus merelakan bayinya di sandera pihak rumah sakit karena tak mampu membayar biaya persalinan. Kemiskinan sistemik telah merampas hak seorang ibu untuk dekat dengan anaknya. Fenomena ibu yang membunuh anaknya karena himpitan ekonomi pun kerap terjadi. Depresi kerap menjadi alasan seorang ibu tega melakukan tindakan nekad seperti ini. Bahkan ada yang berani mengakhiri hidupnya karena sudah tak sanggup lagi menanggung derita dalam rumah tangga dan persoalan hidup yang kian menghimpit. Dan motifnya karena kemiskinan yang telah diciptakan oleh sistem Kapitalisme. Kondisi ini diperparah dengan munculnya gagasan gender equality (kesetaraan gender), yakni upaya menyetarakan perempuan dan laki-laki dari beban-beban yang menghambat kemandirian. Beban itu antara lain peran perempuan sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. Lalu berbondongbondonglah kaum perempuan meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki. Namun apa daya, begitu mereka memasuki ranah publik, ekploitasi habis-habisan atas diri merekalah yang terjadi. Mereka menjadi obyek eksploitasi sistem Kapitalisme yang memandang materi adalah segalanya. Model, sales promotion girl, public relation hingga profesi pelobi hampir senantiasa berada di pundak kaum perempuan. Mereka menjadi umpan dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah. E. 2
Jurnalisme Berperspektif Gender
Persoalan perempuan di media massa menyangkut tiga hal, yaitu gambaran atau representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan perempuan dalam sturktur organisasi media yang belum berimbang dibandingkan
18
dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan persoalan-persoalan perempuan. Untuk itu, diperlukan jurnalisme yang berpihak pada perempuan, yang dikenal dengan jurnalisme berperspektif gender. Hal ini terkait dengan kepentingan kekuasaan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Sayangnya, karena tidak memiliki perspektif gender, media massa sering-kali abai pada isu-isu perempuan dan persoalan gender. Pada akhirnya, representasi perempuan yang ditampilkan dalam media massa semakin memarjinalkan dan mensubordinasi para perem-puan. Secara sederhana, Nur Iman, menyatakan Jurnalisme berperspektif Gender merupakan, praktek jurnalistik yang selalu mempermasalahkan dan menggugat, baik dalam media cetak (seperti dalam majalah, surat kabar dan tabloid) maupun media elektronik (seperti dalam televisi dan radio). Dalam praktek inilah, ditemukan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, yang mana di dalamnya terdapat keyakinan gender yang menyudutkan perempuan atau merepresentasikan perempuan yang sangat bias gender (Subono, 2003: 59). Persoalan representasi perempuan di media, pemberitaan yang memiliki sensitivitas gender, dan jurnalisme yang memiliki keber-pihakan seperti yang terurai di atas pada dasarnya bermuara pada sejauh mana akses perempuan pada media massa. Hal itu masih menjadi per-soalan tersendiri. Konferensi Tingkat Dunia tentang Pe-rempuan IV di Beijing, China pada tahun 1995 berhasil merumuskan rekomendasi 12 bidang kritis sebagai sasaran-sasaran strategis yang harus dipenuhi Negara. Isi dari rekomendasi yang disebut dengan Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (Beijing Platform for Action) itu antara lain adalah mencapai sasaran strategis bagi perempuan di media massa. Hasil peliputan berita oleh pekerja pers hendaknya menampilkan keseimbangan representasi dan upaya menampilkan komposisi pandangan perempuan dan laki-laki di semua wilayah. Biasanya pandangan laki-laki yang lebih banyak ditampilkan karena secara konstruksi, laki-laki dianggap sebagai pemikir sehingga dapat memikirkan berbagai solusi akan sebuah permasalahan. Di sisi lain,
19
Jurnalisme Berperspektif Gender justru menyatakan bahwa pemikiran perempuan juga perlu dilibatkan khususnya dalam “male domain” (Subono, 2003: 60). Menyatukan subjek-subjek berita yang biasanya dikhususkan atau dikotakkan pada topik “laki-laki” dan “perempuan”, memang harus segera diwujudkan, agar semua topik menjadi concern bersama. Baik laki-laki dan perempuan sama-sama akan tertarik pada sepak bola, politik, pasar modal, hak asasi manusia, lingkungan, fesyen, masak memasak, kecantikan dan anak-anak (Subono, 2003: 60). Berikut merupakan pendekatan jurnalisme berperspektif gender dan jurnalisme yang berperspektif netral atau objektif yang disusun oleh Nur Iman Subono (2003), hasil modifikasi dari Eriyanto dalam bukunya yang berjudul Analisis Wacana. Pendekatan inipun telah diolah ulang penulis dengan cara merangkum dari yang ada serta menambahkan beberapa referensi dari buku lain. Tabel 1 Pendekatan Jurnalisme Berperspektif Gender dan Netral atau Objektif Jurnalisme “Netral/Objektif” Gender
Jurnalisme Berperspektif Gender
Posisi Media dan Jurnalis Media adalah sarana di mana semua Mengingat media umumnya hanya anggota
masyarakat
dapat dikuasai kepentingan dominan (baca:
berkomunikasi dan berdiskusi dengan partriarki), maka media seharusnya bebas, netral dan setara. Akhirnya media menjadi sarana untuk membebaskan memiliki
Profesionalisme
yang dan
berorientasi pada Keuntungan.
memberdayakan
kelompok-
kelompok yang marjinal (khususnya
Hal ini dapat dikaitkan dengan kualitas perempuan). Akhirnya media memiliki isi berita yakni Accuracy, di mana accuracy Profesionalisme yang berorientasi pada berbicara
tentang
sumber
berita Kontrol.
20
hendaknya relevan. Semua pihak yang Profesionalisme jenis ini juga dapat terlibat memiliki kesempatan yang sama dihubungkan
dengan
Konferensi
untuk memberikan informasi yang jelas Tingkat Dunia tentang Perempuan IV dan akurat (Rahayu, 2006: 17).
di Beijing, China pada tahun 1995 yang telah
berhasil
merumuskan
rekomendasi 12 bidang kritis yang disebut dengan Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (Beijing Platform for Action) yang di antaranya adalah mencapai
sasaran
strategis
bagi
perempuan di media massa. Ada dua sasaran
strategis
menyangkut
perempuan dan media massa, yaitu :
Meningkatkan kesempatan
partisipasi perempuan
berekspresi
dan
dan untuk
mengambil
keputusan di dalam dan melalui media
massa
serta
teknologi-
teknologi komunikasi yang baru
Memajukan
gambaran-gambaran
yang seimbang dan tidak klise tentang perempuan dalam media. (Lembar
Info
Edisi
25,
http://www/lbh-apik.or.id/fac25.tm, diakses 31 Oktober 2006 dalam http://jurnalistik.blog.esaunggul.ac.i d/2010/10/11/jurnalisme-
21
berperspektif-gender/, diakses 12 Juni 2012) Media adalah sarana yang menampilkan Media
adalah
alat
semua pembicaraan dan kejadian yang dimanfaatkan ada dalam masyarakat secara apa adanya
kelompok
yang
harus
oleh
kelompok-
marjinal
(terutama
perempuan) untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Hasil Peliputan/Pemberitaan Hasil liputan bersifat dua sisi atau dua Hasil liputan merefleksikan ideologi pihak (seimbang) – gender netral: jurnalis yang berperspektif gender: eksplanasi, prediksi dan kontrol.
kritis, transformative, emansipatif dan pemberdayaan sosial. Hal ini terkait pada standar kelayakan informasi program jurnalisme media penyiaran dalam
pemberitaan
masalah
perempuan, yang menyatakan bahwa seringkali terjadi standar yang berbeda dalam menulis berita terkait laki-laki dan
perempuan.
Misalnya,
dalam
kasus pencopetan, jika laki-laki yang sebagai
pencopet,
disebutkan
biasanya
jenis
tidak
kelaminnya.
Sementara itu, beda jikalau yang mencopet adalah perempuan, biasanya pasti disebutkan jenis kelaminnya (Siregar, dkk, 2000:xii). “Obyektif” – netral, tidak memasukkan “Subyektif” karena merupakan bagian
22
opini atau pandangan subyektif
dari
kelompok-kelompok
marjinal
yang diperjuangkan. Memakai bahasa “baku” yang tidak Memakai bahasa yang sensitif gender menimbulkan banyak penafsiran
dengan pemihakan yang jelas. Bahasa yang dipakai seringkali masih sangat partriarkis, yang mana memunculkan 2 mitos. Pertama, laki-laki sebagai pembuat peristiwa dan berita. Kedua, hanya laki-laki lah yang mampu mengantisipasi
tantangan
wilayah
publik dikarenakan kekuasaan yang dimilikinya (Siregar, dkk, 2000: 230231). Kedua mitos ini pun sama dengan kualitas isi berita yang bercirikan neutrality, di mana ciri ini menyatakan bahwa adanya salah satu pihak yang lebih ditonjolkan. Bahasa jurnalistik bukan lagi hanya sebatas pernyataanpernyataan,
namun
merupakan
ideologi yang berasal dari perspektif, orientasi problem dan sebagainya (Siregar, dkk, 2000: 239) Gender Sensitive Reporting menyatakan bahwa sesuatu yang harus dimengerti oleh para jurnalis adalah pertanyaan : WHO, WHAT, WHERE, WHEN, WHY and
23
HOW. Hal yang sama juga teraplikasi dalam praktek Jurnalisme berperspektif Gender2. WHO
Jurnalis sebagai pelapor
WHAT
Kebutuhan untuk menjadi lebih sadar akan isu-isu gender dan
kesadaran tersebut dimasukkan kesadaran ni ke dalam pendekatan cara kerja WHERE
Di tempat kerja, departemen editorial di mana keputusan diambil tentang cerita yang akan dibahas, pada bagian mana informasi dikumpulkan
WHEN
Setiap saat
WHY
Karena profesionalisme, maka menuntut keadilan dan akal sehat
HOW
Melalui penyadaran akan bahasa yang digunakan, berpikiran terbuka dan adil, dan melalui seleksi yang seksama dari laporan-laporan dan sumber-sumber. Beberapa pertanyaan akan membantu jurnalis dan editor tetap berpegang
pada perspektif tertentu, termasuk perspektif gender (Poynter Institute of Journalism in the United States). WHO
Siapa yang tidak dihadirkan dalam laporan tersebut?
WHAT
Apakah konteks dari laporan tersebut?
WHERE
Di mana bisa mendapatkan informasi yang lebih banyak?
WHY
Mengapa kita termasuk atau tidak termasuk dalam informasi tertentu?
HOW
- Membaca berbagai publikasi, menonton televisi, mendengarkan radio milik atau berorientasi pada kelompok yang beragam.
2
Gender
Sensitive
Reporting.
2012.
Diakses
20
Agustus
http://portal.unesco.org/ci/en/file_download.php/97c2ea65149be7f3540d810612f7acb8S-9+Gendersensitive+reporting.doc
24
2012.
- Menghubungi organisasi yang mewakili beragam kelompok, dengan kekayaan versi sendiri. - Menanyakan setiap orang yang ditemui, di mana mereka dihormati sebagai orang berpengetahuan dalam komunitas mereka. - Mencari pemimpin tidak resmi. - Membuat daftar orang dalam komunitas beragam yang mewakili perspektif yang berbeda. - Mengunjungi situs online, masyarakat, dan bisnis yang berbeda dari - Menjaga hubungan teratur dengan orang-orang dalam daftar keanekaragaman. Menemui mereka untuk minum kopi, teh, sarapan, makan siang di komunitas mereka. Menemukan dan menghindari laporan yang tidak sensitif gender, berikut ini merupakan petunjuk pertanyaan, di mana hendaknya dipakai jurnalis untuk bertanya pada diri sendiri ketika membaca atau mendengarkan sebuah laporan. Siapa saja narasumber dalam laporan tersebut? 3 Berapa banyak narasumber yang merupakan pemerintah dan pejabat perusahaan? 1.
Berapa banyak narasumber yang merupakan kelompok-kelompok kepentingan publik progresif?
2.
Berapa banyak narasumber perempuan?
3.
Berapa banyak narasumber berasal dari kelompok minoritas?
Dari sudut pandang mana berita dilaporkan? 1.
Atas kepentingan apa laporan tersebut?
2.
Apakah kepentingan tersebut bertepatan dengan pemerintah?
3.
Apakah kepentingan tersebut bertepatan dengan dunia usaha?
4.
Apakah laporan tersebut merupakan kepentingan publik? yang mana?
Apakah terjadi standar ganda atau standar yang berbeda dalam laporan berita? Apakah ada standar ganda yang kontradiktif? Misalnya, bersimpati pada keadaan 3
Gender Sensitive Reporting. 2012. Diakses 20 Agustus 2012. http://portal.unesco.org/ci/en/file_download.php/97c2ea65149be7f3540d810612f7acb8S-9+Gendersensitive+reporting.doc
25
ayah tunggal, sementara ibu tunggal dikatakan bahwa mereka "layak" untuk mendapat kesulitan. Apakah ada stereotip yang digunakan dalam laporan berita? 1.
Bagaimana suatu kelompok digambarkan dalam laporan tersebut?
2.
Apakah kelompok ini selalu dikaitkan dengan karakteristik tertentu?
Bagaimana bahasa digunakan? 1.
Apakah bahasa yang objektif cukup untuk tidak mempengaruhi opini publik?
2.
Apakah bahasa yang objektif cukup bagi pembaca untuk membentuk pendapat mereka sendiri?
Apakah laporan itu dikontekstualisasikan? 1.
Apakah laporan berita dimasukkan ke dalam konteks tertentu sehingga pembaca dapat membentuk pendapat mereka sendiri?
Apakah grafis yang digunakan sesuai dengan konten? 1.
Apakah gambar dan ilustrasi yang digunakan bertentangan konten?
2.
Apakah laporan berita tersebut memimpin pembaca untuk memahami isi dari laporan yang berbeda? Jurnalisme berperspektif gender tidak hanya berbicara tentang sumber dan
konteks, namun juga tentang bahasa yang gunakan dalam menulis laporan berita. Bahasa adalah alat dinamis dan bersifat sosial-informasi. Untuk menjadi benar-benar setara, perempuan harus dilihat dan didengar, hal ini mengisyaratkan bahwa menghilangkan bahasa yang salah mengartikan, mengecualikan atau menyinggung wanita. Jurnalisme berperspektif gender harus menghindari kata-kata dan frase yang membuat asumsi tentang bagaimana wanita berpikir atau terlihat atau bagaimana pria dan wanita berperilaku. Canadian
Broadcasting
Corporation
mengembangkan
pedoman
untuk
memastikan bahwa bahasa yang digunakan oleh masing-masing orang mampu memperlakukan laki-laki dan perempuan sama, misal: Ketika merujuk pada pria dan wanita, hendaknya dipastikan bahwa mereka akan ditangani dengan cara yang sama.
26
Misalnya, alih-alih mengatakan "Mr Smith dan Mary Jones" merujuk kepada mereka sebagai "John Smith dan Mary Jones" (menggunakan kedua nama pertama mereka) atau "Mr Smith dan Ms Nona Jones" (menggunakan judul, bukan nama). 4 Bias gender dalam pers ini sebenarnya tidaklah semata mata berkembang karena egoisme laki laki yang mendominasi pekerjaan pers, melainkan juga atas peran perempuan itu sendiri yang belum mampu menjadikan pers sebagai media representasi diri. Rendahnya reportase yang berkaitan dengan domain publik yang keras, seperti ekonomi dan politik, menunjukkan bahwa media wanita tersebut belum menjadikan dirinya sebagai media untuk merepresentasikan diri secara maksimal dalam struktur sosial. Hal ini dapat dijadikan alasan bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya kesadaran gender dikalangan pekerja pers baik laki laki maupun perempuan itu sendiri masih rendah, sehingga berakibat pada munculnya berita berita yang belum menunjukkan sensitifitas mereka terhadap upaya mendudukkan perempuan pada harkat dan martabat yang sejati. Menurut May Lan (2002:11), praktek jurnalisme gender yang selama ini terjadi muncul dalam dua wujud, yakni: Lewat bias bias berita yang disajikan, dan masih minimnya perempuan sebagai pekerja pers. Menurutnya, dalam catatan PWI pada tahun 2002 ketika penelitiannya dilakukan, hanya ada 461 wartawan perempuan, sementara jumlah wartawan laki-laki ada 4.687 orang. Belum lagi ditambah dengan sederetan laki laki yang duduk dijajaran staf redaksi, yang jumlahnya dapat dipastikan jauh melebihi jumlah perempuan yang memiliki kesempatan untuk duduk dijajaran yang sama. Meskipun tidak ada jaminan bahwa pers yang dikerjakan oleh para perempuan lebih bebas dari bias gender, tetapi paling tidak, keberadaan banyak perempuan dalam lembaga pers, akan memberikan peluang yang lebih besar dari perempuan itu untuk memiliki otoritas dalam struktur 4
Canadian
Broadcasting
Corporation
.
2012.
Diakses
tanggal
22
Agustus
http://portal.unesco.org/ci/en/file_download.php/97c2ea65149be7f3540d810612f7acb8S-9+Gendersensitive+reporting.doc
27
2012.
sosial. Ini sejalan dengan pandangan Myra Macdonald (1995:72) bahwa meskipun suara perempuan di media jumlahnya meningkat diabad ini, tetapi mereka gagal menjadikan perempuan sebagai wacana yang dominan. Agar bisa dominan, maka perempuan seharusnya memiliki kekuatan dan otoritas dalam struktur sosial yang memungkinkan mereka lebih banyak bicara daripada sekedar diam secara pasif. Munculnya permasalahan orientasi jurnalisme yang masih bias gender, menurut May Lan (2002:10-11) disebabkan oleh dua hal, yakni: 1. Mungkin karena ideologi besar yang menafikan kesetaraan masih memasung sikap dan pemikiran para pekerja pers yang notabene masih didominasi oleh kaum laki laki, sehingga merekapun terlena dan menikmati hegemoni kekuasaan. 2. Kemungkinan kekurang tahuan (unwell informed) para pekerja pers terhadap isu gender yang sesungguhnya adalah konstruksi sosial dan budaya, sehingga harus dipilah dengan kodrat. Memang, ideologi merupakan alat yang sangat ampuh bagi suatu golongan yang kuat untuk melakukan hegemoni atas golongan yang lain yang lebih lemah. Demikianpun dengan ideologi gender yang berlaku dalam masyarakat bersistem patriarkal seperti Indonesia. Ia merupakan alat yang sangat legitimate untuk mempertahankan relasi asimetris (tidak sepadan) antara laki laki dan perempuan. Patriarkhi merupakan sistem terstruktur dan praktek sosial yang menempatkan kaum laki laki sebagai fihak yang mendominasi, melakukan opresi dan mengeksploitasi kaum perempuan. Sistem ini ada dalam dua bentuk, yakni: private patriarchy (patriarki domestik) yang menekankan kerja dalam rumah tangga sebagai stereotipe perempuan, dan public patriarchy (patriarki publik) yang menstereotipkan laki laki sebagai pekerja di sektor sektor public yang sarat dengan karakter keras penuh tantangan (Walby: 1998: 20). Bias Gender di Tengah Konstruksi Realitas Sosial Media 28
Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social of Construction Reality. Realitas menurut Berger tidak di bentuk secara ilmiah. Tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini, realitas berwujud ganda/plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan sosial yang dimiliki masing-masing individu. Lebih lanjut, gagasan Berger mengenai konteks berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas, karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Tidak jarang, pemaknaan yang dilakukan melalui produk media telah menempatkan posisi produk media sebagai bagian dari realitas sosial itu sendiri. Artinya, realitas dengan seperangkat nilai yang terbangun melalui produk media akan dimaknai oleh alam pikiran khalayaknya sebagai sesuatu yang nyata (real) terjadi, yang oleh Baudrillard disebut sebagai hiperrealitas. Dalam posisi semacam ini, citra relasi laki-laki dan perempuan dalam produk media berada pada posisi konformitif, yaitu mendukung nilai atau norma yang telah ada di masyarakat. Posisi konstruksi sosial media adalah mengkoreksi kelemahan dan melengkapi konstruksi sosial atas realitas, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial realitas. Nilai perubahan sosial memiliki kaitan dengan kapitalisme terutama yang menekankan gaya hidup modern serta menempatkan nilai materi sebagai puncak nilai tertinggi. Nilai-nilai perubahan sosial juga memiliki kesamaan dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh kapitalisme, terutama karena keduanya mengagumkan materi dan secara beriringan mengkonstruksi jalan fikiran serta nilainilai yang membimbing redaktur dan pada desk media massa dalam mengemas pemberian-pemberian merek. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya: bahwa perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki laki 29
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, sehingga sifat sifat pada gender bisa dipertukarkan satu sama lain, sementara sifat pada seks tidak bias dipertukarkan satu sama lain. Media massa memang bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh, tetapi media massa telah berkembang menjadi agen sosialisasi yang semakin menentukan karena intensitas masyarakat mengkonsumsinya. Efek media juga akan semakin kuat mengingat sosok perempuan yang ditampilkannya adalah cara yang memperkokoh stereotip yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Oleh karena itu, media massa memang bukan yang melahirkan ketidaksetaraan gender. Namun, media massa jelas memperkokoh, melestarikan, bahkan memperburuk segenap ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat. Ketika media massa menyajikan sebuah anggapan tentang perempuan secara konsisten, orang menjadi menyangka bahwa pilihan yang paling logis adalah mengikuti apa yang tampak sebagai kecenderungan umum itu, sebagaimana yang disajikan media. Contoh, seorang wanita yang cerdas, memiliki kecakapan, yang sangat percaya diri, bisa saja akhirnya merasa harus tampil dengan rok ketat dan minim di kantor karena menganggap bahwa penampilan seperti itu adalah pilihan yang paling ideal dalam kehidupan bermasyarakat. Ia tak sadar bahwa dengan tampil seperti itu, ia sebenarnya sedang mendukung stereotip bahwa seks adalah kekuatan utama seorang perempuan. Bahkan, perlahan-lahan, ditemukan rangkaian justifikasi untuk meneguhkan stereotip tersebut. F. Kerangka Konsep Disadari bahwa isu gender merupakan isu baru bagi masyarakat, sehingga menimbulkan berbagi tafsiran dan respons yang tidak proposional tentang gender. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah bermacam-macamnya tafsiran tentang pengertian gender. Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan (1987) 30
menegaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural. Gender dalam ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing- masing (Zainuddin, 2006: 1). Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Sedangkan Linda L. Lindsey menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian gender. (What a given society defines as masculine or feminim is a component of gender). H. T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Bias gender sendiri dapat diartikan sebagai pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dengan sifat feminism dipandang selayaknya berperan di dalam, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan di luar. Bias gender yang mengakibatkan beban kerja juga seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan lelaki, serta dikategorikan sebagai bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Dalam pemberitaan tim sepakbola perempuan di China, perempuan masih dianggap sebelah mata, karena posisi laki-laki dalam kehidupan masyarakat di
31
umum, khususnya di China lebih mementingkan peranan laki-laki. Untuk itulah status perempuan yang dianggap sepele dan hanya dapat bekerja sesuai dengan gender dan bidangnya adalah bukan hal yang tabu lagi. Tetapi, di dalam sebuah sumber berita, dimana kaum perempuan yang merupakan anggota dari tim sepakbola di China yang telah memiliki prestasi dan kemajuan setara dengan laki-laki dapat menjadi standar yang berbeda dalam menghadapi perempuan dan laki-laki. Untuk itulah, peneliti membuat tabel unit analisis, sebagai berikut: Tabel 2 Unit Analisis Unit Analisis
Subunit analisis
Kategorisasi a. Ya
a. Laki-laki a.1. Pelatih
b. Tidak
a.2. Tim Asosiasi Sepakbola
Accuracy (Relevansi Sumber Berita)
a. Ya b. Tidak a. Ya
b. Perempuan b.1. Anggota Tim Sepakbola Perempuan
b. Tidak a. Ya
b.2. Pelatih
b. Tidak
Terdapat pendapat tentang kemajuan
a. Ya
Profesionalisme
tim yang disampaikan perempuan
b. Tidak
sebagai kontrol
Terdapat pendapat tentang kemajuan
a. Ya
tim yang disampaikan laki-laki
a. Tidak
Kesetaraan
dan Terdapat standar yang berbeda dalam
Keadilan Gender
menghadapi perempuan dan laki-laki
Neutrality
Isi berita lebih banyak diarahkan untuk
(Sensasionalisme
popularitas salah satu pihak
32
a. Ada b. Tidak a. Laki-Laki b. Perempuan c. Berimbang
/Personalisasi)
Isi berita menunjukkan salah satu pihak
a. Laki-Laki
sebagai aktor yang paling berpengaruh
b. Perempuan
dalam suatu peristiwa
c. Berimbang
Di dalam tabel unit analisis tersebut, terdapat unit analisis, sub-unit analisis, dan kategorisasi.
Accuracy (Relevansi Sumber Berita) Accuracy merupakan ketepatan media dalam memilih narasumber, yang dapat memberikan informasi dengan jelas dan lengkap akan sebuah peristiwa. Narasumber hendaknya merupakan orang yang berada dalam sebuah peristiwa, entah sebagai pelaku, saksi, atau orang yang memiliki pengetahuan atas peristiwa tersebut. Laki-laki a. Pelatih Ada atau tidaknya pendapat laki-laki dengan identitas sebagai pelatih b. Tim Asosiasi Sepakbola Ada atau tidaknya pendapat laki-laki dengan identitas sebagai tim Asosiasi Sepakbola Perempuan a. Anggota Tim Sepakbola Perempuan Ada atau tidaknya pendapat perempuan dengan identitas sebagai anggota tim sepakbola perempuan b. Pelatih Ada atau tidaknya pendapat perempuan dengan identitas sebagai pelatih Profesionalisme sebagai Kontrol Profesionalisme
sebagai
kontrol
menyatakan
posisi
jurnalis
yang
memanfaatkan beritanya untuk melakukan pemberdayaan terhadap kaum marjinal. a.
Terdapat pendapat tentang kemajuan tim yang disampaikan perempuan.
33
Ada atau tidaknya pendapat tentang kemajuan tim sepakbola yang disampaikan perempuan, seperti target, tujuan, harapan ke depan. b.
Terdapat pendapat tentang kemajuan tim yang disampaikan laki-laki. Ada atau tidaknya pendapat tentang kemajuan tim sepakbola yang
disampaikan laki-laki, seperti target, tujuan, harapan ke depan. Kesetaraan dan Keadilan Gender Isi berita yang memuat kesetaraan dan keadilan gender merepresentasikan jurnalisme yang berperspektif gender, di mana media menjadi alat yang harus dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok marjinal untuk memperjuangkan dirinya. Terdapat standar yang berbeda dalam menghadapi perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat umum maupun dalam lingkup keluarga. Isi berita memperlihatkan adanya perlakuan yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki, misalnya menyebutkan pihak perempuan jika ada peristiwa yang tidak menyenangkan. Contohnya dalam berita pencopet, laki-laki biasanya tidak disebutkan jenis kelaminnya, sedangkan jika perempuan biasanya disebutkan. Kalimat-kalimat yang merepresentasikan hal ini seperti, “Janda itu berjualan ganda”, “Ibu dua anak itu menangis di pelukan kekasih”.
Neutrality (Sensasionalisme/Personalisasi) Sebuah teks media dinyatakan memiliki ciri neutrality jika hasil pemberitaannya tidak melakukan pemihakan pada salah satu pihak. Dalam praktek jurnalistik, teks media yang sifatnya berperspektif gender tentunya tidak berpihak pada laki-laki, namun pada lebih banyak perempuan atau setidaknya berimbang. Personalisasi di sini maksudnya adalah suatu teks media hanya berfokus penuh pada salah satu pihak saja. Isi berita lebih banyak diarahkan untuk popularitas salah satu pihak Isi berita arahnya adalah membeberkan berbagai prestasi, kehebatan, dan berbagai kemajuan yang pernah diraih seseorang. 34
a. Laki-laki Di mana isi berita menyatakan prestasi dan kemenangan yang pernah diraih laki-laki dalam hal sepakbola. b. Perempuan Di mana isi berita menyatakan prestasi dan kemenangan yang pernah diraih perempuan dalam hal sepakbola. c. Berimbang Di mana isi berita menyatakan prestasi dan kemenangan yang pernah diraih oleh laki-laki dan perempuan dalam hal sepakbola. d. Tidak ada Di mana isi berita tidak sama sekali menyatakan prestasi dan kemenangan yang diraih oleh kedua belah pihak. Isi berita menunjukkan salah satu pihak sebagai aktor yang paling berpengaruh dalam suatu peristiwa. Hal ini terwujud melalui teks media yang berisi pujian yang berlebihan pada salah satu pihak, misalnya isi berita membeberkan betapa besarnya perjuangan atau betapa berjasanya seseorang dalam suatu kejadian. a. Laki-laki Di mana isi berita menyatakan laki-laki sebagai aktor yang paling berpengaruh terhadap suatu peristiwa b. Perempuan Di mana isi berita menyatakan perempuan sebagai aktor yang paling berpengaruh terhadap suatu peristiwa c. Berimbang Di mana isi berita menyatakan perempuan dan laki-laki sama-sama merupakan aktor yang berpengaruh terhadap suatu peristiwa d. Tidak ada Di mana isi berita tidak sama sekali menyatakan salah satu kedua belah pihak menjadi aktor yang berpengaruh terhadap suatu peristiwa
35
G.
Metodologi Penelitian G.1
Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai adalah metode Analisis Isi Kuantitatif. Kuantitatif merupakan sebuah metode untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Menurut Kriyantono dalam bukunya Riset Komunikasi, peneliti lebih mementingkan keluasan data, di mana data-data merupakan representasi dari keseluruhan populasi (Kriyantono, 2008: 55). Dalam Analisis Isi Kuantitatif, peneliti diharuskan untuk bersikap objektif, sistematis dan terstruktur dalam proses penelitiannya. Di mana peneliti harus menjaga jarak dengan subjek penelitiannya dengan tidak mengikutsertakan analisis dan interpretative yang bersifat subjektif. Peneliti pun tidak membuat batasan konsep maupun alat ukur sendiri, melainkan harus objektif dan batasan konsep serta alat ukurnya memenuhi prinsip reliabilitas dan validitas (Kriyantono, 2008: 55-56). Demikian pula dengan analisis isi. Salah satu ciri penting dari analisis isi adalah objektif. Peneliti tidak boleh melakukan campur tangan di dalam penelitian, entah itu dalam bentuk bias, keberpihakan, atau kecenderungan tertentu, untuk mendapatkan gambaran dari suatu isi dengan apa adanya. Di mana hasil dari analisis isi harus benar-benar mencerminkan isi teks yang diteliti bukan akibat dari subjektivitas (Eriyanto, 2011:16). Maka dari itu, analisis isi kuantitatif menurut para ahli, merupakan suatu teknik penelitian yang bertujuan untuk membuat iferensi secara valid dengan memperhatikan aspek-aspek, objektif, sistematis, dan deskripsi kuantitatif dari pesan teks yang tampak (Eriyanto, 2011:13-14). Untuk mencapai aspek-aspek tersebut, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah apakah pesan yang diteliti tersebut merupakan pesan yang tampak (manifest). Sebab jika peneliti menilai isi pesan yang tidak tampak (latent), sangat mungkin terjadi penilaian yang subjektif, tidak reliable (peneliti yang berbeda dapat jadi akan menafsirkan secara berbeda isi pesan), dan tidak replikabel
36
(penelitian yang sama diulang dan hasil penafsiran dapat jadi tidak berlaku untuk situasi dan kondisi tertentu) (Eriyanto, 2011:29). Sementara itu, untuk berita-berita yang dipakai dalam penelitian ini, merupakan berita dengan teks bahasa mandarin, peneliti menerjemahkan 51 berita tersebut untuk memperlancar proses analisis. G.2
Objek Penelitian
Semua berita terkait Tim Sepakbola Perempuan di China selama Desember 2011-Maret 2012 dalam Media Online XinHua.net. Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah semua berita terkait Tim Sepak Bola Perempuan di China selama Desember 2011-Maret 2012. Rentang waktu ini dipilih karena terdapat “Pro dan Kontra Pemilihan Pelatih Tim SepakBola Perempuan, Pertandingan Sepak Bola Perempuan Empat Negara dan Pertandingan 阿尔加夫 atau Algarve” yang penting bagi perkembangan Tim Sepak Bola Putri di China, sehingga pada saat itu, media akan melakukan peliputan guna memberitakan pada masyarakat akan perkembangan Tim sepak bola perempuan yang mana akan mengharumkan nama Negara China.
37
Grafik 1 Jumlah total Berita terkait Tim Sepakbola Perempuan di China selama Desember 2011-Maret 2012 dalam Media Online XinHua.net
Desember sebanyak 9, Januari 19, Februari 14, dan Maret 19 (Total 51 berita). G.3
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi tidak langsung, coding sheet dan studi pustaka melalui buku-buku atau literatur. Coding sheet akan memuat berita-berita serta jawaban dari unit analisis isi terkait dengan pemberitaan tim sepakbola perempuan di China selama Januari 2011 – Maret 2012. G.4
Teknik Analisa Data
Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini. Pertama, peneliti melakukan rumusan masalah terlebih dahulu “Ada atau tidakkah bias gender yang dilakukan oleh XinHua.Net dalam Pemberitaan Terkait Tim Sepakbola Perempuan China.”. Kedua, dalam penelitian ini, peneliti membuat unit analisis yang diturunkan dari teori yang sudah didapat, dan diturunkan kembali menjadi kategoriasasi. Unit analisis dan ketegorisasi tersebut akan dipakai oleh peneliti dan intercoder menganalisa berita-berita yang menjadi objek penelitian, di
38
mana hasil analisa tersebut akan dicatat dalam lembar coding sheet untuk untuk dijumlahkan menggunakan rumus yang sudah ditetapkan. Terdapat 2 jenis analisis data yang harus dilakukan oleh peneliti, yakni: 1.
Analisis Frekuensi Analisis Frekuensi merupakan sebuah bentuk yang digunakan untuk
mendeskripsikan hasil analisis ini, bentuk ini dibagi lagi dalam dua bentuk tabel frekuensi. Pertama, tabel frekuensi biasa, tabel ini hanya memuat frekuensi dari masing-masing kategori dan persentase akan objek yang diteliti. Misalnya, sebanyak X berita mengambil narasumber laki-laki saja. Kedua, tabel frekuensi dengan menyertakan jumlah kumulatif, di mana persentase dibuat untuk masing-masing kategori dan secara kumulatif. Maksudnya ialah kategori pertama dijumlah dengan kategori kedua, demikian seterusnya (Eriyanto, 2011: 305). 2.
Tabulasi Silang Tabulasi silang merupakan tabel yang memasukkan dua atau lebih variabel
untuk menjawab pertanyaan yang menghubungkan dan menyajikan dua atau lebih variabel. Variabel-variabel yang dihubungkan akan dimasukkan dalam satu tabel (Eriyanto, 2011: 306). Misalnya, peneliti hendak mengetahui berita yang memilih narasumber laki-laki dan perempuan, apakah sebagian besar pendapat dari kedua narasumber tersebut terdapat kalimat yang menggambarkan kehebatan laki-laki? G.5
Uji Revealitas Antar Code
Agar uji realibilitas tetap terjaga, maka uji revealias antar coder dilakukan, dalam hal ini peneliti akan dibantu oleh dua orang mahasiswa komunikasi (pengkoder)
yang
memiliki
pengalaman
dalam
bidang
jurnalistik,
serta
berpendidikan ilmu komunikasi. Para pengkoder tidak perlu memiliki syarat keahlian dalam membaca berita teks bahasa mandarin, karena berita yang digunakan akan diterjemahkan oleh peneliti.
39
Setelah dilakukan uji revealitas antar coder maka akan dihitung besar uji reliabilitasnya. Untuk mendapatkan hasil yang valid, maka dalam penelitian ini digunakan dua rumus untuk menguji kelayakan hasil penelitian. Rumus Uji Reliabilitas: CR = CR
: Coefficient Reliability
M
: Jumlah pernyataan yang disetujui pengkoding
N1+N2 : Jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkoding Tujuan dari uji revealitas ini adalah mengetahui seberapa jauh coding sheet dapat memahami oleh coder.
40