BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kondisi Bencana Lumpur Panas di Sidoarjo a. Aspek geologi (awal kejadian dan perkembangannya) Semburan lumpur panas di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, berjarak sekitar 200 meter dari sumur pengeboran gas Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo yang terjadi sejak tanggal 29 Mei 2006 telah berdampak sedemikian luas terhadap sendi-sendi kehidupan dan penghidupan masyarakat di sekitarnya. Volume lumpur yang keluar ke permukaan meningkat dari sekitar 5.000 m3/hari pada bulan Juni 2006 menjadi 50.000 m3/hari menjelang akhir tahun 2006, dan terus meningkat menjadi 100.000 – 180.000 m3/hari pada tahun 2007. Pusat Semburan Juni 2006 Semburan lumpur panas di Sidoarjo seperti digambarkan di atas adalah merupakan fenomena geologi yang dikenal sebagai gunung lumpur (mud volcano), yakni keluarnya lumpur yang berasal dari lapisan bawah permukaan. Padatan lumpur yang keluar berasal dari formasi Kalibeng pada kedalaman sekitar antara 1.000 s/d 3.000 meter. Lumpur yang keluar di permukaan adalah campuran air, padatan, dan gas. Lumpur mempunyai temperatur sekitar 97° C di permukaan ketika diukur pada tahun 2006-2009. Berbagai data laboratorium makin menguatkan bahwa fenomena semburan lumpur di Sidoarjo adalah fenomena GUNUNG LUMPUR, dan bukan fenomena underground blow out yang dikenal dalam perminyakan. Secara geologi daerah Sidoarjo terdapat lapisan-lapisan batuan sedimen yang cukup tebal, terdiri dari endapan delta dari sistem sedimentasi cekungan busur belakang (backarc basin). Pada umumnya terdapatnya sedimen pada sistem sedimentasi ini kaya akan kandungan hidrokarbon, sehingga mempunyai potensi dan prospek sumber daya minyak dan gas bumi. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
3
BABI Pendahuluan
Zona “Bogor-Kendeng”
Batuan di daerah Sidoarjo disusun oleh lapisan batuan sedimen yang terdiri dari batulanau, batulempung, batuserpih, batupasir dan batugamping. Umur batuan sedimen tersebut berkisar antara Miosen Awal hingga Resen. Batuan-batuan ini diendapakan di dalam 'eliosional basin', yaitu cekungan yang sangat dalam dimana formasi-formasi batuan sedimen diendapkan secara cepat (high sedimentation rate) dan tertekan secara kuat, sehingga membentuk formasi-formasi batuan bertekanan tinggi (over pressured rock formations). Tidak heran dalam cekungan endapan seperti ini muncul struktur-struktur diapir. Struktur-struktur diapir lazim dijumpai di zona depresi yang tertekan secara kuat baik secara tektonik maupun secara sedimentasi. Zona depresi ini dijumpai di bagian utara Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Formasi-formasi batuan di daerah Sidoarjo secara geologi regional termasuk ke dalam zona depresi Kendeng, yang memanjang dari bagian tengah Jawa Tengah hingga bagian timur Jawa Timur. Pada zona depresi ini terbentuk beberapa antiklinorium, dan salah satunya adalah antiklinorium Ngelam – Watudakon, yang melalui lokasi semburan lumpur. Antiklinorium-antiklinorium tersebut dipotong oleh struktur kekar dan sesar yang terbentuk akibat pergerakan lempeng tektonik. Secara regional, sistem tektonik Jawa Timur dipengaruhi oleh lempeng tektonik Indo-Australia yang bertumbukan dengan lempeng tektonik Eurasia. Lempeng tektonik Indo-Australia melesak masuk ke bawah lempeng tektonik Eurasia. Sebagai hasilnya terbentuk zona subduksi (subduction zone), yang juga merupakan pusat gempa, di bagian selatan Jawa Timur. Pergerakan ini diperkirakan sebesar 7 cm/tahun, yaitu lempeng Australia, yang berada di selatan, bergerak ke arah utara, sedangkan lempeng Eurasia di utara bergerak ke arah selatan.
4
Kondisi geologi dan pergerakan lempeng tektonik ini merupakan potensi yang sangat mendukung terhadap terjadinya erupsi lumpur panas di Sidoarjo. Ternyata fenomena erupsi lumpur seperti di Sidoarjo ini bukan yang pertama kali terjadi di sekitar Jawa Timur. Catatan sejarah menunjukkan bahwa fenomena erupsi lumpur telah terjadi sejak jaman kerajaan Jenggala dan Majapahit. Kerajaan di sekitar Jawa Timur ini berlokasi di ujung delta Brantas purba, di mana lokasi semburan lumpur panas di Sidoarjo yang sekarang berada. Fakta sejarah tersebut juga mempunyai analogi kejadiannya yang mirip dengan semburan lumpur di Sidoarjo yang sekarang. Sisa-sisa gunung lumpur hasil erupsi lumpur dari jaman Kerajaan Majapahit masih dapat ditemukan di sekitar Bandara Juanda, Dusun Kalang Anyar. Ke arah utara dari Kalang Anyar, terdapat jejak gunung lumpur Gunung Anyar. Kedua jejak gunung lumpur ini membentuk kelurusan berarah Timur Laut – Barat Daya dengan lokasi semburan lumpur panas di Porong - Sidoarjo. Ternyata di Bangkalan, Pulau Madura, juga ditemukan jejak gunung lumpur. Jika jejak-jejak gunung lumpur ini ditarik garis dari Timur Laut ke Barat Daya hingga melewati Porong akan membentuk kelurusan yang berhimpitan dengan zona Sesar Watukosek.
Sebaran Gunung Lumpur
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
5
BABI Pendahuluan
Foto Udara Mud Volcano Lusi, Pebruari 2011
Akan tetapi yang membedakan gunung lumpur di Sidoarjo dengan gunung lumpur lainnya, baik yang ada di Jawa Timur maupun yang ada di dunia, adalah yang pertama suhu semburan sangat tinggi, yaitu sekitar 1000 C di permukaan dekat dengan pusat semburan. Suhu lumpur yang tinggi tersebut memang belum pernah dijumpai di dunia. Kebanyakan semburan yang ada di dunia mempunyai suhu kamar (<400 C). Yang kedua adalah lumpur sangat kental, sehingga sulit untuk begerak secara gravitasi. Komposisi lumpur adalah mineral lempung smectite yang kaya akan mineral silikat. Yang ketiga adalah semburan lumpur di Sidoarjo diikuti oleh deformasi geologi yang aktif. Yang keempat adalah secara dimensi, baik semburan maupun dampak semburannya adalah sangat besar. Hal ini terutama semburan lumpur di Sidoarjo terjadi di tengah Luapan Lumpur dari pusat semburan kondisi tahun 2008
6
kota atau di pemukiman penduduk.
Peristiwa keluarnya material bawah permukaan secara besar-besaran dan dalam waktu lama seperti telah diterangkan di atas, menyebabkan kondisi batuan di bawah permukaan mengalami perubahan sifat, yaitu berkurangnya rapat massa formasi batuan sumber material padatan. Hal ini meningkatkan kerentanan formasi batuan tersebut untuk terjadinya penurunan (amblesan/subsidence). Amblesan ini memiliki tingkat penurunan yang bervariasi sesuai jarak terhadap pusat semburan. Di pusat semburan amblesan mencapai 20 cm per hari, namun pernah terjadi sampai 300 cm. Di samping itu, rumah-rumah dengan radius 1.000 meter mengalami proses ambles yang mengarah ke pusat semburan, dan juga tanggul pengaman lumpur yang dibangun di Peta Area Terdampak. Amblesan masih terus berlangsung, dan telah memberikan dampak luas bagi wilayah setempat. Amblesan tanah tersebut tidak pernah disadari di periode awal semburan terjadi, sekitar akhir Mei 2006. Saat itu semua orang berfikir bahwa semburan hanya sebuah kondisi biasa dari sebuah pelepasan tekanan dari bawah permukaan yang biasanya terjadi di daerah batuan yang mengandung hidrokarbon. Sehingga konsep penanganannya adalah pelepasan tekanan dengan memberi jalan sebanyak-banyak untuk pelepasan tekanan tersebut. Konsep ini diterapkan dengan melakukan pemboran pelepas tekanan dari beberapa titik di sekitar pusat semburan. Tapi ternyata konsep ini tidak berhasil, karena justru amblesan, dan yang lebih membuat pemboran ini tidak berhasil adalah terjadi pergeseran horizontal dari formasi batuan. Pergerakan horizontal dari formasi batuan mengakibatkan patahnya pipa pemboran pelepas tekanan. Pemboran pelepas tekanan ini dicoba dua kali, namun keduanya tetap tidak berhasil.
Rel Bengkok dan Pipa PDAM pecah karena pergeseran horizontal
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
7
BABI Pendahuluan Adanya deformasi geologi tersebut di atas juga telah memotong kantong-kantong gas yang terjebak di bawah permukaan tanah, sehingga gas mendapatkan jalan keluar untuk terlepas ke permukaan yang disebut bubble (bualan). Di sisi barat dan selatan dari pusat semburan (desa Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi) muncul banyak bubble yang umumnya disertai air dengan tekanan rendah, namun ada juga yang mencapai 15 (lima belas) meter. Kandungan gas yang ke luar dominan berupa gas methane yang memiliki sifat mudah Bubble Terbakar di Pemukiman Penduduk terbakar, di samping itu juga gas aromatik yang berbahaya terhadap kesehatan. Kondisi ini menyebabkan wilayah permukiman tersebut dinilai sebagai tidak layak huni dan warga menuntut untuk dimasukkan dalam Peta Area Terdampak. Fenomena semburan lumpur panas di Sidoarjo tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk bencana baru, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Ada dua faktor yang membedakan dengan bencana yang sudah pernah terjadi di dunia, yaitu (1) sumber bencana yang tidak jelas kapan akan berhenti, dan (2) pandangan bahwa semburan lumpur tersebut termasuk kategori bencana alam atau non alam. Kedua hal ini menjadikan kontroversi yang berkepanjangan dan hingga kini belum ada penetapan fenomena tersebut sebagai bencana. Perbedaan cara pandangpun tetap berkembang. Di sisi lain ada yang berpandangan bahwa hal tersebut adalah bukan bencana gagal teknologi, akan tetapi dinyatakan sebagai gunung lumpur yang tidak mungkin untuk ditutup. Kontroversi ini menimbulkan polemik berkepanjangan. Polemik ini membuat warga terdampak bingung, panik, marah, dan jengkel. Semua bentuk tekanan psikologis yang dialami warga terdampak ini ditumpahkan ke PT Lapindo Brantas dan pemerintah (Bapel BPLS) yang dianggap lambat dalam penanganannya. Kondisi kegoncangan psikologis ini semakin memuncak dengan adanya ledakan pipa gas milik PT Pertamina yang melintas di atas wilayah terdampak pada tanggal 22 November 2006 yang mengubah kondisi kebencanaan menjadi lebih parah. Kondisi geologi dan catatan sejarah di atas memberikan sebuah gambaran terhadap fenomena semburan lumpur panas, yang telah menimbulkan suatu bencana geologi sehingga telah memberikan dampak yang luar biasa bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat di sekitar Porong - Sidoarjo. Fenomena gunung lumpur yang diikuti oleh fenomena-fenomena geologis lainnya berpotensi menimbulkan ancaman, sehingga menyebabkan pada beberapa wilayah menjadi rawan bencana karena muncul pada wilayah permukiman dan fasilitas umum. Fenomena-fenomena tersebut antara lain : 8
a. Deformasi geologi. b. Semburan gas metan dan atau gas lainnya dalam bentuk bubbles. c. Pencemaran air tanah. d. Pergerakan horizontal. Semburan sampai saat ini masing berlangsung walaupun volume lumpur tidak seperti awal kejadian di tahun 2006-2007. Saat ini volume semburan diperhitungkan kurang dari 10.000 m3/hari. Intensitas semburan menunjukkan tingkah laku freatik, yaitu semburan tidak kontinyu dalam intensitas tinggi. Loncatan semburan kadang-kadang mencapai 5 m, tapi seringkali hanya 1-2 m saja. Kondisi ini diyakini telah melampaui fase puncak, bahkan fase rendah, sehingga sekarang semburan menunjukkan menuju fase istirahat. Fase semburan ini bukan berarti semburan berhenti, tapi secara intensitas semburan telah jauh berkurang dari Semburan saat volume besar (Oktober 2009) dan saat volume berkurang (Agustus 2010) semburan pada awal kejadian. Kondisi suhu lumpur saat ini (akhir 2010) sudah jauh berubah dan sudah jauh menurun, yaitu sekitar 40-600 C. Begitu juga viskositas lumpur sudah berubah, lumpur sudah jauh lebih encer dibandingkan dengan sebelumnya. Semburan sekarang didominasi oleh air dengan proporsi air dengan padatan adalah sekitar 70% : 30%. Meskipun volume semburan pada akhir tahun 2010 telah jauh berkurang, dan proporsi kandungan padatan lumpur dengan air juga telah berubah, namun terdapat fenomena geologi lain yang perlu untuk terus dicermati dan diwaspadai yaitu naiknya elevasi kolam lumpur secara keseluruhan, baik pada permukaan yang berbatasan dengan tanggul, dan khususnya pada permukaan di sekitar pusat semburan. Pada awal bulan Januari 2011 elevasi daerah sekitar permukaan pusat semburan telah mencapai elevasi + 14.350, sementara pengukuran pada September 2010 elevasi di sekitar pusat semburan masih menunjukkan pada elevasi + 13.836, dengan radius sekitar 100 m dari pusat semburan. Dengan kondisi tersebut, gunung lumpur menjadi semakin tinggi dan dapat menimbulkan bahaya longsor/lahar gunung lumpur bilamana titik kritis kelerengan gunung lumpur telah dilampaui dan dipicu oleh adanya air hujan yang membebani lereng gunung lumpur. Fenomena ini menunjukan, meskipun semburan lumpur pada puncak gunung lumpur sudah mengecil ± 10.000 m3/hari, namun massa lumpur yang mendesak permukaan lumpur sehingga menggelembungkan badan gunung lumpur dan menambah tinggi permukaan pusat semburan, masih cukup besar dan tidak terlihat dengan mata telanjang. Dengan naiknya elevasi permukaan gunung lumpur menunjukkan bahwa volume lumpur yang keluar dari perut bumi masih besar, dan tertampung di kolam lumpur terus bertambah, meskipun volume yang keluar dari pusat semburan menampakkan jumlah yang cenderung menurun.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
9
BABI Pendahuluan Bahaya akibat longsor gunung lumpur adalah tergesernya massa lumpur mendesak tanggul yang membatasi kolam lumpur, hal ini dapat terlihat pada titik P71 – P70 di utara, titik P21A – P10D dibagian barat dan P80 di selatan. Menurut pengamatan, dalam tahun 2010 peristiwa longsornya lereng gunung lumpur telah terjadi sebanyak 18 kali dan mengakibatkan 2 (dua) buah kapal keruk di lokasi P43 terdesak material lumpur sejauh 100 m menuju P43 - P80 dan 2 (dua) buah kapal keruk di lokasi P25, sehingga perlu pembenahan sistem ± 3 minggu. Seperti telah diterangkan sebelumnya, fenomena geologi lainnya menyusul terjadinya semburan lumpur adalah deformasi geologi. Fenomena geologi ini adalah pergerakan formasi batuan secara lateral dan horizontal. Dampak dari deformasi geologi adalah retakan yang terjadi di permukaan yang kemudian diikuti oleh tembusan gas dan air di dalam maupun luar Peta Area Terdampak. Fenomena deformasi geologi ini menjadi kendala utama secara teknis dalam upaya penanggulangan semburan lumpur, sebagaimana yang telah dialami sebelumnya pada upaya penghentian semburan lumpur dengan relief well. Deformasi geologi juga telah menyebabkan amblesan di sekitar pusat semburan, sehingga mengakibatkan perubahan diameter lubang pusat semburan. Saat ini lubang pusat semburan telah mencapai diameter 120 m, sedangkan saat pertama kali semburan muncul hanya berdiameter beberapa sentimeter saja. Pusat semburan sering berpindahpindah, kadang terjadi tiga pusat semburan dalam waktu bersamaan, walaupun kemudian pusat semburan utama tetap pada satu lubang kepundan.
3 Titik Pusat Semburan Dalam Satu Kepundan
10
Dinamika Perubahan Posisi Pusat Semburan
Berdasarkan data citra satelit yang dipublikasikan oleh CRISP (www.crisp.nus.edu.sg) pada tanggal 5 Juni 2006, 22 April 2007, 5 Januari 2008, 28 Agustus 2008, 11 Oktober 2008, 5 Desember 2008, 30 Maret 2009, 26 Juni 2009, 30 September 2009, 9 Pebruari 2010, April 2010 dan 31 Mei 2010, 23 Juni 2010, 28 Agustus 2010, 26 September 2010, 17 November, dan setelah dilakukan analisa interpretasi, diperoleh fakta bahwa pusat semburan lumpur panas mengalami pergeseran letaknya 16 (enam belas) kali. Kejadian berpindahnya pusat semburan disebabkan oleh deformasi geologi di sekitar pusat semburan, dan tercatat bahwa amblesan di sekitar pusat semburan pernah mencapai 25-40 cm/hari pada tahun 2008-2009. Pada bulan Juni-Juli 2009, tanggul cincin yang dibangun sebagai counter pressure untuk luapan lumpur telah ambles. Dengan demikian tanggul penahan adalah tanggul luar yang dibangun di sekitar area terdampak (PAT) seluas 641 Ha. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan BPLS selama 2 tahun terakhir, ternyata pergerakan horizontal dari formasi batuan adalah maksimum sebesar 60 cm. Pergerakan ini terutama terjadi di sekitar jembatan tol lama, atau sekitar 800 m arah utara – barat dari pusat semburan. Sedangkan amblesan yang terjadi titik yang sama dan pada durasi yang sama adalah sekitar 70 cm.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
11
BABI Pendahuluan
Deformasi Geologi Berupa “Amblongan”
Bubble, retakan, amblesan dan “amblongan” mengindikasikan bahwa ancaman deformasi geologi masih tinggi, khususnya di wilayah Jatirejo, Siring Barat, Ketapang dan Pamotan. Deformasi geologi ini tentu saja memberikan dampak yang nyata terhadap kestabilan tanggul. Tanggul penahan lumpur di sisi barat terus menerus mengalami penurunan. Titik tercepat penurunan adalah di sekitar jembatan tol putus (p.10A - p.11) di Siring Barat. Dengan demikian Bapel-BPLS perlu terus menerus melakukan monitoring terhadap deformasi geologi ini baik yang terjadi di tanggul, maupun yang terjadi di luar wilayah PAT.
b. Dampak yang ditimbulkan Dampak dari bencana lumpur Sidoarjo begitu luas, baik berupa lahan, rumah, bangunan sekolah (termasuk TPQ), tempat ibadah (masjid), pabrik, dan jalan yang tergenang, maupun penduduk yang terpaksa harus dipindahkan. Korban dan kerugian akibat bencana lumpur Sidoarjo masih saja bertambah sejalan dengan perkembangan waktu. Pada awal penanganan semburan dan luapan lumpur oleh Bapel – BPLS, berdasarkan data yang disampaikan oleh TimNas, jumlah korban dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana semburan dan luapan lumpur Sidoarjo adalah: − Luas lahan terdampak 518 hektar. − Jumlah korban warga/penduduk terdampak sampai dengan tanggal 16 Februari 2007
adalah 5.900 KK atau 22.301 jiwa. pada bangunan (rumah dan fasilitas umum) adalah 11.006 rumah, 33 bangunan sekolah, 28 bangunan Tempat Pendidikan al Qur'an (TPQ), 65 bangunan masjid dan surau, 30 bangunan pabrik, dan 4 bangunan perkantoran. − Rusaknya infrastruktur kereta api dengan nilai kerusakan yang diperkirakan mencapai Rp. 705.193.000,− Dampak
Dampak Luapan Lumpur Terhadap Rel KA, Jalan Raya, dan Permukiman
12
Dampak Luapan Lumpur Jaringan SUTT, Pipa Gas, dan Jalan Tol
− Terputusnya ruas jalan tol Porong – Gempol sepanjang 5,5 km, sehingga perlu
direlokasi. Kehilangan penghasilan pengelola jalan tol (PT Jasa Marga) akibat terputusnya ruas tol Porong – Gempol ini adalah sebesar 60 juta – 80 juta rup iah/hari dengan jumlah kendaraan yang terlayani sebanyak 50.000 kendaraan/hari. Sejak terjadinya ledakan pipa gas pada tanggal 22 November 2006 sampai tanggal 2 Februari 2007, jumlah total kerugian PT. Jasa Marga berkisar antara Rp 7,32 milyar Rp 9,76 milyar. − Terputusnya jaringan irigasi dan drainase kawasan sehingga perlu direlokasi dan
direvitalisasi. − Pecahnya pipa PDAM Kota Surabaya dan pipa gas Pertamina.
Dengan terus berlangsungnya semburan dan luapan lumpur Sidoarjo, pada awal bulan Maret 2007 luapan lumpur telah menggenangi dan menenggelamkan wilayah hunian seluas 641 Ha di 12 desa/kelurahan, yaitu Desa Siring, Jatirejo, Mindi, Renokenongo, Kedungbendo, Gempolsari, Pejarakan, Besuki, Gempolsari, Glagaharum, Ketapang, dan Kalitengah. Dari 12 desa tersebut terdapat dua desa yang seluruh wilayahnya tergenangi lumpur, yaitu Desa Renokenongo dan Kedungbendo. Sebanyak lebih kurang 14.000 KK/40.000 jiwa di 12 desa/kelurahan tersebut menjadi korban luapan lumpur, dan sebanyak 9.385 kepala keluarga atau sebanyak 36.403 jiwa di antaranya harus mengungsi serta meninggalkan desa dan tempat tinggalnya untuk selama-lamanya karena sudah tidak mungkin untuk dihuni kembali. Untuk memberikan kejelasan dalam penanganan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh semburan dan luapan lumpur Sidoarjo, wilayah 12 desa tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai wilayah terdampak berdasarkan Peta Area Terdampak (PAT) tanggal 22 Maret 2007. Dengan masih berlanjutnya aktivitas gunung lumpur dan fenomena deformasi geologi, semburan gas metan dan atau gas lainnya dalam bentuk bubbles, pencemaran air tanah, dan pergerakan horizontal tanah, maka dampak yang ditimbulkan bergerak ke wilayah di luar Peta Area Terdampak (PAT) 22 Maret 2007, sehingga ancaman kedaruratan wilayah tidak layak huni juga menyebar pada wilayah di luar PAT. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
13
BABI Pendahuluan
Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 (Perpres 14 2007)
Di samping itu, dengan adanya paradigma bahwa tanggul cincin sulit dipertahankan, rencana mitigasi penanganan luapan lumpur mengalami pengembangan, yakni dilakukan dengan membangun kolam baru di 3 (tiga) desa (Desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan) yang berbatasan dengan Kali Porong dan membangun sistem pengaliran luapan lumpur untuk mengalirkan luapan lumpur di kolam Renokenongo ke Kali Porong. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah akhirnya mengubah Perpres Nomor 14 Tahun 2007 dengan Perpres Nomor 48 Tahun 2008 yang antara lain dalam penetapannya memasukkan 3 desa yaitu Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring dalam Peta Area Terdampak baru dengan pembiayaan penyelesaian masalah sosial sepenuhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah warga terdampak di 3 desa tersebut adalah 1.666 KK dengan 6.094 jiwa, dengan lahan seluas 112 Ha yang terbagi dalam 1.790 bidang tanah milik warga. Jumlah bangunan rumah yang terdampak dalam 3 desa tersebut adalah 1.253 rumah, sedangkan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang terdampak meliputi 2 bangunan kantor desa, 1 PUSKESMAS, 1 balai RW, 3 bangunan sekolah (tingkat SD dan TK), 13 tempat ibadah (masjid dan surau), 2 rumah dinas, 2 lapangan olah raga, 4 pemakaman umum, 1 saluran air, dan jalan umum desa/ jalan lingkungan dengan total nilai (khusus untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial) lebih kurang sebesar Rp. 96.131.500.000,-.
14
Peta wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 (Berdasarkan Perpres 48/2008)
Dampak terhadap terputusnya ruas jalan tol Porong – Gempol, mengakibatkan beban Jalan Raya Porong (jalan arteri Siring – Porong) menjadi bertambah karena hampir semua lalu lintas dari arah Malang dan Pasuruan menuju Surabaya dan sebaliknya, terpaksa harus melalui jalan arteri tersebut. Dengan masih berlangsungnya fenomena deformasi geologi, sejak tahun 2008 Jalan Raya Porong (jalan arteri Siring Porong) telah mengalami penurunan permukaan beberapa kali, sehingga mengganggu arus lalu lintas Porong – Surabaya dan sebaliknya, serta harus ditinggikan permukaannya agar tetap layak untuk dilalui semua jenis kendaraan. Dalam perkembangannya, meskipun berbagai upaya pengendalian semburan dan luapan lumpur telah dilakukan, wilayah terdampak akibat deformasi geologi pada tahun 2009 semakin bertambah. Dengan kondisi tersebut, Pemerintah menetapkan dalam Perpres No. 40 Tahun 2009, wilayah 9 RT di Desa Siring Barat, Jatirejo dan Mindi termasuk ke dalam kondisi wilayah tidak layak huni. Pada wilayah 9 RT ini terdapat 830 KK dengan 2.970 jiwa, dan kepada warga terdampak diberikan bantuan sosial yang berupa sewa rumah, evakuasi, dan jaminan hidup. Mengingat sampai dengan saat ini dampak terjadinya fenomena geologi bawah permukaan akibat terjadinya semburan lumpur Sidoarjo relatif masih sulit diperkirakan, maka kewaspadaan terhadap munculnya wilayah terdampak baru harus senantiasa ditingkatkan, untuk meminimalisir jumlah kerugian dan timbulnya permasalahan sosial baru. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
15
BABI Pendahuluan 1.1.2. Upaya yang dilakukan dalam penanggulangan bencana lumpur Bidang Operasi Sebagaimana diketahui bahwa tugas penanggulangan semburan dan luapan lumpur beserta dampaknya tidak hanya menjadi tugas Bapel-BPLS, namun juga menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas. Pembagian tugas telah jelas diatur dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yaitu Bapel-BPLS melakukan upaya penanggulangan yang terkait dengan masalah infrastruktur dan masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan biaya dari APBN, serta melakukan pengendalian dan pengawasan atas upaya penanggulangan yang dilakukan PT Lapindo Brantas, sedang PT Lapindo Brantas melakukan upaya penanggulangan semburan dan luapan lumpur di dalam peta area terdampak dengan biaya ditanggung sendiri oleh PT Lapindo Brantas. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam Renstra Bapel-BPLS 2007-2011 terdapat 2 sasaran yang terkait dengan bidang operasi yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, dan dalam pengendalian Bapel-BPLS, yaitu: 1. Terkendalinya semburan lumpur dengan metode yang paling aman, layak secara teknis dan finansial; 2. Berkurangnya potensi bahaya dan meluasnya dampak luapan lumpur dengan mengalirkan lumpur ke Kali Porong secara aman dan efektif. Sedang sasaran yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bapel-BPLS adalah: 3. Terlaksananya kegiatan pemantauan deformasi geologi yang berupa gerakan tanah (horizontal/vertikal/lateral) di sekitar semburan (4 Paket) dan kondisi subsurface, serta penanganan dampak deformasi di permukaan bumi berupa semburan air/gas yang mengancam keselamatan warga, di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 (60 titik); 4. Tersedianya data dan informasi (geologi, semburan dan luapan lumpur, kualitas air dan gas) sebagai dasar penanganan area terdampak, rencana pemanfaatan gas dan lumpur, serta penentuan daerah rawan terdampak (10 paket). Meskipun sasaran nomor 1 dan 2 tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya PT Lapindo Brantas namun karena dalam pengendalian dan pengawasan Bapel-BPLS, serta karena pencapaian kinerja PT Lapindo Brantas dalam mencapai 2 sasaran tersebut akan berpengaruh pada capaian kinerja Bapel-BPLS dalam penanganan masalah infrastruktur dan sosial kemasyarakatan di luas peta area terdampak, maka pada analisis capaian kinerja ini termasuk juga analisis capaian kinerja dari sasaran nomor 1 dan 2 tersebut di atas meskipun disajikan secara umum. Pencapaian sasaran oleh PT Lapindo Brantas dengan pengendalian dan pengawasan dari BAPEL-BPLS Sampai dengan pertengahan tahun 2009, gambaran pencapaian kinerja sasaran yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas adalah yang terkait dengan sasaran: 16
a. Terkendalinya semburan lumpur dengan metode yang paling aman, layak secara teknis dan finansial, dan b. Berkurangnya potensi bahaya dan meluasnya dampak luapan lumpur dengan mengalirkan lumpur ke Kali Porong secara aman dan efektif. a. Pengendalian semburan lumpur dengan metode paling aman, layak secara teknis dan finansial dengan mengarahkan pengaliran lumpur ke arah selatan (tepatnya arah barat selatan) melalui perkuatan dan peninggian tanggul cincin dengan elevasi minimum +15.00 DPL ternyata sulit dicapai dan dipertahankan akibat semakin besarnya magnitude subsidence akibat deformasi geologi, meskipun berbagai upaya untuk mempertahankan dan meninggikan tanggul cincin sudah diupayakan oleh PT Lapindo Brantas. Dalam tahun 2008 hampir setiap bulan terjadi tanggul jebol baik sebagai akibat dari pergeseran tanah (subsidence) maupun sebagai akibat dari luber (overtopping), sehingga aliran lumpur tidak dapat mengarah ke selatan tapi mengarah ke arah lain dan hal ini menjadi sangat membahayakan daerah lain apabila tidak segera diatasi. Pada pergeseran tanah (subsidence) di awal Kondisi Tanggul Cincin Mei 2008 dan Februari 2009 tahun 2008, lokasi terendah bergeser dari sebelah barat-selatan (P.35) ke titik P.41 (sebelah timur-selatan), sehingga hampir semua pompa-pompa dipindahkan ke titik P.41 karena lumpur tidak bisa dialirkan ke titik-titik pompa berada (P.35), kemudian dipasang pipa-pipa besi diameter 32 inch (1 line) dan 20 inch (6 line) sepanjang ± 1000 meter yang memakan waktu serta biaya yang besar, terlebih karena seringnya dihentikan oleh warga Desa Besuki yang menuntut dimasukkannya desa mereka ke dalam peta area terdampak. Karena jarak buang menjadi lebih jauh, maka total kapasitas pompa-pompa jauh menurun, terlebih karena 5 unit pompa Grundfos tidak bisa dipindah dan hanya difungsikan sebagai pompa drainase air hujan, sehingga pada awal Maret 2008 dimobilisasi 2 unit pompa booster dengan kapasitas total 0,8 m3/det di titik P.42. Pada akhirnya mulai terlihat bahwa rencana peninggian tanggul cincin menjadi +21.00 m DPL menjadi sulit terwujud karena meningkatnya 'rate of subsidence'. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
17
BABI Pendahuluan Pada bulan Juli 2008, subsidence meningkat di sekitar semburan, sehingga tanggul cincin menurun dengan cepat. Dengan beberapa kali kejadian penurunan tanah di pusat semburan tersebut, disimpulkan bahwa tanggul cincin tidak bisa dipertahankan lagi dan Bapel-BPLS harus melakukan perkuatan dan peninggian tanggul luar, serta pompa-pompa yang ada harus dipindahkan ke dekat pusat semburan (titik P.43). b. Strategi yang ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran “Berkurangnya potensi bahaya dan meluasnya dampak luapan lumpur dengan mengalirkan lumpur ke Kali Porong secara aman dan efektif” tersebut adalah mengendalikan luapan lumpur panas dengan mengalirkannya ke Kali Porong secara aman dan efektif, dengan cara membuat: 1. demarkasi lumpur panas pada pusat semburan dan kolam lumpur diamankan dengan struktur tanggul yang kokoh dengan elevasi tanggul +13.50 m DPL; 2. sistem pembuangan lumpur menuju Kali Porong dengan ujung outlet di hilir jembatan Kali Porong; 3. pengerukan endapan dan pengaliran lumpur maksimal pada musim hujan dan minimal pada musim kemarau dan sebagian besar ditampung pada kolam lumpur. Kemampuan pengaliran lumpur panas dan pengerukan endapan lumpur sangat jauh dari yang diharapkan sehingga tidak tercipta ruang untuk penampungan lumpur pada musim kemarau dan bahkan elevasi lumpur bertambah tinggi. Tercatat selama dua tahun kemampuan pengaliran lumpur ke Kali Porong hanya sebesar 7.782.185 m3 (padatan) dibandingkan semburan lumpur yang volumenya mencapai 26.800.000 m3 (padatan), sedang tanggul cincin mengalami jebol dan overtopping rata-rata lebih dari 1 (satu) kali dalam setiap bulan. Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas dalam upaya pengaliran lumpur menuju ke Kali Porong, antara lain: • Untuk mengalirkan lumpur dari pusat semburan ke arah titik P. 35 di mana terpasang 4 unit pompa Slurry (total kapasitas 1 m3/det), PT Lapindo Brantas menggunakan 8 unit Excavator Pontoon dan 15 unit Excavator Long Arm sebagai pengayuh lumpur panas. Sedangkan untuk mendukung sistem pengaliran luapan lumpur, dioperasikan 4 unit pompa air sebagai pengencer dan pendingin pompa lumpur, dengan total kapasitas 1,2 m3/det, serta 4 unit pompa drainase. ? Meskipun sistem pengaliran mekanis beroperasi 18 jam sehari, namun luapan
lumpur masih berkejaran dengan ketinggian tanggul, sehingga diperlukan ± 500 dump truck kapasitas 20 m3 bermuatan tanah, dibantu dengan 3 buah dozer dan 3 buah vibro compactor untuk mempertinggi dan memperkuat tanggul utama dan tanggul cincin saja.
18
Kapal Keruk, Pompa Inject, dan Booster Sebagai Sistem Pengaliran Lumpur ke Kali Porong
Dalam perkembangannya, semakin banyak pompa-pompa yang terpasang, serta didatangkan 1 unit kapal keruk, 1 unit pompa Sumptech dan 6 unit pompa sakuragawa, dengan total kapasitas menjadi 8,5 m3/det. Namun sistem pengaliran lumpur masih tetap seperti semula, dan kelihatannya kemudian terbukti bahwa kapasitas operasional pompa yang ada jauh di bawah volume lumpur yang ke luar dari semburan, sehingga tanggul kolam utama terus dinaikkan sampai elevasi +09.50 m DPL. Perlu dicatat bahwa pompa-pompa air Grundfos tidak cocok karena tidak tahan panas dan cepat aus terkena gesekan lumpur panas, sehingga tidak dapat beroperasi optimal (durasi pendek) dan berumur pendek, sedangkan pompa-pompa slurry dengan penggerak motor listrik, juga tidak tahan terhadap panas dan beban yang tidak kontinyu. Oleh karena 5 unit pompa Grundfos tidak bisa dipindah dan hanya difungsikan sebagai pompa drainase air hujan, maka pada awal Maret 2008 dimobilisasi 2 unit pompa booster dengan kapasitas total 0,8m3/det di titik P.42. Pada bulan Juni 2008 dibuat rencana untuk mendatangkan tambahan 7 unit dredger yang akan mengeruk lumpur di kolam utama pada musim hujan dan mengalirkannya ke Kali Porong besar. Karena adanya krisis keuangan global, sejak bulan September 2008 kondisi keuangan PT Lapindo Brantas / PT Minarak Lapindo Jaya melemah, sehingga pengadaan dredger menjadi tertunda dan berakibat pada menurunnya kemampuan dalam penanganan semburan dan luapan lumpur. Dengan ditetapkannya Perpres Nomor 40 Tahun 2009, yang antara lain menetapkan bahwa Bapel - BPLS bertanggung jawab atas pengaliran lumpur ke Kali Porong, Bapel – BPLS secara bertahap mendatangkan dan mengoperasikan lagi 5 unit pompa air, 3 unit pompa booster dan 4 unit kapal keruk beserta 4 unit boosternya untuk dioperasikan sebagai sistem pengaliran lumpur ke Kali Porong. Dalam perjalanan waktu sampai dengan akhir 2009 semakin jelas adanya “fenomena gunung lumpur” dengan terbentuknya kerucut dan badan gunung lumpur, yang terlihat dengan semakin tingginya puncak semburan dan menggelembungnya badan gunung lumpur. Meskipun semburan lumpur mengecil dan lebih encer, namun desakan lumpur padu di bawah permukaan gunung lumpur volumenya relatif besar. Secara nyata memang tidak bisa diukur secara tepat karena tidak dapat dilihat secara kasat mata. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
19
BABI Pendahuluan Fenomena ini menyebabkan perubahan metoda pengaliran lumpur yang semula mengalirkan lumpur panas dari dekat kali Porong (dengan jarak + 800 m) dengan pompapompa lumpur, menjadi pengerukan lumpur padu dari dekat pusat semburan yang relatif lebih jauh dari Kali Porong (+ 2.500 m) dengan menggunakan kapal keruk dan booster dengan menggunakan media air. Resiko pengerukan lumpur tersebut adalah sering longsornya lumpur padu dari kerucut gunung lumpur yang menyebabkan sistem pengerukan menjadi berantakan dan harus disetting ulang yang membutuhkan waktu yang lama (+ 3 minggu). Dengan memperhatikan sifat lumpur, maka untuk dapat mengalirkannya ke Kali Porong dalam upaya penanganan luapan lumpur, Bapel BPLS perlu melakukan investasi alat untuk pengaliran lumpur tersebut, berupa kapal keruk, pompa dan booster. Investasi ini tentu saja menelan biaya awal yang cukup besar, namun setelah peralatan tersebut tersedia maka untuk menunjang pelaksanaan pengaliran lumpur ke Kali Porong hanya akan membutuhkan biaya operasi dan pemeliharaan. Pengaliran luapan lumpur ke Kali Porong tentu akan memberi dampak, baik terhadap kondisi Kali Porong itu sendiri maupun kondisi di muara Kali Porong. Untuk mengurangi dampak negatif, baik bagi Kali Porong maupun lingkungan di sekitarnya, Bapel BPLS telah melakukan investasi perbaikan badan sungai dengan revetment, dan pengerukan endapan di muara Kali Porong, yang selanjutnya material kerukannya dimanfaatkan untuk mereklamasi lingkungan baru habitat muara. Reklamasi ini berupa “pulau baru” di muara yang sudah mulai ditanami dengan tanaman mangrove.
Bidang Sosial Aspek penting lain dari terjadinya semburan dan luapan lumpur adalah kebencanaan. Aspek kebencanaan ini telah mengancam kehidupan sosial kemasyarakatan warga terdampak, kerusakan lingkungan berupa amblesan dan bubble (tembusan gas dan air). Unsur-unsur utama dalam permasalahan sosial adalah manusia yang menjadi penyandang masalah dengan segala sikap dan perilakunya, lingkungan hidup, berbagai proses kelembagaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan, dan sistem nilai sosial budaya dan norma yang berlaku di lokasi tersebut. Pada kejadian semburan lumpur Sidoarjo, ada beberapa kelompok sosial yang dominan yang memberi pengaruh pada perkembangan permasalahan tersebut, antara lain: 1. Kelompok warga korban semburan lumpur dan fenomena geologi lainnya 2. Kelompok aparat pemerintahan desa/kelurahan 3. Kelompok-kelompok kepentingan di luar kedua kelompok di atas.
20
Oleh karena itu dalam penanganan masalah sosial kemasyarakatan Bapel - BPLS tidak hanya menghadapi warga, tetapi harus menghadapi ketiga kelompok sosial di atas sekaligus. Kondisi warga korban luapan lumpur sebagai penyandang permasalahan sosial yang berkembang di 18 desa terdampak dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Mengalami ketegangan sosial psikologis dengan tingkatan yang bervariasi 2. Kurang kondusifnya kondisi lingkungan hidup 3. Kehilangan harta benda, kesempatan berusaha, pekerjaan, sumber penghasilan, fasilitas-fasilitas umum, sosial, peribadatan, dan pendidikan. Sementara itu ada pihak-pihak lain di luar korban yang ingin memanfaatkan korban untuk kepentingan tertentu. Ada pula kelompok-kelompok advokasi yang semakin memperluas dampak sosial yang berujung pada pernyataan adanya pelanggaran hak asasi manusia. Sesuai dengan indikator kinerja utama Bidang Sosial yaitu mengurangi dampak sosial, maka dalam rangka penanganan permasalahan sosial yang berkembang di atas, dilaksanakan kegiatan pemberian bantuan sosial, perlindungan sosial, dan pemulihan sosial. Untuk mewujudkan sasaran kegiatan yang telah ditetapkan dikembangkan upaya-upaya sebagai berikut: 1.
Ventilasi, yaitu sebuah upaya untuk menenangkan dan menstabilkan kondisi psiko sosial warga. Pada awal semburan dan luapan lumpur warga yang menjadi korban luapan lumpur mengalami ketegangan psikologis yang sangat tinggi sebagai dampak dari keterkejutan terjadinya musibah semburan lumpur panas, serta ketenteramannya terusik karena adanya fenomena-fenomena yang terus mengancam kondisi kehidupannya. Kondisi psikologis demikian ini juga muncul kembali apabila terjadi fenomena geologis yang membahayakan.
2.
Penjaringan permasalahan dan aspirasi warga korban luapan lumpur dan fenomena geologis lainnya. Upaya ini dimaksudkan untuk menginventarisasikan segala bentuk permasalahan, dan kebutuhan-kebutuhan baik melalui asesmen maupun pernyataan-pernyataannya secara langsung. Dari inventarisasi ini selanjutnya permasalahan sosial dideskripsikan, diklasifikasikan dan dikategorikan. Kategorinya adalah masalah-masalah sosial yang dapat diselesaikan oleh BPLS sendiri, perlu bekerja sama dengan instansi lain, dan rujukan.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
21
BABI Pendahuluan 3. Membangun kerja sama yang baik dengan aparat dan masyarakat desa di 18 desa terdampak. Membangun kerja sama dengan aparat desa pada awalnya bukanlah hal yang mudah, karena sebagian besar dari aparat desa juga merupakan korban yang dalam waktu-waktu tertentu larut dengan gerakan masyarakat dalam memperjuangkan haknya. Namun kerja sama ini harus tetap terbangun karena aparat desa garda terdepan pemberi layanan pemerintahan. 4. Membangun informasi, komunikasi dan koordinasi dengan kelompok-kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok kepentingan ada yang bersifat mendukung atau sebaliknya menghambat proses penanggulangan lumpur dan penanganan masalah sosial. BPLS dalam hal ini berupaya agar kedua kelompok tersebut dapat memberikan kontribusi positif. 5. Mengembangkan kesiapsiagaan dan tanggap darurat
Pelatihan Tanggap Darurat Bencana
Sebagaimana telah disebutkan di atas fenomena-fenomena geologis yang masih terus berlangsung sehingga ancaman terhadap ketenteraman dan keselamatan warga juga masih berlanjut, maka di wilayah 18 desa dianggap sebagai wilayah darurat. Kesiapsiagaan diwujudkan dalam bentuk pemberian informasi/peringatan dini, pelatihan satuan tugas penanggulangan bencana. Sedangkan layanan tanggap darurat diupayakan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar secara minimal. 6. Sosialisasi program dan kegiatan Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana atau permasalahan sosial secara umum. Selain hal itu sosialisasi juga dimaksudkan sebagai teknik untuk menjaring aspirasi masyarakat.
Sosialisasi Proses Jual Beli Tanah dan Bangunan di Besuki
22
7. Fasilitasi Dengan mengingat besar dan luasnya dampak semburan lumpur Sidoarjo, khususnya dalam masalah jual beli tanah dan bangunan, BPLS mengupayakan langkah-langkah yang bersifat failitasi sehingga jual beli tersebut dapat berjalan lebih lancar. Bentuk dari kegiatan fasilitasi ini antara lain adalah pembentukan tim verifikasi dokumen fisik tanah dan bangunan, melaksanakan peran-peran mediasi, penerus Pelatihan Keterampilan Jahit Sepatu dan penyebar informasi, klarifikasi, dan pengorganisasianWarga Korban pelaksanaan verifikasi tersebut. Kegiatan fasilitasi lainnya adalah pelatihan keterampilan dalam rangka kemudahan untuk mendapatkan kesempatan kerja dan berusaha/menjalankan usaha mikro mandiri. 8. Pengambilan Sumpah Warga Warga yang tidak mempunyai dokumen bukti-bukti kepemilikan tanah dan bangunan karena dokumen tersebut tidak dapat diselamatkan dari semburan/ luapan lumpur, dan kondisi fisik di lapangan tanah dan bangunan miliknya tersebut tidak mungkin dilacak karena seluruhnya terendam lumpur, maka untuk menentukan luas tanah serta kondisinya, dan bangunan miliknya, warga diminta untuk memberikan keterangan tentang hal tersebut dengan sumpah di Pengambilan Sumpah depan para petugas dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Sidoarjo. Keterangan tentang luas tanah dan bangunan hasil sumpah ini dijadikan dasar untuk menentukan besarnya jual beli tanah dan bangunan. 9.
Memantau kondisi lingkungan hidup Wilayah 18 desa merupakan wilayah rawan bencana geologis dan bencana sosial. Oleh karena itu kondisi lingkungan dipantau secara rutin dengan frekuensi sedikitnya satu bulan sekali.
10. Memberikan bantuan sosial kepada warga yang terpaksa harus dipindahkan Dalam hal terjadi kondisi tempat tinggal warga sangat membahayakan bagi, maka warga dipindahkan untuk sementara. Warga diberi bantuan sosial yang berupa bantuan kontrak rumah, bantuan biaya pindah, dan tunjangan hidup.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
23
BABI Pendahuluan 11. PPPK dan rawatan lanjut bagi warga yang mengalami kecelakaan apabila terjadi bencana.
Bantuan Pelayanan Kesehatan
Apabila fenomena gunung lumpur dan geologis lainnya membawa korban, maka pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK) diberikan secara cuma-cuma kepada warga korban. Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo dan instansi terkait lainnya. Apabila diperlukan rawatan kesehatan lanjut, maka dilakukan rujukan ke RSUD.
12. Bantuan biaya pemakaman BPLS memberikan bantuan biaya pemakaman sebesar Rp. 1.000.000,- kepada keluarga yang berduka. Bantuan ini diberikan sebagai biaya pengangkutan jenazah dari rumah duka ke makam umum yang jaraknya cukup jauh, karena sebagian besar makam desa sudah terendam lumpur. 13. Penanganan Pengaduan Masyarakat Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyampaikan permasalahannya baik melalui pertemuan formal maupun informal. Apa pun permasalahannya akan ditampung dan ditindaklanjuti. Masalah-masalah yang di luar kemampuan dan kewenangan BPLS akan dirujukkan ke instansi terkait yang berkompoten. 14. Mediasi Terkait dengan jual beli tanah dan bangunan telah terungkap sangat banyak permasalahan keluarga, misalnya kelengkapan administrasi dokumen jual beli tanah dan bangunan, pengingkaran keabsahan dokumen oleh salah satu pihak, tuntutan terhadap orang-orang yang semestinya tidak berhak melaksanakan jual beli, sengketa waris, pembagian harta pada keluarga yang mengalami poligami, kesalahan pembagian/ penggunaan harta hasil jual beli, dll. BPLS dalam hal ini berupaya untuk menjadi mediator agar permasalahan di atas dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik oleh pihak-pihak yang terkait.
Bidang Infrastruktur Pada awal pelaksanaan tugas Bapel-BPLS, tinggi tanggul penahan lumpur masih terbatas dan banyak lokasi rencana tanggul yang belum terbangun, serta luapan lumpur belum terkendali. Agar luapan lumpur dapat dikendalikan dan bahkan dicegah, upaya percepatan pembangunan tanggul penahan lumpur perlu segera dilakukan.
24
Meskipun tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan pembangunan tanggul penahan lumpur dan sekaligus menjadi kolam lumpur banyak dihadapi oleh Bapel-BPLS, utamanya gejolak masyarakat dengan berbagai tuntutannya pada waktu itu, namun akhirnya dengan rencana yang matang, setahap demi setahap pembangunan kolam penampung lumpur pada batas Peta Area Terdampak (PAT) tanggal 22 Maret 2007 yang terdiri dari 4 (empat) kolam telah dapat direalisasikan, walaupun sebagian kolam ketiga di Desa Kedungbendo belum dapat dibangun karena pelaksanaannya dihentikan oleh warga yang belum menerima pembayaran ganti rugi 20% dari PT Lapindo Brantas. Pembangunan kolam ke-lima yakni Kolam Kedungcangkring – Besuki (Kebes) bagian utara sesuai dengan Peta Area Terdampak tanggal 17 Juli 2008 (berdasarkan Perpres No. 48 Tahun 2008) juga telah dapat diselesaikan pada bulan September 2009. Pembangunan kolam ke-enam, yakni Kolam Kedungcangkring – Besuki (Kebes) bagian selatan yang dimulai pada bulan November 2010 belum dapat dilanjutkan karena masih ada permasalahan pembebasan tanah dengan warga Desa Besuki, serta masih menunggu pindahnya sebagian warga Desa Kedungcangkring dan Besuki. Pembangunan tanggul yang dilaksanakan sampai dengan akhir tahun 2010 antara lain adalah tanggul utara bagian dalam yang berada di lokasi eks PerumTAS-1 (P71 – P70 – P69 – P68), tanggul P83 – P88 – P89 yang berada di Desa Renokenongo, dan tanggul P90 – P96 (tanggul Kedungcangkring – Besuki/Kebes bagian utara). Tanggul P71 – P22 (tanggul Ketapang – Siring) sebagai pelindung jalan kereta api dan jalan arteri Porong juga telah ditinggikan hingga mendekati elevasi rencana. Tanggul ini terus-menerus mengalami subsidence (amblesan) dan dampak subsidence ini terus ditangani. Pada kaki tanggul juga dilakukan perkuatan dengan memasang konstruksi bronjong untuk menambah keamanan tanggul. Walaupun tinggi tanggul sebagian besar aman dari bahaya overtopping, namun ada bahaya lain yang mengancam keberadaan tanggul, yakni pengaruh desakan/tekanan dari longsoran lumpur dari gunung lumpur yang mengarah ke utara ke arah tanggul di lokasi ex. PerumTAS-1 dan ke timur ke arah tanggul Renokenongo, bahkan juga ke mengarah ke barat ke arah tanggul Ketapang – Siring. Untuk mengamankan tanggul Ketapang – Siring dari lumpur meluap, bangunan pelimpah (spillway) dari kolam lumpur ex. Perumtas-1 di lokasi P70A telah dapat diselesaikan walaupun pembangunannya menghadapi tantangan dari warga Kedungbendo.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
25
BABI Pendahuluan Penanganan sistem drainasi dilakukan antara lain di lokasi sekitar jembatan putus eks. Tol Gempol – Porong, sistem drainasi Juwet sampai Kali Ketapang, drainasi Siring – Ketapang, drainasi belakang pasar Porong lama, dan pengoperasian pompa di Desa Mindi, serta drainasi di lokasi entrance dan exit ex. Gerbang Tol Porong. Pada musim hujan 2008/2009, menurut hasil pemantauan lapangan tidak terjadi genangan, baik di permukiman maupun di jalan arteri Porong dan jalan kereta api. Namun di musim hujan 2009/2010 dan 2010/2011 terjadi lagi genangan di permukiman sebelah barat jembatan putus ex tol Porong – Gempol di Porong maupun di jalan arteri Porong dan jalan kereta api akibat jaringan drainasi yang kurang berfungsi dengan optimal. Pada Tahun 2010 dilakukan review design dan implementasi perbaikan sistem drainasi. Pekerjaan yang dilakukan juga mencakup pemasangan pompa drainasi dan perbaikan sebagian Kali Ketapang. Terkait dengan penanganan infrastruktur sekitar semburan lainnya, pada tahun 2008 dilaksanakan perbaikan jalan arteri Porong di lokasi yang mengalami subsidence. Pekerjaan ini diselesaikan pada November 2008 dan berfungsi menjelang Lebaran 2008. Selain itu, dilaksanakan pula peningkatan ruas jalan jalur alternatif Jasem/Ngoro – Krembung – Kepadangan. Peningkatan jalur alternatif ini dilaksanakan untuk menanggulangi kemacetan lalu lintas, kerusakan jalan, keterlambatan pembangunan relokasi infrastruktur jalan arteri Porong serta untuk menghadapi arus lalu lintas pada hari libur. Pekerjaan jalan lingkungan yang mulai dilaksanakan sampai dengan akhir Tahun 2010 adalah jalan lingkungan sekitar semburan sisi timur (ruas Gempolsari – Glagaharum – Besuki) dan sisi selatan (Besuki – Mindi). Untuk menjaga agar Kali Porong dapat berfungsi sebagai floodway (kanal banjir) DAS Kali Brantas, dilakukan penanganan di Kali Porong, antara lain dengan melakukan penanganan endapan lumpur di alur sungai (dengan melakukan kegiatan agitasi menjelang musim hujan), pengerukan alur sungai di muara, perbaikan dan pembuatan groundsill, serta peninggian tanggul Kali Porong di sebagian lokasi baik kiri maupun kanan sampai dengan elevasi rencana. Pekerjaan agitasi dilakukan pada awal musim penghujan tahun 2007/2008 dan 2008/2009. Agitasi endapan lumpur pada bulan Nopember dan Desember 2008 telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan sehingga Kali Porong dapat menyalurkan debit banjir yang meningkat dari waktu ke waktu sampai dengan debit rencana sebesar 1.600 m3/det. Pada tahun 2009 dan 2010 tidak ada pekerjaan agitasi karena lumpur dapat dialirkan ke laut melalui Kali Porong dengan lancar. Pada tahun 2010 Kali Porong telah mampu mengalirkan debit air dan lumpur sebagaimana direncanakan. Pekerjaan pengerukan di muara Kali Porong yang dimulai pada tanggal 27 Agustus 2008 membuat aliran banjir dan lumpur ke laut menjadi lebih lancar.
26
Infrastruktur pengamanan terhadap gerusan banjir yang dilaksanakan adalah berupa pelindung tebing (revetment dari cobble stone dengan bingkai beton) serta perbaikan dasar sungai di hilir siphon Pejarakan di KP KP158+241, perbaikan groundsill di KP 167+100 dan pembuatan groundsill di KP 205. Pada Tahun 2010 dilaksanakan peningkatan jalan inspeksi Kali Porong sisi selatan untuk memperbaiki kondisi jalan yang rusak berat. Peningkatan jalan ini diharapkan dapat mengangkat kondisi perekonomian wilayah Kecamatan Jabon yang masih termasuk kecamatan termiskin di Kabupaten Sidoarjo dan memberikan multi player effect terutama pertumbuhan perekonomian setelah daerah terisolir Dusun Tlocor dan Dusun Pandansari di Desa Kedung Pandan terbuka akses jalannya. Penanganan endapan di muara dilakukan dengan membuat alur menuju palung laut dalam di Selat Madura. Hasil pengerukan digunakan untuk mereklamasikan pantai di muara Kali Porong. Untuk melindungi alur yang sudah dibuat, dibangun jetty yang di samping berfungsi sebagai pengarah aliran sedimen/lumpur, sekaligus untuk melindungi/membatasi lokasi reklamasi. Reklamasi dilakukan dengan mendayagunakan padatan hasil pengerukan alur sungai di muara Kali Porong. Dalam rangka untuk dapat segera memulihkan kegiatan sektor ekonomi, terutama kelancaran distribusi arus barang dan jasa, mulai tahun 2007 dilaksanakan pekerjaan relokasi jalan arteri raya Siring – Porong. Kelancaran pekerjaan ini masih terkendala dengan penyediaan lahan yang sampai pada akhir TA 2010 belum seluruhnya tersedia. Serah terima lapangan kepada penyedia jasa masih dilakukan sebagian sebagian (parsial) yang mengakibatkan penyedia jasa tidak dapat bekerja secara simultan, sehingga penyelesaian pekerjaan konstruksi mengalami keterlambatan.
1.2. Identifikasi Kondisi Umum 1.2.1. Hasil Evaluasi Terhadap Pencapaian Sasaran Dalam Renstra BAPEL-BPLS Sampai Dengan Tahun 2010 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa BAPEL-BPLS pertama kali menyusun Renstra pada tahun 2007-2008 untuk periode 5 (lima) tahun yaitu 2007-2011, yang disesuaikan dengan awal beroperasinya BAPEL-BPLS dan ketentuan yang ada pada waktu itu. Namun dengan berakhirnya masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu 20042009 pada akhir tahun 2009, dan sejalan dengan periode 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan yang baru, serta pedoman penyusunan Renstra yang ditetapkan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPEL-BPLS dituntut menyusun Renstra untuk masa 5 (lima) tahun mendatang dengan periode 2010-2014. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
27
BABI Pendahuluan Meskipun Renstra 2007-2011 baru terlaksana 3 (tiga) tahun, namun telah banyak kinerja sasaran, program, dan kegiatan yang dapat dicapai oleh BAPEL-BPLS. Untuk menggambarkan pencapaian kinerja tersebut, berikut akan diuraikan hasil evaluasi terhadap pencapaian program dan kegiatan yang didasarkan pada sasaran dan indikator kinerja sasaran yang telah ditetapkan untuk masing-masing bidang di BAPEL-BPLS. Dengan adanya review Renstra 2010-2014, maka dalam evaluasi hasil capaian kinerja ini disajikan juga evaluasi terhadap capaian kinerja pada tahun 2010, dengan tujuan untuk dapat memberikan gambaran yang utuh atas pencapaian kinerja BapelBPLS selama 4 (empat) tahun operasionalnya.
Bidang Operasi Dalam Renstra 2010-2014 Bidang Operasi bertanggung jawab atas pencapaian sasaran “Pengurangan Dampak Fenomena Geologi” dengan indikator sasaran: a. Terlaksananya prinsip pola pengaliran lumpur ke Kali Porong, dan b. Cepatnya antisipasi dampak fenomena geologi dan penanganannya. Untuk mewujudkan pencapaian sasaran tersebut ditetapkan program Penanggulangan Bencana Lumpur Sidoarjo dengan indikator “Memberikan rasa aman kepada penduduk yang bermukim di wilayah pengaruh bencana lumpur Sidoarjo” yang pencapaiannya diukur dengan indikator: • Volume luapan lumpur yang dapat dialirkan ke kali Porong, • Tersedianya informasi yang akurat tentang kondisi geologi dan tata lingkungan di wilayah pengaruh bencana lumpur Sidoarjo, dan • Jangka waktu penanganan/penyelesaian dampak. Terkait dengan penanggulangan luapan lumpur, pada tahun anggaran 2010 Bidang Operasi telah mampu mengalirkan lumpur sebanyak 31 juta m3 lebih lumpur basah, yang lebih kurang ekuivalen dengan 9,3 juta m3 lumpur padat ke Kali Porong dengan menggunakan 6 (enam) buah kapal keruk. Perlu diketahui bahwa pada saat ini lumpur yang terdapat di kolam adalah lumpur padu, dan untuk mengalirkannya harus memakai media air dengan jarak pengerukan menjadi + 2.500 m dari Kali Porong.
Pengaliran Lumpur ke Kali Porong Menggunakan Kapal Keruk
28
Disamping pengaliran lumpur ke Kali Porong tersebut, hal penting lain yang dapat dicapai Bidang Operasi untuk mewujudkan pencapaian sasaran sampai dengan akhir 2010 antara lain: 1.
Tersedianya data pengukuran TTG dan BM di wilayah pusat semburan dan di luar peta area terdampak.
2.
Tersedianya data ”cross dan long” Kali Porong.
3.
Tersedianya data laju subsidence, volume kolam lumpur, laju luapan lumpur, dan perubahan elevasi permukaan kolam lumpur.
4.
Tersedianya peta mikrozonasi di luar peta area terdampak.
5.
Tersedianya data unsur kimia dan fisika air dan lumpur.
6.
Tersedianya data tentang bubble (termasuk data tentang semburan gas, kandungan kimia yang dibawa, tingkat dan lama pemunculannya), waking, crack dan amblesan tanah.
Berbagai data tersebut telah digunakan sebagai dasar dalam penanganan penanggulangan dampak dari deformasi geologi terhadap lingkungan permukiman penduduk dan lingkungan hidup. Realisasi capaian kinerja tersebut di atas didukung oleh pelaksanaan kegiatan pemantauan berkala terhadap wilayah yang terindikasi berpotensi sebagai wilayah geohazard. Sampai saat ini BAPEL-BPLS sudah melakukan pemantauan-pemantauan terkait dengan potensi geohazard di area semburan dan area sekitarnya, antara lain: a.
Pemantauan aktifitas semburan Semua kejadian telah direkam dalam bentuk catatan dan visualisasi, termasuk pemantauan gas yang menyertai semburan lumpur. Terjadinya semburan lumpur telah memicu munculnya beberapa fenomena geologi yang berupa subsidence (amblesan), Pemantauan Aktivitas Semburan uplift (pengangkatan), crack (retakan), dan bubble (bualan), baik di dalam maupun di luar area semburan, termasuk di sekitar permukiman penduduk.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
29
BABI Pendahuluan b. Pemantauan bubble dan pengukuran semburan gas
Bubble Muncul di Pemukiman Warga
Penanganan Bubble
Munculnya beberapa semburan gas di sawah dan di pemukiman penduduk di sekitar semburan lumpur di Sidoarjo telah berdampak pada meningkatnya kekhawatiran masyarakat setempat karena trauma dengan kejadian semburan lumpur panas (mud volcano) yang muncul sejak akhir Mei 2006. Pada hal, sebenarnya semburan gas ini (biasa disebut gas rawa), merupakan fenomena geologi yang umum di kawasan sungai atau rawa purba. Hal ini menimbulkan masalah baru, karena gas yang ke luar kebanyakan adalah gas metana yang mudah terbakar dan mempunyai bau tidak enak. Bubble yang muncul di sekitar lokasi semburan di luar peta area terdampak jumlahnya meningkat sejalan dengan meningkatnya subsidence. Di wilayah semburan lumpur dan sekitarnya, gas ini muncul di banyak tempat di luar area terdampak antara lain: di sumur penduduk, dari sumur bor air dangkal (<10m) dan dalam (>60m), di sawah, sungai, bahkan lewat retakan bangunan rumah. Hingga akhir tahun 2010, kurang lebih telah terjadi 184 semburan gas dengan berbagai bentuk, karakter dan masa waktu (lifetime) yang berbeda. Dari ratusan semburan gas yang ada, beberapa di antaranya telah dilakukan penanganan separasi (memisahkan gas dan air), selain untuk menghilangkan baunya, juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya dibakar dengan sengaja oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Dari beberapa yang diseparasi tersebut, telah ada semburan gas yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai bahan bakar memasak. Tidak semua semburan gas dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Yang terbaik adalah semburan gas yang ke luar lewat sumur bor air dalam, karena selain tekanannya lebih tinggi, konsentrasi gas methan-nya juga tinggi, dan masa aktifnya yang relatif lebih lama.
Sampai dengan akhir tahun 2010, BAPEL-BPLS telah membuat sebanyak 17 tungku berbahan bakar gas rawa untuk kepentingan memasak warga sekitar yang tersebar di desa Siring Barat (7 buah), Desa Mindi (5 buah), Desa Pamotan (3 buah) dan Desa Jatirejo (2 buah). Ke 17 buah tungku tersebut berasal dari 6 semburan gas di 4 desa di atas, yang semua sumber gasnya berasal dari sumur bor air tanah dalam.
Pemanfaatan Gas Saat Bubble Aktif
30
Di samping itu, berdasarkan hasil uji laboratorium mengenai kandungan gas yang berlokasi di desa Siring, Pamotan, Mindi, Pejarakan dan Kedungcangkring menunjukkan adanya diferensiasi kandungan gas metan dan CO2. Semakin tinggi kandungan gas metan, kandungan CO2 semakin kecil atau sebaliknya. c.
Deformasi Geologi Deformasi merupakan perubahan bentuk dan posisi suatu objek akibat terjadinya perubahan struktur formasi batuan. Perubahan bentuk diukur di permukaan dengan mengukur perubahan koordinat titik pantau. Perubahan koordinat ini kemudian akan menggambarkan perubahan bentuk di permukaan apakah secara positif atau negatif. Perubahan positif artinya adanya peninggian, sedangkan perubahan negatif adalah adanya penurunan. Perubahan bentuk mendatar berupa retakan dan sesar. Perubahan ini diindikasikan dengan berpindahnya koordinat titik pantau secara mendatar. Tim survey Bapel-BPLS sampai dengan akhir tahun 2010 telah melakukan pengukuran di 24 titik. Untuk mendukung kegiatan tersebut dilakukan kegiatan/ pekerjaan sebagai berikut: •
Pengukuran Deformasi
pengikatan basepoint TTG 1304 terhadap orde 0 Jaring Kontrol Horizontal Nasional (BAKOSURTANAL).
• pemasangan 24 patok titik pantau deformasi geologi ? pengukuran dan pemantauan titik pantau deformasi geologi
Bidang Sosial Sasaran yang ditetapkan dalam Renstra BAPEL-BPLS 2010-2014 untuk Bidang Sosial adalah ”Pengurangan dampak sosial masyarakat” dengan indikator ”jumlah warga terdampak yang masalah sosial kemasyarakatannya telah selesai dituntaskan”. Untuk mewujudkan sasaran tersebut program yang ditetapkan adalah sama dengan program untuk Bidang Operasi, yaitu Program Penanggulangan Semburan Lumpur, namun indikator outcome-nya adalah ”terpenuhinya hak-hak dasar warga terdampak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden”, yang diukur dari penyelesaian pemberian bantuan sosial, perlindungan sosial (termasuk penyelesaian jual beli tanah dan bangunan), dan pemberian bantuan sosial.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
31
BABI Pendahuluan Sampai dengan akhir tahun 2010, hasil penting pencapaian sasaran yang terkait dengan bidang sosial tersebut adalah: Indikator Kinerja
Target
Realisasi
%
Terlaksananya proses verifikasi terhadap tanah dan bangunan sebanyak 14.000 berkas pada 12 desa di wilayah Peta Area Terdampak 22 Maret 2007.
13.800 Berkas
13.237 Berkas
96
Meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap tugas dan permasalahan Bapel BPLS.
1 Laporan
1 Laporan
100
Tertanganinya warga yang berada di luar peta terdampak yang kondisi rumah dan tempat tinggalnya membahayakan keselamatan jiwa.
16 desa
12 desa
75
Melaksanakan pemberian bantuan sosial kepada 3.100 KK / 10.020 jiwa.
1066 KK 6094 jiwa
1666 KK 6094 jiwa
156 100
Melaksanakan jual beli tanah dan bangunan di 3 desa: Kedungcangkring, Besuki dan Pejarakan, sebanyak kurang lebih 2.000 bidang (112 Ha).
88,40 Ha
63,4
72
236.780 m2
113.715 m2
48,17
1 laporan
1 laporan
100
Tersedianya data kependudukan dan permasalahan yang berkembang di desa terdampak (baik di dalam maupun di luar peta area terdampak).
Realisasi capaian kinerja pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan yang relatif kecil (jauh di bawah 90%) di desa Kedungcangkring, Besuki dan Pejarakan dapat dijelaskan sebagai berikut: ? Guna mendukung pencapaian sasaran tersebut, Bapel-BPLS telah membentuk Tim
Pelaksana Penanganan Masalah Sosial Kemasyarakatan di Wilayah Penanganan dengan SK Ka Bapel Nomor 42/KPTS/P/2008 tanggal 25 Agustus 2008 yang bertugas melaksanakan beberapa kegiatan yaitu: pelaksanaan sosialisasi dan musyawarah dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan di 3 desa, pelaksanaan inventarisasi pengukuran tanah dan bangunan, pelaksanaan verifikasi berkas permohonan jual beli tanah, bangunan dan hasil pengukuran, serta pembayaran jual beli tanah dan bangunan. 32
• Pelaksanaan inventarisasi pengukuran tanah dilaksanakan oleh BPN Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan pengukuran bangunan oleh Dinas PU Cipta Karya Kabupaten Sidoarjo yang menjadi bagian dari Tim Pelaksana Penanganan Masalah Sosial Kemasyarakatan tersebut di atas. Pelaksanaan inventarisasi pengukuran tanah dan bangunan mencapai 1.717 bidang dengan luas 88,40 Ha dari target yang diperkirakan sebesar 2.000 bidang dengan luas 112 ha. • Ditinjau dari luasan yang akan dan telah dibebaskan dapat dijelaskan bahwa target sebesar 112 Ha dalam Rencana Strategis adalah termasuk perkiraan luasan untuk Desa Besuki secara keseluruhan. Namun setelah ditetapkan bahwa yang masuk dalam peta area terdampak ”baru” adalah Desa Besuki wilayah barat, sehingga luas tanah 3 desa, berdasar surat Bupati Sidoarjo Nomor 143/2278/404.1.1.1/2003 tanggal 06 Agustus 2008 yang menjadi target untuk dilakukan proses jual beli tanah berubah menjadi 88,40 ha dengan bangunan seluas 236.788,33 m2. Realisasi proses jual beli tanah hingga bulan Desember 2010 mencapai 63,4 ha dan jual beli bangunan mencapai luas 113.715,60 m2. Tidak tercapainya target luasan tanah dan bangunan tersebut lebih disebabkan oleh berbagai hal yaitu: Luasan tanah dan bangunan yang tertera dalam lampiran surat Bupati tersebut, di dalamnya termasuk tanah dan bangunan fasilitas umum, fasilitas sosial dan waqof yang belum dapat dilakukan PIJB.
<
Terdapat 44 berkas yang belum dapat di lakukan pembayaran dengan rincian masalah sebagai berikut :
<
− Sebanyak
7 berkas permohonan warga masih belum ada titik temu antara para pemilik dengan BPLS mengenai status tanah. Pemilik tetap bersikukuh bahwa tanah miliknya harus dibayar dengan harga tanah pekarangan sesuai bukti kepemilikannya. Berdasarkan surat dari Tim Verifikasi kepada BPLS, bahwa 7 bidang tanah tersebut selama ini difungsikan sebagai sawah dan sesuai dengan arahan Dewan Pengarah BPLS yang menyatakan bahwa fungsi/penggunaan tanah menjadi dasar dalam penetapan status, maka BPLS hingga saat ini masih memandang bahwa 7 bidang tanah warga tersebut sebagai tanah sawah.
− Sebanyak
29 berkas permohonan milik warga yang hingga saat ini masih menunggu Keputusan Mahkamah Agung.
− Sebanyak
8 berkas permohonan yang berupa tanah dan bangunan waqaf. Warga terus mendesak agar BPLS segera melakukan pembayaran atas berkas tersebut untuk membangun tempat ibadah di lingkungan barunya. Namun hingga saat ini BPLS belum melakukan pembayaran karena belum menemukan dasar hukum yang cukup kuat untuk membayar tanah waqaf.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
33
BABI Pendahuluan ? Hingga akhir bulan Desember 2010, pencapaian target terhadap pembelian tanah dan
bangunan di wilayah desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan adalah : Tanah dengan luas 63,4 Ha (72%) dan Bangunan 113,715,60 m² (48,17%). Kecilnya prosentase untuk pencapaian target pembelian bangunan dikarenakan adanya bangunan fasum dan fasos yang ikut diusulkan.
Bidang Infrastruktur Sasaran yang ditetapkan untuk Bidang Infrastruktur di dalam Renstra 2010-2014 adalah: a. Lancar dan amannya pengaliran luapan lumpur dan banjir ke laut; b. Lancarnya arus barang dan jasa pada infrastruktur jalan yang telah direlokasi, dengan indikator: ? Lumpur yang dialirkan ke Kali Porong hanyut/tergelontor sampai laut di muara Kali
Porong. ? Tidak terjadi luapan lumpur dan/atau banjir ke luar Peta Area Terdampak. ? Peningkatan aktivitas distribusi barang dan jasa pada infrastruktur jalan yang telah
direlokasi. Selama hampir 4 (empat) tahun pelaksanaan Renstra BAPEL-BPLS (3 tahun untuk Renstra I dan 1 tahun untuk Renstra II), telah banyak prestasi penting yang dicapai bidang infrastruktur dalam mendukung pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Pencapaian kinerja dalam rangka mendukung pencapaian sasaran yang ditetapkan dalam Renstra selama kurun waktu tersebut antara lain: Indikator Kinerja
Sampai dengan 2009 Target
Terbangunnya 17,65 km tanggul utama dengan elevasi tanggul maksimum +11 m DPL sepanjang 9,90 km dari panjang total sekurangkurangnya 22,14 km.
34
Sampai dengan 2010
Realisasi
%
Target
Realisasi
%
8,71 km
49,35
22,14 km
17,56 km
79,31
Sampai dengan 2009 Indikator Kinerja Selesainya 1 unit bangunan pelimpah.
Target
Realisasi
%
Target
Realisasi
%
1
0
0
1
1
100
49,78
19,04 km
12,97 km
68,10
1,20 km
1,20 km
100
14,00 km
14,00 km
100
3,50 km
1,70 km
48,57
9,50 km
9,50 km
100
Selesainya 24 km perbaikan sistem drainase sepanjang 19,04 km. Berkurangnya kemacetan lalu lintas di jalan arteri Porong dan jalan alternatif lainnya dengan selesainya peningkatan / pemeliharaan jalan dengan panjang total : - jalan arteri 1,20 km - jalan alternatif 14,00 km - jalan lingkungan 3,50 km
Sampai dengan 2010
8,94 km
11,94 km
7,28 km
Selasainya 0,32 jt m3 0,14 jt m3 peninggian tanggul Kali Porong sehingga mampu mengalirkan debit banjir rencana Q50 sebesar 1.600 m3/det dengan volume peninggian tanggul sepanjang 9,50 km.
81,43
43,69
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
35
BABI Pendahuluan Sampai dengan 2009 Indikator Kinerja
Target
Realisasi
Sampai dengan 2010
%
Target
Realisasi
%
12,22 km
Terbangunnya perlindungan tebing Kali Porong sepanjang 12,22 km untuk mengalirkan air banjir dan lumpur ke laut.
5,60 km 10,00 km
178,57
12,09 km
98,30
Terlaksananya pengerukan endapan sebesar 0,90 juta m3 untuk memperlancar aliran lumpur.
0,78 juta 0,61 juta m3 m3
78,21 0,90 juta m3 0,82 juta m3
91,11
Bebasnya lahan untuk relokasi jalan arteri SiringPorong seluas 123,77 Ha.
135,00 ha 81,70 ha
60,52
123,77 ha
102,97 ha
83,20
Selesainya 14,20 km 5,30 km pembangunan relokasi jalan arteri Siring-Porong sepanjang 2 x 7,1 km.
37,34
14,12 km
6,53 km
46,25
Secara rinci capaian target bidang infrastruktur terdiri dari: 1. Penanganan Luapan Lumpur Ke Laut Melalui Kali Porong; serta 2. Pembangunan Relokasi Infrastruktur; adalah sebagai berikut: 1. Penanganan Luapan Lumpur Ke Laut Melalui Kali Porong a. Tanggul penahan luapan lumpur Kolam penampung lumpur pada batas Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 seluas ± 592,78 ha, terdiri dari 4 (empat) buah kolam. Sampai dengan akhir tahun 2009 telah terealisasi pembangunan kolam seluas 510,68 ha. 36
Luasan Kolam Penampung Lumpur
Sebagian kolam ketiga di Desa Kedungbendo seluas ± 82,10 ha belum dapat dibangun karena pelaksanaannya dihentikan oleh warga yang belum menerima pembayaran ganti rugi 20% dari PT Lapindo Brantas. Pembangunan kolam ke-lima yakni Kolam Kedungcangkring – Besuki (Kebes) bagian utara sesuai dengan Peta Area Terdampak tanggal 17 Juli 2008 (berdasarkan Perpres No. 48 Tahun 2008) dimulai pada bulan Januari 2009 dan selesai pada bulan September 2009. Pembangunan kolam ke-6, yakni Kolam Kedungcangkring – Besuki (Kebes) bagian selatan yang dimulai pada bulan November 2010 belum dapat dilanjutkan karena masih ada permasalahan pembebasan tanah milik 5 (lima) warga Desa Besuki, di samping masih menunggu pindahnya sebagian warga Desa
Pembangunan Tanggul Terhambat Masalah Sosial Kemasyarakatan
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
37
BABI Pendahuluan
Tanggul P70-P69-P68 (tanggul eks PerumTAS-1)
Target awal panjang tanggul adalah 18,6 km, karena dinamika penyesuaian lapangan, kemudian direvisi menjadi 22,14 km. Hal ini disebabkan adanya rencana pembangunan tanggul untuk kolam ke-5 dan ke-6 sepanjang 1,42 km di Desa Pejarakan, Kedungcangkring dan Besuki (Kolam Kebes) serta tanggul untuk kolam ke-7 di Desa Gempolsari sepanjang 1,45 km. Progres sampai dengan akhir tahun 2010 adalah sebagai berikut: − Tanggul P70 – P69 – P68 (tanggul eks PerumTAS-1)
Tanggul utara bagian dalam antara P70 – P69 – P68 (eks PerumTAS-1) telah mencapai elevasi lebih kurang +9,00 m dari elevasi rencana +11,00 m DPL. Walaupun tinggi tanggul ini aman dari bahaya overtopping, tetapi ada bahaya lain yang mengancam keberadaan tanggul ini, yakni pengaruh desakan/tekanan dari longsoran lumpur dari gunung lumpur yang mengarah ke utara.
Longsoran gunung lumpur menekan tanggul eks. Perumtas-1
38
Tanggul Renokenongo di P83-P84
− Tanggul P83 – P88 – P42 (tanggul Renokenongo)
Tanggul luar utama Renokenongo telah selesai dikerjakan dan telah mencapai elevasi +11,00 m DPL. Pada kaki tanggul juga telah dipasang konstruksi bronjong untuk menambah keamanan tanggul. Tanggul di lokasi ini juga terancam oleh tekanan karena longsoran gunung lumpur ke arah timur.
Longsoran Gunung Lumpur Menekan Tanggul Renokenongo
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
39
BABI Pendahuluan
Tanggul P71 – P22 (Ketapang – Siring) Dengan Perkuatan Bronjong
− Tanggul P71 – P22 (Tanggul Ketapang – Siring)
Tanggul P71 – P22 (Tanggul Ketapang – Siring) sebagai pelindung jalan kereta api dan jalan arteri Porong telah mencapai elevasi rata-rata +10,50 m DPL. Tanggul ini, di samping terus-menerus mengalami subsidence (amblesan) juga mengalami retak rambut sehingga bila air di dalam kolam cukup banyak, akan terjadi rembesan. Dampak subsidence ini terus ditangani, disamping dilakukan penguatan kaki tanggul dengan konstruksi bronjong karena titik berat tanggul bergeser, juga dilakukan pelebaran kaki tanggul untuk mengantisipasi peninggian tanggul yang terus-menerus. − Tanggul P90 – P96 (tanggul Kedungcangkring – Besuki/Kebes bagian
utara) Pekerjaan telah selesai dilaksanakan dan elevasi puncak tanggul telah mencapai rata-rata +9,00 m.
Tanggul P90 – P96 (tanggul Kedungcangkring – Besuki/Kebes)
40
Bangunan Pelimpah (Spillway) di P70A
–
Bangunan Pelimpah (spillway) Bangunan pelimpah (spillway) dari kolam lumpur ex. Perumtas-1 di lokasi P70A telah diselesaikan pada bulan Maret 2010.
b. Penanganan infrastruktur sekitar pusat semburan 1) Revitalisasi Sistem Drainasi 1. Penanganan sistem drainasi di jalan arteri Porong sekitar jembatan putus eks. Tol Gempol – Porong. Dengan adanya review design, panjang target saluran drainasi dari 29,10 km menjadi 19,04 km. Perubahan ini antara lain karena sebagian perbaikan Kali Ketapang akan dilaksanakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS Brantas). Saluran drainasi yang sudah selesai dikerjakan sepanjang 12,97 km. Pada musim hujan 2008/2009, menurut hasil pemantauan lapangan tidak terjadi genangan, baik di permukiman maupun di jalan arteri Porong dan jalan kereta api. Pompa sebanyak 3 (tiga) unit pada musim hujan 2008/2009 tidak dioperasikan lagi, padahal pada musim hujan 2007/2008 dioperasikan selama 24 jam secara terus-menerus. Namun karena adanya subsidence di wilayah sekitar pusat semburan, pada musim hujan 2009/2010 terjadi lagi genangan di permukiman sebelah barat jembatan putus ex tol Porong – Gempol di Porong maupun di jalan arteri Porong dan jalan kereta api.
Banjir di Arteri Porong
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
41
BABI Pendahuluan Sesuai dengan kesepakatan tanggal 23 Pebruari 2010 dalam Koordinasi Penanganan Jalan Nasional Arteri Porong antara Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) V Surabaya dan Bapel – BPLS, maka perbaikan kerusakan jalan arteri Porong selanjutnya dilaksanakan oleh BBPJN-V. Bapel-BPLS melaksanakan penyempurnaan jaringan drainase sehingga tidak menggenangi jalan. Sebagai tindak-lanjut tugas Bapel-BPLS tersebut, maka diadakan review design jaringan drainasi, khususnya di daerah sekitar jembatan putus dan Tugu Kuning. Dalam review design ini dilengkapi pula dengan sistem pompa di wilayah sekitar pusat semburan dan di kolam penampung lumpur.
U-Gutter entrance dan exit ex Gerbang Tol Porong
U-Gutter Ketapang-Siring
Pompa Air di Kel. Mindi dan Siring
42
Saluran drainase di lokasi Pulogunting dan Mindi - Besuki
Peta Lokasi Penempatan Pompa
Penempatan pompa drainasi di hulu U-gutter di entrance dan exit ex. Gerbang Tol Porong REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
43
BABI Pendahuluan 2. Revitalisasi Kali Ketapang Berdasarkan Rapat Koordinasi Penanganan Genangan di Jalan Arteri Porong yang dilaksanakan pada tanggal 26 April 2010 di Ruang Asisten II Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, maka BPLS hanya melaksanakan Perbaikan tanggul Kali Ketapang mulai dari hulu jembatan entrance tol Porong sampai dengan hulu jembatan jalan arteri Porong sepanjang + 1.368 m. Rencana perbaikan terdiri dari pekerjaan parapet dan revetment pasangan batu kali 1PC:4Ps dilengkapi bingkai beton K225 ukuran 15cm x 15cm dengan jarak 6 m.
Kali Ketapang pada saat banjir
Perbaikan Kali Ketapang di Ds. Ketapangkeres
44
2)
Peninggian Jalan Arteri Porong Pelaksanaan perbaikan jalan arteri Porong oleh Bapel-BPLS telah dimulai setelah dilakukan koordinasi lanjutan dengan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) V Surabaya, Dinas PU Bina Marga Provinsi Jawa Timur dan Dinas PU Kabupaten Sidoarjo. Panjang jalan yang akan diperbaiki ± 4 km. Bapel-BPLS melaksanakan pekerjaan peninggian jalan arteri setinggi maks. 80 cm terhadap jalan lama, sepanjang 1.200 meter, termasuk saluran drainasi sepanjang 3.100 m dimulai pada bulan Juni 2008 dan selesai pada November 2008 dan berfungsi menjelang Lebaran 2008. Pada Lebaran 2009 dilaporkan tidak ada kemacetan berat di jalan arteri Porong. Kemacetan di jalan arteri Porong yang masih terjadi semata-mata karena volume kendaraan yang melintas terutama ke arah Malang telah melampaui kapasitas layanan dan pengaturan kendaraan yang keluar – masuk gang/jalan lingkungan dan memotong arus lalu lintas utama kurang memadai.
Jalan arteri Siring – Porong yang telah ditinggikan oleh BPLS Tahun 2008 (1)
Jalan arteri Siring – Porong yang telah ditinggikan oleh BPLS Tahun 2008 (2)
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
45
BABI Pendahuluan Setelah pelaksanaan peninggian jalan arteri Porong oleh Bapel-BPLS selesai, kemudian dilakukan pemantauan atas kondisi ketinggian jalan tersebut sebagaimana grafik di bawah ini:
Grafik monitoring penurunan jalan arteri Porong
Di samping penurunan jalan arteri Porong, juga terjadi penurunan tanggul, Ugutter dan bronjong yang ada di sisi timurnya.
Grafik penurunan Tanggul Barat P10D (Siring) selama 3,5 tahun
Grafik penurunan bronjong selama 14 bulan
46
Peninggian Jalan arteri Siring – Porong oleh BBPJN Tahun 2010
Karena diketahui bahwa masih terjadi penurunan di jalan arteri Porong, selanjutnya diadakan koordinasi antar instansi terkait. Berdasar koordinasi tersebut, pada tahun 2010, jalan arteri Porong kembali ditinggikan oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) V Surabaya.
3) Pembangunan Jalan Alternatif Peningkatan/pembangunan ruas jalan jalur alternatif Jasem/Ngoro – Krembung – Kepadangan – Tulangan – Gerbang Tol Sidoarjo dimaksudkan untuk mengantisipasi kemacetan lalu lintas, kerusakan jalan, keterlambatan pembangunan relokasi infrastruktur jalan arteri Porong dan untuk menghadapi arus lalu lintas Lebaran tahun 2008. Walau ada sedikit sisa ruas jalan alternatif yang terhambat tanah warga yang belum dibebaskan, namun berfungsinya jalan alternatif ruas Kepadangan – Krembung – Jasem (Ngoro) telah ikut mengurangi beban layanan arteri Porong. Jalan alternatif ini akan menjadi andalan bila ada gangguan fungsi arteri Porong, baik teknis maupun non teknis, seperti demo yang memblokade lalu lintas. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh Bapel – BPLS adalah ruas Kepadangan – Krembung – Jasem (Ngoro) dan pekerjaan ini dimulai pada bulan Juli 2008 dengan lokasi trase jalan alternatif. Skema jalan alternatif
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
47
BABI Pendahuluan Kebutuhan tanah untuk tapak jalan alternatif disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto. Sampai dengan akhir bulan Juli 2009, pekerjaan jalan alternatif Jasem/Ngoro – Krembung – Kepadangan telah dapat diselesaikan, kecuali pada ruas yang masih terdapat hambatan pembebasan lahan yakni di Sta 4+150 sampai 4+550 sepanjang ± 400 m yang berada di Desa Krembung. Kondisi ini masih tetap sampai dengan akhir Tahun 2010.
Peningkatan jalan alternatif Krembung – Jasem
48
4)
Jalan Lingkungan
Pada tanggal 5 Agustus 2010, telah dimulai pekerjaan setting-out pelaksanaan pekerjaan jalan lingkungan sekitar semburan sisi timur (ruas Gempolsari – Glagaharum – Besuki sepanjang + 3,55 km dan Besuki – Mindi sepanjang + 3,65 km). Jalan lingkungan sekitar semburan sisi timur ini, walaupun pada pertengahan September 2010 belum selesai 100%, namun telah dapat membantu kelancaran arus lalu lintas mudik dan balik Lebaran Tahun 2010.
Lokasi jalan lingkungan sisi timur semburan (warna merah)
Peningkatan jalan lingkungan sisi timur semburan
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
49
BABI Pendahuluan c. Pengamanan Kali Porong 1) Penanganan Endapan Lumpur di Alur Sungai Pengaliran lumpur ke Kali Porong sebagai upaya mencegah meluasnya Peta Area Terdampak (PAT), merupakan bagian pengaliran luapan lumpur dari sekitar pusat semburan ke laut di Selat Madura. Pengaliran lumpur ke Kali Porong, langsung dari pusat semburan maupun dari kolam penampung lumpur, dilakukan dalam bentuk lumpur cair. Semakin banyak lumpur dialirkan ke Kali Porong, mengakibatkan endapan lumpur di Kali Porong akan semakin tinggi dan meluas. Pada musim kemarau, debit Kali Porong semakin mengecil bahkan nol, endapan lumpur akan mudah mengering sehingga menjadi padat dan mengeras. Kondisi endapan lumpur yang mengeras dapat menghalangi kelancaran aliran banjir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas, dan berpotensi menimbulkan banjir pada sistem di hulu Kali Porong. Dalam rangka mencegah terjadinya bencana banjir, maka menjelang musim hujan perlu dilakukan penanganan endapan di Kali Porong melalui kegiatan agitasi. Kegiatan ini merupakan proses untuk menangani endapan lumpur yang padat menjadi lumpur cair kembali, sehingga penghanyutan lumpur ke laut akan semakin efektif. Kegiatan agitasi dilakukan dengan menggunakan peralatan mekanikal, berupa excaponton dan/atau dredger (kapal keruk). Aktivitas agitasi akan semakin intensif saat Bendung Lengkong Baru telah memiliki kelebihan air, sehingga dapat mengirim air secara terus-menerus, walaupun masih dengan debit yang sangat kecil. Pada tahun 2007 dan 2008 terjadi tumpukan endapan yang sangat banyak di alur sungai Kali Porong. Pekerjaan agitasi dilakukan pada awal musim penghujan tahun 2007/2008 dan 2008/2009. Agitasi endapan lumpur pada bulan Nopember dan Desember 2008 telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan sehingga Kali Porong dapat menyalurkan debit banjir yang meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2009 dan 2010 tidak ada pekerjaan agitasi karena lumpur dapat dialirkan ke laut melalui Kali Porong dengan lancar. Agitasi pada awal musim penghujan 2007/2008
50
Kondisi debit dan elevasi muka air Kali Porong di Sta KP155 (di dekat jembatan jalan raya Porong) selama Oktober – Desember 2007 dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik monitoring debit dan elevasi muka air Kali Porong di KP155 Oktober - Desember 2007
Pada akhir November – awal Desember 2007 tidak ada debit yang mengalir di Kali Porong, namun muka air justru meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya endapan lumpur di timur jembatan jalan raya Porong. Pada bulan Desember 2007 grafik debit dan muka air di Kali Porong mulai berjalan seiring/paralel. Hal ini menunjukkan bahwa lumpur mulai tergelontor ke hilir.
Agitasi pada awal musim penghujan 2008/2009
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
51
BABI Pendahuluan Kondisi debit dan elevasi muka air Kali Porong di Sta KP155 (di dekat jembatan jalan raya Porong) selama Tahun 2008 dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik monitoring debit dan elevasi muka air Kali Porong di KP155 Tahun 2008
Pada akhir Mei – awal Oktober 2008 tidak ada debit yang mengalir di Kali Porong, namun muka air justru meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya endapan lumpur di timur jembatan jalan raya Porong. Pada periode bulan Juli 2008 sampai dengan September 2008 (musim kemarau), pada saat aliran debit air di Kali Porong kecil, masih dilakukan pengaliran lumpur ke Kali Porong sehingga lumpur menghambat aliran air Kali Porong dan menyebabkan muka air Kali Porong merangkak naik. Pada periode bulan Oktober 2008 sampai dengan Desember 2008 (musim penghujan) telah ada aliran debit air Kali Porong, yang besarannya secara bertahap meningkat sehingga mencapai sekitar 400 m3/det. Dengan demikian, walaupun dilakukan pengaliran lumpur ke Kali Porong secara maksimal, aliran air Kali Porong masih mampu menghanyutkan sebagian lumpur yang ada di Kali Porong dan menyebabkan muka air Kali Porong menjadi turun. Pada periode bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009 (musim penghujan), dalam waktu beberapa hari berturut-turut, aliran debit air Kali Porong sering cukup besar dengan debit air maksimum mencapai sekitar 1.250 m3/det, sehingga walaupun dilakukan pengaliran lumpur ke Kali Porong secara maksimal, tidak terjadi pengendapan lumpur di palung sungai Kali Porong dan muka air juga selalu rendah. Sebagai ilustrasi, pada bulan Nopember 2008, pada debit 400 m3/det, elevasi muka air mencapai + 5,0 m DPL, namun pada bulan Maret 2009, dengan debit yang sama, elevasi muka air Kali Porong berada pada +2,75 m DPL. Ini berarti bahwa kapasitas dan kemampuan Kali Porong dalam mengalirkan debit air banjir telah normal kembali. Kondisi semacam ini akan selalu berulang setiap tahun.
52
Kondisi debit dan elevasi muka air Kali Porong di Sta KP155 (di dekat jembatan jalan raya Porong) selama Tahun 2009 dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik monitoring debit dan elevasi muka air Kali Porong di KP155 Tahun 2009
Pada tahun 2009 grafik muka air dan debit Kali Porong hampir paralel, hal ini menunjukkan bahwa aliran air lancar dan tidak terganggu oleh lumpur (lumpur lancar mengalir ke laut). Pada tahun 2010 Kali Porong telah mampu mengalirkan debit air dan lumpur sebagaimana direncanakan. Hal ini didukung pula oleh adanya musim kemarau basah Tahun 2010 yang terjadi di Indonesia. Kondisi debit dan elevasi muka air Kali Porong di Sta KP155 (di dekat jembatan jalan raya Porong) selama Banjir di Kali Porong tanggal 26 Pebruari 2009 (di hilir jembatan eks tol Gempol)
Tahun 2010 dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik monitoring debit dan elevasi muka air Kali Porong di KP155 Tahun 2010 REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
53
BABI Pendahuluan Pada tahun 2010 grafik muka air dan debit Kali Porong hampir paralel, hal ini menunjukkan bahwa aliran air lancar dan tidak terganggu oleh lumpur serta lumpur dapat lancar mengalir ke laut. Dinamika perubahan dasar sungai Kali Porong dari tahun 2007 – 2010 dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Grafik monitoring perubahan elevasi dasar sungai Kali Porong Tahun 2007 - 2009
Grafik monitoring perubahan elevasi dasar sungai Kali Porong Tahun 2009 – 2010
54
Pengerjaan pengerukan di muara Kali Porong dimulai pada tanggal 27 Agustus 2008. Mulai tanggal 10 Februari 2009, kapal keruk Dixie dioperasikan untuk memotong “sumbatan” atau “tonjolan” dasar sungai Kali Porong. Pada bulan Juni 2009, “sumbatan” atau “tonjolan” ini telah terpotong cukup dalam. Dengan berkurangnya sumbatan di Kali Porong hilir ini, maka aliran banjir dan lumpur menjadi lebih lancar sehingga pada tahun 2009 dan 2010 tidak perlu dilakukan agitasi endapan lumpur di Kali Porong. Berdasarkan hasil monitoring, apabila tersedia debit di Kali Porong lebih besar dari 200 m3/det, dapat diketahui bahwa daya air Kali Porong benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk membawa lumpur ke hilir. Selama tahun 2009 dan 2010, telah terjadi beberapa kali banjir besar di Kali Porong, antara lain pada: − 31 Januari 2009 dengan debit yang dilepaskan dari Bendung Lengkong Baru sebesar 1.168 m3/det, − 26 Pebruari 2009 dengan debit yang dilepaskan dari Bendung Lengkong Baru sebesar 1.295 m3/det, − 31 Maret 2010 dengan debit yang dilepaskan dari Bendung Lengkong Baru sebesar 1.216 m3/det, dan − 28 April 2010 dengan debit yang dilepaskan dari Bendung Lengkong Baru sebesar 1.546 m3/det (merupakan debit terbesar selama 20 tahun terakhir yang dilepaskan dari Bendung Lengkong Baru).
Kondisi Kali Porong pada saat debit besar 28 April 2010 REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
55
BABI Pendahuluan Debit yang mengalir di Kali Porong senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh Perum Jasa Tirta I diperoleh informasi bahwa kapasitas Kali Porong dari bulan ke bulan juga mengalami perubahan karena adanya lumpur yang dialirkan ke Kali Porong. Perbandingan debit maksimum bulanan yang mengalir di Kali Porong dan simulasi kapasitas maksimum alur sungai Kali Porong yang dilakukan oleh Perum Jasa Tirta I sebagaimana ditunjukkan pada grafik di bawah ini:
Perbandingan debit maksimum bulanan yang mengalir dan simulasi kapasitas maksimum alur sungai Kali Porong Catatan: ? Kapasitas banjir rencana Kali Porong adalah sebesar 1.600 m3/det. ? Pada bulan September dan Oktober 2009 hasil simulasi kapasitas maksimum Kali Porong masih dibawah 1.600 m3/det, karena diasumsikan tanggul kiri masih belum ditinggikan.
2) Pengamanan Terhadap Luapan Banjir Berdasarkan review design yang telah dibuat, akan dilaksanakan peninggian tanggul Kali Porong sepanjang 9,50 km yang berada di tanggul kiri 3,20 km dan tanggul kanan 6,30 km. Pelaksanaannya dibagi dalam 2 (dua) tahap: Tahap I meliputi Tanggul Kanan dari KP234 – KP255 sepanjang 4,10 km; dan Tahap II meliputi Tanggul Kanan dari KP223 – KP234 sepanjang 2,20 km dan Tanggul Kiri KP221 – KP237 sepanjang 3,20 km. Peninggian tanggul banjir Kali Porong sepanjang 9,50 km telah selesai 100% pada bulan Desember 2010. Peninggian tanggul Kali Porong di Desa Tlocor
56
3)
Infrastruktur Pengamanan Terhadap Gerusan Banjir Berdasarkan review design akan dibangun infrastruktur pengaman banjir berupa pelindung tebing (revetment dari cobble stone dengan bingkai beton) sepanjang 12,22 km yang berada di sisi kiri sepanjang 5,75 km dan sisi kanan sepanjang 6,47 km. Progres pekerjaan pelindung tebing sungai Kali Porong sampai dengan akhir TA 2010 adalah sepanjang 5,62 km untuk tebing sungai sebelah kiri dan 6,47 km untuk tebing sungai sebelah kanan atau total sepanjang 12,09 km.
Pelindung tebing Kali Porong sisi kiri
Pelindung tebing Kali Porong sisi kanan
Kali Porong di timur ex. Jembatan Tol Gempol
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
57
BABI Pendahuluan 4) Perbaikan groundsill di KP 158 dan KP 167 dan pembuatan groundsill di KP 201. Dari hasil pengukuran bulanan Kali Porong, diketahui bahwa masih terjadi gerusan di bagian hilir syphon Pejarakan, hilir eksisting groundsill di hilir jembatan tol Gempol, dan alur sungai Kali Porong bagian hilir. Untuk menghindari gerusan lebih jauh, direncanakan akan dilakukan kegiatan, antara lain pembangunan 1 (satu) buah groundsill yang berlokasi di KP205, memperbaiki kerusakan groundsill yang ada di KP167+100 yang berada di hilir jembatan eks tol Gempol dan memperbaiki dasar alur sungai di hilir syphon Pejarakan di lokasi KP158+241. a) Perbaikan alur sungai di hilir syphon Pejarakan di lokasi KP158+241. Perbaikan alur sungai di hilir syphon Pejarakan di lokasi KP158+241 telah selesai pada akhir Maret 2010. Jumlah hexapod yang telah dipasang untuk pekerjaan di lokasi KP158+241 untuk memperbaiki dasar alur sungai Kali Porong di hilir syphon Pejarakan adalah sebanyak + 5.800 buah.
Pekerjaan perbaikan dasar alur sungai Kali Porong di hilir syphon Pejarakan
b) Perbaikan kerusakan groundsill di KP167+100 yang berada di hilir jembatan eks tol Gempol. Pekerjaan Groundsill KP167+100 dimulai dengan produksi hexapod yang pertama (tipe 2) pada tanggal 5 Agustus 2010 dan hexapod ganda (type 1) tahap mockup dilakukan pada tanggal 20 September 2010. Pekerjaan yang telah dilaksanakan sampai dengan periode akhir Desember 2010 adalah : • Produksi hexapod tipe 2 (tunggal) telah mencapai 6.736 buah. • Produksi hexapod tipe 1 (ganda) telah mencapai 1.000 buah. • Pemasangan hexapod tipe 2 mencapai 4.784 buah.
Perbaikan kerusakan groundsill di KP167+100
58
c) Pembangunan 1 (satu) buah groundsill yang berlokasi di KP205 Progres pengecoran hexapod sampai dengan akhir bulan Desember 2010 mencapai 5.800 buah atau 89,2% dari target. Pemasangan hexapod sampai dengan akhir bulan Desember 2010 mencapai 5.300 buah atau 81,5% dari target.
Pembangunan groundsill di KP205
5)
Perbaikan jalan inspeksi Kali Porong Peningkatan jalan inspeksi Kali Porong sisi selatan dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi jalan yang rusak berat. Peningkatan jalan ini diharapkan dapat mengangkat kondisi perekonomian wilayah Kecamatan Jabon yang masih termasuk kecamatan termiskin di Kabupaten Sidoarjo. Diharapkan peningkatan jalan ini akan memberikan multi player effect terutama pertumbuhan perekonomian setelah membuka akses daerah terisolir dusun Tlocor dan dusun Pandansari, desa Kedung Pandan, serta menunjang perkembangan perikanan dan wisata di sisi Timur Sidoarjo. Dengan adanya peningkatan ini, maka status jalan akan berubah peruntukannya menjadi jalan umum dengan fungsi jalan lokal dan status menjadi Jalan Strategis Kabupaten. Panjang jalan sekitar 15.260 m dengan lebar perkerasan aspal 5 m untuk beban gandar maksimum 8 ton.
Peningkatan jalan inspeksi Kali Porong
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
59
BABI Pendahuluan Peningkatan jalan inspeksi di sisi selatan Kali Porong mulai overpass tol lama (Jembatan Tol Kali Porong) sampai dengan desa Tlocor mulai dikerjakan pada awal bulan Agustus 2010. Progres sampai dengan akhir bulan Desember 2010 antara lain adalah sebagai berikut: • Pengaspalan AC – BC sepanjang 15.260 m dan pada bulan Desember 2010 dilaksanakan di Sta 15+098 – Sta 5+025 (R); Sta 15+098 – Sta 6+042 (L). • Pengaspalan AC – WC sepanjang 15.260 m dan pada bulan Desember 2010 dilaksanakan di Sta 14+975 – Sta 14+599 (R). • Pasang box culvert 1.00 x 1.00 x 1.00 x 0,20 sebanyak 33 buah telah selesai. • Timbunan tanah sisi kanan dan kiri berm dan pasang batu inlet dan outlet cross drain telah selesai. d. Penanganan Endapan di Muara 1) Pembuatan Alur Sungai ke Palung Laut Penanganan endapan lumpur di muara Kali Porong dilakukan melalui tahapan membuat alur sampai palung laut dalam di Selat Madura. Hasil pengerukan digunakan untuk reklamasi pantai. Untuk melindungi alur yang sudah dibuat, akan dibangun jetty yang juga akan berfungsi sebagai pengarah aliran sedimen/lumpur sekaligus untuk melindungi/membatasi lokasi reklamasi. Pekerjaan pengerukan alur sungai ini dimaksudkan agar lumpur yang terbawa aliran banjir dapat masuk ke palung laut dalam. Lokasi yang memenuhi persyaratan untuk pembuangan lumpur di laut adalah di Selat Madura, terutama di daerah low energy dengan morfologi yang cekung pada kedalaman 20 – 60 meter. Lokasi ini berjarak sekitar 1 – 3 km dari garis pantai muara Kali Porong. Lumpur dialirkan langsung ke spoil bank dengan pipa untuk menjaga agar lumpur tidak mengalir ke tambak masyarakat. Pekerjaan pengerukan dasar sungai Kali Porong dimulai pada tanggal 28 Juni 2008 dan dilaksanakan di lokasi Kali Porong hilir di KP260 – KP274. Pekerjaan yang dilaksanakan pada tahun 2008, 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 622.000 m3, 176.980 m3 dan 798.981 m3. Berdasarkan review design, agar lumpur dapat langsung didorong masuk ke arah laut dalam, maka pekerjaan pengerukan perlu dilanjutkan di lokasi KP274 – KP282 dengan volume pengerukan sebesar 300.000 m3. Hasil pengerukan ditempatkan di lokasi spoilbank. Ada 4 (empat) unit dredger yang beroperasi untuk mendukung pekerjaan ini, yaitu Garumas2, Hamson, Dixie dan Zimmerman.
60
Pekerjaan pengerukan dasar sungai di Muara Kali Porong
Volume pengerukan sampai dengan akhir TA 2010 telah mencapai 0,82 juta m³. Diharapkan pada pertengahan Tahun 2011 pekerjaan pengerukan dapat seluruhnya diselesaikan. 2) Pembangunan Jetty Selama ini garis pantai delta Kali Porong selalu mengalami penambahan kea rah laut. Hal ini terjadi karena adanya pola aliran arus laut menyusur pantai dari arah Surabaya menuju Pasuruan dengan membawa sedimen.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
61
BABI Pendahuluan Untuk mencegah alur sungai tertutup kembali oleh aliran endapan yang datang dari Selat Madura, perlu dibangun jetty. Konstruksi jetty berupa tumpukan pasir yang dimasukkan ke dalam karung geotextile yang dibentuk seperti guling. Pada bagian luar tumpukan guling ini dipasang lapisan pelindung. Pembangunan jetty telah dimulai pada awal bulan Maret 2009. Sampai dengan akhir TA 2010 jetty yang telah terpasang sebanyak 535 unit sepanjang 2.625 m @ 2 lapis dan berada di lokasi KP261 - KP277 (R1 – R105).
Pemasangan jetty di Tanjung Lumpur
Sampai dengan akhir bulan Desember 2010 telah dibuat plat pelindung jetty sebanyak + 106.500 buah. Pemasangan dilaksanakan antara lain di ruas R78 – R79 dan R85 – R86. Sampai dengan akhir bulan November 2010 telah dipasang plat pelindung jetty sebanyak + 78.500 buah.
Jetty dengan konstruksi geotekstil guling dan beton panel
3) Reklamasi Reklamasi dilakukan dengan mendayagunakan padatan hasil pengerukan alur sungai Kali Porong dan muara serta sebagian endapan lumpur, ditempatkan di dasar laut di tepi pantai yang memiliki kecenderungan menjadi dangkal dan airnya selalu keruh, sehingga di tempat itu tidak tumbuh terumbu karang. Kegiatan reklamasi pantai muara Kali Porong telah sesuai dengan karakteristik perairan setempat yang cenderung menjadi daratan, karena pengendapan sedimen secara alami. Upaya yang dilakukan hanyalah mempercepat proses sedimentasi melalui mekanisasi. 62
Pengerukan dan hasil sampingannya
Lingkungan daerah reklamasi dan sekitarnya
Pada akhir bulan Maret 2009 diadakan kegiatan penghijauan di lokasi reklamasi dalam rangka ulang tahun BPLS ke-2. Saat ini, di lokasi tersebut dijumpai bahwa tanaman bakau dapat hidup dengan subur. Pada tanggal 30 Januari 2010, Menteri Perikanan dan Kelautan yang disertai dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Lingkungan Hidup mengadakan acara “Ayo Menanam Mangrove” bertempat di lokasi spoil bank (Tanjung Lumpur) dengan penanaman mangrove sebanyak ± 50 ribu bibit. Bibit mangrove berasal dari Kementerian Perikanan dan Kelautan sebanyak 20 ribu bibit dan sisanya berasal dari instansi/organisasi pencinta lingkungan.
Penanaman mangrove oleh Tiga Menteri di lokasi spoil bank REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
63
BABI Pendahuluan 2. Pembangunan Relokasi Infrastruktur Jalan Arteri Raya Porong merupakan satu-satunya Jalan Arteri yang menghubungkan Surabaya/Sidoarjo ke Malang dan Pasuruan selain melewati Jalan Tol Surabaya-Gempol. Dengan telah ditutupnya secara permanen Jalan Tol Surabaya-Gempol (segmen Porong-Gempol) Jalan Arteri Raya Porong merupakan jalur jalan ke arah selatan atau sebaliknya yang menampung beban lalu lintas yang cukup padat, kemacetan sering terjadi pada jalur jalan tersebut. Untuk mengatasi kemacetan dan melancarkan arus barang dan jasa, pembangunan relokasi infrastruktur Jalan Arteri Raya Porong merupakan alternatif yang perlu segera direalisasikan agar jalur transportasi antara Surabaya-Malang-Pasuruan dapat lancar, sehingga pertumbuhan perekonomian dan investasi tidak terhambat. Relokasi berbagai macam infrastruktur direncanakan disatukan dalam koridor selebar 120 m yang terdiri dari jalan tol di tengah bersebelahan dengan jalan kereta api, dan keduanya diapit oleh jalan arteri, diantara jalan tol dan jalan KA disediakan jalur untuk utilitas, sedangkan untuk tapak rencana SUTT disediakan di sisi luar jalan arteri Siring-Porong. Bagian yang dikerjakan oleh BPLS adalah pembangunan relokasi jalan arteri Siring-Porong dan relokasi pipa air baku PDAM untuk kota Surabaya. Panjang relokasi jalan arteri SiringPorong adalah 2 x 7,1 km dengan perkerasan dari beton dan masing-masing lebar jalan 2 x 3,5 m. Dalam rangka untuk dapat segera memulihkan kegiatan sektor ekonomi, terutama kelancaran distribusi arus barang dan jasa, pada tahun 2007 dilaksanakan pekerjaan Penyusunan Detail Desain Relokasi Jalan Tol Surabaya – Gempol (segmen Porong –Gempol) dan Relokasi Jalan Arteri Raya Porong (segmen Siring – Porong). Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) Relokasi Jalan Tol Surabaya – Gempol (segmen Porong – Gempol) dan Jalan Arteri Raya Porong Provinsi diberikan oleh Gubernur Jawa Timur pada tanggal 5 Maret 2007, dan telah diterbitkan revisinya pada tanggal 5 Juli 2007. Musyawarah dan Pemberian Uang Ganti Rugi (UGR)
Progres pemberian Uang Ganti Rugi (UGR) untuk pembebasan tanah pada 2 (dua) kabupaten sampai dengan akhir tahun 2010 adalah sebesar 97,21 Ha atau 78,54% dari target total 123,77 Ha, sedangkan pelepasan hak (termasuk fasilitas umum) telah mencapai 102,97 Ha atau 83,20%.
64
Peta lokasi kebutuhan lahan (trase relokasi infrastruktur) dan kondisi lahan bebas dapat dilihat pada gambar berikut:
Peta pembebasan tanah untuk relokasi infrastruktur jalan arteri dan jalan tol
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
65
BABI Pendahuluan Kegiatan pelaksanaan relokasi jalan arteri raya Siring – Porong masih terkendala penyediaan lahan yang sampai pada akhir TA 2010 belum seluruhnya tersedia. Serah terima lapangan kepada penyedia jasa masih dilakukan sebagian - sebagian (parsial) yang mengakibatkan penyedia jasa tidak dapat bekerja secara simultan, sehingga penyelesaian pekerjaan konstruksi mengalami keterlambatan. Pembangunan konstruksi jalan arteri dibagi dalam 4 Paket pekerjaan, yang mana SPMK untuk Paket 2 dan Paket 3 telah diterbitkan pada tanggal 30 Juni 2008 dengan serah terima lapangan parsial, sehingga kegiatan pelaksanaan fisik hanya dikonsentrasikan pada pelaksanaan pembangunan jembatan (fly over) yang melintas di atas Kali Porong. SPMK untuk Paket 1 dan Paket 4 telah diterbitkan pada tanggal 1 Desember 2008 dengan serah terima parsial pula, pelaksanaan fisik dikonsentrasikan pada pembangunan overpass dan fly over di sekitar jalan tol lama.
Pelaksanaan pembangunan relokasi jalan arteri Siring - Porong
66
Progres konstruksi sampai dengan akhir tahun 2010 untuk paket-1, 2, 3, dan 4 masing-masing adalah sebesar 46,76%; 99,61%; 96,60%; dan 46,52%. Beberapa target kinerja tidak atau belum dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: a.
b.
Target capaian kinerja sasaran pembangunan tanggul penahan luapan lumpur sampai dengan akhir tahun 2010 adalah 22,14 km dan yang dapat diselesaikan baru sepanjang 17,56 km atau sebesar 79,31%. Kendala yang dihadapi antara lain adalah hambatan masalah sosial karena warga tidak memperkenankan atau menghalangi pembangunan tanggul dengan alasan warga belum menerima ganti rugi. Lokasi tanggul ini adalah di Desa Kedungbendo, Gempolsari dan 3 Desa (Pejarakan, Kedungcangkring, dan Besuki).
Demo warga yang menghentikan pembangunan tanggul
Target capaian kinerja sasaran perbaikan sistem drainase sampai dengan tahun 2010 adalah sepanjang 19,04 km (setelah koordinasi), yang dapat diselesaikan adalah sepanjang 12,97 km atau sebesar 68,10%. Kendala utama yang dihadapi dalam penyelesaian perbaikan sistem drainase tersebut adalah adanya lokasi drainase yang berada di wilayah Siring Barat, karena lokasinya berada di permukiman padat penduduk dengan sebagian juga merupakan daerah yang tanahnya ambles sehingga resistensi masyarakat dalam perbaikan drainasi sangat tinggi. Di samping itu, tidak tercapainya sebagian besar target penyelesaian drainase tersebut juga disebabkan oleh adanya beberapa warga masyarakat di Desa Gempolsari yang meminta agar tanahnya yang terkena saluran drainase Pologunting dibebaskan. Di sisi lain, capaian kinerja sasaran tersebut didukung oleh pelaksanaan kegiatan DED sistem drainase, pengoperasian pompa (termasuk mobile pump) dan pintu drainase, serta supervisi pelaksanaan perbaikan sistem drainase. Pengoperasian pompa tersebut pada awalnya direncanakan sepanjang tahun, namun setelah berfungsinya saluran drainase, pengoperasian pompa tidak dilakukan secara-menerus sepanjang tahun akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
67
BABI Pendahuluan c.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah untuk relokasi berbagai sarana pengganti infrastruktur terdampak. Realisasi pengadaan tanah untuk relokasi berbagai sarana pengganti infrastruktur terdampak sampai dengan tahun 2010 baru tercapai sebesar 102,97 Ha atau 83,20%, mengingat adanya beberapa permasalahan dalam proses pembebasan tanahnya. Tanah yang telah dibebaskan tersebut sebagian besar berupa tanah sawah dengan harga ganti rugi yang lebih rendah dari pada harga tanah kering. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penyerapan keuangan menjadi lebih rendah apabila dibandingkan dengan luasan tanah sawah yang telah dibebaskan.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam menuntaskan sisa pengadaan tanah di kabupaten Sidoarjo adalah adanya para pemilik tanah yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang belum bersedia menerima nilai penetapan harga. Di samping itu, khususnya untuk warga masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Pasuruan, masih banyak status/bukti kepemilikan tanah yang perlu dilakukan evaluasi ulang keabsahannya. Selain permasalahan tersebut di atas, masih terdapat Tanah Kas Desa (TKD) seluas + 1,96 ha di Kabupaten Pasuruan yang belum bisa dilakukan pelepasan hak karena masih diperlukan proses administrasi di pemerintah desa. Dalam Renstra 2010 - 2014 satuan indikator kinerja pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan menggunakan satuan kilometer (km), namun untuk memudahkan perhitungan capaian kinerja dalam pelaksanaan pekerjaan/kegiatan, maka satuan indikator yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan diubah menjadi satuan meter (m). Dalam penetapan kinerja tahun 2010, untuk mencapai sasaran “Tersedianya infrastruktur pengganti atas infrastruktur yang rusak akibat luapan lumpur” indikator yang ditetapkan adalah selesainya pembangunan (relokasi) jalan arteri Siring - Porong (jalan dan jembatan) sepanjang 14.117 m, yang mencakup pekerjaan pembangunan jalan dan jembatan untuk jalan arteri Siring - Porong I (5.091 m), jalan dan jembatan untuk jalan arteri Siring - Porong II (2.275 m), jalan dan jembatan untuk jalan arteri Porong - Siring I (2.419 m), serta jalan dan jembatan untuk jalan arteri Porong Siring II (4.332 m). Dalam realisasinya bagian pekerjaan yang dapat dikerjakan sampai dengan akhir TA 2010 hanya untuk pembangunan jalan dan jembatan Siring-Porong I (2.247 m), jalan dan jembatan Siring – Porong II (936 m), jalan dan jembatan Porong – Siring I (1.007 m) serta jalan dan jembatan Porong – Siring II (2.340 m) dengan capaian kinerja total sepanjang 6.530 m atau 46,25% dari total sasaran tahun 2010 (14.117 m). Rendahnya realisasi pencapaian target sasaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 68
? Lahan baru dapat dibebaskan sebagian, sehingga SPMK Paket 2 dan paket 3 baru bisa
diterbitkan pada bulan Juni 2008, sedangkan SPMK Paket 1 dan Paket 4 diterbitkan pada bulan Desember 2008. ? Pelaksanaan pekerjaan fly over/ jembatan yang berada di badan sungai Kali Porong
mengalami keterlambatan karena terbatasnya lahan bebas dan keterbatasan/ tersedianya jalan akses menuju lokasi. ? Pada lahan yang sudah bebas belum bisa dilaksanakan pekerjaan konstruksi
seluruhnya karena tidak berkesinambungan (setempat – setempat) dan lahan berupa bangunan baru dapat dimasuki 3 (tiga) bulan setelah pembebasan guna memberikan kesempatan kepada pemilik bangunan berpindah. Untuk keperluan pengawasan pelaksanaan pekerjaan/kegiatan pembangunan jalan tersebut didukung dengan pekerjaan pengawasan yang dilaksanakan oleh tenaga Konsultan Supervisi.
Bidang Sekretariat/Kelembagaan Sampai dengan 4 (empat) tahun terakhir (2007-2010), banyak prestasi penting yang telah dicapai bidang sekretariat/kelembagaan BAPEL-BPLS dalam mendukung pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai satu unit pendukung bidang-bidang lain di dalam organisasi Bapel-BPLS, kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan Bidang Sekretariat/Kelembagaan pada setiap tahunnya lebih bersifat kegiatan penunjang di bidang administrasi, yang sifatnya rutin (terus berulang) pada setiap tahunnya, seperti kegiatan penyusunan anggaran dan revisinya, penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan laporan-laporan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran, administrasi kepegawaian dan pembinaan pegawai, administrasi hukum, kehumasan, serta pengelolaan data dan penyebaran informasi.
Kegiatan Rutin Sekretariat Badan
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
69
BABI Pendahuluan Bidang Sekretariat/Kelembagaan pada tahun anggaran 2010 telah menyelesaikan perubahan system penganggaran sehingga Bapel – BPLS saat ini telah memiliki mata anggaran/ program sendiri, dan tidak lagi membonceng program yang ada di Kementerian Pekerjaan Umum. Bidang Sekretariat/Kelembagaan sampai dengan tahun 2010 juga telah menyelesaikan penyusunan SOP sebanyak 28 buah. Walaupun sudah banyak SOP yang ditetapkan namun beberapa SOP masih memerlukan penyempurnaan untuk mengikuti perkembangan situasi dan kondisi di lapangan. Penyempurnaan SOP tersebut dilaksanakan oleh masing-masing Kapokja sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sebagai landasan pengaturan organisasi pada tingkat pelaksana, telah ditetapkan Peraturan Kepala Bapel-BPLS Nomor 02/PRT/P/2007 tentang Organisasi Badan Pelaksana BPLS, dan terakhir telah diatur kembali dengan Peraturan Kepala Bapel-BPLS Nomor 01/PRT/P/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana BPLS. Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan/atau ketrampilan pegawai dalam pelaksanaan tugas, pada tahun 2010 Bapel-BPLS telah menyelenggarakan dan mengirim pegawai terkait untuk mengikuti pelatihan. Jumlah pegawai yang telah dilatih dan ditingkatkan kemampuannya pada tahun 2010 mencapai 21 orang, yang mencakup bidang-bidang pelatihan sebagai berikut: ? Sosialisasi Tata Cara Penyajian Informasi Pendapatan dan Belanja Negara Secara
Akrual Pada laporan Keuangan sebanyak 4 orang. ? Konsultasi dan Bimbingan Hukum Perdata, Pidana, Tata Usaha Negara, dan Arbitrase
sebanyak 2 orang. ? Bimbingan Teknis SBU dan SBK sebanyak 1 orang. ? Workshop Kehumasan Menyongsong Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
sebanyak 2 orang. ? Sosialisasi Pemulihan Sosial Ekonomi sebanyak 2 orang, dan ? Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebanyak 10 orang.
Pelatihan SAI dan BMN
70
1.2.2. Aspirasi Masyarakat Bencana lumpur Sidoarjo telah memporak-porandakan berbagai segi kehidupan masyarakat di Peta Area Terdampak, baik dalam bidang perekonomian (musnahnya beberapa pabrik dan tempat kegiatan usaha lainnya), pertanian, prasarana dan sarana pendidikan, perumahan permukiman beserta prasarana dan sarananya, tempat-tempat ibadah, dan fasilitas publik lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, masyarakat terdampak sangat mengharapkan agar semua hak miliknya mendapatkan penggantian yang layak dan segera, serta berfungsinya kembali semua prasarana dan sarana publik, sehingga kegiatan perekonomian dan usaha dapat segera pulih. Harapan tersebut belum sepenuhnya dapat terwujud, mengingat beberapa kendala/ permasalahan yang telah disajikan sebelumnya, sehingga memunculkan berbagai demonstrasi unjuk rasa warga terdampak, baik yang berada di daerah Peta Area Terdampak maupun yang berada di luar Peta Area Terdampak. Banyaknya kelompok dalam masyarakat terdampak dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda, maka memunculkan pula tuntutan yang beragam di antara kelompok-kelompok yang ada. Berbagai tuntutan yang berbeda tersebut antara lain: ? Warga terdampak di 12 desa / kelurahan secara umum menuntut kejelasan
penyelesaian pembayaran jual beli tanah / bangunan. ? Warga desa Gempolsari yang menguasai tanah ± 70 Ha yang tercemar permanen
mengharapkan penyelesaian karena tanah tersebut tidak produktif lagi. ? Warga 9 RT (di Kelurahan Siring, Jatirejo dan Mindi) menuntut kejelasan status
bangunan mereka dan tanggung jawab atas kehilangan asset tersebut jika harus ditinggalkan. Demikian pula para pengusaha yang menuntut atas keselamatan dan kelanjutan usahanya. 1.3. Identifikasi Permasalahan dan Potensi 1.3.1. Permasalahan Analisis terhadap permasalahan yang dihadapi BAPEL-BPLS akan diuraikan berdasarkan bidang yang ada mengingat spesifiknya potensi dan permasalahan yang dihadapi masing-masing bidang dalam melaksanakan tugasnya.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
71
BABI Pendahuluan Bidang Operasi Berdasarkan uraian kondisi terkini pada sub-bab sebelumnya, tampak bahwa masalah utama yang dihadapi oleh Deputi Bidang Operasi Bapel-BPLS adalah luapan lumpur, amblesan dan bubble. Kondisi semburan lumpur saat ini masih menunjukkan fluktuatif, tingkah laku freatik. Berdasarkan data monitoring, semburan pernah mengalami berhenti (periode diam) yakni pada akhir 2008 dan tanggal 20 September 2009; serta terjadinya keruntuhan tiba-tiba di pusat semburan pada Mei 2008 dan Juni 2008 yang mengakibatkan tanggul cincin titik P44.2 ambles disusul tanggal 2 Maret 2009 tanggul cincin dengan elevasi +14.00 meter jebol karena tidak mampu menahan amblesan yang terjadi sebesar 20 – 30 cm per hari. 1. Kondisi semburan Kondisi semburan pada saat ini masih menunjukkan tingkah laku freatik, yaitu loncatan semburan berubah-ubah antara kecil dan besar. Tinggi loncatan semburan berfluktuasi antara 1-3 meter di atas permukaan lumpur di sekitarnya. Kondisi ini mulai muncul sejak akhir tahun 2009 hingga saat ini (akhir Desember 2010). Diyakini kondisi semburan telah melewati fase puncak dan fase tinggi. Sekarang semburan telah berada pada fase rendah hingga menuju fase istirahat (dormant). Walaupun kondisi ini bisa berubah setiap saat. Hal ini sangat tergantung pada energy dorong terhadap media semburan. Foto Satelit CRISP Status 4 Maret 2011 Area Pusat Semburan
72
Saat ini laju semburan di permukaan sekitar 10.000 m3/hari. Laju semburan ini adalah sepersepuluh dari laju semburan pada tahun 2007. Semburan yang keluar mengalami perubahan dari padatan kental panas pada periode 2007 – 2009 menjadi encer dan hangat. Proporsi semburan 60:40 antara padatan dan air, sekarang adalah 30:70 antara padatan dan air. Upaya penutupan semburan telah pernah dilakukan oleh PT Lapindo Brantas dengan berbagai cara antara lain side tracking, relief well dan bola-bola beton, namun demikian belum nampak hasilnya. Pada masa BPLS dilakukan dengan membuat konstruksi yang plastis dari kantong-kantong yang diisi sirtu dengan volume yang cukup besar yang diletakkan di sekeliling pusat semburan untuk membuat hydrostatic counter pressure pada pusat semburan. Namun hasilnya juga belum memadai untuk menutup semburan. Semburan lumpur Sidoarjo yang sudah berlangsung sejak tahun 2006 diperkirakan akan masih akan berlangsung lama. Semula umur semburan diperkirakan sekitar 30 tahun. Akan tetapi melihat kondisi lapangan saat ini, dugaan umur semburan ini secara nyata telah berubah. Beberapa pihak (IAGI dan pakar geologi) menghitung kembali perkiraan umur semburan, dan menjadi setengah dari umur perkiraan semula. Para ahli geologi Indonesia dan dunia sepakat bahwa fenomena geologi ini adalah fenomena gunung lumpur yang sulit bahkan tidak mungkin ditutup. Fenomena semburan lumpur panas di Sidoarjo bukan fenomena blow out dari sebuah sumur minyak. Dengan demikian teknologi yang diterapkan untuk penanggulangannya adalah harus teknologi gunung lumpur, yang sampai saat ini belum ada. 2. Luapan Lumpur Dengan hilangnya tanggul cincin sebagai tanggul pembatas semburan dengan pond yang berada di luarnya pada akhir Juni 2009, maka luapan lumpur telah mengalir dan mengisi pond di wilayah Peta Area Terdampak dengan pola aliran dari pusat semburan menyebar ke seluruh penjuru yakni ke utara menuju pond Perumtas, ke barat menuju pond Siring, ke timur menuju pond Renokenongo. Dengan adanya luapan lumpur maka tanggul-tanggul luar yang dibangun oleh BPLS menjadi rawan terhadap ancaman luapan lumpur. Luapan lumpur terseparasi menjadi lumpur padat yang mengendap pada pond dan air yang terkonsentrasi pada sisi-sisi tanggul terutama pada lokasi Siring Timur, Glagaharum dan Renokenongo. Hal ini dapat mengancam stabilitas tanggul. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
73
BABI Pendahuluan Luapan lumpur mengancam meluasnya Peta Area Terdampak, terutama di sisi barat tanggul yang langsung berbatasan dengan rel kereta api dan jalan arteri porong. Luapan lumpur juga akan terjadi ketika amblesan tanggul terjadi akibat deformasi geologi. Titik tanggul yang mengalami laju amblesan tertinggi adalah di sekitar jembatan tol putus di Siring Barat. Begitu juga di sisi tanggul utara Osaka dan Perumtas. Ketika volume semburan di permukaan jauh berkurang, volume semburan yang di bawah permukaan tidak dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi dampak dari semburan ini adalah menggelembungnya badan gunung Lumpur dan bertambahnya tingginya puncak semburan, yang di kemudian hari dapat memicu terjadinya longsoran dari lereng gunung lumpur yang sudah terbentuk di permukaan. Hal ini mengindikasikan terjadinya dorongan terhadap lereng gunung lumpur yang terbentuk oleh adanya material dan fluida yang terdorong dari bawah. Sebagai akibatnya terjadi mud slump, yaitu melorotnya lumpur dari puncak gunung lumpur menuju kaki gunung lumpur. Hal berikutnya yang terjadi adalah luapan lumpur (overtopping) terhadap tanggul dan juga terdorongnya kapal keruk oleh lumpur menuju tepi tanggul. Dengan demikian ancaman “pelorotan” lumpur ini adalah tanggul longsor dan tidak beroperasinya kapal keruk.
Longsornya lumpur mengakibatkan kapak keruk terdampar
74
3. Sebaran Bubble Jumlah bubble di luar (PAT) Maret 2007, sejak awal munculnya tahun 2006 termonitor sampai saat ini berjumlah 232 bubble, diantaranya 61 bubble mati permanen dan sisanya masih dalam kondisi aktif meskipun saat ini hanya 57 masih aktif. Dari jumlah bubble tersebut 7 buah bubble mengalami amblesan tanah di sekitarnya, sehingga pada 2 lokasi bubble tersebut diadakan penimbunan kembali lubang akibat bubble, meski pada masa aktif di sela-sela timbunan masih terlihat adanya gas yang bercampur lumpur. Hal yang memprihatinkan adalah sebaran bubble yang menuju arah barat yang mendekati lokasi relokasi jalan tol yang sedang dilaksanakan penimbunan konstruksi jalan. Jarak terjauh sebaran bubble yang ke arah barat adalah 2,1 km di Desa Wunut dari pusat semburan. Di antara bubble-bubble tersebut telah dikelompokkan sesuai dengan karakteristik bubble yang bersangkutan, dan telah diidentifikasi sebanyak 19 bubble yang kondisinya masih berbahaya berdasarkan kriteria masa aktif yang panjang, mengeluarkan gas methane yang tinggi (OL), rawan terbakar, rawan ambles dan ada yang muncul pada area pom bensin, pemukiman, tepi jalan raya Porong, dan tepi rel kereta api. Sampai dengan saat ini tercatat jumlah bubble yang muncul di luar Peta Area Terdampak 232 buah bubble yang termonitor dan dari jumlah tersebut sampai saat ini tercatat masih aktif 57 buah per akhir tahun 2010. Namun demikian masih perlu diwaspadai bubble-bubble tersebut akan aktif kembali di saat retakan pada formasi batuan terjadi kembali. Retakan-retakan pada formasi batuan menyebabkan kantongkantong gas hidrokarbon yang berada pada formasi batuan dangkal (<1.000 m) terkoyak, sehingga menimbulkan tembusan gas hidrokarbon (bubble) ke permukaan. Upaya yang dilakukan untuk penanganan bubble telah dilakukan oleh BPLS diantaranya membuat konstruksi separator untuk memisahkan lumpur yang keluar dan gas. Diantara bubble yang besar terletak pada lokasi PT Lion Steel, pabrik es dan beberapa rumah warga yang kesemuanya berada di Desa Siring
Pemasangan Separator
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
75
BABI Pendahuluan Bubble tersebut sebelum ditangani mempunyai tekanan setinggi 12 meter dan gas metan yang keluar dari bubble menyebabkan gangguan kesehatan bagi masyarakat di sekitar keluarnya bubble sehingga warga Siring Barat pada tiga RT telah diberi santunan sosial berupa uang pindah, uang kontrak rumah dan uang jaminan hidup. 4. Deformasi geologi Semenjak tahun 2008 BPLS menyadari bahwa akibat semburan lumpur mengakibatkan deformasi geologi pada daerah sekitar pusat semburan. Deformasi geologi ini dapat berupa amblesan, retakan, uplift maupun timbulnya bubble-bubble yang mengandung gas berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Monitoring dampak deformasi geologi terus dilakukan oleh BPLS antara lain jumlah rumah yang terkena dampak, kerusakan-kerusakan yang diakibatkan fluktuasi tekanan bubble dan kondisi bawah permukaan di sekitar pusat semburan dengan menggunakan alat Ground Penetrating Radar (GPR). Dari alat ini dapat diketahui kecenderungan tingkat kepadatan lapisan tanah di tempat yang dilakukan pengukuran. Disamping itu juga dilakukan pula pengukuran Titik Tinggi Geodesi (TTG) dan Bench Mark (BM) yang sudah ada untuk mengetahui tingkat penurunan maupun uplift tanah di sekitar pusat semburan. Berdasarkan data-data pengukuran wilayah area terdampak memang bertambah luas. Semula hanya 641 Ha berdasarkan PAT tahun 2007, kemudian ditambah 9 RT (Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi). Akhir tahun 2010 area terdampak tampaknya bertambah dengan mempetimbangkan kondisi wilayah yang tidak layak huni lagi di sebagian Desa Ketapang, dan Pamotan. Pihak Pemerintah Provinsi Jawa timur mengusulkan tambahan wilayah Monitoring Menggunakan GPR
76
dengan total 54 RT.
Setelah hilangnya tanggul cincin sebagai penahan lumpur di pusat semburan, maka tanggul luar yang dibangun BPLS menjadi satu-satunya penahan luapan lumpur. Tanggul ini dibangun semata untuk menahan laju perluasan area terdampak, dan mengurangi ancaman terhadap keselamatan warga sekitar, serta existing infrastruktur. Artinya bahwa tanggul tanah ini dibangun sebagai bagian dari sistem penanganan luapan lumpur. Tentu saja tanggul tanah mempunyai kelemahan terhadap amblesan dan dorongan atau desakan lumpur yang melampaui kuat geser dan daya dukungnya. Sepanjang tahun 2009 hingga 2010 telah terjadi beberapa kali amblesan tanggul. Pada periode Agustus 2009, telah terjadi 3 kali tanggul ambles di titik p.79 Glagah Arum. Pada akhir 2010, terjadi amblesan tanggul di titik p.80-81. Amblesan dan keruntuhan lereng gunung lumpur bisa mengakibatkan terjadinya keruntuhan tanggul. Bidang Sosial Masalah sosial kemasyarakatan akibat dari semburan dan luapan, serta fenomena geologis lainnya yang sejak awal terjadinya semburan sudah ditangani, hingga kini ( 4 tahun terakhir) masih banyak permasalahan sosial yang berkembang serta masalahmasalah yang belum terselesaikan, sehingga masih harus diselesaikan sampai dengan 2014, antara lain: 1. Permasalahan Sosial Terkait dengan Landasan Hukum Batas wilayah populasi penanganan masalah sosial dikategorikan sebagai berikut: a. Wilayah Perpres 14/2007 Desa-desa terdampak dan terendam luapan lumpur penuh atau sebagian sebagaimana telah ditetapkan oleh Timnas PSLS tanggal 22 Maret 2007 sebagai Peta Area Terdampak, yaitu : Desa (1) Renokenongo, (2) Kedungbendo, (3) Gempolsari, (4) Ketapang, (5) Glagaharum, (6) Kalitengah), (7) Pejarakan, (8), Kedungcangkring, (9) Besuki dan Kelurahan (10) Siring, (11) Jatirejo, (12) Mindi. Pelunasan sisa pembayaran 80% pada wilayah ini oleh PT Minarak Lapindo Jaya tidak lancar sehingga tidak sesuai dengan skema yang telah ditetapkan. Akibatnya penyelesaian pelunasannya menjadi kurang jelas waktunya.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
77
BABI Pendahuluan Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak Oktober 2008 telah berdampak pula pada kondisi likuiditas keuangan PT Minarak Lapindo Jaya yang akibatnya pelaksanaan pembayaran jual-beli tanah dan bangunan, baik penyelesaian pembayaran uang muka 20% maupun pelunasan 80%, menjadi tersendat. Akibat selanjutnya, pembayaran beberapa berkas permohonan yang belum dibayar uang muka 20% serta pembayaran pelunasan 80% terpaksa dibayarkan dengan dicicil, menyesuaikan dengan kemampuan keuangan PT Minarak Lapindo Jaya. Skema yang ditawarkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya ini ditolak oleh warga dengan alasan bahwa tawaran ini tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan di dalam Perpres 14/2007. Unjuk rasa demi unjuk rasa yang menolak keputusan PT Minarak Lapindo Jaya ini tidak dapat dihindarkan, bahkan unjuk rasa oleh sekitar 3000 warga telah dilakukan pula di depan Istana Merdeka Jakarta pada tanggal 3 Desember 2008. Menanggapi unjuk rasa tersebut, pada tanggal 3 Desember 2008 telah diadakan perundingan antara perwakilan warga dengan pihak PT Minarak Lapindo Jaya yang difasilitasi oleh Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial dan Menteri Sumber Daya Energi dan Mineral. Hasil perundingan disepakati bahwa warga bersedia menerima pembayaran pelunasan 80% dengan dicicil sebesar Rp 30 juta/ bulan. Namun dalam pelaksanaannya, dengan alasan terus merosotnya kemampuan keuangan, PT Minarak Lapindo Jaya tidak dapat memenuhi kesepakatan tersebut dan menyatakan bahwa hanya sanggup untuk membayar cicilan sebesar Rp 15 juta/bulan. Keadaan ini telah memicu timbulnya unjuk rasa kembali dengan skala yang cukup besar di saat meningkatnya suhu politik di Jawa Timur yang sedang menanti hasil perhitungan suara Pilgub putaran kedua. Dengan difasilitasi kembali oleh Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS dan beberapa menteri anggota Dewan Pengarah BPLS serta melibatkan Kapolri, pada tanggal 20 Februari 2009 telah diadakan pertemuan kembali antara perwakilan warga dengan pihak PT Lapindo Brantas/PT Minarak Lapindo Jaya di Jakarta. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan bahwa pihak PT Lapindo Brantas tetap berjanji menuntaskan pembayaran 80% namun karena kondisi keuangannya sedang mengalami kesulitan likuiditas maka penyelesaiannya hanya mampu dilakukan dengan cara dicicil sebesar Rp.15.000.000,-/berkas/bulan yang pembayarannya akan disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI).
78
Harus diakui bahwa keputusan ini tidak akan dapat memuaskan semua pihak namun disadari bahwa keputusan ini merupakan langkah yang paling mungkin untuk dilaksanakan oleh PT Lapindo Brantas/PT Minarak Lapindo Jaya. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan warga tersebut ternyata tidak semua peserta pertemuan dapat menerima keputusan tersebut. Akibatnya mereka masih terus menuntut agar PT Lapindo Brantas/PT Minarak Lapindo Jaya memenuhi kesepakatan bersama pada tanggal 3 Desember 2008. Perkembangan penanganan masalah perlindungan sosial yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas adalah sebagai berikut: a. Sebanyak 81 berkas permohonan warga belum dilakukan pembayaran uang muka 20% dengan perkiraan nilai nominal 20% sebesar Rp. 6.667.180.400,-. Warga mendesak untuk segera dilakukan tindak lanjut terhadap berkasnya. b. Terhadap permasalahan ini, Bapel BPLS selalu khawatir tentang keamanan tanggul di desa Glagaharum karena hingga saat ini, para pegogol (pemilik tanah gogol) yang di atas tanahnya sudah dibangun tanggul, belum mendapatkan pembayaran 20%. Hal ini dapat menjadi potensi akan adanya perbuatan untuk menghambat proses pembuatan tanggul dan keamanan tanggul dari para pegogol di Desa Besuki. c. Berkas permohonan penyelesaian business to business (B to B) atas nama H. Hasan Kedungbendo dan beberapa pengusaha yang tergabung dalam GPKLL, masih belum tuntas pembayarannya. Akibat dari hal ini, Bapel BPLS mengalami hambatan dalam membangun tanggul di desa Kedungbendo karena dihalang-halangi oleh H. Hasan. d. Masih terdapat berkas permohonan warga sebanyak 227 berkas yang telah jatuh tempo pembayaran 80%, namun hingga saat ini masih belum menerima pembayaran/cicilan. Akibat dari permasalahan ini, Bapel BPLS juga mengalami hambatan dalam membangun tanggul di desa Kedungbendo karena dihalang-halangi oleh warga yang belum menerima pembayaran 80%. e. Masih terdapat kurang lebih 100 bidang tanah yang hingga saat ini tidak mengajukan permohonan jual beli karena warisan leluhur. Namun demikian, mereka mempertanyakan bagaimana proses penggantiannya.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
79
BABI Pendahuluan b. Wilayah Perpres 48/2008 Desa di luar Peta Area Terdampak sebagaimana ditetapkan oleh Presiden RI melalui Perpres 48/2008 tanggal 17 Juli 2008 sebanyak tiga desa, yaitu: (1) Desa Pejarakan, (2) Desa Kedungcangkring, dan (3) Desa Besuki. Mengingat mekanisme pembayaran jual beli tanah dan bangunan milik warga tiga desa harus mengikuti capaian pelunasan yang dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya, maka dana yang dianggarkan untuk pembayaran pemilik tanah dan bangunan di tiga desa sebesar 30 %, namun yang dapat direalisasikan sebesar 20 %. c. Wilayah Perpres 40/2009 Wilayah sembilan RT (4 RT di Kelurahan Siring, 2 RT di Kelurahan Jatirejo, dan 3 RT di Kelurahan Mindi) sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang APBN, pada dasarnya mendapatkan perhatian khusus dalam pemberian bantuan sosial. Undang-Undang tersebut antara lain menyebutkan bahwa dana yang tersedia dalam APBN dapat digunakan untuk pemberian bantuan sosial bagi warga di sembilan RT tersebut, yang selanjutnya besaran pembayarannya ditetapkan dengan Perpres 40/2009. Dalam Perpres 40/2009 tersebut antara lain disebutkan bahwa besarnya bantuan kontrak rumah adalah Rp. 2.500.000 per tahun yang diberikan untuk 2 tahun, namun belum jelas tindak lanjut penanganan warga eks Sembilan RT setelah kontrak rumah dua tahun habis. Warga menuntut kejelasan ini karena kondisi wilayah sembilan RT tersebut semakin buruk. d. Wilayah Perpres 68/2011 Dalam Perpres 68/2011 telah ditetapkan bahwa wilayah sembilan RT (4 RT di Kelurahan Siring, 2 RT di Kelurahan Jatirejo, dan 3 RT di Kelurahan Mindi) termasuk dalam wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak, yang selanjutnya dilakukan pembelian tanah dan bangunan dengan skema 20% dibayar pada tahun 2011, sedangkan sisanya dibayarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Wilayah Terdampak Lain Wilayah terdampak lain ini adalah wilayah yang belum ada payung hukum khusus. Desa-desa di wilayah ini mengalami dampak deformasi geologi, luapan air/lumpur, dan pencemaran udara, yaitu: Kelurahan/Desa (1) Gedang, (2) Pamotan, (3) Sentul, (4) Penatar Sewu, (5) Plumbon, dan (6) Keboguyang. 80
Secara rinci bentuk kerawanan bencana yang dialami antara lain: ? Kelurahan Gedang: semburan gas (sekarang tidak aktif), pencemaran air tanah, dan
banjir akibat dari tidak berfungsinya saluran pematusan karena tertutup oleh tanggul. ? Desa Pamotan dengan ancaman berasal dari semburan gas. Terdapat kurang lebih
sepanjang 100 m dari tanah di tepi sungai yang muncul semburan gas, dan beberapa rumah yang lantai dan dinding rumahnya retak-retak dan mengeluarkan gas yang sangat mudah terbakar. Selain itu juga terdapat pencemaran air tanah. ? Desa Sentul, Penatar Sewu, dan Plumbon mengalami gagal panen namun sudah
terbayar. Buangan air lumpur dianggap warga sebagai penyebab matinya ikan milik petani tambak di desa tersebut. Warga hingga kini masih berusaha untuk mendapatkan ganti rugi kedua atas gagal panen sawahnya. ? Desa Keboguyang merasa tidak aman dari ancaman limpasan air dari tanggul di
Gempolsari, Glagaharum dan Besuki. Pada tanggal 23 Agustus 2010, Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) yang dibentuk oleh Gubernur Jawa Timur mempresentasikan hasil kajiannya. Kesimpulan dari kajian tersebut menyatakan bahwa sejumlah RT pada desa-desa di bawah ini dinyatakan tidak layak huni, yaitu: ? Wilayah sembilan RT (4 RT di Kelurahan Siring, 2 RT di Kelurahan Jatirejo, dan 3 RT
yaitu 10,13, dan 15 di Kelurahan Mindi) dinyatakan tetap tidak layak huni. ? Desa Besuki Timur sebanyak 7 RT (RT 1 s/d 7). ? Desa Mindi sebanyak 18 RT (RT 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 pada RW I; RT
8, 9, 11, 12, 14 pada RW
II; dan RT 16, 17, 18, 19, 20, 21 pada RW III). Desa Ketapang 12 RT ( RT 2-4 pada RWI, RT 5, 6, 14 RW II; RT 8, 9, 10, 11 RW III, dan RT
?
12, 15 pada RW IV). Desa Pamotan 8 RT (RT 7 pada RW I, RT 8, 9, 10, 11 pada RW IV, dan RT 12,13, 14 pada RW
?
VI) Dengan adanya hasil penelitian TKKP tersebut di atas, warga pada wilayah dimaksud menuntut ditetapkannya bentuk dan jenis penanganan masalah sosialnya dengan peraturan presiden sebagaimana sebelumnya sudah diberlakukan di wilayah PAT 22 Maret 2007 dan di wilayah 3 desa.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
81
BABI Pendahuluan 2. Dinamika Perilaku Warga Permasalahan-permasalahan sosial yang dialami oleh warga di luar PAT penanganannya menjadi tanggung jawab BPLS dengan menggunakan dana APBN. Penting untuk dikemukakan di sini bahwa tidak ada jual beli atau ganti rugi sebagai bentuk penanganan masalah sosial yang dialami oleh korban semburan lumpur dan deformasi geologi pada wilayah terdampak lain. Perbedaan bentuk penanganan ini di sisi lain menimbulkan masalah yang tak kunjung padam hingga saat ini, yaitu tuntutan warga di luar wilayah terdampak lain dan Perpres 48/2009, agar wilayahnya dimasukkan ke dalam Peta Area Terdampak, sehingga mendapatkan bentuk penanganan yang sama dengan mereka yang berada di dalam PAT 22 Maret 2007. Warga sembilan RT dari tiga kelurahan (dibaca desa) Siring, Jatirejo, dan Mindi yang dinyatakan bahwa lingkungannya tidak layak huni melalui Perpres 40/2009, karena ada yang mengalami amblesan, semburan gas berbahaya karena mudah terbakar atau gas lain yang berbahaya bagi pernafasan, maka wilayah sembilan RT pada tiga kelurahan ini dikosongkan untuk selama maksimal 2 tahun, dan warga diberikan bantuan sosial yang besarnya sama dengan yang diberikan oleh PT MLJ. Bentuk penanganan ini menimbulkan masalah lain lagi, yaitu meskipun warga sudah menerima bantuan uang kontrak rumah tetap tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya dengan alasan: a. tempat kerja atau sumber penghasilan mereka berada di wilayah tersebut, b. pendidikan formal anak-anak mereka, lokasi sekolahnya berada di sekitar wilayah tersebut, c. menjaga rumah dan aset lainnya yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja, karena tidak ada pihak yang dapat menjamin keselamatan aset milik mereka dari kemungkinan dijarah, d. sangat sulit untuk mencari rumah kontrakan dengan harga yang terjangkau sesuai dengan besarnya bantuan uang kontrak rumah. Menghadapi kondisi demikian ini mereka memilih memberanikan diri mengambil risiko terburuk dari ancaman bencana yang mungkin dapat terjadi, sambil terus berjuang untuk mendapatkan kepastian wilayahnya dinyatakan sebagai Peta Area Terdampak. 82
Munculnya bualan-bualan gas bercampur air di Desa Ketapang, Pamotan, dan Gedang yang cukup jauh dari pusat semburan, yaitu antara 1- 2 Km dari pusat semburan menambah luas dampak sosial dari fenomena gunung lumpur. Warga tiga desa tersebut menuntut perlakuan yang sama dengan saudara-saudaranya yang telah terdampak. Perbedaan pandang terhadap status tanah pethok – D atau letter – C dan SK Gogol, masih belum terdapat titik temu. Perpres 14/2007 sudah menetapkan bahwa penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang harus dilakukan oleh PT Lapindo Brantas antara lain membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, dalam Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah. Namun demikian, untuk melaksanakannya ternyata masih ada hambatan. Salah satu hambatannya yaitu dipermasalahkannya oleh PT Lapindo Brantas tentang bukti kepemilikan yang berupa pethok-D atau letter-C serta ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria tentang larangan bagi Badan Usaha untuk melakukan jual-beli terhadap tanah yang berstatus Hak Milik. Dengan bukti kepemilikan tanah berupa pethok-D atau letter-C, pada hakekatnya statusnya adalah Hak Milik sehingga PT Lapindo Brantas dengan alasan dilarang oleh undang-undang, menolak untuk melakukan akta jual-beli. Terlebih lagi berpedoman pada Perpres 14/2007 yang menyatakan “... membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo. .... dengan akta jual-beli kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.”, pihak PT Lapindo Brantas berpendirian hanya akan melakukan akta jual-beli terhadap tanah yang sudah bersertifikat karena sudah mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah. Harus diakui bahwa untuk tanah dengan bukti kepemilikan berupa pethok-D, letter-C dan SK Gogol luasnya masih berupa perkiraan karena belum pernah diukur oleh Kantor Pertanahan setempat. Argumentasi PT Lapindo Brantas ini tidak dapat diterima oleh warga dan tetap menuntut agar tidak ada perbedaan perlakuan antara tanah yang sudah bersertifikat maupun tanah yang belum bersertifikat (pethok-D, letter-C dan SK Gogol). Perbedaan pendirian yang tak kunjung mencapai titik temu ini telah memicu timbulnya berbagai unjuk rasa oleh warga korban luapan lumpur.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
83
BABI Pendahuluan Warga melakukan unjuk rasa menuntut pemenuhan atau pemulihan kembali hak-hak mereka. Selama tahun 2007 berdasar data dari Kepolisian Sidoarjo telah terjadi 82 kali demo, pada tahun 2008 terjadi 42 kali, sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 jumlah demo yang dilakukan warga sudah sangat menurun. Namun demikian unjuk rasa tetap menjadi andalan mereka untuk menekan para pemangku kepentingan.
Demostrasi warga
3. Paradigma Permasalahan Umum Korban Lumpur Fenomena gunung lumpur dan deformasi geologi tersebut di atas mempunyai dampak sosial yang sangat luas. Ada beberapa sistem nilai yang secara universal sering digunakan untuk menentukan sebuah fenomena merupakan masalah sosial atau bukan. Nilai-nilai tersebut adalah : a. Pemenuhan kebutuhan dasar Tenggelamnya wilayah 12 desa/kelurahan telah menimbulkan kondisi darurat, maka permasalahan utamanya adalah bagaimana menyelamatkan, mengganti atau menyediakan tempat tinggal bagi yang kehilangan tempat tinggal, menyediakan air bersih, bahan makanan, rawatan kesehatan dan obat-obatan, memberikan layanan sosial dalam kondisi darurat, serta pemberdayaan agar mereka tetap dapat menjalankan fungsi sosialnya.
84
b. Hukum dan Keadilan Peristiwa semburan lumpur telah berdampak pada sejumlah besar orang harus pindah karena tempat tinggalnya tidak mungkin dihuni lagi, kehilangan harta benda, kesempatan, memburuknya kondisi lingkungan hidup, dan kehilangan keharmonisan sosial. Pada fenomena ini ada pihak-pihak yang memandang telah terjadi pelanggaran HAM berat. Meskipun penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang dilakukan dengan jual beli tanah dan bangunan dengan harga yang sudah di atas harga pasar, tetap dipandang masih belum dapat memenuhi kerugian yang diderita oleh warga. Oleh karena itu isu tentang pelanggaran HAM terus bergulir. c. Kesehatan Semburan lumpur telah menutup dan merusak saluran-saluran pembuangan limbah baik industri maupun domestik sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang akhirnya berpengaruh pada kondisi kesehatan masyarakat. Ditambah dengan bau gas yang berasal dari pusat semburan dan pencemaran air tanah/sumur, meskipun tidak merata pada semua wilayah, kondisi sangat berpengaruh pada kondisi kesehatan masyarakat. d. Ekonomi Hilangnya mata pencaharian menjadi masalah yang kritis bagi warga. Masalah ekonomi juga muncul dalam berbagai fenomena, misalnya kehilangan modal, kehilangan mata pencaharian, kehilangan kesempatan berusaha, dan penurunan nilai aset yang berupa tanah dan bangunan. e. Pendidikan Pendidikan dalam hal ini bukan hanya pendidikan formal, tetapi lebih luas dari hal itu. Dalam rangka mewujudkan hidup yang harmonis dengan fenomena gunung lumpur dan deformasi geologi sebagai sebuah bentuk bencana baru, warga perlu mendapatkan informasi melalui sosialisasi serta pengembangan diri untuk meningkatkan partisipasi warga dalam mengurangi dampak sosial. Hingga kini masyarakat masih beranggapan bahwa Bapel-BPLS merupakan sebuah “super body” yang mampu mengaplikasikan semua paradigma permasalahan ini secara komprehensif dan utuh. Bapel - BPLS diharapkan mampu menangani semua permasalahan yang ditimbulkan dari munculnya fenomena gunung lumpur dan geologis lainnya. Hal ini tidak mungkin karena diperlukan sumber daya dan dana yang sangat besar.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
85
BABI Pendahuluan Bapel-BPLS menyadari sangat terbatasnya sumber-sumber daya yang tersedia, sehingga selain dari perlindungan sosial, fokus pada kesiapsiagaan, penanganan tanggap darurat dan pemulihan sosial dalam skala mikro. 4. Perilaku Konsumtif Terpicunya perilaku konsumtif sebagian warga yang membelanjakan uang yang diterimanya dari uang bantuan sosial dan uang muka 20% jual beli tanah dan bangunan untuk hal-hal yang tidak mengarah kepada perolehan rumah pengganti melainkan digunakan untuk membeli sepeda motor, mobil bahkan ada yang menikah lagi. Akibatnya pada saat uangnya sudah habis sedangkan pembayaran sisa 80% belum diterima, mereka menjadi kebingungan dan sering melakukan unjuk rasa untuk menuntut segera dibayarkannya sisa 80% untuk membeli tanah dan rumah. 5. Tenggelamnya Makam Umum Turut tenggelamnya makam umum tidak dapat diabaikan begitu saja karena telah berdampak pada timbulnya kesulitan untuk memakamkan jenazah. Meskipun makam umum pengganti sudah disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, tetapi jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal warga di sekitar peta terdampak sehingga memerlukan alat transportasi dan biaya pemakaman. Tenggelamnya makam ini berdampak pula pada terhalanginya kebiasaan-kebiasaan penduduk untuk mengunjungi atau ziarah kubur. Masih banyak warga yang mempunyai hubungan spiritual religius yang sangat mendalam terhadap makam leluhurnya tersebut mengingat bahwa di antara mereka terdapat nenek moyang yang dianggap sebagai tokoh pendiri desa-desa yang tenggelam. 6. Persepsi Diri Para Korban Lumpur Korban luapan lumpur telah mengidentifikasikan diri mereka sebagai korban bencana yang berbeda dengan korban bencana alam lainnya. Misalnya korban gempa di Yogyakarta, dan Tsunami di Aceh. Meskipun tidak ada korban jiwa tetapi mereka tetap merasa lebih menderita dibandingkan dengan penderita bencana di dua daerah di atas. Dengan alasan mereka menderita secara perlahan tetapi pasti yaitu berkembangnya kondisi kesejahteraan mereka yang bertambah buruk, karena menghadapi ketidakpastian. Disamping itu mereka juga menganggap hilangnya tanah tumpah darah mereka untuk selamanya meskipun masih dapat dilihat setiap hari. Hal ini menimbulkan dampak psiko sosial pada warga. 86
Bidang Infrastruktur Permasalahan dalam bidang infrastruktur dapat digambarkan melalui kondisi/keadaan sebagai berikut: 1. Ancaman Luapan Lumpur Melimpas dan Meluas Pada awal tugas Bapel - BPLS, tinggi tanggul penahan lumpur masih terbatas dan banyak lokasi rencana tanggul yang belum terbangun (sebagian lokasi tanggul masih dalam tahap pengerjaan dan belum tersambung dengan tanggul lainnya) serta luapan lumpur belum terkendali sehingga lumpur rawan melimpas. Kondisi demikian dapat menyebabkan lumpur melimpas dan infrastruktur vital berupa jalan kereta api dan jalan arteri yang menghubungkan Surabaya dengan Malang dan Banyuwangi melalui Porong dapat terganggu bahkan terputus akibat luapan lumpur. Ancaman luapan lumpur semakin kritis terjadi mulai bulan November 2008 karena kinerja operasi pompa mengalirkan lumpur ke Kali Porong yang seharusnya maksimal
Kondisi tanggul yang rawan limpas dan yang masih terputus
justru merosot akibat kemampuan likuiditas PT Lapindo Brantas yang terpengaruh oleh krisis keuangan global. Dalam perencanaan, kesempatan untuk memompa secara maksimal dilakukan pada musim hujan. Hal ini dimaksudkan agar lumpur langsung hanyut ke laut, sekaligus untuk menyiapkan ruang untuk menampung lumpur pada musim kemarau. Dengan pola ini, maka pengaliran lumpur pada musim kemarau dapat dibatasi, karena debit Kali Porong sangat kecil, bahkan nol. Kenyataan di lapangan, hal ini tidak dapat dicapai karena merosotnya kinerja operasi pompa mengalirkan lumpur ke Kali Porong sehingga lumpur dapat meluap melewati PAT.
Tanggul Ketapang - Siring mengalami amblesan
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
87
BABI Pendahuluan Fakta ini menunjukkan bahwa kondisi luapan lumpur benar-benar masih belum terkendali, sehingga memerlukan tindakan penanganan segera dan tidak dapat ditundatunda dalam rangka untuk keselamatan masyarakat dan melindungi infrastruktur yang berada di dekatnya. Rendahnya kinerja pengaliran luapan lumpur ke Kali Porong melalui stasiun pompa di titik P36 dan P41 pada tahun-tahun yang lalu menyebabkan aliran lumpur panas dari pusat semburan dominan ke utara. Sebagian lumpur yang seharusnya dibuang ke Kali Porong justru mengendap di kolam selatan. Kondisi ini menyebabkan muka endapan lumpur di Kolam Siring, PerumTAS-1, Glagaharum dan Renokenongo bertambah tinggi, padahal sebagian tanggul mengalami subsidence, sehingga lumpur rawan melimpas keluar PAT serta mengancam jalan kereta api serta jalan arteri Porong. Untuk keselamatan masyarakat serta mencegah bencana dan kerugian negara/masyarakat yang lebih besar, Bapel BPLS melakukan upaya Mitigasi Luapan Lumpur. Pasca kehancuran tanggul cincin dan setelah dipastikan deformasi di pusat semburan sangat intensif, maka diputuskan tanggul cincin tidak mungkin dibangun kembali. Dalam kondisi demikian, seluruh luapan lumpur akan mengalir ke utara memenuhi kolam PerumTAS-1, Siring, Glagaharum dan Renokenongo, sehingga seluruh tanggul penahan luapan lumpur statusnya berubah menjadi tanggul utama. Sejak terjadi krisis finansial global, kemampuan likuiditas PT Lapindo Brantas menjadi sangat terbatas, sehingga kinerja pengaliran luapan lumpur ke Kali Porong mengalami penurunan tajam. Karena semburan tetap akan terus berlangsung, tanggul tidak mungkin terus ditinggikan. Agar ancaman luapan dapat dikendalikan, maka upaya mengalirkan lumpur ke Kali Porong harus ditingkatkan. Mitigasi yang telah dilakukan Bapel – BPLS dengan mengerahkan peralatan pompa lumpur dan kapal keruk milik Departemen Pekerjaan Umum adalah untuk mengatasi keadaan sewaktu-waktu luapan lumpur dalam status waspada. Namun dengan makin berkurangnya jumlah pompa PT Lapindo Brantas dan juga makin seringnya pompa-pompa tidak beroperasi, maka kondisi di kolam lumpur sering mengalami status bahaya. Jumlah peralatan mitigasi perlu ditambah jumlahnya, bila perlu Bapel – BPLS melakukan pengadaan peralatan baru yang sesuai untuk penanganan lumpur panas.
88
Ancaman luapan lumpur melimpas juga terjadi pada tanggal 6 Agustus 2010 di atas tanggul Siring di lokasi P21 yang berbatasan dengan jalan kereta api dan jalan arteri Porong.
Luapan air dan lumpur di tanggul Siring di P21
Sampai dengan akhir tahun 2010, masih ada lokasi yang belum dapat dibangun, yakni di lokasi untuk tanggul luar di sisi utara di Desa Kedungbendo. Hal ini disebabkan karena adanya larangan oleh warga setempat yang belum menerima 20% nilai pembayaran jual beli tanah dengan PT Lapindo Brantas.
Pembangunan tanggul di Desa Kedungbendo yang terhenti akibat resistensi warga
Sampai dengan akhir tahun 2010, pengaliran lumpur ke Kali Porong belum menggunakan pola operasi dengan prinsip pola maksimal pada musim penghujan dan pola minimal pada musim kemarau untuk mencegah ancaman keselamatan masyarakat, baik pada wilayah di luar PAT maupun pada Kali Porong. Pola operasi ini baru akan terwujud paling cepat pada tahun 2011.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
89
BABI Pendahuluan Perbandingan kondisi luapan lumpur pada bulan April 2007 dan November 2010 dapat dilihat pada perbandingan peta citra berikut ini:
Perbandingan Peta Citra April 2007 dan November 2010
2. Sensitivitas Pemilihan Penanganan Luapan Lumpur Secara Permanen Sebagaimana diketahui, BPLS bekerja berdasar Perpres Nomor 14 Tahun 2007, dimana lumpur harus dialirkan ke laut melalui Kali Porong. Pada awal BPLS bekerja, dengan mencermati kondisi yang dihadapi, yakni semburan masih terus berlangsung, luapan lumpur belum terkendali, kesiapan pembuangan lumpur ke dan di Kali Porong masih ditangani secara parsial, maka dilakukan studi untuk memilih alternatif yang memiliki teknis handal, ekonomis biayanya, serta memperhitungkan resiko lingkungan yang terkecil. Rencana induk dibuat dengan mempertimbangkan beberapa alternatif antara lain pengaliran lumpur ke laut dengan menggunakan pipa, pengaliran lumpur ke laut dengan metode leher angsa (dengan membuat saluran baru dan media wetland), pengaliran lumpur melalui saluran baru yang sejajar/berdampingan dengan Kali Porong, serta pengaliran lumpur ke laut melalui Kali Porong. Hasilnya setelah dipaparkan kepada Presiden RI bersama 11 (sebelas) menteri di Bandara Juanda pada tanggal 25 Oktober 2007, maka ditetapkan Rencana Induk Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. 90
Rencana Induk ini meliputi rencana penanganan luapan lumpur sejak dari kolam penampungan lumpur sampai ke laut melalui Kali Porong, termasuk rencana penanganan infrastruktur wilayah sekitar semburan. Sebelum sampai ke laut, lumpur masih memiliki potensi menimbulkan bencana, sehingga diperkirakan lumpur benar-benar terkendali setelah seluruh rencana induk terealisasikan. Sampai tahun 2010-pun masih terjadi pro-kontra penggunaan Kali Porong sebagai media pengaliran lumpur ke laut. Ada pihak yang setuju karena mempertimbangkan alur Kali Porong telah tersedia, daya air Kali Porong yang sangat besar di musim hujan dan biaya operasi dan pemeliharaan yang tidak besar. Masyarakat yang tidak setuju sangat khawatir terhadap kemungkinan endapan lumpur yang mengeras akan menyebabkan kapasitas Kali Porong menurun dan mengganggu aliran banjir Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas sehingga dapat mengakibatkan banjir di Sidoarjo, Mojokerto dan bahkan Surabaya.
Demo warga menolak pengaliran lumpur ke Kali Porong
Selain penyiapan rencana induk tersebut, langkah prioritas yang dilakukan oleh Bapel - BPLS adalah melakukan peninggian dan penguatan tanggul penahan lumpur pada lokasi tanggul Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PSLS) yang masih rendah atau belum tersambung. Langkah ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi yang paling mungkin dikerjakan dengan tingkat gangguan masalah sosial kemasyarakatan relatif kecil. Namun demikian kegiatan pekerjaan tanggul sering menghadapi gangguan berupa adanya aksi demo dan blokade oleh warga yang menyampaikan aspirasi menuntut pembayaran cash and carry dan juga oleh adanya ancaman lumpur meluap di atas tanggul yang sedang dikerjakan. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
91
BABI Pendahuluan Di satu pihak, sampai dengan akhir tahun 2009, kinerja pengaliran lumpur ke Kali Porong oleh PT Lapindo Brantas yang tidak optimal menyebabkan kolam semakin penuh, tetapi di lain pihak semakin banyak lumpur mengendap di Kali Porong sehingga meresahkan masyarakat. Belum sampai dikerjakan sesuai elevasi rencana, tanggul sisi barat yang melindungi infrastruktur dan tanggul sisi timur yang melindungi wilayah permukiman, mengalami deformasi geologi berupa amblesan, sehingga harus dipertahankan dengan meninggikan tanggul tersebut. Secepatnya Bapel - BPLS mulai merintis pembuatan tanggul penahan lumpur terluar pada batas PAT. Kegiatan ini tidak mudah diwujudkan karena pembayaran jual-beli tanah dan bangunan oleh PT Lapindo Brantas tidak lancar atau belum ada realisasinya. Penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang menjadi tugas PT Lapindo Brantas ada kalanya kurang memenuhi harapan warga sehingga mewarnai dinamika dan menjadi hambatan dalam kegiatan pelaksanaan tanggul penahan lumpur. Untuk mencegah lumpur meluap ke luar dari PAT, lumpur yang ditampung di kolam penampung lumpur harus dikeluarkan dengan dialirkan ke Kali Porong. Dengan demikian wilayah PAT tidak semakin luas dan tanggul penahan lumpur tidak semakin tinggi. Akibat dari dilakukannya pengaliran lumpur ke Kali Porong adalah endapan menumpuk semakin banyak dan mengeras. Dengan adanya endapan yang mengurangi luas penampang basah sungai atau dengan kata lain menyebabkan kapasitas Kali Porong turun dari 1.600 m3/det menjadi 200 m3/det, masyarakat sepanjang Kali Porong menjadi resah. Masyarakat dan pengelola Kali Porong sangat khawatir, endapan lumpur akan menyumbat aliran banjir Kali Porong yang berfungsi sebagai floodway sistem pengendalian banjir DAS Kali Brantas, sehingga potensial menimbulkan bencana banjir. Langkah mendesak yang dilakukan Bapel - BPLS adalah mengerahkan peralatan berupa kapal keruk dan exca-ponton untuk mengurai endapan yang sudah terlanjur mengeras dan menyiapkan alur untuk mengalirkan debit sungai. Semakin besar debit banjir, akan semakin efektif upaya penggelontoran lumpur ke hilir menuju laut yang berjarak 18 km. Pada saat debit kecil, umumnya hanya lumpur halus yang terbawa, butiran kasar akan ikut hanyut pada debit di atas 600 m3/det 92
.
Kali Porong sebagai floodway sistem pengendalian banjir DAS Kali Brantas harus
dijaga kondisi dan fungsinya untuk dapat mengalirkan debit banjir dengan kala ulang 50 tahun (Q50) sebesar 1.600 m3/det. Kegiatan perbaikan kondisi tanggul dengan memasang perkuatan tebing terhadap ancaman tergerus dan longsor dapat meredakan kekhawatiran masyarakat atas adanya tambahan beban Kali Porong selain sebagai prasarana banjir juga media pengangkutan endapan lumpur ke laut.
Skema Banjir DAS Kali Brantas
Agar aliran lumpur secara alami dapat masuk ke palung laut dalam dan alur muara Kali Porong tidak tersumbat, diperlukan kegiatan dredging di muara. Hal ini akan meringankan beban biaya operasi dan pemeliharaan. Hasil reklamasi sebagai wilayah pesisir laut perlu dikelola dengan optimal, di samping berperan sebagai pendukung lingkungan, juga untuk memberikan sebesar-besarnya manfaat dan kesejahteraan rakyat.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
93
BABI Pendahuluan Pengaruh fenomena subsidence nampak jelas pada penurunan tanggul penahan luapan lumpur di beberapa lokasi, antara lain di:
Pengaruh subsidence pada tanggul penahan luapan lumpur di P16 – P11 – P10 – P70
- Lokasi Tanggul P16 – P11 – P10 – P70 seperti nampak dalam foto berikut ini:
Pengaruh subsidence pada tanggul penahan luapan lumpur di P1 – P4 – P61A – P67
Pada bulan Maret 2009, akibat subsidence, tanggul Osaka - Siring (P71 – P21) menjadi miring ke arah pusat semburan, sehingga lereng tanggul yang semula mempunyai kemiringan 1 : 1,25 berubah menjadi tegak dan menyebabkan lereng tanggul tidak stabil kemudian longsor. Penanganan dilakukan dengan membuat turap kayu ganda sebagai counter weight (bokongan) dengan lebar 1,50 m yang berfungsi sebagai penahan. Pekerjaan ini sekaligus mengembalikan kemiringan lereng tanggul menjadi seperti semula 1 : 1,25 dan mengembalikan elevasi tanggul ke elevasi +11,00 m untuk menurunkan kondisi tinggi jagaan luapan lumpur dari “Siaga” menjadi “Normal” (tinggi jagaan/waking minimal menjadi 4,00 m terhadap muka lumpur).
94
3. Ancaman Deformasi Geologi Fenomena subsidence masih selalu mempengaruhi kondisi tanggul dan infrastruktur sekitar semburan. Pengamatan atas subsidence yang terjadi di wilayah kerja BPLS dilakukan dengan melakukan monitoring dan evaluasi elevasi patok Tanda Tinggi Geodesi (TTG) dan Bench Mark (BM) yang lokasinya tersebar.
Peta lokasi TTG dan Benchmark (BM) referensi
Grafik monitoring perubahan elevasi titik BM dan TTG
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
95
BABI Pendahuluan Di samping itu, akibat subsidence, jembatan bekas tol yang masih tersisa sebagian, dibongkar oleh PT Jasa Marga mulai tanggal 4 Mei 2009.
Pembongkaran bekas jembatan jalan tol Porong
Pada tanggal 24 Juni 2009 sekitar pukul 03:00 WIB dini hari, dilaporkan bahwa tanggul di titik P79 ambles sepanjang sekitar 180 m dengan amblesan maksimum lebih dari 3,00 m, namun air belum sampai meluap dan waking/tinggi jagaan tersisa ± 0,50 m. Sepanjang badan tanggul banyak dijumpai retakan yang berarah timur laut – barat daya. Retakanretakan (crack) tersebut membagi badan tanggul menjadi beberapa bagian, dengan arah pergerakan dominan turun (subsidence) dan bergeser (horizontal displacement). Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, segera dilakukan perbaikan tanggul yang ambles. Perbaikan dilakukan dengan mengupas bagian yang retak/patah kemudian dilakukan penimbunan kembali lapis demi lapis sesuai dengan spesifikasi teknis.
Amblesnya tanggul di lokasi P79 akibat subsidence
96
Ketika perbaikan hampir diselesaikan, pada tanggal 3 Juli 2009 di lokasi tersebut terjadi amblesan lagi sebesar 75 cm. Pada tanggal 5 Juli 2009, tanggul di lokasi P76 juga mengalami amblesan pada El. +4,00 m dan + El. 8,00 m serta bergeser ke arah luar (utara).
Tanggul di lokasi P76 – P77 yang ambles
Pada tanggal 3 Agustus 2009 pukul 15:00 WIB terjadi amblesan di lokasi P77 – P78 seperti halnya di lokasi P78 – P79 yang menyebabkan tanggul terbelah.
Tanggul di lokasi P77 - P78 yang ambles
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
97
BABI Pendahuluan Setelah kejadian amblesan seperti tersebut di atas, pada tanggal 10 Agustus 2009 pukul 20:00 WIB terjadi amblesan lagi di lokasi P76 – P77 sepanjang ± 200 m dengan kedalaman 3,00 m yang menyebabkan tanggul terbelah dan tanah di hilir tanggul terangkat. Tinggi jagaan hanya tersisa 0,50 m dan pada malam itu juga dilakukan penanganan segera untuk memulihkan kondisi tanggul dan menambah tinggi jagaan.
Tanggul di lokasi P76 – P77 yang ambles
Pada 23 Desember 2010 terjadi subsidence (amblesan) tanah di lokasi tanggul penahan lumpur bagian timur laut di Desa Glagaharum. Subsidence (amblesan) ini menyebabkan tanggul di lokasi P80 – P81 mengalami penurunan dan menyebabkan air yang berada di Kolam Glagaharum melimpas.
Tanggul di lokasi P80 – P81 yang ambles
98
4. Ancaman Fenomena “Longsornya” Gunung Lumpur Endapan lumpur yang ada di dalam kolam penampung lumpur dapat berupa lumpur segar, yakni lumpur yang baru keluar dari pusat semburan dengan kandungan padatan 25% - 30%; lumpur lunak yang ke luar dari pusat semburan dan telah mengalami proses separasi; dan lumpur padu yang telah lama keluar dari pusat semburan serta telah selesai mengalami proses separasi sehingga padat dan kering. Padatan yang mengendap makin lama akan bertambah banyak dan tinggi, membentuk kerucut dengan sudut kelerengan sesuai dengan sifat fisik dan kimia material padatan. Apabila bentuk kerucut sudah sesuai dengan sudut kelerengan alami material, maka lereng akan membentuk kerucut yang stabil. Apabila kerucut diganggu atau terganggu, maka kelerengan kerucut tersebut menjadi tidak stabil sehingga mudah longsor. Kerucut gunung lumpur mudah longsor, antara lain karena perubahan letak pusat semburan (saat letak pusat semburan bergeser, puncak gunung lumpur-pun akan berpindah), kondisi kandungan air dalam lumpur (material basah akan lebih mudah longsor), dan adanya deformasi geologi (deformasi geologi pada tapak gunung lumpur sulit dideteksi, karena gunung lumpur yang lunak). Apabila pada bagian tapak gunung lumpur mengalami amblesan, maka endapan lumpur di atasnya juga akan ambles. Hal ini mengakibatkan lereng kerucut yang semula stabil akan mengalami kelongsoran. Saat sebagian gunung lumpur mengalami kelongsoran, maka material longsoran akan menjauhi puncak gunung dan mendekat ke tanggul pengaman luapan lumpur. Kondisi ini menyebabkan muka lumpur yang berada dekat dengan tanggul akan bertambah tinggi. Akibatnya waking (tinggi jagaan) atau jarak muka lumpur dengan puncak tanggul semakin berkurang, sehingga rawan lumpur melimpas. Ancaman lumpur melimpas semakin besar, apabila arah longsoran mengarah ke tanggul yang mengalami amblesan dan/atau karena curah hujan yang cukup tinggi di sekitar kolam lumpur. Fenomena “longsornya” gunung lumpur kiranya akan dapat terjadi pada kolam lumpur tersebut.
Ancaman Fenomena “Longsornya” gunung lumpur
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
99
BABI Pendahuluan 5. Tersendatnya Pembangunan Relokasi Infrastruktur Jalan arteri Porong yang terletak di dekat pusat semburan, selain mengalami deformasi geologi, juga rawan terhadap ancaman bencana luapan lumpur. Untuk mencegah kerugian negara/masyarakat yang lebih besar, diperlukan relokasi infrastruktur untuk mengganti jalan tol dan jalan arteri Porong. Sebagai langkah prioritas, BPLS menangani peninggian jalan arteri Porong sebagai akses utama yang menghubungkan Kota Surabaya – Malang dan Surabaya – Pasuruan – Banyuwangi serta peningkatan jalan alternatif Kepadangan – Krembung – Jasem (Ngoro) yang aman dari ancaman luapan lumpur dan dapat mengurangi beban lalu lintas jalan arteri Porong sebelum pembangunan relokasi jalan arteri dan tol selesai. Percepatan pemulihan infrastruktur jalan arteri dan jalan tol tersebut sangat tergantung tersedianya lahan yang bisa dibebaskan dan sampai dengan akhir tahun anggaran 2009, tanah sawah di seluruh desa telah sepakat untuk mendapatkan ganti rugi dengan harga Rp 120 ribu/m Untuk tanah darat/kering belum seluruhnya sepakat karena ada beberapa warga yang menuntut harga tanah darat/kering sama dengan harga ganti rugi oleh PT Lapindo Brantas, yang melampaui harga Tim Appraisal. Beberapa warga bahkan melakukan demo dengan menghentikan aktivitas/kegiatan Demo warga yang menghentikan aktivitas lapangan
kontraktor di lapangan.
Di samping melakukan demo, beberapa warga dari Ds. Wunut, Ds. Pamotan dan Ds. Kesambi mengajukan gugatan terkait permintaan transparansi atas dokumen appraisal agar dapat ditunjukkan ke warga. Gugatan tersebut sudah dinyatakan ditolak oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo pada akhir tahun 2010.
100
Progres pembangunan fisik jalan arteri sampai dengan akhir tahun anggaran 2010 baru dapat mencapai 6.530 m atau ± 46,25% karena tersendatnya proses pembebasan tanah yang tidak dapat dilakukan secara serentak. Pada lahan yang mestinya sudah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan, masih terdapat beberapa bidang tanah di dalamnya yang belum bebas sehingga mengganggu akses logistik/material pembangunan. Bidang Sekretariat/Kelembagaan Sekretariat Bapel-BPLS, yang salah satu tugas pokoknya antara lain menyelenggarakan administrasi umum dan ketatalaksanaan untuk kelancaran pelaksanaan tugas BapelBPLS, pada awal beroperasinya Bapel-BPLS dan selama 4 (empat) tahun pelaksanaan tugas, menghadapi beberapa masalah sebagai berikut: A. Penataan Kelembagaan 1. Sulitnya mendapatkan pegawai yang profesional dan sudah berpengalaman. Pada awal berdirinya BPLS, dengan berbekal Peraturan Presiden Nomor 14/2007 dan Keputusan Presiden Nomor 31/2007, 6 pejabat pimpinan Bapel-BPLS hanya dibantu oleh 4 orang yaitu 2 orang dari Ditjen SDA untuk menangani infrastruktur dan luapan lumpur serta bidang pendanaan, dan 2 orang dari Perum Jasa Tirta I untuk menangani perencanaan infrastruktur dan bidang SDM, sarana dan prasarana. Sumber daya manusia yang masih sangat terbatas tersebut tidak memungkinkan untuk dapat segera melaksanakan tugas yang diemban oleh Bapel-BPLS. Mengingat setelah dilakukannya serah terima dari Timnas PSLS kepada BapelBPLS pelaksanaan tugas operasional penanggulangan bencana semburan dan luapan lumpur secara otomatis menjadi tanggung jawab Bapel-BPLS, maka Bapel-BPLS dihadapkan pada kebutuhan untuk bisa segera mendapatkan tenaga professional yang berpengalaman untuk berbagai bidang, baik untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan maupun untuk pelaksanaan tugas-tugas administrasi. Dengan hanya ada 1 orang tenaga yang menangani bidang sumber daya manusia dan penanganan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana kantor, maka pengadaan tenaga professional dan berpengalaman pada awal beroperasinya Bapel-BPLS tidak dapat segera dilaksanakan. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
101
BABI Pendahuluan Di samping itu, pada awal beroperasinya Bapel-BPLS tersebut, belum ada kejelasan tentang sistem penggajian, perkiraan besaran gaji/honorarium yang akan diterima pegawai dan fasilitas yang dapat diberikan oleh Bapel-BPLS kepada tenaga professional yang bersangkutan. Meskipun pada waktu itu belum ada kejelasan tentang sistem penggajian dan besaran gaji/honorarium yang akan diberikan kepada calon pegawai Bapel-BPLS, pengadaan pegawai yang memiliki kompetensi yang diperlukan, siap untuk langsung dipekerjakan, dan mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan, tetap harus dilaksanakan segera, khususnya untuk calon yang diseleksi dan berasal dari jajaran instansi yang tugas dan fungsinya memiliki kompetensi yang diperlukan. Setelah 4 tahun berjalan, masih ada jenjang jabatan tertentu yang belum dapat diisi sesuai dengan kompetensi yang diperlukan untuk jabatan tersebut, karena adanya keterbatasan dalam mendapatkan pegawai yang memenuhi standar kompetensi untuk jabatan yang bersangkutan. 2. Penataan organisasi Sebagai badan baru yang bersifat adhoc Bapel-BPLS dituntut untuk membentuk kelengkapan organisasi yang ramping struktur tapi kaya fungsi. Tuntutan ini dapatlah dipahami, agar pada saatnya nanti banyaknya pegawai tidak akan menjadi beban bagi Bapel-BPLS. Pada awal beroperasinya Bapel-BPLS penyusunan kelengkapan organisasi tidaklah dapat dilakukan dengan melihat dan mencontoh bentuk organisasi atau badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah, mengingat organisasi Bapel-BPLS adalah organisasi yang sifatnya ”sementara” dan nonstruktural, yang lingkup tugasnya bersifat khusus serta belum pernah ada padanannya. Meskipun demikian, dengan memperhatikan susunan organisasi yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007, dan mengingat Kepala Bapel ditetapkan juga sebagai Pengguna Anggaran, maka penataan organisasi yang ada harus dapat menampung tugas yang dibebankan dan memiliki jenjang jabatan yang diperlukan dalam memenuhi ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan anggaran.
102
3. Masih adanya Persepsi/opini negatif dari warga terdampak dan media massa terhadap Bapel-BPLS Ketika awal terjadinya semburan lumpur panas yang menggenangi sejumlah pabrik, rumah dan lahan warga di 12 Desa, Dimana situasi ini telah memaksa warga untuk pergi meninggalkan tempat tinggalnya menuju lokasi pengungsian atau mengontrak rumah. Juga hilangnya pekerjaan, dan mata pencarian, sehingga menimbulkan rasa frustrasi pada sebagian warga. Akibat dari kondisi ini tekanan warga terdampak lumpur menjadi sangat tinggi kepada Bapel-BPLS. Hal ini dipengaruhi pula oleh adanya anggapan bahwa BPLS adalah sama dengan PT Lapindo Brantas dan Timnas PSLS saat itu, hal ini dikarenakan BPLS dibentuk dengan Perpres No 14 Tahun 2007 untuk melanjutkan tugas Timnas PSLS yang sudah selesai masa kerjanya. Namun situasi ini telah jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi saat ini. Dengan semakin jelasnya tahapan proses pembayaran jual beli tanah dan bangunan terhadap warga korban lumpur, berimbas pada semakin kondusifnya situasi di wilayah penanganan lumpur. Ini terlihat dari semakin berkurangnya intensitas aksi demonstrasi warga. Proses transformasi informasi berupa pemahaman tentang fungsi, tugas, dan wewenang BPLS oleh jajaran Humas Bapel BPLS terhadap para pemangku kepentingan semakin baik. Dalam proses penyampaian informasi terhadap para pemangku kepentingan masih ditemukan beberapa kendala, antara lain: 1. Adanya Lembaga Swadaya Masyarakat yang masih “bermain” di kelompok-kelompok warga. 2. Adanya kepentingan-kepentingan politik kekuasaan yang menjadikan isu lumpur sebagai komoditas politik. 3. Adanya perbedaan keinginan antara warga korban dengan PT Lapindo Brantas terkait proses penyelesaian jual beli tanah dan bangunan milik warga. 4. Masih tingginya harapan masyarakat kepada BPLS untuk menyelesaikan semua persoalan yang dialami oleh warga terdampak karena adanya pemahaman yang keliru di masyarakat tentang fungsi, tugas dan wewenang BPLS. 5. Adanya tekanan dari media massa terkait tugas dan tanggung jawab BPLS sesuai dengan Perpres No 40 Tahun 2009. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
103
BABI Pendahuluan B. Proses Penganggaran Sebagai badan baru yang dibentuk setelah ditetapkannya anggaran (DIPA) secara nasional bagi semua instansi Pemerintah (BPLS ditetapkan pada tanggal 8 April 2007), menjadikan BPLS lahir tanpa kejelasan besaran anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan tugasnya. Untuk dapat menyusun kebutuhan anggaran yang baik tentu perlu didukung dengan penyusunan rencana yang tepat guna dan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas, khususnya untuk pelaksanaan kegiatan yang mendesak di lapangan. Beberapa permasalahan yang terkait dengan proses penganggaran pada saat ini antara lain: 1. Relatif seringnya revisi DIPA Selama 4 (empat) tahun pelaksanaan tugas, perencanaan anggaran dihadapkan pada dinamika penanganan kegiatan di lapangan yang kadangkala tidak dapat diantisipasi berdasarkan data dan informasi yang tersedia, khususnya yang berkaitan dengan penanganan luapan lumpur dan pengalirannya ke muara melalui Kali Porong, penanganan masalah sosial kemasyarakatan dan infrastruktur, sehingga perlu dilakukan beberapa kali revisi anggaran (DIPA). 2. Permasalahan dalam administrasi keuangan dan barang Sejak tahun pertama berdirinya BPLS, telah mulai dilakukan pembangunan tanggul pengaman lumpur dengan dana APBN. Tanggul ini yang dibangun sebagian merupakan penerusan tanggul lama yang dibangun oleh PT Lapindo Brantas dengan menggunakan dana dari PT Lapindo Brantas sendiri, dan sebagian lagi merupakan pembangunan tanggul baru. Kedua kategori tanggul tersebut terletak di atas tanah Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 yang statusnya ”telah dibeli dan akan” menjadi milik PT Lapindo Brantas Di samping masalah aset tanggul yang terletak di atas tanah pihak lain, ada pula masalah lain, yakni aset berupa tanggul yang terkena penurunan tanah sehingga ada tanggul yang fungsi maupun fisiknya hilang sama sekali dan/atau sebagian hilang karena ambles ke dalam tanah. Hal-hal seperti ini akan memerlukan penanganan khusus dalam pengadministrasian barang milik negara (BMN) yang harus diantisipasi di kemudian hari.
104
C. Kurangnya Kesiapan Pranata Hukum Pengaruh langsung bencana pada umumnya terjadi di atas permukaan tanah tetapi pada bencana lumpur di Sidoarjo memiliki daya rusak selain di atas permukaan tanah berupa luapan lumpur, juga telah menimbulkan deformasi geologi di bawah permukaan (sub surface). Pengaruh deformasi geologi tersebut telah mulai muncul sejak 4 (empat) bulan setelah kejadian semburan panas dan nampak di permukaan tanah berupa subsidence (amblesan), uplift (pengangkatan), lateral movement (pergeseran) yang menyebabkan kerusakan pada bangunan rumah warga dan infrastruktur, serta munculnya bubble (bualan) di permukiman yang terus berkembang dengan mengeluarkan air, gas, padatan dan/atau kombinasinya. Beberapa bubble mengeluarkan air bertekanan rendah sampai tinggi hingga sekitar 15 meter. Sedangkan gas yang keluar dominan mengandung methane yang mudah terbakar dan berbahaya bagi kesehatan, seperti H2S dan gas aromatik. Melihat kondisi tersebut di atas, diperoleh suatu gambaran bahwa: ? Penanganan
lumpur panas di Sidoarjo yang menurut jenis dan sifatnya jelas merupakan penanganan terhadap bencana yang sangat berbeda dengan bencana yang terjadi pada umumnya dan masih terus berlangsung hingga kini, yang penanganannya tidak dapat dilakukan sebagaimana penanganan bencana alam yang umumnya, yang dapat dipisahkan sesuai dengan manajemen penanggulangan bencana seperti prabencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.
? Kebijakan
baru dari Pemerintah berupa Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo terlihat jelas bahwa Pemerintah sangat perhatian dan menganggap penting masalah semburan lumpur panas di Sidoarjo sehingga perlu diatur dan ditangani oleh suatu Badan Khusus (Emergency de Facto), meskipun dalam penetapan tersebut tidak didahului dengan suatu pernyataan kedaruratan/keadaan bahaya/bencana sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada tahap awal ini sudah terjadi permasalahan hukum yakni: ? Dalam penanganan masalah semburan lumpur panas di Sidoarjo semua langkah
pemerintah dalam hal ini BPLS tidak boleh melanggar hukum positif atau hukum yang berlaku umum, telah mengurangi ruang gerak BPLS untuk melakukan upaya-upaya penanganan di lapangan, meskipun kondisi yang sebenarnya adalah bencana/darurat.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
105
BABI Pendahuluan ? Belum tersedianya suatu peraturan yang khusus/kedaruratan (exceptional law)
sehingga tindakan BPLS dalam upaya penanganan masalah lumpur panas di Sidoarjo tidak tersendat-sendat akibat dapat diterapkannya hukum publik yaitu keadaan darurat sebagai landasan/ dasar hukum. ? Penanganan dampak semburan lumpur panas semakin meluas di luar wilayah di luar
peta area terdampak yang sudah ditetapkan menjadi tanggungjawab APBN; ? Pengadaan barang maupun jasa yang harus dilakukan segera, yang berdasarkan
prinsip umum Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 adalah dengan mekanisme lelang, sementara kegiatan di lapangan beradu cepat dengan menerusnya/ meningkatnya semburan dan luapan Lumpur. ? Pembangunan infrastruktur pengamanan luapan lumpur panas yang didanai oleh
APBN, dibangun di atas lahan yang telah dan sedang dibebaskan (dibeli) oleh PT Lapindo Brantas. 1.3.2. Perubahan Lingkungan Strategis Di samping permasalahan yang telah digambarkan di atas, dalam pelaksanaan tahun pertama Renstra 2010-2014 telah terjadi beberapa perubahan lingkungan strategis yang akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan program dan kegiatan Bapel – BPLS untuk tahun 2011 – 2014 serta diperlukannya beberapa penyesuaian terhadap program dan kegiatan yang ada dan dimungkinkannya penyusunan kegiatan baru dalam mengantisipasi perubahan lingkungan strategis yang ada. Perubahan lingkungan strategis yang terjadi selama tahun 2010 dan diperkirakan akan mempengaruhi capaian Renstra Bapel – BPLS tahun 2010 – 2014 antara lain: 1. Naiknya elevasi permukaan gunung lumpur Dari pengamatan yang dilakukan terhadap daerah sekitar pusat semburan dan permukaan kolam lumpur secara keseluruhan, memberikan kesimpulan bahwa telah terjadi kenaikan elevasi permukaan kolam lumpur, baik pada permukaan yang berbatasan atau menyentuh langsung tanggul maupun pada daerah di sekitar pusat semburan dengan radius + 100 m dari pusat semburan. Kondisi ini telah menunjukkan terbentuknya kerucut gunung lumpur, yang apabila titik kritis kemiringan lereng gunung lumpur telah dilampaui, dan dipicu oleh kandungan air yang cukup signifikan dari puncak gunung lumpur, baik oleh air hujan maupun oleh air semburan lumpur, ataupun dipicu oleh adanya amblesan disekitar pusat semburan, akan dapat memicu adanya longsoran gunung lumpur ke arah tanggul. 106
Bahaya longsor gunung lumpur ini telah terjadi sebanyak 15 kali di tahun 2010, yang antara lain telah mendesak tanggul pada titik P71-P70 di utara, titik P21A-P10D di bagian barat, dan di titik P80 di selatan. Ancaman longsornya gunung lumpur sama resikonya dengan melimpasnya luapan lumpur, yaitu membahayakan keselamatan masyarakat serta mengancam kondisi dan fungsi infrastruktur skala nasional sebagai jalur ekonomi. 2. Perubahan lokasi untuk relokasi jalan tol dan jalan kereta api Dampak deformasi geologi masih terus berlangsung dan belum dapat diketahui sampai radius berapa kilometer dari pusat semburan lumpur hal tersebut akan berpengaruh. Kemunculan bubble sebagai salah satu dampak dari deformasi geologi telah begitu mengkhawatirkan tatkala sebaran munculnya bubble telah mencapai 2,1 km ke arah barat (di desa Wunut) mendekati lokasi relokasi jalan arteri yang sedang dibangun serta rencana relokasi pembangunan jalan tol dan jalan kereta api. Pada rencana awal relokasi infrastruktur, lokasi relokasi jalan tol dan jalan kereta api letaknya berdampingan dengan lokasi jalan arteri pengganti jalan raya Porong. Dengan pertimbangan agar apabila ada gangguan terhadap lokasi relokasi jalan arteri yang ada sekarang, jalan tol dan jalan kereta api tidak mengalami gangguan yang serupa, maka pihak Jasa Marga dan PT. KAI memutuskan untuk memindahkan lokasi relokasi jalan tol dan jalan kereta api ke lokasi lain yang lebih ke arah barat dari rencana relokasi awal. Dengan pindahnya relokasi jalan tol dan jalan kereta api, maka tanah yang sudah terlanjur dibebaskan oleh Bapel-BPLS untuk kedua infrastruktur tersebut perlu dipikirkan lebih lanjut pemanfaatannya. 3. Bertambahnya wilayah terdampak di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 ( 9 RT + 45 RT) Di samping 9 RT yang telah masuk dalam Perpres 40/2009 untuk segera diselesaikan penanganan masalah social kemasyarakatannya, Tim Kajian Kelayakan Permukiman yang dibentuk oleh Gubernur Jawa Timur pada 23 Agustus 2009 telah menyimpulkan dan merekomendasikan pula bahwa wilayah RT lain yang juga tidak layak huni. Wilayah RT lain yang direkomendasikan tidak layak huni tersebut adalah sebanyak 45 RT yang tersebar di Desa Besuki Timur 7 RT, Desa Mindi 18 RT, Desa Ketapang 12 RT, dan Desa Pamotan 8 RT. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
107
BABI Pendahuluan Menurut Tim Kajian Kelayakan Permukiman Propinsi Jawa Timur, wilayahwilayah RT tersebut pada dasarnya mempunyai permasalahan yang sama dengan wilayah 9 RT sebelumnya, yang telah ditetapkan sebagai wilayah terdampak, hanya saja belum ditetapkan bentuk penanganan masalah sosialnya dalam peraturan presiden. Apabila 45 RT tersebut akan ditetapkan sebagai wilayah terdampak, maka tentunya Bapel-BPLS harus mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap kondisi bawah permukaan di wilayah 45 RT tersebut, dan kemudian menyiapkan usulan perangkat peraturan perundang-undangan yang perlu, untuk selanjutnya diusulkan kepada Pemerintah. 1.3.3. Analisis Lingkungan Internal (kekuatan dan kelemahan) Dalam menganalisis faktor lingkungan internal yang dapat mempengaruhi kinerja BAPEL-BPLS dapat dicermati dari aspek kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) sebagai berikut: KEKUATAN : 1. Organisasi Berbentuk Badan Ditetapkan dengan Perpres Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tanggal 8 April 2007 tentang BPLS, organisasi penanggulangan lumpur di Sidoarjo berbentuk badan, yang terdiri dari Dewan Pengarah dan Badan Pelaksana, kegiatannya dibiayai oleh APBN, sebagai Pengguna Anggaran dan masa kerja BPLS tidak memiliki batas waktu. Model organisasi ini sangat efektif menangani bencana akibat semburan lumpur di Sidoarjo, karena seluruh sumber daya manajemen berupa: Man (sumber daya manusia), Money (sumber pembiayaan), Machine (peralatan), Material (bahan) dan Method (metoda kerja/pelaksanaan) dapat diorganisasikan dalam sistem manajemen berbasis kinerja untuk melaksanakan aspek manajemen yaitu perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pengawasan. 2. Pegawai BPLS Dibayar dengan Sistem Renumerasi Sesuai Beban Tugas Renumerasi merupakan sistem yang menghargai tenaga profesional sesuai beban tugas dan tanggung jawabnya. Kegiatan penanggulangan lumpur di Sidoarjo memerlukan tenaga yang kompeten di bidang geologi, sosial, infrastruktur dan tata laksana dari tataran manajer sampai operasional. Masing-masing tataran dan bidang dinilai berdasarkan beban tugas dan tanggung jawab sebagai job pricing dalam bentuk renumerasi. Sistem ini selain sebagai motivasi, juga menuntut pegawai untuk selalu bekerja profesional di bidangnya. 108
3. Kewenangan Penanganan Semburan dan Pengaliran Lumpur Ke Kali Porong Pada awal BPLS dibentuk masih terjadi pro-kontra penyebab terjadinya semburan, antara karena kesalahan pelaksanaan pengeboran dengan fenomena alam. Hal ini selain menyulitkan juga menyibukkan karena harus melayani berbagai aspirasi publik yang saling bertentangan. Perpres Nomor 40 Tahun 2009 memberikan tugas upaya penanggulangan semburan dan pengaliran lumpur ke Kali Porong yang semula dibebankan kepada PT Lapindo Brantas menjadi kepada negara atau dapat dibiayai APBN. Kegiatan yang berkaitan dengan semburan dan dampaknya yang berupa luapan lumpur dan deformasi geologi menjadi lebih mudah mengurusnya, karena kalau semula menunggu gerakan PT Lapindo Brantas, maka selanjutnya BPLS menjadi tanpa ragu-ragu langsung bertindak menangani. 4. Keberhasilan Penanganan Lumpur ke Laut Melalui Kali Porong Pada awal BPLS bekerja, dihadapkan pada aspirasi menentang konsep pengaliran lumpur ke laut melalui Kali Porong, karena dikhawatirkan fungsi kali Porong sebagai floodway sistem pengendali banjir Wilayah Sungai (WS) Kali Brantas akan terganggu oleh endapan lumpur yang mengendap, mengeras dan menyumbat aliran sungai, sehingga berpotensi menimbulkan bencana banjir. Perkuatan tebing Kali Porong yang sudah dilakukan dengan konstruksi revetment telah meningkatkan kestabilan tebing terhadap gerusan. Juga endapan lumpur yang mengendap secara alami karena bertemu dengan laut, telah meningkatkan kelancaran aliran lumpur sampai ke palung laut selat Madura. Hasil pengerukan telah dimanfaatkan untuk reklamasi dan lingkungan pesisirnya pun menunjukan kondisi biota laut dan populasi bakau tidak mengalami penurunan kualitas. Setelah berjalan 4 (empat) kali musim hujan, yaitu tahun 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010, dapat dipastikan bahwa setiap usai musim hujan kapasitas Kali Porong kembali sesuai design, yakni Q50 tahun sebesar 1.600 m3/detik, dan publik terutama masyarakat sepanjang Kali Porong sudah dapat menerima konsep ini. Dengan keberhasilan menangani lumpur sampai ke laut, maka selanjutnya tinggal dilakukan pemantauan dan evaluasi, untuk melakukan perbaikan atau melengkapi dengan bangunan pengendali, agar sistem menjadi lebih handal dan berkelanjutan. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
109
BABI Pendahuluan KELEMAHAN : 1. Belum Adanya Pernyataan Sebagai Bencana Alam Belum adanya pernyataan bencana, baik alam, non alam, maupun manusia sangat menyulitkan posisi maupun peran BPLS. Di satu pihak secara de facto berdasar data dan informasi yang direkam baik melalui media cetak maupun elektronika telah jatuh korban, timbul kerugian dan mengakibatkan warga mengungsi, namun di lain pihak secara de jure belum ada pernyataan telah terjadi bencana dimaksud. Kondisi ini bagi BPLS sangat dilematis, karena penanganan terhadap korban, khususnya yang terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan menjadi tidak memiliki pedoman yang baku, sebagaimana umum dilakukan pada kejadian bencana alam. Setiap kejadian yang menimpa masyarakat yang terkait dengan semburan lumpur dan dampak ikutannya, akan selalu mengarah kepada tuntutan ganti rugi, sementara untuk kejadian yang sama pada fenomena bencana alam lainnya tidaklah selalu dikaitkan dengan permintaan ganti rugi. Belum adanya pernyataan resmi pemerintah sebagai bencana alam, juga menyebabkan lembaga-lembaga internasional yang ingin membantu menjadi tidak dapat difasilitasi. 2. Implementasi Dukungan Sektor Terkait Belum Memadai Badan Pelaksana bukan lembaga super body yang memiliki sumber daya untuk mengatasi permasalahan yang multi dimensi, sehingga memerlukan dukungan sektor terkait untuk menangani dampak terjadinya semburan lumpur panas di Sidoarjo. Dukungan sektor terutama dari unsur Dewan Pengarah BPLS sangat diperlukan dengan mendayagunakan kewenangan, sumber daya dan/atau kompetensi yang dimiliki masing-masing unsur sehingga penanganan lumpur, sosial dan infrastruktur dapat berjalan efektif dan berkelanjutan, namun pada kenyataannya belum semua sector dalam Dewan Pengarah BPLS memberikan dukungan yang diharapkan. 1.3.4. Analisis Lingkungan Eksternal (peluang dan tantangan) Dalam menganalisis faktor lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi kinerja Bapel-BPLS dapat dicermati dari aspek peluang (opportunities) dan aspek hambatan/ancaman (threats) sebagai berikut:
110
PELUANG : 1. Kepastian Penyediaan Anggaran Dari Pemerintah Dukungan kepastian penyediaan anggaran dari Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penanggulangan bencana lumpur di Sidoarjo telah dilakukan oleh Pemerintah sejak ditetapkannya Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Sejak saat itu Pemerintah senantiasa memberikan perhatian yang sungguhsungguh dalam penyediaan anggaran dimaksud, utamanya untuk pelunasan kekurangan pembayaran pembelian tanah warga terdampak, baik di dalam maupun di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 (3 desa dan 9 RT), penanganan infrastruktur luapan lumpur, pengaliran luapan lumpur, serta untuk penanganan masalah sosial kemasyarakatan lainnya dari warga terdampak dan relokasi infrastruktur. 2. Kuatnya Dukungan Pemerintah Daerah Dalam upaya penanggulangan bencana lumpur di Sidoarjo, Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memberikan dukungan yang sangat kuat kepada Bapel-BPLS dalam melaksanakan tugas, fungsi, program dan kegiatan yang telah ditetapkan. Dukungan pemerintah daerah tersebut sangat jelas terlihat dalam penanganan masalah sosial kemasyarakatan (antara lain dalam pelaksanaan evakuasi, pengungsian, pelayanan kesehatan, dan bantuan sosial lainnya), pemberian ganti rugi serta proses pembelian tanah dan bangunan, pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan jalan alternative dan relokasi infrastruktur. ANCAMAN : 1. Potensi Meluasnya Daya Rusak Semburan Sesuai perkembangan kondisi bawah permukaan dan upaya dengan teknologi, selain kecil tingkat keberhasilannya juga potensial menimbulkan semburan baru, maka semburan disimpulkan tidak mungkin dihentikan. Di awal semburan (2006) para pakar geologi memperkirakan umur semburan lumpur akan mencapai sekitar 30 tahun, dengan asumsi volume semburan berkisar 100.000 m3 per hari, dan berlangsung terus menerus. Akan tetapi kondisi saat ini (akhir 2010), kondisi sudah jauh berbeda, bahkan semburan sudah sekitar sepersepuluh dari semburan semula. Persoalannya adalah fenomena geologi mempunyai umur geologi yang jauh melampaui umur manusia, sehingga perkiraan umur untuk sebuah fenomena geologi adalah umur relatif, sehingga tidak ada jaminan semburan akan berhenti dalam waktu pendek. REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
111
BABI Pendahuluan Di samping itu, deformasi geologi di sekitar pusat semburan sampai saat ini masih tetap terjadi dan sifatnya dinamis. Perkembangan deformasi geologi terpantau meluas. Deformasi geologi berupa bubble dilaporkan sangat fluktuatif, baik jumlah maupun intensitasnya. Seringkali bubble memberikan dampak sosial yang cukup besar, di antaranya kebakaran rumah warga sehingga warga di sekitar kebakaran harus diungsikan. Munculnya bubble yang mendekati trase relokasi infrastruktur, menimbulkan reaksi berlebihan untuk memindahkan trase relokasi infrastruktur. Deformasi geologi berupa amblesan yang terus berjalan namun dengan laju amblesan kecil, tiba-tiba terjadi amblesan dalam 2 bulan pada 3 lokasi yang bersebelahan sedalam 3,0 - 4,0 m pada tanggul penahan lumpur sepanjang ratusan meter. Hal ini menyebabkan kondisi menjadi kritis karena lumpur nyaris melimpas ke luar Peta Area Terdampak (PAT). Deformasi geologi masih akan terus berlanjut, termasuk amblesan, retak, geser serta bualan (bubble) yang mengeluarkan gas dan/atau air di permukaan yang berpengaruh pada infrastruktur dan rumah-rumah, termasuk tanggul penahan lumpur. Kerusakan pada tanggul akan mengakibatkan lumpur di kolam melimpas keluar menggenangi infrastruktur dan permukiman yang berada di dekatnya. Kondisi ini membuat masyarakat selalu was-was sehingga menuntut agar asetnya dibeli oleh pemerintah untuk pindah ke tempat lain. 2. Berlarut-larutnya Penyelesaian Masalah Sosial Kemasyarakatan Sampai dengan saat ini proses jual beli tanah dan bangunan sebagian warga terdampak yang menjadi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas belum dapat diselesaikan sampai dengan saat ini, sementara penyelesaian proses jual beli tanah untuk warga 3 desa yang menjadi beban APBN harus diselesaikan sejalan dengan penyelesaian proses jual beli tanah dan bangunan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas tersebut. Dengan belum tuntasnya proses jual beli tanah dan bangunan tersebut, pembangunan dan peninggian tanggul di beberapa lokasi tidak dapat dilaksanakan karena dihalang-halangi oleh warga masyarakat yang belum mendapatkan pembayaran pelunasan dari PT. Lapindo Brantas, yang pada akhirnya hal ini akan mempengaruhi kinerja Bapel-BPLS dalam menyelesaikan pembangunan kolam lumpur yang aman bagi warga masyarakat dan lingkungan. 112
Beberapa contoh yang terkait dengan masalah tersebut di atas antara lain Bapel BPLS selalu khawatir tentang keamanan tanggul di desa Glagaharum karena hingga saat ini, para pegogol yang tanahnya sudah dibangun tanggul, belum mendapatkan pembayaran 20%. Hal ini dapat menjadi potensi akan adanya perbuatan untuk menghambat proses pembuatan tanggul dan keamanan tanggul dari para pegogol di Desa Besuki. Berkas permohonan penyelesaian business to business (B to B) atas nama H. Hasan Kedungbendo dan beberapa pengusaha yang tergabung dalam GPKLL, juga masih belum tuntas pembayarannya. Akibat dari hal ini, Bapel BPLS mengalami hambatan dalam membangun tanggul di desa Kedungbendo karena dihalang-halangi oleh H. Hasan. 3. Meningkatnya Tuntutan Pemenuhan Hak Dasar oleh Masyarakat Tuntutan warga dapat dipilah menjadi 2 (dua), yaitu warga korban lumpur dan warga yang merasa terancam oleh bencana geologi. Bila kedua macam warga tersebut tidak ditangani dengan baik, maka ada indikasi warga akan kembali melakukan berbagai tekanan kepada Bapel BPLS untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya. Warga menuntut pemenuhan hak-haknya, dan rawan menjadi isu pelanggaran HAM. Hak-hak warga di dalam PAT sudah diatur dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007, namun adanya krisis finansial global berakibat PT Lapindo Brantas mengalami kesulitan likuiditas, sehingga yang semula dengan cara cash menjadi dicicil. Ancaman akan muncul bila cicilan tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. Sedangkan warga yang berdiam di luar PAT, tetapi karena merasa tidak aman tinggal di wilayah yang berbatasan dengan PAT, menuntut untuk dimasukkan ke dalam PAT. Tingginya harga jual beli tanah dan bangunan yang diberlakukan pada PAT di atas harga pasar, telah ikut mendorong warga menuntut wilayahnya dinyatakan sebagai PAT. 4. Tersendatnya Pengadaan Tanah Untuk Relokasi Infrastruktur Pasca tenggelamnya jalan tol segmen Porong - Gempol oleh luapan lumpur menyebabkan seluruh pemakai jalan tol terpaksa pindah menggunakan jalan arteri Porong. Tambahan beban lalu lintas ini mengakibatkan jalan arteri Porong menjadi macet sehingga mengganggu kelancaran arus barang dan jasa, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
113
BABI Pendahuluan Solusi yang dilakukan adalah dengan membangun relokasi jalan tol dan jalan arteri, namun pembangunan jalan arteri tersendat dan relokasi jalan tol belum dapat dimulai karena kemajuan pengadaan tanah lambat. Warga pemilik tanah menuntut harga lebih tinggi dari harga taksiran Tim Penilai (Appraisal), bahkan sebagian warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Gugatan tersebut tidak dimenangkan warga, dan selanjutnya warga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi di Surabaya. Pilihan untuk melakukan konsinyasi atas proses pengadaan tanah tersebut pernah juga dipikirkan, namun nampak warga akan tetap bersikukuh dan mengancam akan menghalangi pelaksanaan pembangunan jalan, bahkan warga akan melakukan “blockade” pada tanah miliknya. Bila pembangunan jalan arteri tertunda pelaksanaannya karena masalah pengadaan tanah tersebut di atas, maka ancaman ini akan mengganggu pencapaian visi dan misi Bapel-BPLS dalam memulihkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang terkena dampak bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo. 5. Labilitas Tanggul Penahan Lumpur Kondisi yang dihadapi saat Bapel - BPLS dibentuk bahwa volume semburan lumpur panas mencapai sekitar 100.000 m3 per hari, sistem pengaliran dan pengendalian luapan lumpur ke Kali Porong belum efektif, dan potensi luapan lumpur sangat rawan meluas ke luar wilayah PAT. Dalam rangka melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur skala nasional, yaitu jalan Kereta api dan jalan arteri Siring – Porong, maka perlu dibangun tanggul penahan luapan lumpur pada batas wilayah PAT. Secara teknis membangun tanggul dengan ketinggian 11 m untuk menampung jutaan m3 lumpur dan air, pada dasarnya sama dengan membangun sebuah bendungan. Namun karena kondisi mendesak sehingga tidak mungkin dilakukan pemilihan lokasi kaki/tapak tanggul yang benar-benar memenuhi persyaratan teknis. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan diperlukan proses penelitian tanah yang tepat untuk kaki/tapak tanggul dan proses pembebasan tanah yang akan memakan waktu yang lama.
114
Dalam kondisi mendesak tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bapel – BPLS selain membangun tanggul pada lahan yang telah tersedia, yaitu pada batas wilayah PAT. Tanggul penahan lumpur selain dibangun baru, juga memanfaatkan tanggul yang dibangun oleh TimNas PSLS. Perhitungan desain tanggul secara menyeluruh tidak bisa ideal, namun harus didapatkan koefisien maksimal yang bisa dicapai dengan ketersediaan lahan, kondisi tanah kaki/tapak tanggul. Faktor lain menunjukkan bahwa lokasi PAT ternyata adalah wilayah yang terpengaruh oleh deformasi geologi, sehingga struktur tanggul akan mengalami gangguan terhadap stabilitas, terutama terhadap amblesan (land subsidence). Kondisi tersebut tentunya merupakan ancaman yang perlu terus diwaspadai, diantisipasi, dan dilakukan langkah-langkah penyempurnaan tanggul agar kondisi dan fungsi tanggul penahan lumpur tetap terjaga stabilitas dan keamanannya.
REVIEW RENSTRA BAPEL BPLS 2010 - 2014
115
BABI Pendahuluan
116