BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan kebutuhan daging sapi dapat tercapai apabila dilakukan upaya peningkakan populasi, produksi, produktivitas, penyediaan bibit, dan revitalisasi aturan pemasaran ternak atau daging sapi potong (Sodiq, 2010). Produksi ternak akan baik bila proses reproduksi berjalan dengan normal. Kemampuan reproduksi semakin tinggi, maka semakin tinggi pula produktivitas ternak tersebut. Pada hakikatnya produksi di bidang peternakan hanya dapat diperoleh bila ada proses reproduksi. Efisiensi reproduksi yang tinggi dengan produktivitas ternak yang tinggi dapat diperoleh bila kemampuan reproduksi kelompok ternak tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik. Tata laksana reproduksi yang baik akan menghasilkan efisiensi reproduksi yang baik pula yang didalamnya meliputi pemberian ransum pakan induk yang sedang laktasi, kondisi lingkungan yang serasi, deteksi birahi yang baik, menentukan waktu yang tepat untuk dikawinkan, teknik perkawinan yang baik, dan pengelolaan terhadap uterus setelah melahirkan (Hardjopranjoto, 1995).
1
2
Sapi dara (heifers) adalah periode sapi betina muda sampai beranak pertama. Sapi induk (cows) adalah sapi yang telah beranak sekali atau lebih (Boden, 2005; West, 1977) Manajemen pemeliharaan sapi dara yang bagus akan mempengaruhi tingkat pencapaian umur pubertasnya seperti pendapat Tillman dkk. (1991) bahwa faktor makanan memegang perananan penting dalam berbagai peristiwa fisiologis yang terjadi dalam pencapaian dewasa kelamin serta proses-proses reproduksi. Diperkuat dengan pernyataan Thalib dkk. (2001) bahwa perkembangan organ reproduksi ditentukan oleh proses pemberian nutrisi dan pemeliharaan semasa muda. Iskandar (2011) juga menyatakan bahwa nutrisi yang rendah dapat mengakibatkan pubertas terlambat. Pubertas pada sapi betina terjadi pada usia 7-18 bulan dengan rata-rata usia 10 bulan ketika menunjukkan tanda-tanda estrus yang jelas. Pencapaian umur pubertas dapat bervariasi yang dapat dipengaruhi oleh level nutrisi, musim (untuk seasonal breeder), kedekatan interaksi dengan pejantan, cuaca, dan penyakit yang dapat memperlambat pertumbuhan (Noakes dkk., 2001). Sapi dara yang diberi makanan dengan kualitas tinggi sejak lahir akan lebih cepat mencapai pubertas dan permulaan siklus estrusnya (Toelihere, 1981). Kawin pertama pada sapi dara dapat dilakukan pada umur 14-25 bulan (Salisbury dan VanDemark, 2002). Prihatin dkk. (2007) menyatakan sebaiknya kawin pertama pada sapi dara setelah sapi melewati satu sampai tiga kali estrus agar hormonal optimal. Keberhasilan fertilisasi dipengaruhi oleh umur, perkandangan, pakan, dan manajemen perawatan (Hardjopranjoto, 1995).
3
Perbedaan antara sapi dara dan induk dalam menunjukkan gejala estrus seperti hasil penelitian Praharani dkk. (2009) bahwa performa reproduksi sapi induk lebih bagus dalam menunjukkan gejala estrus daripada sapi dara. Menurut Noakes dkk. (2001) panjang siklus estrus sapi dara dapat berlangsung selama 1822 hari dengan rata-rata 20 hari, sedangkan pada indukan berlangsung selama 1824 hari dengan rata-rata 21 hari. Tampilan birahi pada setiap individu berbeda, begitu pula antar breed. Sapi dengan breed Bos indicus berpotensi memiliki durasi birahi yang pendek dibandingkan breed sapi lain (Jimenez dkk., 2011). Gejala estrus yang dapat diamati diantaranya mukosa vagina memerah, vulva bengkak dan hangat, bersedia dinaiki atau menaiki, adanya vokalisasi, gelisah, terdapat lendir yang keluar dari alat genital, mengibas - ibaskan ekor, dan menggelepai - gelepaikan kepala (Gordon, 2003). Menurut Frandson (2002) dan Bearden dkk. (2004) estrus berlangsung selama 12 sampai 18 jam, sedangkan menurut Gordon (2003) estrus berlangsung selama 12 sampai 16 jam, dan 18 sampai 19 jam (Hafez dan Hafez, 2000). Perbedaan lama waktu estrus dapat dipengaruhi oleh jenis hewan, musim, keberadaan pejantan, nutrisi, hasil susu dan tingkat laktasi, dan banyaknya sapi yang estrus pada waktu yang sama (Noakes dkk., 2001). Ketidaktepatan dalam melakukan deteksi birahi menyebabkan kegagalan pelaksanaan perkawinan pada ternak (Hafizuddin dkk., 2012). Beberapa faktor dapat mempengaruhi keberhasilan perkawinan pada sapi, diantaranya
umur,
perkandangan,
nutrisi,
ketrampilan
pengelola,
dan
pengendalian penyakit (Hardjopranjoto, 1995). Hadi dan Ilham (2002) mengungkapkan bahwa kegagalan perkawinan mengakibatkan S/C (Service per
4
Conception) tinggi yang dapat dikarenakan petani terlambat mendeteksi saat estrus atau terlambat melaporkan estrus sapinya pada petugas inseminator, adanya kelainan pada alat reproduksi induk sapi, inseminator kurang terampil, fasilitas pelayanan inseminasi terbatas, dan kurang lancarnya transportasi. Ferrel (1991) melaporkan bahwa kemampuan reproduksi sapi dapat dilihat dari Conception Rate (CR), nilai CR yang optimal berkisar antara 60 sampai 70%. Rendahnya CR dapat disebabkan karena rendahnya nutrisi pada pakan, penundaan ovulasi dan penurunan tingkat kesuburan sel telur (Toelihere, 1981). Non-return rate (NR) merupakan presentasi hewan yang tidak minta kawin kembali dengan asumsi bunting setelah dilakukan palpasi perektal oleh dokter hewan (Toelihere, 1993). Calving interval (CI) merupakan jarak beranak pada sapi induk yang optimalnya 12 bulan (Hadi dan Ilham, 2002). Estrus Post Partus (EPP) merupakan estrus pertama yang terjadi pada induk setelah melahirkan (Hafez dan Hafez, 2000) Dengan melihat adanya beberapa faktor yang berperan dalam menentukan panjang siklus estrus, lama estrus, dan kualitas estrus pada sapi, maka diperlukan studi terbaru mengenai hal tersebut pada sapi dara dan induk. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui panjang siklus estrus, lama estrus, serta kualitas estrus sapi Peranakan Ongole (PO) dara dan induk.
5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat diketahui untuk dikembangkan selanjutnya mengenai performan reproduksi sapi PO meliputi panjang siklus estrus, lama estrus, serta kualitas estrus antara sapi dara dan induk sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas sapi PO. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan tata laksana pemeliharaan sapi potong jenis PO terutama untuk sapi dara dan induk.