BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, individu akan selalu membutuhkan orang lain untuk pemenuhan kebutuhan bersosialisasi, gotong-royong dan bertahan hidup. Adanya keinginan yang dimiliki individu untuk bergabung dengan individu lain untuk berkelompok menggambarkan bahwa individu merupakan makhluk yang memiliki ketergantungan yang tinggi (Yusuf, 1998). Hal ini disebabkan oleh insecurity atas kehilangan suatu fungsi sosial sebagai fondasi rasa aman untuk menutupi kebutuhan lain yang tidak kekal dan tidak mampu terpenuhi, maka dari itu berkelompok adalah suatu gejala yang dibentuk secara sadar dengan maksud tertentu (Yusuf,1998). Anggota-anggota di kelompok pada umumnya menyadari hubungan satu sama lain sebagaimana yang dikemukakan Smith dalam Huraera & Purwanto (2006) bahwa sebagai unit yang terdiri dari sekumpulan individu dipastikan memiliki persepsi kolektif mengenai kesatuan kelompok dan kemampuan yang dimiliki untuk bertindak dengan cara yang sama. Cara yang sama tersebut dihubungkan oleh patokan-patokan tertentu dan sekumpulan norma dan yang mengatur fungsi kelompok dan anggotanya (Huraerah dan Purwanto, 2006). Lewin mengungkapkan bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah kelompok itu dinamik, yakni menunjukkan saling ketergantungan pada tingkatan yang berarti pada masing-masing anggota yang direalisasikan dalam persamaan
1
2
tujuan (Huraerah dan Purwanto, 2006). Jadi anggota-anggota kelompok memiliki rasa kebersamaan dengan saling tergantung dalam mencapai tujuan bersama. Di dalam suatu kelompok selalu memiliki kecenderungan untuk selalu menekan anggotanya agar menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman yang sudah lama digunakan. Anggota yang menyimpang dari pedoman tersebut akan didorong untuk mengubah tingkah lakunya dan dalam beberapa kasus akan diberikan sanksi karena telah melanggar. Desakan untuk menyesuaikan, menjelma dengan sendirinya dalam tingkah laku dan komunikasi anggota kelompok (Huraerah dan Purwanto, 2006). Sebagaimana kelompok terbentuk di bawah panutan untuk ditiru, maka tidak kalah sering individu akan menyesuaikan sikap dan tingkah laku yang dianut mayoritas dalam kelompok. Perubahan sikap dan perilaku tersebut dalam istilah psikologi biasa disebut konformitas. Konformitas dalam kamus psikologi diartikan sebgai kecenderungan individu untuk memperbolehkan sikap dan tingkah lakunya dikuasai oleh sikap dan tingkah laku yang sudah berlaku atau dianut oleh sekitarnya, yang dengan kata lain menyerahkan diri atas perubahan sosial yang terjadi dan terbawa oleh pengaruh kelompok guna melarikan diri dari keterisolasian (Fromm dalam Levianti, 2008). Cara individu terpengaruh dapat beragam baik secara langsung maupun tidak langsung. Menggunakan sepatu berwarna putih karena ada teguran dari anggota kelompok adalah contoh pengaruh langsung sedangkan memakai sepatu berwarna putih karena semua teman kelompok memakai sepatu berwarna putih merupakan akibat dari pengaruh tidak langsung yang menyebabkan seseorang melakukan konformitas. Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai
3
usaha konformitas, seakan mengutarakan secara tersirat bahwa individu mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional dari mayoritas kelompok. Tekanan untuk melakukan konformitas berasal dari kenyataan bahwa di beberapa konteks terdapat aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak. Aturan-aturan ini mengindikasikan bagaimana individu seharusnya dan sebaiknya bertingkah laku. Aturan-aturan yang mengatur bagaimana individu seharusnya dan sebaiknya berperilaku disebut dengan nilai sosial telah terbentuk atas keyakinan masyarakat jaman dahulu sebagai warisan budaya leluhur. Aturan-aturan ini juga kerap kali memberikan efek yang kuat pada tingkah laku individu. Awalnya, kecenderungan yang kuat terhadap konformitas ini tercipta dengan harapan masyarakat atau suatu kelompok mengenai cara bertindak, bersikap, dan berperilaku di berbagai situasi sehingga dengan begitu akan menghindari kekacauan sosial. Pada dasarnya individu akan terus berusaha untuk menyamakan sikap dan perilakunya agar sesuai dengan tatanan nilai-nilia sosial yang telah terbentuk sejak lama dalam hidup bermasyarakat. Hal ini disebabkan adanya ewuh-pakewuh yang seakan menjadi momok besar dalam hidup bermasyarakat terutama bagi orang Jawa. Ewuh-pakewuh dalam riilnya merupakan salah satu nilai budaya yang tidak bisa terlepas begitu saja, sebab arti dari kata tersebut berarti sungkan dalam batas-batas normal dengan harapan akan meningkatkan keharmonisan tali silahturami dalam suatu lingkungan, kumpulan atau organisasi yang sangat menghargai orang lain dan tanpa bermaksud menjatuhkan apalagi mempermalukan orang lain (Herusatoto, 1984). Sebagai contoh yaitu, apabila hari
4
itu kita memiliki acara penting yang harus dihadiri namun apabila saat itu lingkungan tempat tinggal sedang mengadakan gotong-royong maka sebisa mungkin akan menomor duakan acara penting tadi dalam upaya menyesuaikan perilaku untuk turut serta bergotong royong dengan anggota kelompok masyarakat yang lain agar tidak dianggap menyimpang, menjadi bahan pembicaraan dan dianggap sebagai warga yang tidak memiliki nilai budaya Jawa yang baik. Idealnya suatu kelompok tentu memiliki visi dan misi yang baik dan patut untuk diikuti dan dipertahankan. Tapi pada kenyataanya adapun konformitas yang mengarah pada kasus-kasus menyimpang dari niali dan norma seharusnya. Hal ini didukung oleh penelitian Levianti (2008) yang meneliti tentang hubungan konformitas dan bullying pada siswa menunjukkan bahwa anak yang pernah menjadi korban ataupun menyaksikan bullying cenderung akan menjadi pelaku atau menganggap hal tersebut adalah hal yang wajar terjadi. Jika anak mulai bersekolah, ada kecenderungan untuk menyesuakan diri dan berperilaku serupa mengikuti teman-teman sebayanya. Kecenderungan penyesuaian diri ini dilakukan anak supaya tidak dimusushi oleh sekelompok temannya. Anak cenederung mengikuti perilaku yang dilakukan teman-temannya meski berbeda dengan pendapatnya guna diterima sebagai bagian dari kelompok tersebut. Kebutuhan unutk diterima menjadi bagian dari kelompok, atau rasa takut dimusuhi lingkungan sekitarnya kan mendorong anak melakukan konformitas terhadap bullying.
5
Selain itu adapun Lukas Bujang IPL yang merupakan anggota Social Research Group Bandung yang menggutarakan secara gamblang dalam artikelnya :“Semakin pesatnya tren kapitalisme dan konglomerasi elite tertentu maka pertumbuhan kuantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan semakin berkembang bak jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang. Pergeseran budaya mulai menjangkiti kaum muda remaja tanpa kompromi dan eksodus besar-besaran tentang paradigma berpikir kaum muda remaja, dari budaya timur menuju budaya barat. Anda dapat melihat kaum muda remaja hedonis bersliweran dengan berbagai mode rambut dengan busana thank top atau junkies, dan alat-alat digital lainnya. Iklim masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat tempo dulu. Namun, bila gejala ini kita telaah lebih lanjut bahwa kaum muda remaja telah jatuh kedalam euforia budaya pop. Selanjutnya kaum muda remaja yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh kedalam pendangkalan nilai hidup” (www.ubb.ac.id diakses pada hari Kamis, 4 Desember 2014 pukul 10:21). Dalam artikel yang telah disusun oleh Lukas Bujang (www.ubb.ac.id), diketahui bahwa konofrmitas tidak harus tentang perilaku, namun secara lebih luas juga sanggup melibatkan nilai-nilai kebudayaan. Dapat dilihat bahwa yang terjadi adalah perilkau konformitas pada remaja yang membuat kecenderungan semakin melunturnya nilai-nilai kebudayaan leluhur dikarenakan remaja lebih memilih menyetarakan diri (konform) dengan mayoritas kelompok kawula muda dangkal moril untuk sekedar mengikuti trend ketimbang menjunjung nilai-nilai kebudayaan yang sudah tertanam sebelumnya karena dianggap kuno. Dari pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa remaja pada kasus ini bertindak untuk menyetarakan perilaku meski harus merubah nilai-nilai yang telah tertanam sebelumnya tanpa berpikir lebih jauh dengan anggapan bahwa harapan kelompok harus terpenuhi dan seiring dengan itu mendapatkan sebuah pengakuan dan rasa aman dari mayoritas anggota kelompok.
6
Fenomena tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa remaja dalam masa perkembangan sikap ketergantungan terhadap orang-tua ke-arah kemandirian, minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai dan isu-isu moral (Salzman dalam Yusuf LN, 2001). Adapun dalam beberapa tahap tahap perkembangan kepercayaan mengacu pada teori Fowler (1995), dapat dijelaskan bahwa untuk tahap synthetic-conventional faith atau kepercayaan sintetis konvensional yang dialami remaja pda sekitar 12 tahun merupakan perubahan transisi menuju pd kemampuan berpikir operasional formal. Tahap ini merupakan tahap konformistis. Hal ini dikarenakan oleh adanya penyesuaian diri oleh individu dengan harapan dan penilaian-penilain dari orang-orang yang penting (significant others). Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja individu dominan melakukan konformitas. Individu mengikuti individu lain bisa karena jadi karena mempunyai informasi yang dianggap benar oleh individu itu atau bisa juga karena ketidak yakinan terhadap informasi yang sudah dimiliki sendiri dan adapun hal ini dilakukan atas dasar kepercayaan pada kelompok. Selain itu individu cenderung melakukan konformitas diakibatkan rasa takut akan penolakan dari kelompok apabila tidak menyamakan diri dengan anggota kelompok lain (Levianti, 2008). Banyak penelitian lintas-budaya, terutama pada budaya-budaya Asia, memiliki kecenderungan pada nilai-nilai sosial dan konformitas termasuk kepatuhan (Punetha, Giles, dan Young dalam Matsumoto, 2008).
Hasil
peneliti
Hadiyono
dan
Hahn
(Matsumoto,
2008)
juga
7
mengindikasikan bahwa orang Indonesia lebih menyetujui konformitas daripada orang Amerika. Adanya kasus yang sedemikian rupa, bahwa konformitas tidak terusmenerus mengenai nilai-nilai yang baik namun juga buruk maka dari itu peneliti ingin menelaah lebih lanjut untuk mengkaji seberapa besar kaitan nilai kebudayaan Jawa dan konformitas pada remaja yang berada pada tahap konformistis (Fowler, 1995). Hal ini juga diperkuat dengan pandangan Hariyono (1993), bahwa nilai budaya sangat menentukan tindakan, perilaku, sikap dan interaksi manusia dalam kehidupan bermasyarakat serta mengingat bahwa kebudayaan Jawa memiliki butir-butir nilai sebagai pedoman kehidupan masyarakat Jawa yang cenderung kolektif dan menjunjung tinggi kebersamaan di kehidupan sehari-harinya (Matsumoto,2008).
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara nilai kebudayaan jawa dan konformitas pada remaja etnis Jawa.
C. Manfaat Penelitan 1.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan kajian secara teoritik bagi ilmu psikologi, khususnya bidang sosial serta memberikan penjelasan dan pemahaman secara luas mengenai nilai kebudayaan jawa dan kaitanya dengan perubahan
8
keyakinan untuk bersikap dan berperilaku pada remaja karena tekanan dari pengaruh sosial. 2.
Manfaat Praktis Manfaat praktis yang bisa didapat dari hasil penelitian ini apabila hasil penelitian ini berhubungan posititif maka diharapkan mampu dijadikan pertimbangan dalam pembentukan karakter pada remaja etnis Jawa dalam upaya melestarikan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang dan di kemudian hari mampu membentuk sebuah generasi yang berbudi pekerti luhur.
D. Keaslian Penelitian 1.
Keaslian Topik Berbagai penelitian yang berkaitan dengan konformitas sebagai variabel tergantung beberapa telah ditemukan, diantaranya penelitian dengan judul Hubungan Antara Konsep Diri dengan Konformitas pada Anggota Hijabers (Irianti, 2012). Meskipun konsep diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konformitas, tetapi ditemukan bahwa variabel tersebut bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi konformitas. Penelitian dengan judul Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Konformitas pada Remaja (Sidqon M., 2001), juga turut menggunakan konformitas sebagai variabel tergantung dalam peneltiannya. Namun demikian dalam kedua penelitian tersebut variabel bebasnya beragam dan berbeda dengan penelitian peneliti.
9
Penelitian lain mengenai konformitas, yaitu Hubungan Antara Konformitas Terhadap Kelompok Teman Sebaya dengan Pembelian Impulsif pada Remaja (Sihotang, 2009). Hasil penelitian setelah dilakukan analisis data dan pembahasan menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara konformitas terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian impulsif. Semakin tinggi konformitas terhadap kelompok teman sebaya maka semakin tinggi pembelian impulsif pada remaja dan begitu pula sebaliknya sehingga hipotesis penelitian ini terbukti dan diterima. Penelitian lain yang terkait dengan konformitas, yaitu Hubungan antara Konformitas dengan Perilaku Konsumtif terhadap Fashion pada Remaja Putri (Wardhani, 2009). Hasil analisis penelitian ini menunjukkan adanya hubungan posituif antara konformitas dan perilaku konsumtif terhadap fashion pada remaja putri dengan koefisiensi korelasi (r) sebesar 0,352 dan p = 0,001 (p<0,01) serta dengan 12,4% sumbangan konformitas yang berpengaruh pada perilaku konsumtif. Selain itu adapun penelitian yang juga terkait dengan konformitas, yaitu Konformitas dalam Kelompok Teman Sebaya (Anwar, 2013), Hubunganan antara Konformitas dan Harga Diri dengan Perilaku Konsumtif pada Remaja Putri (Wardhani, 2009). Meskipun terdapat kesamaan pada variabel tergantung dengan penelitian-penelitan yang telah disebutkan di atas, namun empat dari enam penelitian yang telah di ungkapkan sebelumnya tidak ada yang menggunakan konformitas sebagai variabel tergantung dan secara keseluruhan tidak ada yang meneliti mengenai hubungan konformitas dan
10
nilai kebudayaan Jawa pada remaja etnis Jawa. Sehingga dapat dikatakan bahwa topik penelitian memang benar orisinil. Penelitian yang berkaitan dengan dengan nilai kebudayaan Jawa sendiri juga telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, diantaranya yaitu, Model Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Jawa Melalui Pemanfaatan Upacara Ritual (Rahayu, Setyarto, dan Efendi, 2014), Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan : Bebasan, Saloka dan Paribasa (Sartini, 2009), Nilai-Nilai Tradisi Lisan dalam Budaya Jawa (Soehardi, 2003). Ketiga penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Selain itu adapun penelitian terkait nilai kebudayaan Jawa yaitu Hubungan Antara Nilai Kebudayaan Jawa dan Kenakalan pada Remaja Jawa (Rachim, 2007). Dari beberapa penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya terkait dengan nilai kebudayaan Jawa, dapat disimpulkan bahwa belum ada yang menggunakan nilai kebudayaan Jawa sebagai variabel bebas dalam penelitiannya sebab sebagian besar merupakan penelitian deskriptif yang menyorot fenomena secara mendalam. Meskipun penelitian oleh Rachim (2007), turut menggunakan nilai kebudayaan Jawa sebagai variabel bebas, namun variabel tergantung yang digunakan berbeda. Penelitian sebelumnya yaitu Rachim (2007), menggunakan kenakalan remaja sebagai variabel tergantung sedangkan penelitian ini menggunakan konformitas.
11
Meskipun telah banyak penelitian yang meneliti tentang variabel nilai kebudayaan Jawa ataupun konformitas sebelumnya, namun hingga saaat ini peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai hubungan antara nilai kebudayaan jawa dengan konformitas. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan topik penelitian inia asli atau orisinil sebab sejauh ini belum ada penelitian dengan judul yang sama, yaitu nilai konformitas sebagai variabel tergantung dan nilai kebudayaan sebagai variabel bebasnya. 2.
Keaslian Teori Teori dalam peneltitian-penelitian sebelumnya terkait konformitas menggunakan teori yang berbeda dari penelitian ini yangmengacu pada teori Sears (1991). Sedangankan untuk variabel nilai kebudayaan Jawa, penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rachim (2012), mengacu pada teori dari Taryati (1985). Sedangkan dalam penelitian ini mengacu pada teori Suharto dan Rukmana (1991). Dan adapun penelitian-penelitian sebelumnya merupakan penelitian kualittaitf, dan studi kasus. Meskipun ada beberapa teori yang dimungkinkan sama namun dalam hal ini peneliti melakukan sintesa teori-teori dari beberapa ahli dan merujuk pada sumber utama atau langsung, serta teori yang di dapat melalui literatur yaitu, buku ilmiah, jurnal, disertasi, dan beberapa karya ilmiah penelitian lain yang masih terkait dengan variabel yang diteliti. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teori dalam peneitian ini adalah orisinil.
12
3.
Keaslian Alat Ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala niilai kebudayaan Jawa yang dimodifiksi dari Idrus (2004). Sedangkan skala konformitas disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori dari Sears (1991). Sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah orisinil.
4.
Keaslian Subjek Penelitian Karakteristik subjek ini berbeda dengan karakteristik subjek-subjek yang pernah diteliti sebelumnya. Seperti enam penelitian yang telah disebutkan sebelumnya di atas, banyak menggunakan remaja masa akhir, dan wanita sebagai subjek sedangkan peneliti memilih subjek remaja awal. Sehingga jelas adanya perbedaan subjek dari penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti saat ini. Sedangkan subjek penelitian ini adalah remaja berusia 11-19 tahun yang sedang duduk di bangku SMP, bersuku Jawa, telah berdomisili di Jawa sekurang-kurangnya 8-10 tahun, tinggal bersama kedua orangtua yang bersuku Jawa atau setidak-tidaknya Ayah merupakan etnis Jawa asli. Dari penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian dengan variabel yang sama, peneliti belum menemukan subjek dengan karakter yang sama, sehingga dengan demikian subjek yang digunakan oleh peneliti adalah orisinil.