BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kualitas kesehatan suatu masyarakat dapat dilihat melalui indikator kesehatannya. Indikator kesehatan dihasilkan oleh empat unsur interaksi yaitu lingkungan, faktor keturunan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Salah satu indikator umum ini dapat dilihat melalui angka-angka kematian bayi. Indikator angka kematian bayi ini tidak hanya menjelaskan tingkat kesehatan bayi tetapi juga tingkat kesejahteraan seluruh masyarakat serta kondisi sosial-ekonomi bangsa.1 Menurut Clinton, selain asupan gizi dan keadaan lingkungan, faktor lain yang menentukan tingkat kematian bayi juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan ibu2, pemeriksaan kandungan, dan pertolongan kelahiran.3
1
Bintari Roekmono dan I.F Setiady, “Masalah Kesehatan di Indonesia”, dalam Koentjaraningrat dan A.A. Loedin. Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Kesehatan. (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 1314. 2
Kesehatan ibu atau maternal care merupakan salah satu dari tiga komponen kesehatan reproduksi. Kesehatan ibu ini meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan. Dua bagian lain yang terkandung dalam kesehatan reproduksi yaitu hal-hal mengenai penyakit menular seksual dan alat kontrasepsi. Lihat: Dewi H Susilastuti, “Berbagai Persoalan Kesehatan Reproduktif Perempuan”, dalam Fauzi Ridjal (eds.), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 57-58. Istilah “ibu” disini merujuk pada perempuan yang telah hamil, melahirkan, dan menyusui, baik sudah menikah maupun yang tidak 1
Sebelum tenaga bidan populer masyarakat biasanya dibantu oleh dukun beranak4 dalam perawatan kehamilan dan proses persalinan. Dalam praktiknya dukun beranak di Jawa tidak hanya sekedar menolong proses
persalinan
saja,
tetapi
juga
memberikan
perawatan
pascapersalinan selama 35 hari berikutnya disertai dengan ritual-ritual sesuai dengan tradisi. Praktik persalinan oleh dukun beranak seringkali menggunakan
peralatan
yang
tidak
steril.
Hal
ini
tidak
jarang
mengakibatkan penyakit infeksi tetanus neonatorum yang membuat tingginya angka kematian bayi dibawah usia satu tahun. Dukun beranak yang belum dibekali pengetahuan mengenai risiko kehamilan dan tidak menikah. Di sisi lain Madelon Djajadiningrat mencetuskan istilah Ibuisme, yaitu merujuk pada ideologi yang mengekalkan peran seorang ibu yang merawat keluarga, Negara atau kelas tanpa mengharapkan kekuatan kembali. Lihat: Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine. (Durham: Duke University Press, 1996), hlm.101; juga lihat: Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011). 3
Dewi Aryani Priyatna, “Kebijakan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pedesaan di Yogyakarta Tahun 1952-1979”, Skripsi S-1, Jurusan Sejarah FIB UGM Yogyakarta, 2009, hlm. 73. 4
Dukun beranak merupakan perempuan (kecuali di Bali), yang melayani persalinan namun terkadang juga memberikan pelayanan induksi aborsi pada kehamilan tidak diinginkan. Keahlian yang dimiliki oleh dukun beranak tidak diperoleh melalui pendidikan formal namun biasanya didapatkan secara turun-temurun dari keluarga yang pernah berprofesi demikian. Dalam praktiknya biasanya dukun beranak menggunakan teknik memijat dan memberikan ramuan tradisional untuk merawat kesehatan pasiennya. Lihat: Hildred Geertz, Keluarga Jawa. (Jakarta: Grafiti Press, 1985), dan Boedhihartono, “Current State and Future Prospect Traditional Healers in Indonesia” dalam David Mitchell, Indonesian Medical Traditions. (Victoria: Monash University,1982).
2
memiliki peralatan medis yang sesuai standar turut menjadi penyebab atas tingginya kematian ibu akibat persalinan. Bahkan dalam suatu kesempatan seorang regent Batavia, R.A.A. Jayadiningrat, berkomentar mengenai laporan terkini atas kondisi persalinan di Batavia yang cukup mengerikan.5 Tidak hanya itu, sejumlah dokter Belanda turut menyatakan keprihatinannya terhadap para dukun beranak yang membantu proses persalinan karena dianggap sudah terlalu tua dan tidak sadar akan kebersihan. Bahkan diantaranya menyatakan apa yang dialami oleh para perempuan bumiputra saat bersalin sebagai sebuah “penganiayaan” (mishandeling) sehingga pemerintah seharusnya menyediakan tenaga bidan melalui pendidikan kebidanan. Tingginya angka kematian bayi saat itu, membuat Gubernur Jenderal Daendels memberikan pelatihan bagi dukun beranak dalam praktik persalinan pada tahun 1807.6 Sayangnya usaha tersebut tidak berlangsung lama dikarenakan minimnya tenaga pelatih kebidanan. Sampai pada tahun 1938, dengan asumsi angka kelahiran sebesar 2.600.000 (38% dari total 70.000.000 penduduk) terdapat 42.560 angka
5
Susan Abeyasekere, “Health as a Nationalist Issue in Colonial Indonesia” dalam David P. Chandler and M.C Ricklefs, Nineteenth and Twentieth Century Indonesia. (Victoria: Southeast Asian Studies, Monash University), hlm. 8. 6
Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat. (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 6.
3
kematian akibat persalinan.7 Angka ini tentulah bukan angka yang kecil. Menurut Freedman dan Maine, kematian ibu merupakan kondisi ketika seorang perempuan yang hamil mengalami komplikasi obstetrik hingga komplikasi tersebut menyebabkan kematian.8 Ada dua penyebab tingginya kematian ibu, yaitu penyebab langsung seperti pendarahan, proximia, dan infeksi. Penyebab tidak langsung dari kematian ibu yaitu tingkat pendidikan rendah, masalah gizi, persoalan ekonomi dan transportasi.9 Kepercayaan
dan
nilai-nilai
dalam
masyarakat
ikut
menentukan
pertolongan kesehatan ibu yang dibantu oleh dukun beranak. Misalnya saat terjadi komplikasi, masyarakat percaya bahwa hal tersebut dikarenakan gangguan makhluk halus maka pertolongan yang diberikan berupa doa-doa atau pemberian sesajen sehingga pertolongan secara medis terlambat diberikan. Dukun beranak terkadang akan menunggu hari
7
Ibid., hlm.45.
8
Freedman, et.al, “Kematian Wanita: Warisan Ketidakpedulian” dalam Marge Koblinsky, et al., Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), hlm. 235. WHO mendefiniskan kematian ibu sebagai kematian wanita saat hamil atau 42 hari setelah persalinan, tanpa melihat lama dan tempat kehamilannya, yang disebabkan kondisi kehamilan dan penanganannya namun bukan karena kecelakaan atau hal insidental. 9
Yunarti, “Program Pondok Bersalin Desa: Studi tentang Pelayanan Kesehatan dalam Perawatan Kehamilan Persalinan di Desa Rimbo Panjang-Sumbar”, Tesis S2, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Studi Antropologi UGM, 2003, hlm.1.
4
baik sesuai dengan kepercayaan, untuk menentukan kapan perempuan melahirkan meskipun masa kehamilan sudah melewati 42 minggu. Praktik kebidanan modern berkembang di Indonesia melalui peran dokter Belanda yang bekerja baik kepada pemerintah Hindia Belanda maupun pada layanan kesehatan yang dikelola oleh Zending. Pemerintah beranggapan bahwa penduduk bumiputra perlu diberdayakan agar menjadi tenaga medis dan bidan yang terampil melalui pendidikan, saat tidak ada tenaga dari orang Eropa yang membantu. Hal ini seiring dengan berlangsungnya kebijaksanaan Politik Etis saat itu yang mendorong pemerintah kolonial untuk melakukan modernisasi di bidang pelayanan kesehatan masyarakat melalui subsidi kesehatan.10 Sekolah kebidanan didirikan secara resmi pada tahun 1923 di Batavia. Sebagai prasyarat untuk mengambil pendidikan kebidanan, calon siswa diminta untuk menempuh diploma keperawatan terlebih dahulu. Diploma bidan yang diberikan diakhir pendidikan keperawatan ini menjadi daya tarik para perempuan bumiputra.11 Para mantri atau juru rawat tersebut perlu menempuh pengalaman minimal dua tahun untuk kemudian melanjutkan ke sekolah menengah. Setelah itu para mantri-juru rawat 10
Baha’Uddin, “Dari Subsidi Hingga Desentralisasi: Kebijakan Pelayanan Kesehatan Kolonial di Jawa (1906-1930an)”, Tesis S2, Program Studi Sejarah UGM, 2005, hlm. 13. 11
Stokvis-Cohen Stuart, Leven en Werken in Indie. (Amsterdam: De Bussy, 1931), hlm. 22 dalam Rosalia Sciortino, Menuju Kesehatan Madani. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 28.
5
perempuan berhak mengikuti program kebidanan, diploma C, dengan lama studi dua tahun.12 Kodrat untuk hamil dan melahirkan dianggap sebagai tanggungjawab yang dilakukan tanpa rasa mengeluh sampai pada aktivitas merawat bayi hingga anak tersebut beranjak besar. Kepedulian akan pentingnya perawatan kesehatan ibu dan anak terus berlanjut hingga tahun 1930an melalui diskusi yang dimunculkan dalam pemberitaan surat kabar daerah. Sampai masa penjajahan Jepang perhatian terhadap pertolongan ibu bersalin diberikan oleh pemerintah Jepang meskipun di lapangan kesehatan milik zending dan misionaris aktivitasnya terhambat karena kebijakan saat itu. Pemerintah Jepang menganggap bahwa untuk membangun sebuah bangsa diperlukan penduduk dengan kualitas kesehatan yang baik, maka perlu dibdapatkan kualitas kesehatan yang baik semenjak bayi dikandung. Pada dekade 1950an, angka kematian ibu sebesar 12 per 1000 dan tingkat kematian bayi 300 per 1000. Kepedulian akan kesehatan ibu masih menjadi perhatian utama pemerintah dengan didirikannya Balai Kesehatan Ibu dan Anak di masing-masing kabupaten di Indonesia pada tahun 1952. Pelayanan kesehatan ibu, khususnya selama kehamilan, persalinan, hingga pascapersalinan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dinamika perawatan kesehatan ibu tidak hanya berbicara mengenai perubahan layanan kesehatan yang tersedia saja tetapi juga perlu melihat persoalan yang muncul dalam masyarakat itu sendiri. Faktor
12
Ibid., hlm.29. 6
sosial dan budaya memang menjadi pengaruh dari keberlangsungan layanan kesehatan ibu dan anak selain juga faktor medis yang juga penting.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sejauh manakah perkembangan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Indonesia sejak masa pemerintah kolonial Belanda sampai masa kemerdekaan? Apakah praktik ini hanya sebatas ideologi politik pemerintah kolonial atau merupakan sebuah kesadaran kemanusiaan atas urgensi kesehatan reproduksi perempuan? Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang dimaksud dalam penulisan ini melingkupi masa perawatan sejak ibu mengandung, melahirkan, hingga masa nifas disertai dengan pemeliharaan kesehatan bayi. Melalui rumusan masalah tersebut dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) sejak kapan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak pertama kali diberikan? (2) siapa saja yang berperan memberikan layanan kesehatan ibu dan anak baik di wilayah pedesaan maupun kota Yogyakarta?
(3)
upaya
apa
yang
dilakukan
pemerintah
dalam
meningkatkan derajat kesehatan ibu? (4) bagaimana respon masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan baik oleh pemerintah, pihak swasta, maupun individu lainnya? (5) adakah hambatan yang dihadapi oleh 7
penyedia layanan kesehatan dalam memberikan perawatan ibu hamil dan bersalin? Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Batas administratif Yogyakarta sejak tahun 1903 terdiri atas 3 afdeeling; Mataram, Kulonprogo, dan Gunungkidul dengan masing-masing ibukota; Yogyakarta, Wates, dan Wonosari. Hingga tahun 1951 secara administratif Yogyakarta terdiri atas empat kabupaten, yaitu Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan satu kotapraja yaitu Kota Yogyakarta. Wilayah Yogyakarta dipilih sebagai cakupan spasial karena disinilah pertama kali pusat Balai Kesehatan Ibu dan Anak didirikan pada awal tahun 1952. Yogyakarta juga merupakan salah satu dari empat kota besar di Indonesia dimana banyak bidan ditempatkan sekaligus menjadi wilayah percontohan bagi pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Penulis ingin melihat bagaimana kondisi dan perkembangan layanan kesehatan ibu sebelum BKIA berdiri. Ruang lingkup temporal penelitian ini berlangsung dari tahun 1910an sampai 1952. Periode dekade awal abad ke-20 ini dipilih karena saat itu kesadaran publik akan pentingnya perawatan ibu hamil dan pertolongan persalinan yang memadai mulai menjadi perhatian. Hal ini diketahui dari hasil jawaban para perempuan elit bumiputra dalam angket Mindere Welvaart Onderzoek (1914) dan hasil tuntutan kongres perempuan pertama tahun 1928. Kesadaran akan pertolongan persalinan menjadi perhatian khusus saat itu karena dukun beranak, sebagai tenaga 8
penolong
persalinan
yang
tidak
terampil
praktiknya
dianggap
membahayakan keselamatan ibu. Batasan temporal penelitian berakhir pada tahun 1952 yaitu ketika pemerintah mendirikan Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Balai Kesehatan Ibu dan Anak menjadi upaya pertama dalam menjalankan program kesehatan ibu secara terintegrasi. Tidak seperti periode sebelumnya ketika program kesehatan ibu dilaksanakan secara “sunah” bersamaan dengan program kesehatan masyarakat. Penulis ingin melihat dinamika apa yang terjadi semenjak
kesadaran
akan
perawatan
persalinan
muncul
sampai
berdirinya BKIA, sebagai bagian khusus di bawah Dinas Kesehatan, di Yogyakarta.
C.
Tujuan Penelitian
Tingginya angka kematian ibu (AKI) dan bayi (AKB) sudah lama menjadi perhatian bersama sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, Jepang, hingga masa setelah revolusi kemerdekaan. Kepedulian akan kondisi tersebut disadari oleh pemerintah dan juga pihak swasta dengan terus berusaha menyediakan tenaga bidan terlatih serta mendirikan layanan kesehatan ataupun rumah bersalin. Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran mengenai dinamika yang terjadi dalam perkembangan layanan kesehatan ibu di Yogyakarta. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat perkembangan layanan kesehatan ibu baik yang diberikan oleh 9
pemerintah, pihak swasta, maupun oleh individu-individu. Berdasarkan tujuan tersebut penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman baru dalam melihat persoalan kesehatan ibu tanpa meninggalkan peran maupun sudut pandang perempuan. Kiranya penelitian ini dapat memberikan alternatif dalam historiografi Indonesia dan menambah khasanah ilmu baru.
D. Tinjauan Pustaka
Derajat kesehatan suatu masyarakat salah satunya ditentukan oleh angka-angka kematian bayi juga ibu. Dengan demikian kualitas kesehatan dua kelompok tersebut menjadi suatu persoalan yang patut diperhatikan. Kepedulian pemerintah akan kesehatan ibu diberikan melalui penyediaan tenaga bidan, dokter, maupun pendidikan kebidanan. Kajian mengenai sejarah kesehatan bisa dikatakan sudah tidak sedikit lagi, namun yang mengkaji persoalan kesehatan ibu khususnya masih sedikit. Berikut ini akan disebutkan beberapa kajian yang berkaitan dengan tema serupa dan memiliki persamaan ide atau perspektif. Kesehatan ibu merupakan satu bagian dari apa yang disebut dengan kesehatan wanita dimana memiliki pengertian yang lebih luas. Seperti apa yang diungkapkan oleh Koblinsky13 bahwa kajian mengenai
13
M.A. Koblinsky, dkk., “Melakukan Peran sebagai Ibu dan Peran Wanita Lainnya: Perspektif Kesehatan Wanita yang lebih Komprehensif”, 10
kesehatan wanita, pada dekade 1990an, hanya terpaku pada persoalan pengendalian fertilitas. Oleh karena itu Koblinsky berusaha memperluas pengertian kesehatan wanita yang terdiri atas kesehatan ibu, menstruasi beserta dampak terhadap fungsi non reproduktif, kesehatan kerja, dan proses penuaan. Penulis mengungkapkan berbagai persoalan yang dihadapi kaum perempuan terkait status kesehatan mereka baik di negara maju maupun di negara berkembang. Menurut penulis, intervensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan perempuan perlu dilakukan dengan dilibatkannya para pembuat kebijakan, pemberi dana, dan para peneliti. Dalam buku yang sama, dorongan atas advokasi hak-hak perempuan dalam penanganan kesehatan ibu juga banyak diungkapkan. Beberapa kajian yang banyak berbicara mengenai perkembangan tenaga kesehatan di masa Hindia Belanda antaralain tulisan miliki Liesbeth Hesselink yaitu Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies14. Tulisan ini mengkaji perkembangan pendidikan dan pelayanan yang dilakukan oleh dokter dan bidan pada rentang waktu tahun 1850 sampai 1915 tanpa meninggalkan perhatian pada nilai-nilai sosial, budaya, serta kepercayaan masyarakat dalam Marge Koblinsky, dkk., Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997). 14
Liesbeth Hesselink, Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies. (Leiden: KITLV Press, 2011). Kajian sosial-medis lain mengenai tenaga kesehatan ibu hamil khususnya bidan dan ibu hamil juga ditulis oleh J.A. Verdoorn, Verloskundige Hulp voor de Inheemsche Bevolking van NederlandschIndie. (‘s-Gravenhage: Boekencentrum, 1941). 11
lokal sebagai faktor penentu perilaku kesehatan. Liesbeth melakukan perbandingan berbagai gagasan yang mengkaji soal dukun beranak yang kebanyakan masih meremehkan figur tenaga kesehatan tersebut karena praktiknya
dianggap
bodoh
dan
berbahaya.
Menurut
Liesbeth,
penerimaan masyarakat bumiputra atas perawatan medis secara Barat merupakan salah satu upaya dalam pembangunan kesehatan di Hindia Belanda. Upaya pengenalan pengobatan secara Barat harus dilakukan melalui implementasi kebijakan kolonial yang berkaitan dengan isu tersebut. Medical market merupakan konsep yang sesuai menurut Liesbeth karena mampu memberikan keluaran positif bagi Hindia Belanda, seperti mencetak dokter dan bidan bumiputra melalui pendidikan meskipun tenaga bidan bumiputra tidak terpengaruh modernisasi terhadap perawatan kesehatan. Penulisan kontemporer mengenai tenaga bidan juga dikaji oleh Atashendartini Habsjah dan Mira Fajar Aviatri dengan judul Suara Bidan tak Terdengar15. Penulis memaparkan bagaimana peran bidan pada masa Orde Baru , baik sebagai individu maupun kelompok, yaitu melalui Ikatan Bidan Indonesia (IBI) sebagai wadah berorganisasinya. Menurut penulis, peran bidan tidak hanya sebatas pelayanan kesehatan ibu hamil dan persalinan
namun
juga
pengabdiannya
sangat
diandalkan
oleh
pemerintah sebagai tenaga pemerata kesehatan. Sayangnya peran
15
Atashendartini Habsjah dan Mira Fajar, “Suara Bidan tak Terdengar”, dalam Mayling Oey, dkk., Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. (Jakarta: Gramedia, 1998). 12
mereka selama ini hanya dianggap sebagai tenaga yang tersuboordinat, yaitu dilabeli sebagai pembantu dokter atau anggota tim. Adanya isu jender menjadi salah satu persoalan yang dimunculkan, yaitu antara dominasi pria bekerja di rumah sakit dan perempuan bekerja di rumah bersalin mengakibatkan persaingan dengan motif keuntungan materiil yang cukup berbeda. Selain bidan, dukun beranak juga banyak ditulis oleh para peneliti. Kajian mengenai peran dalam perawatan kesehatan ibu hamil misalnya ditulis oleh Amin Yitno dan Tri Handayani16. Tulisan dengan judul Sang Penolong tersebut merupakan hasil penelitian terhadap sejumlah dukun beranak di Dusun Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada akhir tahun 1980an. Tulisan tersebut menjelaskan bagaimana dukun beranak memperoleh ketrampilannya dan metode-metode yang digunakan masih dipengaruhi oleh sistem nilai dan kepercayaan tradisi. Dukun beranak di Ngaglik masih memiliki peran penting dalam menolong persalinan warga dan telah sadar akan praktik persalinan yang tidak kasar dan penuh perhatian pada klien. Kajian mengenai perkembangan kesehatan di Yogyakarta sendiri pernah ditulis oleh Dewi Aryani Priyatna melalui skripsi yang berjudul “Kebijakan Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Yogyakarta tahun 1952-
16
Amin Yitno dan Tri Handayani, Sang Penolong: Studi tentang Peranan Dukun beranak dalam Persalinan di Ngaglik, Yogyakarta. (Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM, 1980).
13
1979”17. Dalam skripsinya Dewi mengulas perkembangan pelayanan kesehatan pada dua periode pemerintahan yaitu masa Soekarno dan Soeharto. Penulisan sejarah kesehatan tersebut diawalidari berdirinya BKIA hingga terintegrasi dengan Puskesmas. Dalam kesimpulannya, penulis mengungkapkan bahwa terdapat tiga penyakit yang sempat menjadi wabah pada waktu itu; malaria, sampar, dan hongerodeem. Hal tersebut disebabkan oleh buruknya kualitas kesehatan di pedesaan Yogyakarta yang dipengaruhi oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hidup sehat dan pengetahuan soal gizi. Kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil juga banyak ditulis tanpa meninggalkan dinamika sosial dan budayanya. Tulisan tersebut antara lain “Dinamika Sosial Budaya Pelayanan Antenatal” oleh Emiliana Mariyah dan Irwan Abdullah18. Tulisan tersebut melihat pengaruh dimensi sosial budaya yang berasal dari lingkungan keluarga dalam interaksi bidan dan ibu hamil di wilayah Kalikotes, Klaten. Menurut penulis, sikap dan perilaku tenaga bidan menjadi hambatan dalam pelayanan antenatal karena tidak 17
Dewi Aryani Priyatna, “Kebijakan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pedesaan di Yogyakarta Tahun 1952-1979”, Skripsi S1, Jurusan Sejarah FIB UGM Yogyakarta, 2009. 18
Emiliana Mariyah dan Irwan Abdullah, “Dimensi Sosial Budaya Pelayanan Antenatal”, dalam Muhadjir Darwin dan Tukiran, Menggugat Budaya Patriarkhi. (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 2001). Kajian lain yang menulis tema serupa antaralain; Ema Rachmawati, Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Bersalin. (Bandung: Kepustakaan Eja Insani, 2006). Emiliana Mariyah, Hambatan Budaya dalam Kesehatan Reproduksi. (Bali: Universitas Udayana, 2004).
14
ramah serta tidak interaktif seperti yang diharapkan oleh pasien. Hambatan lain yang mempengaruhi interaksi bidan dengan ibu hamil berasal dari lingkungan sosial dan keluarga. Penulis menganggap bahwa kegagalan pelayanan antenatal disebabkan oleh interaksi bidan dengan ibu hamil yang tidak baik serta lingkungan keluarga yang banyak mempengaruhi keputusan. Penulisan sejarah kesehatan tidak banyak yang memberikan ruang terhadap peran perempuan sebagai subyek peristiwa, berbeda dengan kajian-kajian antropologi maupun sosiologi. Persoalan kesehatan ibu yang ditulis melalui perspektif perempuan banyak berbicara soal advokasi hakhak reproduksi perempuan yaitu bagaimana perempuan berdaya dalam mengambil setiap keputusan menyangkut tubuhnya tanpa diintervensi pihak lain19. Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas, maka secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa topik. Pertama, penulisan sejarah sosial-medis mengenai pelayanan kesehatan ibu baik di Yogyakarta maupun di Hindia Belanda. Penulisan sejarah kesehatan yang ditulis oleh Dewi Aryani, tidak menyoroti perkembangan pelayanan kesehatan ibu sebelum berdirinya BKIA, sedangkan pada tulisan Liesbeth 19
Tulisan lain mengenai topik serupa: Henny Supolo dan Lies Marcoes, “Hak Menentukan Kehamilan”, dalam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi. (Yogyakarta: Galang Printika, 2002), Susan Brems dan Marcia Griffiths, “Kesehatan Menurut Cara Wanita: Dengarkan Suara Kami”, dalam Marge Koblinsky, dkk., Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997). Dalam tulisan tersebut penulis mendorong agar setiap kebijakan yang menyangkut kesehatan wanita ikut melibatkan gagasan wanita tanpa meninggalkan “pengetahuan setempat”. 15
Hesselink, kajian mengenai tenaga penolong persalinan ditulis dalam lingkup yang luas. Kedua, kajian mengenai kesehatan wanita yang mengarusutamakan pemberdayaan dan hak-hak perempuan. Kemudian yang ketiga yaitu kajian kualitas pelayanan kesehatan ibu yang dilihat melalui dimensi sosial dan budaya, termasuk di dalamnya mengkaji figur tenaga bidan dan dukun beranak. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian mengenai dinamika sosial dan pelayanan kesehatan ibu di Yogyakarta pada tahun 1910 sampai 1952 belum pernah dilakukan.
E. Metode dan Sumber
Kajian mengenai dinamika sosial dan pelayanan kesehatan seperti yang ditulis dalam penelitian ini termasuk dalam penulisan sejarah sosial tanpa meninggalkan aspek medis atau kesehatan di dalamnya. Menurut E.J Hobsbawm, sejarah sosial ikut mengangkat peran orang kecil dan juga kemajemukan aktivitas masyarakat seperti tradisi dan adat istiadat20. Selain itu penulis juga ingin melihat faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi antara penyedia layanan kesehatan dengan klien. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diperoleh melalui foto, artikel, iklan, dan berita dalam surat kabar sedangkan sumber sekunder
20
E. J. Hobsbawm dalam Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan Sosial Yogyakarta. (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 5. 16
meliputi buku, jurnal, dan laporan penelitian. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari berbagai perpustakaan seperti Pusat Studi Seksualitas PKBI DIY, Kolese Ignatius, Badan Arsip dan Perpustakaan DIY, Perpustakaan Kota Yogyakarta, Unit Perpustakaan Terpadu UGM, Perpustakaan Nasional RI dan Perpustakaan Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM. Selain itu sumber tertulis berupa artikel atau berita dari majalah terbitan sejaman juga banyak didapatkan melalui arsip milik Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiah. Arsip dan dokumen terbitan pemerintah diperoleh dari Arsip Nasional RI. Koleksi surat kabar banyak diakses melalui website Nederlands-Indie Oorlog Documentarie (NIOD) dan juga Library Center Yogyakarta. Data dan sumber yang telah diperoleh kemudian diseleksi sesuai dengan tema penelitian atau yang dibutuhkan. Kritik sumber perlu dilakukan baik secara internal maupun eksternal agar data yang diperoleh benar-benar valid dan sesuai. Setelah kritik dan seleksi atas sumber dilakukan maka diperoleh fakta yang siap diolah sebagai sumber penulisan sejarah.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan diawali dengan pengantar pada bab satu yang berisi latar belakang permasalahan yang menguraikan kondisi umum kesehatan ibu di Indonesia. Setelah itu diikuti dengan Bab II yang menggambarkan 17
munculnya kesadaran akan pentingnya pelayanan kesehatan ibu dan anak bagi perempuan bumiputra. Pada bab ini dibagi menjadi beberapa sub-bab yang menjabarkan mengenai peristiwa kehamilan bagi orang Jawa dan kondisi pelayanan kesehatan ibu dan anak di Yogyakarta. Pada bab selanjutnya, yaitu Bab III atau bagian isi, diuraikan mengenai pertumbuhan layanan kesehatan ibu yang ada di Yogyakarta dalam beberapa periode. Dalam Bab III ini juga dijelaskan mengenai peran bidan dan dukun beranak dalam pertolongan persalinan ibu-ibu dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan mereka. Selanjutnya pada Bab IV dijelaskan mengapa terjadi kemunduran pelayanan pada masa penjajahan Jepang hingga berdirinya BKIA sebagai bagian otonom di bawah naungan Dinas Kesehatan. Yang terakhir yaitu pada Bab V diuraikan kesimpulan dari hasil penelitian sekaligus sebagai jawaban atas rumusan masalah yang dijabarkan pada bagian awal.
18